Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP BELANJA MODAL,
PERTUMBUHAN EKONOMI, DAN KEMISKINAN KABUPATEN/KOTA
DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Oleh
Andri Widianto1, Yeni Priatna Sari2, Hetika3
Dosen D3 Akuntansi Politeknik Harapan Bersama Tegal
Jalan Mataram No.09 Tegal
Telp/ Fax (0283) 352000
andriwidi29@gmail.com

ABSTRAK
Pelaksanaan reformasi birokrasi di daerah diperkuat dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Otonomi Daerah merupakan bentuk perwujudan pendelegasian
wewenang dan tanggung jawab yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang mempunyai
wewenang untuk mengatur daerahnya sendiri baik dari segi keuangan atau non keuangan. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta pada periode Tahun 2002-2012.
Sampel yang digunakan adalah Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Kabupaten Kulonprogo,
Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Jenis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data sekunder. Model analisis Partial Least Square (PLS) yang digunakan dalam studi

ini mengikuti pola model persamaan struktural (SEM) berbasis varian yang secara simultan dapat melakukan
pengujian model pengukuran sekaligus pengujian model struktural.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
pendapatan asli daerah berpengaruh negatif terhadap belanja modal, pendapatan asli daerah berpengaruh positif
dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap kemiskinan, belanja modal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, belanja modal
berpengaruh negatif terhadap kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap kemiskinan

Kata Kunci: Pendapatan Asli Daerah, Belanja Modal, Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan

1

BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Good Governance merupakan issue yang familiar dalam pengelolaan administrasi publik
pada era sekarang. Ini merupakan momentum pemerintah dalam melakukan reformasi birokrasi
pemerintah daerah dan pengelolaan keuangan, ditengah tuntutan yang gencar dilakukan oleh
masyarakat kepada pemerintah agar terselenggaranya pemerintahan yang bersih yang
menjunjung tinggi asas keterbukaaan. Pelaksanaan reformasi birokrasi di daerah diperkuat

dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Otonomi Daerah merupakan bentuk perwujudan pendelegasian wewenang
dan tanggung jawab yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang
mempunyai wewenang untuk mengatur daerahnya sendiri baik dari segi keuangan atau non
keuangan. Oleh karena itu, pemerintah daerah dituntut untuk lebih meningkatkan kinerja dan
dapat memberikan layanan yang baik dan maksimal kepada masyarakat. Pemberian
kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab tersirat dalam perundangan tersebut,
merupakan pencerminan proses demokratisasi dalam pelaksanaan otonomi daerah untuk
membantu pemerintah pusat dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah yang
menitikberatkan kepada pemerintah kabupaten/kota.
Dalam penyelenggaraan otonomi daerah tentu saja memerlukan sumber pendanaan yang
cukup besar. Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terasa sangat optimal apabila
penyelengaraan urusan pemerintahan diikuti dengan sumber-sumber penerimaan yang cukup
terhadap daerah. Oleh karenanya, Pemerintah Daerah menyusun anggaran yang kemudian
dijadikan pedoman dalam menjalankan berbagai aktivitasnya. Anggaran tersebut berisi tentang
rencana kegiatan yang direpresentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan
belanja dalam satuan moneter. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan
rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama antara
Pemerintah Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan ditetapkan melalui

peraturan daerah (Undang-undang No 17 Tahun 2003 pasal 1 butir tentang Keuangan Negara).
Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah,
dan pembiayaan daerah.
Dalam kerangka kebijakan otonomi daerah, maka terkait dengan dengan efektivitas belanja
daerah dapat menjadi salah satu tolok ukur utama terhadap keberhasilan pelaksanaan otonomi
daerah itu sendiri, terutama sejauhmana kebijakan otonomi daerah yang dikelola oleh
pemerintah daerah mampu mendorong tercapai tujuan nasional dalam upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pelayanan umum di daerah. Atas dasar hal
tersebut seharusnya Pemerintah daerah merubah komposisi belanja modal yang lebih
menitikberatkan pada anggaran belanja modal, bukan sebaliknya komposisi belanja daerah
digunakan untuk belanja rutin yang kurang produktif.
Pertumbuhan ekonomi merupakan komponen penting bagi pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Pertumbuhan ekonomi mendorong pemerintah daerah untuk melakukan
pembangunan ekonomi dengan mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola
kemitraan dengan masyarakat untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru yang akan
mempengaruhi perkembangan kegiatan dalam daerah tersebut. Pertumbuhan ekonomi
didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu
negara meningkat dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah pada umumnya
ditunjukan oleh laju dari PDRB. Laju pertumbuhan beberapa sektor di setiap kabupaten/kota
sangat beragam tergantung dari karakteristik sektor yang ada di kabupaten atau kota tersebut.

