FILSAFAT MANUSIA memahami manusia Y.docx

FILSAFAT MANUSIA
 Pengantar ke dalam Filsafat Manusia.
-

Manusia: menyibukkan diri dng kegiatan berpikir. Ia merasa tidak pasti dan selalu bertanya.
Siapa itu manusia?

-

Salah satu jawaban: Manusia adalah satu hakekat yang aneh. Ia bersifat luhur tapi juga hina.

-

Dari lingkungan kebudayaan Eropa: ada 2 teks, yaitu Antigone: manusia itu lebih dari
binatang tapi menakutkan, dan teks Mz.8: Manusia itu kecil di hadapan penciptanya. Bdk.
Manusia dalam konteks aliran kebatinan.

-

Persoalan dewasa ini: Manusia belum mengenal dirinya secara penuh. Dulu kodrat manusia
berkuasa, dan karena itu kodrat itu perlu diolah dan dijinakkan melalui ilmu pengetahuan

dan tekhnik. Tetapi sekarang justru kodrat itu dieksploitasi dan direkayasa menurut
kemampuan dan kemauan manusia. Persoalannya: Apakah rekayasa dan eksploitasi itu
dapat dipertanggung jawabkan secara etis? Apa jati diri manusia yang sebenarnya?
Kesimpulan: manusia itu tidak tahu tentang jati dirinya atau hakekat dirinya secara penuh.

-

Persoalan terakhir menjadi pertanyaan filosofis: Apa yang menjadi hakekat manusia? Ilmu
pengetahuan telah menjawabnya dengan sudut pandang yang berbeda. Tapi refleksi filosofis
melampaui semua itu dan menjadikan keseluruhan diri manusia sebagai sasaran berfilsat.
Munculnya filsafat yang bergulat tentang manusia: Filsafat Manusia atau Filsafat
Anthropologi atau Anthropologi Metafisik.

-

Sasaran Filsafat Manusia: hakekat manusia sebagai satu realitas “ada”, bentuk khasnya,
struktur batiniah dan dinamikanya, sistematisasi seluruh pengetahuan, kritik pengetahuan,
metafisika pengetahuan, pendasaran etis, dsb. Filsafat Manusia melibatkan juga pendekatan
ontologis tentang manusia.


-

Filsafat Manusia: berbeda dengan Anthropologi (Anthropologi Ragawi dan Anthropologi
Budaya): penelitian empiris-positif tentang manusia. Anth.Ragawi: soal fisik, bentuk tubuh
dsb.), dan Anth.Budaya: soal kebudayaan. Juga berbeda dengan Ethnologi: penelitian
empiris-positif tentang ras dan suku tertentu.

1.PERTANYAAN TTG PENDEKATAN YG TEPAT
 Titik tolak apa? Titik tolak Ilmu Pengetahuan Alam, dan mengapa? Ilmu pengetahuan ini
dipandang sebagai ilmu yang menggeluti kodrat manusia secara obyektif, teliti dan tepat.
 Ilmu Pengetahuan Alam tentang manusia:
* Fisika: berbicara tentang manusia sebagai satu tubuh: bentuk tubuh, tipe tubuh, gerakan
mekanis dalam tubuh dsb.
* Kimia: ttg manusia sebagai satu kompleksitas ikatan-ikatan kimiawi dan proses-proses
kimiawi.
* Biologi: ttg manusia sebagai makhluk hidup.
1.1. Pendekatan dlm konteks Biologi Perbandingan
 Biologi: perluas konsep fisika dan kimia ttg manusia, tapi pertanyaannya: bagaimana
kedudukan manusia dalam konteks makhluk hidup lain?
 Manusia: satu jenis dari makhluk hidup. Penetapan ini berdasarkan atas kesamaan dan

keserupaan makhluk-makhluk hidup.
 Manusia tergolong: Binatang menyusui, dan dlm kelompok binatang menyusui, manusia itu
binatang menyusui tingkat tertinggi, yaitu manusia-kera (anthropoide). Yang termasuk dlm
anthropoide: cimpase, gorilla, orang-utan. Biologi perbandingan berfokus pada manusia dan
manusia-kera.
1.1.1. Keistimewaan anatomis morfologis
Perbandingan anatomis-morfologis:
Bentuk tubuh; tangan; mata; kaki; volume otak; gigi dsb.

1

Kesimpulan filosofis
Bahasa Evolusi menuju ke depan.
1.1.2. Posisi khas ontogenitis
 Posisi khas ontogenitis: fase kelahiran sejak berada dalam kandungan sampai pada
masa awal sesudah kelahiran.
 Binatang menyusu: Masa mengandung 21 sampai 22 bulan; sesudah lahir, alami
kematangan segera untuk berdiri sendiri.
 Manusia: dikandung selama 9 bulan; setelah lahir butuh waktu untuk berdiri, karena
otot dan syaraf berkembang perlahan sampai sekitar satu tahun (merangkak); sedari

kandungan sampai saat lahir ada tiga unsur penting yang terbentuk serempak:
kesanggupan utk gunakan alat; bahasa yg khas; perkembangan sikap tegap. Tiga hal itu
tidak terdapat pada binatang menyusu.
 Kesimpulan filosofis: Hakekat manusia belum bisa ditentukan.
1.1.3. Keistimewaan struktur tingkah laku atau sikap
 Struktur dasar yang sama: menjawabi rangsangan dari luar secara biologis, khas dan
punya arti tertentu.
 Pada binatang menyusu: Reaksi terhadap rangsangan dari luar secara hormonal. Reaksi
ini membangun rangkaian tindakan dengan tujuan tertentu seperti pemuasan,
perkawinan, penetapan posisi dsb. Reaksi yang satu menghasilkan rangsangan baru,
dan rangsangan baru ini menghasilkan lagi tindakan tertentu yang mempunyai tujuan
khusus tertentu. Binatang dalam situasi apa saja “sudah” mengenal secara hormonal
reaksinya. Pada jenis binatang tertentu sudah ada faktor “penggemblengan” tapi juga
ada faktor “belajar”, demikian ahli etologi (etologi: ilmu tentang tingkah laku binatang).
 Pada manusia: Rangsangan dari luar dan reaksi manusia sudah berada di bawah
pengawasan akal. Memang tidak dapat dibedakan kerja instink dan rangsangan dari
luar, tapi keduanya dapat ditransformir oleh akal budi sehingga manusia dapat
membedakan dorongan-dorongan itu: dorongan makan, dorongan seksual, dorongan
pertahanan hidup, tapi semua dorongan itu tidak dapat ditaksir, malah dorongan yang
satu selalu diselimuti oleh motif-motif lain yang berpengaruh terhadap tingkah laku

manusia seperti dorongan seksual yang diselimuti oleh motif prestise dan kuasa.
Dengan akal budinya, manusia dapat memberi arti dan menghargai obyek-obyek
sebagaimana adanya menurut realitas yang melekat di dalam obyek itu. Manusia dapat
membangun etikanya dan penalaran kritis.
 Kesimpulan filosofis: Tampak ada perbedaan hakiki antara hakekat binatang dan
hakekat manusia oleh karena adanya akal budi pada manusia. Tapi persoalannya: Akal
budi bersifat material atau non-material, juga dalam penelitian terhadap binatang
ditemukan juga semacam “akal” yang menjadi pengawas tingkah laku binatang.
1.2. Problematika Pendekatan
 Pertanyaan filosofis: Biologi Perbandingan belum bisa dengan jelas memperlihatkan apakah
ada perbedaan esensial hakekat manusia dan binatang. Apa manusia sederajat dengan
binatang atau lain dari binatang?
 Dua pendekatan utk mengatasi paradoks itu:
* Arnold Gehlen: Manusia sebagai satu hakekat yang cacat dlm tugas pertahanan diri dan
pemenuhan kebutuhan pokok. Dia sebetulnya satu hakekat dengan binatang, tapi cacat.
Binatang lebih trampil dari manusia. Gagasan Gehlen merupakan satu kritik terhadap
pandangan konvensional ttg hirarki ciptaan: anorganis, organis (tumbuhan, binatang,
manusia), makhluk rohani, Tuhan sebagai pencipta. Kritik terhadap Gehlen:
Anthropomorfisme dan metaphysika biologis.
 Max Scheler: Manusia lain dari pada binatang secara esensial. Kekhususan manusia:

