Tiga Sudut Pandang Ekonomi Islam

Pandangan Ekonomi Islam

Sama tujuan, beda pandangan. Ini juga terjadi dalam memahami dan menggali ekonomi Islam.
Ekonom Islam telah membuat garis damarkasi yang jelas antara ilmu ekonomi konvensional dan
ilmu ekonomi Islam. Keduanya tidak mungkin dikompromikan, karena keduanya didasarkan pada
paradigma yang berbeda. Namun ketika kepada mereka disodorkan bagaimana menjelaskan dan
mengkonsep ekonomi Islam itu, muncullah perbedaan pendapat yang tajam.
Setidaknya, sampai saat ini, seperti disampaikan pakar ekonomi Islam Adiwarman A Karim,
pemikiran ekonom muslim kontemporer terbagi dalam tiga kubu dengan cara pandang yang khas
dan berbeda satu sama lain. Mereka adalah madzab Baqir as-Sadr, madzhab mainstream, dan
madzhab alternatif-kritis.
Madzhab pertama dipelopori oleh Baqir As-Sadr melalui buku fenomenal: Iqtishaduna (ekonomi
kita). Belakangan muncul tokoh-tokoh pendukung yang ikut mempopulerkan madzhab ini seperti
Abbas Mirakhor, Baqir al-Hasan, Kadim as-Sadr, Iraj Taotounchian dan Hedayati.
Dalam buku Iqtishaduna, Baqir memaparkan betapa ilmu ekonomi (economics) tidak akan
pernah sejalan dengan Islam. Secara ketat dia menegaskan, ilmu ekonomi tetaplah ekonomi, dan
Islam tetap Islam. Keduanya tidak bisa disatukan karena terlahir dari filosofi yang secara
diametral bertentangan: anti-Islam dan Islam.
Perbedaan yang tajam itu mencuat pada mencoloknya perbedaan pandangan dalam melihat dan
memetakan masalah ekonomi. Sebagai misal, dalam melihat problema mendasar dari ekonomi.
Ilmu ekonomi menjelaskan persoalan ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang

tak terbatas, sementara sumberdaya yang bisa digunakan untuk memuaskan keinginan itu
sangat terbatas.
Madhzab Baqir menolak pandangan ini. Mereka menyebut Islam tidak mengenal adanya
sumberdaya yang terbatas. ''Sungguh Kami telah menciptakan segala sesuatu dalam ukuran
yang setepat-tepatnya.'' Dalil yang mereka petik dari Alquran 54:49 itu menjadi rujukan betapa
sumberdaya sudah diciptakan Allah dalam ukuran yang tepat. Dengan demikian segala
sesuatunya sudah terukur dengan sempurna, karena Allah telah memberikan sumberdaya yang
cukup bagi seluruh ummat manusia di dunia.
Akan halnya sumberdaya yang terbatas yang mereka tolak, mereka juga menampik pandangan
bahwa keinginan manusia itu tak terbatas. Sebagai contoh, manusia akan berhenti minum
setelah dahaganya terpuaskan. Contoh yang sangat mudah dimengerti ini, bahkan dalam literer
ilmu ekonomi konvensional dikenal dengan Hukum Gossen.
Lalu apa persoalan ekonomi yang sebenarnya? Madzhab Baqir menjelaskan, persoalan ekonomi
muncul sebagai akibat adanya sistem ekonomi yang membolehkan adanya eksploitasi dari yang
kuat terhadap yang lemah. Mereka yang kuat memiliki akses terhadap sumberdaya sehingga
seolah menggenggam kunci untuk membuka sumberdaya untuk terus memupuk kekayaannya.