Kemiskinan merupakan persoalan yang seolah abadi dan sulit untuk dipecahkan. Oleh
karenanya, program pembangunan yang direncanakan adalah tidak hanya bertumpu pada
belanja modal saja akan tetapi berusaha juga membuat suatu program atau terobosan untuk
mengurangi penduduk miskin. Pembangunan yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang dilakukan pemerintah perlu ditingkatkan terutama untuk penduduk miskin,
karena salah satu indikator kesejahteraan masyarakat dalam suatu Negara dapat dilihat dari
upaya pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan yang tercermin dari anggaran pemerintah
yang berpihak pada penduduk miskin (pro-poor budgetting). Berdasarkan penjelasan tersebut

2

penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap
Belanja Modal, Pertumbuhan ekonomi, dan Kemiskinan Kabupaten/ Kota di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
2. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah:
1. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja
Modal Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta?
2. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta?

3. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Kemiskinan
Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta?
4. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh Belanja Modal terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta?
5. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh Belanja Modal terhadap Kemiskinan
Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta?
6. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan
Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta?
3. Review Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian mengenai pengaruh pendapatan asli daerah terhadap belanja modal,
pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan antara lain studi yang dilakukan oleh Situngkir (2009),
Pradita (2011), Yustikasari (2007), Gustiana (2014), Setiyawati (2007), Musliadi (2013), dan
Titisari (2012). Penelitian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Penelitian yang dilakukan
Situngkir (2009), tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, dana
alokasi umum dan dana alokasi khusus terhadap anggaran belanja modal menunjukan bahwa
secara simultan pertumbuhan ekonomi/PDRB, pendapatan asli daerah, dana alokasi umum dan
dana alokasi khusus berpengaruh signifikan terhadap anggaran belanja modal di
Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Secara parsial hanya variabel pendapatan asli daerah, dana
alokasi umum dan dana alokasi khusus yang berpengaruh signifikan terhadap anggaran belanja
modal daerah di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Sedangkan variabel pertumbuhan

ekonomi yang diproksikan dengan PDRB tidak berpengaruh signifikan terhadap anggaran
belanja modal di daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.
Penelitian yang dilakukan oleh Pradita (2011) tentang pengaruh pendapatan asli daerah,
dan dana alokasi umum terhadap belanja modal menunjukan bahwa variabel dana alokasi
umum berpengaruh terhadap anggaran belanja modal dan variabel pendapatan asli daerah tidak
berpengaruh terhadap anggaran belanja modal. Penelitian yang dilakukan oleh Yustikasari
(2007) yang meneliti tentang pengaruh pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, dan
dana alokasi Umum terhadap pengalokasian belanja modal menunjukan bahwa secara simultan
variabel pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum berpengaruh
secara signifikan terhadap variabel belanja modal, Secara parsial variabel dependen yang
digunakan dalam model menunjukan bahwa pendapatan asli daerah, dan dana alokasi umum
berpengaruh positif terhadap belanja modal dalam APBD.
Penelitian yang dilakukan oleh Gustiana (2014) tentang pendapatan asli derah, dana
alokasi umum, belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukan bahwa pendapatan
asli daerah tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, dana alokasi umum tidak
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, Hasil uji regresi menunjukkan bahwa DAU dan
PAD berpengaruh signifikan secara positif terhadap belanja daerah. Belanja modal tidak
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian yang dilakukan oleh Setiyawati (2007)
yang meneliti tentang analisis pengaruh pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dana
alokasi khusus dan belanja pembangunan terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan

pengangguran menunjukan bahwa pendapatan asli daerah berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi, Sedangkan dana alokasi umum berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Untuk pengujian secara langsung untuk pengaruh pertumbuhan
ekonomi terhadap kemiskinan dan pengangguran menunjukan adanya pengaruh yang
signifikan. Tetapi pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap kemiskinan dan
berpengaruh positif terhadap pengangguran.

3

Penelitian yang dilakukan oleh Musliadi (2013) tentang analisis pengaruh dana alokasi
khusus, pendapatan asli daerah, dan belanja modal terhadap kemiskinan menunjukan bahwa
dana otonomi khusus berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan di Provinsi
Aceh, pendapatan asli daerah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan di
Provinsi Aceh, dan belanja modal berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan di
Provinsi Aceh. Penelitian yang dilakukan Titisari (2012) tentang analisis pendidikan dan
pendapatan asli daerah terhadap kemiskinan pada era otonomi daerah di Jawa Tengah Pada
Tahun 2007-2009 menunjukan bahwa pendidikan dan pendapatan asli daerah mempunyai
pengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan pada era otonomi daerah
Berdasarkan penjelasan tersebut penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul
Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Modal, Pertumbuhan Ekonomi, dan

