Sekilas Sejarah Kerajaan Melayu di Dharm

Sekilas Sejarah Kerajaan Melayu di
Dharmasraya
Disarikan Oleh

Frinaldi, ST., M.Sc
frinaldi24120@alumni.itc.nl ; frinaldi@ymail.com

Very little is known about the history of Dharmasraya,
which apparently played an important role during the
time when the Malayu kingdom adapted to the
changing geopolitical circumstances and became more
focused in exploiting the resources of the interior.
In fact there are three locations that played major roles
in the MALAYU KINGDOM of ADITYAWARMAN were
(1) SUROASO, the capital in the Minangkabau
highlands, (2) DHARMASRAYA, the main reloading
point where the natural resources from the surrounding
areas where collected, and (3) MUARA JAMBI and/or
other ports in the Muara Sabak / Koto Kandis region
along the Kuala Niur, the navigable branch of the lower
Batang Hari, which formed the gateway to international

trade. (The Tanjung Tanah Code Of Law - The Oldest Extant Malay
Manuscript, Ulrich Kozok, Ph.D.; St Catherine’s College and The
University Press; Cambridge - 2004)

Kawasan DAS Batang Hari semenjak ribuan tahun lalu
telah menjadi sarana transportasi dan denyut kehidupan
manusia masa lampau.1 Khususnya pada abad VII sampai
dengan abad XIV Masehi yang berdasarkan bukti peninggalan
sejarah merupakan masa keemasan kerajaan-kerajaan HinduBudha.2 Di Kabupaten Dharmasraya sendiri pada periode
tersebut berdasarkan bukti sejarah yang ada telah berdiri
1

Sungai Batang Hari yang berhilir di kawasan Sumatera Barat,
tepatnya di Gunung Talang, Solok merupakan Daerah Aliran Sungai
(DAS) yang sangat panjang, melintasi wilayah Minang Kabau. Hulu
Sungai ini dimulai di Daerah Mudik Air, Sungai Dareh, Rambahan,
Siguntur, Sungai lansek, Sitiung, Padang Laweh, kemudian masuk ke
wilayah Provinsi Jambi, dan seterusnya ke Timur sampai bermuara ke
laut.
1


sebuah Kerajaan Melayu yang dipimpin oleh Aditiawarman3
dengan pusat pemerintahan di Dharmasraya. 4
Kawasan kepurbakaan di DAS Batang Hari tersebut
khususnya di Kabupaten Dharmasraya tersebar dari mulai arah
hulu sungai Batang Hari di daerah Rambahan (Lubuk Bulang –
Kec. Pulau Punjung) – Siguntur (Kec. Sitiung) – Sungai Lansek
(Kec. Sitiung) – sampai ke Padang Laweh (Kec. Koto Baru).
Bukti-bukti sejarah tentang keberadaan Kerajaan Melayu di
Dharmasraya tersebut sebahagian sudah ditemukan seperti
situs-situs candi, patung Amoghapasa (Patung Adityawarman
2

3

Dalam catatan sejarah, yang menguasai wilayah sepanjang DAS
Batang Hari di pedalaman adalah Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang
memerintah hampir bersamaan, tetapi saling kuasa menguasai satu
dengan yang lainnya. Dari berita Cina yang ditulis I-tsing, disebutkan
bahwa suatu saat (sekitar tahun 670-an) Kerajaan Melayu pernah menjadi

