Perbandingan Rape Myth Acceptance Antara

PERBANDINGAN RAPE MYTH ACCEPTANCE ANTARA ORANGTUA
YANG MEMILIKI ANAK PEREMPUAN DEWASA MUDA DENGAN
PENYIDIK UNIT PELAYANAN PEREMPUAN DAN ANAK DI
JAKARTA DAN SEKITARNYA
Ayu Regina Yolandasari dan Nathanael Elnadus Johanes Sumampouw
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Abstrak

Kecenderungan untuk menyalahkan korban perkosaan sebagai penyebab terjadinya perkosaan
merupakan suatu hambatan besar bagi mereka untuk memperoleh keadilan. Rape myth
acceptance, sebagai faktor mendasar yang memungkinkan kecenderungan tersebut tumbuh,
dapat membuat pihak berwajib kehilangan objektivitasnya ketika menghadapi kasus, dan
membuat dukungan orangtua terhadap anak yang menjadi korban berkurang. Dengan
menggunakan nonequivalent group design, studi ini berusaha mencari tahu apakah terdapat
perbedaan rape myth acceptance antara kelompok orangtua yang memiliki anak perempuan
berusia dewasa muda dengan penyidik unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di Jakarta
dan sekitarnya. Sebanyak 34 orang dari masing-masing kelompok partisipan tersebut diminta
mengisi alat ukur yang merupakan adaptasi dari Illinois Rape Myth Acceptance Scale
(IRMAS). Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rape myth
acceptance yang signifikan antara kedua kelompok (t = -1,439, p > 0,05). Temuan ini

mengindikasikan bahwa intervensi sikap terhadap perkosaan, korban, dan pelakunya perlu
dilakukan untuk mengurangi tingkat rape myth acceptance baik pada orangtua maupun polisi.
Jika tidak, korban perkosaan akan lebih sulit melaporkan kasusnya dan memperoleh keadilan
hukum untuk tindak perkosaan yang menimpanya.
Kata Kunci: Rape myth acceptance; orangtua; polisi; perempuan
Abstract
The tendency to blame rape victims as the cause of the rape itself is a big obstacle that prevent
them to experience justice. Acceptance of rape myths, as the underlying factor that enable the
tendency to grow, can make the authority to lose his objectivity in dealing with the case, and
parents to be less supportive toward their victim daughter. Using the nonequivalent group
design, this study is intended to find out if there is a difference in rape myth acceptance
between parents of young adulthood daughter and police in women and children service unit
(PPA) in Jakarta and the surrounding areas. As many as 34 subjects for each group were
asked to fill the adaptation of Illinois Rape Myth Acceptance Scale (IRMAS). Results show
that there is no significance difference in the rape myth acceptance between the two groups
(t= -1,439, p>0,05). This finding suggests that an intervention should be made to decrease the
rape myth acceptance in both parents and police officers. Otherwise, rape victims may find it
difficult to report their cases and also can not experience justice.
Keyword: Rape myth acceptance; parents; police; women


Pendahuluan
Perkosaan merupakan peristiwa taumatis sekaligus tindak pidana serius yang
menimbulkan kerugian besar bagi korbannya, khususnya perempuan, baik secara fisik,
psikologis, maupun sosial. Oleh karena itu, sudah sepatutnya jika tindak kejahatan ini dicegah
dan dilakukan upaya agar angka kejadiannya dapat ditekan. Ironisnya, seakan menjadi trend
masa kini, kasus perkosaan, khususnya di angkutan umum, justru ramai bermunculan dan
terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya, angka kasus
perkosaan di Jakarta pada tahun 2010 lalu yang mencapai 60 kasus, mengalami peningkatan
hingga mencapai 68 kasus pada tahun 2011 (Amelia, 2010). Selain itu, berdasarkan catatan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Khaerudin & Mulyadi, 2011) tahun
1998 hingga 2011, terdapat 400.939 kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Dari
jumlah tersebut, 93.960 kasus di antaranya merupakan kekerasan seksual dengan perkosaan
menempati jumlah terbanyak, yakni 4.845 kasus. Penting pula diketahui bahwa dibalik
tingginya angka-angka tersebut, ternyata masih banyak kasus perkosaan yang tidak terungkap.
Salah satu faktor banyaknya kasus perkosaan yang tidak terungkap adalah keengganan
korban untuk untuk melaporkan kasusnya. Brownmiller (1975) dan Pawestri (2012)
menyebutkan bahwa perkosaan merupakan tindak kriminal yang paling jarang dilaporkan.
Hal tersebut utamanya disebabkan oleh ketakutan dan rasa malu yang diderita korban. Rasa
takut dan malu tersebut wajar timbul karena secara sosial, perkosaan merupakan tindak
kejahatan yang seringkali justru menempatkan korbannya sebagai yang bersalah atas

perkosaan yang menimpanya. Sebagai contoh, sebut saja ketua DPR RI yang pernah
mengatakan, “Kita tahu banyak sekali terjadinya perkosaan, kasus-kasus asusila itu, karena
perempuannya tidak berpakaian yang pantas sehingga membuat hasrat laki-laki menjadi
berubah. Itu yang harus dihindari. Namanya laki-laki, pakaian tidak pantas itu menarik lakilaki sampai akhirnya berbuat sesuatu,” (Gatra, 2012). Pernyataan serupa pun pernah
diungkapkan oleh gubernur DKI Jakarta (Latif, Widjaja, & Afrianti, 2011) dan bupati Aceh
Barat (Kurniawati, 2012). Dari pernyataan-pernyataan tersebut tersirat anggapan bahwa
pakaian yang dikenakan wanita yang minim dan tidak sesuai syariah Islam merupakan
pemicu dari tindak perkosaan. Di sisi lain, tindak perkosaan hanya dianggap sebagai reaksi
spontan laki-laki yang tergiur oleh penampilan korbannya.
Anggapan-anggapan tersebut di atas merupakan contoh dari mitos perkosaan (rape
myth), yakni keyakinan akan dugaan dan stereotip yang salah mengenai perkosaan, korban,

dan pelaku perkosaan (Burt, 1980). Mitos tersebut cenderung mengatribusikan kesalahan pada
korbannya dan memaklumi tindakan pelakunya. Sudah merupakan kepercayaan umum bahwa

kebanyakan korban perkosaan telah melakukan sesuatu untuk mengundang atau menimbulkan
penyerangan (Renzetti & Curran, 1989), bahwa cara berpakaian perempuan yang minimlah
yang menyebabkan dirinya diperkosa. Padahal, jika melihat pada kenyataan yang terjadi,
tidak semua perempuan korban perkosaan mengenakan pakaian minim yang dianggap
“mengundang” saat kejadian. Ada pula kasus-kasus di mana perempuan yang mengenakan