Kemiskinan Kabupaten/ Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Kemampuan daerah untuk menyediakan sumber-sumber pendapatan yang berasal dari daerah
sangat tergantung pada kemampuan merealisasikan potensi ekonomi daerah setempat
menjadi bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang mampu menciptakan penerimaan daerah
untuk membiayai pembangunan daerah tersebut. Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber
utama dalam pembelanjaan daerah, jika Pendapatan Asli Daerah meningkat maka dana yang
dimiliki akan meningkat pula, sehingga pemerintah daerah akan berinisiatif untuk lebih
menggali potensi-potensi daerah yang dimiliki. Salah satunya adalah dengan cara
memberikan proporsi belanja modal yang cukup besar untuk pembangunan. Peningkatan
pendapatan asli daerah diharapkan mampu memberikan efek yang signifikan terhadap belanja
modal. Dengan pembangunan infrastruktur dan sarana prasarana oleh pemerintah daerah
maka akan berdampak pula terhadap pertumbuhan ekonomi (Endrawati, 2010). Jika setiap
daerah mampu mengoptimalkan berbagai potensi di sektor masing-masing maka dengan
sendirinya peningkatan terhadap pendapatan asli daerah akan mengurangi jumlah
kemiskinan. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai
berikut:
H1:


Pendapatan Asli Daerah Berpengaruh Positif Terhadap Belanja Modal
Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta

H2:

Pendapatan Asli Daerah Berpengaruh Positif terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta

H3:

Pendapatan Asli Daerah Berpengaruh Negatif
Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta

Terhadap

Kemiskinan

Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang
memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain
belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan aset tak berwujud

(PP No. 24 Tahun 2005). Dengan kata lain belanja modal dilakukan dalam rangka
pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat
lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya
pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan
kapasitas dan kualitas aset. Menurut Harrod-Domar dalam Arsyad (2010), setiap
perekonomian dapat menyisihkan sejumlah proporsi tertentu dari pendapatan nasionalnya
untuk mengganti barang-barang modal (gedung, peralatan, material, dan sebagainya) yang
telah rusak. Namun demikian, untuk dapat meningkatkan laju perekonomian, diperlukan pula
investasi-investasi baru sebagai tambahan stock modal. Harrod-Domar memandang bahwa
ada hubungan ekonomis antara besarnya stock modal (K) dan tingkat output (Y). Semakin
banyak tabungan dan kemudian diinvestasikan, maka semakin cepat pula perekonomian
tersebut akan tumbuh. Hal ini sesuai dengan Smith yang mengemukakan bahwa timbulnya
peningkatan kinerja pada satu sektor akan meningkatkan daya tarik bagi pemupukan modal,
mendorong kemajuan teknologi, meningkatkan spesialisasi, dan memperluas pasar. Hal ini

4

akan mendorong pertumbuhan ekonomi semakin pesat dan mengurangi tingkat kemiskinan.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut:
H4: Belanja Modal Berpengaruh Positif Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta
H5:

Belanja Modal Berpengaruh Positif Terhadap Kemiskinan Kabupaten/Kota di
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kemiskinan adalah didasari pada
kondisi trikle down effect yang menyebutkan adanya bagian yang menetes kebawah dari
kelompok kaya ke kelompok miskin. Kondisi ini menjelaskan bahwa kesejahteraan dengan
sendirinya akan terwujud apabila terjadi pembangunan dalam skala besar sehingga akan
tercipta pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan kapasitas perekonomian,
menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan per kapita (berarti mengurangi
kemiskinan), menaikan permintaan dan penawaran, dan seterusnya berputar mengikuti
mekanisme perekonomian. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disusun hipotesis
penelitian sebagai berikut:
H6: Pertumbuhan Ekonomi Berpengaruh Positif Terhadap Kemiskinan
Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta
BAB III
METODE PENELITIAN
1.

Populasi, Jenis Data, dan Metode Pengumpulan Data
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta
pada periode Tahun 2002-2012. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder. Sumber data penelitian ini diperoleh dari dokumen laporan realisasi APBD melalui
situs (www.djpk.depkeu.go.id). Laporan realisasi APBD Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa
Yogyakarta tahun 2002-2012 dapat diperoleh data mengenai jumlah Pendapatan Asli Daerah
(PAD), Belanja Modal, Sedangkan data mengenai Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat
Kemiskinan diperoleh dari Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilihan
sampel dalam penelitian ini akan menggunakan metode sensus. Metode pengumpulan data yang
dilakukan adalah menggunakan metode dokumentasi.

2.

Definisi Operasional
a. Pendapatan Asli Daerah
Menurut UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah menjelaskan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan
Pendapatan Daerah yang bersumber dari hasil Pajak Daerah, hasil Retribusi Daerah, hasil
pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah
yang Sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali
pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi.
Pendapatan Asli Daerah dihitung dengan rumus:
PAD = Pajak Daerah + Retribusi Daerah + Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang
Dipisahkan dan Lain-lain PAD yang Sah.
Variabel pendapatan asli daerah dalam penelitian ini diukur dengan satuan rupiah.
b.

Belanja Modal
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 71 Tahun 2010 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan menjelaskan bahwa Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran
untuk perolehan asset lainnya yang member manfaat lebih dari satu periode akuntansi.
Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan
bangunan, peralatan, dan asset tak berwujud. Belanja Modal dihitung dengan rumus:

Belanja Modal = Belanja Tanah + Belanja Peralatan dan Mesin + Belanja
Gedung dan Bangunan + Belanja Jalan, Irigrasi, dan Jaringan + Belanja
5

Variabel belanja modal dalam penelitian ini diukur dengan satuan rupiah

3.

c.

Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Sukirno (2012:55-56), Pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan
dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam
masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Pengukuran variabel
pertumbuhan ekonomi dihitung dengan rumus:
๐‘Œ๐‘ก โˆ’ ๐‘Œ๐‘กโˆ’1
๐‘”๐‘ก =
๐‘ฅ 100%
๐‘Œ๐‘กโˆ’1
Variabel pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini diukur dengan satuan persentase (%)

d.

Kemiskinan
Menurut Maipita (2014:9), Kemiskinan adalah kondisi dimana tidak terpenuhinya
kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar (makanan, pakaian, rumah atau tempat belindung,
pendidikan, dan kesehatan) sehingga standar hidup layak tidak tercapai. Pengukuran
variabel kemiskinan dalam penelitian ini menggunakan jumlah penduduk miskin pada
Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan satuan jiwa.

Model dan Teknik Analisis Data
Model analisis Partial Least Square (PLS) yang digunakan dalam studi ini mengikuti pola
model persamaan struktural (SEM) berbasis varian yang secara simultan dapat melakukan
pengujian model pengukuran sekaligus pengujian model struktural dan teknis analisis dalam
pengujian hipotesis dalam studi ini menggunakan PLS.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1.

Analisis Deskriptif
Analisis data pada penelitian ini menggunakan hasil statistik deskriptif dan analisis Partial
Least Square (PLS). Untuk hasil analisis data dengan statistik deskriptif ditunjukan dengan
Tabel 4.1 sebagai berikut:
Tabel 4.1
Analisis Deskriptif Pendapatan Asli Daerah, Belanja Modal,
Pertumbuhan Ekonomi, dan Kemiskinan
Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta
2002-2012
Belanja Modal
Pertumbuhan
Kemiskinan
Pendapatan Asli
Rp (Juta)
Ekonomi (%)
(Jiwa)
Daerah Rp (Juta)
Mean
8,233
9,920
4,51
121
Minimum
13,487
10,956
2
37,5
Maximum
338,284
302,760
5,76
194,4
Sumber: Output SPSS (Data Diolah)
Berdasarkan Tabel 4.1 tampak bahwa variabel pendapatan asli daerah memiliki rata-rata
untuk seluruh kabupaten/ kota di Daerah Istimewa Yogyakarta per 11 tahun sebesar
Rp8.233.455.000 pendapatan asli daerah terendah ditunjukan oleh Kabupaten Gunung Kidul
pada tahun 2002 sebesar Rp13.486.860.000 dan jumlah pendapatan asli daerah tertinggi
ditunjukan oleh Kota Yogyakarta pada tahun 2012 sebesar Rp338.284.000.000. Variabel
belanja modal memiliki rata-rata untuk seluruh kabupaten/kota di DIY per 11 tahun sebesar
Rp9.919.863.000 dengan jumlah belanja modal terendah ditunjukan oleh Kabupaten Sleman
pada tahun 2007 sebesar Rp10.956.000.000 dan belanja modal tertinggi ditunjukan oleh
Kabupaten Bantul pada tahun 2008 sebesar Rp302.760.000.000 . Variabel pertumbuhan
ekonomi memiliki rata-rata untuk seluruh kabupaten/ kota di DIY per 11 tahun sebesar 4,51%
dengan pertumbuhan ekonomi terendah ditunjukan oleh Kabupaten Bantul pada tahun 2006
sebesar 2% dan pertumbuhan ekonomi tertinggi ditunjukan oleh Kota Yogyakarta pada tahun
2012 sebesar 5,76%. Variabel kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki rata-rata

6

untuk seluruh kabupaten/ kota di DIY per 11 tahun sebesar 121,000 Jiwa dengan jumlah
kemiskinan terendah ditunjukan oleh Kota Yogyakarta pada tahun 2012 sebesar 37,550 Jiwa
dan jumlah kemiskinan tertinggi ditunjukan oleh Kabupaten Gunung Kidul pada tahun 2006
sebesar 194,400 Jiwa.
2.

Analisis Induktif dengan Partial Least Square (PLS)
Analisis induktif dengan Partial Least Square (PLS) pada penelitian ini meliputi Penilaian Outer
Model, Perhitungan Nilai Goodness Of Fit (Inner Model) serta Pengujian Hipotesis
a. Penilaian Outer Model
Dalam penelitian ini tidak melakukan penilaian outer model yang meliputi Uji Validitas
dan Uji Reliabilitas karena data dalam penelitian ini terukur.
b. Perhitungan Nilai Goodness Of Fit (Inner Model)
Model Struktural atau inner model pada kerangka konseptual yang dibangun berdasarkan
referensi teori dan konsep disebut fit apabila didukung oleh data empirik. Perhitungan nilai
Goodness of Fit Inner Model didasarkan pada hasil analisis PLS pada Tabel 4.2
Tabel 4.2
Hasil Inner Model (Nilai R-Square)
Variabel