Sedangkan yang lemah tidak memiliki akses yang sama sehingga terus terkepung oleh
kemiskinan yang terus-menerus membuatnya makin papa.
Dalih inilah yang mereka ajukan untuk menjungkirbalikkan argumen ekonomi konvensional dan

seklaigus menandaskan, persoalan ekonomi bukanlah karena sumberdaya yang terbatas.
Persoalan ekonomi muncul karena keserakahan manusia yang tidak terbatas.
Berdasarkan gambaran ini, mereka menolak istilah ilmu ekonomi Islam. Istilah itu mereka
katakan sebagai bentuk yang menyesatkan dan kontradiktif, dan kerenanya penggunaan istilah
ilmu ekonomi Islam harus dihentikan. Alternatifnya, mereka mengusulkan istilah Iqtishad yang
berakar dari terminologi Islam sendiri.
Istilah Iqtishad bukanlah sekedar mengalihbahasakan ekonomi dalam kosakata Arab. Sebab,
menurut mereka, istilah itu dalam bahasa aslinya merujuk pada arti ''keadaan sama'', ''seimbang''
atau ''pertengahan'' yang dalam bahasa ekonomi lebih dikenal dengan ekuilibrium.
Upaya penggantian istilah kemudian berlanjut pada radikalisasi yang mengerucut pada
penolakan dan pembuangan seluruh ilmu ekonomi konvensional. Sebagai pengganti, mereka
menuliskan sendiri teori-teori ekonomi yang digali dan dideduksi dari Al-quran dan As-Sunnah.
{Madzhab Mainstream}
Berbeda dengan Baqir, Madzhab Mainstream malah mendukung rumusan yang telah digulirkan
ilmu ekonomi konvensional. Persoalan ekonomi, menurut madzhab ini, terjadi karena
sumberdaya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tak terbatas.
Uniknya untuk mendukung teorema ini, tak kalah dengan Baqir, mereka juga merujuk dari dalil
Alquran. ''Dan Sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.''
Jelaslah betapa sumberdaya memang terbatas seperti diakui sendiri oleh Al Quran 2:155 itu.

Lebih konkret lagi mereka mencontohkan, total permintaan dan penawaran beras di seluruh
dunia memang akan berada pada titik ekuilibrium. Namun kenyataan itu akan berbeda bila dilihat
dari sisi tempat dan waktu. Pada sisi ini akan sangat mungkin terjadi kelangkaan sumberdaya.
Dan inilah yang sering terjadi. Suplai beras di Ethiopia dan Bangladesh, misalnya, lebih langka
dibanding dengan yang ada di Thailand. Keterbatasn sumberdaya ini yang menurut mereka tidak
bisa dinafikan.
Permasalahan bagi ilmu ekonomi adalah bagaimana menata skala prioritas. Ilmu ekonomi
konvensional menyerahkan penataan ini pada selera manusia. Prinsip ini tidak bersesuain
dengan prinsip Islam karena manusia bisa terjerumus pada apa yang disebut oleh Al-Quran
dengan 'mempertuhankan hawa nafsu'.
Pandangan madzhab Mainstream tidak ada bedanya dengan pandangan ekonomi konvensional.
Titik pangkal persoalan ekonomi menurut mereka adalah kelangkaan sumber daya (scarcity).
Namun meskipun sama-sama memandang kelangkaan sebagai titik masalah, tentu saja
madzhab Mainstream tetap berbeda dengan ekonomi konvensional.
Perbedaan itu terletak dalan menyelesaikan masalah. Kesulitan yang hadir karena sumber daya
yang terbatas di satu pihak dan keinginan manusia yang tak terbatas di sisi lainnya, memaksa
manusia membuat skala prioritas dalam memenuhi keinginannya.
Dalam pandangan ekonomi konvensional pola penentuan skala prioritas itu didasarkan pada
pandangan selera masing-masing.
Mereka boleh mempertimbangkan tuntutan agama, pun boleh mengabaikannya. Dengan kata

lain pilihan prioritas itu diserahkan pada keinginan mereka yang bebas atau yang dalam bahasa
Al-Quran disebut sebagai 'mempertuhankan hawa nafsu'.