pakaian serba tertutuplah yang diperkosa (Pawestri, 2011; Poerwandari, 2008). Selain itu,
mayoritas perkosaan pun terjadi dengan perencanaan yang dibuat pelaku sebelumnya
(Takwin, 2011). Hal tersebut menegasikan anggapan bahwa perkosaan merupakan tindak
impulsif yang spontan dilakukan karena pelaku tergiur oleh penampilan korban.
Dengan adanya berbagai mitos perkosaan di masyarakat, tampak bahwa perkara
melaporkan tindak perkosaan yang menimpa diri korban memang bukanlah hal yang mudah.
Untuk itu, membangun kesadaran dan keberanian korban masih merupakan tantangan besar
dan membutuhkan banyak dukungan, terutama dari pihak keluarga (Pawestri, 2012).
Bagaimanapun, kehidupan antara orangtua dan anak memang akan selalu berhubungan
sepanjang kehidupan. Saat anak kian mandiri dan mencapai usia dewasa, orangtua akan tetap
memiliki pengaruh yang kuat terhadap anak (Martin & Colbert, 2008). Perlu diingat pula
bahwa bagaimanapun orangtua merupakan anggota dari masyarakat. Oleh sebab itu,
dukungan yang dapat diberikan orangtua kepada anak pun tak ayal dipengaruhi oleh
masyarakat, tepatnya oleh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, termasuk mitos perkosaan.
Dengan demikian, penting halnya mitos perkosaan yang diyakini orangtua untuk diteliti agar
kemudian dapat diintervensi sehingga dukungan positif baik kepada korban maupun yang
rentan menjadi korban perkosaan pun dapat diperoleh dari orangtua.
Terkait keadilan hukum untuk kasus perkosaan, dukungan orangtua bukanlah satusatunya yang berperan penting. Kalaupun dukungan positif dari orangtua telah diperoleh,
korban masih harus berhadapan dengan sistem peradilan yang juga rentan terhadap mitos
perkosaan. Berkenaan dengan pelaporan, pihak hukum yang secara langsung dan pertama

berhubungan dengan korban adalah kepolisian, khususnya penyidik unit Pelayanan
Perempuan dan Anak (PPA) di Indonesia. Diyakininya mitos perkosaan oleh penyidik
tersebut akan berpengaruh buruk pada obyektifitas, keseriusan, serta kinerja mereka dalam
penanganan kasus perkosaan. Selanjutnya, hal tersebut akan berlanjut pada tidak efektifnya
penanganan kasus perkosaan dan berujung pada sulitnya perolehan keadilan hukum bagi
korban perkosaan. Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa keputusan untuk meneruskan
kasus perkosaan sering kali terhambat oleh persepsi akan kredibilitas korban perkosaan oleh
polisi, dimana korban yang dianggap lebih kredibel akan ditangani lebih serius kasusnya

(Page, 2010). Selain mempengaruhi persepsi, diyakininya mitos perkosaan oleh penyidik
berdampak pada sikap mereka kepada korban yang menjadi tidak simpatik. Sikap tidak
simpatik tersebut umumnya tertampil saat polisi menanyai korban secara mendetil dan
terkesan menghakimi atau memaksa untuk memeriksa tanda-tanda luka fisik korban yang
mungkin memerlukan penyingkiran busana sehingga korban pun merasa dilecehkan kembali
secara seksual (Sapp, 1999). Rahayu, Sekartadji, dan Rochaeti (2005) menjelaskan terdapat
kecenderungan polisi menggunakan ucapan-ucapan dan melakukan tindakan-tindakan yang
bersifat melecehkan kepada perempuan korban perkosaan akibat dari pikiran polisi yang telah
terpola secara stereotipik bahwa perempuan yang menjadi korban perkosaan memiliki andil
besar dalam perkosaan yang menimpanya. Sikap polisi yang demikian buruk itulah yang
kemudian menyebabkan kian meningkatnya keengganan korban untuk melaporkan peristiwa

perkosaan yang menimpanya. Sikap tersebut juga membuat perempuan justru menyakini
sistem peradilan tidak akan menangani kasus mereka secara efektif, polisi tidak akan
mempercayai laporan mereka, dan mereka hanya akan kembali dipermalukan oleh sistem
hukum yang ada (Matlin, 1987).
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa baik orangtua maupun penyidik merupakan
pihak yang berpengaruh besar terhadap keengganan korban perkosaan untuk melaporkan
kasusnya dan memperoleh keadilan hukum. Di sisi lain, sikap orangtua dan penyidik pun
tidak lepas dari mitos perkosaan. Oleh karena besarnya pengaruh mitos perkosaan tersebut,
dalam kesempatan ini peneliti mengangkat topik rape myth acceptance pada orangtua dan
aparat kepolisian khususnya penyidik di unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan tingkat rape myth
acceptance yang signifikan antara orangtua yang memiliki anak perempuan berusia dewasa

muda dengan penyidik unit PPA. Anak perempuan berusia dewasa muda dipilih lantaran pada
usia tersebut perempuan rentan menjadi target perkosaan sekaligus mitos perkosaan.
Mengingat adanya peran orangtua sebagai pelindung dan pengasuh bagi anak perempuannya,
kedekatan psikologis pun peneliti asumsikan lebih dekat diantara mereka dibandingkan
penyidik dengan perempuan dewasa muda yang rentan ataupun menjadi korban perkosaan.
Oleh karena adanya kedekatan psikologis tersebut, hipotesis dalam penelitian ini adalah “rape
myth acceptance orangtua secara signifikan lebih rendah daripada rape myth acceptance


penyidik unit PPA”. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar ilmiah dalam
melakukan intervensi baik kepada orangtua maupun penyidik unit PPA. Alhasil, keengganan
korban untuk melaporkan kasus perkosaan yang menimpanya dapat diminimalisasi dan
keadilan hukum bagi korban pun dapat diperoleh.

Rape Myth Acceptance

Martha Burt merupakan peneliti pertama yang melakukan kajian sosial ilmiah
mengenai mitos perkosaan dan mempublikasikannya pada tahun 1980. Dalam publikasinya
tersebut, Burt (1980) mendefinisikan mitos perkosaan sebagai keyakinan akan dugaan dan
stereotip yang salah mengenai perkosaan, korban, dan pelaku perkosaan. Selain itu, ia
mengembangkan alat ukur Rape Myth Acceptance Scale (RMAS), alat ukur yang paling
sering digunakan dalam penelitian terkait rape myth acceptance. Seiring perkembangannya,
mitos perkosaan Burt mengalami redefinisi dan konseptualisasi ulang oleh peneliti setelahnya.
RMAS Burt pun dikritisi dan alat ukur rape myth acceptance lain pun dikembangkan.
Briere, Malamuth, dan Check (1985) mendefinisikan mitos perkosaan sebagai
keyakinan-keyakinan yang salah mengenai perkosaan yang digunakan untuk menyangkal efek
perkosaan pada korbannya atau mengatribusikan kesalahan tindak perkosaan kepada korban.
Adapun Lonway dan Fitzgerald (1994) mendefinisikan mitos perkosaan sebagai sikap dan

keyakinan yang salah mengenai perkosaan yang umum dan secara luas dipegang teguh serta
digunakan untuk menyangkal dan melakukan pembenaran tindak kekerasan seksual laki-laki
terhadap perempuan. Selain itu, Lonsway dan Fitzgerald (1995) menyebutkan adanya
kekurangan dari konsep yang dikembangkan Burt (1980), yakni operasionalisasi variabel
yang secara teoritis bermasalah, di mana dua variabel prediktor rape myth acceptance secara
teoritis campur aduk dengan variabel kekerasan terhadap perempuan (hostility toward
women), yakni keyakinan akan permusuhan seks (adversarial sexual beliefs) dan penerimaan