kemampuan utk mengatakan “tidak” pada dorongan naluriah. Itulah kemampuan vital
“roh”. Eksistensi manusia itu terletak antara kutub kebinatangan dan kutub keilahian.
Manusia itu penghubung, dan karena itu ia memiliki sifat setengah binatang, setengah
malekat. Eksistensi manusia merentang dari lapisan yang paling dalam dan gelap,

2



lapisan yang menjadi milik bersama semua makhluk hidup sampai pada lapisan
tertinggi yang paling cerah, yaitu pribadi sebagai bentuk eksistensi yang paling khas
dan menjadi milik manusia saja. Kritik: Unsur dualisme tetap ada.
Pendekatan Ontologis: melihat manusia sebagai satu realitas “ada” secara menyeluruh,
dan realitas “ada” manusia berbeda dengan realitas “ada” binatang. Tiga tuntutan
berikut dalam bidang ontologi:
a. Harus ada satu pengertian umum, dan pengertian umum itu adalah subyek dan
subyektivitas.
b. Pertanyaan ttg hakekat menuntut pembatasan jelas. Ontologi menggeluti soal itu.
c. Masalah fenomenologi dan ontologi. Ontologi menuntut penafsiran yang terus
menerus tentang fenomen-fenomen yang dapat menghantar orang pada

pemahaman ttg hakekat manusia.

1.3. Pengertian tentang Subyek
1.3.1. Subyektivitas: satu realisasi kesatuan




Realitas “ada” = kesatuan. Kesatuan itu terdiri dari keterpaduan dan keterbukaan. Setiap
unsur berpautan dengan sesuatu yang menjadi milik bersama tapi memiliki
ketersendiriannya. Ini berlaku untuk apa saja: benda anorganis, benda organis seperti
tumbuhan, binatang dan manusia. Tetapi intensitas keterpaduan dalam satu kesatuan dan
keterbukaan berbeda-beda.
Dua sifat dari kesatuan itu:
a. Jenjang pembentukan jati-diri obyektif dan keseluruhan. Kita bertolak dari sifat kesatuan
benda anorganis seperti sebuah batu. Bila batu itu dipecahkan menjadi dua bagian,
maka kita bertanya apakah ada dua batu yang berbeda atau dua keping batu dari batu
yang sama. Ini bergantung pada penafsiran dan pengamatan kita. Pemahaman tentang
satu kesatuan batu itu bergantung pada tujuan penggunaan benda itu. Melalui tujuan
penggunaan itu, kita dapat mengenal bahwa bagian-bagian yang terpisah dapat

menunjuk kepada keseluruhannya dan dapat menyatu juga dalam keseluruhan.
Pengertian ttg tujuan berfungsi sebagai prinsip kesatuan benda itu. Ide dasar ini lalu
dikenakan pada prinsip kesatuan pd makhluk hidup.
Makhluk hidup: Makhluk hidup memiliki tujuan di dalam dirinya. Keberadaannya bersifat
ganda: sebagai satu individuum dan sebagai makhluk dari satu jenis atau species.
Individuum: jati-diri obyektif dari satu makhluk, sedangkan jenis atau species:
keseluruhan yang di dalamnya individuum itu termasuk. Arti keberadaan makhluk hidup
itu tidak terletak dalam fungsinya, tapi dalam prinsip kediriannya (prinsip jati-diri
obyektif) yang sangat jelas terlihat dalam realisasi diri seperti pertahankan diri,
pengembangan diri, pertukaran zat-zat kimiawi dan sekaligus juga dalam prinsip
keseluruhan yang sangat jelas terlihat dalam dinamika hidup makhluk itu, termasuk
perkembangan bagian-bagian dalam satu makhluk seperti regenerasi bagian-bagian
dalam tubuh atau kompensasi utk bagian-bagian yang tak berfungsi.
b. Jenjang perwujudan kesatuan yang melekat pada sifat subyek.
* Perbedaan prinsip kesatuan benda anorganis dan organis: Benda anorganis: bersifat
instrumentalis, sedangkan organis: prinsip kesatuan batiniah. Mengapa? Hakekat batu:
kesatuan yang tertutup, dan hanya dapat dipahami dalam konteks pengamat. Hakekat
makhluk hidup: kemampuan berada untuk atau kemampuan utk mempunyai tujuan di
dalam dirinya. Kemampuan utk mempunyai tujuan di dalam dirinya tercermin dalam
kegiatan refleksifitas: aktip-pasip. Aktif: aktivitas gerak laku ketika berhadapan dengan

rangsangan dari luar. Pasip: posisi “menantikan” rangsangan dari luar. Kegiatan
refleksifitas aktip-pasip ini berkorelasi secara intrinsik di dalam dinamika makhluk hidup,
meskipun tingkatan korelasi itu berbeda pada tumbuhan, binatang dan manusia.
Tumbuh-tumbuhan dalam dinamikanya refleksifitas pasip lebih menonjol dari pada aktip.
Aktivitas dan pasivitas memiliki intensitas yang berbeda pada semua makhluk hidup.
 Pada manusia: Kegiatan refleksivitas aktif-pasif berkembang pesat dan khas. Itu
tampak dlm perkembangan otonomitas diri dan serempak perkembangan
sosialitasnya. Perkembangan kedua aspek ini menyentuh keseluruhan diri manusia
yang melampaui dunia fisis, yaitu menyentuh pencapaian hidup yang penuh arti. Dan

3

ini terlaksana dalam relasi realitas diri yang otonom dan sosial dengan realitas diri
yang lain dalam proses “mengenal dan dikenal, menghargai dan dihargai, mencintai
dan dicintai”. Inilah penghayatan kesatuan dlm jenjang tertinggi.
 Pengertian subyek: satu keberadaan yg menyikapi diri sendiri dengan cara menyikapi
diri yang lain.Subyek: kategori ontologis yang menjadi tanda pengenal hakekat
manusia. Yang melekat pd subyek: sifat yang berpautan dng subyektivitas, yaitu cara
berada dari realitas manusia, cara berada yang meliputi baik kesadaran maupun
ketidaksadaran dan unsur-unsur psiko-biologis.