Di sinilah bedanya. Madzhab Mainstream menegaskan pilihan dalam menata prioritas ekonomi
itu tak bisa diatur semaunya saja. Sebab, perilaku manusia dalam segala aspeknya tak terkecuali
masalah ekonomi, diatur dan dipandu oleh Al-Quran. Pandangan inilah yang dipopulerkan oleh
antara lain Umer Chapra, MA Mannan, dan M Nejatullah Siddiqi.
Banyak pendukung madzhab ini yang bekerja di Islamic Development Bank (IDB). Karena
mereka memiliki akses ke berbagai negara, ide-idenya lebih cepat dan mudah tersebar.
Kebanyakah dari mereka adalah doktor yang belajar dan sekaligus mengajar di universitasuniversitas Barat.
Sangat wajar bila mereka tidak pernah membuang teori-teori ekonomi konvensional ke keranjang
sampah. Menurut mereka, usaha mengembangkan ekonomi Islam tidak berarti harus
memusnahkan semua hasil analisis yang berharga yang telah dicapai oleh ekonomi
konvensional. Sebab, mengambil hal-hal yang baik dan berguna yang dihasilkan oleh peradaban
nonislam tidaklah diharamkan. Mereka merujuk pada hadits Nabi yang mengatakan hikmah itu
bagi ummat Islam ibarat barang yang hilang di mana saja ditemukan, ummat Islamlah yang
paling berhak untuk mengambilnya.
Madzhab alternatif-kritis
Dua madzhab sebelumnya: madzhab Baqir dan Mainstream sama-sama bermasalah.
Setidaknya, itulah yang memicu lahirnya paham ketiga dalam memandang ekonomi Islam.

Madzhab ini lebih dikenal sebagai madzhab Alternatif-Kritis. Di antara pelopornya adalah Timur
Koran (ketua Jurusan Ekonomi University of Southern California), Jomo (Yale, Cambride,
Harvard, Malaya) dan Muhammad Arif.
Mereka mengkritik madzhab Baqir hanya berusaha menemukan sesuatu yang baru yang
sebenarnya sudah ditemukan oleh orang lain dengan menghancurkan teori lama dan
menggantinya dengan perspektif yang baru. Sedang madzhab mainstream menurut mereka
sekedar 'jiplakan' dari teori ekonomi konvensioanl dengan menghilangkan variabel riba dan
memasukkan variabel zakat serta niat.
Sesuai namanya, mereka mencoba kritis baik terhadap sosialisme dan kapitalisme ataupun
kepada Islam sendiri. Mereka yakin bahwa Islam tentu benar, tapi ekonomi Islami belum tentu
benar karena itu digali dari penafsiran manusia terhadap Al-Quran dan As-Sunnah yang nilai
kebenarannya tidak mutlak lagi. Oleh karena itu, tandas mereka, ekonomi Islam harus selalu diuji
kebenarannya sebagaimana yang dilakukan terhadap ekonomi konvensional.
Prinsip-prinsip umum
Meskipun berbeda dalam memformulasikan pandangan dalam memahami ekonomi Islam,
namun ketiga madzhab di muka setuju dengan prinsip-prinsip umum yang mendasari ekonomi
Islam. Prinsip inilah yang membentuk keseluruhan kerangka ekonomi Islam yang bisa
digambarkan sebagai bangunan rumah dari mulai dasar hingga atapnya (lihat gambar).
Fondasi dari bangunan ekonomi Islam dibangun di atas lima dasar: tauhid (keimanan), 'adl
(keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintahan) dan ma'ad (hasil). Kelima elemen

inilah yang menjadi dasar inspirasi untuk menyususn proposisi dan teori ekonomi Islam.
Agar teori yang kuat ynag digali dari ke lima elemen itu bisa diterapkan dan memberi dampak
bagi kehidupan ekonomi maka harus disusun menjadi sebuah sistem.
Karena itulah dari kelima dasar itu kemudian dieksplorasi dan kemudian diturunkan menjadi tiga
prinsip derivatif yang menjadi cikal bakal sistem ekonomi Islam. Ketiga unsur ini adalah
kepemilikan multi jenis (multitype ownership), kebebasan untuk berusaha (freedom to act) dan
keadilan sosial (social justice).
Baru sebagai atap yang memayungi semua nilai dan prinsip itu ditempatkan konsep akhlaq.

