BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Pertanggung Jawaban Tindak Pidana Penganiayaan (Studi Putusan No. 294/PID.SUS/2015/PN-Medan)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sejak dilahirkan oleh ibunya telah mempunyai suatu naluri
untuk hidup sosial, dari kehidupan bersama itu dihasilkan kebudayaan yang
merupakan seluruh hasil cipta, rasa dan karya masyarakat. Dalam kamus besar
Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan.
Ahklak adalah hal ihwal yang melekat pada jiwa, dari padanya timbul perbuatanperbuatan yang mudah tanpa dipikirkan dan diteliti oleh mansia. Bila hal hwal
atau tingkah laku itu menimbulkan perbuatan-perbuatan yang baik lagi terpuji
oleh akal, tingkah laku itu dinamakan ahklak yang baik sebaliknya bila
menimbulkan perbuatan-perbuatan yang buruk tingkah laku itu dinamakan ahklak
buruk. Dalam kehidupan bermasyarakat yang baik dan benar tidaklah semuanya
berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Kadang kala kita menemui adanya
oknum-oknum yang melakukan tindak pidana khususnya tindak pidana
penganiayaan. Pada kenyataan setiap orang berpeluang untuk melakukan
kekerasan terhadap orang lain, baik dalam penganiayaan yang di lakukan untuk
melukai fisik seseorang ataupun melakukan kekerasan melukai psikis seseorang
seperti hinaan yang di tujukan kepada orang yang bersangkutan. Di indonesia
tindak pidana penganiayaan sering terjadi, sehingga pada kenyataannya tidak
semua mengambil langkah hukum untuk menghukum para pelaku yang
melakukan tindak pidana penganiayaan ini, sehingga sebagian dari kasus


1

1
Universitas Sumatera Utara

penganiayaan ini di diamkan bagi korban penganiayaan. Tindak pidana
penganiayaan ini tidak semua sama, dengan kata lain pada tindak pidana
penganiyaan ini adanya tingkatan-tingakatan dalam penganiayaan yaitu mulai dari
ringan, penganiayaan berat bahkan sampai menyebabkan kematian bagi korban
tindak pidana penganiayaan tersebut.
Dalam kesempatan ini saya akan membahas mengenai tindak pidana
penganiayaan.Dalam rumah tangga jelas memiliki anggota keluarga, yaitu suami,
istri anak, dan bahkan individu lain yang masuk ataupun yang berkerja dalam
rumah tangga termasuk dalam anggota keluarga, yang di sebut sebagai Pembantu
Rumah Tangga. Pembantu rumah tangga atau biasa disebut PRT merupakan
bagian penting dalam keluarga yang memiliki kesibukan di luar rumah sehingga
membutuhkan tenaga bantuan untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Sehingga
pekerjaan rumah di lakukan oleh Pembantu Rumah Tangga (PRT), seperti
memasak, mencuci mengurus taman, mengentar jemput anak dll. Dalam

pekerjaannya sering kali PRT perlakukan tidak layak yang di lakukan oleh
majikannya bahkan teman sekerjanya, dengan berasalan pekerjaan yang di
lakukan Pembantu Rumah Tangga atau korban tidak sesuai dengan harapan si
majikan ataupun teman sekerjanya sehingga dalam hal ini seringnya terjadi
penganiayaan yang dilakukan terhadap Pembantu Rumah tangga yang sebagai
korban penganiayaan yang di lakukan majikan dan teman sekerjanya yang
merupakan hal sepele.
Sering kali pekerja rumah tangga di jadikan tempat pelampiasan pada hal
ini tidak heran kita melihat penganiayaan yang di lakukan kepada pekerja rumah
2
Universitas Sumatera Utara

tangga. Dalam berkehidupan bermasyarakat pekerjaan pembantu rumah tangga
atau di sebut PRT sering kali di anggap sebuah pekerjaan rendah sehingga cara
pandang masyarakat kepada pembantu rumah tangga adalah pekerjaan yang tidak
patut untuk di jadikan sebuah pekerjaan. Tidak adanya kesetaraan yang terjadi
dalam kemasyarakatan ini yang menyebabkan cideranya sebuah pekerjaan
tersebut yang dimana pekerjaan tersebut adalah pekerjaan penting dalam sebuah
Rumah tangga yang membutuhkan tenaga tambahan untuk mengurus sebuah
rumah tangga.Dalam penganiayaan undang-undang tidak memberikan perumusan,

namun menurut Yurisprudensi Pengadilan maka yang dinamakan penganiayaan
adalah :
1.

Menyebabkan luka-luka pada fisik

2.

Menyebabkan korban merasakan sakit pada tubuhnya

3.

Sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan) yang di alami
korban
Sifat melawan hukum, unsur kesalahan yang dalam bahasa Belanda

disebut dengan “schuld” juga merupakan unsur utama 2. Unsur dengan sengaja
disini harus meliputi tujuan menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain.
Dengan pengertian si pelaku menghendaki akibat terjadinya suatu perbuatan.
Kehendak atau tujuan disini harus di simpulkan dari sifat pada perbuatan yang

menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Penganiayaan-penganiayaan

2

prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si hukum pidana edisi revisi (Depok :katalog dalam
terbitan (kdt) ) h.77

3
Universitas Sumatera Utara

yang di alami pembantu rumah tangga ini sering terjadi di area rumah yang
tertutup dari pandangan-pandangan publik.
Bahwa bermula dari adanya informasi dari masyarakat disekitar rumah
H.samsul Rahman sering terjadi penganiayaan terhadap pekerja rumah tangga,
maka pada tanggal 27 November 2014 petugas kepolisian melakukan pengecekan
ke rumah H,samsul Rahman yang di jadikan temat penampungan pekerja rumah
tangga yang masing-masing bernama Endang Murdianingsih, Anis Rahayu dan
Rukmiani, menurut keterangan dari pekerja rumah tangga ini mereka sering di
perlakukan tidak wajar seperti pemukulan dan penyiksaan lainnya. Tindakan
semena-mena ini sering terjadi kepada korban penganiayaan ini dengan berbagai

alasan yang menyebabkan tindak pidana penganiayaan ini dilakukan. Seperti di
alami salah satu dari korban penganiayaan pekerja rumah tangga Endang
Murdianingsih ditugasi memasak untuk keluarga H.samsul Rahman, namun bila
dalam menjalankan tugasnya Endang Murdianingsih dianggap melakukan
kesalahan Endang Murdianingsih sering kali mengalami penyiksaan yang di
lakukan oleh anggota keluarga yakni oleh istri majikan terdakwa yang bernama
Bibi Randika, kemudian oleh anak kandung majikan terdakwa yang bernama
Muhammad Tariq Anwar Alias Pai, Feri Syahputra, Muhammad Hanafi Bahri,
Zainal Abaidin Als Zahri dan oleh termasuk terdakwa di waktu-waktu yang
berbeda. Sehingga akibat penyiksaan-penyiksaan yang dialaminya, berdasarkan
surat visum et repertum Nomor : R/42/VER UM/XI/2014 tanggal 27 November
2014 yang di keluarkan oleh RS Bhayangkara Medan dan ditandatangani oleh Dr.

4
Universitas Sumatera Utara

Engracia

dengan


hasil

pemeriksaan

yang

dilakukan

terhadap

Endang

Murdianingsih.
Bahwa Anis Rahayu yang berasal dari Malang diperkerjakan sebagai
pembantu rumah tangga di rumah H.Samsul Rahman sejak bulan September 2014,
dimana Anis Rahayu dikirim oleh Yayasan Wijaya yang beralamat di jalan kebun
Mangga Jakarta Barat ke rumah H.Samsul Rahman, Anis Rahayu di tugasi untuk
mengurus anak-anak H.Samsul Rahman, namun bilamana dalam menjalankan
tugasnya Anis Rahayu dianggap melakukan kesalahan Anis Rahayu sering
mengalami penyiksaan yang dilaukan oleh Bibi Randika, kemudian oleh anak

kandung majikan terdakwa yang bernama Muhammad Tariq Anwar Alias Pai,
Feri Syahputra, Muhammad Hanafi Bahri, Zainal Abaidin Als Zahri dan oleh
termasuk terdakwa di waktu-waktu yang berbeda, sehingga akibat penyiksaanpenyiksaan yang dialaminya, berdasarkan surat Visum et Repertum Nomor
R/40/VER UM/XI/2014 tanggal 27 November 2014 yang dikeluarkan oleh RS
Bhayangkara Medan dan ditandatangani oleh Dr Engracia dengan hasil
pemeriksaan yang dilakukan terhadap Anis Rahayu
Bahwa Rukmiani yang berasal dari Demak dipekerjakan sebagai
pembantu rumah tangga dirumah H.Samsul Rahman sejak bulan Oktober 2014,
dimana Rukmiani dibawa oleh H.Samsul Rahman, Rukmiani ditugasi untuk
mencuci pakaian keluarga H.Samsul Rahman, namun bilamana dalam
menjalankan tugasnya Rukmiani dianggap melakukan kesalahan Rukmiani sering
mengalami penyiksaan yang di lakukan oleh Bibi Randika, kemudian oleh anak
kandung majikan terdakwa yang bernama Muhammad Tariq Anwar Alias Pai,
5
Universitas Sumatera Utara

Feri Syahputra, Muhammad Hanafi Bahri, Zainal Abaidin Als Zahri dan oleh
termasuk terdakwa di waktu-waktu yang berbeda. Sehingga akibat dari
penyikasaan-penyiksaan yang dialaminya, berdasarkan surat Visum et Repertum
Nomor : R/41/VER UM/XI/2014 tanggal 27 November 2014 yang dikeluarkan

oleh RS Bhayangkara Medan dan ditandatangani oleh Dr. Engracia dengan hasil
pemeriksaan yang dilakukan terhadap Anis Rahayu.
Dalam keterangan selanjutnya mereka, Endang Murdianingsih, Rukmiani
dan Anis Rahayu kerap kali diberi makan dedak yang di campur dengan tulang
ikan, Tidak tutup kemungkinan bahwa dengan penganiayaan yang telah
dialaminya, kondisi psikologis korban juga akan terganggu karena adanya sebabsebab tertentu. Pengaturan mengenai penganiayaan harus selalu mengacu pada
hak asasi manusia karena rakyat menginginkan perlindungan atas Hak-haknya.
3