1.3.2.Subyektivitas sbg “Berada-dalam-dunia”
 Manusia dan makhluk hidup: sama-sama membangun satu lingkungan hidup. Tetapi
lingkungan hidup keduanya berbeda (binatang dan manusia). Perbedaan itu terletak dalam
makna kata “subyek” yang melekat pd manusia. Subyek: pelaku yg menjawabi pertanyaan
bagaimana dan terhadap apa dia bersikap. Makhluk hidup yg lain bukanlah subyek, karena
mereka berada di lingkungan dunia sebagaimana adanya, apa adanya.
 Pengertian dunia: pengertian formal, kosmologis dan anthropologis. Formal: totalitas atau
keseluruhan dunia. Kosmologis: keseluruhan realitas sebagaimana adanya an sich dan yang
saling berhubungan dan pengaruh mempengaruhi. Anthropologis: keseluruhan realitas yang
berhubungan dng subyek dan mempunyai arti tertentu untuk subyek. Karena itu dunia yang
demikian bisa bersifat sempit, karena subyek-subyek mempunyai dunianya sendiri, sejauh
dunia itu mempunyai arti tertentu untuk subyek. Dunia si A berbeda dengan dunia si B.
 Semua manusia dalam proses perkembangannya memiliki alur atau jalan hidup yang sama.
Alur hidup itu: dunia manusia sendiri yang bercirikan kesadaran yg terbuka terhadap dunia
manusia lain.Subyektivitas sebagai sesuatu yang berada dalam dunia: bukan hanya dunia
tempat tinggal, tetapi yang bertanggung jawab untuk mengolah dunia menjadi miliknya.
1.4. Mencari kesatuan pengertian ttg manusia
Subyek dan subyektivitas: unsur esensial yang membedakan manusia dari makhluk hidup yang
lain. Persoalan di sini bukan lagi antara manusia dan makhluk lain, tetapi antara manusia
sendiri. Apakah antara manusia yang berbeda-beda dalam sosok tubuh, figur, bahasa, budaya

dan adat istiadat, cara berpikir, dsb, terdapat satu hakekat sama?
1.4.1. Kesatuan hakekat?
 Pengertian ttg hakekat: ikhtisar dasar ttg realitas manusia, dan pengertian ini
menyentuh perumusan yang jelas ttg manusia melalui definisi. Definisi ini harus
memuat satu identitas tetap yang berlaku untuk semua manusia yang berbeda-beda.
 Ada dua tese ttg realitas manusia yang tinggal tetap sejak dulu sampai sekarang.
a. Tidak ada sama sekali kesatuan hakekat manusia. Yang ada hanyalah gejala-gejala
lahiriah. Argumentasinya: Peralihan dari unsur hakiki pd binatang menuju manusia
tidak jelas; juga tidak jelas adanya pembedaan khas antara unsur hakiki manusia yang
satu dng manusia yang lain. Pengelompokan yang dibuat sampai sekarang ttg jenis
makhluk hidup dibuat sewenang-wenang, termasuk pengelompokan manusia menurut
kulit, ras, suku dsb. Pembagian itu bersifat sewenang,karena hanya menyentuh gejalagejala lahiriah saja.
b. Tese yang kedua: Ada kesatuan hakekat. Semua manifestasi kehidupan manusia berasal
dari satu hakekat yang sama. Argumentasinya: adanya daya-daya manusia yang
terwujud dlm perkembangan tekhnik dan kemungkinan baru utk penemuan tekhnik.
Daya-daya ini yang menjelma dalam tekhnik bertujuan utk menjawabi tantangan
dunia. Dng demikian semua manusia menempuh satu jalur yang sama, yaitu
kemampuan manusia utk menjawabi tantangan dunia melalui penemuan dan
pengembangan tekhnik.
1.4.2. Universalitas pengertian dan kesatuan pengertian ttg manusia?
 Masalah: Ketika kita mengolah pengertian kita ttg manusia, ketika itu juga pengertian kita
sudah terkondisikan oleh lingkungan, sejarah dan kebudayaan kita.
 Disposisi negatif yang melatarbelakangi usaha untuk menetapkan pengertian kita ttg
manusia:

4

Disposisi Ethnosentrisme: Kebudayaan sendiri, adat istiadat, keyakinan, dsb., lebih
tinggi dari pada kebudayaan, adat istiadat dsb, dari yang lain. Konsep ttg manusia
lebih baik dari yang lain.
- Disposisi relativisme: semua pengertian dan pemahaman ttg apa saja, termasuk ttg
manusia sama saja. Tidak ada kebenaran mutlak.
 Kedua disposisi itu tidak menjawabi persoalan kita. Keduanya bertolak dari satu
pengandaian yang keliru bahwa haruslah ada perumusan satu kebenaran absolut.
Kenyataannya: manusia yang bermacam-macam adalah juga subyek-subyek yang
berbeda-beda. Tapi subyek-subyek ini di dalam dirinya memiliki subyek “transendental”
yang menuntut pengetahuan obyektif ttg kebenaran.
 Dari pengertian di atas: dibutuhkan dialog yang terus menerus utk memecahkan masalah
pengertian dan pengetahuan ttg manusia dan utk memajukan proses pengenalan diri.
Dialog itu berdiri di atas prinsip kesederajatan.
-

2.

DIMENSI DASAR REALITAS MANUSIA SBG REALITAS “ADA”

2. 1. Bahasa.
2. 1. 1. Peristiwa terjadinya bahasa dan sistem bahasa.
-Ada elemen tetap dalam bahasa manusia: kata, kalimat, ungkapan, bunyi suara, dsb.; itu
berarti ada aturan yang membentuk semuanya itu. Menurut penelitian proses terjadinya
bahasa: ada gudang persediaan di dalam diri manusia, satu gudang persediaan yang
memungkinkan terbentuknya aturan, unsur dan sistem yang melahirkan bahasa.
- Unsur-unsur bahasa (atau tanda bahasa dengan arti tertentu) berada dalam satu hubungan
yang sistematis. Hubungan itu memiliki struktur yang dapat diselidiki.
Sistem bahasa berubah secara historis. Dua cara pandang: synkronistis dan diakronis.












Synkronistis: cara pandang yang berhubungan dengan keadaan satu bahasa pada satu waktu
tertentu, mis. Sistem bahasa dng ejaan “oe” dlm bahasa Indonesia dulu.
Diakronis: cara pandang yang melukiskan perubahan bahasa dari satu fase ke fase yang
berikut, mis. Perubahan dari ejaan “dj” ke “j”.
Kedua cara pandang itu membantu mengenal perubahan bahasa baik perubahan yang
berasal dari faktor luar maupun dari faktor dalam.
Perubahan itu memperlihatkan adanya perubahan struktur juga. Harus dibedakan struktur
dasar satu bahasa dan strukur faktisnya. Struktur dasar: struktur dalam utk menjadi dasar
perbandingan bahasa dan utk temukan hakekat semua bahasa. Struktur faktis: struktur
permukaan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Dari bahasa yang berbeda-beda bisa
ditemukan struktur dasar yang serupa untuk mengungkapkan isi yang sama tapi juga
struktur dasar yang berbeda untuk ungkapkan isi yang sama.
Penelitian trh unsur bahasa membawa kita kepada pemahaman bahwa setiap bahasa
merupakan satu sistem differensiasi yang tersusun berlapis-lapis secara hirarkis: dari yang
sederhana menuju yg paling kompleks.
Prinsip differensiasi: arti dari tanda tertentu terletak dlm perbedaan antara tanda yang satu
dng tanda yang lain dalam satu sitem bahasa yg sama.
Setiap sistem bahasa memiliki satu lapisan hirarkis dari sistem-sistem, yaitu dari fonem ke
kata menuju kalimat. Arti tertampak dlm tanda bahasa, dan tanda bahasa dan bahasa itu
sendiri adalah hasil ciptaan manusia.
Proses terjadinya bahasa dapat diamati lewat proses differensiasi itu.