R Square

Pendapatan Asli Daerah

-

Belanja Modal

0,000796

Pertumbuhan Ekonomi

0,308420

Kemiskinan

0,208425

Sumber: Output PLS (Data Diolah)
Goodness of Fit Inner Model pada analisis PLS menggunakan ukuran Stone-Geisser QSquare test yang berupa nilai Q-Square predictive relevance dihitung berdasarkan nilai R2
masing-masing variabel endogen, yaitu variabel Belanja Modal diperoleh nilai R BM2 sebesar
0,001; variabel Pertumbuhan Ekonomi diperoleh nilai RPE2 sebesar 0,308; variabel
Kemiskinan diperoleh nilai RK2 sebesar 0,208. Dengan demikian, nilai Q-Square predictive
relevance sebesar:
= 1 โ€“ (1 โ€“ RBM2) (1 โ€“ RPE2) (1 โ€“ RK2)
= 1 โ€“ (1 โ€“ 0,001) (1 โ€“ 0,308) (1 โ€“ 0,208)
= 1 โ€“ (0,999) (0,692) (0,792)
= 1 โ€“ 0,548
= 0,452
Berdasarkan perhitungan tersebut, diperoleh nilai Q-Square predictive relevance sebesar
0,452 atau 45,2% sehingga model dikatakan memiliki nilai prediktif lemah karena variasi
variabel-variabel dalam model yang meliputi variabel pendapatan asli daerah, belanja
modal, dan pertumbuhan ekonomi hanya mampu menjelaskan variasi kemiskinan sebesar
45,2%, sedangkan sisanya sebesar 54,8% merupakan variasi variabel lain di luar model.
Q2

3.

Pengujian Hipotesis
Setelah model yang diestimasi memenuhi kriteria outer model. Berikutnya dilakukan pengujian
model struktural (Inner Model). Berikut adalah hasil pengujian model struktural yang
ditunjukan dengan Tabel 4.3

7

Tabel 4.3
Hasil Pengujian Hipotesis
No

Hubungan Variabel

Koefisien Jalur

Standard Deviation
(STDEV)

Standard Error
(STERR)

T Statistics

1

PAD -> BM

-0,028222

0,110070

0,110070

0,256399

2

PAD -> PE

0,552237

0,089344

0,089344

6,181035)*

3

PAD -> K

-0,402491

0,134478

0,134478

2,992999)*

4

BM -> PE

0,076387

0,096396

0,096396

0,792429

5

BM -> K

0,121993

0,105781

0,105781

1,153259

6

PE -> K

-0,059075

0,142703

0,142703

0,413973

Keterangan: *) t hitung > t tabel
Pengujian hipotesis menggunakan tingkat signifikansi 5% dengan t tabel sebesar 2,006 (N=55).
Sumber: Output PLS (Data Diolah)

1. Pendapatan Asli Daerah Berpengaruh Positif Terhadap Belanja Modal
Hasil uji koefisien parameter antara pendapatan asli daerah terhadap belanja modal
menunjukkan nilai koefisien sebesar -0,028 dan nilai t-hitung sebesar 0,256. Nilai t-hitung
tersebut lebih kecil dibanding nilai t-tabel sebesar 2,006 (0,256 < 2,006). Hasil pengujian ini
menunjukkan bahwa hipotesis pertama, pendapatan asli daerah berpengaruh negatif terhadap
belanja modal. Hal ini dapat diartikan Pendapatan Asli Daerah belum mampu untuk
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap belanja modal karena Pendapatan Asli
Daerah porsinya masih sangat kecil (Tabel1.2) sehingga tidak dapat mempengaruhi belanja
modal. Idealnya semua pengeluaran pemerintah daerah dapat dicukupi dengan menggunakan
PAD-nya. Akan tetapi, realita menunjukan yang terjadi selama ini adalah masih terdapatnya
kesenjangan fiskal. Kesenjangan fiskal tersebut timbul karena adanya keterbatasan sumber
dan kewenangan penerimaan daerah, baik dalam pajak maupun bukan pajak serta adanya
kebutuhan pengeluaran daerah yang lebih besar. Oleh karena itu, pemerintah pusat
memberikan dana perimbangan dalam rangka menciptakan keadilan dalam pembagian
sumber daya bagi kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Hasil penelitian ini
mendukung penelitian Pradita (2011), yang menjelaskan bahwa Pendapatan Asli Daerah
tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Akan tetapi, hasil penelitian ini bertentangan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Situngkir (2009), Yustikasari (2007), dan Prakosa
(2004), yang menjelaskan bahwa Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan terhadap
belanja daerah.
2. Pendapatan Asli Daerah Berpengaruh Positif Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Hasil uji koefisien parameter antara pendapatan asli daerah terhadap pertumbuhan ekonomi
menunjukkan nilai koefisien sebesar 0,552 dan nilai t-hitung sebesar 6,181. Nilai t-hitung
tersebut lebih besar dibanding nilai t-tabel sebesar 2,006 (6,181 > 2,006). Hasil pengujian
hipotesis kedua, yaitu pendapatan asli daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Ini bermakna bahwa kenaikan Pendapatan Asli Daerah memicu dan
memacu pertumbuhan ekonomi daerah menjadi lebih baik daripada pertumbuhan ekonomi
daerah pada tahun sebelumnya (Endrawati, 2010). Hal ini disebabkan karena tingkat
Pendapatan Asli Daerah yang tinggi (Tabel 1.2) maka pemerintah daerah lebih bisa untuk
mengoptimalkan potensi Pendapatan Asli Daerah tersebut. Kenaikan Pendapatan Asli Daerah
juga dapat mengoptimalkan dan meningkatkan aktivitas pada sektor-sektor yang terkait
dengan pertumbuhan ekonomi, seperti sektor industri dan perdagangan, sektor jasa, dan
sektor-sektor lainnya. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Endrawati (2010) dan
Setiyawati (2007) yang menjelaskan bahwa Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan
positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi penelitian ini tidak mendukung
penelitian yang dilakukan oleh Gustiana (2014), yang menunjukan bahwa Pendapatan Asli
Daerah tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