bagian dari Kerajaan Sriwijaya (Groenevelt, 1960). Antara kedua kerajaan
ini terjadi persaingan dan saling mendominasi satu dengan yang lain.
Suatu saat, ketika Sriwijaya lengah, Melayu bangkit kembali dengan
mengirimkan utusannya ke Cina, sebagai contoh, pada sekitar
pertengahan abad XI M, ketika kerajaan Sriwijaya melemah karena
serangan Kerajaan Cola, Melayu memanfaatkan kesempatan untuk
bangkit kembali. Sebuah prasasti yang ditemukan di Srilangka
menyebutkan bahwa pada masa Pemerintahan Vijayabahu di Srilangka
(1055 – 1100 M), Pangeran Suryanarayana di Malayapura (Malayu)
berhasil memegang tampuk pemerintahan di Suwarnapura (Sumatera)
(Wolters, 1970: 92-92).
Dari catatan sejarah Jawa Kuna, diketahui bahwa Adityawarman
merupakan keturunan Kerajaan Melayu dari seorang Ibu Melayu
bernama Dara Jingga dan seorang bangsawan Singasari (Jawa) bernama
Adwayabrahma. Adwayabrahma adalah Pejabat dari Kerajaan Singasari
yang dikirim Kartanegara untuk mengiringi pengiriman arca Amoghapasa
ke Suwarnabhumi. Adyawabrahma muncul pula dalam prasasti Kuburajo I
yang ditemukan di Lima Kaum, Kec. Lima Kaum, Kab. Tanah Datar,
dengan sebutan nama belakang berbeda, yaitu Adwayawarman. Prasasti
Kuburaso I dipahatkan pada batau persegi denagn huruf jawa kuno dan

bahasa sanskerta, yang anatara lain menyebuitkan : ”Adwayamarmma
mputra kanakamedinindra” yang berarti Adwayamwarma yang berputra
raja Tanah emas. Tanah Emas (kanakamedini) identik dengan swarna
bhumi atau swarnadwipa yang mengacu pada aryti tanah emas,. Dengan
demikian sebutan raja tanah emas ini diperuntukkan bagi Adityawarman.
Adityawarman juga pernah muncul di masa kerajaan Majapahit,
disebutkan dalam prsasti yang dipahatkan pada bagian belakang arca
manjusri dicandi jago (jawa timur). Menurut beberapa sarjana, prasasti
ini mempunyai ciri dan gaya sama dengan tulisan-tulisan yang bereda
pada masa Adityawarma. Dengan demikian, diperkirakan prasasti dari
arca menjusrio ini ditulis oleh Adityawarman sendiri pada tahun 1343 M
(Casparis, 1992:248). Isi yang terkandung dalam prasasti ini
menyebutkan Adityawarman yang menjabat sebagai Menteri Wreddaraja,
membangun (memperbaiki) sebuah candi yang diperuntukkan bagi
keluarganya. Didalam prasasti ini juga Adityawarman menyebutkan
tentang tokoh Rajapatni, Anak karta negara yang kemudian dijadikan Istri
2

yang saat ini berada di Museum Nasional Jakarta), arca-arca,
artefak-artefak dan perkuburan raja-raja.

Pejabat yang diperintah oleh Raja Kertanegara untuk
mengiringi arca Amoghapasa tersebut adalah Rakryan
Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah
Sugatabrahma, Samgat Payanan Hang Dipangkara, dan
Rakryan Dmung Pu Wira. Seluruh rakyat Melayu dari keempat
Kasta (Brahmana, Kesatria, Waisya Dan Sudra) bersuka cita,
terutamanya Rajanya yang bernama Srimat Tribhuwanaraha
Mauli Warmadewa. Arca Amoghapasa yang dikirim tersebut
kemudian ditemukan di situs Rambahan, sedangkan alas
arcanya ditemukan di dusun Padangroco, Sei Lansek, sekitar 5
Km arah hilir Sungai Batang Hari. Baik arca maupun alas
kakinya sekarang berada di Museum Nasional, Jakarta.
Dari data prasasti Dharmasraya dapat diketahui bahwa
arca Amoghapasa yang dikirim dari Kertanegara sebagai tanda
persahabatan tersebut kemudian didirikan di Dharmasraya,
suatu tempat yang penting artinya, kemungkinan adalah Pusat
(Ibukota) Pemerintahan dengan Rajanya bernama Srimat
Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa.
Keberadaan Kerajaan Swarnabhumi di Dharmasraya di
bawah kekuasaan Aditiawarman tidak dapat dilepaskan dari

sejarah Kerajaan Melayu Jambi.5 Bermula dari Ekspedisi
Raden Wijaya (Pendiri Kerajaan Majapahit). Dengan demikian, sebelum
Adityawarman menjadi raja di malayu, dia menjabat sebagai menteri
wreddaraja pada masa kerajaan majapahit. Kemudian pada tahun 1347 M
, Adityawarman telah berada di kerajaan melayu di DAS Batang Hari
dengan menyebut sebagai seorang Maharatdiraja Adityawarman.
4