akan kekerasan interpersonal (acceptance of interpersonal violence ). Payne, Lonsway, dan
Fitzgerald (1999) pun menambahkan kelemahan dari RMAS Burt (1980), yaitu fokus yang
hanya kepada karakteristik dan peran korban perkosaan namun tidak mencakup karakteristik
pelaku perkosaan. Item dari alat ukur tersebut pun dinilai terlalu kompleks mencakup
beberapa ide dan terlalu spesifik untuk diterima sebagai mitos perkosaan yang umum.
Berdasarkan kekurangan tersebut, Payne, Lonsway, dan Fitzgerald (1999) pun
membuat alat ukur Illinois Rape Myth Acceptance Scale (IRMAS) yang terdiri dari 45 item
IRMAS (termasuk 5 item palsu) dengan 20 item short form (IRMA-SF). Struktur dari rape
myth acceptance yang ditemukan dalam studi Payne, Lonsway, dan Fitzgerald (1999) adalah

model hierarki, yakni gabungan antara model unidimensional dan multidimensional, dengan
sebuah skala umum, yaitu rape myth acceptance, dan 7 subskala mitos perkosaan, yaitu:

1. Perempuan meminta dirinya diperkosa (She ask for it)
2. Perkosaan sebenarnya tidak terjadi (It wasn’t really rape)

3. Laki-laki tidak bermaksud memperkosa (He didn’t mean to)
4. Perempuan ingin diperkosa (She really wanted it)
5. Perempuan berbohong (She lied)
6. Perkosaan adalah perkara sepele (Rape is a trivial event)
7. Perkosaan adalah kejadian menyimpang (Rape is a deviant event)
Berdasarkan analisis psikometri, alat ukur ini memiliki konsistensi internal,
reliabilitas, dan validitas konstruk yang memadai serta mendukung struktur mitos perkosaan
yang telah dikembangkan. Indeks alpha cronbach keseluruhan alat ukur mencapai 0,93,
sedangkan per subskala berkisar antara 0,74 sampai dengan 0,84 (rata-rata 0,79), adapun
korelasi setiap subskala dengan total skor (tanpa item palsu) berkisar antara 0,54 sampai 0,74.
Faktor-faktor yang mempengaruhi rape myth acceptance terbagi atas tiga variabel,
yakni variabel sikap, variabel demografis, dan variabel lainnya. Variabel sikap terdiri dari
stereotip peran jenis kelamin, keyakinan akan permusuhan jenis kelamin, dan penerimaan atas
kekerasan interpersonal (Burt, 1980), yang ketiganya berhubungan positif dengan rape myth
acceptance. Selain itu, variabel ini pun meliputi keyakinan tradisional mengenai peran

gender, kebutuhan atas kekuasaan dan dominasi, agresivitas dan kemarahan, dan keyakinan

akan politik yang konservatif yang juga berhubungan positif dengan rape myth acceptance
(Anderson, Cooper, dan Okamura, 1997). Variabel demografis terdiri atas jenis kelamin, usia,
dan tingkat pendidikan. Berdasarkan faktor jenis kelamin, laki-laki memiliki tingkat rape
myth acceptance yang lebih tinggi dibandingkan perempuan (Burt, 1980; Field, 1978;

Kopper, 1996; Payne, Lonsway, & Fitzgerald, 1999; Witoelar, 1992). Adapun usia secara
tidak langsung berhubungan negatif dengan rape myth acceptance, sedangkan tingkat
pendidikan secara tidak langsung berhubungan positif dengan rape myth acceptance (Burt,
1980). Adapun variabel lainnya adalah ketidakpuasan atau konflik seksual yang berhubungan
positif dengan rape myth acceptance (Briere, Check, Malamuth, 1985).

Pengasuhan Orangtua
Orangtua adalah individu yang membantu mengembangkan setiap aspek tumbuh
kembang anak, yakni memelihara, melindungi, dan membimbing anak melalui setiap tahap
perkembangannya (Brooks, 2008). Martin dan Colbert (1997) menyebutkan bahwa proses
pengasuhan meliputi melahirkan, melindungi, mengasuh/memelihara, dan membimbing anak.
Pengasuhan juga merupakan bagian yang penting dari sosialisasi, yakni suatu proses di mana
anak belajar untuk berperilaku sesuai harapan dan standar sosial. Levine (1988, dalam Martin
& Colbert, 1997) menyebutkan tiga tujuan umum pengasuhan, yakni ingin anaknya bertahan


dan sehat secara fisik, berharap anaknya dapat mengembangkan kemampuan yang kemudian
bisa membuat mereka secara ekonomi tercukupi, dan ingin anaknya memenuhi tujuan spesifik
budaya yang berhubungan dengan pencapaian, keyakinan agama, dan kepuasan pribadi.
Adapun melindungi dan merawat anak merupakan peran orangtua dalam pengasuhan.
Faktor yang mempengaruhi pengasuhan dapat berasal dari orangtua, anak, maupun
masyarakat/budaya. Martin dan Colbert (1997) menyebutkan bahwa keyakinan merupakan
salah satu faktor penting dari orangtua yang mempengaruhi nilai dan perilakunya dalam
membesarkan anak. Adapun pengaruh anak terhadap pengasuhan berasal dari kualitas pribadi
anak, meliputi temperamen, gender, dan kesehatan fisik anak (Brooks, 2008). Harkness dan
Super (1995, dalam Martin & Colbert, 1997) menjelaskan bahwa pengasuhan anak
dipengaruhi kebudayaan, dan orangtua merupakan kendaraan di mana kebudayaan itu
disampaikan kepada anak mereka. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Brooks (2008)
menjelaskan bahwa anak tinggal dalam keluarga yang bertetangga dan berkomunitas dalam
masyarakat, sehingga cara orangtua memenuhi tugas-tugasnya dipengaruhi oleh masyarakat
tersebut. Masyarakat tidak hanya memberikan dukungan sekaligus tekanan kepada orangtua
dalam mengasuh, masyarakat pun menyediakan nilai, standar berperilaku, dan pandangan
bersama mengenai dunia yang kemudian orangtua sosialisasikan kepada anak mereka.
Martin dan Colbert (2008) menjelaskan bahwa pada dasarnya, kehidupan orangtua dan
anak akan terus saling berhubungan selama hidup. Sepanjang waktu, walaupun anak menjadi
kian mandiri, orangtua akan tetap memiliki pengaruh yang kuat bagi kehidupan anak. Papalia,
Olds, dan Feldman (2009) pun menyatakan bahwa anak berusia dewasa pada dasarnya tetap
membutuhkan penerimaan, empati, dan dukungan orangtuanya.

