Pengelolaan Buah-buahan pada Masyarakat Suku Anak Dalam Bambang Hariyadi dan Dedi Harmoko

  

Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013

  Semirata 2013 FMIPA Unila

  

Pengelolaan Buah-buahan pada Masyarakat Suku Anak Dalam

Bambang Hariyadi dan Dedi Harmoko

  

Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Jambi

Email: bahariyadi@yahoo.com

Abstrak. Penelitian ini bertujuan menyingkap pengelolaan secara tradisional pohon-pohon

penghasil buah-buahan yang dilakukan oleh masyarakat Suku Anak Dalam (SAD).

  

Penelitian dilakukan dengan cara mewawancarai sejumlah responden serta observasi pada

beberapa kawasan hutan di Taman Nasional Bukit Dua Belas Jambi. Buah memiliki peran

yang sangat penting bagi kelangsungan hidup Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD). Buah-

buahan juga memiliki nilai sosial budaya yang penting bagi SAD. Buah-buahan yang

tumbuh di hutan merupakan common property yang dapat dimiliki oleh semua orang.

Sejumlah penanda digunakan untuk mengklaim kepemilkian buah-buahan. Selain

mengambil buah-buahan dari pohon-pohon yang tumbuh di hutan, sebagian SAD juga

mengembangkan semacam kebun buah-buahan di tengah hutan.

  Kata Kunci. Buah-buahan liar, etnobotani, Suku Anak Dalam PENDAHULUAN

  Suku Anak Dalam (SAD) adalah sekelompok orang asli Jambi yang menghuni beberapa bagian hutan hujan tropis dataran rendah di Provinsi Jambi. Mereka memiliki hubungan yang erat dengan hutan. Bagi SAD, hutan tidak hanya sebagai pemasok sebagian besar kebutuhan pokok mereka, lebih dari itu, hutan merupakan rumah dan kampung halaman.

  Selain SAD beberapa istilah lain yang sering digunakan untuk merujuk kepada SAD, antara lain Orang Rimba, Orang Kubu dan Sanak. Masing-masing istilah memiliki arti yang berbeda dan memiliki implikasi sosial-politik yang berbeda pula. SAD sangat tidak suka disebut dengan Orang Kubu karena istilah ini tidak sesuai dengan kondisi mereka (misalnya Kamocki 1972). Kubu memiliki konotasi negatif yang berarti terbelakang, tidak beradab, dan barbarian. Namun Sandbukt (1984) yang melakukan penelitian etnografi yang mendalam pada SAD lebih suka menggunakan istilah kubu untuk memberikan kejelasan mengenai kelompok masyarakat yang dimaksudkan.

  SAD di Jambi sebagian besar tinggal di dalam dan sekitar Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD). Populasi SAD lainnya tersebar di beberapa daerah di luar kawasan TNBD, misalnya di wilayah Taman Nasional Bukit Tigapuluh, di daerah perbatasan antara Jambi dan Provinsi Riau. Sebagian dari warga SAD telah mengintegrasikan dirinya, tinggal menetap dan menjadi bagian dari masyarakat desa yang ada di sekitar TNBD.

  SAD di TNBD menempatkan dirinya menjadi beberapa kelompok yaitu Makekal, Bernai, Kejasung Besar, Kajasung Kecil, Seranggam dan Air Hitam. Penamaan kelompok biasanya dilakukan dengan mengacu pada nama sungai yang ada di wilayah tersebut. Populasi SAD di TNBD pada tahun 2003 diperkirakan sekitar 12.000 orang (Sager, 2008). Populasi tersebut cenderung meningkat dari waktu ke waktu, tetapi ukuran masing-masing kelompok cenderung menurun.

  Pada dasarnya SAD mempertahankan hidup dengan mengumpulkan dan berburu sejumlah mbuhan dan hewan di hutan. Kebutuhan karbohidrat misalnya, diperoleh dari berbagai jenis umbi dan buah-buahan.

