Legislasi Hukum Islam di Indonesia.pdf

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

LEGISLASI HUKUM ISLAM : LEMBAGA LEGISLATIF, EKSEKUTIF,
YUDIKATIF DAN POLITIK HUKUM ISLAM
Rijal Imanullah, S.HI

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Meskipun Islam bukan agama negara di Indonesia, tetapi Islam
mampu mensublimasi melalui tatanan hukum (fiqh dan syari’ah) yang
meresap dalam perilaku bangsa Indonesia. Hukum Islam yang berdasarkan
al-qur’an dan al-sunnah yang dikembangkan dengan ijtihad dalam konteks
masyarakat Indonesia yang heterogen dan plural berproses secara dinamis.
Perkembangan legislasi hukum Islam di Indonesia sudah ada sejak
masa penjajahan, selanjutnya berkembang setelah Indonesia merdeka
hingga era reformasi saat ini. Berkembangnya legislasi hukum Islam di
Indonesia tentu saja tidak lepas dari beberapa teori berkembangnya hukum
Islam seperti teori receptio in complexu1, teori receptie2, dan teori
reception a contrario.3
Dalam pembentukan legislasi hukum Islam tentu saja ada yang
berperan dalam hal tersebut. Hukum Islam yang telah dilegalkan dalam

bentuk perundang-undangan saat ini memiliki proses dalam prosedur
pembuatannya. Prosedur lahirnya suatu undang-undang telah diatur dalam
Inpres No. 15 tahun 1970 dan lembaga yang berwenang menangani hal
tersebut diatur didalamnya dan terdapat pula dalam Undang-undang Dasar
1945.

1

Kondisi di mana hukum Islam diterima secara menyeluruh, bahkan hukum adat
setempat sering menyesuaikan diri dengan hukum Islam. Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum
Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), h. 58.
2
Hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masing.
Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresapi dan diterima oleh hukum adat. Dengakan kata
lain hukum adat menentukan ada tidaknya hukum Islam. Ahmad Rofiq, Pembaharuan …, h. 63.
3
hukum adat baru akan berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam, wacana
materiilnya terbatas pada hukum-hukum yang diatur dalam perundang-undangan. Ahmad Rofiq,
Pembaharuan …, h. 73.


1

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan
permasalah dalam mekalah ini antara lain:
1. Bagaimana sejarah legislasi hukum Islam di Indonesia ?
2. Peranan lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif dan politik hukum
Islam dalam legislasi hukum Islam ?

II. PEMBAHASAN
A. Legislasi Hukum Islam
Legislasi berasal dari Bahasa Inggris “legislation”; making law; the
law made (pembuatan undang-undang atau perundang-undangan). Dalam
kamus edisi lengkap Bahasa Belanda, Indonesia, inggris disebut dengan
wet giving artinya perundang-undangan. Dalam Bahasa arab, legislasi
identik dengan tasyri’, bentuk masdar dari kata syara’a, artinya pembuatan
jalan raya menuju air kehidupan. Para ahli hukum Islam mengartikan
tasyri’ secara terminologi sebagai pembentukan garis-garis besar hukum

Islam atau pembentukan teori-teori hukum Islam (Islamic legal theory)
secara sistematis dan praktis.4 Berdasarkan hal tersebut, legislasi hukum
Islam dapat diartikan dasar atau aturan dalam hukum Islam yang telah
dimasukan perundang-undangan sehingga memiliki legalitas hukum.
Namun, dalam proses akomodir hukum Islam dalam hukum negara
memiliki proses yang pajang dalam sejarah Indonesia. Sejarah legislasi
hukum Islam di Indonesia dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
1. Legislasi Hukum Islam Sebelum Kemerdekaan
Perkembangan

pembaharuan

hukum

Islam

dalam

bentuk


perundang-undangan dan peraturan-peraturan hukum tidak terlepas
dari pengaruh yang ditimbulkan oleh penjajahan yang datang menjajah
di Indonesia. Sebelum penjajahan datang, hukum Islam yang berlaku
Mudzakkir Khotib Sirregar, “Legislasi dan Kodifikasi Hukum Islam”, dalam Jurnal el
Qonuny, Vol. 2, No. 1, 2016, h. 3.
4

2

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

secara tradisional dan berpedoman dengan kitab-kitab fiqh yang
dikembangkan para fuqoha pada masanya.
Masyarakat pada masa itu dengan rela dan patuh serta tunduk
mengikuti ajaran-ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan.
Namun, keadaan itu kemudian menjadi terganggu dengan munculnya
kolonialisme barat yang membawa misi tertrentu, mulai dari misi
dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi. 5
Sejak tahun 1800, para ahli hukum dan ahli kebudayaan Belanda
mengakui bahwa dikalangan masyarakat Indonesia Islam merupakan

agama yang sangat dijunjung tinggi oleh pemeluknya. Penyelesaian
masalah kemasyarakatan senantiasa merujuk kepada ajaran agama
Islam, baik itu soal ibadah, politik, ekonomi dan kemasyarakatan
lainnya. Atas fenomena ini, maka para pakar hukum Belanda
berkeyakinan bahwa ditengah-tengah komunitas itu berlaku hukum
Islam, termasuk dalam mengurus peradilan pun diberlakukan undangundang agama Islam.6
Melihat fenomena tersebut, Belanda memberikan pengakuan atas
kedudukan hukum Islam sebagai hukum yang berlaku. Melalui VOC
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie), dikeluarkanlah Resolute de
Indieshe Regeering yang berisi pemberlakuan hukum waris dan
perkawinan Islam pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia.
Resolusi ini dikenal dengan nama Compendium Freijer, yang
merupakan legislasi hukum Islam pertama di Indonesia.7 Pada masa ini
Van Den Berg dengan teori Receptio in complexu menyatakan bahwa
bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab dia telah memeluk

5

Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000), h. 46.