Penyidik Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA)
Berdasarkan website resmi kepolisian Uppabareskrip.Info, dikatakan bahwa unit
Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) merupakan suatu unit yang bertugas menangani kasus
terkait dengan perempuan dan anak, baik sebagai korban maupun pelaku kejahatan, yang
berkedudukan di bawah Direktorat I/Keamanan dan Trans Nasional Bareskrim Polri. Dasar
pembentukan unit ini, antara lain: UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 23 Th
2004 tentang P- KDRT, UU No. 23 Th 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 13 Th 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No.21 Th 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Adapun visi, misi, peranan, tugas, dan fungsi unit ini
tercantum dalam peraturan Kapolri No. 10 Th 2007 tentang OTK UPPA. Secara umum, unit
ini didirikan untuk memberikan pelayanan yang empatik dan perlindungan yang profesional

bagi perempuan dan anak terkait masalah KDRT, kekerasan, termasuk kekerasan seksual,
perdagangan manusia, dan tindak kejahatan lainnya terkait perempuan dan anak. Selain terkait
perlindungan dan penanganan hukum, penyidik unit ini pun bertugas memberikan konseling
dan merujuk korban ke Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) atau rumah sakit terdekat.

Penelitian Rape Myth Acceptance pada Masyarakat dan Polisi
Salah satu penelitian komprehensif terkait viktimisasi korban (blaming the victim)
adalah penelitian Hubert Field (1987, dalam Matlin, 1987). Field melakukan survey terhadap
lebih dari seribu orang yang terdiri atas masyarakat, konselor perkosaan, pelaku perkosaan,
dan petugas polisi. Hasil penelitian Feild (1987, dalam Hyde, 1990) menunjukkan terdapat
perbedaan sikap terhadap perkosaan yang signifikan antara pelaku dengan konselor
perkosaan. Pelaku perkosaan cenderung berpendangan bahwa mencegah perkosaan utamanya
merupakan tanggung jawab perempuan, perkosaan dimotivasi oleh minat pada seks, korban
memicu terjadinya perkosaan melalui penampilan atau perilakunya, dan pelaku perkosaan
secara mental tidak sehat. Adapun pandangan polisi mengenai perkosaan lebih menyerupai
pandangan pelaku daripada konselor perkosaan sedangkan sikap terhadap perkosaan yang
paling mirip adalah antara polisi dengan masyarakat. Hasil penelitian itu pun menunjukkan
laki-laki daripada perempuan secara signifikan lebih berpandangan bahwa mencegah
terjadinya perkosaan merupakan tanggung jawab perempuan, korban memicu perkosaan
melalui penampilan dan perilakunya, pelaku perkosaan tidak dimotivasi oleh kebutuhan akan
kekuasaan atas perempuan, dan seharusnya perempuan tidak menolak diperkosa.
Penelitian lain yang spesifik mengukur rape myth acceptance pada polisi adalah yang
dilakukan oleh Page (2010). Hasil penelitian itu menunjukan bahwa mayoritas polisi (93%)
setuju bahwa secara umum perempuan mana pun rentan diperkosa. Namun, secara spesifik,
sebagian dari mereka masih meragukan laporan perkosaan dari perempuan dengan
karakteristik tertentu, seperti: istri yang mengaku diperkosa suaminya, pekerja seksual,
perempuan perawan, dan wanita karir. Tampak bahwa terdapat kontrakdiksi antara rape myth
acceptance secara umum dengan komponen spesifik rape myth aceptance, khususnya terkait

karakterisktik perempuan yang diyakini dapat mengalami perkosaan.
Di Indonesia, penelitian spesifik mengenai mitos perkosaan atau rape myth acceptance
belum pernah peneliti temukan. Adapun penelitian terkait perkosaan dan hukum yang pernah
dilakukan adalah oleh Widayanti, Wurdani, dan Sukaten (1997). Dalam penelitiannya, mereka
melakukan survey melalui kuesioner dan wawancara kepada korban, penyidik, hakim, ahli
hukum, dan masyarakat di Yagyakarta. Hasil penelitian tersebut menunjukkan penerimaan

atau sikap pandang aparat hukum terhadap korban perkosaan kurang baik, di mana korban
hanya dianggap sebagai saksi pelaku dan alat bukti untuk membuktikan kesalahan pelaku.
Perbuatan perkosaan tidak dipandang sebagai perbuatan yang merugikan korbannya. Selain
itu, berdasarkan wawancara dengan korban, secara psikologis dan sosiologis korban merasa
posisinya kurang diuntungkan dibandingkan pelaku. Para korban pun merasa hukum
belum/tidak melindungi korban karena putusan pidana untuk pelaku dianggap terlalu ringan
dan tidak memberikan efek jera pada pelaku. Walaupun ancaman hukuman maksimal 12
tahun dalam pasal 285 KUHP dirasa cukup memadai, dalam prakteknya hukuman tersebut
hanya diterapkan rata-rata 7 bulan hingga 2 tahun, sehingga dirasa tidak sebanding dengan
penderitaan mental, fisik, dan sosial korban. Pola penjatuhan hukuman tersebut pun tidak
dapat memberikan rasa keadilan bagi pelaku, korban, dan masyarakat serta lebih jauh
menyebabkan penghargaan terhadap hukum semakin menurun.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Rahayu, Sekartadji, dan Rochaeti (2005), yakni
mengenai penanganan perempuan korban kekerasan seksual dalam ruang pelayanan khusus
(RPK) kota Semarang. Hasil penelitian tersebut menunjukkan seringkali dalam pikiran polisi
telah terpola secara stereotipik bahwa perempuan yang menjadi korban kekerasan mempunyai
andil besar dalam terjadinya kekerasan tersebut. Perempuan korban kekerasan enggan
melapor ke polisi karena adanya kecenderungan perilaku polisi yang seringkali menggunakan
ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan bersifat melecehkan, sehingga tidak tertutup
kemungkinan terjadi pelecehan baru di kantor polisi.

Metode
Partisipan
Penelitian ini menggunakan nonequivalent group design untuk membandingkan rape
myth acceptance pada kelompok partisipan orangtua yang memiliki anak perempuan dewasa

muda dan penyidik unit elayanan Perempuan dan Anak. Partisipan dalam penelitian
berjumlah 68 orang yang terdiri dari 34 partisipan dalam masing-masing kelompok. Masingmasing kelompok partisipan terdiri dari 19 partisipan laki-laki dan 15 partisipan perempuan
yang mayoritas berada pada rentang usia 41 – 50 tahun (32,3 %) dan umumnya merupakan
lulusan S1 (54,4%). Adapun partisipan diambil dengan teknik accidental sampling.

Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah rape myth acceptance, yakni
kecenderungan seseorang menerima keyakinan yang salah mengenai perkosaan, korban, dan

pelakunya. Variabel tersebut diukur melalui pengisian 45 item (termasuk 5 item palsu) alat
ukur Illinois Rape Myth Acceptance yang dikembangkan oleh Payne, Lonsway, dan
Fitzgerald (1999) dan telah diadaptasi oleh peneliti.

Analisis
Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rape myth acceptance yang signifikan
antara kedua kelompok partisipan dalam penelitian, di mana partisipan orangtua diduga
memiliki rata-rata nilai rape myth acceptance yang lebih rendah daripada penyidik unit PPA,
peneliti menggunakan teknik statistik independent t-test. Teknik statistik yang sama pun
digunakan untuk membandingkan rata-rata nilai rape myth acceptance antara partisipan lakilaki dengan perempuan sebagai hasil tambahan dalam penelitian ini.