2.1.2. Prestasi bahasa
 Prestasi bahasa: hasil kemampuan yang diperlihatkan oleh cara-cara berbahasa. Dan prestasi
bahasa itu dapat dibaca dalam fungsi bahasa. Psikolog Karl Buehler: tiga fungsi bahasa, yaitu
sebagai simbol, symptom dan signal.
 Tiga fungsi itu dapat dijabarkan dalam 3 fungsi umum: presentasi; komunikasi;
pengungkapan diri.
 a. Presentasi:
- Menghadirkan sesuatu yang konkrit berupa barang, hal atau keadaan.

5





- Menghadirkan sesuatu yang sudah tidak ada (mis. sejarah) dan sesuatu yang belum ada
(mis. Ramalan atau futurologi).
- Menghadirkan sesuatu yang tidak pernah secara riil dan obyektif ada, mis. Bahasa
figuratif dalam syair, puisi, peribahasa.
b. Komunikasi.
- Bahasa berfungsi mengkomunikasikan sesuatu kpd yang lain baik secara verbal maupun
non-verbal.
- Bahasa: alat komunikasi dari kelompok-kelompok sosial seperti dlm kontrak kerja, kontrak
perkawinan, kontrak negara. Dalam konteks ini, bahasa termasuk dlm satu institusi sosial
yang paling mendasar.
- Bahasa mencerminkan status sosial dalam masyarakat. Arti dan maksud dikomunikasikan
dengan bahasa yang berbeda.Contoh, komunikasi seorang murid dengan guru berbeda
dengan komunikasi antara murid dan rekannya.
c. Pengungkapan diri.
- Bahasa berfungsi sebagai alat pengungkapan diri, yaitu mengekspresikan kehendak
dan pikirannya.
- Pengungkapan diri melalui bahasa tidak hanya terbatas pada kata-kata, tetapi juga pada
ekspresi tubuh. Juga pengungkapan diri itu tidak hanya perorangan tetapi juga bersamabersama seperti tarian adat, nyanyian bersama dsb.

2.1.3. Bahasa sebagai alat pengantara
 Bahasa sebagai alat berarti menghadirkan realitas diri. Bahasa sebagai pengantara berarti
menjadi jembatan atau penghubung antara realitas diri dan realitas yang berada di luar diri.
 Situasi yang membahayakan fungsi bahasa sebagai alat pengantara:
- Dalam hal menipu: bahasa tidak menjadi pengantara kebenaran. Bagaimana bahasa
diplomasi?
- Dalam cara bicara yang melantur-lantur: cara bicara dengan menggunakan kata-kata yang
tidak mengungkapkan isi dan maksud yang jelas.
- Bahasa asing: fungsi bahasa sebagai pengantara hanya dapat dipahami menurut pola
penafsiran yang berkaitan dng lingkungan hidup masyarakat yang menggunakan bahasa
asing itu. Dan ini bergantung juga pada si pengguna bahasa asing itu apakah dia mengerti
secara tepat arti bahasa asing yang dipakai itu.
2. Sosialitas
2.2.1. Fenomen sosial
 Fakta: manusia hidup dalam relasi dengan manusia lain. Bentuk relasi itu bermacam-macam
dan tak terhitung jumlahnya.Bentuk itu berada dlm satu sistem sosial dan struktur sosial
tertentu.
 Macam tipe relasi sosial: yang bersifat kodrati seperti keluarga dan relasi sosial buatan. Juga
relasi sosial yang stabil dan tidak stabil; relasi sosial yang didasarkan pd persahabatan dan pd
struktur hirarkis; yang bertujuan dlm dirinya dan yang bersifat rasional. Satu orang bisa
memainkan peranan bermacam-macam dlm relasi sosial.
 Relasi sosial itu selalu mengambil bentuk tertentu sesuai dng harapan dan peranan yang
dimainkan. Dua aspek mendasar yang membentuk relasi sosial : obyektif (pola tingkah laku
sosial yang diikuti oleh setiap individu) dan subyektif (struktur tingkah laku individu sendiri
yang memberi warna terhadap relasi sosialnya.

2.2.2. Sosiobiologi, sosiologi dan Filsafat Sosial




Tema yang sama dari ketiga disiplin ilmu: manusia sebagai satu realitas sosial.
Seringkali pengertian ketiganya tumpang tindih, tapi ketiganya berbeda satu sama
lain dan berhubungan erat satu sama lain.
Sosiobiologi: Satu teori pengetahuan tentang fenomen sosial dengan bertolak dari
biologi. Dia merupakan satu interpretasi ilmiah ttg populasi dan asal usul tingkah laku
biologis baik pada hewan maupun pada manusia. Populasi di sini berarti kumpulan
individu-individu yang tercipta dalam ruang lingkup geografis tertentu oleh karena
perkawinan dan perkembangbiakkan.

6









Dalam penelitian sosiobiologis:
Penelitian sosiobiologis yang menyentuh kehidupan kelompok baik binatang maupun
manusia: arah tingkah laku mereka egocentris dan altruistis.
Kelemahan penelitian sosiobiologis pada manusia: premisa filosofis yang
memandang asal usul dan tingkah laku manusia sebagai yang diwariskan secara
biologis semata dari nenek moyangnya. Itu berarti bahwa kodrat manusia itu adalah
kodrat biologis semata, dan itu sudah terprogram secara genetis. Muatan rohaniakultural tidak ada.
Utk mengatasi kelemahan itu: ada Sosiologi. Premisa filosofisnya: bukanlah satu
filsafat materialisme, tetapi satu filsafat sosial yang terbuka terhadap berbagai
macam pendekatan yang melibatkan aspek rohaniah-kultural dari realitas sosial
manusia. Sosiologi meneliti fakta-fakta sosial yang terlihat dalam hubungan sosial,
tingkah laku sosial, struktur sosial, bentuk-bentuk tingkah laku sosial, pendeknya
realitas sosial yang dijiwai oleh semangat dan roh yang tidak bersifat material.
Beberapa aliran sosiologi justru merupakan contoh keanekaragaman pendekatan dan
tematisasi terhadap fakta sosial, seperti teori konflik Karl Marx, positivisme August
Comte, teori ttg struktur masyarakat yang ideal Karl Popper, dsb.
Sosiologi: beranjak menuju filsafat sosial yang menggeluti kompleksitas realitas
sosial: sejauh mana aku termasuk dalam yang lain dan yang lain termasuk dalam
diriku? Apa unsur esensial dalam realitas sosial: aku sebagai individu atau
kebersamaan, dsb.

