Perbandingan Antara Aliran aliran Pelaku

Perbandingan Antara Aliran-aliran Pelaku Dosa Besar
PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN PELAKU DOSA BESAR
1. Aliran khawarij
Khawarij merupakan aliran dalam islam yang pertama kali muncul, mereka
selalu menyatakan “La hukma illalah” (tiada hukum yang benar kecuali disisi
Allah).
Aliran yang muncul akibat tidak setuju dengan tahkim yang di adakan pada
perang Siffin antara Saidina Ali Bin Abi Thalib dengan Saidina Muawiyah. Mereka
memfatwakan bahwa sekalian dosa adalah besar, tidak ada namanya dosa kecil
atau dosa besar. Sekalian pendurhakaan kepada Tuhan adalah besar tidak ada
yang kecil menurut aliran khawarij.[1]
Aliran khawarij menurut Al-Bagdadi terpecah menjadi 20 sekte. Diantaranya
adalah Al-Muhakimah fatwanya adalah Orang yang melakukan dosa besar
adalah kafir, telah keluar dari islam dan kekal di dalam neraka. Orang-orang yang
menyetujui tahkim, berzina, membunuh tanpa sebab, dll. Adalah orang yang
berbuat salah dan menjadi kafir keluar dari islam. [2]
Al-Najdat pendapatnya yaitu orang yang berdosa besar adalah kafir dan
kekal di dalam neraka hanyalah orang islam yang tidak sefaham dengan
golonganya, adapun pengikutnya jika melakukan dosa besar betul akan
mendapat siksaan, tetapi bukan dalam neraka, dan kemudian masuk surga.
Al-Sufriah pemimpin golongan ini adalah Ziad Ibn Al-Asfar, mereka

berpendapat bahwa orang yangn melakukan dosa besar adalah musyrik, ada
diantara mereka yang membagi dosa besar dalam dua golongan. Yang pertama
yaitu dosa yang ada sangsinya di dunia seperti membunuh dan berzina, dosa
yang tidak ada sangsinya di dunia, seperti meninggalkan sholat dan puasa.
Orang yang berbuat dosa besar golongan pertama tidak di pandang kafir,
yang menjadi kafir hanyalah orang yang melakukan dosa besar golongan ke dua.
Al-Ibadah pemimpinnya adalah ‘Abdullah Ibn Ibad merupakan golongan
paling moderat diantara golongan khawarij yang lain. Paham mereka tentang
dosa besar adalah Orang yang melakukan dosa besar Muwahhid tetapi bukan
mukmin dan kalaupun kafir hanya merupakan kafir al-ni mah bukan kafir almillah. Dengan kata lain mengerjakan dosa besar tidak membuat seseorang
keluar dari agama islam.[3]
2. Murjia’ah

Kaum murji’ah yang “gullah” (yang radikal) sampai ada yang beri’tikad, bahwa
asal kita sudah mengakui dalam hati atas wujud-Nya Tuhan dan sudah percaya
dalam hati kepada Rasul-rasul-Nya maka kita sudah mukmin walaupun
melahirkan dengan lidah hal-hal yang mengkafirkan, seperti menghina Nabi, AlQur’an dll.
Persoalan dosa besar yang di timbulkan kaum khawarij mau tidak mau
menjadi bahan perhatian pula bagi mereka, kalau khawarij menjatuhkan hukum
kafir kepada orang yang melakukan dosa besar, jika murji’ah menjatuhkan

hukum mukmin.[4]
Adapun dosa besar yang mereka lakukan itu di tunda penyelenggaraanya di
hari perhitungan kelak. Karena mereka mengatakan bahwa orang mu’min yang
mengakui dalam hati atas wujud-Nya Tuhan dan sudah percaya dalam hati
kepada Rosul-rosul-Nya ia mu’min walaupun melakukan dosa besar, Dosa bagi
kaum murji’ah tidak apa-apa asal sudah ada iman dalam hati. [5]

3.

Mu’tazilah

mu’tazilah (mengasingkan diri) mereka memfatwakan orang yang melakukan
dosa besar tidak akan di ampuni dosanya sebelum ia bertaubat, dan akan terus
menerus di dalam neraka tidak akan keluar lagi. Akan tetapi kalau orang mu’min
yang berbuat dosa besar/dosa kecil ia akan di hukum dalam neraka di suatu
tempat, lain dari tempat orang kafir. Nerakanya agak dingin mereka tinggal di
antara dua tempat, yakni antara surga dan neraka. [6]
Prinsip ini sangat penting yang karenya Washil Bin ‘Atha pendiri mu’tazilah
memisahkan diri dari gurunya Hasan Al-Basri, ia memutuskan bahwa orang yang
berbuat dosa besar selain syirik tidak mu’min tidak pula kafir, tetapi fasik. Jadi

kefasikan adalah suatu hal yang berdiri sendiri antara iman dan kafir, dan
tingkatan orang fasik dibawah orang mu’min di atas orang kafir. Jalan tengah ini
di ambilnya dari :
1. Fikiran-fikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa keutamaan adalah jalan
tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan.
2. Plato yang mengatakan bahwa ada sesuatu tempat di antara baik dan buruk.
Golongan mu’tazilah memperdalam jalan tengah tersebut sehingga di
jadikanya suatu prinsip “Rationalitas-ethis Philosopis”. [7]
4. Asy’ariyah

Bagi Al-Asy’ari orang yang berdosa besar adalah tetap mukmin, karena
masih ada imannya, tetapi karena dosa besar yang telah di lakukannya ia
menjadi fasiq, jadi ia bukan teman juga bukan musuh. [8]
Orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum bertaubat,
maka orang itu tetap mu’min, dimandikan, dikuburkan, sebagai orang mu’min.
Karena pada hakikatnya ia mu’min yang durhaka kepada Tuhan.
Orang semacam itu di akhirat nanti menurut keyakinan Asy’ariyah akan
mendapat beberapa kemungkinan :
1.
Boleh jadi dosanya di ampuni oleh Tuhan.