Perbuatan penganiayaan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai

perbuatan yang dilarang dinamakan perbuatan pidana.menurut wujudnya
penganiayaan adalah perbuatan melawan hukum, perbuatan ini juga merugikan
masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan tata dalam
pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Disini sebenarnya tidak hanya
rakyat yang punya kepentingan akan tetapi pemerintah juga yaitu membuat
masyarakat jadi sadar Hukum. Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang
secara kodrati melekat pada manusia, bersifat Universal dan langsung hal ini
termasuk pula hak yang harus diperoleh oleh korban penganiayaan. Hak-hak
termasuk pula hak yang harus diperoleh oleh Korban penganiayaan hak-hak para

3

Prof. MR. Roeslan Saleh perbuatan pidana dan pertanggung jawaban, duan pengertian
dasa dalam hukum pidana (jakarta : Aksara Baru 1983 ) h. 13

6
Universitas Sumatera Utara

korban ini harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,
kurangi atau di rampas oleh siapapun. Hal ini juga harus menjadi pemikiran
khusus dari sekian banyak alasan mengapa pengaturan dan perlindungan hukum
terhadap pelaku penganiayaan harus dijaga dan dibuktikan pelaksanaannya tanpa
memandang status korban. Secara umum tindak pidana kejahatan tubuh pada
KUHP disebut, penganiayaan bila ditelusuri dari pengertiannya, maka
penganiayaan merupakan serangkaian tindak dengan kekerasan yang bisa
mengakibatkan korban mendapat beragam penderitaan yang menimpa fisik
korban walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa dengan penganiayaan yang
telah dialaminya, kondisi psikologis korban juga akan terganggu karena adanya
sebab-sebab tertentu.


4

Perbuatan penganiayaan sendiri merupakan bentuk

pelanggaran hak asasi manusia. Ini bisa dilihat berdasarkan Undang-undang RI
No.39 Tahun 1999 pasal 1 angka 6 tentang Hak asasi Manusia yaitu ;
“Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat
Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak
asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang djamin oleh undang-undang
ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang
belaku”.
Selain itu, ada peraturan pada pasal 33 ayat (1) yang berbunyi :5
“Selain orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau
perlakuan yang kejam tidak manusiawi merendahkan derajat dan martabat
kemanusiannya”

4
5


UU No.39 Tahun 1999 Pasal 1 angka 6, hal 3
UU No.3 Tahun 1999 Pasal 33 Ayat 1,h.12

7
Universitas Sumatera Utara

Dari penjelasan pasal di atas dapat dsimpulkan bahwa penganiayaan
merupakan suatu bentuk kejahatan yang sangat diperhatikan oleh hukum, karena
pelanggaran ini sangat rentan terjadi dikalangan masyarakat, bahkan hampir setiap
hari media masa maupun elektronik terisi oleh kejadian-kejadian tersebut.
Bahwa kita lebih melihat lebih jauh sistemisasi dalam KUHP yang
mengenai penganiayaan yang berakibat luka berat terdiri dari :


Penganiayaan berdasarkan pasal 351 KUHP adalah :6
1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama lima Tahun.
3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun.
4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pada ruang lingkup ini, putusan ini juga masuk pada ruang lingkup

kekerasan dalam rumah tangga, dimana pekerja rumah tangga merupakan bagian
dari keluarga yang posisinya sama dengan anggota keluarga lainnya. Kekerasan
dalam rumah tangga diatur dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 23
tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Dalam undang-

6

KUHAP & KUHP BAB XX PENGANIAYAAN pasal 351 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5)

8
Universitas Sumatera Utara

undang ini pengertian kekerasan Lingkup rumah tangga pada pasal 1 ayat 1 yakni
:7
“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga ternasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.”

8

Korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah

perempuan, harus mendapat, perlindungan dari Negara dan atau masyarakat agar
terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan penyiksaan, atau
perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusia. Pada putusan ini
para korban kerap kali mengalami penyiksaan yang secara umum termasuk dalam
lingkup undang-undang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga nomor 23
tahun 2004, dimana dalam undang-undang ini yang di maksud lingkup rumah
tangga tertera pada pasal 2 yakni :9
(1) Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi :
a.

Suami, isteri, dan anak

b.

Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
yang sebagaimana dimaksud pada huruf a arena hubungan darah
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga atau

7

Uu nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga pasal

1

ayat 1
8

Badriyah Khaleed, S.H PENYELESAIAN HUKUM KDRT (Yogyakarta:penerbit Pustaka
Yustisia,2015), h.14
9
Uu nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga

9
Universitas Sumatera Utara

c.

Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.

(2)

Orang yang berkerja yang sebagaimana dimaksud pada huruf c
dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama
berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka

dapat dirumuskan untuk menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah :
1.

Bagaimana pengaturan tentang tindak pidana penganiayaan
menurut KUHP ?

2.

Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak
pidana

penganiayaan

berdasarkan

PutusanNo.294/PID.SUS/2015/PN-Medan?

C.

Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan dari

penelitan ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan tentang tindak pidana penganiayaan
menurut KUHP dan konsep KUHP.
2. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku

tindak

pidana

penganiayaan

berdasarkan

Putusan

No.294/PID.SUS/2015/PN-Medan.