Kenapa demikian, karena akhlaq menjadi sentral dari dakwah nabi untuk menyempurnakan
akhlaq manusia. Jadilah akhlaq ini yang menjadi panduan dan pedoman bagi pelaku ekonomi
dalam menjalankan segenap aktivitas bisnisnya.
Mekanisme pasar menjadi bagian yang mendasar bagi Islam. Asalkan, tidak terjadi prektek
distorsi (proses penzdaliman). Karena potensi distorsi selalu ada dalam pasar, maka itu harus
dikurangi terus-menerus dengan menerapkan prinsip keadilan. Penegakan nilai-nilai keadilan
dilakukan dengan melarang semua kegiatan usaha yang cenderung membawa mafsadat
(kerusakan) seperti riba (tambahan yang didapat secara dzalim), gharar (ketidakpastian) dan
maysir (perjudian) atau pun mendapatkan keuntungan dari kerugian orang lain.
Sebuah bangunan rumah setidaknya dibangun dari fondasi yang kuat, disangga dengan pilarpilar yang kokoh, dilengkapi dengan atap yang menahan terik maupun hujan. Demikian juga
dengan konstruksi teori ekonomi Islam. Fondasi untuk pembentukan ekonomi Islam dilandaskan

pada lima nilai pokok. Yakni, keimanan (tauhid), keadilan ('adl), kenabian (nubuwwah) dan
pemerintahan (khilafah).
Kelima dasar yang membentuk teori ekonomi Islam ini selanjutnya diturunkan dalam tiga prinsip
yang membentuk sistem ekonomi Islam. Ketiganya adalah kepemilikan multijenis (multitype
ownership, kebebasan berusaha (freedom to act) dan keadilan sosial (social justice) yang
menjadi pilar penyangga. Sebagai atapnya, konstruksi ekonomi Islam memilihkan 'bahan' yang
kita kenal dengan akhlaq. Berikut kupasan ringkas dari masing-masing nilai itu.
Keesaan Tuhan
Esensi paling dasar dari fondasi ajaran Islam adalah Tauhid (keesaan tuhan). Bertauhid artinya,
meniadakan semua elemen, zat yang patut disembah kecuali Allah (QS 2:107, 5:17,120, 24:33).
Karena Allah adalah Maha Pencipta alam semesta (QS 6:1-3) sekaligus pemilik dan
pemeliharanya. Allahlah yang memiliki segala sesuatu. Kepemilikan yang dikuasai manusia
sekedar amanah dari Allah, yang diberikan sebagai batu ujian bagi manusia.
Segala sesuatu yang ada tidaklah diciptakan Allah dengan sia-sia, melainkan ada tujuannya (QS
23:115). Manusia diciptakan Allah untuk mengabdi dan beribadah kepada-Nya (QS 51:56).
Dalam kerangka ini, segala tindak manusia yang berhubungan dengan alam (sumberdaya) dan
manusia (muamalah) tidak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan Allah. Karena, kepada
Allahlah nantinya segala perbuatan -- termasuk di dalamnya aktivitas ekonomi dan bisnis -- akan
dipertanggungjawabkan.
Keadilan