  

Bambang Hariyadi dan Dedi Harmoko: Pengelolaan Buah-buahan pada Masyarakat

Suku Anak Dalam

  Mereka mengumpulkan dan mengkonsumsi beberapa jenis banar (Dioscorea spp.) seperti banar dompas, banar seluang, banar berbulu, dan banar Licin (Setyowati, 2003). Kebutuhan protein dipenuhi dari sejumlah hewan buruan seperti babi, rusa, kijang, dan trenggiling. Selain meramu dan berburu, SAD juga melakukan praktek perladangan berpindah dengan cara membuka hutan dan menanaminya dengan beberapa tanaman, khususnya tanaman pangan.

  Buah-buahan memiliki peranan yang strategis bagi masyarakat SAD. Disamping memiliki peranan ekonomi yang penting, buah-buahan juga memiliki kaitan yang erat kehidupan sosial budaya. Pada dasarnya semua jenis buah-buahan yang tumuh di hutan merupakan merupakan milik bersama (common property). Namun, ada beberapa individu pohon penghasil buah yang menjadi miliki keluarga tertentu. Paper ini membahas mengenai pengelolaan (tumbuh- tumbuhan) buah-buahan yang dilakukan secara tradisional oleh masyarakat SAD.

  Penelitian dilakukan pada masyarakat Suku Anak Dalam yang berada di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Kabupaten Sarolangun, Propinsi Jambi.

  Secara keseluruhan, penelitian ini menggunakan dua metode utama yakni wawancara mendalam (in-depth interview) dan observasi. Keterlibatan subyek penelitian Masyarakat SAD dalam penelitian ini bersifat sukarela.

  Wawancara mendalam melibatkan sejumlah responden kunci, dan subyek lain yang memiliki informasi mendalam mengenai lanskap lokal, penggunaan lahan, antara lain terdiri dari pemimpin adat, temenggung, jenang, petani, penyuluh, dan manajer (staf) TNBD. Kami menggunakan metode bola salju (snow ball) untuk menjaring subyek penelitian tersebut (Bernard, 2002). Untuk mevalidasi (cross-

  check ) data yang diperoleh, kamimelakukan

  wawancara dengan responden kunci lainnya sekaligus mengkonfirmasi informasi yang telah dikumpulkan pada tahapan sebelumnya. Selain wawancara, kami melakukan observasi di lapangan untuk menggambarkan kondisi bentang alam dan lingkungan, terutama yang terkait dengan buah-buahan yang dikonsumsi oleh SAD.

  Data yang diperoleh melalui kajian ini sebagian besar merupakan data kualitatif. Selanjutnya data tersebut dianalisis secara kualitatif. Analisis data dalam penelitian ini berlangsung bersamaan dengan proses pengumpulan data, meliputi reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

  Buah-buahan, baik yang tumbuh liar di hutan maupun yang sengaja ditanam memiliki peranan yang sangat penting bagi SAD. Sedikitnya ada 15 jenis buah-buahan yang paling disukai oleh SAD (Hidayanti, 2012). Musim buah-buahan merupakan saat-saat yang dinantikan bagi semua masyarakat SAD. Saat-saat yang paling membahagiakan dalam kehidupan SAD adalah saat-saat produksi buah-buahan yang melimpah. Pada masa ini, konsusmsi karbohidrat utamanya dari umbi-umbian untuk sementara disubstitusi oleh buah- buahan. Beberapa ritual dilakukan oleh SAD untuk menyambut kedatangan musim buah-buahan. Disamping itu beberapa ritual penting dalam kehidupan SAD seperti balai (pernikahan) juga dilakukan pada musim buah ini (Sager, 2008).

METODE PENELITIAN

  Pada dasarnya semua pohon buah- buahan yang tumbuh di hutan adalah milik bersama yang bisa dinikmati oleh seluruh pohon-pohon di hutan yang sudah diklaim kepemilikannya oleh individu tertentu. Dalam hal ini, mengambil hasil dari pohon tersebut harus meminta izin terlebih dahulu dari pemilik pohon, kalau tidak maka orang tersebut akan dikenakan denda adat.