Hasil
Hasil Utama
Hasil analisis utama dalam penelitian ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan rape
myth acceptance yang signifikan antara orangtua yang memiliki anak perempuan dewasa

muda dengan penyidik unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) (t = -1,439, p > 0,05).
Dengan kata lain, hipotesis dalam penelitian ini, yang menyebutkan bahwa rape myth
acceptance orangtua secara signifikan lebih rendah daripada rape myth acceptance penyidik

unit PPA (Ha = RMAorangtua < RMApenyidik), ditolak. Berikut tabel statistiknya.
Tabel 1.1
Perbandingan Rape Myth Acceptance antara Kelompok Partisipan Orangtua dengan
Kelompok Partisipan Penyidik unit PPA
Kelompok

N

Mean

SD

Orangtua

34

125,44

19,087

UPPA

34

132,26

20,007

T

Sig. (One-tailed)

Keterangan

-1,439

0,0775

Tidak
Signifikan

Perbandingan ketujuh subskala rape myth acceptance pada kedua kelompok
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada subskala perkosaan merupakan perkara
sepele, di mana penyidik unit PPA secara signifikan lebih tinggi rata-rata nilainya (M = 14,79,
SD = 4,142) dibandingkan orangtua (M = 12,24, SD = 3,772). Lebih lanjut, perbandingan

ketujuh subskala ini disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 1.2
Perbandingan Subskala Rape Myth Acceptance antara Kelompok Partisipan Orangtua
dengan Penyidik unit PPA
Subskala

Kelompok

N

Mean

SD

Orangtua

34

30,18

6,802

UPPA
Orangtua
UPPA
Orangtua
UPPA
Orangtua
UPPA
Orangtua
Perempuan berbohong
UPPA
Perkosaan adl. perkara Orangtua
sepele
UPPA
Orangtua
Perkosaan adl.
kejadian menyimpang UPPA

34
34
34
34
34
34
34
34
34
34
34
34
34

30,24
13,24
14,94
20,35
21,82
11,32
11,38
15,12
16,62
12,24
14,79
23,00
22,47

6,282
4,171
4,192
4,074
4,668
3,418
3,508
3,264
4,880
3,772
4,142
4,723
4,371

Perempuan minta
diperkosa
Perkosaan tidak
terjadi
Ia tidak berniat
memperkosa
Perempuan ingin
diperkosa

T

Sig. (2tailed)

-0,037

0,971

-1,682

0,097

-1,384

0,171

-0,070

0,944

-1,490

0,142

-2,663

0,010

Signifikan

0,480

0,633

Tidak
Signifikan

Ket.
Tidak
Signifikan
Tidak
Signifikan
Tidak
Signifikan
Tidak
Signifikan
Tidak
Signifikan

Berdasarkan kecenderungan respon kedua kelompok partisipan terhadap skala umum
rape myth acceptance, tampak bahwa baik orangtua (M = 3,14) maupun penyidik unit PPA

(M = 3,31) sama-sama berkecenderungan merespon “agak tidak setuju”. Adapun pada ketujuh
subskala rape myth acceptance, respon tertinggi kedua kelompok partisipan (Morangtua = 4,07,
Mpenyidik = 4,36), yakni “agak setuju”, terletak pada subskala laki-laki sebenarnya tidak

bermaksud memperkosa. Sebaliknya, respon terendah kedua kelompok partisipan (Morangtua =
2,26, Mpenyidik = 2,28), yakni “tidak setuju”, terletak pada subskala perempuan sesungguhnya
menginginkan dirinya diperkosa. Data lebih lanjut tersaji dalam tabel berikut.
Tabel 1.3
Kecenderungan Orangtua dan Penyidik Unit PPA Merespon Skala Umum dan Subskala Rape
Myth Acceptance
Skala/Subskala
Orangtua Penyidik
Respon
Skala Umum
Rape myth acceptance

3,14

3,31

Agak Tidak Setuju

Subskala
Perempuan meminta diperkosa

3,77

3,78

Agak Setuju

Perkosaan sebenarnya tidak terjadi
Dia tidak bermaksud memperkosa
Perempuan ingin diperkosa

2,65
4,07
2,26

2,99
4,36
2,28

Agak Tidak Setuju
Agak Setuju
Tidak Setuju

Perempuan berbohong

3,02

3,32

Agak Tidak Setuju

Perkosaan adl. perkara sepele

2,45

2,96

Agak Tidak Setuju

Perkosaan adl. kejadian menyimpang

3,29

3,21

Agak Tidak Setuju

Hasil Tambahan
Hasil analisis tambahan dalam penelitian ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan
rape myth acceptance yang signifikan antara partisipan laki-laki (M = 130,34, SD = 20,502)

dengan partisipan perempuan (M = 126,97, SD = 18,827), di mana t = 0,699, p > 0,05.
Tabel 2.1
Perbandingan Rape Myth Acceptance antara Partisisipan Berjenis Kelamin Laki-laki dengan
Partisipan Berjenis Kelamin Perempuan
Kelompok

N

Mean

SD

Laki-laki

38

130,34

20,502

Perempuan

30

126,97

18,827

T

Sig. (One-tailed)

Keterangan

0,699

0,2435

Tidak
Signifikan

Perbandingan ketujuh subskala rape myth acceptance pada kedua kelompok tersebut
menunjukan adanya perbedaan yang signifikan pada subskala perempuan sebenarnya ingin
dirinya diperkosa, di mana partisipan laki-laki secara signifikan lebih tinggi rata-rata nilainya
(M = 12,24, SD = 3,627) dibandingkan perempuan (M = 10,23, SD = 2,861).
Tabel 2.2
Perbandingan Subskala Rape Myth Acceptance antara Partisipan Berjenis Kelamin Laki-laki
dengan Partisipan Berjenis Kelamin Perempuan
Subskala

Kelompok

N

Mean

SD

Perempuan meminta
diperkosa

Laki-laki

38

30,24

6,377

Perempuan

30

30,17

6,757

Perkosaan sebenarnya
tidak terjadi

Laki-laki

38

14,84

4,493

Perempuan

30

13,13

3,748

Dia tidak bermaksud
memperkosa

Laki-laki

38

20,76

4,767

Perempuan

30

21,50

3,954

Perempuan ingin
diperkosa

Laki-laki

38

12,24

3,627

Perempuan

30

10,23

2,861

Laki-laki

38

16,29

3,763

Perempuan

30

15,33

4,686

Perkosaan adl. perkara Laki-laki
sepele
Perempuan

38

13,39

4,439

30

13,67

3,790

Laki-laki
Perempuan

38
30

22,58
22,93

4,836
4,168

Perempuan berbohong

Perkosaan adl.
kejadian menyimpang

T

Sig. (2tailed)

Ket.