6
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama Di indonsia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), h. 8.
7
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 235-236.

3

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

agama

Islam

walaupun

penyimpangan-penyimpangan.

dalam


pelaaksanaannya

terdapat

8

Bukti Belanda secara tegas mengakui bahwa hukum Islam berlaku
bagi orang Indonesia yang bergama Islam. Pengakuan ini tertuang
dalam peraturan perundang-undangan tertulis pada pasal 78 reglement
op de beliedder regeerings van nederlandsch indie disingkat dengan
regreeings reglement (RR)

Staatsblad tahun 1854 No. 129 dan

Staatsblad tahun 1855 No. 2. Peraturan ini secara mengakui bahwa
telah diberlakukan undang-undang agama (godsdienstige wetten) dan
kebiasaan penduduk Indonesia. Pasal 78 RR berbunyi: “dalam hal
terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia asli atau dengan
orang yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk pada

putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka menurut UU
agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka.9
Dengan Staatblad 1882 No. 152 Belanda menetapkan pembentukan
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dengan tanpa mengurangi
legalitasnya dalam pelaksanaan tugas peradilan sesuai dengan
ketentuan kitab fikih.10 Kelahiran Staatblad ini berdasarakan keputusan
raja Belanda (konnink besluit) yakni raja Willem III tanggal 19 januari
1882 no. 24 yang dimuat dalam staatsblad 1882 no. 152. Badan
peradilan ini bernama Priesterraden yang kemudian lazim disebut
dengan rapat agama atau Raad Agama dan terakhir dengan pengadilan
agama. Keputusan raja Belanda ini dinyatakan berlaku mulai 1
Agustus 1882 yang dimuat dalam Staatblad 1882 no.153, sehingga

8

Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), h. 117-118.
9
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan …, h. 8.
10

Abnan Pancasilawati, Perkembangan Legislasi Hukum Islam dalam Pembentukan
Sistem Hukum Nasional: Tinjauan Juridis dan Politis, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 46. Staatblad
1882 no.152 berisi tujuh pasal, dimana pasal 1 menjadi dasar di bentuknya Peradilan Agama di
Jawad an Madura. Pasal 1 terbut berbunyi “Disamping setiap landraad (pengadilan negeri) di jawa
dan madura diadaklan satu pengadilan agama, yang wilayah hukumnya sama dengna wilayah
hukum landraad”. Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik Dan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), h. 81.

4

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

dengan demikian dapatlah dikatakan tanggal kelahiran badan peradilan
agama di Indonesia adalah 1 agustus 1882.11
Namun, teori Receptio In Complexu yang dikemukakan Van De
Berg mendapat kritikan tajam oleh Snouck Horgronje karena teori
Receptio In Complexu bertentangan dengan kepentinggan-kepentingan
pemerintah Hindia Belanda dan akhirnya mengemukakan teori
Receptie yang menurut teori ini hukum yang berlaku di Indonesia
adalah hukum adat asli. Hukum Islam baru mempunyai kekuatan kalau

dikehendaki dan diterima oleh hukum adat
Teori Receptie bertujuan untuk mengetahui peranan hukum Islam
dengan mengedepankan hukum adat atau bahkan mengganti hukum
Islam dengan hukum adat. Selain itu bertujuan untuk memperkuat
pemerintah kolonial dan adanya kepentingan pemerintah kolonial
dalam penyebaran agama kristen di wilayah Hindia Belanda. 12
Era receptie lahir setelah pemerintah Belanda mengeluarkan
Indeische Staatsregeling (IS) yang menggantikan regreeings reglement
(RR). Dalam IS tersebut diundangkan Stbl 1929 No. 212 yang
menyatakan bahwa hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum
Hindia Belanda. Substansi teori receptie tertuang jelas dalam pasal 134
ayat (2) yang menyatakan “Dalam hal terjadi perkara perdata antara
sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam
apabila hukum Adat mereka menghendakinya, dan sejauh itu tidak
ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi”. Dengan alasan hukum
waris Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat, pemerintah
Belanda kemudian menerbitkan Stbl. 1937 No. 116 yang berisikan
pencabutan wewenang Pengadilan Agama dalam masalah waris yang
sejak 1882 telah menjadi kompetensinya dan dialihkan ke Pengadilan
Negeri.13


Abdul Halim, Peradilan …, h. 51.
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan …, h. 10.
13
Abnan Pancasilawati, Perkembangan …, h. 47.

11
12

5

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

Setelah Belanda kalah dari Jepang, tahun 1942 Indonesia diduduki
oleh Jepang. Kebijaksanaan pertama yang dilakukan oleh Jepang
terhadap perundang-undangan dan pengadilan ialah bahwa semua
peraturan perundang-undangan yang berasal dari pemerintahan
Belanda tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan.14 Pada zaman
Jepang, posisi pengadilan agama tetap tidak akan berubah kecuali
terdapat perubahan nama menjadi Sooryo Hooin. Pemberian nama baru
itu didasarkan pada aturan peralihan pasal 3 Osanu Seizu 1942 No. 1. 15
Membicarakan tentang pelembagaan hukum Islam, tidak dapat
lepas dari lembaga peradilan agama. Pada zaman penjajahan Belanda
regulasi terhadap peradilan agama tertuang dalam Staatblad 1882 No.
152 tentang pembentukan peradilan agama di Jawa dan Madura,
Staatblad 1937 No. 638 dan No. 639 tentang peradilan agama di
Kalimantan selatan.16 Pengakuan atas kedudukan hukum Islam sebagai
hukum yang berlaku di Indonesia membuat Belanda mengeluarkan
Resolute de Indieshe Regeering atau yang lebih dikenal dengan nama
Compendium Freijer yang berisi pemberlakuan hukum waris dan
perkawinan Islam pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia. Bukti
tegas dengan lahirnya Staatsblad tahun 1854 No. 129 dan Staatsblad
tahun 1855 No. 2 dalam pasal 78. Pada masa penjajahan Jepang
regulasi terhadap peradilan agama tidak berubah sebagaimana saat
penjajahan Belanda, hanya nama dari peradilan agama di ubah menjadi
Sooryo Hooin berdasarkan Osanu Seizu 1942 No. 1. Dari uraiaan di
atas dapat disimpulkan bahwa legislasi hukum Islam masa penjajahan :
a. Staatsblad tahun 1854 No. 129 dan Staatsblad tahun 1855 No. 2
yang mengakui bahwa telah diberlakukan undang-undang agama
(godsdienstige