  

Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013

  Sugu lantak dibuat dengan cara

  Rumah tanggo kanti secara harfiah

  lainnya yang digunakan untuk menandai kepemilikan pohon buah di hutan adalah dengan membelitkan batang dari liana atau climber ke suatu pohon. Cara seperti ini dikenal dengan sebutan gelang anak gadis kanti yang secara harfiah berarti anak gadis tetangga. Selain menggunakna gelang, penandaan juga dilakukan dengan cara menyelipkan ranting/batang kecil sepanjang ±10 cm pada batang pohon yang diklaim. Mengambil hasil pohon yang ditandai seperti ini sama artinya dengan mengganggu anak gadis orang lain yang merupakan pelanggaran hukum adat yang serius dalam kalangan masyarakat SAD.

  Gelang anak gadis kanti. Tanda

  digunakan sebagai tangga untuk mengambil madu, adanya sugu lantak menandakan bahwa pohon sialang tersebut telah ada yang memilikinya.

  lantak . Setelah proses pengasapan, maka sugu lantak siap digunakan. Selain

  memotong kayu pisang sepanjang 30-40 cm dan meruncingkan salah satu bagian ujungnya. Bagian runcing inilah yang nantinya ditancapkan ke batang. Setelah diruncingkan, maka sugu lantak tersebut diasap dengan untuk memperkuat sugu

  (Garcinia sp.). Kayu pisang dikenal sangat kuat sehingga dapat menopang badan si pemanjat dan dapat bertahan selama bertahun-tahun.

  Semirata 2013 FMIPA Unila Denda terhadap pelanggaran terhadap hukum adat dilakukan dengan membayar denda yang besarnya dihitung dengan satuan banyaknya kain. Denda yang paling berat diberikan pada kasus pembunuhan.

  sugu lantak ini adalah kayu pisang

  (Dipterocarpus hasseltii Bl.). Salah satu jenis kayu yang digunakan untuk membuat

  scholaris (L.) R.Br.) dan keruing

  khususnya pohon sialang. Pada masyarakat SAD, sugu lantak ini diartikan sebagai anak tangga yang ditancapkan di batang pohon, terutama untuk sejumlah pohon yang dihinggapi lebah madu. Sugu lantak digunakan untuk memanjat pohon dalam proses pengambilan madu. Pohon-pohon sialang antara lain kedondong (Spondias sp.), durian (Durio sp.), pulai (Alstonia

  Sugu Lantak merupakan kayu tajam

  SAD mengklaim kepememilikan terhadap sejumlah individu pohon buah- buahan yang ada di hutan dengan cara memberikan beberapa tanda di batang pohon atau di sekitar pohon yang dimaksud. Pohon buah di hutan yang di sekelilingnya bersih dari semak-semak menunjukkan bahwa pohon tersebut ada yang mengurusi (memilikinya). Tanda-tanda lain yang sering digunakan untuk mengklaim kepemilikan pohon buah-buahan di hutan antara lain dalam bentuk sugu lantak, gelang anak gadis kanti, kayu ditajom diseleligi, and rumah tanggo kanti.

  Denda ini disebut dengan bayar bangun yang artinya setara dengan nilai kehidupan seseorang. Besarnya denda bayar bangun ini sebesar 500 lembar kain. Penebangan terhadap pohon tertentu, misalnya pohon keramat yang melambangkan kehidupan bayi juga dikenakan denda sebesar denda bayar bangun. Pelanggaran terhadap hukum adat yang lain, misalnya kasus pencurian, dikenakan denda setengah bayar bangun. Setengah bayar bangun tidak selalu diartikan sama dengan 250 lembar kain, tetapi dapat sebesar 50 atau 60 lembar kain. Dalam hal ini SAD tidak melakukan perhitungan dengan teliti. Kemungkinan mereka tidak terbiasa hitungan matematis semacam ini. Sager (2008) memberi contoh bahwa SAD masih mengalami kesulitan untuk membedakan banyak rotan yang terdapat pada ikatan-ikatan yang berbeda.

  dilakukan dengan membuat beberapa goresan sejajar pada suatu pohon sehingga menyerupai tangga. Pada bagian bawahnya dibuat goresan yang berbentuk segitiga terbalik. Mengganggu pohon yang memiliki tanda rumah tanggo kanti identik dengan

  

Bambang Hariyadi dan Dedi Harmoko: Pengelolaan Buah-buahan pada Masyarakat

Suku Anak Dalam

  mengganggu rumah tangga orang lain yang juga merupakan pelanggaran hukum adat yang berat dalam kalangan SAD. Jika tanda mulai pudar, biasanya pemilik pohon tersebut akan memperjelasnya agar orang dapat mengetahui bahwa pohon tersebut sudah ada yang memiliki.