Sifat adil ('adl) menjadi sifat-Nya dalam segala hal. Sebagai wujud keadilan itu, Allah tidak
membeda-bedakan makhluk berdasarkan kriteria ras, kekayaan, kecantikan, tapi siapa yang
paling bertaqwa di antara mereka. Untuk menjaga keadilan di dunia, Allah menitahkan manusia
untuk memelihara hukum Allah dan menjamin segala sumber daya diarahkan untuk
kesejahteraan manusia (QS 2:30).
Dengan cara itu, semua manfaat dari sumberdaya dapat didistribusikan secara adil. Adil secara
sederhana diartikan sebagai "tidak menzdalimi dan tidak dizdalimi". Adil dalam ekonomi berarti
setiap usaha pelaku ekonomi tidak boleh hanya didasari motif untuk mengejar keuntungan
pribadi dengan merugikan orang lain atau merusak alam.
Bila nilai keadilan hilang, maka manusia akan terkotak-kotak dalam berbagai kelompok, di mana
kelompok yang satu bisa menjadi ancaman bagi kelompok lainnya. Pada akhirnya, yang sangat
dikhawatirkan adalah terjadinya eksploitasi manusia atas manusia (QS 25:20). Pada taran ini nilai
keadilan digantikan dengan kerakusan.
Kenabian
Manusia bisa mengetahui bagaimana dia bertauhid dan selanjutnya bisa berbuat adil, tidak bisa

dipisahkan dari peran para nabi dan rasul. Karena merekalah, pertunjuk Allah untuk bisa
memaknai hidup agar selamat di dunia dan akhirat sampai kepada manusia. Mereka juga
sekaligus menjadi prototype dan teladan bagi manusia di masanya.
Bagi umat Islam, model yang sempurna yang telah dikirimkan Allah adalah Nabi Muhammad.

Sebagai teladan, Nabi sepanjang hayatnya telah memperlihatkan empat sikap konsisten yang
menjadi modal dasar dalam bernegara, berbisnis, berda'wah dan bermasyarakat yaitu sifat
shiddiq, amanah, fathonah dan tabligh.
Siddiq berarti benar atau jujur dalam segala tindakan. Inilah visi setiap muslim. Kehidupan di
dunia harus dijalani secara benar, supaya hidup kita diridhai oleh yang Mahabenar. Dari konsep
ini, dalam ekonomi bisa diturunkan prinsip efektivitas (mencapai tujuan yang tepat) dan efisiensi
(melakukan kegiatan yang benar). Efektivitas bisa dicapai bila kegiatan ekonomi tersebut
dilakukan dengan menggunakan teknik dan metode yang tidak menyebabkan kemubaziran.
Mubazir dalam Islam adalah temannya setan. Dan setan selalu menjadi lawan dari kebenaran.
Bila visi muslim kebenaran, maka perwujudannya dalam keseharian adalah bentuk sikap
amanah. Bersikap amanah menjadi misi bagi setiap muslim. Amanah dalam bentuk
sederhananya adalah tanggung jawab, kepercayaan dan kredibilitas. Muslim yang amanah
berarti dia akan selalu berusaha dalam segala tindakannya dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian, kredibilitasnya di mata para kolega bisnis pun akan tinggi. Tanpa kredibilitas,
bisnis yang sedang dirancang atau sudah dijalani akan hancur.
Visi dan misi saja belum cukup. Untuk melengkapinya, seorang muslim harus cerdas dan
bijaksana. Inilah perwujudan dari sifat fathonah. Dengan kecerdikan dan wawasan mendalam,
seorang muslim akan memiliki strategi dalam hidup. Implikasi ekonomi dari sifat fathonah adalah
bahwa segala aktivitas ekonomi harus dilakukan berdasarkan ilmu, kecerdikan dan
menggunakan semua potensi akal untuk meraih tujuan. Pendeknya dalam berbisnis, muslim