Perubahan
pusat
pemerintahan
tersebut
dapat
ditelusuri
berdasarkan pada Prasasti Dharmasraya yang dipahatkan pada lapik/alas
kaki arca Amoghapasa. Alas kaki tersebut ditemukan di Padangroco,
sementara Arca Amoghapasa sendiri ditemukan di situs Rambahan.
Prasasti Dharmasraya ditulis dalam huruf Jawa Kuna, dengan bahasa
Melayu Kuna dan Sanskerta. Prasasati ini dipahatkan dalam 4 (empat)
baris tulisan pada ketiga sisi alas arca (Hasan Jafar, 1992:57). Isi prasasti

menyebutkan bahwa pada tahun 1208 Saka (1286 M). Sebuah arca
Amoghapasa dengan keempatbelas pengiringnya dan Saptaratna di bawa
dari Bhumi Jawa ke Suwarnabhumi untuk ditempatkan di Dharmasraya
sebagai punya Sri Wiswarupakumara:

5

Malayu merupakan sebuah kerajaan yang dianggap penting pada masa
itu, dan eksistensinya diakui oleh berbagai kerajaan, tidak hanya di
Nusantara tetapi juga sampai ke Negeri Seberang. Eksistensi tersebut
juga diakui oleh Kerajaan Majapahit, kerajaan yang cukup besar pada
masa itu di Jawa. Di dalam naskah kuno, Nagaraktragama Pupuh XIII:1
dan 2 disebutkan (Bambang Budi Utomo, 1992:182).
1.
Terperinci demi Pulau Negara bawahan, paling dahulu
Malayu, Jambi, dan Palembang, Karitang, Teba, dan Dharmasraya
3

Melayu I tahun 1275, dua gadis Kerajaan Melayu Jambi masingmasing Dara Petak dan Dara Jingga dibawa balatentara
Singosari yang dipimpin oleh Panglima Raden Wijaya ke

Pulau Jawa. Dalam perjalanan, Kerajaan Singosari runtuh
akibat pemberontakan. Panglima Raden Wijaya meneruskan
perjalanannya ke arah timur Pulau Jawa dan membangun
kerajaan baru Majapahit. Panglima Raden Wijaya yang menjadi
raja pertama Majapahit, langsung mengawini Dara Petak dan
menjadi
sebagai
permaisuri.
Sedangkan
Dara
Jingga
dikawinkan dengan Pangeran Adwayarman.
Keturunan dari perkawinan Dara Jingga dengan
Pangeran Adwayarman yang bernaman Aditiawarman pada
tahun 1347 ditunjuk menjadi Raja Melayu Jambi yang
ditaklukkan Majapahit, berkedudukan di Jorong Siguntur
(yang sekarang merupakan wilayah Kecamatan Sitiung
Kabupaten Dharmasraya).
Aditiawarman menduduki tahta Kerajaan Swarnabhumi
dalam

tahun
1348
menggantikan
raja
sebelumnya
6
Mauliwarmadewa.
Aditiawarman memerintah Kerajaan
Swarnabhumi yang berpusat di Dharmasraya dari tahun 1347
hingga 1375. Meninggal dunia pada tahun 1375 dalam usia 85
tahun.

6

pun juga ikut disebut Kandis, Kahwas, Panangkabwa, Siyak, Rekan,
Kampar, dan Pane, Kampe, Haru, dan Mandahiling juga, Tumihang,
Parlak, dan Barat.
2.
Luas dengan Samudra dan Lamuri, Batan, Lampung, dan
Barus. Itulah terutama negara-negara melayu yang telah tunduk.