wetten)

dan

kebiasaan

penduduk

Indonesia

berdasasarkan pasal 78;
14

Basiq jalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006)., h.

15

Achmad Gunaryo, Pergumulan …, h. 96
Abnan Pancasilawati, Perkembangan …, h. 48.

60
16

6

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

b. Resolute de Indieshe Regeering atau Compendium Freijer tentang
pemberlakuan hukum waris dan perkawinan Islam pada pengadilan
VOC bagi orang Indonesia;
c. Staatblad 1882 No. 152 tentang pembentukan peradilan agama di
Jawa dan Madura, dan Staatblad 1937 No. 638 dan No. 639 tentang
peradilan agama di Kalimantan Selatan;
d. Osanu Seizu 1942 No. 1.
2. Legislasi Hukum Islam Setelah Kemerdekaan
Dengan

proklamasi

kemerdekaan

Republik

Indonesia

dan

keberlakuan UUD 1945 pada tanggal 17 dan 18 Agustus 1945,
kedudukan Hukum Islam secara umum tidak diubah dan masih
berfungsi sebagai sistem hukum khusus orang Islam di bidang tertentu.
Kedudukan tersebut diwujudkan melalui ketentuan bahwa Republik
Indonesia adalah negara berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila yang dimuat dalam Pembukaan dan pasal 29 Ayat (1) UUD 1945
yang sesuai dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Pasal 29 Ayat (1)
UUD 1945 diikuti dengan Ayat (2) yang berbunyi, “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu”.17
Kedudukan

Hukum

Islam

tersebut

dikukuhkan

melalui

keberlakuan peraturan perundangan Belanda. Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945 menetapkan: “Segala Badan Negara dan Peraturan yang
ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini”.18 Berdasarkan hal tersebut lembaga
peradilan agama masih tetap berlaku di Indonesia. Namun, pada tahun
1948 berdasarkan Undang-Undang No. 19 tahun 1948 tentang susunan
dan kekuasaan badan-badan kehakiman dan kejaksaan, peranan
Moh. Hatta, “Perkembangan Legislasi Hukum Islam di Indonesia”, dalam Jurnal AlQānūn, Vol. 11, No. 1, 2008, h. 156.
18
M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama, (Jakarta: Ind-Hill.Co, 1991), h. 84,
17

7

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

peradilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang
mandiri dihapuskan19. Peradilan agama menjadi bagian dari Peradilan
Umum. Untuk menangani perkara yang menjadi kewenangan dan
kekuasaan peradilan agama ditangani oleh peradilan umum secara
istimewa dengan seorang hakim yang beragama Islam sebagai ketua
dan didampingi dua orang hakim ahli agama Islam.20
Pada masa berikutnya, berdasarkan ketentuan pasal 98 UUD
sementara dan pasal 1 ayat (4) UU Darurat No. 1 tahun 1951,
pemerintah mengeluarkan PP No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan
Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa-Madura.21
Undang-Undang No. 23 tahun 1945 yang mengatur tentang
perkawinan,

talak,

dan

rujuk.

Undang-undang

ini

kemudian

ditindaklanjuti dengan Surat Biro Peradilan Agama No. B/1/735
tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan pelaksanaan Peraturan
Pemerintah No. 45 tahun 1957. Dimana pembinaan Peradilan Agama
berada dibawah Kementrian Agama berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 5/SD/1946.22
Setelah memasuki masa orde baru, banyak lahir peraturan
perundang-undangan yang menandakan bahwa hukum Islam telah
eksis di Indonesia, seperti Undang-Undang No. 1 tahun 1974 jo PP No.
tahun 1975 yang memberlakukan hukum Islam dalam bidang
perkawinan.23

19

Berdasarkan undang-undang ini kekuasaan kehakiman di Indonesia di laksanakan oleh
tiga lembaga peradilan yaitu: 1) Peradilan Umum; 2) Peradilan Tata Usaha Pemerintah; 3)
Peradilan Ketentaraan. M. Idris Ramulyo, Beberapa …, h. 84
20
Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata
Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 2003), h. 24.
21
Menurut ketentuan pasal 1, “di tempat-tempat yang ada pengadilan negeri ada sebuah
Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah, yang daerah hukum sama dengan daerah hukum
pengadilan negeri”. Sedangkan menurut ketentuan pasal 11, “apabila tidak ada ketentuan lain, di
ibu kota propinsi diadakan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah propinsi yang
wilayahnya meliputi satu, atau lebih, daerah, propinsi yang ditetapkan oleh menteri agama. Cik
Hasan Bisri, Peradilan Agama Di Indonesia. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 115.
22
Abnan Pancasilawati, Perkembangan …, h. 50.
23
Abnan Pancasilawati, Perkembangan …, h. 52

8

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

Kelembagaan Peradilan Agama yang sebelumnya berada di
bawah pembinaan Kementrian Agama melalui Undang-Undang No. 14
tahun 1970 tentang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
pemerintah mengakui kesejajaran Peradilan Agama dengan peradilan
lainnya sebagai pelaksana kekuasaan: “kekuasan kehakiman dilakukan
oleh peradilan dalam lingkungan : a) Peradilan Umum, b) Peradilan
Agama, c) Peradilan Militer d) Peradilan Tata Usaha Negara”. Dimana
kompetensi peradilan agama hanya berkenaan dengan perkawinan
dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 sebagai pegangan hukum
tertulisnya.24
Selain pelaksanaaan kekuasaannya sejajar dengan peradilan
lainnya, setelah disahkannya Undang-undang No. 7 tahun 1989
semakin menegaskan kedudukan hukum Islam yang berlaku secara
yuridis formal di Indonesia. Setelah undang-undang tersebut menjadi
hukum positif, peradilan agama berwenang memeriksa perkara-perkara
perdata di bidang perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, wakaf dan
sedekah bagi masyarakat yang beragama Islam.25
Selanjutnya, berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tanggal 10 Juni 1991 Kompilasi Hukum Islam (KHI) diberlakukan.
KHI diberlakukan di lingkungan peradilan agama di Indonesia yang
berfungsi sebagai petunjuk dalam memeriksa, mengadili dan
memutuskan perkara-perkara yang berhubungan dengan keperdataan
orang-orang

Islam. Positivisasi KHI merupakan hasil diskusi para

ulama yang digagas oleh Mahkamah Agung dan departemen agama
yang melibatkan berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia beserta
komponen masyarakat lainnya. 26
Selain perundang-undangan di atas masih terdapat peraturan
perundang-undangan lainnya yang secara formil maupun material
Abnan Pancasilawati, Perkembangan …, h. 54
Abnan Pancasilawati, Perkembangan …, h. 52.
26
Masruhan, “Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia Pada Masa Penjajahan Hingga
Masa Orde Baru”, dalam Jurnal Al-Hukama Vol. 1, No. 2, 2011, h. 129.
24

25

9

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam seperti UU No. 7/1992
tentang Perbankan Syari’ah, PP No.28/1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik, PP No.72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, dan lain-lain yang lahir pasca
kemerdekaan Indonesia.
Dari uraian di atas dapat dilihat perkembangan legislasi hukum
Islam pada masa pasca kemerdekaan:
Pertama, peradilan agama yaitu:
a. UU Darurat No. 1 tahun 1951 dan PP No. 45 tahun 1957 tentang
pembentukan peradilan agama di Jawa dan Madura;
b. Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman;
c. Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama;
Kedua, Hukum Islam, yaitu:
a. Undang-Undang No. 23 tahun 1945 tentang perkawinan, talak, dan
rujuk;
b. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo. PP No.
tahun 1975 tentang pelaksaan UU No. 1 tahun 1974;
c. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam;
d. Undang-Undang No. 7/1992 tentang Perbankan Syari’ah,
e. Peraturan Pemerinda No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik,
f. Peraturan Pemerinda No.72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil;
3. Legislasi Hukum Islam Era Reformasi
Pada era ini, terdapat beberapa tuntutan sekaligus harapan.
Tuntutan atau harapan yang relevan untuk terbentuknya hukum
nasional dengan mengakomodasi berbagai hukum lokal yang plural,
termasuk hukum agama (Hukum Islam).27

27

Moh. Hatta, “Perkembangan …, h. 159

10

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

Arah kebijakan pembangunan hukum nasional sebagaimana
diamanatkan oleh garis-garis besar haluan negara dalam ketetapan
Majelis

Pemusyawaratan

Rakyat

Republik

Indonesia

Nomor

IV/MPR/1999, yang antara lain mengamanatkan agar diakui dan
dihormati hukum agama (termasuk hukum Islam) dalam menata sistem
hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dan diupayakan agar
segala perundang-undangan, tidak bertentangan dengan moral agamaagama (termasuk agama Islam).28
Secara yuridis formal, ide untuk menggali dan memberlakukan
hukum sesuai dengan kesadaran masyarakat terdapat dalam pasal 27
ayat (1) Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuanketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang pada pokoknya
mengamanatkan hakim wajib “menggali, mengikuti dan memahami”
hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat. Filosofinya adalah
agar hukum dapat diterapkan sesuai dengan kesadaran dan diterima
masyarakat.29
Perkembangan hukum Islam pada masa ini mengalami kemajuan.
Secara riil hukum Islam mulai teraktualisasikan dalam kehidupan
sosial. Wilayah cakupannya menjadi sangat luas, tidak hanya dalam
masalah hukum privat atau perdata tetapi masuk dalam ranah hukum
publik. Hal ini dipengaruhi oleh munculnya undang-undang tentang
Otonomi Daerah. Undang-undang otonomi daerah di Indonesia pada
mulanya adalah UU No.22/1999 tentang pemerintah daerah, yang
kemudian diamandemen melalui UU No.31/2004 tentang otonomi
daerah. Menurut ketentuan Undang-undang

ini, setiap daerah

memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri termasuk
dalam bidang hukum. Provinsi Nangroe Aceh Darussalam merupakan
daerah terdepan dalam pelaksanaan hukum Islam di Indonesia. Dasar
hukumnya adalah UU No.44 tahun 1999 tentang Keistimewaan
28
29

Abnan Pancasilawati, Perkembangan …, h. 59.
Abnan Pancasilawati, Perkembangan …, h. 60.

11

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Undang-undang No. 18 Tahun
2001 tentang Nangroe Aceh Darussalam,

yang memberi otonomi

khusus kepada Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam untuk menerapkan syariat Islam.30
Melihat realita kebhinekaan dalam kebijakasanaan pembangunan
hukum Nasional tersebut berarti Hukum Islam

memiliki peluang

untuk bertransformasi ke dalam hukum Nasional. Berdasarkan hal
tersebut, Hukum Islam memiliki kekuatan yuridis dalam hukum
nasional, seperti lahirnya Kelahiran Undang-undang No. 10 Tahun
1998

tentang

Perbankan

yang

memberi

legislasi

terhadap

beroperasinya perbankan berdasarkan prinsip syariah, UU RI No.
17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Hají, Undang-undang No.
38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU RI No. 41 Tahun 2004
tentang Wakaf, UU RI No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga
Syariah Negara, UU RI No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang perubahan atas UU RI
No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.31
B. Lembaga Legislatif, Eksekutif dan Politik Hukum Islam
Sebagaimana sejarah legislasi hukum Islam yang berkembang di
Indonesia, tentu saja tidak lepas dari para pihak yang berwenang dalam
pembentukan undang-undang di Indonesia khususnya undang-undang
yang bernuansakan hukum Islam. Berdasarkan hal tersebut, lembaga
legislatif, eksekutif dan politik hukum Islam yang menjadi pembahasan
dibawah ini.
1. Lembaga Legislatif
Lembaga legislatif dalam sistem ketatanegaraan modern disebut
dengan parlemen yang mana para anggotannya dipilih oleh rakyat.
Edi Rosman, “Legislasi Hukum Islam Di Indonesia (Sejarah Dan Relevansi Praktis
Pembaharuan Hukum Nasional)”, dalam Jurnal Alhurriyah, Vo 1, No 1, 2016 , h. 41.
31
M. Fahmi Al Amruzi, “Membumikan Hukum Islam Di Indonesia”, dalam Jurnal AlBanjari, Vol. 14, No. 2, 2015, h. 181.
30

12

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

Parlemen menjadi intrumen penting dalam penyelenggaraan demokrasi
dan merupakan pengewajahan prinsip rakyat dalam bentuk perwakilan.
Dalam konsep demokrasi menempatkan pertisipasi sebagai inti, artinya
menghendaki

keikutsertaannya

masyarakat

dalam

pembuatan

kebijakan publik.32 Berdasarkan hal tersebut, lembaga legislatif
merupakan kekuasaan yang mencerminkan kedaulatan rakyat.
Lembaga legislatif atau lembaga perwakilan, menurut Jimly
Asshiddiqie memiliki 3 fungsi, yaitu fungsi pengaturan (legislasi),
fungsi pengawasan (kontrol) dan fungsi perwakilan (representasi).
Pertama, fungsi pengaturan. Fungsi pengaturan ini berkenaan dengan
kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara
dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi. Sehingga
kewenangan ini utamanya hanya dapat dilakukan sepanjang rakyat
sendiri menyetujui untuk diikat dengan norma hukum yang dimaksud.
Sebab, cabang kekuasaan yang diaggap berhak mengatur pada
dasarnya adalah lembaga perwakilan rakyar, maka peraturan yang
paling tinggi di bawah undang-undang dasar haruslah dibuat dan
dtetapkan oleh parlemen dengan persetujuan bersama dengan
eksekutif.33 Fungsi legislatif juga menyangkut empat bentuk kegiatan
sebagai berikut:34
a. Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initation);35
b. Pembahasan rancangan undang-undang (law making process),36
c. Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law
enactment approval),
d. Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian
atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen yang
Annisa Halida, “Presidensial, Partai Politik dan Parlemen (Suatu Hubungan Eksekutif
dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pasca Amandemen UUD 1945)”, Skripsi, Universitas
Sumatera Utaram 2009, h. 57.
33
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Sekertariat Jendral
dan Kepaniteraan Mahkamah Konsdtitusi Republik Indonesia, 2006), h. 32.
34
Jimly Asshiddiqie, Pengantar …, h. 34.
35
Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945.
36
Pasal 20 ayat (2)Undang-undang Dasar 1945.
32

13

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

mengikat lainnya (binding decision making on international
agreement and treaties or other legal binding document);
Kedua, fungsi pengawasan. Secara teoritis fungsi-fungsi kontrol
atau pengawasan oleh parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat
dapat dibedakan sebagai berikut:37
a.

Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (control of policy
making);

b. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control of policy
executing);
c. Pengawasan terhadap penganggaran dan belanja negara (control of
budgeting);
d. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja negara
(control of budget implementation);
e. Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan (control of govermnet
performences);
f. Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (control of
political appointment of public official) dalam bentuk persetujuan
atau penolakan, ataupun dalam bentuk pemberian pertimbangan
oleh DPR.
Parlemen haruslah terlibat dalam mengawasi proses perumusan dan
penentuan kebijakan pemerintahan, jangan sampai bertentangan
dengan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama oleh
parlemen bersama dengan pemerintah. Pada pokoknya, undang-undang
dasar dan undang-undang serta peraturan perundang-undangan
pelaksana lainnya mencerminkan norma-norma hukum yang berisi
kebijakan atau state policy yang dituangkan dalam bentuk hukum
tertentu yang tdaik boleh bertentangan dengan state policy yang
tertuang dalam bentuk hukum yang lebih tinggi. Setiap kebijakan
dimaksud, baik menyangkut bentuk penuangannya, sisinya, mapun

37

Jimly Asshiddiqie, Pengantar …,h. 36.

14

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

pelaksanaanya haruslah dikontrol dengan seksama oleh lembaga
perwakilan rakyat.38
Ketiga, fungsi perwakilan. Fungsi parlemen sebagai lembaga
perwakilan rakyat yang paling pokok adalah fungsi representasi atau
perwakilan itu sendiri. Lembaga perwakilan tanpa representasi tentulah
tidak bermakna sama sekali. dalam hubungan itu, penting dibedakan
antara pengertian representation in presence dan representation in
ideas. Pengertain pertama bersifat formal, yaitu keterwakilan yang
dipandang dari segi kehadiran fisik. Sedangkan, pengertian yang kedua
bersifat substantif, yaitu perwakilan atas dasar aspirasi atau idea.39
Dalam rangka pelenbagaan fungsi representasi itu, dikenal pula adanya
tiga sistem perwakilan yang dipraktikkan diberbagai negara demokrasi.
Ketiga fungsi itu adalah:40
a. Sistem perwakilan politik (political representation);
b. Sistem

perwakilan

teritorial

(territorial

atau

regional

representation);
c. Sistem perwakilan fungsional (functional representation).
2. Eksekutif
Eksekutif adalah cabang pemerintahan yang bertanggungjawab
mengimplementasikan atau menjalankan hukum. Dengan kata lain
eksekutif melaksanakan subtansi undang-undang yang telah disahkan
oleh lembaga legislatif. Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh
badan eksekutif yang biasanya terdiri dari kepala negara seperti raja

Jimly Asshiddiqie, Pengantar …,h. 37.
Dalam pengertian formal, keterwakilan itu sudah dianggap ada apabila secara fisik dan
resmi, wakil rakyat yang ter[ilih sudah duduk dilembaga perwakilan rakyat. Akan tetapi, secara
substansial, keterwakilan rakyat itu sendiri baru dapat dikatakan tersalur apabila kepentingan nilai,
aspirasi, dan pendapat rayat yang diwakili benar-benar telah memperjuangkan dan berhasil
menjadi bagian dari kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang
bersangkutan, atau setidaknya aspirasi mereka itu sudah benar-benar diperjuangkan sehingga
mempengaruhi perumusan kebijakan yang ditetapkan oleh palemen.
Jimly Asshiddiqie,
Pengantar …,h. 39.
40
Jimly Asshiddiqie, Pengantar …,h. 40.
38
39

15

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

atau presiden, beserta para menterinya. 41 Menurut Harold J Laski,
lembaga eksekutif adalah “alat yang berkewajiban melaksanakan
peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh badan pembuat undangundang dan bekerja di bawa pengawasan pembuatan undangundang.”42
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa presiden memiliki kekuasaan
eksekutif dimana presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan. Sebagai kepala negara, presiden adalah simbol resmi
negara. Sebagai kepala pemerintahan, presiden dibantu oleh wakil
presiden dan menteri-menteri kabinet, memegang kekuasaan eksekutif
untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.43 Presiden sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif memiliki beberapa wewenang antara
lain:
a. Memegang kekuasan pemerintahan menurut undang-undang dasar
1945;44
b. Mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Presiden
melakukan pembahasan dan pemberian persetujuan atas RUU
bersama DPR serta mengsahkan RUU menjadi Undang-undang;45
c. Menetapkan peraturan pemerintah penganti undang-undang;
d. Menetapkan peraturan pemerintah;46
3. Yudikatif
Selain badan eksekutif dan legislatif, indonesia pun memilki badan
yudikatif

indonesia

yang

berfungsi

menjalankan

kekuasaan

kehakiman. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hokum
dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
41

Budiardjo Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2005), h. 45 .
42
Annisa Halida, “Presidensial, …, h. 37
43
Murjani, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia Pasca Reformasi,
(Yogyakarta: Pustaka Prisma, 2012), h. 106
44
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945.
45
Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945.
46
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

16

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia.

47

Terdapat 3 lembaga yang menjalankan

kekuasaan kehakiman tersebut, yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi dan Komisi Yudisial.48
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa dalam menjalankan
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh 3 lembaga kehakiman. Pertama,
Mahkamah Agung merupakan pengadilan tingkat tertinggi (kasasi)
dari 4 peradilan di bawahnya,49 yang memiliki wewenang :
a. untuk mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang
diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
kecuali undang-undang menentukan lain;
b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang;50
Kedua, Mahkamah Kontitusi sesuai Pasal 24C Undang-Undang
Dasar 1945, berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum.51 Ketiga, Komisi Yudisial sesuai Pasal 24B
Undang-Undang Dasar 1945, merupakan lembaga mandiri yang
memiliki kewenangan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
47

Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 dan pasal 24 ayat (1) UndangUndang Dasar 1945.
48
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008), h. 350.
49
4 peradilan tersebut adalah Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan
Peradilan tata Usaha Negara. Lihat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009.
50
Lihat Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009. Putusan mengenai tidak
sahnya peraturan perundangundangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun
berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung. Lihat Pasal 20 ayat (3) UndangUndang Nomor 48 tahun 2009.
51
Lihat pula Pasal 29 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009.