  Kayu ditajom diseleligi. Penanda jenis

  ini dibuat dengan cara menempatkan batang kayu yang kecil dipotong lalu ditancapkan ke tanah di dekat lokasi pohon. Ujung atas dari kayu tersebut diarahkan menuju ke pohon yang ingin diakui kepemilikannya. Bagi orang yang mengambil hasil hutan, misalnya buah, dari pohon yang sudah ditandai dengan berbagai tanda di atas, maka ia akan dikenakan sanksi adat berupa 60 lembar kain. Namun, jika ia mengambil buah tersebut dengan seizin pemiliknya, maka ia tidak dikenakan sanksi.

  Selain buah-buahan yang tumbuh liar di hutan sebagian SAD juga mengembangkan kebun buah-buahan yang disebut benuaron. Keberadaan benuaron terkait erat dengan praktek perladangan berpindah yang dilakukan oleh SAD. Benuaron umumnya terbentuk pada perladangan yang dilakukan di tengah-tengah hutan. Dalam hal ini perladangan secara perlahan-lahan diperkaya dengan sejumlah tanaman buah- buahan. Jenis-jenis tersebut sebagian merupakan jenis yang sengaja ditanam, sebagian lainnya tidak sengaja ditanam (semi cultivated). Misalnya, ketika tinggal di lading sambil mengelola kawasan perladangan, SAD mengkonsumsi beberapa jenis buah-buahan lalu membuang biji- bijinya di sekitar lokasi perladangan tersebut. Biji-biji tersebut kemudian berkecambah dan tumbuh menjadi anakan pohon. pada perladangan SAD umumnya merupakan jenis tanaman penghasil karbohidrat seperti ubi kayu, ubi rambat, ubi junjung, talas, tebu, dan pisang. Beberapa tahun belakangan ini padi mulai diintegrasikan dalam sistim perladangan

  SAD. Perladangan biasanya dilakukan sampai dua tahun kemudian pindah ke lokasi yang lain.

  Hamparan bekas perladangan yang ditinggalkan perlahan-lahan berkembang menjadi hutan sekunder yang didominasi oleh pohon-pohon penghasil buah yang disebut benuaron. Beberapa benuaron belakangan ini juga diperkaya dengan tanaman perkebunan, terutama karet. Secara ekologi, benuaron lebih menyerupai hutan daripada areal pertanian.

  Selain memiliki peran yang penting secara ekologi, benuaron juga memiliki peranan sosial, ekonomi, dan budaya yang sangat penting bagi SAD. Seperti halnya harta berat yang lain, pohon buah-buahan yang terdapat benuaron menjadi hak miliki kaum perempuan yang kepemilikannya dapat diwariskan ke generasi selanjutnya (Sager, 2008). Pengambilan buah-buahan di benuaron harus mendapatkan izin dari pemiliknya, kalau tidak maka akan dikenakan denda adat. Jeni-jenis buah- buahan yang banyak tumbuh di benuaron antara lain duku (Lansium domesticum), durian (Durio zibethinus ), rambutan (Nephelium

  cuspidatum

  ), nangka (Arthocarpus heterphyllus ), cempedak (Arthocarpus integer), pedero (Nephelium sp.), dan tampuy nasi (Baccaurea

  bracteata ).

