Penyelesaian Konflik di Papua Dialog Pap

Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia

Penyelesaian Konflik di Papua: Dialog Papua - Indonesia1
oleh Aulia Djatnika
Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Diplomasi Pertahanan
Fakultas Strategi Pertahanan – Universitas Pertahanan Indonesia

Konflik di Papua seperti tidak pernah usai. Gagasan yang mengemuka dewasa ini adalah
tantang pelurusan sejarah lewat dialog Indonesia Papua. Sebagian pro terhadap pelurusan
sejarah dengan berbagai pendapatnya. Sebagian lainnnya kontra terhadap pelurusan sejarah
juga dengan berbagai pendapatnya. Gagasan tersebut muncul karena terdapat perbedaan cara
pandang terkait kekerasan masa lalu dan kronologis pepera sebagai pintu awal bergabungnya
Papua dengan Indonesia. Gagasan tersebut mengemuka hingga skala internasional.
Hal tersebut tidak dapat dihindari karena muara dari gagasan tersebut membuka topic
pembicaraan soal tuntutan pemisahan diri Papua dari Indonesia. Walaupun skala isu pemisahan
diri dapat dibawa hingga ranah internasional, penulis membatasi lingkup analisis ini kedalam
lingkup yang terjadi didalam negeri atau skala nasional. Penjabaran alanisis tersebut akan
dijabarkan secara sederhana menurut aktor dan masing-masing peranannya, struktur interaksi
beserta kondisinya serta tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing aktor.

Aktor dan Peran

Aktor pertama adalah Penggiat Hak Asasi Manusia (HAM). Dialog Papua – Indonesia
digagas oleh sekelompok penggiat HAM yang terdiri dari aktivis, korban, keluarga korban dan
sekumpulan aktivis ilmuan. Dialog tersebut digagas setelah kelompok penggiat HAM menilai
tidak ada perubahan berarti terkait perbaikan kehidupan dan pengurangan konflik di Papua
pasca pengesahan UU No.21 tahun 2001 tentang otonomi khusus (UU Otsus).

1

Disusun untuk memenuhi Tugas I semester I, Matakuliah Foreign Policy Analysis. Perkuliahan Pascasarjana
Departemen Diplomasi Pertahanan, Fakultas Strategi Pertahanan – Universitas Pertahanan Indonesia.

Penyelesaian Konflik di Papua: Dialog Papua - Indonesia || Page 1 of 8

Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia

Menurut kelompok Penggiat HAM pelaksanaan UU Otsus yang tidak sesuai harapan
terjadi akibat perbedaan persepsi soal penyebab konflik di Papua. Sebagian pihak menilai
konflik di Papua disebabkan oleh persoalan kesejahteraan (ekonomi). Sebagian lainnya menilai
konflik di Papua disebabkan oleh belum terpenuhinya rasa keadilan akibat belum selesainya
kasus kekerasan masa lalu. Lebih jauh, perbedaan pandangan tersebut menyebabkan perbedaan

cara penyelesaian konflik di Papua.
Penyelesaian konflik akhirnya hanya berjalan procedural dengan pemenuhan program
yang berkaitan dengan persoalan kesejahteraan (ekonomi) saja tanpa menyentuh permasalahan
substantive yaitu pemenuhan rasa keadilan. Dengan cara berpikir tersebut, kelompok Penggiat
HAM menilai perlu adanya Dialog Papua – Indonesia guna pelurusan sejarah dan menemukan
solusi substantive atas permasalahan di Papua sehingga konflik di Papua dapat diselesaikan.
Gagasan Dialog Papua – Indonesia kemudian diajukan kepada pemerintah lewat Focus Group
Discussion (FGD) atau seminar massive yang diselenggarakan oleh Penggiat HAM.
Tidak seperti penggiat HAM yang secara progresif menggagas Dialog Papua –
Indonesia, aktor kedua yaitu pemerintah, pada dasarnya menolak gagasan Dialog Papua –
Indonesia. Argumentasinya, pemerintah telah secara akomodatif merespond konflik di Papua
dengan salah satunya mengesahkaan UU Otsus. UU Otsus secara konprehensif juga membahas
soal isu HAM dan oleh karenanya dinilai sudah cukup akomodatif terhadap keinginan Penggiat
HAM termasuk telah dianggap cukup sensitive terhadap konflik lain yang terjadi di Papua.
Disamping penerapan UU Otsus secara bertahap, pemerintah juga sudah
menyelenggarakan program guna menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua. Baik melalui
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, berbagia program telah digagas guna
menyelesaikan konflik yang menurut sudut pandang pemerintah muncul akibat ketidak adilan,
kesejahteraan (ekonomi), pendidikan dan kesehatan yang tidak merata.
Pemerintah bukan tidak sensitive terhadap persoalan kekerasan masa lalu. Sebagai bukti