10
Universitas Sumatera Utara

Adapun manfaat yang didapatkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1.

Manfaat Teoritis
a.

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan untuk
menambah ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu hukum umumnya dan
bidang hukum pidana khususnya.

b.

Untuk memberikan masukan bagi Universitas Sumatera Utara dalam
memperkaya

bahan

bacaan

diperpustakaan,

sehingga

dapat

dimanfaatkan sebagai bahan bacaan untuk melakukan penelitian.
2.

Manfaat praktis
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan serta kajian
pengetahuan bagi para pihak yang berkompeten,

baik kalangan

akademisi maupun penegak hukum, untuk menambah wawasan di bidang
hukum khususnya yang berkaitan tentang bagaimana pengaturan tentang
tindak

pidana

penganiayaan

pertanggungjawaban

pidana

menurut

KUHP,

dan

bagaimana

terhadap

pelaku

tindak

pidana

penganiayaandberdasarkan Putusan No.294/PID.SUS/2015/PN-Medan.

D.

Tinjauan Kepustakaan
1.

Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam
hukum pidana Belanda yaitu “strafbaarfeit”. Dan para ahli hukum mengemukakan
istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari strafbaarfeit.

11
Universitas Sumatera Utara

Pembentuk undang – undang telah menggunakan perkataan strafbaar feit untuk
menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “ tindak pidana“ di dalam Kitab Undang
– Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa
yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan strafbaarfeit tersebut.10Adami
Chazawi telah menginventarisasi sejumlah istilah-istilah yang pernah digunakan
baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur
hukum sebagai terjemahan dari istilah staraafbaarfeit, yaitu sebagai berikut :11
1.

Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam
perundang-undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan
perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti
dalam Undang-undang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, UU
No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
UU No. 20 Tahun 2001.

2.

Peristiwa

Pidana,

digunakan

oleh

beberapa

ahli

hukum,

misalnya:Tresna dalam Bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana” H. J van
Schravendijk dalam buku pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia,
Zainal Abidindalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk UndangUndang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana yaitu
dalam UUD’S 1950 [baca pasal 14 ayat (1).12Nullum delictum, nulla
poena sine praevia lege poenali kitab undang-undang, Hukum Pidana

10
11

Mohammad Ekaputra DASAR-DASAR HUKUM PIDANA, edisi 2 (medan:usu Press, 2013)
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo: Jakarta, 2002, hal

67-68.
12

Prof.Dr. Mr. L.J van Apeldoorn pengantar ilmu hukum (Jakarta : PT. Pradnya Paramita,
2004) h.325

12
Universitas Sumatera Utara

pasal 1 baris I : sesuatu peristiwa tak dapat dikenakan hukuman, selain
atas kekuatan peraturan undang-undang pidana yang mendahuluinya.
3.

Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga
digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan
straafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur,
misalnya E.Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain
yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I);

4.

Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam bukuM.H Tirtaadmidjaja
yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Pidana;

5.

Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh M. Karni
dalam buku beliau “Ringkasan tentang Hukum Pidana” begitu juga
Schravendijk dalam bukunya “Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana
Indonesia”;

6.

Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk UndangUndang di dalam UU No.12/Drt/1951 tentang senjata Api dan Bahan
Peledak (Pasal 3);

7.

Perbuatan Pidana, digunakan olehMoeljatno dalam berbagai tulisan
beliau, misalnya dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana.

2.

Tindak Pidana Penganiayaan
Undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan

“penganiayaan” (misbandeling) itu. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan
dengan “penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak

13
Universitas Sumatera Utara

(penderitaan), rasa sakit (pijn), atau luka13. Pada umumnya tindak pidana terhadap
tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan” mengenai arti dan makna kata
penganiayaan tersebut banyak perbedaan diantara para ahli hukum dalam
memahaminya. Penganiayaan dalam kamus besar bahasa Indonesia dimuat arti
sebegai berikut “perilaku yang sewenang-wenang”. Pengertian tersebut adanya
pengertian dalam arti luas, yakni termasuk yang menyangkut “perasaan” atau
batiniah.
Penganiayaan merupakan salah satu tindak kejahatan, dengan sengaja
melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang yang mengakibatkan lukaluka, dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan
sengsara,14Dibentuknya kejahatan terhadap tubuh manusia (misdrijven tegen het
lijf) ini ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari
perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang
mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa
pada tubuh dapat menimbulkan kematian.
Mengenai penganiayaan dalam pasal 351 KUHP, R.Soesilo dalam
bukunya berjudul kitab Undang-Undang hukum pidana (KUHP) serta komentarkomentarnya lengkap pasal demi pasal mengatakan bahwa Undang-Undang tidak
memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan” itu. R. Soesilo
dalam buku tersebut juga memberikan contoh dengan apa yang dimaksud dengan
“perasaan tidak enak”, “rasa sakit”, “luka”, dan “merusak kesehatan” :
13

R. SOESILO kitab undang-undang hukum pidana (BOGOR: POLITEIA 1994) h.245
LEDEN MARPAUNG, SH tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh (pemberantasan dan
prevensinya ) (JAKARTA : Sinar Grafika 2000) h. 58
14

14
Universitas Sumatera Utara

1.

“perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali
sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan
sebagainya

2.

“rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng,
dan sebagainya.

3.

“luka” misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan
lain-lain.

4.

“merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat,
dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin

Atas dasar unsur kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh ada dua
macam, ialah :
1.

Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja. 15 Kejahatan
yang dimaksudkan ini diberi kualifikasi sebagai penganiayaan
(mishandeling),

secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada

KUHP dimuat dalam Bab XX buku II, pasal 351 s/td 358. (akan
dibahas pada pembahasan, “Undang-Undang yang mengatur tentang
tindak kejahatan, penganiayaan). 16

15

Ibid., h. 50
Prof. Drs.C.S.T. kansil, S.H. Christine S.T. kansil, S.H., M.H pokok-pokok hukum pidana hukum
pidana untuk tiap orang (jakarta : PT. AKA 2004 ) h.143

16

15
Universitas Sumatera Utara

2.

Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam pasal 360
Bab XXI yang dikenal dengan kualifikasi karena lalai menyebabkan
orang lain luka atau mati.17
Luka terdapat apabila terdapat perubahan dalam bentuk badan manusia

yang berlainan dari pada bentuk semula, sedangkan pada rasa sakit hanya cukup
bahwa orang lain merasa sakit tanpa ada perubahan dalam bentuk badan. Jadi
penganiayaan jelas sebagai melakukan suatu perbuatan dengan tujuan
menimbulkan rasa sakit atau luka pada badan orang lain.
Unsur dengan sengaja harus meliputi tujuan menimbulkan rasa sakit atau
luka pada orang lain. Menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain
merupakan tujuan atau kehendak dari pelaku. Kehendak atau tujuan ini harus
disimpulkan dari sifat dari pada perbuatan yang menimbulkan rasa sakit atau luka
itu. Dalam hal ini harus ada sentuhan pada badan orang lain yang

dengan

sendirinya menimbulkan akibat sakit atau luka pada badan orang itu, misalnya
memukul, menendang, menggaruk, menusuk atau mengiris dengan alat-alat tajam.
Disamping itu,memukul, menendang, menggaruk, menusuk atau mengiris dengan
alat-alat tajam merupakan juga merupakan bersifat materi yang termasuk dalam
kualifikasi penganiayaan, apabila akibat rasa sakit atau luka timbul sebagai tujuan.
18

dibentuknya kejatan terhadap tubuh manusia (misdrijven tegen bet lijf) ini

ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatanperbuatan berupa penyerangan atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa

17

R. Soesilo, op.cit., h. 248
Drs. Adami Chazawi, SH. Kejahatan terhadap tubuh & nyawa (malang :PT raja grafindo persada
2013 ) h. 7
18

16
Universitas Sumatera Utara

penyerangan atas bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka,
bahkan karena luka sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.
Pembuktian atas penganiayaan adalah cukup, apabila termuat bahwa
pelaku telah dengan sengaja melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang dapat
menimbulkan rasa sakit atau luka sebagai tujuan atau kehendak dari pelaku.
Apabila perbuatan yang menimbulkan rasa sakit pada orang dengan tujuan lain
seperti :
 Orang tua memukul anak untuk menjamin ketertiban dalam lingkungan
keluarga,
 Seorang ahli bedah ( chirug) meakukan pembedahan pada orang,
berdasarkan undang-undang tidak dapat dikualifisir sebagai penganiayaan.

3.

Pertanggung jawaban Pidana
Kitab undang-undang Hukum Pidana di seluruh dunia pada umumnya

tidak mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab. Yang diatur adalah
kebalikannya, yaitu ketidak mampuan bertanggungjawab, seperti isi pasal 44
KUHP Indonesia, yang masih pakai rumusan pasal 37 lid W.v.S Nederland tahun
1886 yang berbunyi :
“tidak dapat dipidana ialah barang siapa yang mewujudkan suatu
peristiwa, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kekurang
sempurnaan atau gangguan sakit kemampuan akalnya “ 19.

19

Prof. Dr. Mr. H.A Zainal Abidin Farid, S.H. hukum pidana 1 (Jakarta : Sinar Grafika 2007 ). h. 260

17
Universitas Sumatera Utara

Sistem pertanggung jawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini
menganut asas kesalahan disamping asas legalitas. Pertanggung jawaban pidana
merupakan bentuk perbuatan dari pelaku tindak pidana terhadap kesalahan yang
dilakukannya. Maka dari itu terjadinya pertanggung jawaban pidana karena ada
kesalahan yang merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, dan
telah ada aturan yang mengatur tindak pidana tersebut. Roeslan saleh menyatakan
bahwa dalam membicarakan tentang pertanggung jawaban pidana, tidaklah dapat
dilepaskan dari satu dua aspek yang harus dilihat dengan pandangan-pandangan
falsafah. Satu diantaranya adalah keadilan, sehingga pembicaraan tentang
pertanggung jawaban pidana akan memberikan kontur yang lebih jelas,
pertanggung jawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat
yang harus dipertanggung jawabkan pada pelakunya atas perbuatan yang
dilakukan. Dengan mempertanggung jawabkan perbuatan yang tercela itu pada
pelakunya, apakah pelakunya juga di cela ataukah pelakunya tidak dicela, pada
hal yang pertama maka pelakunya tentu dipidana, sedangkan dalam hal yang
kedua pelakunya tentu tidak dipidana. 20
Dalam

bahasa

asing

pertanggung

jawaban

disebut

sebagai

toerekeningsvarbaarheid pertanggung jawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak
yang melanggar, dinamakan leer van het materiele feit (fait materielle)21. Bahwa
pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang
20