  Pada dasarnya, setiap warga masyarakat SAD memiliki hak untuk memanfaatkan berbagai hasil hutan termasuk berbagai jenis buah-buahan. Tetapi SAD mengenal sejumlah larangan dan pantangan dalam mengambil hasil hutan. Pantangan dan larangan tersebut antara lain Sad tidak diperkenakan untuk (i) mengambil hasil hutan dengan cara yang dapat merusak atau mengambil keseluruhan tumbuhan sehingga tidak ada lagi penerus tumbuhan tersebut, (iii) mengambil tumbuhan/bagian tumbuhan di hutan yang sudah ditandai kepemilikanya, kecuali dengan seizin pemiliknya, (iv) menandai lebih dari dua

  

Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013

  Creek, California. Hidayanti, N. 2012. Studi Etnobotani Buah- buahan yang Dimakan oleh Suku Anak

  Benuaron: Fruit gardens of the Orang Rimba.

  Hariyadi, B. dan D. Harmoko (In Press).

  2005. Pelepat: Traditional Pratice of Wild Honey Harvesting. Journal of Tropical Ethnobiology 2(2): 70-78.

  Hariyadi, B., Subagyo, A. and Asra, R.

  IPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi.

  Harmoko, D. 2012. Kajian Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Suku Anak Dalam di taman Nasional Bukit Dua Belas Kabupaten Sarolangun. Skripsi Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan

  IPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi.

  Dalam di taman Nasional Bukit Dua Belas Kabupaten Sarolangun. Skripsi Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan

  Cultural Anthropology: Qualitative and Quantitative. AltaMitra Press, Walnut

  Semirata 2013 FMIPA Unila pohon, serta (v) mengambil buah-buahan yang belum masak. Selain menjamin akses dan pemanfaatan sumberdaya yang lebih adil bagi seluruh komunitas SAD, pantangan dan larangan tersebut juga mendorong pengelolaan sumberdaya hutan yang lebih berkelanjutan.

  Biodiversitas 4(1): 47-54. Bernard, H.R. 2002. Research Methods in

  Setyowati, F.M. 2003. Hubungan Keterikatan Masyarakat Kubu dengan Sumberdaya Tumbuh-tumbuhan di Cagar Biosfer Bukit Duabelas, Jambi.

  Sager, S. 2008. The Sky is our Roof, the Earth our Floor: Orang Rimba Customs and Religion in the Bukit Duabelas region of Jambi, Sumatra. Dissertation. The Australian National University.

  Reality. Asian Folklore Studies Vol 43: 85-98.

  Asian Folklore Studies: 91-106. Sandbukt, O. 1984. Kubu Conceptions of

  DAFTAR PUSTAKA Kamocki, J. 1972. Medak River Kubu.

  Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Rimba Orang, khususnya Temenggung Betaring dan Temenggung Tarib, atas upaya Unreserved dan dukungan dalam berbagi pengetahuan terkait dengan benuaron. Kami juga berterima kasih kepada CRC 990 Start up funding yang telah membiayai sebagian dari kegiatan penelitian ini.

  Buah memiliki peran yang sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat SAD. Pohon buah-buahan merupakan milik bersama, tetapi ada sejumlah pohon yang diklaim kepemilikanya sebagai milik pribadi (keluarga). SAD menerapkan sejumlah pantangan dan larangan untuk menjamin akses yang adil bagi seluruh masyarakat terhadap pohon-pohon penghasil buah yang ada.

  KESIMPULAN

Dokumen yang terkait

Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Ant

1 91 173

Tradisi Ritual Lukah Gilo pada Masyarakat Suku Bonai Provinsi Riau

13 170 159

Partisipasi Masyarakat Kabupaten Simeulue Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pasca Tsunami

5 51 116

Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Pengelolaan Sampah Di Kota Binjai

2 61 148

Dedi Dwilaksana

0 9 5

DARI ISLAM KE KRISTEN Konversi Agama pada Masyarakat Suku Minangkabau

0 0 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PROGRAM TRANS SOSIAL 2.1 Kearifan Suku Anak Dalam - Kehidupan Suku Anak Dalam Pasca Mengikuti Program Trans Sosial di Bukit Suban Kabupaten Merangin Provinsi Jambi

0 0 15

Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Anta

0 1 12

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam

0 1 7

Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Anta

0 1 15