8

3. Pendapatan Asli Daerah Berpengaruh Positif Terhadap Kemiskinan
Hasil uji koefisien parameter antara pendapatan asli daerah terhadap kemiskinan
menunjukkan nilai koefisien sebesar -0,402 dan nilai t-hitung sebesar 2,993. Nilai t-hitung
tersebut lebih besar dibanding nilai t-tabel sebesar 2,006 (2,993 > 2,006). Hasil pengujian
hipotesis ketiga, yaitu pendapatan asli daerah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
kemiskinan. Ini bermakna peningkatan Pendapatan Asli Daerah di Daerah Istimewa
Yogyakarta yang dialokasikan melalui program pengentasan kemiskinan, baik pada tingkat
pusat maupun daerah, melibatkan banyak instansi pemerintah dan swasta. Hasil Penelitian ini
mendukung penelitian Musliadi (2013) yang menjelaskan bahwa Pendapatan Asli Daerah
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Kemiskinan di Provinsi Aceh dan Titisari (2012)
tentang analisis pendidikan dan pendapatan asli daerah terhadap kemiskinan pada era
otonomi daerah di Jawa Tengah Pada Tahun 2007-2009 menunjukan bahwa pendidikan dan
pendapatan asli daerah mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan
pada era otonomi daerah. Akan tetapi hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian Nurdin
(2009) yang menjelaskan bahwa Pendapatan Asli Daerah tidak berpengaruh langsung
terhadap kemiskinan daerah perkotaan.
4. Belanja Modal Berpengaruh Positif Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Hasil uji koefisien parameter antara belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi
menunjukkan nilai koefisien sebesar 0,0764 dan nilai t-hitung sebesar 0,793. Nilai t-hitung
tersebut lebih kecil dibanding nilai t-tabel sebesar 2,006 (0,793 < 2,006). Hasil pengujian ini
menunjukkan bahwa hipotesis keempat, yaitu belanja modal berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Ini bermakna bahwa alokasi belanja modal tidak didasarkan pada
kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana untuk masyarakat akan tetapi digunakan untuk
keperluan belanja rutin yang kurang produktif seperti belanja pegawai, perjalanan dinas, dan
belanja pemeliharaan (Situngkir, 2009). Teori Harrod-Domar dan pendapat Smith belum
bisa sepenuhnya dikatakan benar, karena secara statistik dalam penelitian ini, teori dan
pendapat tersebut tidak terbukti, penelitian ini menjelaskan bahwa semakin tinggi belanja
modal maka pertumbuhan ekonomi belum tentu akan semakin tinggi. Selain itu, penelitian ini
juga mengindikasikan bahwa besarnya belanja modal yang dialokasikan oleh Kabupaten/kota
di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak menjadi salah satu faktor penentu dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Artinya tinggi rendahnya belanja modal tidak berimplikasi pada
besarnya besarnya pertumbuhan ekonomi pada suatu daerah. Hasil penelitian ini mendukung
penelitian Badrudin (2012) yang menjelaskan bahwa belanja modal berpengaruh tidak
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi hasil penelitian ini tidak mendukung
penelitian Bastias (2010) yang menunjukan bahwa pengeluaran pemerintah atas transportasi
signifikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
5. Belanja Modal Berpengaruh Positif Terhadap Kemiskinan
Hasil uji koefisien parameter antara belanja modal terhadap kemiskinan menunjukkan nilai
koefisien sebesar 0,122 dan nilai t-hitung sebesar 1,153. Nilai t-hitung tersebut lebih kecil
dibanding nilai t-tabel sebesar 2,006 (1,153 < 2,006). Hasil pengujian ini menunjukkan
bahwa hipotesis kelima, yaitu belanja modal berpengaruh negatif terhadap kemiskinan. Ini
bermakna bahwa berbagai kebijakan/program pengentasan kemiskinan yang
diimplementasikan di daerah semuanya masih merupakan program yangdirumuskan oleh
pemerintah pusat. Selain formulasi kebijakan/program, juga dalam hal pembiayaan
implementasi kebijakan/program pengentasan kemiskinan masih ketergantungan pada
pemerintah pusat, sehingga sebagian besar pembiayaan pengentasan kemiskinan masih
dibiayai oleh pemerintah pusat. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Musliadi (2013)
yang menjelaskan belanja modal negatif signifikan terhadap kemiskinan di Provinsi Aceh.
Hasil yang berbeda ditunjukan Meilen et al (2014) yang menemukan bahwa variabel belanja
langsung berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Kota Manado
6. Pertumbuhan Ekonomi Berpengaruh Positif Terhadap Kemiskinan
Hasil uji koefisien parameter antara pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan
menunjukkan nilai koefisien sebesar -0,059 dan nilai t-hitung sebesar 0,414. Nilai t-hitung
tersebut lebih kecil dibanding nilai t-tabel sebesar 2,006 (0,414 < 2,006). Hasil pengujian
hipotesis keenam, yaitu pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap kemiskinan. Ini
bermakna kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang mencapai 15,03% (BPS, 2012)
diduga kuat akibat dari pertumbuhan sektor perekonomian yang padat modal dan dikuasai
oleh investor tertentu. Hal lain yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi di Daerah