Dari naskah di atas, jelas menunjukan bahwa Malayu merupakan salah
satu kerajaan taklukan Majapahit yang cukup penting, sehingga perlu
disebutkan paling awal. Daerah Kekuasaan Kerajaan Malayu meliputi
hampir seluruh Daratan Sumatera, dengan daerah “bawahan” antara lain:
Jambi, Dharmasraya, Kandis, dan Minangkabwa yang berlokasi di Daerah
Aliran Sungai (DAS) Batang Hari Bambang Budi Utomo, Loc.cit). Karena
Jambi disebutkan pertama, Jambi
merupakan tempat yang sangat
penting pada saat itu dan bukan lagi sebagai pusat (Ibu Kota) Kerajaan.
Pada Masa Raja Kartanegara dari kerajaan Singasari, Pusat
pemerintahan kerajaan malayu sudah berrada di Dharmasraya, yang
lokasinya berada di bagian hulu Batang Hari (sekarang di daerah
Rambahan, Jorong Lubuk bulang Nagari IV koto Pulau Punjung Kec.
Pulau Punjung Kab. Dharmasraya).
Sejarah Kerajaan Melayu pada masa Tribhuwanaraja Mauli
Warmadewa hanya sebatas data prasasati Dharmasraya 1286 M,
selanjutnya pada tahun 1437 M, Raja yang memerintah di Kerajaan
Melayu berubah ke tangan Sri Maharajadiraja Adityawarman, yang
menyebut dirinya dengan nama Srimat Sri Udayadityawarman. Data ini
dapat diketahui berdasarkan pada prasasati yang dipahatkan pada bagian

belakang (punggung) arca Amoghapasa yang dikirim Kartanegara untuk
Raja Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa.
4

MANUSKRIP TANJUNG TANAH
Salah satu bukti sejarah tertulis yang ditemukan tentang
sejarah Kerajaan Melayu di Dharmasraya adalah sebuah
tulisan yang ditulis di media kertas yang dibuat dari kulit pohon
Mulberry (Broussonetia papyrifera Vent.), yang dikenal dengan
dluwang. Manuskrip ini ditemukan di Desa Tanjung Tanah
oleh Petrus Voorhoeve yang mengunjungi Sumatra tepatnya
di Kabupaten Kerinci pada bulan April dan Juli 1941 sehingga
disebut juga dengan MANUSKRIP TANJUNG TANAH. Nama
Dharmasraya terdapat dalam manuskrip ini, yang merupakan
tempat dimana Patung AMOGHAPASA yang dikirim oleh raja
Jawa pada tahun 1208 Saka (1286 M).
MANUSKRIP TANJUNG TANAH Berukuran 10 x 15 cm
yang terdiri dari 17 lembar dan ditulis pada kedua sisinya serta
diman setiap halaman berisi tujuh baris tulisan dan tidak dijilid
serta tidak memiliki cover dan ditulis dengan tinta hitam.
Transliterasi terhadap manuskrip dibuat oleh Philologist
Poerbatjaraka pernah hilang pada waktu perang, dan
ditemukan kembali oleh Antropolog Inggris pada tahun 1975.
Manuskrip ini merupakan booklet kecil yang ditulis pada
media deluwang, dimana dua halaman merupakan tulisan
rèntjong, dan halaman lainnya adalah tulisan Jawa Kuno, serta
Kebanyakan
isinya
berisi
daftar hukuman/denda
dan
merupakan Buku Perundang-undangan Sarasamucchaya Versi
Melayu.
Manuskrip Tanjung Tanah merupakan bukti jelas bahwa
budaya menulis di Kerajaan-kerajaan Melayu telah ada sebelum
pengaruh Islam masuk di Masyarakat Pesisir Asia Tenggara.
Biasanya aturan-aturan hukum pada periode Islam dibuka
dengan kalimat Bismillahi 'rrahmani 'rrahim, namun Manuskrip
Tanjung Tanah jelas ditulis sebelum masuknya Islam ke
Nusantara karena dimulai dengan kalimat Sanskrit, dan
ditandai dengan bulan-bulan Waisyak Tahun Saka.
MANUSKRIP TANJUNG TANAH DAN DHARMASRAYA
Disebutkan dalam Manuskrip Tanjung Tanah pada halaman
29 dan 30 bahwa Penguasa saat itu Paduka Ari Maharaja
Drammasraya (ditulis Drammasaraya dan Drammasraya),
dimana aturan hukum yang ada mengikat seluruh wilayah
Kerinci (saisi bumi Kurinci), yang berbunyi :