Roeslan Saleh 1982, pikiran-pikiran tentang pertanggung jawaban pidana, Ghalia
(Indonesia : jakarta) h 10
21
Prof. Moeljatno, S.H asas-asas hukum pidana (Jakarta :Rineka Cipta 2008) h.169

18
Universitas Sumatera Utara

tersangka/terdakwa dipertanggung jawabkan atas suatu tindak pidana (crime)
yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana
atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan
itu bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung jawab.
Kemampuan tersebut memperlihatkan kesalahan dari pelaku yang berbentuk
kesengajaan atau kealpaan 22.
Bahwa demikian ternyata, bahwa orang dapat dikatakan mempunyai
kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi
masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang
merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna perbuatan
tersebut 23. Pertanggung jawaban pidana menjurus pada pemidanaan pelaku, jika
telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah
ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan
yang terlarang, seseorang akan dapat mempertanggung jawabkan pidananya yang
terlarang, seseorang akan dapat mempertanggung jawabkan pidananya atas suatu
tindakan tersebut apabila bersifat melawan hukum.
Bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada :24
1.

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan
yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.

22

E.Y Kanter dan S.R Siantar 2002,asas-asas hukum pidana di indonesia dan
penerapannya, storia grafika, jakarta hal. 250.
23
Prof. Moeljatno, S.H. op.cit h. 169.
24
Ibid., h.178-179

19
Universitas Sumatera Utara

2.

Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Lebih lanjut

dijelaskan bahwa

kemampuan bertanggung jawab

didasarkan pada keadaan dan kemampuan jiwa (geeteojevermogens) dan bukan
pada keadaan dan kemampuan berpikir (verstanddelijke vermogens) dari
seseorang.
Seseorang atau pelaku tindak pidana apabila tidak melakukan perbuatan
pidana dan perbuatan pidana tersebut haruslah melawan hukum, namun meskipun
dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dapat dipidana. Orang melakukan
perbuatan pidana hanya akan dipidana apabila dia terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan kesalahan.
Untuk mempertanggung jawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila
perbuatannya itu sendiri tidak bersifat melawan hukum, maka apabila lanjut dapat
pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya
perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan, berkaitan dengan
kesalahan yang bersifat psikologis dan kesalahan yang bersifat normatif di atas
juga unsur-unsur tindak pidana dan pendapat para pakar mengenai kesalahan,
dapat disimpulkan bahwa kesalahan memiliki beberapa unsur :25
1.

Adanya kemampuan bertanggung jawab pada sipelaku dalam arti jiwa
si pelaku dalam keadaan sehat dan normal.

25

Prof. Dr. Prasetyo, S.H., M.Si., op.cit h.82

20
Universitas Sumatera Utara

2.

Adanya hubungan batin antara sipelaku dengan perbuatannya, baik
yang sengaja maupun karena kealpaan

3.

Tidak adanya alasan pemaaf yang dapat menghapus kesalahan.
harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan. Juga

adanya alasan pemaaf tidak mungkin, kalau orang tidak mampu bertanggung
jawab atau tidak mampu sehingga untuk adanya perbuatan pidana, dan kemudian
semua unsur-unsur kesalahan harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana
yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan mengakibatkan dipidananya
terdakwa maka terdakwa haruslah :26
1.

Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum)

2.

Diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab.

3.

Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau
kealpaan.

4.

Tidak adanya alasan pemaaf.
Dalam menjelaskan arti kesalahan, kemampuan bertanggung jawab

dengan singkat diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal, yang sehat.
Dalam KUHP tidak ada ketentuan arti kemampuan bertanggung jawab.hubungan
antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa hingga
orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan itu tadi. Terdapat 3 hal yang
dipkirkan selain adanya kesalahan yaitu pertama merupakan faktor akal
(intelektual factor) yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang

26

Prof. Moeljatno, S.H. op.cit h.177

21
Universitas Sumatera Utara

diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak
(volutional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsafan
atas yang diperbolehkan dan mana yang tidak27. Adanya keadaan psikis (batin)
tertentu dan yang kedua yaitu adanya hubungan yang tertentu antara keadan batin
tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, hingga menimbulkan celaan. 28
Kesalahan dapat dilihat dari sikap batin pembuat terhadap perbuatan dan
akibatnya, dari adanya kesalahan dapat ditentukan adanya pertanggungjawaban.
Jan Remmelink mendefinisikan :29
“kesalahan adalah pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat yang
menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu terhadap manusia yang
melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindari”.
Kesalahan dapat dibedakan menjadi dua yaitu ;
1.

Kesengajaan (opzet) mempunyai tiga unsur yaitu perbuatan yang
dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu, dan
perbuatan itu melanggar hukum;

2.