2.
Boleh jadi ia mendapat syafaat dari nabi Muhammad SAW sehingga
di bebaskan dan tidak mendapat hukuman dan langsung masuk surga.
3.
Ia di hukum di dalam neraka buat seketika, dan akhirnya di
keluarkan dan di masukan kedalam surga.
Pendapat ini berdasarkan pada ayat Qur’an :

‫ﺍﻦﷲﻻﻳﻐﻔﺮﺍﻦﻳﺸﺮﻚﺑﻪﻮﯿﻐﻔﺮﻣﺎﺪﻮﻦﺬﻠﻚﻠﻤﻦﯿﺸﺄﻮﻣﻦﻳﺸﺮﻚﺒﺎﷲﻔﻘﺪﻔﺗﺮﻯﺍﺛﻤﺎﻋﺿﻴﻣﺎ‬
Artinya :
“Bahwasanya Tuhan (Allah) tidak mengampuni dosa seseorang kalau ia
memepersekutukan-Nya, tetapi di ampuni-Nya selain dari pada itu bagi siapa
yang di kehendakiNya. Siapa yang mempersekutukan Allah sesungguhnya ia
telah membuat dosa yang sangat besar”.(Qs. An-nisa’:48). [9]
Jadi orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum tobat,
maka orang itu tetap mukmin. Bila orang itu tidak mendapat ampunan dari Allah
dan tidak pula mendapat syafa’at Nabi Muhammad saw untuk mendapatkan
ampunan dari Allah swt maka orang itu dimasukkan ke neraka buat sementara,
kemudian dikeluarkan dari neraka untuk dimasukkan ke surga.
5. maturidiyah

Al-Maturidi menolak ajaran Mu’tazilah mengenai masalah soal dosa besar
tetapi aliran ini sefaham dengan aliran Asy’ariyah yaitu : bahwa orang yang
berdosa besar masih tetap mu’min, dan soal dosa besarnya nnanti akan di
tentukan Tuhan kelak di akhirat.[10]
B.

PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN IMAN DAN KUFUR

Akibat dari perbedan pandangan mengenai unsur-unsur iman, maka
timbulah aliran-aliran teologi yang mengemukakan persoalan siapa yang beriman
dan siapa yang kafir. Adapun aliran-aliran tersebut adalah Khawarij, Murji’ah,
Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan Ahlus Sunnah.
1. Mu’tazilah
Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada
Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah
dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu
tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif,
menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu
mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.[11]
Menurut kaum Mu’tazilah Iman bukanlah Tasdiq dan iman dalam arti

mengetahuipun belumlah cukup. Menurut ‘Abd al-jabar, orang yang mengetahui
Tuhan tetapi melawan-Nya bukanlah orang yang beriman (mukmin).
Dengan demikian iman bukan Tasdiq, bukan pula ma’rifah tetapi ‘amal yang
timbul sebagai akibat mengetahui Tuhan, tegasnya iman bagi mereka adalah
pelaksana perintah-perintah Tuhan.[12]
Menurut Abu Huzail yang di maksud dengan perintah Tuhan adalah bukan
hanya yang wajib saja, tetapi juga yang sunnat. Sedang menurut Al-Jubba’i yang
di maksud dengan itu hanyalah perintah-perintah yang bersifat wajib.
2. Ahlus sunah
Menurut aliran ini Iman ialah mengikrarkan dengan lisan dan membenarkan
dengan hati. Iman yang sempurna ialah mengikrarkan dengan lisan,
membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota.
Orang mukmin bisa menjadi kafir (murtad), karena mengingkari rukun iman
yang enam, misalnya: ragu-ragu atas adanya Tuhan, menyembah kepada
makhluk, menuduh kafir kepada orang Islam.
3. Maturidiyah
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa
iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian
ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap al-Karamiyah, salah
satu subsekte Murji’ah. Keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan

semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam
bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah.
Al-Maturidi tidak berhenti sampai di situ. Menurutnya, tashdiq, seperti
yang dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil
dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan

wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli
surat Al-Baqarah ayat 260. Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa
Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan
menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Almaturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahim
mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman
hasil ma’rifah. Jadi,
menurut
Al-Maturidi,
iman
adalah tashdiq yang
berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali
bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman.
Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang
dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-lisan.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan
membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya
beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud demgan tashdiq allisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal.
Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu samasama menempatkan tashdiqsebagai unsur esensial dari keimanan walaupun
dengan pengungkapan yang berbeda.
Kaum Maturidiyah dari golongan Bukhara berpendapat sama dalam hal ini
dengan Asy’ariah yaitu bahwa akal manusia tidak sampai kepada kewajiban
mengetahui Tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah atau ‘amal, batasan yang
di berikan oleh Al-Bazdawi tentang iman adalah menerima dalam hati dengan
lidah bahwa tidak Tuhan selain Allah dan bahwa tidak ada yang serupa denganNya.[13]
4. Khawarij
Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah,
mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari
keimanan. Segala perbuatan yang berbau religius, termasuk di dalamnya
masalah kekeuasaan adalah bagian dari keimanan (al-amal juz’un aliman). Menurut Khawarij, orang yang tidak mengerjakan shalat, puasa, zakat dan
lain-lain, maka orang itu kafir. Begitu juga dengan orang yang tidak sefaham
dengan kaumnya ia kafir dan telah keluar dari agama islam.
5. Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah – yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan
Mu’tazilah memaksakan paham khalq al-Quran banyak membicarakan persoalan

iman dan kufur. Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa

merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya
melalui wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus
menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka
adalah tashdiq. Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tazilah.
Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang
mengandung ma’rifah terhadap Allah (qaulun bi al-nafs ya tadhammanu
a’rifatullah). Mengenai penuturan dengan lidah (iqrar bi al-lisan) merupakan
syarat iman, tetapi tidak termasuk hakikat iman yaitu tashdiq . argumentasi
mereka berdasarkan pada surat al-nahl, ayat 106.