dituntut untuk bersikap work hard and smart.
Untuk menunjang tiga sifat dasar di muka, dalam hidup muslim harus bisa melakukan kegiatan
pemasaran. Dalam 'memasarkan' ajaran agama, Nabi dibekali dengan sifat tabligh. Sifat itu bisa
meliputi keahlian komunikasi, keterbukaan dan pemasaran. Bila sifat tabligh sudah mendarah
daging, setiap muslim mestinya bisa menjadi pemasar-pemasar tangguh.
Pemerintahan
Manusia diciptakan untuk menjadi kholifah (pemimpin yang memerintah) di muka bumi. Itu
artinya, mereka mendapatkan amanah sebagai pemimpin dan pemakmur bumi. Sifat manusia
pada dasarnya sebagai pemimpin. 'Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin
akan dimintai pertanggungjawabannya, demikian sebuah petikan sabda Nabi. Dengan demikian,
apakah dia sebagai kepala negara, pemimpin masyarakat, pemimpin keluarga atau sebagai
individu pun mereka adalah pemimpin. Ini mendasari sikap hidup kolektif dalam Islam. Fungsi
utamanya adalah untuk menjaga keteraturan interaksi antar kelompok agar kekacauan dan
keributan bisa dihindarkan.
Dalam Islam pemerintah memerankan bagian yang tidak kecil. Di pundak pemerintah dipikulkan
tugas untuk menjamin perekonomian agar berjalan sesuai dengan syariah, di samping untuk
memastikan agar tidak ada pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak manusia. Semua itu
bertujuan untuk mencapai maqashid syar'i (tujuan-tujuan syariah) yaitu untuk memajukan
kesejahteraan manusia. Kesejahteraaan itu hanya bisa dicapai bila ada perlindungan terhadap
keimanan, jiwa, akal, kehormatan dan kekayaan manusia.

Hasil
Prinsip dasar ekonomi Islam yang terakhir adalah ma'ad (hasil). Secara harfiah ma'ad berarti
"kembali". Hidup manusia akan berakhir dan kemudian ia akan "kembali" kepada Allah. Ini