5

nyatnya titah maharaja drammasaraya // yatnya yatna
sidang mahatnya saisi bumi kurinci si lunju kurinci //
sasta likitang kuja ali dipati diwaseban di bumi
palimbang di hadappan paduka ari maharaja
drammasraya //&//..//
Ini merupakan titah dari Maharaja Drammasaraya [...]
Yang diagungkan diseluruh Daerah Kurinci [...] di
tempat pertemuan daerah Palimbang, di hadapan
Paduka Ari Maharaja of Drammasraya"
HUBUNGAN KERAJAAN SINGOSARI & MALAYU di
DHARMASRAYA
(Beberapa Teori Penjelasan)
Tujuan utama Krtanagara’s dari Kerajaan Singosari
menyerang Kerajaan Melayu adalah untuk menaklukan
Sumatera berdasarkan jejak sejarah yang terdapat pada Lapik
Patung Amoghapasa yang ditemukan di daerah Rambahan –
Lubuk Bulang, Kec. Pulau Punjung Kabupaten Dharmasraya.
Pada tahun 1208 Saka (1286 M) Krtanagara Raja Singasari
memberikan hadiah berupa patung Budha (Amoghapasa)
kepada Penguasa Kerajaan Melayu. Patung tersebut di bawa
dari Jawa ke Sumatra dan ditempatkan di Dharmasraya
(diantuk dari bhumi Jawa ka Swarnnabhumi dipratistha di
Dharmmasraya), dan seluruh penduduk di Bhumi Malayu [...],
dan khususnya Raja Srimat Tribuanaraja Mauliwarmadewa,
rejoiced at the presentation of the gifts" (Krom 1931:336).
Teori lainnya dikemukakan oleh C.C. Berg
yang
mengemukakan bahwa Ekspedisi Pamalayu dan ekspedisi
lainnya dari penguasa-penguasa di Jawa merupakan bagian dari
far-reaching imperialistic dan secara sistematis telah
direncanakan, yang bertujuan untuk menyatukan Nusantara
(Jawa dan Sumatra) untuk menhadapi kemungkinan serangan
dari China dengan membentuk Aliansi anti-Mongol (Berg 19501951).
Teori Berg ini juga diperbaharui oleh De Casparis, yang
menyatakan bahwa pemberian Patung Amoghapasa harus
dilihat sebagai bentuk ungkapan persahabatan untuk
membentuk aliansi dengan tujuan ganda, yaitu untuk
memperluas Pengaruh Kerajaan Singhasari ditengah makin
melemahnya Pengaruh Kerajaan, dan untuk membentuk sebuah
Konfederasi Malaya dibawah Kerajaan Singhasari untuk
menghadapi potensi serangan dari pasukan Kublai Klan
(Casparis 1989, 1992).

6

HUBUNGAN SINGOSARI - SRIWIJAYA - MALAYU
DHARMASRAYA
Salah satu Candi di Muara Jambi, Candi Gumpung,
memiliki kemiripan dengan Candi Jawi di Jawa Timur yang
merupakan candi pemujaan dari Krtanagara, sehingga dapat
disimpulkan bahwa Krtanagara sepertinya berusaha untuk
menjadikan Jambi sebagai titik strategis dengan mengirimkan
pasukan dan buruh untuk membangun tempat Pemujaan
Buddha di. (Suleiman 1982).
Krtanagara tidak saja mengembangkan pengaruhnya di
Muara Jambi, tetapi juga sampai ke Dharmasraya, hal ini
dibuktikan
dengan
pemberian
patung
Amoghapasa.
Penempatan patung ini oleh Krtanagara di Dharmasraya,
secara kontektual dapat diartikan sebagai bentuk pengakuan
Dharmasraya sebagai Ibukota baru.
Dengan
pindahnya
Ibukota
Kerajaan
Melayu
ke
Dharmasraya, berakibat hilangnya monopoli perdagangan
maritim di Selat Melaka yang merupakan gerbang ke Thai dan
Jawa, sehingga perekonomian diarahkan pada ekplorasi potensi
Sumber Daya Alam Pertanian (land-based resources).
Dharmasraya, terletak tepat di perbatasan antara Jambi
dan Minangkabau, dan merupakan lokasi yang ideal untuk
merumuskan kembali identitas kerajaan Malayu baru sebagai
Kerajaan berbasis Sumber Daya Alam Pertanian (land-based
state), yang diperkaya dengan konsep politik dan kelembagaan
yang dibawa dari Java Timur
Manuskrip Tanjung Tanah mengindikasikan bahwa
Dharmasraya merupakan tempat pengaturan perdagangan di
daerah perdalaman yang terindikasi dengan adanya kerjasama
yang erat dengan Lembah Kerinci hingga Palembang
sebagaimana pada halaman 29 – 30.
Penguasa Dharmasraya menyadari pentingnya untuk
mengatur perdagangan dengan Kerinci yang dikenal dengan
deposit emasnya yang sangat besar dan menarik bagi Penguasa
Kerajaan Malayu dimana pada manuskrip tersebut ditemukan
aturan yang dikeluarkan Maharaja Dharmasraya yang berbunyi
“barangsiapa yang terbukti menipu dalam menimbang
[...] akan didenda sebesar satu dan seperempat tahil
emas

7

HUBUNGAN SARUASO - DHARMASRAYA – MUARO
JAMBI
Dharmasraya berlokasi di jalur utama perdagangan dari
Dataran Tinggi Minangkabau (SARUASO) menuju Ibukota
Jambi Lama di pesisir pantai, dimana Penguasa Dharmasraya
menurut Manuskrip Tanjung Tanah bergelar Maharaja, yang
merupakan bawahan dari Penguasa Minangkabau yang
bergelar Maharajadiraja.
Pada akhir abad XIII Dharmasraya menjadi pusat
administrasi yang penting baik sebelum Ibukota Kerajaan
Malayu pindah dari wilayah pesisir ke SARUASO pada awal
abad XIV, sehingga tidaklah salah untuk mengatakan bahwa
Dharmasraya pernah menjadi Ibukota Kerajaan Malayu
sebelum pindah ke Dataran Tinggi Minangkabau (SARUASO).
Sayangnya tidak banyak diketahui tentang proses masuknya
Jambi menjadi bagian dari Kerajaan Minangkabau, serta
tentang peran Dharmasraya dalam proses ini.
Pada Abad XIV Suroaso, Dharmasraya, and Muara
Jambi merupakan pusat-pusat utama, dimana Sungai Batang
Hari merupakan jalur utama perdagangan pada masa itu.
Ibukota Kerajaan Malayu yang berlokasi di Dataran Tinggi
Minangkabau
memudahkan
dalam
mengontrol
wilayah
perdagangannya. Saat ini rute lalu lintas utama yang
menghubungkan
daerah Minangkabau dengan pusat-pusat
kota lainnya di Sumatra (Medan, Pekanbaru, Jambi, and
Palembang), sama dengan rute dimasa Adityawarman. Lokasi
Ibukota di dataran Tinggi juga sangat menguntungkan sebagai
perlindungan untuk mengantisipasi serangan dari Dinasti Yuan
dari Mongols atau Kerajaan Thais.
Tanah gunung api yang subur juga mendukung stabilitas
ekonomi, dimana diindikasikan dengan pembangunan jaringan
irigasi
dekat
Suroaso
yang
pernah
dilakukan
oleh
Adityawarman. Dari manuskrip tersebut terbukti bahwa saluran
irigasi dibangun selama kepemimpinan Akarendra (Putra
Mauliwarmadewa), dan diselesaikan dimasa kepemimpnan
Adityawarman "the Nandana-wood of Sri Surawasa, always full
of cereals (rice)" (Casparis 1990:42). Keberadaan irigasi
tersebut membuktikan bahwa Akarendra dan penerusnya
sangat menyadari pentingnya sektor pertanian dan sumber
daya lainnya yang tersedia di sepanjang lembah dan hutan
Bukit Barisan.
Three locations that played major roles in the MALAYU
KINGDOM of ADITYAWARMAN were :

8

(1)
SUROASO, the capital in the Minangkabau
highlands,7
(2)
DHARMASRAYA, the main reloading point
where the natural resources from the surrounding
areas where collected, and
(3)
MUARA JAMBI and/or other ports in the Muara
Sabak / Koto Kandis region along the Kuala Niur, the
navigable branch of the lower Batang Hari, which
formed the gateway to international trade.
BUKTI SEJARAH KEBERADAAN KERAJAAN MELAYU DI
DHARMASRAYA :
A.