‫مأبن كفبر ببالله مأببن بعببد أيمبانه المأببن أكببره و قلببه‬
‫مأطمئن باليمان‬
Seseorang yang menuturkan kekafirannya dengan lidah dalam keadaan
terpaksa, sedangkan hatinya tetap membenarkan Tuhan dan rasul-Nya, ia tetap
dipandang mukmin. Karena pernyataan lidah itu bukan iman tapi amal yang
berada di luar juzu’iman.
Kaum Asy’ariah dengan keyakinan bahwa akal manusia tidak sampai kepada
kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah atau ‘amal,

manusia dapat mengetahui hal itu hanya dengan wahyu. Wahyulah yang
mengatakan dan menerangkan kepada manusia bahwa ia berkewajiban
mengetahui Tuhan dan manusia harus menerima kebenaran berita ini.
Oleh karena itu iman bagi kaum Asy’ariah adalah Tasdiq, dan batasan iman
seperti yang di berikan oleh Asy’ari adalah Tasdiq bi Allah yaitu menerima
sebagai kebenaran adanya Tuhan. Al-bagdadi menyebut batasan yang lebih
panjang. Iman adalah Tasdiq tentang adanya Tuhan, Rasul-rasul, dan kabar
berita yang mereka bawa. Tasdiq tidak sempurna jika tidak di sertai dengan
pengetahuan.
Bagaimanapun iman hanyalah Tasdiq dan pengetahuan tidak akan timbul
kecuali setelah datangnya kabar yang di bawa oleh wahyu yang bersangkutan.
[14]
6. Murji’ah
Mereka berpendapat bahwa iman hanya pengakuan dalam hati sehingga
orang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar. Berdasarkan pandangan
mereka tentang iman, Abu-Hasan Al-Asy’ary mengklasifikasikan aliran teologi
Murji’ah menjadi 12 subsekte, yaitu Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah,
Asy-Syimriya, As-Saubaniyah, Ash-Salihiyah, AL-Yunusiyah, Asy-Syimriyah, AsSaubaniyah, An-Najjariyah, Al-Kailaniyah bin Syabib dan pengikutnya, Abu
Hanifah
dan

pengikutnya,
At-Tumaniyah,
Al-Marisiyah, dan Al-

Karramiyah. Sementara itu, harun Nasution dan Abu Zahrah membedakan
Murji’ah menjadi dua kelompok utama, yaitu Murji’ah moderat (Murji’ah
Sunnah) dan Murji’ah ekstrim (Murji’ah Bid’ah).[15]
Namun kedua belas kelompok tersebut masing-masing memiliki pendapat
mengenai Iman dan kufur. Dan aliran Mur’jiah ini kemudian berbeda anggapan
tentang batasan kufur yang terpecah dalam tujuh kelompok.
a. Kelompok pertama ini beranggapan: kufur itu merupakan sesuatu hal yang
berkenaan dengan hati, dimana hati tidak mengenal (jahl) terhadap Allah swt.
Adapun mereka yang beranggapan seperti ini ialah para pengikut
kelompok Jahamiyyah.
b. Kelompok kedua ini beranggapan: kufur itu merupakan banyak hal yang
berkenaan dengan hati ataupun selainnya, seperti tidak mengenal (Jahl)
terhadap Allah swt, membenci dan sombong atas-Nya, mendustakan Allah dan
rasul-Nya, menyepelekan Allah dan rasul-Nya, tidak mengakui Allah itu Esa dan
menganggap-Nya lebih dari satu. Karena itu mereka pun menganggap bisa saja
terjadi kekufuran tersebut, baik dengan hati ataupun lisan, tetapi bukan dengan
perbuatan, dan begitupun iman.
Mereka pun beranggapan bahwa sesorang yang membunuh ataupun hanya
menyakiti nabi dengan tidak karena mengingkarinya, tetapi hanya karena
membunuh ataupun menyakiti itu semata, niscaya dia tidaklah disebut kufur.
Begitupun seseorang yang meninggalkan kewajiban agama seperti halnya salah
dengan tidak karena menghalalkannya, tetapi hanya karena meninggalkan salat
itu semata, niscaya dia pun tidaklah disebut kufur.
Tetapi mereka beranggapan: kalau seseorang menghalalkan sesuatu yang
diharamkan Allah, rasul-Nya dan juga orang-orang muslim, niscaya dia pun
disebut kufur. Begitupun kalau seseorang beritikad dengan itikad yang menurut
kesepakatan segenap orang muslim merupakan suatu kekufuran, atau berbuat
dengan perbuatan yang merupakan suatu kekufuran. Niscaya dia pun disebut
sebagai orang kafir.
c. Kelompok ketiga itu beranggapan: Kufur terhadap Allah itu mendustakan-Nya,
membangkang terhadap-Nya dan mengingkari-Nya secara lisan. Karena itu
tidaklah kekufuran, kecuali dengan lisan dan bukan dengan selainnya. Adapun
anggapan ini dikemukakan oleh Muhammad ibn karam dan para pengikutnya.
d. Kelompok keempat ini beranggapan: kufur itu membangkang melawan dan
mengingkari Allah, baik sepenuh hati ataupun secara lisan.

e. Kelompok kelima ini ialah para pengikut Abu Syamr, dimana anggapananggapan mereka tentang kufur ini telah di kemukakan dalam uraian yang
terdahulu, yang menyangkut anggapannya tentang tauhid dan qadar.
f. Kelompok keenam ini ialah para pengikut Muhammad ibn Syabib di mana
anggapan-anggapan mereka tentang kufur ini pun telah dikemukakan dalam
uraian yang terdahulu, yang menyangkut anggapannya tentang iman.
Adapun kebanyakan pengikut aliran Murji’ah tidak mengkufurkan
seseorang yang mentakwilkan al-Quran, bahkan tidak pula mengkufurkan siapa
pun selain yang kekufurannya itu telah disepakati orang-orang muslim.
C.

PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN SIFAT-SIFAT TUHAN

1.

Mu’tazilah

Kaum mu’tazilah menafsirkan Tuhan itu Esa, Tidak ada yang menyamainya,
bukan jism, bukan syakhs, bukan Jauhar, bukan pula ardl, tidak berlaku padaNya, tidak bisa di sifati dengan sifat-sifat yang yang ada pada mahluk yang
menunjukan ketidak azalian-Nya.[16]
Kaum mu’tazilah menyelesaikan perasalahan tentang sifat Tuhan ini dengan
mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Tuhan tidak mempunyai
pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan
sebagainya.[17]
Tuhan tetap mengetahui, berkuasa dan sebagainya bukanlah sifat dalam arti
kata sebenarnya, arti dari kata Tuhan mengetahui menurut Abu Huzail, adalah
“Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah
Tuhan sendiri”.[18]

2.