2.2.3. Kritik terhadap posisi-posisi ekstrem
a. Individualisme dan kritik terhadapnya.
Individualisme: satu pemahaman bahwa kehidupan bersama itu dibentuk dan dibangun atas dasar
persetujuan dari individu-individu (masyarakat: kumpulan individu) dengan tujuan tertentu yang
mau dicapai bersama. Argumentasi ontologis: realitas yang sesungguhnya adalah individu,
sedangkan kehidupan bersama atau masyarakat bersifat sekunder dan aksidental. Argumentasi etis:
Individu sebagai pribadi adalah nilai tertinggi. Dia berhak menentukan dirinya sendiri dan berkuasa
atas dirinya. Hak pribadi diutamakan.
Kelemahan: Konsep di atas abaikan struktur dalam dari kehidupan bersama. Di dalam bentuk
kehidupan bersama, hubungan antara individu bersifat hakiki; di dalamnya bukan hanya terdapat
individu-individu, tetapi kesepakatan dan persetujuan itu bersifat mengikat dan membentuk “kita”.
Ada keterikatan antara individu yang satu dengan individu yang lain, dan untuk itu satu autoritas
sosial merupakan satu keharusan. Individualisme terlalu menekankan kebebasan individu tanpa
memperhatikan autoritas sosial itu.
b. Kollektivisme dan kritik terhadapnya.
Kollektivisme: satu pemahaman bahwa kehidupan bersama itu tidak dimengerti sebagai terdiri dari
kumpulan individu, tapi satu organisme sosial yang dilihat sebagai satu tubuh yang memiliki
anggota-anggota. Argumentasi ontologis: realitas sosial itu merupakan satu yang hakiki; dia tidak
diasalkan dari individu-individu. Individu itu merupakan satu yang sekunder; yang lebih dahulu ada
adalah masyarakat. Argumentasi etis: kesejahteraan bersama mendahului kepentingan diri.
Kritik: Paham itu tidak beri ruang kebebasan pada individu. Hak individu diatur sejalan dng tuntutan
kehidupan bersama. Dampak pd dunia pendidikan: batasi kebebasan dan ekspresi anak didik lewat
peraturan dan hukum. Anak dipaksa utk taat dan tunduk buta tanpa punya kuasa utk lawan apa
yang diajarkan guru.
2.2.4. Aku dan yang lain
 Aku dan yang lain: realitas aku dan realitas yang lain. Realitas sosial: realitas aku sebagai subyek
dan realitas yang lain sebagai subyek, dan realitas hubungan antar aku dan yang lain.
a. Intersubyektivitas dan interpersonalitas.
Intersubyektivitas: Hubungan antara aku sebagai subyek dan yang lain sebagai subyek. Tetapi
ukurannya: kebenaran obyektif, yaitu kebenaran yang ada dlm dirinya sendiri dan jadi rujukan utk
perkataan dan tindakan yang benar. Kebenaran obyektif menjadi tuntutan yang berlaku untuk
semua subyek. Intersubyektivitas terwujud dlm pengenalan dan pengakuan semua subyek akan
kebenaran obyektif itu.Kebenaran obyektif ini adalah milik dari subyek ideal.

7

 Intersubyektivitas: tidak hanya hubungan antar subyek, tetapi relasi antar subyek ini harus berdiri
di atas satu subyek ideal yang disebut subyek transendental, yaitu satu subyek ideal yang berdiri
melampaui pengenalan, pengalaman dan kepentingan subyek-subyek konkrit. Baik aku sebagai
subyek maupun yang lain sebagai subyek mengambil bagian dalam subyek ideal ini yang
merupakan kesatuan batiniah semua subyek konkrit.
 Interpersonalitas: hanya mungkin ada apabila intersubyektivitas terwujud. Intersubyektivitas dlm
arti di atas adalah interpersonalitas, yaitu hubungan antar pribadi yang tersirat dalam setiap
subyek. Subyek sendiri mewakili pribadi.Interpersonalitas mengandaikan hubungan antar subyek
atau intersubyektivitas.
b. Yang lain.
Yang lain: diri orang lain ketika saya berhadapan dng orang kedua dan ketiga, tetapi juga diri saya
ketika orang kedua dan ketiga berhadapan dng saya. Saya menyebut mereka “yang lain” dan
sebaliknya mereka menyebut saya juga “yang lain”.
Ciri khas “yang lain”: bertolak dari pengalamanku. Pengalaman diriku bukan satu pengelaman yang
lengkap. Semakin saya mengalami diriku, semakin saya tahu sedikit tentang diriku. Aku mengenal
sedikit tentang diriku. Karena itu, untuk lebih mengenal diriku, aku harus berjumpa dengan yang
lain, yang menjelma dalam tubuhnya, dalam perkataannya, dalam tingkah lakunya. Dengan
demikian terjalin hubunngan “aku dan yang lain”. Tetapi hubungan ini adalah satu hubungan yang
tidak lengkap, karena yang lain juga tampil tidak seluruhnya; ia hanya menjelma sedikit dalam
penampilan lahiriahnya. “Yang lain” dalam pengalamanku akhirnya menjadi “yang lain sama sekali”,
begitu juga “yang lain” ketika berhadapan denganku menyebut aku sebagai “yang lain sama sekali”.
Ciri khas relasiku dengan yang lain: Berawal dari penilaianku terhadap yang lain, dan penilaian ini
keluar dari diriku, cintaku, kegemaranku, pikiran dan perasaanku,dsb. Ternyata, yang lain tampil
tidak ramah, dan karena itu, yang lain adalah ancaman bagiku. Utk mengatasi rasa ini, aku lalu
berusaha untuk menundukkan yang lain agar dia ramah, bertindak baik terhadapku, menghargai
dan menerimaku. Begitu juga, perspektif ini menjadi perspektif yang lain ketika dia berhadapan
denganku. Dia melihatku sebagai ancaman untuk dirinya, dan karena itu, dia berusaha untuk
menundukkanku agar aku menerima dan menghargainya. Dalam membangun relasi seperti ini perlu
ada ruang kepercayaan yang harus ditempa agar yang lain dapat masuk ke dalam duniaku dan
begitu juga aku dapat masuk dalam dunianya. Kepercayaan mengandaikan keberanian, ketrampilan
dan resiko. Aku dan yang lain berdiri di atas satu basis yang sama, yaitu Diri (Self). Aku adalah Diriku
sendiri, dan Yang lain adalah dirinya sendiri. Hubungan aku dan yang lain hanya memperkokoh jati
diri masing-masing, yaitu bahwa yang lain tetap menjadi yang lain sama sekali, dan aku juga tetap
menjadi yang lain sama sekali dalam pandangan yang lain terhadapku.
2.3. Kesejarahan/Historisitas
2. 3. 1. Kesejarahan dari penulisan sejarah.
Manusia: satu hakekat yang menyejarah. Penulisan Sejarah: utk melukiskan peristiwa manusia yang
sudah terjadi di masa lampau. Ideal penulisannya: apa yang diteliti dan ditulis harus sesuai dengan
apa yang sudah terjadi sebagaimana adanya. Persoalannya: apa ideal itu bisa terwujud?
Jawabannya: tidak bisa terwujud, karena apa yang ditulis tidak mewakili seluruh realitas yang sudah
terjadi dulu. Karena itu perlu rekonstruksi sejarah; sejarah perlu dikonstruksi lagi dan metodenya
pun harus selalu diperbaharui.
Dua alasan mengapa sejarah harus selalu ditulis ulang dan metode harus selalu diperbaharui.
Pertama, adanya penemuan sumber-sumber baru seperti arsip atau tanda-tanda atau huruf
tertentu. Penemuan itu membuka horizon pengetahuan yang baru bila diteliti lagi dengan metode
yang tepat. Kedua, setiap sumber tertulis yang berisikan tentang peristiwa masa lampau tidak
pernah selesai menyampaikan sesuatu. Sumber-sumber itu memuat semacam satu realitas
obyektivif yang tidak terikat dengan waktu. Karena itu kegiatan penafsiran terhadapnya harus
berjalan terus. Sumber-sumber tertulis itu juga merupakan satu penafsiran.
 Cara perlukisan sejarah: senantiasa berubah. Perubahan ini mencerminkan adanya
perubahan dalam cara-cara untuk mengerti masa sekarang secara lebih baik. Sekarang orang
mengerti masa sekarang yang merupakan kelanjutan dari masa dulu dengan jaringanjaringan peristiwa yang beraneka ragam (tinjauan psikologis, sosiologis, historis dsb.).
Penulisan sejarah dan penulisnya berada dalam satu latar belakang sejarah dan ideologi
yang mewarnai penulisannya. Karena itu perlu ada sejarahwan yang selalu kritis terhadap
penulisan sejarah orang lain dan kritik terhadap penulisan sejarahnya sendiri.