kepedulian pemerintah terhadap persoalan kekerasan masa lalu yang terjadi di Papua,
pemerintah membuat penelitian yang dilakukan secara resmi lewat Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI). Adalah alm. Muridan yang menulis buku Papua Road Map sebagai salah satu
hasil dari penelitian dibawah LIPI. Pemerintah juga membuka diri dengan pemikir muda Papua
seperti Velix Wanggai yang pernah menulis buku “Mengapa Papua ingin Merdeka”, untuk
menjadi staff ahli presiden.
Penyelesaian Konflik di Papua: Dialog Papua - Indonesia || Page 2 of 8

Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia

Terdapat banyak Ilmuan dan Ilmuan aktivis yang memfokuskan penelitiannya pada
wilayah Papua. Para ilmuan dan ilmuan aktivis tersebut penulis golongkan kedalam aktor
ketiga. Tidak seperti aktor pertama dan kedua, ilmuan dan ilmuan aktifis tidak secara tegas
menolak salah satu gagasan. Argument yang dibangun oleh ilmuan dan ilmuan aktifis lebih
kepada kajian efektifitas dan scenario-skenario bila Dialog Papua – Indonesia dilaksanakan.
Ilmuan dan Ilmuan Aktivis lebih memusatkan perhatian pada diskusi tentang Apakah
keuntungan dan kerugian dari pelaksanaan Dialog Papua – Indonesia atau seberapa efektif
pelaksanaan Dialog Papua – Indonesia untuk menyelesaikan konflik substantive di Papua dan
sebagainya. Dengan kata lain, ilmuan dan ilmuan aktivis berperan sebagai aktor penyeimbang
yang dapat memberikan pertimbangan akademis substantive terkait Dialog Papua – Indonesia.

Paparan tentang urgensi beserta dampak pelaksanaan Dialog Papua – Indonesia
merupakan hal yang penting untuk diketahui baik oleh Penggiat HAM, Negara, juga
Masyarakat Papua. Masyarakat penting mengetahui hal tersebut karena masyarakat Papua
adalah aktor utama yang akan merasakan dampak sekaligus yang memiliki kebutuhan atas
pelaksanaan Dialog Papua – Indonesia. Oleh karena itu, Masyarakat Papua adalah aktor ke
empat dalam pro kontra gagasan Dialog Papua – Indonesia.
Masyarakat Papua yang dimaksud penulis kelompokkan menjadi tiga bagian.
Kelompok pertama adalah yang secara aktif pro terhadap gagasan Dialog Papua – Indonesia.
Kelompok pertama terdiri dari mahasiswa, keluarga korban kekerasan dan korban kekerasan.
Kelompok masyarakat pertama secara aktif mensosialisasikan urgensi dari gagasan Dialog
Papua – Indonesia lewat seminar, demonstrasi dan diskusi dari mulut kemulut.
Kelompok kedua adalah yang secara aktif kontra terhadap gagasan Dialog Papua –
Indonesia. Kelompok ini terdiri dari masyarakat yang berada dalam lingkaran pemerintahan
dan terutama yang memiliki kepentingan terhadap program kesejahteraan yang dibangun untuk
menyelesaikan konflik di Papua. Hampir serupa dengan yang dilakukan oleh kelompok
pertama, kelompok kedua juga mensosialisasikan gagasannya melalui seminar juga diskusi.
Argumentasi utama yang disampaikan oleh kelompok kedua adalah tentang pentingnya
menatap masa depan Papua dengan memandang Papua kedepan.
Kelompok ketiga adalah kelompok yang secara pasif pro atau kontra terhadap gagasan
Dialog Papua – Indonesia. Kelompok ini tidak banyak melakukan aksi dan hanya secara pasif