Asy’ariyah

Kaum Asy’ariyah menyampaikan penyelesaian yang bertentangan dengan
kaum mu’tazilah. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai
sifat. Menurut Asy’ari sendiri, tidak di ingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat,
karena perbuatan-perbuatanya. Disamping menyatakan jika Tuhan mengetahui,
menghendaki, berkuasa dan sebagainya juga menyatakan Ia mempunyai
pengetahuan, kemauan, dan daya.
Asy’ari sangat mengingkari orang-orang yang berlebihan menghargai akal
fikiran yaitu golongan mu’tazilah maka di katakanya mereka adalah sesat karena

tidak mengakui sifat-sifat Tuhan dan menjauhkan Tuhan dari sifat-sifatNya dan
meletakannya pada bentuk yang tidak dapat di terima oleh akal. [19]
Dan menurut Al-Bagdadi terdapat konsensus dikalangan kaum asy’ariyah
bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan, dan
sabda Tuhan adalah kekal.[20]
3.

Maturidiyah

Kaum Maturidiyah golongan Bukhara mempertahankan kekuasaan mutlak
Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Persoalan banyak yang
kekal mereka menyelesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal
melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui
kekekalan sifat-sifat itu sendiri. Juga mengatakan Tuhan serta sifat-sifat-Nya
adalah kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.
Kaum Maturidiyah golongan Samarkand dalam hal ini kelihatanya tidak
sefaham dengan mu’tazilah karena Al-Maturidy mengatakan bahwa sifat
bukanlah Tuhan tetapi pula tidak lain dari Tuhan . [21]

BAB III
KESIMPULAN

1.
2.

3.
4.

5.

Perbedaan aliran antara pelaku dosa besar, iman dan kufur, serta sifat-sifat
Tuhan yaitu :
Khawarij memberi hukum kafir pada pelaku dosa besar, dan orang yang
melakukan dosa besar telah keluar dari islam.
Mu’tazilah yang berpendapat adanya tempat diantara surga dan neraka bagi
seorang mu’min yang melakukan dosa besar Manzilah Baina Manzilataini. Iman
itu tidak tasdiq ataupun ma’rifat melainkan ‘amal, dan Allah tidak memiliki sifat.
Murji’ah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap mu’min dan dosa besar
yang mereka lakukan itu di tunda penyelenggaraanya di hari perhitungan kelak.
Asy’ariyah berfatwa bahwa seorang mu’min yang melakukan dosa besar tetap
mu’min, untuk hukuman di akhirat itu adalah kuasa Tuhan. Iman itu Tasdiq, dan
mengakui adanya sifat-sifat Tuhan.
Maturidiyah dalam hal dosa besar sepaham dengan aliran Asy’ariyah yang
melakukan dosa besar tetap mu’min, Iman itu Tasdiq dan mengakui adanya sifatsifat Tuhan.

6. Ahlus Sunah berpendapat iman adalah diikrarkan dengan lisan, diyakini dalam
hati dan di realisasikan dengan perbuatan.

DAFTAR PUSTAKA
Nasution. Harun, Theology Islam, Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas
Indonesia, 1972.
Hanafi. Ahmad, Theology Islam (Ilmu Kalam), Jakarta : Bulan Bintang, 1974.
Ritter. Hilmut, Maqalat al-islamiyah wa ikhtilaf al-musallin, Constantinopel:
Matba’ah al-da’wah, 1930.
Abbas. Siradjudin,” I’tiqad Ahli Sunnah Wal Jamaah”, Jakarta : Pustaka Tarbiyah
Baru, 2010.
Yusran. Asmuni, Ilmu Kalam, Jakarta : PT. G rafindo, 1998.
Nata. Abuddin, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf ( Dirosah Islamiyah IV),Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2001.
http://perbandingankonsepimandankufur.said.com
[1] Siradjudin Abbas,” I’tiqad Ahli Sunnah Wal Jamaah”, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru,
2010), hlm. 186
[2] Abuddin Nata, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf ( Dirosah Islamiyah IV),(Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001), hlm.31
[3] Harun Nasution, Theology Islam, (Jakarta: Yayasan Penerbit Iniversitas Indonesia,
1972).hlm.20
[4] Ibid.,hlm.23
[5] Abuddin Nata, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf ( Dirosah Islamiyah IV),(Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001), hlm.186
[6] Ibid.,hlm.200
[7] Ahmad Hanafi, “Theology Islam (Ilmu Kalam)”,( Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hlm.44
[8] Harun Nasution, Theology Islam, (Jakarta: Yayasan Penerbit Iniversitas Indonesia,
1972).hlm.71
[9] Siradjudin Abbas,” I’tiqad Ahli Sunnah Wal Jamaah”, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru,
2010), hlm.217
[10] Harun Nasution, Theology Islam, (Jakarta: Yayasan Penerbit Iniversitas Indonesia,
1972).hlm.77
[11] Yusran Asmuni, Ilmu Kalam, (Jakarta : PT. G rafindo, 1998).hlm.157.
[12] Ibid. Theology Islam, hlm.147
[13] Ibid., hlm.148
[14] Op.Cit.,hlm.149
[15] http://perbandingankonsepimandankufur.said.com
[16] Ahmad Hanafi, “Theology Islam (Ilmu Kalam)”,( Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hlm.42
[17] Hilmut Ritter, Maqalat al-islamiyah wa ikhtilaf al-musallin, (Constantinopel: Matba’ah alda’wah, 1930).hlm.176

[18] Ibid.,hlm.135

[19] Ahmad Hanafi, “Theology Islam (Ilmu Kalam)”.hlm.61
[20] Ibid.,hlm.136
[21] Ibid.,hlm.137

PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN
“PELAKU DOSA BESAR,IMAN DAN KUFUR”
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah : Tauhid
Dosen Pengampu : Bapak Drs. H. Masdi M.Ag

Disusun oleh :
Happy Putri Nofa (1430110034)
KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
PROGAM STUDI USHULUDDIN/ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (IQT)
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr . Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah,taufik
dan inayahnya kepada kita semua. Sehingga saya bisa menjalani
kehidupan ini sesuai dengan ridhonya. Syukur Alhamdulilah saya bisa
menyelesaikan makalah ini sesuai dengan rencana. Makalah ini saya beri
judul “pelaku dosa besar,iman dan kufur” dengan tujuan untuk mengetahui
bagaimanakah sebenarnya pelaku dosa besar,iman dan kufur menurut
pandangan umat islam dalam berbagai aliran. Sholawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Agung Muhammad
SAW. Karena beliau adalah salah satu figur umat yang mampu
memberikan syafa’at di hari kiamat. Selanjutnya saya mengucapakan
banyak terima kasih kepada bapak Masdi selaku dosen pembimbing mata
kuliah Tauhid. Saya mohon maaf sebesar-besarnya apabila dalam
penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan didalamnya. Saya
harapkan kritik dan saran yang membangun demi tercapainya makalah
selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat untuk penulis dan khususnya
untuk pembaca. Amin Ya Robbal’Alamin.
Kudus, 11 Desember 2014