8



Sasaran penulisan sejarah: kesejarahan itu sendiri, yaitu segala sesuatu yang terjadi di masa
lampau sebagaimana adanya; dan itu mencakup keseluruhan realitas manusia dng segala
aspek.

2.3.2. Ide ttg waktu obyektif dan waktu subyektif.
Ide ttg waktu obyektif: satu perjalanan waktu yang mengikuti garis-garis dengan bercirikhaskan
terjadi lebih awal, lebih kemudian, kemudian sekali dan yang paling akhir, pendeknya: satu
struktur dasar waktu yang di dalamnya peristiwa-peristiwa “terjadi satu sesudah yang lain”.
Struktur dasar dari waktu obyektif ini dapat ditentukan secara pasti menurut hukum fisika,
khususnya astronomi, dan waktu seperti ini adalah waktu kodrati, karena perjalanannya
didasarkan pada peredaran dan ritme alam seperti siang, malam, hari, minggu, bulan, tahun
dan musim. Waktu kodrati ini dilengkapi lagi oleh waktu hasil kesepakatan yang berisikan
peristiwa tertentu sebagai titik referensi pembagian waktu, misalnya penanggalan atau
kalender yang dibuat berdasarkan kelahiran Yesus Kristus, Hijrah Nabi Muhammad, peristiwa
kemerdekaan bangsa Indonesia, dsb. Pembagian waktu seperti ini bisa berupa satu periode,
satu epoche atau zaman.
Ide tentang waktu subyektif: gambaran tentang waktu yang dikaitkan dengan manusia sebagai
subyek. waktu subyektif adalah kesejarahan yang melekat pada subyek itu sendiri. Tanpa
subyek tidak ada gambaran tentang waktu. Waktu dalam kaitan dengan subyek: kesatuan
antara masa lampau, masa sekarang dan masa depan. Hal ini dijelaskan dalam tiga arti
mendasar ini.
Pertama: waktu adalah keseluruhan semua momen atau saat, yaitu momen dulu, sekarang dan
yang akan datang. Momen itu tidak lain dari pada hasil sintese masa dulu dan yang akan
datang dengan yang sekarang. Waktu lampau dihantar untuk masuk ke dalam masa sekarang
melalui “kenangan”, sedangkan masa yang akan datang dihantar masuk ke dalam masa
sekarang melulu “antisipasi”. Masa sekarang mendapat tekanan istimewa, karena masa
sekarang merupakan kekinian subyek, aktivitas subyek. Jadi, masa sekarang menjadi titik tolak
ke dua dimensi, yaitu dimensi masa lampau dan dimensi masa yang akan datang. Masa lampau
dan masa yaang akan datang adalah manusia sekarang terhayati subyek.
Kedua: masa lampau, masa sekarang dan masa depan selalu merupakan satu kesatuan. Unsur yang
satu tidak bisa ada terpisah dari unsur yang lain. Contoh: satu melodi. Satu melodi merupakan
satu kesetuan yang tersusun dari setiap nada. Bila kita mendengarkan beberapa nada dari satu
melodi yang dikenal, maka pada waktu yang sama kita terarah kepada keseluruhan melodi itu
sebagai satu kesatuan dan serempak mengantisipasi munculnya nada-nada lain yang menyusul
dalam keseluruhan melodi itu. dengan demikian, kesatuan waktu itu terbaca pada keseluruhan
waktu dulu, selaramg dam uamg akan datang tetapi serempak juga terarah kepada dimensi
dulu melalui kenangan dan dimensi yang akan datang melalui antisipasi.
Ketiga: Waktu subyektif selalu memuat waktu obyektif. Tapi bagaimana hal ini dijelaskan atau sejauh
mana waktu obyektif itu ada dalam waktu subyektif. Contoh: Kita berhadapan dengan satu
drama di atas panggung. Drama itu mencerminkan perjalanan hidup kita yang terdiri dari fase
awal, tengah dan akhir. Tetapi setiap fase yang kita perankan meninggalkan juga hal-hal yang
tidak kita sadari dan ada hal-hal tertentu yang diperhatikan orang lain ketika mereka menonton
drama kehidupan ktia. Di sinilah titik perbedaan: ada waktu yang mendapat perhatian dan
gambaran struktur dan realitas yang terpisah dari subyek ketika orang lain justru
menemukannya dalam drama kehidupan kita. Karena itu, dalam perspektif waktu subyektif dan
waktu obyektif itu, masa lampau kita adalah satu keharusan yang ktia wajib terima, masa
sekarang adalah kenyataan yang tidak lengkap, dan masa depan adalah kemungkinan saya.
2.3.3. Kesejarahan sendiri atau historisitas
Dalam konteks filsafat manusia: kesejarahan atau arti anthropologis, yaitu kenyataan yang
melibatkan satu dialektika antara masa sekarang dengan masa lampau dan masa sekarang
dengan masa depan. Masa tidak hanay memiliki masa lampau di belakangnya dan masa depan
di hadapannya, tetapi juga membangun dan mengembangkan hubungan masa sekarang
dengan masa lampau dan masa depan. Hubungan itu terdiri dari tanggapan, pertimbangan,
penilaian, keputusan, perbuatan serta kegiatan konkrit entah yang dilakukan secara sadar atau
tidak sadar, bebas atau tidak bebas, secara individual atau kolektif.

9

Masa sekarang adalah titik pusat, karena kita hidup di masa sekarang. Dan dari titik pusat ini
manusia membangun dialektika dalam dua cara.
Pertama, manusia meniadakan atau memasukkan masa sekarang ke masa lampau dan masa depan.
Ini berarti bahwa manusia tidak hidup dalam masa sekrang tetapi hidup dalam khayalan dengan
menemukan nilai hidupnya di masa lampau (pengalaman nostalgia) atau hidup dalam
kenyataan akan masa depan yang penuh dengan impian hidup. Kedua-duanya mempunyai
pengaruh positif dan negatif. Positifnya adalah bahwa pengalaman nostalgia memebangun
kembali semangat hidup untuk menghadapi persoalan sekrang dan juga cita-cita yang kuat
untuk masa depan mendorong semangat hidup sekarang untuk berusaha mewujudkannya.
Tetapi negatifnya ialah bahwa manusia lari dari dunia konkrit dan masuk dunia khayalan baik
khayalan terhadap masa lampau maupun khayalan akan masa yang tidak pasti.
Kedua, masa sekarng “kehilangan” masa lampau dan masa depan. Kehilangan masa lampau berarti
bahwa manusia terputus dari manusia sekrang atau dengan kata lain, masa lampau tidak
diperlukan. Begitu juga, kehilangan masa depan berarti bahwa manusia dapat terpisah dari
masa sekarang, atau dengan kata lain, manusia dapat tidak diperlukan. Masa sekarang adalah
satu kenyataan yag bersama satu kali. Keduanya mempunyai nilai postif dan negatif.nilai
positifnya: pengalaman masa lampau yang buruk dilepaskan dengan hati yang terbukan dan
lapang agar kita memulai hidup baru dengan harapan baru, begitu juga putusnya hubungan
dengan masa depan membantu kita untuk lebih memusatkan perhatian pada hidup sekarang
dengan persoalannya yang sedang kita hadapi. Nilai negatifanya: masa lampau yang buruk tidak
boleh dilupakan begitu saja, dan harus diintegratif dalam hidup yagn sekarang. Hidup masa
depan yang terputus dari hidup sekarang adalah menghancurkan harapan kita dan hal ini bisa
membawa putus asa.
Dialektika itu ada dalam diri subyek yang menyejarah. Masa lampau dan masa depan meresapi
masa sekarang dan masa sekarang meresapi masa lampau dan masa depan. Masa sekrang
tanpa dimensi masa lampau dan masa depan adalah kehilangan arti, begitu juga masa lampau
dan masa depan tidak punya arti jika tidak diresapi oleh masa sekarang.
2. 4. Kejasmanian
2.4.1. Prapengertian ttg kejasmanian dng bertolak dari bahasa.
Bahasa tentang tubuh memberikan kita lebih dahulu pengertian tentang kejasmanian:
a. Bahasa Metaforis ttg tubuh.
Kita menemukan banyak kata yang mengungkapkan bagian-bagian tubuh dan gerak-gerik tubuh.
Bagian-bagian tubuh misalnya: tangan, kepala, bahu, dada, hati dsb., dan gerak-gerik tubuh
misalnya: lari, berdiri, tidur, jalan, duduk dsb. Kata-kata itu memiliki satu arti dasar, tetapi mereka
dapat memiliki banyak arti, apabila mereka digunakan dalam bahasa metaforis (meta-phora:
pengalihan), misalnya bahasa metaforis utk bagian tubuh: kepala suku, kepala pasukan, kepala
pemerintahan dsb., dan bahasa metaforis untuk gerak-gerik tubuh, misalnya: melarikan diri,
mendirikan rumah, menjalani hukuman, mendudukkan perkara, dsb. Arti dasar dari kata-kata itu
tidak hilang dan dalam bahasa metaforis arti dasar tetap menjadi prinsip kesatuan. Bahasa
metaforis memperlihatkan prinsip kesatuan itu, selain memperlihatkan adanya struktur analogi
antara arti dasar dan arti-arti yang lain dan memperlihatkan mudahnya proses pengalihan arti
dasar ke arti-arti yang lain.
b. Penangkapan figur jasmaniah-rohaniah melalui bahasa.
Analisa bahasa: Kesatuan antara tanda yang menunjukkan arti dan arti yang terkandung di dalam
tanda itu. Setiap kata merupakan susunan fonem-fonem (bunyi suara: setiap huruf mewakili
bunyi suara tertentu) dan monem-monem (monem: kesatuan terkecil yang punya arti tertentu
dan yang turut membentuk fonem). Bila orang mengungkapkan bunyi suara tertentu, maka
orang langsung menangkap arti yang terkandung dalam bunyi suara itu. Demikian juga bila orang
mengucapkan satu kata sebagai bentukan dari bunyi suara itu, orang langsung menangkap arti
yang terkandung dlm kata itu. Kesatuan antara kata yang mengungkapkan arti dan arti yang
terkandung dalam kata adalah sama dengan kesatuan tubuh-roh dalam satu figur. Bila kita
menyebut nama seseorang yang kita kenal, misalnya “mantan presiden Abdulrahman Wahid”,
orang langsung menunjuk kepada sosok jasmaniah tertentu yang sekaligus juga mencerminkan
elemen rohaniah yang melekat pada figur jasmaniahnya.
Pertanyaan lebih lanjut: apakah tubuh itu satu fenomen dan bagaimana dia menjadi satu fenomen?
Jawabannya: Tubuh merupakan satu fenomen, baik dari segi ukuran fisik seperti besar, tinggi,
rendah, pendek dsb., maupun juga dari segi estetis seperti tanpan, cantik, jelek, dsb. Fenomen

10

tubuh menunjukkan kehadiran keseluruhan pribadi tertentu. Bagaimana tubuh menjadi satu
fenomen? Bila orang berkata “dia adalah orang yang ringan tangan”, maka dari sudut fisis dan
estetis, dia tidak demikian, tetapi kata itu hanya mengungkapkan sikap suka menolong. Si
pengamat mengatakan demikian atas dasar pengalamannya bahwa orang dengan figur tubuh
tertentu suka menolong. Tubuh menjadi satu fenomen, ketika orang mengalami figur
keseluruhan diri orang itu yang suka menolong. Sikap suka menolong menunjuk kepada fenomen
tubuh yang mewakili seluruh diri orang itu, dan bukannya kata “ringan tangan” menunjuk kepada
satu fenomen.
2. 4. 2. Reduksi tubuh kepada badan
Dalam pemakaian bahasa sehari tidak ada pembedaan antara tubuh dan badan. Pada hal
ada perbedaan mendasar.Badan: bagian dari ruang yang dapat diukur dalam geometri dan
dipelajari dalam fisika. Tubuh: keseluruhan manusia yang tampak dlm struktur jasmaniahnya,
termasuk elemen roh yang ada dalam struktur jasmaniah. Dua pemikir yang memberi pemahaman
akan reduksi tubuh ke dalam badan.
Rene Descartes: Tubuh dan badan itu identik, dan keduanya adalah materi yang bergerak secara
mekanis. Hakekat materi adalah keluasan (res extensa) dan gerak. Sifat keluasan/merentang dan
gerak itu dapat diamati dalam matematika dan geometri. Sifat itu masuk dalam dunia indra kita dan
mempengaruhi dunia indra kita. Kita hanya dapat memandang, mengamati dan menangkap raut
muka, bentuk, warna dsb, tetapi kita tidak dapat memasukkannya ke dalam sistem rasional kita. Kita
memandang tubuh dengan dua cara: memandangnya dengan pikiran (imaginare) dan
menanggapinya dengan indra (sentire). Gerak materi berjalan mekanis seperti angin puting beliung.
Tidak ada prinsip penyatuan dari dalam. Materi ini dalam manusia dipertentangkan dengan roh
yang disebutnya res cogitans (hal yang sedang berpikir). Dengan roh, kesatuan jiwa-badan
dimungkinkan.
Kritik trh Descartes: Ia memisahkan secara tajam realitas materi (tubuh dan badan) dan jiwa.
Budi (daya Roh) melihat dengan jelas perbedaan gerak dan rentangan yang terdapat dlm materi dan
yang terdapat dalam tubuh seseorang. Gerak dan rentang pada tubuh manusia selalu berada dalam
kombinasinya dengan jiwa. Hubungan tubuh-jiwa ini begitu intim, sehingga tidak mungkin tipe
motorik dan mekanik pada materi diidentikan dengan tubuh manusia. Descartes tidak menjelaskan
lebih jauh bagaimana hubungan yang intim antara tubuh-jiwa itu terjadi. Meskipun demikian,
konsep Descartes memberi sumbangan terhadap eksplorasi terhadap tubuh secara luar biasa, yaitu
kemajuan obat-obatan yang digunakan untuk penyembuhan penyakit-penyakit tubuh.
2.4.3. Reintagrasi badan ke dalam tubuh
Reintegrasi badan ke dalam tubuh terwujud melalui “aku sebagai subyek”. Di dalam aku,
tubuh dan badan bersatu. Hal ini digambarkan sebagai pelaut yang berada dalam kapal lautnya. Si
pelaut adalah aku yang bersatu erat dengan kapalnya (badan dan tubuh) tetapi memiliki distansi
dengan kapalnya. Juga hal itu bisa digambarkan di dalam aku sebagai subyek yang merasa lapar,
sakit atau haus. Perasaan lapar, sakit dan haus ditangkap melalu tanggapan tubuh. Perut sebagai
bagian dari badan merasa lapar, tapi perasaan lapar ini dialami oleh keseluruh aku sebagai subyek.
Satu gejala yang memungkinkan reintegrasi badan ke dalam tubuh disebut “mekanisme badan
sebagai spiritualisme tekhnomorfis.
Mekanisme badan sebagai spiritualisme tekhnomorfis. Aku sebagai subyek memiliki
kemampuan untuk membebaskan diri dari kekuasaan kodrat materi yang melekat pada badan kita.
Kekuatan kodrat materi berjalan secara mekanis-motoris. Badan kita adalah kodrat materi yang
tunduk pada hukum mekanis-motoris yang dapat saja berbahaya dan dapat saja berguna.
Mekanisme badan adalah mekanisme alam. Tetapi berkat kemampuan budi dan kehendak manusia,
tekhnik dan ilmu pengetahuan berkembang dan pada gilirannya membebaskan manusia dari
mekanisme badan yang mengancam hidup manusia. Ketika tekhnik dan ilmu pengetahuan tercipta
untuk membebaskan manusia dari hukum materi atau dari mekanisme badan, pada saat itu juga
tekhnik dan ilmu pengetahuan jatuh lagi ke dalam proses mekanis-material yang bisa juga
mengancam manusia. Tekhnik dan ilmu pengetahuan tidak memiliki hakekat, tetapi hasil dari proses
pencapaian tekhnik dan ilmu pengetahuan adalah hasil dari aku sebagai subyek yang tetap
berdistansi terhadap mekanisme materi pada badan. Dengan kata lain, proses mekanisme materi
pada badan hanya mungkin didasarkan pada satu elemen rohaniah yang berdiri di luar kerja materi.
Seandainya tidak ada elemen rohaniah yang ada dalam aku sebagai subyek, maka mekanisme
materi pada badan itu berjalan secara buta, dan manusia tidak mungkin menciptakan tekhnik dan
instrumen yang dapat mengubah proses mekanisme. Dikatakan bahwa mekanisme badan itu sendiri