17

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

menegakkan

kehormatan,

keluhuran

martabat,

serta

perilaku

hakim.52

Berdasarkan hal tersebut badan yudikatif sebagai badan yang
menjalankan kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar utama
selain

badan

eksekutif

dan

badan

legislatif

dalam

sistem

pemerintahan.
4. Politik Hukum Islam
Politik hukum seperti yang disampaikan oleh Mahfud MD adalah
garis resmi tentang hukum yang akan dibuat oleh negara untuk
mencapai

tujuan

dalam

waktu

tertentu.53

Ismail

Sunny,

mengilustrasikan politik hukum sebagai suatu proses penerimaan
hukum Islam digambarkan kedudukannva menjadi dua periode yakni
pertama, periode persuasive source di mana setiap orang Islam
diyakini mau menerima keberlakuan hukum Islam itu; dan kedua,
periode authority source di mana setiap orang Islam menyakini bahwa
hukum Islam memiliki kekuatan yang haruss dilaksanakan. Dengan
kata lain, hukum Islam dapat berlaku secara yuridis formal apabila
dikodifikasikan dalam perundang-undangan nasional.54
Transformasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan
merupakan produk interaksi antar elit politik Islam (para ulama, tokoh
ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan elit kekuasaan
(the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai
contoh, kebijakan politik negara terhadap legislasi hukum Islam yang
muncul yaitu lahirnya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan
PP No, 28 tentang perwakafan tanah milik. Keduanya memperkokoh
dalam peradilan dengan melahirkan UU No. 7 tahun 1989 tentang
peradilan

agama.

Untuk

memenuhi

substansi

hukum

Islam,

dikeluarkan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
52

Lihat pula Pasal 40 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009.
Sudarno Shobron, “Strategi Politik Hukum Islam Di Indonesia Masa Depan”, dalam
Jurnal Suhuf, Vol. 21, No. 1, 2009, h. 13.
54
Didi Kusnadi, “Hukum Islam Di Indonesia (Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum dan
Produk Hukum)” dalam http://badilag.net pada tanggal 06 Maret 2017.
53

18

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

selanjutnya disahkann pula UU No. 17 tahun 1999 tentang
penyelenggaraan Ibadah Haji dan UU No. 38 tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat.55
Adapun Prosedur pengambilan keputusan politik di tingkat
legislatif dan eksekutif dalam hal legislasi hukum Islam (legal
drafting) hendaknya mengacu kepada politik hukum yang dianut oleh
badan kekuasaan negara secara kolektif. Suatu undang-undang dapat
ditetapkan sebagai peraturan tertulis yang dikodifikasikan apabila telah
melalui proses politik pada badan kekuasaan negara yaitu legislatif dan
eksekutif, serta memenuhi persyaratan dan rancangan perundangundangan yang layak.56
Sebelumnya telah dijelaskan diatas peranan yang dimiliki lembaga
legislatif, eksekutif, dan politik hukum Islam dalam legislasi hukum Islam
dalam bentuk perundang-undangan. Selanjutnya berhubungan dengan
Ketentuan

yang

mengatur

proses

perundang-undangan

termasuk

perundang-undang yang bernuasa hukum Islam antara lain adalah Instruksi
Presiden No. 15 tahun 1970 yang mengatur garis-garis besar menyangkut
proses

pembentukan

undang-undang

dan

peraturan

pemerintah.

Berdasarkan Intruksi Persiden tersebut dapat diurutkan prosesnya sebagai
berikut:57
1. Masing-masing

Departemen

dan

Lembaga

Pemerintah

non

Departemen mempersiapkan rancangan undang-undang (RUU) dan
rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang menyangkut bidang
masing-masing;58
2. Menteri

atau

Kepala

Lembaga

Pemerintah

non

Departemen

melaporkan kepada presiden tentang pokok-pokok materi serta
urgensinya dan meminta persetujuan Presiden;59
Abnan Pancasilawati, Perkembangan …, h. 37.
Sudarno Shobron, “Strategi …, h. 14.
57
Amiroeddin Syarif, Perundang-Undangan: Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya,
(Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 139.
58
Pasal 1 Instruksi Presiden No. 15 tahun 1970.
59
Pasal 2 ayat (1) Instruksi Presiden No. 15 tahun 1970.
55

56

19

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

3. Apabila disetujui Presiden, Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintah
non Departemen tersebut membentuk panitia. Bila materinya
menyangkut bidang Departemen lain dan Lembaga Pemerintah non
Departemen tentunya dibentuk panitia antar Departemen dan Lembaga
Pemerintah non Departemen;60
4. Hasil dari panitia tersebut di atas diedarkan kepada :
a. Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintah non Departemen yang
erat hubungannya dengan materi yang diatur guna memperoleh
tanggapan dan pertimbangan;
b. Menteri

kehakiman

untuk

memperoleh

tanggapan

dan

pertimbangan dari sudut hukum;
c. Sekertaris
selanjutnya;

cabinet

untuk

persiapan

rancangan

tersebut

61

5. Tanggapan dan pertimbangan diterima dari menteri dan kepala
Lembaga Pemerintah non Departemen;
6. Untuk mengelola tanggapan dan pertimbangan tersebut, Departemen
atau Lembaga Pemerintah non Departemen pemrakarsa mengadakan
konsultasi

dan

kordinasi

dengan

Departemen

atau

Lembaga

62

Pemerintah non Departemen yang bersangkutan;

7. Hasil yang sudah memperoleh kebulatan pendapat atas materi RUU
dan RPP disampaikan kepada Presiden disertai penjelasan mengenai
pokok materi dari rancangan serta proses penggarapannya;63
Selanjutnya berdasarkan praktek yang telah berjalan selama ini
dapat ditambahkan runtutan proses berikutnya sebagai berikut:64
1. Pemerintah menyerahkan RUU kepada Pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat dengan disertai amanat presiden;

60

Pasal 2 ayat (2) Instruksi Presiden No. 15 tahun 1970.
Pasal 3 ayat (1) Instruksi Presiden No. 15 tahun 1970.
62
Pasal 4 Instruksi Presiden No. 15 tahun 1970.
63
Pasal 5 Instruksi Presiden No. 15 tahun 1970.
64
Amiroeddin Syarif, Perundang …, h. 140.