9

Istimewa Yogyakarta tidak berpengaruh langsung karena pembangunan yang terjadi di
daerah ini merupakan pembangunan eksklusif yaitu pembangunan yang hanya
menguntungkan kelompok eksklusif saja dan pembangunan yang terjadi tidak berkualitas
karena kurang memperhitungkan pertumbuhan (pro-growth), penyerapan tenaga kerja (projob), mengurangi kemiskinan (pro-poor) dan memperhatikan lingkungan (pro-environment).
Penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Nurdin (2009) yang menemukan
bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh langsung terhadap kemiskinan daerah
perkotaan dan Hamzah (2007) yang menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh
negatif terhadap kemiskinan. Akan tetapi, hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian
yang dilakukan Wahyuniarti (2007:37) yang menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi
berpengaruh signifikan dalam mengurangi kemiskinan, namun magnitude pengaruh relatif
tidak besar dan Wijaya (2011) yang menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak
berpengaruh negatif terhadap kemiskinan.
BAB V
KESIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dengan mengambil sampel seluruh kabupaten/ kota
di Daerah Istimewa Yogyakarta selama periode pengamatan tahun 2002-2012 dengan total sampel
55, Maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: pendapatan asli daerah berpengaruh negatif
terhadap belanja modal, pendapatan asli daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
kemiskinan, belanja modal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, dan telanja modal
berpengaruh negatif terhadap kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, W. (2009). Konsep dan Aplikasi PLS (Partial Least Square) Untuk Penelitian Empiris.
Yogyakarta: BPFE.
Adi, P. H. (2006). Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan, dan
Pendapatan Asli Daerah (Studi Pada Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali).
Simposium Nasional Akuntansi IX Padang , 1-22.
Arsyad, L. (2010). Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: Unit Percetakan dan Percetakan STIM
YKPN.
Badan Pusat Statistik. (2009). Statistik Keuangan Daerah Kabupaten/Kota. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.
Badrudin, R. (2013, Januari 28). Retrieved Juni 1, 2014, from Kedaulatan Rakyat Online:
http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/1712/pembangunan-inklusif.kr
Badrudin, R. (2012). Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Belanja Modal, Pertumbuhan
Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Tengah. Disertasi. Universitas Airlangga. Surabaya.
Bastias, D. D. (2010). Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Atas Pendidikan, Kesehatan, dan
Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Skripsi Universitas
Diponegoro Semarang.
Chaidir,

I.

(n.d.).
Dewan
Riset
Nasional. Retrieved
Juni
1,
2014,
from
http://www.drn.go.id/index.php/en/71-artikel-drn/179-sistem-inovasi-nasionaluntuk-pembangunan-inklusif

10

Elfindri.

(2013,
Januari
2).
okezone.com.
Retrieved
Juni
1,
2014,
http://economy.okezone.com/read/2013/01/02/279/740087/pembangunaninklusif/large