0,044

0,965

Tidak
Signifikan

1,673

0,099

Tidak
Signifikan

-0,681

0,498

Tidak
Signifikan

2,476

0,016

Signifikan

0,934

0,354

Tidak
Signifikan

-0,267

0,790

Tidak
Signifikan

-0,319

0,751

Tidak
Signifikan

Berdasarkan kecenderungan respon kedua kelompok partisipan tersebut terhadap skala
umum rape myth acceptance, tampak bahwa baik laki-laki (M = 3,26) maupun perempuan (M
= 3,17) sama-sama berkecenderungan merespon “agak tidak setuju”. Pada ketujuh subskala
rape myth acceptance, respon tertinggi kedua kelompok partisipan (Mlaki-laki = 4,15, Mperempuan

= 4,3), yakni “agak setuju” terletak pada subskala laki-laki sebenarnya tidak bermaksud
memperkosa. Sebaliknya, respon terendah kedua kelompok partisipan (Mlaki-laki = 2,45,
Mperempuan = 2,05), yakni “tidak setuju”, terletak pada subskala perempuan sesungguhnya

menginginkan dirinya diperkosa. Berikut disajikan tabel respon kedua kelompok partisipan.
Tabel 2.3
Kecenderungan Partisipan Laki-laki dan Perempuan Merespon Skala Umum dan Subskala
Rape Myth Acceptance
Skala/Subskala
Skala Umum
Rape myth acceptance
Subskala
Perempuan meminta diperkosa
Perkosaan sebenarnya tidak terjadi
Dia tidak bermaksud memperkosa
Perempuan ingin diperkosa
Perempuan berbohong
Perkosaan adl. perkara sepele
Perkosaan adl. kejadian menyimpang

Laki-laki

Perempuan

Respon

3,26

3,17

Agak Tidak Setuju

3,78
2,97
4,15
2,45
3,26
2,68
3,23

3,77
2,63
4,3
2,05
3,07
2,73
3,28

Agak Setuju
Agak Tidak Setuju
Agak Setuju
Tidak Setuju
Agak Tidak Setuju
Agak Tidak Setuju
Agak Tidak Setuju

Diskusi
Hasil utama dalam penelitian ini menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat
rape myth acceptance yang signifikan antara orangtua yang memiliki anak perempuan berusia

dewasa muda dengan penyidik unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA). Hasil tersebut
mungkin disebabkan oleh homogenitas kedua kelompok partisipan dalam hal jumlah
partisipan berdasarkan jenis kelamin dan tingkat pendidikan yang dikonstansikan oleh
peneliti. Padahal, penelitian Burt (1980) menunjukkan bahwa, selain usia, tingkat pendidikan
merupakan salah satu faktor demografis yang berhubungan dengan rape myth acceptance, di
mana semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka rape myth acceptance-nya akan
semakin rendah. Hasil utama ini sejalan dengan hasil penelitian Feild (1978) mengenai
perbandingan sikap terhadap perkosaan pada polisi, masyarakat, konselor perkosaan, dan
pelaku perkosaan. Hasil penelitian Feild (1978) menyebutkan bahwa polisi memiliki sikap

terhadap perkosaan paling mirip dengan masyarakat dan cenderung tidak berbeda secara
signifikan dengan pelaku perkosaan dibandingkan konselor. Adapun persamaan sikap antara
pelaku perkosaan, polisi, maupun masyarakat dalam penelitian tersebut adalah sama-sama
meyakini bahwa korban bersalah atas perkosaan yang menimpanya.
Dalam penelitian ini, sikap dan rape myth acceptance penyidik tercermin dari
komentar yang kerap kali dilontarkan saat pengisian alat ukur. Komentar yang dimaksud,
antara lain “Kalau perempuannya bener, gak mabuk dan gak mau, pasti bisa ngelawan
gimanapun caranya lalu kabur” dan “Kalau terjadinya lebih dari sekali, ya gugur di mata
hukum, pasti suka sama suka itu. Kalau diperkosa kan gak mungkin terjadi berkali-kali”.
Berdasar pada anggapan tersebut, penyidik kemudian menjadi bias dalam menanggapi dan
menangani laporan yang masuk. Bias tersebut tampak dari penentuan bahwa kasus perkosaan
yang dilaporkan termasuk dalam laporan palsu. Salah seorang penyidik unit PPA di Polres
Jakarta Selatan berkata, “Mengenai perkosaan, jarang sekali kita mendapat kasus perkosaan
murni. Selama dua tahun terakhir, paling banyak hanya ada dua laporan perkosaan murni,
lainnya laporan palsu atau hubungan berdasar suka sama suka.”
Berdasarkan perbandingan ketujuh subskala rape myth acceptance pada kelompok
partisipan orangtua dan penyidik unit PPA, perbedaan yang signifikan hanya terdapat pada
subskala perkosaan merupakan perkara yang sepele. Perbedaan tersebut menunjukkan
penyidik unit PPA secara signifikan lebih meyakini bahwa perkosaan merupakan peristiwa
sepele dibandingkan partisipan orangtua. Hal ini mungkin disebabkan oleh terhabituasinya
penyidik dalam menangani kasus ini dan ditambah oleh banyaknya laporan yang dianggap
oleh penyidik sebagai laporan palsu. Menurut observasi peneliti saat pengisian alat ukur di
polres Bogor, seorang penyidik berkomentar, “Ya, kan kalau diperkosa setidaknya tidak harus
kehilangan nyawa,” saat mengisi item nomor 26 “Diperkosa tidak lebih buruk dari dirampok
atau dianiaya” yang merupakan item untuk subskala perkosaan merupakan perkara sepele.
Berdasarkan itu, peneliti pun menduga penyidik tersebut kurang dapat menempatkan dirinya
di posisi korban. Selain itu, Widayanti, Wurdani, dan Sukaten (1997) pun mengungkapkan
bahwa memang perkosaan umumnya tidak dipandang sebagai perbuatan yang merugikan
korbannya. Itu pula yang mungkin menyebabkan penyidik menganggap bahwa tindak
kejahatan ini merupakan perihal yang sepele. Adapun lebih rendahnya rata-rata nilai orangtua
dalam subskala ini mungkin disebabkan oleh atribusi perhatian mereka pada anak
perempuannya, jika anak perempuannya yang menjadi korban perkosaan hal itu bukanlah hal
yang sepele bagi mereka.
Hasil perhitungan kecenderungan respon partisipan terhadap skala umum dan subskala
rape myth acceptance menunjukkan partisipan, baik orangtua maupun penyidik, cenderung

merespon “agak tidak setuju” terhadap skala umum rape myth acceptance. Adapun pada tujuh
subskala rape myth acceptance, respon terendah, yakni “tidak setuju”, terdapat pada subskala
yang menyebutkan bahwa sesungguhnya perempuan menginginkan dirinya diperkosa.
Sedangkan respon tertinggi, yakni “agak setuju”, terdapat pada subskala yang menyebutkan
bahwa laki-laki tidak bermaksud melakukan perkosaan. Walaupun hampir semua respon
cenderung berada di sekitar nilai tengah (3,5) tampak bahwa skala umum rape myth
acceptance berada di atas nilai tengah tersebut. Selain itu, subskala yang menyebutkan bahwa