Kurang hati-hati (culpa) yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak
pidana yang tidak seberat kesengajaan yaitu kurang berhati-hati,
sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi 30.
Tegasnya bahwa, pertanggung jawaban pidana mempunyai kaitan yang

erat dengan beberapa hal yang cukup luas. Manusia itu mempunyai kebebasan

27

Ibid.,h.179.
Moeljatno, azas-azas hukum pdana, PT Bina aksara :(Jakarta :1983)h.158
29
Prof Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si op.cit h. 226
30
Warjono Prodjodikoro, asas-asas Hukum pidana Indonesia, PT Eresco : Jakarta :1981

28

)h. 97

22
Universitas Sumatera Utara

untuk menentukan kehendaknya atau tidak. Kehendak merupakan aktivitas batin
manusia yang pada gilirannya berkaitan dengan pertanggung jawaban manusia
atas perbuatannya, 31 adalah merupakan pertanggung jawaban orang terhadap
tindak pidana yang dilakukannya, sebab terjadinya pertanggung jawaban pidana
karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dimana masyarakat
telah sepakat menolak suatu perbuatan tertentu yang mewujudkan dalam bentuk
larangan atas perbuatan tersebut. Sehingga orang yang melakukan perbuatan
tersebut akan dicela karena dalam keadaan tersebut sebenarnya pembuat dapat
berbuat lain pertanggung jawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu
mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap
pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.
a.

Subjek hukum
Hukum menentukan, bahwa manusialah yang diakuinya sebagai

penyandang hak dan kewajiban, tetapi segala sesuatunya hanya dipertimbangkan
dari segi yang bersangkut paut atau mempunyai arti hukum. Dalam hubungan ini
bisa terjadi bahwa hukum menentukan pilihannya sendiri.

32

Subjek hukum

merupakan subjek tindak pidana, karena berdasarkan uraian-uraian diatas telah
dibahas bahwa yang akan mempertanggung jawaban suatu tindak pidana adalah
pelaku tindak pidana itu sendiri sehingga sudah barang tentu subjeknya haruslah
sama antara pelaku tindak pidana dan yang akan mempertanggung jawabkan
perbuatan pidananya.

31
32

Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H.,M.Si op.cit h. 83
Mohammad Ekaputra, op.cit h.21

23
Universitas Sumatera Utara

Menurut KUHP yang dapat menjadi Subjek hukum adalah manusia
(natuutlijk-personen), sedangkan hewan dan badan-badan hukum (rechtpersonen)
tidak dianggap sebagai subjek. Bahwa hanya manusialah yang dianggap sebagai
subjek tindak pidana ini tersimpulkan antara lain dari :33
a.

Perumusan delik yang selalu menentukan subjeknya dengan istilah
barang siapa, warga negara Indonesia, nahkoda, pegawai negeri dan
lain sebagainya. Penggunaan istilah-istilah tersebut selain dari pada
yang ditentukan dalam rumusan delik yang bersangkutan ditemukan
dasarnya dari pasal 2 sampai dengan pasal 9 KUHP. Untuk istilah
barang siapa dalam pasal 3 dan pasal 4 KUHP digunakan istilah “een
ieder’ yang berarti setiap orang.

b.

Ketentuan mengenai pertanggung jawaban pidana seperti diatur,
terutama dalam pasal 44, pasal 45, pasal 49 KUHP yang antara lain
mengisyaratkan sebagai geestelijke vermogens dari petindak.

c.

Ketentuan mengenai pidana yang diatur dalam pasal 10 KUHP,
terutama mengenai pidana denda, hanya manusialah yang mengerti
nilai uang.
Perkembangan hukum pidana selanjutnya memang bukan hanya manusia

saja yang dianggap sebagai subjek. Penentuan atau perluasan badan hukum
sebagai subjek tindak pidana, adalah karena kebutuhan, terutama dalam soal
perpajakan,

33

Mohammad Ekaputra, op.cit., h.22-23

24
Universitas Sumatera Utara

Kewenangan hukum adalah sesuatu sifat yang diberikan oleh hukum
objektif, kekuasaan pembentuk undang-undang untuk memberikannya dibatasi
oleh keadaan riil.Hukum objektif hanya dapat memberikannya kepada manusia,
karena hanya manusia yang dapat mempunyai hak-hak subjektif artinya
kewenangan dan kewajiban.34
Berdasarkan ketentuan pasal 55 ayat (1) ke-1, ke-2 dan ayat (2) KUHP
menjelaskan bahwa :35
Ayat (1) dipidana sebagai pelaku tindak pidana :
(1)

Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut
serta melakukan perbuatan.

(2)

Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan
menyalah gunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,
ancaman atau penyesatan. Atau dengan memberi kesempatan,
sarana atau keterangan sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan.

Ayat (2) terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan
yang diperhitungkan, berserta akibat-akibatnya. Ketentuan pasal 55 ayat (1), ke-2
dan ayat (2) KUHP di atas mengkategorikan pelaku tindak pidana sebagai orang
yang melakukan sendiri suatu tindak pidana dan orang yang turut serta atau
bersama-sama untuk melakukan tindak pidana.

34
35

Prof. Dr. Mr. L.J van Apeldoorn op.cit h.192
R. Soesilo op.cit h. 72

25
Universitas Sumatera Utara

E.

Keaslian Penulisan
Berdasarkan

khususnya

di

hasil

lingkungan

“Pertanggungjawaban

penelusuran
Universitas

Tindak

Pidana

Kepustakaan
Sumatera

Penganiayaan

(library

Utara,
(Studi

research)

terhadap

judul

Putusan

No.

294/PID.SUS/2015/PN-Mdn)” ini, belum pernah ada judul yang sama ditemukan
dengan demikian penelitian ini asli serta dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah. Beberapa skripsi berkaitan dengan penganiayaan di perpustakaan fakultas
hukum sumatera utara antara lain :
1.

Aspek hukum pidana terhadap penganiayaan tenaga kerja wanita
indonesia (studi kasus di serawak dan Kuala Lumpur Malaysia, 2004
).

2.

Penganggulangan tindak pidana penganiayaan dalam perfektif
kebijakan kriminal (2001).

3.

Penjaringan perkara pidana oleh polisi (diskresi kepolisian )terhadap
tindak pidana penganiayaan ringan (riset di polres langkat (2005).

F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan
untuk mengungkapkan suatu kebenaran dengan cara sistematis, metodologis, dan

26
Universitas Sumatera Utara

konsisten.36 Melalui proses penelitian tersebut maka diadakan suatu analisa dan
konstruksi terhadap data yang telah diolah.
Agar suatu penelitian dapat berjalan dengan baik, maka dibutuhkan suatu
metode penelitian yang tepat. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.

Jenis Penelitian.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif. Penelitian

normatif ini merupakan penelitian doktriner, karena penelitian ini dilakukan
melalui penelitian kepustakaan (library research) dengan mempelajari dokumendokumen, tulisan para ahli, buku-buku literatur, jurnal hukum, situs internet,
kamus hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
materi dan isu dari permasalahan.
2.

Sifat Penelitian.
Penelitian ini bersifat penelitian deskriptif, yaitu tipe penelitian untuk

memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena.
Penelitian deskriptif tidak hanya terbatas pada masalah pengumpulan dan
penyusunan data, tetapi juga meliputi analisis dan interpretasi data tersebut.
Penelitian ini juga bertujuan menggambarkan secara lengkap dan sistematis
keadaan objek yang diteliti, yang dalam hal ini meneliti apakah tuntutan hukuman

36

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmuji, Penelitian Hukum Normatif
Singkat, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2001, h.1.

Suatu Tinjauan

27
Universitas Sumatera Utara

dan penerapan hukumyang diberikan terhadap terdakwa tersebut sudah sesuai
dengan hukum yang berlaku.

3.

Bahan Penelitian.
Dalam penelitian normatif, bahan yang didapatkan meliputi bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder :
a.

Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.37
Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Putusan No.294/PID.SUS/2015/PN-Mdn, dan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP).

b.

Bahan hukum sekunder, adalah bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. 38 Bahan hukum sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini seperti

buku-buku literatur, dan

artikel-artikel yang berkaitan dengan judul yang dibahas yang
diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.
c.

Bahan hukum tersier, adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk,
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.
Adapaun bahan tersier yang digunakan adalah ensikopedia hukum dan
kamus hukum

yang berhubungan dengan materi dan isu

permasalahan.

37

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada : Jember
: 1996) h. 113.
38
Ibid, hal 114.

28
Universitas Sumatera Utara

4.

Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kasus (case

approach). Pendekatan kasus tersebut bahan yang digunakan adalah putusan
pengadilan yang selanjutnya akan dilihat ketentuan asas dan norma yang berlaku
dan terkandung dalam perundang-undangan. karena yang akan diteliti adalah
putusan pengadilan maka pendekatan ini dilakukan dengan menelaah perundangundangan yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang diteliti yaitu tentang
tindak pidana dalam Putusan No. 294/PID.SUS/2015/PN-Medan.

5.

Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan oleh penulis adalah teknik analisa

data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data dan bahan hukum yang berkaitan
dengan isu permasalahan melalui studi kepustakaan kemudian diuraikan yang
logis dan sistematis dengan menarik kesimpulan dari penelitian.
G.

Sistematika Penulisan
Adapun untuk memberikan gambaran mengenai sistematika skripsi,

maka berikut ini akan diuraikan sistematika penulisan yang terdiri dari bab-bab
beserta sub-sub bab yang memudahkan pemahaman terhadap hasil penelitian :
BAB I. PENDAHULUAN
Bab ini berisikan gambaran awal tentang penelitian, yang
menguraikan latar belakang, rumusan masalah, manfaat dan tujuan

29
Universitas Sumatera Utara

penulisan, keaslian penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II.

PENGATURAN DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
Bab ini berisikan perumusan masalah yang pertama, yaitu untuk
mengetahui

bagaimana

pengaturan

tentang

tindak

pidana

penganiayaan.
BAB III.

PERTANGGUNGJAWABAN

PIDANA

PENGANIAYAAN

BERDASARKANPUTUSAN No. 294/Pid.Sus/2015/PN.MDN
Bab ini berisikan perumusan masalah kedua, yaitu untuk
mengetahui pertanggungjawaban tindak pidana penganiayaan
berdasarkan putusan No. 294/Pid.Sus/2015/PN.Mdn.
BAB IV.

PENUTUP
Bagian ini berisikan tentang kesimpulan jawaban dari rumusan
masalah dan juga saran-saran mengenai masalah yang diteliti.

30
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22