from

Endrawati, U. M. (2010). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU),
dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Terhadap Pertumbuhan Ekonomi: Studi Kasus
Sumatera Barat. Jurnal Akuntansi dan Manajemen 5 (2) , 68-84.
Fathony, A. ( 2011). Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Berbasis Participatory Poverty
Assessment: Kasus Yogyakarta. Sosiokonsepsia, , Vol. 16 No. 02.
Ghozali, I. (2008). Struktural Equation Modeling Metode Alternatif dengan Partial Least Square
(PLS). Semarang: Badan Penerbit-Undip.
Gustiana, A. (2014). Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Belanja Modal Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi (Studi empiris pada Pemerintah Kabupaten Soppeng
periode
2005-2012).
Makasar:
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/9344. Diakses 1 Juni 2014.
Halim, A. (2002). Akuntansi Sektor Publik, Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat.
Halim, S. A. (2003). Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Terhadap Belanja Pemerintah Daerah: Studi Kasus Kabupaten/ Kota di Jawa dan
Bali. Simposium Nasional Akuntansi VI , 1140-1159.
Hamzah, A. S. (2007). Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana
Alokasi Khusus, dan Belanja Pembangunan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi,
Kemiskinan, dan Pengangguran: Pendekatan Analisis Jalur. Jurnal Akuntansi dan
Keuangan Indonesia 4 (2):211-228.
Hasan, T. B. (2008). Pengaruh Belanja Modal Pemerintah Dan Produk Domestik Regional Bruto
Terhadap Penduduk Miskin Di Aceh.
HM, W. A. (2009). Konsep dan Aplikasi PLS (Partial Least Square) Untuk Penelitian Empiris.
Yogyakarta: BPFE.
Kementrian Keuangan, (n.d.). Retrieved Juni 1, 2014, from http://www.djpk.depkeu.go.id/:
http://www.djpk.depkeu.go.id/
Kuncoro, M. (2004). Ekonomika Pembangunan Teori, Masalah, dan Kebijakan. Yogyakarta: UPP
STIM YKPN.
Maharani, M. (2010). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana
Alokasi Umum, Terhadap Belanja Modal Pada Pemerintah Daerah se Jawa
Tengah. Skripsi. Universitas Negeri. Semarang.
Maipita, I. (2014). Mengukur Kemiskinan & Distribusi Pendapatan. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Mardiasmo. (2002). Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: ANDI.
Meilen Greri Paseki, A. N. (2014). Pengaruh Dana Alokasi Umum Dan Belanja Langsung Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi dan Dampaknya Terhadap Kemiskinan Di Kota Manado
Tahun 2004-2012. Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi , Volume 14 No 3 Oktober
2014.
Musliadi. (2013). Analisis Pengaruh Dana Otonomi Khusus, Pendapatan Asli Daerah Dan Belanja
Modal Terhadap Kemiskinan Pada Kabupaten/ Kota Di Provinsi Aceh Tahun
2008-2012. Yogyakarta: Tesis Universitas Gajah Mada.

11

Nurdin, A. H. (2009). Pengaruh Anggaran Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Dalam APBD Kota
dan Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan Daerah Perkotaan Di Indonesia.
Permana, D. Y. (2013). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi
Umum, Dan Dana Alokasi Khusus Trhadap Pengalokasian Anggaran Belanja
Modal. Skripsi. Universitas Diponegoro. Semarang.
Pradita, R. R. (2011). Pengaruh Pendapatan Asli Derah dan Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja
Modal di Provinsi Jawa Timur. Skripsi. Universitas Negeri Surabaya.
Prakosa, K. B. (2004). Analisis Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) Terhadap Prediksi Belanja Daerah (Studi Empirik di Wilayah Propinsi
Jawa Tengah dan DIY) . JAAI, 8. (2) , 101-118.
Rohman, F. N. (2012). Pengaruh Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Kinerja Keuangan Daerah
Dengan Pendapatan Asli Daerah Sebagai Variabel Intervening (Studi Kasus di
Provinsi Jawa Tengah). Diponegoro Journal Of Accounting , 1-14.
Simatupang, D. d. (2003). Produk Domestik Regional Bruto, Harga dan Kemiskinan: Hipotesis
Trickle Down Dikaji Ulang. Ekonomi dan Keuangan Indonesia 51 (3) , 291-324.
Situngkir, A. (2009). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi
Umum, Dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Anggaran Belanja Modal Pada
Pemkot/ Pemkab Sumatera Utara. Tesis Universitas Sumatera Utara.
Sularno, F. M. (2013). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana
Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Studi Kasus
Pada Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Universitas Widyatama.
Bandung.
Sulistyowati, D. (2011). Pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Dana Alokasi Umum, Dan
Dana Alokasi Khusus Terhadap Alokasi Belanja Modal. Skripsi. Universitas
Diponegoro Semarang.
Suliswanto, M. S. (2010). Pengaruh Produk Domestik Bruto (PDB) dan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) Terhadap Angka Kemiskinan di Indonesia. Jurnal Ekonomi
Pembangunan , 358-364.
Taryono. (2012). Analisis Belanja Daerah Kemiskinan dan Kesejahteraan Masyarakat antara
Kabupaten/ Kota Penghasil Migas dan Bukan Penghasil Di Provinsi Riau. Jurnal
Sosial Ekonomi Pembangunan , 52-70.
Thesaurianto, K. (2007). Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah Terhadap Kemandirian Daerah.
Tesis. Universitas Dipenogoro Semarang.
Titisari, E. W. (2012). Analisis Pendidikan dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Kemiskinan
Pada Era Otonomi Daerah Di Jawa Tengah Pada Tahun 2007-2009. Semarang:
Skripsi Universitas Negeri Semarang.
Wahyuniarti, H. S. (2007). Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk
Miskin. Institut Pertanian Bogor.
Wijaya, A. (2011). Analisis Kinerja Keuangan Terhadap Pengangguran dan Kemiskinan Dengan
Pertumbuhan Ekonomi Sebagai Variabel Intervening (Studi Pada Kabupaten/
Kota di DIY). Skripsi. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Yustikasari, D. d. (2007). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dan Dana
Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Simposium
Nasional Akuntansi X .

12

13