11

adalah spiritualisme yang tekhnomorfis, karena perubahan-perubahan bentuk tubuh dan tekhnik
yang dihasilkan oleh kesanggupan subyek melahirkan mekanisme material alamiah baru, dan hal ini
hanya bisa terjadi demikian oleh karena kesanggupan subyek yang bersifat rohaniah itu.

2. 4. 4. Realitas Kejasmanian
Realitas kejasmanian adalah realitas tubuh dan bukan realitas badan. Realitas tubuh
berkaitan dengan subyek dan subyektivitas. Realitas ini bersifat unik dan individual, sementara
realitas badan adalah realitas benda yang bersifat mekanis seperti mesin dan bersifat kollektif.
Realitas tubuh hanya merupakan realitas “aku sebagai subyek yang menjasmani”. Untuk
mentematisir realitas tubuh secara filosofis, kita perlu memperhatikan dua bidang di bawah ini.
Dimensi kejasmanian dalam ruang.
Berbicara ttg dimensi kejasmanian dlm ruang berarti berbicara ttg cara-cara bagaimana realitas
tubuh dialami.
Ruang di sini adalah ruang untuk subyek. Dia berbeda dari ruang dalam Geometri dan
physika. Dlm ruang geometri dan physika tidak ada ruang atas, bawah, tengah, kiri dan kanan. Tidak
ada pembedaan ruang di dalam dan ruang di luar. Ruang utk subyek bertolak dari subyek tempat
subyek berdiri. Tempat subyek berdiri adalah titik pijak yang dilambangkan dengan nol, dan dari titik
pijak ini subyek mengarah ke banyak dimensi: ke atas, ke bawah, ke kanan, ke kiri, ke dalam dan ke
luar. Arah yang berbeda-beda, bahkan yang berseberangan satu sama lain, memberi arti dasar
untuk pembentukan ruang, karena dengan adanya arah-arah itu subyek mulai membuka satu ruang
gerak yang bebas dan juga mengukur ruang gerak itu. Realitas kejasmanian subyek memang
mengorganisir arah gerak yang berbeda-beda dan serempak pula memberi arah atau orientasi
keberadaan jasmaniahnya.
- Ruang subyek bukan hanya ruang yang dialami dan yang diukur seperti ruang sempit, ruang segi
empat, ruang yang luas dsb., tetapi juga ruang simbolis, yaitu ruang yang kita bayangkan dalam
imaginasi kita seperti ruang hidup pribadi saya, ruang hidup keluarganya, ruang doa. Pengalaman
ruang yang banyak oleh subyek menunjukkan batas-batas yang subyek berikan untuk ruang yang
satu dan ruang yang lain. Batas ruang itu bersifat fisis dan simbolis.
- Selain ruang fisis dan simbolis, pengalaman ruang subyek juga tidak hanya terbatas pada
kehadiran fisis subyek di satu tempat. Meskipun badan saya berada di tempat ini, tetapi
pengalaman saya akan ruang jauh lebih luas dari ruang tempat badan saya berada. Ketika saya
membuat rencana untuk membuat perjalanan ke tempat yang lain, pengalaman saya akan ruang
sudah melibatkan juga ruang tempat tujuan perjalanan saya. Dimensi kejasmanian saya sudah lebih
luas dari ruang tempat saya berada.
Tubuh juga merupakan pengalaman ruang dari subyek. Tubuh menjadi titik pusat yang dari padanya
subyek bergerak dan menentukan arahnya. Tubuh sebagai titik pusat ini bukanlah satu hal yang
diperoleh secara otomatis. Dia tercipta melalui proses belajar dan latihan-latihan. Melalui tubuh,
subyek dapat menampilkan diri dengan baik tetapi juga menyembunyikan diri secara rapih. Si
subyek yang sakit payah berada di dalam tubuh yang kurus, pucat, dsb., sedangkan subyek yang
sehat berada dalam tubuh yang segar, bugar dan kuat. Pengalaman subyek di dalam tubuhnya
termasuk pengalaman akan ruang.
 Pemberian arti ontologis terhadap realitas kejasmanian.
- Farmasi atau ilmu pengetahuan obat-obatan: berkembang pesat dan maju. Tapi semua
usaha di bidang ini hanya berhenti pada pengobatan organ tubuh yang sakit. Teori-teori di
bidang itu belum menyentuh korelasi antara tubuh jasmaniah dengan keseluruhan
subyeknya.
- Pemahaman di atas berakar dalam filsafat Descartes tentang “res extensa” dan “res
cogitans”. Ilmu pengetahuan dan perkembangan pengetahuan obat-obatan belum berhasil
mengkonstruksikan hubungan antara kedua unsur itu. Problem filosofisnya: apa yang
menjadi hakekat terdalam dari subyek yang dapat mempersatukan “res extensa dan res
cogitans”.
- Untuk menemukan hakekat subyek yang mempersatukan res extensa dan res cogitans kita
membutuhkan ontologi. Gagasan ontologis tentang hakekat yang mempersatukan dua
elemen itu adalah “aku sebagai subyek yang mengkonstitusikan diri”. Subyek yang
mengkostitusikan diri ini memiliki dua aspek: aku yang mempunyai tubuh (das Leib-Haben)
dan aku yang adalah tubuh (das Leib-Sein). Aku yang mempunyai tubuh berhubungan
dengan tubuh dalam fungsi fisis-biologisnya, sedangkan aku yang adalah tubuh

12

berhubungan dengan seluruh realitas subyek. Realitas kejasmanian subyek justru terletak
dalam satu kesatuan antara aku yang mempunyai tubuh dan aku yang adalah tubuh.
Penetapan arti ontologis terhadap realitas kejasmanian harus direfleksikan dalam usaha
untuk mensistematisir satu kesatuan antara aku yang mempunyai tubuh dan aku yang
adalah tubuh.
3. Elemen rohaniah dari perwujudan keberadaa