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Judul…………………………………………………………………………………
..
Kata
Pengantar…………………………………………………………………………
……….
Daftar
Isi……………………………………………………………………………………
……..
BAB I : PENDAHULUAN
Latar
Belakang……………………………………………………………………………
…….
Rumusan
Masalah……………………………………………………………………………..
Tujuan………………………………………………………………………………
……………..
BAB II : PEMBAHASAN
Pelaku Dosa Besar
1. Menurut Aliran Khawarij……………………………………………………..
2. Menurut Aliran Murji’ah………………………………………………………
3. Menurut Aliran Mu’tazilah……………………………………………………
4. Menurut Aliran Asy-ariyah……………………………………………………
5. Menurut Aliran Maturidiyah………………………………………………….
6. Menurut Aliran Syi’ah Zadiyah……………………………………………..
Iman dan Kufur
1. Aliran Khawarij………………………………………………………………….
2. Aliran Murji’ah…………………………………………………………………..
3. Aliran Mu’tazilah………………………………………………………………..
4. Aliran Asy-ariyah………………………………………………………………
5. Aliran Maturidiyah……………………………………………………………..
BAB III : PENUTUP
Kesimpulan…………………………………………………………………………
……….

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ilmu kalam sebagaimana diketahui membahas ajaran-ajaran dasar dari
suatu agama. Di dalam ilmu kalam itu terdapat sub bahasan tentang
perbandingan antara aliran serta ajaran-ajaranya. Dari perbandingan antar
aliran ini, kita dapat mengetahui,menela’ah dan membandingkan antar
paham aliran satu dengan aliran lain. Sehingga kita memahami maksud
dari segala polemik yang ada.
Persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang
kafir dan siapa yang bukan kafir, dalam artian siapa yang telah keluar dari
islam dan siapa yang masih tetap islam. Persoalan ini kemudian menjadi
perbincangan aliran-aliran kalam dengan konotasi yang lebih umum, yakni
stattus pelaku dosa besar besar. Kerangka pola pikir yang di gunakan tiaptiap aliran ternyata mewarnai pandangan mereka tentang stattus pelaku
dosa besar.
Selain itu persoalan yang juga timbul dalam teologi islam adalah masalah
iman dan kufur. Persoalan itu muncul pertama kali oleh kaum khawarij
tatkala mencap kafir sejumlah tokoh nabi SAW yang di pandnag telah
membuat dosa besar, antara lain Ali Bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin abi
sufyan, Abu Musah Al-Asy’aria, Amr bin al Ash, thalhah bin ubaidila, Zubair
Bin Awwam dan Aisyah istri Rasulullah SAW. Pernyataan teologis itu
selanjutnya bergulir menjadi bahan perbincangan dalam setiap diskursus
aliran-aliran islam yang tumbuh kemudian, termasuk aliran Murji’ah. Aliran
lainya. Seperti mu’tazilah asy’ariyah,dan maturiyah turut ambil bagian
dalam polemik tersebut. Malah tak jarang di dalam tiap-tiap aliaran tersebut
terdapat perbedaan pandangan di antara sesama pengikutnya.
2. Rumusan Masalah
1) Aliran-aliran apa saja yang membahas yang tentang pelaku dosa besar,
iman dan kufur?
2) Bagaimana isi dari perbandingan-perbandingan antar aliran?
3) Apa pandangan dan kerangka berpikir yang digunakan tiap-tiap aliran
tentang status pelaku dosa besar,iman dan kufur?
3. Tujuan
1) Mengetahui aliran apa saja yang membahas tentang pelaku dosa
besar,iman dan kufur
2) Mengetahui isi perbandingan-perbandingan antar aliran
3) Mengetahui pandangan dan kerangka berpikir yang digunakan tiap-tiap

aliran tentang setatus pelaku dosa besar,iman dan kufur
BAB II
PEMBAHASAN
A. PELAKU DOSA BESAR
1) Menurut Aliran Khawarij
Pada umumnya,ciri yang menonjol dari aliran khawarij adalah watak
ekstrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tak heran
kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang setatus pelaku
dosa besar. Mereka memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam
peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu’awiyah, Amr bin Al-Ash, Abu Musa AlAsy’ari adalah kafir.
Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabiiah), menurut semua subsekte
Khawarij, kecuali Najdah adalah kafir dan akan disiksa di neraka
selamanya .
Pandangan pelaku dosa besar oleh subsekte Khawarij.
1. Azariqah, merupakan subsekte Khawarij yang sangat ekstrim, mereka
menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari kafir, yaitu Musyrik.
Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung
dengan barisan mereka atau yang tak sepaham dengan mereka. Adapun
pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih satatus
keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan berarti ia telah keluar dari
islam mereka kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainya
2. Najdah, subsekte ini hampir sama dengan Azariqah mereka
menganggap musyrik kepada siapapun yang secara countinue
mengerjakan dosa kecil. Seperti halnya dengan dosa besar jika tidak
dilakukan secara terus menerus maka pelakunya tidak di pandang musyrik
tetapi hanya kafir.
3. An Najdat, juga berpendapat bahwasnya orang yang berdosa besar
menjadi kafir dan kekal di dalam neraka hanyalah orang islam yang tidak
sefaham dengan golonganya. Adapun pengikutnya,jika mengerjakan dosa
besar tetap mendapat siksaan di neraka. Tetapi pada akhirnya akan masuk
surga.
4. Al-Muhakimat, subsekte ini Ali,Mu’awiyah, kedua pengantarnya (Amr bin
Al-Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari) dan semua orang yang menyetujui
arbitrase adalah bersalah dan menjadi kafir. Hukum kafir inipun mereka
luaskan artinya sehingga termasuk orang yang berbuat dosa besar,
berbuat zina, membunuh sesama manusia tanpa sebab dan dosa-dosa
besar lainya menyebabkan pelakunya keluar dari islam .
5. As-Sufriah, subsekte ini membagi dosa besar dalam dua bagian yaitu