perempuan merupakan pemicu terjadinya perkosaan dan laki-laki sebenarnya tidak bermaksud
memperkosa pun berada di atas nilai tengah respon sedangnya empat subskala lainnya tampak
berada di bawah nilai tengah respon. Terkait perbandingan rata-rata nilai partisipan, tampak
bahwa walaupun subskala yang menyebutkan bahwa perkosaan merupakan perkara sepele
merupakan subskala yang menghasilkan perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok,
namun kedua kelompok partisipan cenderung merespon subskala tersebut di bawah nilai
tengah. Hal ini mengindikasikan bahwa pada dasarnya, intervensi untuk menepis mitos
perkosaan perlu dilakukan kepada kedua kelompok, baik orangtua maupun penyidik, dan
terutama ditujukan untuk kedua subskala yang berada di atas nilai tengah respon tersebut.
Sebagai hasil tambahan, peneliti pun melakukan perhitungan statistik untuk
membandingkan tingkat rape myth acceptance berdasarkan jenis kelamin partisipan. Hasil
perbandingan tersebut menunjukkan tidak terdapat perbedaan rape myth acceptance yang
signifikan antara partisipan laki-laki dengan partisipan perempuan. Hasil ini sesuai dengan
hasil penelitian Witoelar (1992) mengenai pengaruh hubungan pemerkosa-korban,
kehormatan korban, dan jenis kelamin pengamat dalam penilaian andil korban perkosaan.
Hasil penelitian tersebut menunjukan tidak ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin
pengamat, dalam hal ini adalah mahasiswa fakultas hukum, dengan penilaian andil korban
dalam kasus perkosaan. Biarpun demikian, berdasarkan rata-rata nilai rape myth acceptance
dalam penelitian ini, tampak bahwa partisipan laki-laki memiliki rata-rata nilai yang lebih
tinggi daripada partisipan perempuan. Hasil ini konsisten dengan berbagai hasil penelitian
sikap terhadap perkosaan dan rape myth acceptance sebelumnya (Burt, 1980; Field, 1978;
Kopper, 1996; Payne, Lonsway, & Fitzgerald, 1999; Witoelar, 1992). Menurut Matlin (1987),
laki-laki lebih suka meyakini bahwa penyebab perkosaan bisa diatribusikan pada kepribadian
korban dan perilaku korban sebelum terjadinya perkosaan. Selain itu, Selby, Calhount, dan
Brock (dalam Matlin, 1987) menambahkan bahwa perempuan lebih cenderung menyalahkan
pelaku perkosaan dibandingkan laki-laki.
Hasil perbandingan ketujuh subskala rape myth acceptance berdasarkan jenis kelamin
menunjukkan bahwa subskala sesungguhnya perempuan menginginkan dirinya diperkosa

merupakan satu-satunya subskala yang berbeda secara signifikan antara laki-laki dengan
perempuan. Berdasarkan subskala tersebut, partisipan laki-laki secara signifikan lebih
meyakini bahwa perempuan berhasrat untuk diperkosa atau berhubungan seksual dengan
paksaan. Terkait hal ini, Matlin (1987) menyebutkan bahwa laki-laki memegang teguh
keyakinan bahwa perempuan berkeinginan untuk diperkosa karena perkosaan merupakan
sebuah

perilaku

yang

mereka

lakukan

atas

dasar

maskulinitas

dan

perempuan

menginginkannya atas nama feminitas. Hasil tersebut pun tercermin dari komentar partisipan
laki-laki saat pengisian alat ukur, seperti, “Ya, kadang memang gitu sih perempuan, emang
lebih suka kalau agak dipaksa”.
Terkait kecenderungan respon antara partisipan laki-laki dan perempuan, tampak
bahwa baik partisipan laki-laki maupun perempuan cenderung merespon “agak tidak setuju”
pada skala umum rape myth acceptance. Adapun pada ketujuh subskala rape myth
acceptance, rata-rata partisipan laki-laki dan perempuan merespon pada rentang “tidak setuju”

hingga “agak setuju”, di mana subskala dengan respon terendah terendah adalah perempuan
sebenarnya menginginkan dirinya diperkosa dan respon tertinggi adalah pada subskala lakilaki tidak benar-benar bermaksud memperkosa. Jika dikaitkan dengan perbandingan rata-rata
nilainya, subskala yang direspon “tidak setuju” tersebut merupakan satu-satunya subskala di
mana terdapat perbedaan rata-rata nilai yang signifikan antara laki-laki dengan perempuan.
Jika berdasarkan nilai tengah respon (3,5), tampak bahwa baik laki-laki maupun perempuan
cenderung merespon diatas nilai tengah tersebut pada subskala perempuan merupakan minta
diperkosa atau pemicu terjadinya perkosaan dan laki-laki tidak bermaksud melakukan
perkosaan, sedangkan empat skala lainnya cenderung berada direspon di bawah nilai tengah
tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa intervensi untuk menepis mitos perkosaan penting
dilakukan pada partisipan baik yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan,
khususnya pada subskala yang direspon di atas nilai tengah.
Dari keseluruhan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa partisipan penelitian,
apapun status dan jenis kelaminnya, tidak terlepas dari pengaruh mitos perkosaan. Mitos
perkosaan merupakan salah satu faktor kultural pendorong langgengnya tindak kriminal
perkosaan. Dengan demikian, penting kiranya intervensi dilakukan kepada laki-laki maupun
perempuan dan orangtua atau masyarakat maupun penyidik. Intervensi tersebut dimaksudkan
untuk menepis sikap dan anggapan-anggapan yang salah mengenai perkosaan sehingga
korban cukup dapat merasa aman dan tidak lagi enggan melaporkan kasusnya sehingga
keadilan hukum pun dapat diperoleh. Pada akhirnya, intervensi tersebut pun akan
berpengaruh pada hukum dan iklim kriminalitas, khususnya perihal tindak perkosaan.

Penelitian terkait mitos perkosaan merupakan tahap awal dari intervensi iklim
kriminalitas terkait perkosaan. Selain itu, penelitian ini merupakan penelitian yang masih
sangat sederhana terkait mitos perkosaan. Peneliti menyadari banyaknya kekurangan yang
terdapat dalam penelitian ini, seperti tidak adanya pengujian validitas dan reliabilitas alat ukur
secara kuantitatif, kurangnya observasi dan perolehan data yang dapat memperkaya hasil
penelitian, dan kurangnya referensi yang dapat diperoleh peneliti untuk memperkuat dasar
teori dalam penelitian ini, terutama referensi mengenai penelitian rape myth acceptance yang
berasal dari Indonesia yang tidak berhasil peneliti temukan. Hampir semua referensi
mengenai rape myth acceptance diperoleh dari referensi luar negeri, khususnya negara barat.
Oleh karena itu, peneliti berharap akan ada penelitian lanjutan dan lebih baik terkait topik ini.
Penelitian lanjutan tersebut diharapkan dapat memperkaya pengetahuan mengenai rape myth
acceptance, memperluas jangkauan bahasan mengenai rape myth acceptance pada

masyarakat Indonesia, dan membuktikan kebenaran berbagai asumsi yang telah dipaparkan.
Bagaimanapun, dengan latar belakang serta karakteristik masyarakat dan budaya yang
berbeda dengan Indonesia, sangat mungkin ada hal-hal spesifik dan unik terkait topik rape
myth acceptance di Indonesia yang tidak dapat dijelaskan oleh teori-teori barat. Selain itu, ada

kemungkinan masyarakat Indonesia memiliki mitos-mitos perkosaan yang spesifik dan tidak
terdapat di negara-negara barat, mitos-mitos perkosaan yang lebih kuat dipegang dan juga
mempengaruhi sikap masyarakat Indonesia dalam menanggapi tindak kejahatan ini.
Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil utama dalam penelitian ini, antara lain: tidak terdapat perbedaan
rape myth acceptance yang signifikan antara orangtua yang memiliki anak perempuan dewasa