Penyelesaian Konflik di Papua: Dialog Papua - Indonesia || Page 3 of 8

Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia

menjadi bagian dari baik yang pro dan yang kontra terhadap gagasan Dialog Papua – Indonesia.
Kelompok ketiga secara ‘terombang-ambing’ menjadi bagian dari kelompok pertama dan
kedua berdasarkan kepentingan mereka. Kelompok ketiga tidak tertarik untuk secara aktif
terlibat dalam gagasan Dialog Papua – Indonesia yang dinilai politis. Kelompok ketiga lebih
tertarik terhadap keuntungan yang mungkin didapatkan baik ketika gagasan tersebut
dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
Seperti juga pemikiran masyarakat Papua pada kelompok ketiga, jika diamati gagasan
Dialog Papua – Indonesia merupakan gagasan yang sangat politis. Pertama karena proses
menuju pelaksanaannya

yang sangat politis,

pembahasan

yang dilakukan ketika


pelaksanaannya yang adalah pembahasan politis serta hasil akhir dari dialog tersebut yang akan
dinyatakan dalam kerangka politis baik itu pernyataan ataupun kebijakan. Posisi politis tersebut
tentu sangat strategis bagi aktor yang memiliki kepentingan politis seperti Organisasi Papua
Merdeka (OPM). Aktor kelima dalam pro kontra gagasan Dialog Papua – Indonesia adalah
OPM.
Berdiri pada tahun 1969 ketika pertama kali dilakukan pengibaran bendera Bintang
Kejora di Papua (dahulu disebut Irian Jaya), posisi OPM dalam pro kontra Dialog Papua –
Indonesia adalah sebagai penunggang. OPM sadar bahwa Dialog Papua – Indonesia akan
membawa keuntungan politis bagi OPM. Keuntungan tersebut terutama adalah karena terbuka
ruang bagi OPM untuk menyampaikan gagasannya lewat keterlibatan masyarakat dalam Dialog
Papua – Indonesia.
Perlu diingat, walaupun OPM adalah organisasi yang keberadaannya sangat rahasia
namun eksistensi OPM dalam masyarakat Papua sangat cair. Dengan posisi tersebut, OPM
sangat mungkin adalah masyarakat Papua pada umumnya. Eksistensi cair membuat OPM sulit
dideteksi keberadaannya. Demi mendorong gagasan Dialog Papua – Indonesia, terungkap fotofoto di jejaring sosial tetang kekerasan masa lalu.
Dokumen yang sering kali tidak terdapat kejelasan tetang tempat, waktu dan konteksnya
tersebut, mungkin saja menjadi bahan propaganda untuk mendorong masyarakat Papua (juga
masyarakat Indonesia dan dunia) pro terhadap gagasan Dialog Papua – Indonesia. Eksistensi
cair OPM dalam masyarakat Papua juga sangat diuntungkan oleh budaya tutur yang ada

ditengah masyarakat Papua. Lewat budaya tutur, ideologi dan cara pandang OPM dapat secara

Penyelesaian Konflik di Papua: Dialog Papua - Indonesia || Page 4 of 8

Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia

tidak sadar namun massif ditanamkan dan menghegemoni pemikiran aktor lain termasuk
Negara.

Struktur Interaksi serta Kondisi
Pembahasan pertama adalah bagaimana interaksi aktor Penggiat HAM dengan aktor
lainnya seperti Negara, Ilmuan, Masyarakat dan OPM. Baik terhadap Negara, Ilmuan,
Masyarakat dan OPM, interaksi yang terjadi adalah kooperatif. Interaksi tersebut terjadi karena
kebutuhan Penggiat HAM akan ruang penyelarasan antar pandangan yang menurut Penggiat
HAM adalah masalah utama mengapa konflik di Papua tidak pernah dapat diselesaikan.
Kondisi tersebut membuat Penggiat HAM membuka diri kepada semua aktor lain untuk
berinteraksi. Walau dalam tataran yang kompleks, Penggiat HAM akan berinteraksi koordinasi
dengan semua kelompok masyarakat Papua. Hal tersebut dilakukan Penggiat HAM karena
kebutuhannya untuk mensosialisasikan gagasan Dialog Papua – Indonesia secara massif
sebagai jalan keluar dari konflik berkepanjangan yang terjadi di Papua.