a. Dosa yang ada sanksinya di dunia seperti membunuh dan berzina. Pada
kategori ini pelakunya tidak di pandang kafir.
b. Dosa yang tak ada sanksinya di dunia, seperti meninggalkan sholat dan
puasa. Dan pada kategori ini pelakunya dipandang kafir.
2) MENURUT ALIRAN MURJI’AH
Sacara garis besar, sebagaimana telah dijelaskan subsekte Khawarij,
Murji’ah dapat dapat di kategorikan dalm dua kategori: ekstrim dan
moderat. Murji’ah ekstrim berpandangan bahwasanya pelaku dosa besar
tidak akan disiksa di neraka. Adapun Murji’ah Moderat ialah merekayang
berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun
disiksa dineraka, ia tidak kekal dineraka. Tergantung pada ukuran dosa
yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa tuhan akan
mengampuni dosanya sehingga ia akan terbebas dari neraka.
3) MENURUT ALIRAN MU’TAZILAH
Di antara kedua aliran diatas mengenai setatus pelaku dosa besar,
perbedaanya, bila Khawarij mengafirkan pelaku dosa besar dan Murji’ah
memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan
setatus dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar,apakah ia tetap
mukmin atau kafir,kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal,yaitu AlManzilah Bain Al-Manzilatain. Setiap pelaku dosa besar,menurut
Mu’tazilah, berada di posisi tengah diantara posisi mukmin dan kafir. Jika
pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia akan
dimasukkan neraka selama-lamanya. Walaupun demikian siksaan yang
diterimanya lebih ringan dari daripada siksaan orang-orang kafir, dalam
perkembangannya,beberapa tokoh Mu’tazilah seperti washil bin Atha’ dan
Amr bin Ubaid memperjelas ebutan tengah itu dengan fasik yang bukan
mukmin atau kafir
4) ALIRAN ASY’ARIYAH
Terhadap pelaku dosa besar,agaknya Al-Asy’ari,sebagai bahanwakil AhlSunnah. Tidak mengafirkan orang-orang yang bersujud ke baitulloh (Ahl-Al
Qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri.
Menurutnya mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan
keimanan yang mana mereka miliki. Sekalipun berbuat dosa besar. Akan
tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini di
bolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah
kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia
meninggal dan belum bertaubat, maka menurut Al-Asy’ari hal itu
tergantung pada bijakan tuhan yang maha berkehendak mutlaq. Dari
papran singkat ini jelaslah bahwa Asy’ariyah sesungguhnya mengambil

posisi yang dengan Murji’ah, khususnya pertanyaan yang tidak
mengafirkan para pelaku dosa besar.
5) ALIRAN MATURIDIYAH
Aliran maturidiyah,baik samarkand maupun bukhara sepakat menyatakan
bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan
dalam dirinya . Adapun balasan yang diperolehnya kelak bergantung pada
apa yang dilakukanya di dunia. Jika ia meninggal tanpa taubat terlebih
dahulu, keputusanya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah
SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar di ampuni ia akan
memasukkan ke nearaka, tapi tidak kekal didalamnya.
Al Maturidi sebagai peletak dasar aliran kalam Al-Maturidiyah, berpendapat
bahwa orang berdosa besar yaitu tidak kafir dan tidak kekal di dalam
neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat. Karena tuhan telah
menjanjikanakan memeberikan balasan kepada manusia sesuai dengan
perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan bagi orang yang
berbuat syirik. Karenanya, perbutan dosa besar (selain syirik) tidaklah
menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurutnya, iman itu cukup
dengan tashiq dan iqrar, sedangkan amalan adalah penyempurnaan iman.
6) ALIRAN SYI’AH ZAIDIYAH
Penganut syi’ah zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa
besar akan kekal didalam neraka , jika ia belum taubat dengan taubat yang
sesungguhnya. Dalam hal ini syi’ah zaidiyah memang dekat dengan
Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat Washil bin Atha’,
mempunyai hubungan dengan zaid.
B. IMAN DAN KUFUR
1) ALIRAN KHAWARIJ
Khawarij menetapkan dosa itu hanya satu macamnya,yaitu dosa besar
agar dengan demikian orang islam yang tidak sejalan dengan pendiriannya
dapat diperangi dan dapat dirampas harta bendanya dengan dalih mereka
berdosa dan yang setiap berdosa adalah kafir. Mengkafirkan Ali, Ustman,
orang-orang yang terlibat dalam perang jamal dan orang-orang yang rela
terhadap tahkim dan mengkafirkan orang-orang yang berdosa besar dan
wajib berontak terhadap penguasa yang menyeleweng . Dalam pandangan
khawarij. Iman tidak semata-mata peercaya kepada Allah. Mengerjakan
segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan.
Dengan demikian siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada
Allah dan mengakui Muhammad adalah Rasul-Nya, tetapi tidak
melaksanakan kewajiban agama dan malah melakukan perbuatan dosa ia
dipandang kafir Khawarij. Iman menurut Khawarij bukanlah tashiq. Dan

iman dalam arti mnengetahui pun belumlah cukup. Menurut Abd.Aljabbar,
orang yang tau tuhan tetapi melawan kepadanya, bukanlah orang yang
mukmin,dengan demikian iman bagi mereka bukanlah tashiq,bukan pula
ma’rifah tetapi amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui tuhan
tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah tuhan.
2) ALIRAN MURJI’AH
Menurut subsekte murji’ah yang ekstrim,mereka berpendapat bahwa
keimanan terletak didalam kalbu. Oleh karena itu,segala ucapan dan
perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti
menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih
sempurna dalam pandangan tuhan. Sementara yang dimaksud murji’ah
moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar
tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa dineraka,ia tidak kekal didalamnya
bergantung pada dosa yang dilakunnya. Ciri khas mereka lainnya adalah
dimasukkannya iqrar sebagai bagian penting dari iman,di samping tashdiq
(ma’rifah) .
3) ALIRAN MU’TAZILAH
Seluruh pemikir mu’tazilah sepakat bahwa amal perbuatan merupakan
salah satu unsur terpenting dalam konsep iman. Aspek penting lainya
dalam konsep Mu’tazilah tentang iman adalah apa yang mereka
identifikasikan sebagai ma’rifah (pengetahuan dan akal). Ma’rifah menjadi
unsur penting dari iman karena pandangn Mu’tazilah yang bercorak
Rasional. Di sini terlihat bahwa Mu’tazilah sangat menekankan pentingnya
pemikiran logis atau penggunaan akal bagi keimanan. Haru Nasution
menjelaskan bahwa menurut Mu’tazilah, segala pengetahuan dapat
diperoleh dengan erantaan akal dan segala kewajiban dapat diketahui
dengan pemikiran yang mendalam . Pandangan Mu’tazilah seperti ini,
menurut Toshihiko Izutsu pakar teologi islam asal jepang menyatakan
pendapatnya bahwa hal sarat dengan konsekuensi yang cukup fatal. Hal
ini hanya karena mutakallim (teolog) saja yang benar-benar dapat menjadi
orang yang beriman, sedangkan masyarakat awam yang mencapai jumlah
mayoritas tidak dipandang sebagai orang yang benar-benar beriman
(mukmin) . Iman adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan di
buktikan dengan perbuatan konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan
manusia dan iman,karena itu,keimanan seseorang di tentukan pula oleh
amal perbuatannya. Konsep ini di anut pula oleh khawarij .
4) ALIRAN ASY’ARIYAH
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh Asy-Syahrastani iman secara esensial

adalah tashdiq bil al janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan qawl
dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bil arkan)
hanya merupkan furu’ (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapaun
yang membenarkan KE-esaan Allah dengan kalbunya dan juga
membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang mereka bawa dariNya. Iman secara ini merupakan sahih. Dan keimanan seseorang tidak
akan hilang kecuali ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut. Jadi
Asy-Syahrastani menempatkan ketiga unsur iman yaitu tashdiq,qawl dan
amal pada posisinya masing-masing .
5) MATURIDIYAH
Dalam masalah iman, aliran maturidiyah samarkan berpendapat bahwa
iman adalah Tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan .
Maturidiyah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda Al-Bazdawi
menegaskan hal tersebut dengan memebuat analogi dengan ibadahibadah yang dilakukan berfungsi sebagai bayangan dari iman. Jika
bayangan itu hilang,esensi yang di gambarkan oleh bayangan itu tidak
akan berkurang. Sebaliknya dengan kehadiran bayang-bayang (ibadah) itu,
iman justru menjadi bertambah. Iman dan tashdiq dalam hati dan diikrarkan
dengan lidah,dengan kata lain,seseorang bisa disebut beriman jika ia
mempercayai dalam hatinya akan kebenaran Allah dan mengikrarkan
kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini juga tidak menghubungkan
iman dengan amal perbuatan manusia. Yang penting tashdiq dan ikrar.
BAB III
KESIMPULAN
Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ektrimitas dalam
memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tak heran kalau aliran ini
memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar. Kaum
asy’ariyah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan Mu’tazilah
mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat.
Kaum Mu’tazilah berpendapat semua persoalan di atas dapat diketahui
oleh akal manusia dengan perantara akal yang sehat dan cerdas
seseorang dapat mencapai makrifat dan dapat pula mengetahui yang baik
dan buruk. Bahkan sebelum wahyu turun, orang sudah wajib bersyukur
kepada Tuhan. Menjauhi yang buruk dan mengerjakan yang baik.
Menurut aliran Asy’ariyah sendiri tidak dapat diingkari bahwa Tuhan
mempunyai sifat, karena perbuatan-perbuatan nya, di samping
menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dan sebagainya, juga menyatakan
bahwa ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya. Menurut subsekte
Murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan

terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan
seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser
atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam
pandangan Tuhan. Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah
samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan, Tuhan adil mengandung arti
bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat
serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban hanya terhadap manusia.
pendapat ini lebih dekat dengan Mu’tazilah.
DAFTAR PUSTAKA
Rozak, Abdul DR. Rosihon Anwar, M. Ag, Ilmu Kalam,Pustaka Setia
Bandung: 2006.
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Pebandingan
UI Press, Jakarta: 1986
Nasir, Sahilun A. Pengantar Ilmu Kalam Raja grafindo Persada. Jakarta:
1996:
Asmuni, Yusran . Ilmu Tauhid. Raja Grafindo Persada Jakarta: 1993.

PELAKU DOSA BESAR, IMAN
(Perbandingan Antar Aliran Theologis)

DAN

KUFUR

1. PELAKU DOSA BESAR
1) Menurut Aliran Khawarij
Pada umumnya, ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ekstrimitas dalam
memutuskan persoalan-persoalan kalam. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula
tentang status pelaku dosa besar. Mereka memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam
peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu'awiyah, Amr bin Al-Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah kafir,
berdasarkan firman Allah pada surat al-Maidah ayat 44:

Artinya:
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.”
Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabiiah), menurut semua subsekte Khawarij, kecuali
Najdah adalah kafir dan akan disiksa dineraka selamanya. [1]
Pandangan pelaku dosa besar oleh subsekte khawarij,
1) Azariqah, merupakan subsekte Khawarij yang sangat ekstrim, mereka menggunakan istilah yang
lebih mengerikan dari kafir, yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak
mau bergabung dengan barisan mereka atau yang tak sepaham dengan mereka. Adapun pelaku dosa
besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan
berarti ia telah keluar dari Islam, mereka kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainnya. [2]
2) Najdah, subsekte ini hampir sama dengan Azariqah. Mereka menganggap musyrik kepada siapapun
yang secara continue mengerjakan dosa kecil. Seperti halnya dengan dosa besar jika tidak dilakukan
secara terus menerus maka pelakunya tidak dipandang musyrik, [3] tetapi hanya kafir.
3) An Najdat, juga berpendapat bahwasanya orang yang berdosa besar menjadi kafir dan kekal di dalam
neraka hanyalah orang Islam yang tidak sefaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya, jika
mengerjakan dosa besar tetap mendapatkan siksaan di neraka, tetapi pada akhirnya akan masuk surga
juga.
4) Al-Muhakimat, menurut subsekte ini Ali, Muawiyah, kedua pengantarnya (amr bin Al-Ash dan Abu
Musa Al-Asy’ari) dan semua orang yang menyetujui arbitrase adalah bersalah dan menjadi kafir.
Hukum kafir inipun mereka luaskan artinya sehingga termasuk orang yang berbuat dosa besar,
berbuat zina, membunuh sesama manusia tanpa sebab, dan dosa-dosa besar lainnya menyebabkan
pelakunya telah keluar dari Islam.[4]
5) As-Sufriah, subsekte ini membagi dosa besar dalam dua bagian, yaitu
I. Dosa yang ada sanksinya di dunia, seperti membunuh dan berzina. Pada kategori ini, pelakunya
tidak dipandang kafir.
II. Dosa yang tak ada sanksinya di dunia, seperti meninggalkan sholat dan puasa. Dan pada kategori ini
pelakunya dipandang kafir.[5]
2) Menurut aliran Murji’ah
Secara garis besar, sebagaimana telah dijelaskan subsekte Khawarij, Murji’ah dapat
dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim dan moderat. Murji’ah ekstrim berpandangan bahwasanya
pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka.
Adapun Murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah
menjadi kafir. Meskipun disiksa dineraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada ukuran dosa
yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga
ia bebas dari siksa neraka.[6]
3) Menurut aliran Mu'tazilah