61

20

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

2. Apabila RUU tersebut disetujui oleh DPR maka oleh DPR
disampaikan kembali kepada Presiden dengan surat yang menyatakan
persetujuan tersebut;
3. Presiden mengesahkan RUU tersebut menjadi Undang-Undang dengan
menandatanganinya;
4. Meteri/Sekertaris Negara mengundangkan dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Repbulik Indonesia;
Sedangkan proses mengenai peraturan pemerintah menurut A.
Hamid, setelah Sekertaris Kabinet berpendapat, bahwa RPP telah selesai
disusun dan dianggap sudah baik, diajukan kepada presiden untuk
ditandatangani.

Dan

selanjutnya

Menteri/Sekertaris

Negara

mengundangkan dengan dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Repbulik Indonesia.65
Sebagaimana

pendapat

Montesquiue

berhubungan

dengan

pembagian kekuasaan negara dibagi menjadi tiga bagian yaitu kekuasaan
legislatif sebagai pembuat undang-undang, kekuasaan eksekutif yang
melaksanakan, dan kekusaan untuk menghakimi atau yudikatif.66 Sehingga
dalam melegislasikan hukum Islam dalam perundang-undangan perlu
proses melalui lembaga legislatif dan eksekutif, dan ketika perundangundangan tersebut telah disetujui, perlu dilakukan uji materi terhadap
undang-undang tersebut melalui badan yudikatif.

III. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa sejarah
legislasi hukum Islam terbagi menjadi tiga periode, yaitu periode penjajahan,
periode pasca kemerdekaan dan periode era reformasi. Periode penjajahan
legislasi hukum Islam bermula dari lahirnya Staatsblad tahun 1854 No. 129
dan Staatsblad tahun 1855 No. 2, Resolute de Indieshe Regeering atau
Compendium Freijer, Staatblad 1882 No. 152, dan Staatblad 1937 No. 638
65
66

Amiroeddin Syarif, Perundang …, h. 140.
Jimly Asshiddiqie, Pengantar …,h. 13.

21

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

dan No. 639. Periode pasca kemerdekaan lebih banyak menghasilkan legislasi
hukum Islam diantaranya yaitu UU No. 7 tahun 1989, UU No. 1 tahun 1974
jo. PP No. tahun 1975, Inpre No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam, UU No. 7tahun 1992. Periode reformasi menghasilkan UU No. 17
tahun1999, UU No. 38 Tahun 1999, UU No. 41 Tahun 2004, UU No 21
Tahun 2008, UU No.50 tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Sehubungan dengan lahirnya undang-undang dan peraturan pemerintah
di atas, lembaga legislatif, eksekutif, dan politik hukum Islam berperan dalam
lahirnya legislasi hukum Islam dalam perundang-undangan di Indonesia. Di
mana proses pembentukan undang-undang tersebut melalui proses lembaga
legislatif dan eksekutif, kemudian hasilnya di uji materi oleh lembaga
yudikatif.

‫وهللا اعلم بالصواب‬

22

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

DAFTAR PUSTAKA
Al Amruzi, M. Fahmi, “Membumikan Hukum Islam Di Indonesia”, dalam Jurnal
Al-Banjari, Vol. 14, No. 2, 2015.
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekertariat
Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konsdtitusi Republik Indonesia,
2006.
Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008.
Gunaryo, Achmad, Pergumulan Politik Dan Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006.
Halida, Annisa, “Presidensial, Partai Politik dan Parlemen (Suatu Hubungan
Eksekutif dan Legislatif Dalam Sistem Politik Pasca Amandemen UUD
1945)”, Skripsi, Universitas Sumatera Utaram 2009.
Halim, Abdul, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000.
Hamami, Taufiq, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata
Hukum Indonesia, Bandung: Alumni, 2003.
Hatta, Moh., “Perkembangan Legislasi Hukum Islam di Indonesia”, dalam Jurnal
Al-Qānūn, Vol. 11, No. 1, 2008.
Jalil, Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (akarta: Prenada Media Group, 2006.
Kusnadi, Didi, “Hukum Islam Di Indonesia (Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum
dan Produk Hukum)” dalam http://badilag.net pada tanggal 06 Maret
2017.
Masruhan, “Positivisasi Hukum

Islam Di Indonesia Pada Masa Penjajahan

Hingga Masa Orde Baru”, dalam Jurnal Al-Hukama Vol. 1, No. 2, 2011.
Miriam, Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2005.
23

Legislasi Hukum Islam (Revisi)

Murjani, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia Pasca Reformasi,
Yogyakarta: Pustaka Prisma, 2012.
Pancasilawati,

Abnan,

Perkembangan

Legislasi

Hukum

Islam

dalam

Pembentukan Sistem Hukum Nasional: Tinjauan Juridis dan Politis,
Bandung: Alfabeta, 2009
Praja, Juhaya S., Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991.
Ramulyo, M. Idris, Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama, Jakarta: Ind-Hill.Co, 1991.
Rofiq, Ahmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama
Media, 2001.
Rosman, Edi, “Legislasi Hukum Islam Di Indonesia (Sejarah Dan Relevansi
Praktis Pembaharuan Hukum Nasional)”, dalam Jurnal Alhurriyah, Vo 1,
No 1, 2016.
Shobron, Sudarno, “Strategi Politik Hukum Islam Di Indonesia Masa Depan”,
dalam Jurnal Suhuf, Vol. 21, No. 1, 2009.
Sirregar, Mudzakkir Khotib, “Legislasi dan Kodifikasi Hukum Islam”, dalam
Jurnal el Qonuny, Vol. 2, No. 1, 2016.
Syarif,

Amiroeddin,

Perundang-Undangan:

Dasar,

Jenis

dan

Teknik

Membuatnya, Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Wahyudi, Abdullah Tri, Peradilan Agama Di indonsia, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.

24