Pembahasan kedua adalah bagaimana interaksi aktor Negara dengan aktor lain seperti
Penggiat HAM, Ilmuan, Masyarakat dan OPM. Negara berinteraksi kooperasi terhadap ilmuan
dan masyarakat. Interaksi kooperatif yang dilakukan Negara terhadap ilmuan adalah karena
kebutuhan Negara akan masukan yang diberikan ilmuan guna membangun program bagi Papua
dan kebutuhan Negara akan evaluasi dari program sebelumnya yang telah diterapkan di Papua.
Tindakan kooperasi Negara terhadap ilmuan dinyatakan Negara dengan terbuka
terhadap rencana penelitian, penyediaan wadah, ketersediaan biaya penelitian serta ruang untuk
pemaparan hasil penelitian. Tindakan kooperasi Negara terhadap masyarakat dinyatakan
Negara dengan membangun program yang sesuai dengan kebutuhan peningkatan kesejahteraan
masyarakat serta layanan lain bagi masyarakat.
Negara berinteraksi konflik dengan OPM. Bagaimanapun, OPM merupakan organisasi
separatis dan Negara tidak akan mengakomodir tindakan apapun yang berakibat pada
membahayakan kedaulatan Negara. Kondisi dan gejolak apapun yang terjadi di Papua tidak
akan merubah pola interaksi Negara terhadap OPM.
Interaksi Negara terhadap Penggiat HAM akan terus berkembang seiring dengan
dengan kondisi yang berkembang baik di Papua maupun di Indonesia. Negara berinteraksi
Penyelesaian Konflik di Papua: Dialog Papua - Indonesia || Page 5 of 8

Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia


kooperasi dengan Penggiat HAM ketika diskusi yang disuguhkan Penggiat HAM adalah
tentang bagaimana pemenuhan HAM Orang Papua kedepan dan tentang maksud dari suatu
program diterapkan di Papua. Negara berinteraksi kompetisi dengan Penggiat HAM dalam
konteks gagasan tentang perlu atau tidaknya Dialog Papua – Indonesia terselenggara dan dalam
konteks bahwa program yang diterapkan di Papua sudah merupakan program yang tepat guna
menyelesaikan konflik di Papua menurut Negara. Ketika kompetisi tersebut berujung deadlock
sangat mungkin Negara berinteraksi konflik dengan Penggiat HAM dan mengasosiasikan
Penggiat HAM sebagai separatis.
Pembahasan ketiga adalah interaksi ilmuan dengan Penggiat HAM, Negara, Masyarakat
dan OPM. Dalam posisi netral, ilmuan akan berkoordinasi baik dengan penggiat HAM, Negara,
Masyarakat dan OPM. Doktrin dalam aktor Ilmuan adalah doktrin fakta sehingga penilaian
yang dilekatkan pada fakta ditiadakan. Kondisi peniadaan nilai tersebut yang dapat membuat
ilmuan berkoordinasi dengan aktor lainnya.
Pembahasan keempat adalah interaksi Masyarakat dengan Penggiat HAM, Negara,
Ilmuan dan OPM. Walau dalam pengelompokan yang kompleks, secara umum seluruh
kelompok masyarakat Papua berinteraksi kooperasi dengan aktor lain seperti Penggiat HAM,
Negara, Ilmuan dan OPM. Namun interaksi tersebut sangat tergantung dengan situasi pada saat
itu. Kecuali bagi kelompok ketiga yang memiliki keberpihakan pasif terhadap pro kontra
penyelenggaraan Dialog Papua –Indonesia.
Kelompok masyarakat yang secara aktif pro terhadap Dialog Papua – Indonesia akan

mengalami pergeseran relasi kearah kompetisi kemudian konflik terhadap Negara ketika
kemungkinan terlaksananya Dialog Papua – Indonesia semakin kecil. Kelompok ini juga akan
mengalami pergeseran relasi kearah konflik terhadap ilmuan yang menolak gagasan Dialog
Papua Indonesia. Bukan hanya itu, kelompok ini juga akan megalami pergeseran relasi kearah
integrative terhadap Penggiat HAM ketika semakin menganggap bahwa gagasan Dialog PapuaIndonesia adalah satu-satunya jalan menyelesaikan konflik di Papua. Hal tersebut berlaku
sebaliknya dalam relasi kelompok masyarakat yang secara aktif kontra terhadap Dialog Papua
– Indonesia.
Kelompok masyarakat yang secara aktif kontra terhadap gagasan Dialog Papua –
Indonesia memiliki interaksi yang sangat mungkin menjadi konflik terhadap OPM ketika
kemungkinan terlaksananya Dialog Papua – Indonesia semakin besar. Kelompok masyarakat
Penyelesaian Konflik di Papua: Dialog Papua - Indonesia || Page 6 of 8

Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia

yang secara aktif pro terhadap Dialog Papua – Indonesia memiliki interaksi sangat mungkin
bergeser menjadi integrasi terhadap OPM ketika kemungkinan terlaksananya Dialog Papua –
Indonesia semakin kecil.
Selain interaksi Masyarakat dengan aktor lain, terdapat juga interaksi antar kelompok
masyarakat. Kelompok yang secara aktif pro dan kontra terhadap gagasan Dialog Papua –
Indonesia akan memiliki relasi kompetisi mengarah ke konflik ketika pembahasan

penyelenggaraan Dialog Papua – Indonesia meruncing. Sedangkan kelompok yang secara pasif
pro dan kontra terhadap gagasan Dialog Papua Indonesia akan memiliki relasi koordinasi yang
stabil dengan dua kelompok lainnya.
Interaksi kelima adalah interaksi atara OPM dengan aktor lain seperti Penggiat HAM,
Negara, Ilmuan dan Masyarakat. Dengan keadaan OPM yang membutuhkan terselenggaranya
Dialog Papua – Indonesia, OPM berinteraksi koordinasi dengan seluruh aktor kecuali Negara.
Interaksi OPM dan Negara adalah konflik.

Tujuan yang Ingin Dicapai
Bukan tanpa tujuan tiap aktor saling berinteraksi dan bertahan dalam stand point
masing-masing. Penggiat HAM memiliki kepercayaan bahwa cara satu-satunya menyelesaikan
konflik di Papua adalah dengan menyediakan ruang guna penyelarasan dua pandangan yang
berbeda tentang penyebab konflik di Papua. Segala interaksi yang dilakukan oleh Penggiat
HAM terhadap aktor lain pada dasarnya adalah upaya untuk mewujudkan Dialog Papua –
Indonesia tersebut.
Negara sebagai yang kontra terhadap gagasan Dialog Papua – Indonesia memiliki tujuan
utama menjaga kedaulatan NKRI. Karena membuka ruang Dialog Papua – Indonesia akan
sangat beresiko terhadap kedaulatan NKRI. Membuka ruang Dialog Papua – Indonesia juga
berarti ‘menyerahkan’ statusquo bahwa pemerintah dapat secara mandiri menyelesaikan
konflik di Papua.
Ilmuan memiliki posisi netral terhadap gagasan Dialog Papua – Indonesia. Tujuan
Ilmuan adalah pengungkapan fakta dan data. Ilmu pengetahuan yang diciptakan bagi kebaikan
kehidupan masyarakat tentu akan berpihak pada yang paling banyak memberikan manfaat.
Posisi tersebut sangat berbeda dengan tujuan OPM. Apapun pertimbangannya, fokus OPM
Penyelesaian Konflik di Papua: Dialog Papua - Indonesia || Page 7 of 8

Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia

tetap pada terlaksananya Dialog Papua – Indonesia karena gagasan tersebut dapat mendekatkan
OPM pada tujuan utamanya yaitu pemisahan diri secara politis dari Indonesia.
Masyarakat Papua menginginkan kesejahteraan, juga pemenuhan rasa keadilan dan
kesetaraan dengan masyarakat lain di Indonesia. Baik yang secara aktif maupun pasif, pada sisi
yang pro atau kontra gagasan Dialog Papua – Indonesia tentunya memiliki keinginan yang sama
bagi masa depan. Kelompok masyarakat Pro mungkin saja bukan separatis namun hanya ingin
membuka tabir fakta-fakta yang dimungkinkan tersaji dengan terlaksananya Dialog Papua –
Indonesia. Kelompok yang kontra mungkin saja bukan apolitis namun hanya ingin melanjutkan
kehidupan dengan menatap murni kedepan tanpa meributkan masalalu.

Penyelesaian Konflik di Papua: Dialog Papua - Indonesia || Page 8 of 8