muda dengan penyidik unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Jakarta dan sekitarnya,
penyidik unit PPA secara signifikan lebih menganggap bahwa perkosaan merupakan perkara
sepele dibandingkan orangtua, dan berdasarkan kecenderungan respon kedua partisipan, ratarata respon tertinggi partisipan terletak pada subskala yang menyatakan bahwa laki-laki
sebenarnya tidak bermaksud memperkosa perempuan, di mana partisipan orangtua dan
penyidik sama-sama merespon agak setuju pada subskala tersebut. Adapun rata-rata respon
terendah adalah pada subskala perempuan sebenarnya ingin dirinya diperkosa, yakni tidak
setuju.
Kesimpulan dari hasil tambahan dalam penelitian ini, antara lain: tidak terdapat
perbedaan rape myth acceptance yang signifikan antara partisipan laki-laki dengan partisipan
perempuan, partisipan laki-laki secara signifikan lebih meyakini bahwa perempuan

sebenarnya menginginkan dirinya diperkosa dibandingkan partisipan perempuan, dan
berdasarkan kecenderungan respon kedua partisipan, rata-rata respon tertinggi partisipan
terletak pada subskala yang menyatakan bahwa laki-laki sebenarnya tidak bermaksud
memperkosa perempuan, di mana partisipan laki-laki dan perempuan sama-sama merespon
agak setuju pada subskala tersebut. Adapun rata-rata respon terendah adalah pada subskala
perempuan sebenarnya ingin dirinya diperkosa, yakni tidak setuju.

Saran
Saran metodologis yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya, antara lain:
perluas cakupan penelitian dengan data demografi dan variabel lain yang lebih variatif dan
terkait rape myth acceptance, persiapkan penelitian dengan lebih matang dan antisipatif
(terkhusus masalah birokrasi), adakan pengujian reliabilitas dan validitas alat ukur secara
kuantitatif, tingkatkan kontrol dan observasi selama pengambilan data, perkaya data dengan
wawancara partisipan (jika memungkinkan), dan jika memungkinkan adakan survey
mengenai mitos perkosaan di Indonesia karena perbedaan latar belakang budaya dengan
negara barat, memungkinkan Indonesia memiliki mitos perkosaan yang khas dan berbeda.
Saran praktis yang dapat diberikan, antara lain: perbaikan sistem rekrutmen penyidik
unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA), pembekalan yang memadai terkait tugas dan
sikap penyidik unit PPA, seperti pelatihan konseling dan pelatihan/sosialisasi sensitif gender,
peningkatan sosialisasi mengenai fakta-fakta terkait perkosaan untuk menepis mitos
perkosaan yang tersebar dimasyarakat, dan peningkatan dukungan untuk memperoleh
keadilan hukum bagi korban perkosaan.

Kepustakaan
Amelia, E. (2010, 2 Januari). Perkosaan di angkot masih menghantui Jakarta . Dipetik 28
Januari 2011 dari Detik.Com:
http://www.detiknews.com/read/2012/01/02/145431/1804740/10/2012-perkosaan-diangkot-masih-menghantui-jakarta?nd992203605
Anderson, K. B., Cooper, H., dan Okamura, L. (1997). Abstrak: Individual differences and
attitudes toward rape: A meta-analytic review. Personality and Social Psychology
Bulletin, 23, 295-325. Dikutip dari http://psp.sagepub.com/content/23/3/295.abstract
Briere, J., Malamuth, N., & Check, J. (1985). Sexuality and rape-supportive belief.
International Journals of Women’s Studies, 8, 398-403.
Brooks, Jane. (2008). The process of parenting (7th Edition). New York: McGraw Hill, Inc.

Brownmiller, S. (1975). Against our will: Men, women, and rape. New York: Simon and
Schuster.
Burt, M. R. (1980). Cultural myth and supports for rape. Journal of Personality and Social
Psychology, 38(2), 217-230.
Feild, H. S. (1978). Abstrak: Attitudes toward rape: A comparative analysis of police, rapists,
crisis counselors, dan citozens. Journal of Personality and Social Psychology, 36(2),
156-179. Dikutip dari
https://www.ncjrs.gov/App/Publications/abstract.aspx?ID=46480
Gatra, S. (2012, 6 Maret). Marzuki Ali: Pelecehan seksual dipicu pakaian tak pantas. Dipetik
6 September 2012 dari Kompas.Com:
http://nasional.kompas.com/read/2012/03/06/14273563/Marzuki.Ali.Pelecehan.Seksua
l.Dipicu.Pakaian.Tak.Pantas
Hyde, J. S. (1990). Understanding human sexuality (4th ed.). New York: McGraw Hill, Inc.
Khaerudin dan Mulyadi, A. (2011, 24 November). Perkosaan, kekerasan seksual terbanyak di
Indonesia . Dipetik 28 Januari 2012 dari Kompas.Com:
http://nasional.kompas.com/read/2011/11/24/21344444/Perkosaan.Kekerasan.Seksual.
Terbanyak.di.Indonesia
Kopper, B. A. (1996). Gender, gender identity, rape myth acceptance, and time of initial
resistance on the perception of acquaintance raoe blame and avoidability. Sex Roles: A
Journal of Research, (34), 81-93. DOI: 10.1007/BF01544797
Kurniawati Y. (2012, 25 Januari). Jangan telanjangi korban perkosaan. Dipetik 28 Januari
2012 dari Kompasiana.Com: http://sosbud.kompasiana.com/2012/01/25/jangantelanjangi-korban-perkosaan/
Latif, S., Widjaja, I., dan Afrianti, D. (2011, 18 September). Rok mini dan keamanan warga
perempuan. Dipetik 28 Januari 2012 dari VivaNews.Com:
http://fokus.vivanews.com/news/read/248040-perkosaan-di-angkot--rok-minidisalahkan
Lonsway, K. dan Fitzgerald, L. (1994). Abstrak: Rape myths: In review. Psychology of
Women Quarterly, 18, 133-164. Dikutip dari
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1471-6402.1994.tb00448.x/abstract
Lonsway, K. Dan Fitzgerald, L. (1995). Attitudinal anticedents of rape myth acceptance: A
theoretical and empirical reexamination. Journal of Personality and Social
Psychology, 68(4), 704-711.
Martin, C. A. dan Colbert, K. K. (1997). Parenting: A life span perspective. Boston: McGraw
Hill, Inc.
Matlin, M. W. (1987). The psychology of women. Orlando: Holt, Rinehart, and Winston.

Page, A. D. (2010) True colors: Police officers and rape myth acceptance. Feminist
Criminology, 5(4), 315-334. DOI: 10.1177/1557085110384108
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, E. D. (2009). Human Development (11th edition).
New York: McGraw-Hill, Inc.
Pawestri, T. (2011, 20 September). Bukan salah korban pemerkosaan. Dikutip 19 September
2012 dari Tempo.Com: http://www.tempo.co/read/kolom/2011/09/20/450/BukanSalah-Korban-PemerkosaanPoerwandari, K. (2008). Penguatan psikologis untuk menanggulangi kekerasan dalam rumah
tangga dan kekerasan seksual: Panduan dalam bentuk tanya-jawab. Jakarta: Program
Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Rahayu, Sekartadji, K., dan Rochaeti, N. (2005). Penanganan RPK (Ruang Pe