B.

SITUS
1.

Situs Rambahan, Jorong Lubuk Bulang – Ken. IV
Koto Pulau Punjung

2.

Situs Sungai Siran, Jorong Lubuk Bulang – Ken. IV
Koto Pulau Punjung

3.

Situs
Makam
Raja-Raja
Siguntur Bawah – Kec. Sitiung

4.

Situs Parit Keliling Candi Padangroco, Jorong
Sei. Lansek – Kec. Sitiung

5.

Situs Bekas Arca Bhairawa, Jorong Sei. Lansek –
Kec. Sitiung

6.

Situs Padang Laweh, Nagari Padang Laweh – Kec.
Sitiung

Siguntur,

Jorong

BANGUNAN SEJARAH
1. Kompleks Candi Padangroco, Jorong Sei. Lansek –
Kec. Sitiung
2. Kompleks Candi Pulau Sawah,8 Jorong Siguntur
Bawah – Kec. Sitiung
3. Rumah Gadang Siguntur, Jorong Siguntur Bawah –
Kec. Sitiung

7

8

Kerajaan melayu Dharmasraya berpindah pusat pemerintahan ke
arah Pedalaman yaitu di daerah Kab. Tanah Datar sekitarnya. Menurut
Casparis perpindahan pusat kerajaan ini dilakukan Akarendra Warman,
Pendahulu Adityawarman,. Dari DAS Batang Hari ke Daerah Saruaso
sekarang (Casparis, 1992:239).
Di kompleks Candi Pulau Sawah ini telah ditemukan 11 (sebelas) titik
situs Candi dan saat ini baru dibuka 3 (tiga) titik Candi.
9

4. Masjid Tua Siguntur, Jorong Siguntur Bawah – Kec.
Sitiung
5. Candi Bukik Awang Maombiak, Jorong Kt. Baru
Siguntur – Kec. Sitiung
6. Rumah Gadang Pulau Punjung, Kec. Pulau Punjung
7. Rumah Gadang Padang Laweh, Kec. Koto Baru
C.

ARTEFAK DALAM BENTUK RELIC
1. Arca Dewa setengah badan dari Siguntur (Batu)
2. Arca dari Sei. Lansek (Perunggu)
3. Arca dari Pulau Sisawah (Perunggu)
4. Arca Bhairawa dari Sei. Lansek (Batu)
5. Arca Amoghapasa dari Rambatan (Batu) merupakan
hadiah Raja Sri-Kertanegara dari Kerajaan Singasari
untuk Raja Melayu Tribhuwana Mauliwarmadewa
dibuktikan dengan Pahatan yang terbaca pada Lapik
arca AMOGHAPASA yang berbunyi; diantuk dari
bhumi Jawa ka Swarnnabhumi dipratistha di
Dharmmasraya, and "all the inhabitants of Bhumi
Malayu [...], and especially the king SRIMAT
TRIBUANARAJA MAULIWARMADEWA, rejoiced at
the presentation of the gifts" (Krom 1931:336).
6. Artefak lain yang pernah ditemukan di DAS Batang Hari

Nama

: Frinaldi, ST., M.Sc

Pekerjaan : PNS (Bappeda Kabupaten Dharmasraya)
Pendidikan :
(S1) Teknik Planologi, Univ. Bung Hatta Padang
(S2) Urban Planning and Management, Universiteit Twente – ITC
Enschede Netherlands
Contact
Mobile :
e-mail :
twiiter :

:
0812 6838 4884
frinaldi24120@alumni.itc.nl / frinaldi@ymail.com
@Abi_Duo_Puti

10