Diantara kedua aliran diatas mengenai status pelaku dosa besar, perbedaannya, bila Khawarij
mengkafirkan pelaku dosa besar dan Murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu'tazilah
tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau
kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain. Setiap
pelaku dosa besar, menurut Mu'tazilah, berada diposisi tengah diantara posisi mukmin dan kafir. Jika
pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, ia akan dimasukkan ke dalam
neraka selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada siksaan
orang-orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh Mu'tazilah, seperti Wasil bin Atha’ dan
Amr bin Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin atau kafir.[7]
4) Aliran Asy’ariyah
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya Al-Asy’ari, sebagai wakil Ahl As-Sunnah, tidak
mengkafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah (ahl Al-Qiblah) walaupun melakukan dosa besar,
seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan
keimanan yang mereka
miliki, sekalipun berbuat dosa besar. [8] Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan
anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah
kafir.
Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia meninggal dan tidak
sempat bertaubat, maka menurut Al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha
Berkehendak Mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa Asy’ariyah sesungguhnya mengambil
posisi yang sama dengan Murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan para pelaku
dosa besar.
5) Aliran Maturidiyah
Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku
dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. [9] Adapun balasan yang
diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal
tanpa taubat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Jika
menghendaki pelaku dosa besar diampuni, ia akan memasukkan ke neraka, tetapi tidak kekal
didalamnya.
Al-Maturidi sebagai peletak dasar aliran kalam Al-Maturidiyah, berpendapat bahwa orang
yang berdosa besar itu tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum
bertaubat. Karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan
perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan bagi orang yang berbuat dosa syirik. Karenanya,
perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurutnya,
iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman.
6) Aliran Syi’ah Zaidiyah
Penganut Syi’ah Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal di
dalam neraka, jika ia belum taubat dengan taubat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah Zaidiyah

memang dekat dengan Mu'tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat Washil bin Atha’,
mempunyai hubungan
dengan Zaid.[10]

2.

IMAN DAN KUFUR

1) Aliran Khawarij
Khawarij menetapkan dosa itu hanya satu macamnya, yaitu dosa besar agar dengan demikian
orang Islam yang tidak sejalan dengan pendiriannya dapat diperangi dan dapat dirampas harta
bendanya dengan dalih mereka berdosa dan setiap yang berdosa adalah kafir. Mengkafirkan Ali,
Utsman, orang-orang yang terlibat dalam perang Jamal dan orang-orang yang rela terhadap tahkim
dan mengkafirkan orang-orang yang berdosa besar dan wajib berontak terhadap penguasa yang
menyeleweng.[11]
Dalam pandangan Khawarij, iman tidak semata-mata percaya kepada Allah. Mengerjakan
segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Dengan demikian, siapapun
yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan mengakui Muhammad adalah Rasul-Nya, tetapi
tidak melaksanakan kewajiban agama dan malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh
Khawarij.[12]
Iman menurut Kwaharij bukanlah tashdiq. Dan iman dalam arti mengetahui pun belumlah
cukup. Menurut Abd. Al-jabbar, orang yang tahu Tuhan tetapi melawan kepadanya, bukanlah orang
yang mukmin, dengan demikian iman bagi mereka bukanlah tashdiq, bukan pula ma’rifah tetapi amal
yang timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan
perintah-perintah Tuhan. [13]
2) Aliran Murji’ah
Menurut subsekte Murji’ah yang ekstrim, mereka berpandangan bahwa keimanan terletak di
dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah
agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna
dalam pandangan Tuhan.
Sementara yang dimaksud Murji’ah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa pelaku
dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya bergantung
pada dosa yang dilakukannya. Ciri khas mereka lainnya adalah dimasukkannya iqrar sebagai bagian
penting dari iman, di samping tashdiq (ma’rifah).[14]
3) Aliran Mu'tazilah
Seluruh pemikir Mu’tazilah sepakat bahwa amal perbuatan merupakan salah satu unsur
terpenting dalam konsep iman. Aspek penting lainnya dalam konsep Mu’tazilah tentang iman adalah
apa yang mereka identifikasikan sebagai ma’rifah (pengetahuan dan akal). Ma’rifah menjadi unsur
penting dari iman karena pandangan Mu’tazilah yang bercorak rasional. [15]Disini terlihat bahwa
Mu’tazilah sangat menekankan pentingnya pemikiran logis atau penggunaan akal bagi keimanan.

Harun Nasution menjelaskan bahwa menurut Mu’tazilah, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan
perantaraan akal dan segala kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. [16]
Pandangan Mu’tazilah seperti ini, menurut Toshihiko Izutsu, pakar teologi Islam asal Jepang,
menyatakan pendapatnya bahwa hal ini sarat dengan konsekuensi yang cukup fatal. Hal ini karena
hanya para mutakallim (teolog) saja yang benar-benar dapat menjadi orang yang beriman, sedangkan
masyarakat awam yang mencapai jumlah mayoritas tidak dipandang sebagai orang yang benar-benar
beriman (mukmin).[17]
Iman adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan
konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman, karena itu, keimanan seseorang
ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut pula oleh Khawarij.[18]
4) Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh Asy-Syahrastani, iman secara esensial adal