mengajarkan betapa hidup tidak saja di dunia, tapi terus berlanjut hingga alam akhirat. Itulah
kenapa dalam Islam dunia dipandang tak lebih dari sekedar ladang bagi akhirat. Dunia sekedar
wahana untuk menyebarkan benih-benih kebajikan yang hasilnya akan dituai di akhirat kelak.
Karena lebih kekal, tentu saja akhirat lebih baik ketimbang dunia. Karena itu Allah melarang
manusia untuk terikat pada dunia. allah menegaskan, kesenangan di dunia tidaklah seberapa bila
dibanding dengan kenikmatan akhirat (QS 87:17).
Allah memerintahkan manusia untuk berjuang untuk mnedapatkan ganjaran baik di dunia
maupun di akhirat. Perbuatan baik mereka akan dibalas dengan kebaikan yang berlipat. Dari sini
konsep ma'ad diartikan sebagai imbalan atau ganjaran. Dalam kehidupan ekonomi, motivasi para
pelaku bisnis, menurut Imam Ghazali, adalah untuk mendapatkan laba: baik berupa ganjaran di
dunia dan akhirat. Itulah mengapa konsep Islam memberikan legitimasi untuk memdapatkan
profit.
Sistem ekonomi Islam
Dari kelima nilai di muka, jelaslah semua elemen menjadi sumber inspirasi bagi penyusunan
teori-teori dan proposisi ekonomi Islam. Dari nilai-nilai itu, bisa diturunkan lagi dalam bentuk
prinsip derivatif yang menjadi ciri khas sistem ekonomi Islam. Prinsip derivatif tersebut adalah
kepemilikan multi jenis (multitype ownership), kebebasan berusaha (freedom to act) dan keadilan
sosial (social justice). Berikut kupasan dari masing-masing prinsip.
Nilai tauhid dan adil akan melahirkan konsep multitype ownership. Dalam sistem kapitalis, prinsip
umum kepemilikan yang berlaku adalah kepemilikan swasta. Sebaliknya, dalam sistem sosialis,
negaralah yang mengklaim kepemilikan itu. Islam berada di tengah-tengahnya dengan mengakui
bermacam-macam bentuk kepemilikan baik untuk swasta, negara atau campuran.
Dengan prinsip ini, ditegaskan pemilik utama bumi seisinya berikut langit yang memayungi hanya
Allah semata. Manusia sekedar diberi hak untuk mengelola. Dia sekedar pemilik sekunder.
Dengan demikian kepemilikan swasa diakui, tapi untuk menjamin keadilan -- tidak ada eksploitasi
satu dengan yang lain -- maka cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara. Ini adalah bentuk pengakuan terhadap kepemilikan negara.
Sistem kepemilikan campuran, baik campuran swasta-negara maupun swasta-domestik-asing,
juga mendapat tempat dalam Islam.
Nilai nubuwwah di muka telah dijelaskan akan menjadikan pribadi-pribadi yang profesional dan
prestatif dalam segala hal -- termasuk dalam bisnis. Pelaku bisnis akan tergerak untuk
menjadikan Nabi sebagai model dalam menjalankan bisnis, khususnya dalam meniru sifat siddiq,
amanah, tabligh, dan fathonah.
Keempat nilai ini bila digabungkan dengan nilai keadilan dan khilafah (good governance) akan
melahirkan prinsip kebebasan bertindak (freedom to act) bagi setiap muslim, khususnya dalam
usaha/bisnis. Freedom to act akan menciptakan mekanisme pasar bagi perekonomian yang
sehat. Mekanisme pasar menjadi bagian yang mendasar bagi Islam, asalkan tidak terjadi prektek
distorsi (proses penzdaliman).
Karena potensi distorsi selalu ada dalam pasar, maka itu harus dikurangi terus-menerus dengan
menerapkan prinsip keadilan. Penegakan nilai-nilai keadilan dilakukan dengan melarang semua
kegiatan usaha yang cenderung membawa mafsadat (kerusakan) seperti riba (tambahan yang
didapat secara dzalim), gharar (ketidakpastian) dan maysir (perjudian) atau pun mendapatkan
keuntungan dari kerugian orang lain.
Menjadi tugas negaralah untuk menyingkirkan segala distorsi ini. Dengan demikian negara
bertindak untuk mengurangi market distortion. Peran negara adalah mengawasi interaksi
(muamalah) para pelaku bisnis dalam menjalankan usahanya agar tidak melanggar syariah dan
menjadikan pihak lain sebagai pihak yang terzdalimi.

Gabungan dari nilai khilafah dan ma'ad akan melahirkan prinsip keadilan sosial (social justice).
Dalam Islam, pemerintah bertanggung jawab menciptakan keseimbangan sosial antara yang
kaya dengan yang miskin.
Akhlaq
Setelah memiliki landasan teori yang kuat, serta sistem ekonomi yang mantap, masih ada lagi
yang kurang: perlunya panduan yang menuntut para pelaku ekonomi bertindak. Mereka harus
bertindak sesuai dengan teori dan sistem yang telah digali dari sumber-sumber Islam itu. Norma
yang bisa menuntut untuk melakukan itu adalah akhlaq.
Dengan kata lain, harus ada manusia yang berperilaku dan berakhlaq secara profesional (ihsan)
dalam bidang ekonomi. Baik dia posisinya sebagai produsen, konsumen, pengusaha, karyawan,
atau sebagai pejabat pemerintah.
Teori sebaik apapun tidak akan mendapatkan hasil guna yang diharapkan bila manusia
pelaksananya tidak berakhlaq. Sistem ekonomi Islam hanya memastikan tidak ada transaksi
ekonomi yang bertentangan dengan syariah. Namun yang penting, kinerja bisnis tergantung pada
man behind the gun. Akhlaq menjadi kriteria pertama apakah para pebisnis melakukan usahanya
dengan benar. Itulah kenapa nabi menegaskan, "Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlaq."