Tradisi Ritual Lukah Gilo pada Masyarakat Suku Bonai Provinsi Riau

(1)

TRADISI RITUAL LUKAH GILO PADA MASYARAKAT

SUKU BONAI PROVINSI RIAU

TESIS

Oleh:

DONNA HANDAYANI

107009040/LNG

SEKOLAH PASCA SARJANA

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

TRADISI RITUAL LUKAH GILO PADA MASYARAKAT

SUKU BONAI PROVINSI RIAU

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Magister Humaniora Pada Program Studi Linguistik Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh:

DONNA HANDAYANI

107009040/LNG

SEKOLAH PASCA SARJANA

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(3)

Judul Tesis : Tradisi Ritual Lukah Gilo pada Masyarakat Suku Bonai Provinsi Riau

Nama Mahasiswa : Donna Handayani Nomor Induk Mahasiswa : 107009040 Program Studi : Linguistik

Konsentrasi : Linguistik (Tradisi Lisan/TL)

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D) (Dr. Muhammad Takari, M.A

Ketua Anggota

)

Ketua Program Studi Direktur


(4)

PERNYATAAN

TRADISI RITUAL LUKAH GILO PADA MASYARAKAT SUKU

BONAI PROVINSI RIAU

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri.

Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan Tesis ini, telah saya cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Tesis ini bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan teraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Juli 2012


(5)

ABSTRAK

Masyarakat suku Bonai merupakan salah satu kelompok suku asli yang terdapat di Provinsi Riau. Jarak geografis yang jauh dan secara social terpencil, membuat mereka dianggap tertinggal atau primitif dibandingkan dengan masyarakat lain di provinsi Riau.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mencari makna yang terkandung dari ritual lukah gilo serta memngetahui bentuk kearifan lokal yang terdapat pada ritual lukah gilo. Untuk itu digunakan teori semiotik dan metode yang digunakan adalah metode kualitatif, dengan metode survei yang dilakukan dengan melakukan wawancara kepada beberapa informan.

Penelitian dilaksanakan di desa Ulak Patian Kabupaten Rokan Hulu dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Rokan Hilir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi lukah gilo yang dimiliki oleh masyarakat suku Bonai merupakan sebuah tradisi yang unik dan banyak mengandung kekuatan magis di dalam pertunjukannya. Lukah Gilo merupakan suatu tradisi masyarakat suku Bonai yang keberadaannya hingga saat ini masih terpelihara dengan baik. Tradisi lukah gilo ini sering dipertunjukan oleh masyarakat suku Bonai kepada masyarakat Melayu lainnya, untuk memperlihatkan jati diri mereka sebagai masyarakat Melayu Riau.


(6)

ABSTRACT

The tribe of Bonai is one of the original tribe which exist in Province of Riau. The tribe of Bonai is an isolated tribe and considered the primitive tribe and as secluded society than others society in Riau Province.

The purpose of this research is to study and to find the meanings of lukah gilo ritual and to find out the local wisdom on lukah gilo ritual. Therefor, to conduct this research, researcher uses semiotic theory and qualitative method, by using survey method which is conducted by interviewing the informants.

The research is conducted in the village of Ulak Patian, Kabupaten Rokan Hulu that adjacent with Kabupaten Rokan Hilir. The result of this research showed that lukah gilo ritual in the tribe of Bonai is a unique tradition owned by tribe of Bonai and has magical power in the performance. The tradition of lukah gilo is performance by the society of Bonai’s tribe to the others society of Malay, to show their identity as Malay society of Riau.


(7)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan Alhamdulillah hirrabil a’lamin, karena, penulis dapat menyelesaikan tesis penelitian “Analisis Semiotik Tradisi Ritual Lukah Gilo pada Masyarakat Suku Bonai Provinsi Riau”.

Tesis ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk menyusun sebuah hasil laporan penelitian dalam tesis dan memperoleh gelar Magister Humaniora pada Sekolah Pascasarjana, Program Studi Linguistik (Kajian Tradisi Lisan), Universitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun penyelesaian tesis ini adalah berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh sebab itu, penulis ingin berterimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini, penulis secara khusus menyampaikan terimakasih kepada:

1. Pembimbing I, sekaligus Ketua Program Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. T. Silvana Sinar, MA., Ph.D, yang telah memberikan dukungan dan motivasi selama penulis menjalankan pendidikan hingga selesai pada Program Studi Linguistik Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Pembimbing II, Bapak Dr. M. Takari, M.Hum, yang telah mendukung, membimbing, dan memberikan saran kepada penulis mulai dari awal penyusunan tesis ini hingga tesis ini dapat diselesaikan.

3. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M.Si dan Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si, selaku penguji yang telah memberikan saran dan kritikan yang membangun guna penyempurnaan tesis ini.


(8)

4. Para Dosen yang mengajar di Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak ilmu dan pengetahuan selama penulis mengikuti pendidikan.

5. Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Provinsi Riau, Bapak Al-azhar, MA, yang telah memberikan ilmu dan pelajaran selama penulis mengikuti pendidikan.

6. Suamiku Choirummin dan anak tercinta Sahilla Arrizqi Khoiron, serta orangtua Hamdan, Herwati, H. Ahmad Muchtar, Hj. Sartinah, yang senantiasa memberikan dukungan baik moril maupun spiritual selama penulis mengadakan penelitian dan menyelesaikan tesis ini.

7. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang juga turut memberikan dukungan semangat dan saran kepada penulis selama penyelesaian tesis ini.

Selanjutnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna. Oleh Karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan tesis ini. Akhir kata, penulis berharap agar kiranya tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan peneliti lainnya.

Medan, Juli 2012 Donna Handayani


(9)

RIWAYAT HIDUP

I. Data Pribadi

Nama : Donna Handayani

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/Tanggal Lahir : Pekanbaru/14 November 1982

Alamat : Jl. Tulip/Kijang Gg. Singa No. 23 Pekanbaru

HP : 081371021299

Agama : Islam

II. Riwayat Pendidikan

SD : SD Negeri 004 Pulau Karam Pekanbaru SMP : SMP Negeri 16 Pulau Karam Pekanbaru SMA : SMA Tri Bhakti Pekanbaru

S1 : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning Pekanbaru

III.Riwayat Pekerjaan

2005-sekarang : Staf Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning Pekanbaru Riau


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK……….. i

KATA PENGANTAR ……… iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………. . v

DAFTAR ISI……… vi

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

1.1. Latar Belakang Masalah ………. 1

1.2. Rumusan Masalah ……….. 11

1.3. Tujuan Penelitian ……… . 12

1.4. Manfaat Penelitian ………... 12

BAB II KONSEP, TINJAUAN TEORETIS DAN KAJIAN TERDAHULU ……….. 14

2.1. Konsep ………. 14

2.1.1. Pengertian Mantera ……… .. 14

2.1.2. Pengertian Ritual …….. ……… 15

2.1.3. Masyrakat Suku Bonai … ……… 17

2.1.4. Pengertian Tradisi Lisan ……….. . 18

2.1.5. Pengertian Kearifan Lokal ……… 20

2.2. Tinjauan Teoretis ………... . 23

2.2.1. Kerangka Teori Etnografi ……….. 24

2.2.2. Kerangka Teori Semiotik……… ……….. 27

2.2.2.1. Semiotik Aliran Paris: Teori Peirce….……….. 30

2.2.2.2. Semiotik Sosial: Halliday, ddk.……… 34

2.3. Penelitian Sebelumnya ……… 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……… 51

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ……….. 51

3.2. Pendekatan dan Metode Penelitian ……….. 52

3.3. Data dan Sumber Data ……… 53

3.4. Prosedur Pengumpulan Data ……….. . 54

3.5. Teknik Analisis Data ……….. . 57

BAB IV ETNOGRAFI SUKU BONAI……….. ………. 59

4.1. Lokasi, Lingkungan Alam, dan Demografi ……….. 59


(11)

4.4. Sistem Teknologi ………. 68

4.5. Sistem Mata Pencarian ……… 77

4.6. Organaisasi Sosial ……… 83

4.7. Sistem Pengetahuan ………. 85

4.8. Kesenian ……….. 87

4.9. Sistem Religi ……… 92

BAB V PEMBAHASAN………. … 97

5.1. Pelaksanaan Prosesi Ritual Lukah Gilo ……… 97

5.1.1 Konteks Budaya LG ………. 97

5.1.2 Konteks Situasi LG ……….. 116

5.1.3 Semantik dan Gramatika Visual ……… 122

5.1.4 Simbologi Representasi LG ……….. 126

5.2 Fungsi dan Makna Mantera LG……… 138

BAB VI KEARIFAN LOKAL PADA TRADISI LISAN RITUAL LUKAH GILO ………. 144

6.1. Kearifan Lokal Tradisi LG 6.1.1 Kearifan Lokal tentang Hubungan Harmonis Manusia, Alam, dan Makhluk Gaib ……… 145

6.1.2 Kearifan Lokal Terhadap Sistem Kepercayaan (Agama)………. 147

6.1.3 Kearifan Lokal Terhadap Pelestarian Budaya …… 149

6.1.4 Kearifan Lokal Terhadap Kesejahteraan Hidup ….. 150

6.2 Transformasi Tradisi LG………. 152

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ……… 155

7.1 Simpulan ………. 155

7.2 Saran ……….. 157

DAFTAR PUSTAKA ………. 159

DAFTAR PERTANYAAN KHUSUS BOMO……… 163


(12)

ABSTRAK

Masyarakat suku Bonai merupakan salah satu kelompok suku asli yang terdapat di Provinsi Riau. Jarak geografis yang jauh dan secara social terpencil, membuat mereka dianggap tertinggal atau primitif dibandingkan dengan masyarakat lain di provinsi Riau.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mencari makna yang terkandung dari ritual lukah gilo serta memngetahui bentuk kearifan lokal yang terdapat pada ritual lukah gilo. Untuk itu digunakan teori semiotik dan metode yang digunakan adalah metode kualitatif, dengan metode survei yang dilakukan dengan melakukan wawancara kepada beberapa informan.

Penelitian dilaksanakan di desa Ulak Patian Kabupaten Rokan Hulu dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Rokan Hilir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi lukah gilo yang dimiliki oleh masyarakat suku Bonai merupakan sebuah tradisi yang unik dan banyak mengandung kekuatan magis di dalam pertunjukannya. Lukah Gilo merupakan suatu tradisi masyarakat suku Bonai yang keberadaannya hingga saat ini masih terpelihara dengan baik. Tradisi lukah gilo ini sering dipertunjukan oleh masyarakat suku Bonai kepada masyarakat Melayu lainnya, untuk memperlihatkan jati diri mereka sebagai masyarakat Melayu Riau.


(13)

ABSTRACT

The tribe of Bonai is one of the original tribe which exist in Province of Riau. The tribe of Bonai is an isolated tribe and considered the primitive tribe and as secluded society than others society in Riau Province.

The purpose of this research is to study and to find the meanings of lukah gilo ritual and to find out the local wisdom on lukah gilo ritual. Therefor, to conduct this research, researcher uses semiotic theory and qualitative method, by using survey method which is conducted by interviewing the informants.

The research is conducted in the village of Ulak Patian, Kabupaten Rokan Hulu that adjacent with Kabupaten Rokan Hilir. The result of this research showed that lukah gilo ritual in the tribe of Bonai is a unique tradition owned by tribe of Bonai and has magical power in the performance. The tradition of lukah gilo is performance by the society of Bonai’s tribe to the others society of Malay, to show their identity as Malay society of Riau.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang terdapat di gugusan pulau Sumatera, Indonesia. Provinsi Riau dikenal sebagai salah satu provinsi terkaya di Indonesia karena memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti minyak bumi dan hasil hutannya. Selain kaya akan sumber daya alam dan hasil hutan, Provinsi Riau juga kaya akan budaya dan tradisi baik lisan maupun tulisan. Provinsi Riau merupakan pusat kebudayaan dan tradisi Melayu. Anggapan tersebut didukung oleh fakta bahwa di kawasan ini sampai sekarang masih ada sejumlah suku asli atau yang lebih terkenal dengan sebutan suku terasing, yaitu, suku Sakai, suku Bonai, suku Talangmamak, suku Kubu, suku Hutan, dan suku Petalangan yang mendiami daratan di Riau. Kemudian ada suku Laut atau suku Akit yang mendiami kawasan Kepulauan Riau.

Di kawasan Riau juga terdapat masyarakat adat seperti rantau nan kurang oso duo puluo di Kuantan, masyarakat limo koto dan tigo boleh koto di Kampar, dan lain-lain. Sejumlah peninggalan sejarah (candi dan artefak lainnya) yang ditemukan memberi petunjuk pula tentang kewujudan kebudayaan dan peradaban kuno dikawasan Riau, mulai dari pra-sejarah hingga ke periode Hindu dan Budha. Beberapa kajian ilmiah bahkan menyatakan bahwa imperium Sriwijaya pun pernah bertapak di kawasan ini. Di pinggir empat sungai besar dan anak-anak sungainya yang membelah kawasan ini selama berabad-abad pernah bertapak sejumlah kerajaan, seperti Gasib (kemudian Siak Sri Inderapura), Kampar (dan Pelalawan dan Gunung Sahilan), Rokan (dan Kunto


(15)

Darussalam, Tambusai, Rambah, serta Kepenuhan), dan kerajaan Keritang, Inderagiri, serta Kandis (Rahman, 2009:2).

Dalam kehidupan masyarakat suku-suku asli, masyarakat adat dan masyarakat beraja-raja, wujud kebudayaan dan tradisi Melayu masih dipelihara dan menjadi patokan kehidupan sosial. Dalam kehidupan masyarakat suku-suku asli yang ada di Riau (seperti suku Sakai, suku Bonai, suku Talangmamak, suku Kubu, suku Hutan, suku Petalangan dan suku Laut atau suku Akit) terkesan sangat tradisional, karena mereka memegang teguh adat, budaya dan tradisinya. Pemegang teraju adat seperti Patih dan Batin, sangat besar sekali peranannya dalam mengatur semua perbuatan dan kehidupan. Alam pikiran yang masih sangat sederhana dan kehidupan yang sangat ditentukan oleh faktor alam, telah menyebabkan munculnya tokoh tradisi seperti dukun, bomo, pawang, dan kemantan. Para tokoh ini diharapkan dapat membuat hubungan yang baik antara manusia dengan alamnya. Masyarakat suku-suku asli juga mempercayai sungai, tanah, pohon, hewan, dan sebagainya, dihuni atau dikawal oleh makhluk halus yang kemampuannya melebihi kemampuan manusia, sehingga mereka beranggapan bahwa manusia, alam dan makhluk halus merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Suku asli atau lebih dikenal lagi dengan sebutan suku terasing, adalah suatu istilah yang diberikan kepada suku tertinggal yang ada di Indonesia. Departemen Sosial Indonesia memberikan istilah bagi suku marjinal ini menurut pola tempat tinggalnya: tidak menetap, setengah berpindah-pindah, dan sementara menetap (Departemen Sosial Republik Indonesia 1987, dikutip dari Hamidy, 1991:5). Empat faktor ini juga menentukan peringkat isolasinya: (1) jarak geografis, (2) kurangnya fasilitas komunikasi


(16)

dan teknologi modern, (3) kurangnya interaksi sosial dengan masyarakat lain, dan (4) penganut kepercayaan leluhur dan alam pikir primitif (Hamidy, 1991:38-39).

Suku Bonai adalah salah satu suku terasing di kawasan Provinsi Riau. Selain suku lainnya yaitu Sakai, Talangmamak, Kubu, Orang Hutan, dan suku Laut atau suku Akit. Masyarakat suku Bonai merupakan salah satu suku asli yang tinggal jauh di pedalaman Sungai Rokan. Masyarakat ini sulit dijangkau dan terisolasi secara sosial. Mereka hidup dari hasil pertanian ladang berpindah-pindah, perikanan, dan meramu. Masyarakat Bonai ini jauh dari sentuhan pembangunan pemerintah Provinsi Riau, bahkan sebagian besar penduduk atau masyarakat Riau yang tinggal di luar dari desa mereka tersebut tidak tahu siapa mereka ini. Kalaupun ada masyarakat luar yang mengetahui mengenai suku Bonai, umumnya mereka hanya mengenal suku Bonai tersebut karena keanehan budaya dan tradisinya. Penulisan dan penelitian khusus mengenai masyarakat suku Bonai dengan budaya, kesenian, dan tradisinya yang “unik” (eksotik) ini masih jarang ditemukan.

Sebagaimana suku-suku lainnya, masyarakat suku Bonai juga mempunyai budaya, kesenian, dan tradisi baik lisan maupun tulisan mengenai riwayat mereka. Masyarakat suku Bonai menjadikan tradisi sebagai titik memulai dengan memposisikan unsur kesenian sebagai inti lingkaran unsur-unsur kebudayaan, dan memposisikan unsur kebudayaan lainnya di lingkar luar yang saling mengait dengan lingkar inti (Rahman, 2009:8). Tradisi dan kesenian dapat dipandang sebagai spirit terhadap siklus kehidupan orang-orang Bonai, karena unsur-unsur tradisi dan kesenian menghiasi hampir seluruh tatanan kehidupan masyarakat Bonai. Unsur tradisi dan seni berhubung kait dengan religius dan kepercayaan masyarakat Bonai. Tradisi dan seni masyarakat Bonai terikat kepada kepercayaan ketuhanan.


(17)

Posisi tradisi dan kesenian sebagai inti dari budaya sangat ditentukan oleh unsur lainnya dalam kebudayaan, seperti bahasa, religi, mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, dan sistem kesenian itu sendiri. Mantera, syair, hikayat, cerita rakyat, nyanyian rakyat, permainan rakyat, dan seluruh kekayaan tardisi lisan dan tertulis masyarakat suku Bonai menampilkan unsur seni yang berada dalam kajian bahasa. Satu di antara tradisi lisan yang paling populer dalam kehidupan masyarakat suku Bonai adalah lukah gilo.

Lukah gilo merupakan salah satu tradisi rakyat pada masyarakat suku Bonai.

Lukah gilo berasal dari dua kata, yaitu lukah dan gilo. Lukah merupakan salah alat penangkap ikan pada masyarakat suku Bonai yang terbuat dari rotan.1 Kemudian kata

gilo merupakan bahasa daerah Bonai yang berarti gila. Lukah gilo merupakan tradisi yang masih berhubungan dengan upacara magis. Dalam ritual ini dipergunakan mantera untuk membuat lukah bisa menari, sehingga ritual ini disebut dengan ritual lukah gilo. Dalam ritual lukah gilo, yang memegang peranan penting ialah bomo.2

1

Selain istilah lukah, dalam kebudayaan Melayu pun dikenal juga istilah bubu untuk menyebut alat yang sama. Alat ini secara budaya mencerminkan bahwa penggunanya adalah sebagai masyarakat yang hidup dari menangkap ikan, khususnya di wilayah sungai, telaga, danau kecil, parit, dan sejenisnya. Penangkapan ikan secara tradisional ini, lazim dilakukan oleh masyarakat Nusantara, ketika di lingkungan mereka masih terdapat banyak hutan dan air yang tersedia secara alamiah sebagai anugerah Tuhan. Kini secara perlahan, hutan dan air termasuk di wilayah Riau sudah mulai berkurang digantikan dengan lahan kelapa sawit, maka bagaimanapun akan berakibat kepada fungsi dan guna lukah ini sebagai alat penangkap ikan.

Bomo memanterai lukah, sehingga lukah menjadi bergerak atau menari. Peralatan yang digunakan bomo dalam ritual ini adalah mayang pinang, wangi-wangian, dan lain sebagainya.

2

Bomo adalah sebuah istilah yang lazim digunakan untuk menyebutkan dukun dalam kebudayaan Melayu. Begitu juga dalam masyarakat seperti Bonai, Solai, Talangmamak, dan lainnya di daerah Riau. Dalam kebudayaan Batak Toba lazim disebut dengan datu. Kalau peringkat keahliannya relatif tinggi disebut datu bolon. Sementara dalam kebudayaan Mandailing dan Angkola disebut dengan sibaso. Seterusnya dalam kebudayaan Jawa dan Sunda di Pulau Jawa lazim disebut dengan dukun atau mbah dukun. Semua merujuk kepada makna yang sdama atau hampir sama, yaitu orang yang memiliki keahlian berhubungan dengan alam gaib untuk tujuan mengobati berbagai macam penyakit secara spiritual atau


(18)

Menurut sistem kepercayaan suku Bonai, kegiatan ritual lukah gilo ini merupakan ekspresi dari hubungan antara alam manusia yang dapat dilihat secara kasat mata dengan alam ghaib. Mereka sejak awal sampai datangnya Islam pun tetap mempercayai bahwa ada alam lain selain manusia dan lingkungan atau ekosistemnya. Alam itu disebut dengan alam gaib. Alam gaib ini pada masa-masa animisme disebut makhluknya dengan jembalang-jembalang. Adakalanya makhluk gaib ini dipuja untuk berbagai keperluan suku Bonai di masa animisme, seperti mengobati penyakit, menurunkan hujan, memberikan rejeki, memberikan keturunan, dan lain-lainnya. Namun setelah datangnya Islam, unsur animisme itu diubah berdasarkan konsep-konsep Islam. Di dalam ajaran Islam selain alam manusia memang dikenal juga dengan alam ghaib yang dihuni oleh para jin. Di antara jin itu ada yang beragama Islam dan ada pula yang beragama lainnya. Lihat ayat-ayat Al-Qur’an yang mendeskripsikan tentang keberadaan jin berikut ini.

(a) Al-Qur’an Surat Al-Jin ayat 26:

Artinya:

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.

(b) Al-Qur’an Surat Al-An’aam ayat 100:

Artinya:


(19)

(dengan mengatakan): "Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan", tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan.

(c) Al-Qur’an Surat Al-Hijr ayat 27:

Artinya:

(d) Al-Qur’an Surat Azdzdariyaat ayat 56:

Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.

Artinya:

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

(e) Al-Qur’an Surat Saba’ ayat 12:

Artinya:

Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. Dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala.


(20)

Dari ayat-ayat Al-Qur’an di atas tergambar dengan jelas bahwa Allah lah yang mengetahui tentang yang gaib-gaib itu. Adapun diciptakannya jin dan manusia oleh Allah adalah untuk mengabdi kepada Allah. Jin terbuat dari unsur api yang panas. Jin lebih dahulu diciptakan Allah, baru manusia menyusul kemudian. Bahwa jin itu ada yang sesat dan menyesatkan dan ada pula sebahagiannya yang beriman kepada Allah. Salah satu Nabi Allah yaitu Sulaiman Alaihissalam adalah di antara Rasul Allah yang dapat memerintah dan memimpin jin untuk bekerja namun tetap atas seijin Allah. Demikian sekilas ajaran Islam tentang keberadaan jin dan hubungannya dengan manusia. Menurut penulis hal ini pula yang terjadi di kalangan suku Bonai, baik pada masa animisme dan kemudian bertransformasi ke masa Islam.

Setelah masyarakat suku Bonai memeluk Islam pun kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus ini terus berlanjut, namun berubah konsep dan pandangan. Kalau dalam masa animisme, makhluk halus ini dipandang memiliki kekuasaan dan derajat yang lebih tinggi dari manusia, maka setelah Islam datang, makhluk-makhluk halus ini dipandang sebagai jin, yang juga makhluk Allah yang dahulu sujud di depan Adam, manusia pertama. Jadi, manusia memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan makhluk gaib ini.

Dalam kebudayaan Melayu dan suku Bonai di Riau, makhluk-makhluk halus dari alam gaib ini disebut dengan berbagai istilah. Di antaranya adalah jembalang laut (“penjaga laut”), jembalang tanah, mambang kuning, mambang hijau, mambang merah (yang hidup di kawasan laut), nini kemang (penunggu padi), dan lain-lainnya. Dengan melihat konsep dan terapan budaya ini, maka seorang suku Bonai wajib memposisikan dirinya sebagai bahagian yang integral dengan alam.


(21)

Dalam konsep atau ide budaya Bonai, manusia adalah bahagian dari alam, baik alam besar maupun alam kecil. Oleh karenanya manusia wajib menjaga hubungan dengan alam, termasuk alam gaib. Menurut salah seorang informan yang merupakan bomo dalam ritual lukah gilo, mengatakan: “Konsep alam dalam budaya Melayu dan masyarakat suku Bonai, alam besar dikecilkan, alam yang kecil dihabisi, alam yang habis dihabisi dalam diri” (wawancara tanggal 11 November 2011 dengan seorang bomo yang bernama M. Rasyid).

Belum banyak penelitian yang mengambil kajian mengenai lukah gilo pada masyarakat suku Bonai. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas, kajian ini menganalisis mengenai ritual lukah gilo untuk memperlihatkan bagaimana praktik-praktik bahasa ini terkait dengan sistem kehidupan masyarakat suku Bonai dalam interaksinya dengan lain, seperti makhluk supranatural, alam, dan makhluk lainnya.

Untuk menganalisis data penelitian, peneliti menggunakan dua teori utama yaitu teori etnografi Koentjaraningrat (1998) dan teori semiotik uistik Sistemik Fungsional khususnya semiotik multimodal. Alasan menggunakan teori semiotik dalam menganalisis LG adalah untuk memberi penjelasan bahwa kegiatan berbahasa pada tradisi LG dapat bekerja dalam masyarakat suku Bonai mempunyai symbol dan makna yang berhubungan antara Penguasa (Tuhan), makhluk supranatural, dan alam alam, serta menjelaskan kondisi sosial LG secara konteks budaya, konteks situasi, maknawi dan simbolisasi.

Dengan menerapkan teori semiotik diharapkan dapat mengungkap kegiatan ritual LG dan menilai praktik sosial dan hubungan dialektika antara bahasa dengan situasi dan budaya yang dialami masyarakat penutur lukah gilo. Selain menggunakan konsep teori


(22)

semiotik, penelitian ini juga menggunakan teori etnografi3

Dengan menggunakan kedua teori tersebut, penelitian ini mencoba untuk mengungkapkan semua tanda dan simbol yang terdapat baik dari segi peralatan digunakan selama prosesi dan mengungkapkan makna yang terkandung dalam teks mantera ritual lukah gilo serta untuk menampilkan diri sebagai pewaris nilai-nilai luhur budaya Melayu pada masyarakat suku Bonai.

yang dipopulerkan oleh Koentjaraningrat. Alasan menggunakan teori etnografi adalah untuk memperlihatkan bagaimana masyarakat suku Bonai memelihara dan mempergunakan tradisi dan budaya mereka di tengah perubahan sosial yang terjadi. Selain itu, teori etnografi juga dapat mendorong pemikiran tentang bagaimana kaitan di aspek-aspek yang berbeda dari suatu kebudayaan dan juga bagaimana kaitannya dengan berbagai segi dari alam.

1.2Rumusan Masalah

Mencari, merumuskan, dan mengidentifikasi masalah: yaitu, menetapkan masalah penelitian, apa yang dijadikan masalah penelitian dan apa objeknya. Menyatakan objek saja masih belum spesifik karena baru menyatakan pada ruang lingkup mana penelitian akan bergerak. Adapun mengidentifikasi atau menyatakan masalah yang spesifik

3

Etnografi berasal dari istilah ethnic yang arti harfiahnya suku bangsa dan graphein yang artinya mengambarkan atau mendeskripsikan. Etnografi adalah jenis karya antropologis khusus dan penting yang mengandung bahan-bahan kajian pokok daripengolahan dan analisis terhadap kebdayaan satu suku bangsa atau kelompok etnik. Oleh karena di dunia ini ada suku-suku bangsa yang jumlahnya relatif kecil, dengan hanya beberapa ratus ribu warga, dan ada pula kelompok etnik yang berjumlah relatif besar, berjuta-juta jiwa, maka seorang antropolog yang membuat karya etnografi tidak dapat mengkaji keseluruhan aspek budaya suku bangsa yang besar ini. Oleh karena itu, untuk mengkaji budaya Melayu misalnya, yang mencakup berbagai negara bangsa, maka seorang antropolog boleh saja memilih etnografi masyarakat Melayu Desa Taluk Kuantan, atau lebih besar sedikit, masyarakat Melayu Kabupaten Kampar, atau masyarakat Melayu Kepulauan Riau, atau Riau(termasuk daratan dan kepulauan), dan seterusnya. Ada pula istilah yang mirip dengan etnografi, yaitu etnologi. Arti etnologi berbeda denganetnografi. Istilah etnologi adalah dipergunakan sebelum munculnya istilah antropologi. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaannya di seluruh dunia, sama maknanya dengan antropologi, yang lebih lazim


(23)

dilakukan dengan mengajukan pertanyaan penelitian (research question), yaitu pertanyaan terhadap mana belum dapat memberikan penjelasan (explanation) yang memuaskan berdasarkan teori (hukum/dalil) yang ada. (Subyantoro dkk, 2006: 30).

Berdasarkan latar belakang masalah dan uraian di atas, maka permasalahan yang akan diteliti adalah:

1. Bagaimanakah etnografi masyarakat suku Bonai?

2. Bagaimanakah makna-makna semiotik sosial pada tradisi lukah gilo pada masyarakat suku Bonai?

3. Bagaimanakah kearifan lokal yang terdapat pada tradisi lukah gilo?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian memuat uraian yang menyebutkan maksud dan tujuan secara spesifik untuk menjawab rumusan masalah di atas. Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan etnografi masyarakat suku Bonai.

2. Mendeskripsikan bentuk semiotik sosial tradisi ritual lukah gilo. 3. Mendeskripsikan kearifan lokal pada tradisi lisan lukah gilo.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini merupakaan suatu harapan bahwa hasil penelitian ini akan mempunyai kegunaan baik teoretis maupun praktis. Adapun manfaat penelitian ini, yaitu:


(24)

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah keilmuan, khususnya mengenai masyarakat suku Bonai dengan mantera lukah gilonya dalam perspektif kearifan lokal.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi peneliti lain yang berminat untuk menindak lanjuti hasil penelitian ini dengan mengambil kancah penelitian yang berbeda dan dengan obyek yang lebih luas lagi.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pemikiran bagi pemerintah daerah dan semua pihak yang terkait lainnya dalam pelestarian tradisi lisan lukah gilo serta menjaga keberlangsungan hidup dari masyarakat suku Bonai tersebut.


(25)

BAB II

KONSEP, TINJAUAN TEORETIS, DAN KAJIAN TERDAHULU

2.1Konsep

Bagian ini menganalisis pengertian dari mantera, ritual, masyarakat suku Bonai, tradisi lisan, dan kearifan lokal berdasarkan konsep teori. Adapun penjabarannya adalah seperti berikut ini.

2.1.1Pengertian Mantera

Berdasarkan penelitian Haron Daud (2001:21) mengatakan bahwa mantera ialah semua jenis pengucapan dalam bentuk puisi atau bahasa berirama yang mengandung unsur magik dan diamalkan oleh orang tertentu, terutama bomo, dengan tujuan kebaikan atau sebaliknya. Mantera itu mempunyai simbol tersendiri yang perlu diketahui untuk memahami mantera sebagai sastra lisan atau lebih tepat lagi tradisi lisan. Lebih-lebih lagi menurut mereka, sebagai tradisi lisan mantera amat erat hubungannya dengan kepercayaan dan pandangan hidup masyarakat di mana mantera itu wujud.

Mantera dipercaya berasal dari arwah leluhur. Kata-kata leluhur juga dianggap berasal dari Tuhan; pesan Tuhan yang diteruskan kepada leluhur melalui media


(26)

komunikasi yang berbeda. Ketika nenek moyang mengekspresikan artikulasi pesan Tuhan dalam formula lisan, pesan itu menjadi tuturan. Mantera kemudian menjadi sarana komunikasi yang dapat dipakai untuk berhubungan dengan makhluk supranatural, dan juga dapat menghubungkannya dengan sumber kekuatan dari kuasa tersembunyi. Mengucapkan mantera atau formula dari leluhur akan dapat membangkitkan kekuatan spiritual, sama seperti yang dilakukan oleh nenek moyang dulu. (Kang, 2005:69)

Dalam istilah Goffman (1979), mantera meliputi tiga tingkatan penutur: Tuhan sebagai penutur tertinggi mantera, leluhur sebagai penulis (author), dan pelaku sekarang sebagai animator. Di luar perubahan penutur, mantera-mantera tetap efektif karena kata-kata itu sendiri mengandung kekuatan magis. Bahkan dengan mengulang-ulang kata-kata-kata-kata itu dalam konteks masa kini, akan membawa kekuatan kreatif yang sama seperti ketika digunakan oleh para leluhur. Dengan kata-kata yang sama dengan yang diucapkan oleh para leluhur, orang dapat membawa kekuatan magis dalam konteks masa kini.

2.1.2Pengertian Ritual

Ritual (Muhammad, 2011:1) secara etimologis berarti perayaan yang berhubungan dengan kepercayaan tertentu dalam suatu masyarakat. Secara etimologis ritual merupakan ikatan kepercayaan antarorang yang diwujudkan dalam bentuk nilai bahkan dalam bentuk tatanan sosial. Ritual merupakan ikatan yang paling penting dalam masyarakat beragama. Kepercayaan masyarakat dan prakteknya tampak dalam ritual yang diadakan oleh masyarakat. ritual yang dilakukan bahkan dapat mendorong masyarakat untuk melakukan dan mentaati nilai dan tatanan sosial yang sudah disepakati


(27)

bersama. Dengan bahasa lain, ritual memberikan motivasi dan nilai-nilai mendalam bagi seseorang yang mempercayai dan mempraktekkan.

Sedangkan ritual menurut Turner (dalam Prasetya, 2008:6) dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu: pertama, ritual krisis hidup, artinya ritual yang berhubungan dengan krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan mengalami krisis hidup, ketika dia masuk masa peralihan. Pada masa ini, manusia akan masuk dalam lingkup krisis karena terjadi perubahan tahap hidup. Kedua, ritual gangguan, yaitu ritual sebagai negosiasi dengan roh agar tidak mengganggu hidup manusia. Turner juga menjelaskan bahwa ritual memiliki fungsi penting bagi keberlangsungan hidup. Fungsi ritual tersebut antara lain: (1) ritual akan mampu mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan memperkuat kunci dan nilai utama kebudayaan melampaui dan di atas individu atau kelompok. Ritual menjadi alat pemersatu atau integritas; (2) ritual juga menjadi sarana pendukungnya untuk mengungkapkan emosi, khususnya nafsu-nafsu negatif, (3) ritual akan mampu melepaskan tekanan-tekanan sosial.

Berdasarkan dari penjelasan mengenai ritual di atas, dapat dikatakan bahwa ritual merupakan suatu kegiatan yang unik, bersifat khas yang sarat akan makna, memiliki suatu kekuatan tertentu, dan juga mencerminkan identitas diri sebagai fenomena budaya. Dapat dikatakan juga, ritual sering bertolak belakang atau berbeda dalam praktek dan penerapan keyakinan serta agama. Namun demikian, antara ritual dan agama, keduanya sering bertemu dan hal ini sangat sering kita jumpai dalam praktek di kehidupan masyarakat atau individu penganut ritual tersebut.


(28)

Masyarakat suku Bonai merupakan salah masyarakat suku asli yang terdapat di Provinsi Riau. Masyarakat suku Bonai ini berdomisili di kawasan sepanjang sungai Rokan yang menghubungkan dua Kabupaten, yaitu Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Rokan Hilir. Di dua Kabupaten inilah masyarakat suku Bonai tinggal dan menetap. Namun demikian, jumlah masyarakat suku Bonai yang mendiami Kabupaten Rokan Hulu lebih mayoritas dibandingkan dengan masyarakat Bonai yang mendiami Kabupaten Rokan Hilir.

Berdasarkan informasi dari wawancara dengan salah seorang masyarakat suku Bonai, asal usul nama suku Bonai berasal dari kata Manai. Manai dalam bahasa Bonai berarti pemalas, kata Manai turunannya Monai lalu menjadi Bonai. Bonai merupakan sebuah pohon yang tingginya tidak lebih dari empat meter, berdaun kecil-kecil, buahnya bulat-bulat berwarna kemerahan dan bila telah masak berwarna hitam serta rasanya agak sedikit asam. Buah bonai ini merupakan bahan baku dalam membuat masakan ikan, dimasak dengan air secukupnya dan dijadikan kuah ikan dengan rasa kuah yang asam (sumber: Rasyid, 2012).

Masyarakat suku Bonai merupakan masyarakat asli yang masih memegang teguh tradisi dan budayanya. Walaupun masyarakat suku Bonai telah memeluk agama Islam, masyarakat suku Bonai masih menjaga dan memperlihatkan kuatnya aturan hukum adat, budaya, dan tradisi, demi mempertahankan identitas sosial mereka. Masyarakat suku Bonai menjaga dan mempertahankan budaya dan tradisinya dengan cara menyatukan dan membawa budaya dan tradisi dalam kehidupannya berdasarkan ajaran agama Islam. Menurut mereka dengan memadukan keduanya, tradisi mereka tetap terpelihara tanpa meninggalkan agama yang telah dianut.


(29)

2.1.4Pengertian Tradisi Lisan

Menurut Pudentia (2008) bentuk tradisi lisan tidak hanya berupa cerita, mitos, dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya seperti kearifan lokal, sistem nilai, sistem kepercayaan dan religi serta berbagai hasil seni.

Pandangan Dick van der Meij (2011) bahwa tradisi lisan mencakup semua kegiatan kebudayaan yang dilestarikan dan diturunkan ke generasi ke generasi secara tidak tertulis. Tradisi lisan mencakupi kearifan lokal, sastra dan bentuk kesenian yang lain, sejarah, obat-obatan, primbon, dan sebagainya.

Membicarakan suatu tradisi lisan adalah membicaraan tradisi dalam arti serangkaian kebiasaan dan nilai-nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, boleh dikatakan hampir meliputi semua segi kehidupan suatu masyarakat tertentu. Pada segi lain kesulitan tampak bagaimana tradisi itu bergeser dan berubah mendapatkan semacam erosi dalam faktor-faktor yang sangat kompleks dan sukar dibatasi batas waktunya.

Menurut Endaswara (2008:151) (dalam Yunita 2011), mengatakan tradisi lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun temurun. Adapun ciri-ciri dari tradisi lisan, yakni:

1. Lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional. 2. Menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tidak jelas siapa

penciptanya.


(30)

4. Sering melukiskan tradisi kolektif tertentu.

5. Tradisi lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise. 6. Tradisi lisan sering bersifat menggurui.

Tradisi lisan memiliki kaitan dengan masyarakat pemilik tradisi lisan tersebut. Menurut Dick van der Meij (2011), pemilik tradisi lisan paling berpengetahuan tentang apa yang diperlukan untuk melestarikan tradisi mereka. Para pemilik tradisi lisan juga adalah orang yang paling mudah dapat menggairahkan orang, apalagi generasi muda dan juga paling memahami pentingnya tradisi mereka.

2.1.5Pengertian Kearifan Lokal

Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah

wisdom sering diartikan sebagai kearifan.

Local secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut

setting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai- nilai tersebut yang


(31)

akan menjadi alasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah laku mereka

diunduh 2 Maret 2012).

Kearifan lokal menurut Ridwan (2008), merupakan pengetahuan yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat penuh keadaban.

Teezzi, Marchettini, dan Rosini (2008), mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari (Ridwan dalam pada tanggal 21 November 2011).


(32)

Kearifan lokal merupakan usaha untuk menemukan kebenaran yang didasarkan pada fakta-fakta atau gejala-gejala yang berlaku secara spesifik dalam sebuah budaya masyarakat tertentu. Kearifan lokal juga merupakan wujud tingkah laku atau pikiran-pikiran manusia pada masyarakat tertentu dalam mengekspresikan keinginan dan budaya mereka. Selain untuk mengeskpresikan pikiran-pikiran, kearifan lokal juga merupakan suatu alat yang digunakan untuk memperlihatkan bagaimana sistem kehidupan suatu masyarakat dalam menjaga dan melestarikan alam dan lingkungan sekitar yang merupakan urat nadi kehidupan mereka.

Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meski pun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

Menurut Sibarani (2012), nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal tersebut, antara lain:

1. Kerja keras (seperti: etos kerja, keuletan, inovasi, visi dan misi kerja, dan disiplin kerja),

2. Gotong royong (melakukan dan menyelesaikan pekerjaan secara bersama), 3. Kerukunan (sikap toleransi antar umat beragama, etnik, budaya),

4. Penyelesaian konflik (sikap dalam menyelesaikan masalah sesuai dengan hukum adat),

5. Kesehatan (penjagaan hidup baik secara pribadi maupun masyarakat), 6. Pendidikan (peningkatan pengetahuan tentang suatu hal),


(33)

7. Penjagaan lingkungan (penjagaan lingkungan untuk tetap menjaga rantai kehidupan),

8. Pelestarian dan inovasi budaya (pemeliharaan dan pengembangan warisan budaya),

9. Penguatan identitas (tetap menjaga keaslian budaya),

10.Peningkatan kesejahteraan (menambah pendapatan masyarakat),

11.Hukum (norma-norma dan aturan-aturan adat yang telah ditetapkan dan harus dipatuhi).

Upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah Nusantara (Sayuti, 2005). Dalam kaitan ini, kearifan lokal yang terkandung dalam sistem seluruh budaya daerah atau etnik yang sudah lama hidup dan berkembang adalah menjadi unsur budaya bangsa yang harus dipelihara dan diupayakan untuk diintegrasikan menjadi budaya baru bangsa sendiri secara keseluruhan. Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri. Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang.


(34)

Tinjauan teoretis merupakan konsep dan kerangka teori apa yang digunakan peneliti dalam penelitiannya tersebut. Penelitian menggunakan dua kerangka teori, yaitu kerangka teori etnografis dan kerangka teori linguistik yang lebih khususnya teori semiotik sosial. Kerangka teori etnografi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerangka teori etnografi Koentjaraningrat, kemudian konsep teori semiotik yang digunakan adalah konsep teori semiotik sosial. Adapun dua kerangka teori tersebut adalah:

2.2.1 Kerangka Teori Etnografi

Kerangka teori etnografi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori etnografi Koentjaraningrat. Etnografi menurut Koentjaraningrat (1998:1) adalah suatu deskripsi dan analisa tentang suatu masyarakat didasarkan pada penelitian lapangan sebagai data dalam penelitian. Etnografi menyajikan data-data yang bersifat hakiki untuk semua penelitian antropologi budaya.

Menurut Koenjtaraningrat (1998:6), dalam melakukan penelitian mengenai kebudayaan suatu suku bangsa yang disusun menurut kerangka teori etnografi, akan terdiri dari beberapa bagian penting yang harus diteliti. Ada beberapa bagian penting yang menjadi acuan dalam penelitian kebudayaan yang disusun menurut kerangka teori etnografi. Bagian-bagian penting yang akan diuraikan dengan lebih mendalam pada penelitian etnografi, yaitu sebagai berikut.

(1) Lokasi, lingkungan alam, dan demografi. Dalam menguraikan lokasi dan penyebaran suku bangsa yang menjadi pokok deskripsi etnografi perlu dijelaskan ciri-ciri geografinya, yaitu iklim, sifat daerahnya, suhunya dan curah hujannya. Suatu etnografi


(35)

juga dilengkapi dengan data demografi, yaitu data mengenai jumlah penduduk, yang diperinci dalam jumlah wanita dan jumlah pria, dan sedapat mungkin juga menurut tingkat umur dengan interval lima tahun.

(2) Asal mula dan sejarah suku bangsa. Sebuah etnografi ada baiknya juga dilengkapi dengan keterangan mengenai asal mula dan sejarah suku bangsa yang menjadi pokok deskripsinya. Keterangan mengenai asal mulla suku bangsa yang bersangkutan biasanya harus dicari dengan mempergunakan tulisan para ahli prehistori yang pernah melakukan penggalian dan analisa benda-benda kebudayaan prehistori yang mereka temukan di daerah sekitar lokasi penelitian ahli antropologi.

(3) Bahasa. Pembahasan tentang bahasa atau sistem perlambangan manusia yang lisan maupun yang tertulis untuk berkomunikasi satu dengan yang lain. Penelitian etnografi member deskripsi tentang ciri-ciri terpenting dari bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan, beserta variasi-variasi dari bahasa itu.

(4) Sistem teknologi. Pembahasan tentang sistem teknologi atau cara-cara memproduksi, memakai, dan memelihara segala peralatan hidup dari suku bangsa. Dalam penelitian etnografi cukup membatasi diri terhadap teknologi tradisional, yaitu teknologi dari peralatan hidupnya yang tidak atau hanya secara terbatas dipengaruhi oleh teknologi yang berasal dari kebudayaan luar.

(5) Sistem mata pencarian. Sistem mata pencarian yang dimaksud adalah sistem mata pencarian atau sistem ekonomi hanya terbatas kepada sistem-sistem yang bersifat tradisional saja, terutama dalam kebudayaan suku bangsa secara holistik. Berbagai sistem tersebut adalah: (a) berburu dan meramu; (b) beternak; (c) bercocok tanam; (d) menangkap ikan; dan (e) bercocok tanam menetap dan irigasi.


(36)

(6) Organisasi sosial. Pembahasannya adalah unsur-unsur dalam organisasi sosial kehidupan masyarakat yang diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan didalam lingkungan mana ia hidup dan bergaul dari hari ke hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan mesra adalah kesatuan kekerabatannya, yaitu keluarga inti yang dekat, dan kaum kerabat yang lain. Kemudian ada kesatuan-kesatuan di luar kaum kerabat, tetapi masih dalam lingkungan komunitas.

(7) Sistem pengetahuan. Dalam etnografi biasanya ada berbagai bahan keterangan mengenai sistem pengetahuan dalam kebudayaan suku bangsa yang bersangkutan. Bahan itu biasanya yang meliputi penegetahuan mengenai teknologi, pengetahuan mengenai obat-obatan, mengenai pembangunan, mengenai kepandaian berlayar, dan pengetahuan yang lain-lainnya.

(8) Kesenian. Pembahasannya adalah segala sesuatu yang bersifat tradisi yang memiliki unsur seni dalam suatu suku bangsa. Seni ini bisa berupa seni pertunjukan seperti teater, tari, musik, dan lainnya. Bisa juga seni rupa dan kerajinan, seperti lukisan, patung atau arca, arsitektur tradisional, dan lainnya. Seni adalah ekspresi keindahan dari seorang atau sekelompok orang yang didasari oleh kebudayaan di mana seni itu hidup.

(9) Sistem religi. Pada bagaian ini, pembahasannya adalah mengenai upacara keagamaan suku-suku bangsa itu. Masalah asal mula dari suatu unsur yang universal seperti agama. Sistem religi ini adalah aspek yang universal dalam kebudayaan manusia. Inti dari sistem religi adalah kepercayaan manusia bahywa di atas dirinya ada sesuatu yang berkuasa baik terhadap dirinya dan alam sekitar. Oleh karena itu harus diadakan ritus-ritus kepada yang menguasai dirinya ini.


(37)

Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, maka pada penelitian ini penulis akan menggunakan konsep teori di atas untuk mendeskripsikan paparan etnografi pada masyarakat suku Bonai. Alasan memilih teori di atas bertujuan memperlihatkan mengapa dan bagaimana masyarakat suku Bonai merevitalisasi dan mempergunakan tradisi mereka di tengah perubahan sosial yang terjadi.

2.2.2 Kerangka Teori Semiotik

Ilmu semiotik adalah kajian tentang tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Menurut Sobur (dalam Sartini, 2011), bahwa semiotik atau semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada

simtomatologi dan diagnostik inferensial.

Suatu jaringan sistem makna dalam sebuah budaya masyarakat mempunyai sumber makna semiotik yang kaya dan beragam. Santoso (2009: 9) mengatakan suatu kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat mempunyai nilai-nilai dan norma-norma kultural yang diperoleh melalui warisan nenek moyang mereka dan juga bisa melalui kontak-kontak sosio-kultural dengan masyarakat lainnya. Nilai-nilai dan norma-norma dari masyarakat lain tersebut baik langsung maupun tidak langsung memengaruhi nilai dan norma-norma yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Sebagai dampaknya nilai-nilai dan norma-norma kultural ini cenderung untuk berubah secara terus menerus, apalagi dunia pada saat ini semakin terbuka sehingga batas-batas kultur, daerah, wilayah, dan negara menjadi tidak tampak.


(38)

Sebagaimana yang telah disinggung Santoso di atas mengenai peristiwa-peristiwa kebudayaan dan sumber tesebut merupakan makna semiotik karena manusia sebagai makhluk yang hidup di dalam masyarakat berperan melakukan interaksi dan komunikasi agar dapat saling memahami makna tanda komunikasi tersebut. Supaya tanda itu bisa dipahami secara universal, dibutuhkan pula konsep yang universal untuk menghindari salah pengertian.

Menurut Kress dan Van Leeuwen (1996:5) ada tiga aliran besar semiotik yang menerapkan konsep teori berasal dari domain linguistik dan domain non-linguistik sebagai sarana komunikasi di abad ini. Yang pertama adalah Aliran Praha (Prague School) pada tahun 1930-an dan awal 1940-an yang dikembangkan oleh pakar linguistik formalisme Rusia. Konsep yang menonjol diterapkan ke dalam bahasa adalah bentuk fonologi dan sintaksis melalui deviasi untuk tujuan artistik, pada kajian seni (Mukarovsky), teater (Honzl), sinema (Jakobson), dan kostum (Bogatyrev). Setiap sistem-sistem semiotik dapat memenuhi fungsi komunikasi yang sama (fungsi refensial dan fungsi puitis).

Aliran kedua diperkenalkan oleh aliran Paris (Paris School) pada tahun 1960-an dan 1970-an, yang menerapkan ide de Saussure, linguis lainnya seperti Schefer, potografi (Barthes), bidang fashion (Barthes), bidang sinema (Metz), bidang komik (Frenault-Deruelle), termasuk juga aliran Pierce. Konsep yang dikembangkan aliran ini pada studi kajian media, seni, dan desain selalunya disebut sebagai semiologi, juga dikatakan post-strukturalisme. Istilah-istilah semiotik “langue” dan “parole”, signifier” dan “signified”, “arbitrary” dan “motivated”, “sign”, “icons”, “indexes”, dan “symbols”, “syntagmatics” dan “paradigmatics”.


(39)

Aliran ketiga dinamakan semiotik sosial (Social Semiotics) yang diperkenalkan oleh Halliday di Australia tahun 70-an dikenal dengan nama teori linguistik Sistemik Fungsional (SFL). Semiotik sosial ini diterapkan pada kajian sastra oleh Threadgold, Thibault dan kawan-kawan, semiotik visual oleh O’Toole, Kress, van Leeuwen, musik oleh van Leeuwen dan sarana semiotik oleh Hodge dan Kress. Konsep semiotik sosial adalah bahwa hubungan setiap manusia dengan lingkungan manusia penuh dengan arti dan arti-arti ini dipelajari melalui interaksi seseorang dengan orang lain yang melibatkan lingkungan arti tersebut. Potensi arti dalam proses belajar menciptakan sistem bahasa sebagai sistem sosial yang terdiri atas struktur ideologi, budaya, situasi, semantik, leksikogramatika, dan fonologi/ grafologi.

2.2.2.1Semiotik Aliran Paris: Teori Peirce

Teori semiotik model Peirce disebut sebagai semiotik pragmatik karena bertolak dari wujud luar tanda yang dapat di indera manusia (representamen) (Hoed, 2001: 87). Alasan memilih pendekatan teori Peirce digunakan adalah untuk melihat tanda, simbol, dan hubungan bahasa dengan konteks dalam peralatan pembuatan lukah dan teks mantera ritual lukah gilo. Dasar pemikiran tersebut dijabarkan dalam bentuk tripihak (triadic), yakni setiap gejala secara fenomenologis mencakup (1) bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuatu yang lain, (2) bagaimana hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu, dan (3) bagaimana gejala tersebut dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan, dan ditandai (Christomy, 2004:16). Dikaitkan dengan data penelitian ini, proses pemaknaan triadic ini yang dinamakan semiosis. Setiap tanda dapat ditempatkan sebagai tanda itu sendiri, sebagai tanda yang terkait dengan yang lainnya, sebagai mediator antara objek dan


(40)

interpretan. Cara Peirce melihat realitas dalam tiga kemungkinan itu sangat penting untuk memahami jargon-jargon lainnya.

Dengan tiga penjelasan di atas kemudian dihasilkan tiga trikotomi: trikotomi pertama adalah qualisign, sinsign, dan legisign, trikotomi kedua adalah ikonis (hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan), indeks (tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda atau hubungan sebab akibat), dan simbol (tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya atau hubungan berdasarkan perjanjian); trikotomi ketiga adalah term (rheme), proposisi (dicent), dan argument. Relasi itu dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 1

Klasifikasi Sepuluh Tanda yang Utama dari Peirce (dalam Christomy, 2004:116)

Relasi dengan representamen Relasi dengan objek Relasi dengan Interpretan Kepertamaan

(firstness)

Bersifat potensial (qualisign)

Berdasarkan

keserupaan (ikonis)

Terms (rheme) Keduaan

(secondness)

Bersifat keterkaitan (sinsign)

Berdasarkan penunjukkan (indeks)

Suatu pernyataan yang bisa benar bisa salah (proposisi atau

dicent) Ketigaan

(thirdness)

Bersifat kesepakatan (legisign)

Berdasarkan kesepakatan (simbol) Hubungan proposisi yang dikenal dalam bentuk logika tertentu (internal) (argument)

Berdasarkan berbagai klasifikasi tersebut, Peirce membagi tanda menjadi sepuluh jenis:


(41)

1. Qualisign, yakni kualitas sejauh yang dimiliki tanda. Kata keras menunjukkan kualitas tanda. Misalnya, suaranya keras yang menandakan orang itu marah atau ada sesuatu yang diinginkan.

2. Iconic Sinsign, yakni tanda yang memperlihatkan kemiripan. Contoh : foto, diagram, peta, dan tanda baca.

3. Rhematic Indexical Sinsign, yakni tanda berdasarkan pengalaman langsung, yang secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan oleh sesuatu. Contoh: pantai yang sering merenggut nyawa orang yang mandi di situ akan

dipasang bendera bergambar tengkorak yang bermakna berbahaya, dilarang mandi di sini.

4. Dicent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang sesuatu. Misalnya, tanda larangan yang terdapat di pintu masuk sebuah kantor.

5. Iconic Legisign, yakni tanda yang menginformasikan norma hukum. Misalnya, rambu lalu lintas.

6. Rhematic Indexical Legisign, yakni tanda yang mengacu kepada objek tertentu, misalnya kata ganti penunjuk. Seseorang bertanya, “Mana buku itu?” dan dijawab, “Itu!”

7. Dicent Indexical Legisign, yakni tanda yang bermakna informasi dan menunjuk subjek informasi. Tanda berupa lampu merah yang berputar-putar di atas mobil ambulans menandakan ada orang sakit atau orang yang celaka yang sedang dibawa ke rumah sakit.

8. Rhematic Symbol atau Symbol Rheme, yakni tanda yang dihubungkan dengan objeknya melalui asosiasi ide umum. Misalnya, kita melihat gambar harimau.


(42)

9. Dicent Symbol atau Proposition (proposisi) adalah tanda yang langsung menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau seseorang berkata, “Pergi!”, penafsiran kita langsung berasosiasi pada otak, dan sertamerta kita pergi.

10.Argument, yakni tanda yang merupakan iferens seseorang terhadap sesuatu berdasarkan alasan tertentu. Seseorang berkata, “Gelap.” Orang itu berkata gelap sebab ia menilai ruang itu cocok dikatakan gelap. (Sobur, 2004: 42-43)

Bagi Peirce, semiotis dapat menggunakan tanda apa saja (linguistis, visual, ruang, perilaku) sepanjang memenuhi syarat untuk sebuah tanda. Dengan demikian, sebuah tanda melibatkan proses kognitif di dalam kepala seseorang dan proses itu dapat terjadi kalau ada representamen, acuan, dan interpretan.

Dengan kata lain, sebuah tanda senantiasa memiliki tiga dimensi yang saling terkait: Representamen (R) sesuatu yang dapat dipersepsi, Objek (O) sesuatu yang mengacu kepada hal lain, dan Interpretan (I) sesuatu yang dapat diintepretasi.

Gambar 1. Tiga Dimensi Tanda oleh Peirce (dalam Christomy, 2004:117)

Objek (O)


(43)

2.2.2.2Semiotik Sosial: Halliday, dkk

Menurut Halliday (1978) bahasa adalah suatu sistem semiotik sosial. Sistem semiotik bahasa mencakupi unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur konteks yang berada di luar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks sosial merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan merupakan wadah terbentuknya bahasa. Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa atau teks terbentuk, juga merupakan semiotik.

Konsep umum yang esensial dalam teori sosiosemiotik bahasa menurut Halliday (1978: 108) adalah teks, situasi, register, kode (mengikuti pandangan Berstein), sistem linguistik (termasuk sistem semantik), dan struktur sosial, kemudian konsep tersebut dikembangkan oleh pengikut Halliday (Martin, 1984 dan Kress, 1993) dengan menambahkan konsep konteks budaya dan ideologi.

Pandangan Halliday (1978), bahwa konsep ‘teks’ adalah instansiasi interaksi linguistik yang di dalamnya terdapat interaksi manusia (apa saja yang diujarkan, atau ditulis), dalam konteks operasional dibedakan dari konteks situasi seperti yang terdapat dalam kamus. Teks adalah unit semantik, sebagai unit dasar proses semantik. Artinya teks dapat merepresentasikan pilihan, seperangkat pilihan-pilihan yang mengkonstitusi apa yang dapat dimaknai.

‘Situasi’ adalah lingkungan yang di dalamnya ada teks berperan. Istilah situasi berasal dari konteks situasi yang diperkenalkan Malinowski (1923, 1935) dan dibuat lebih jelas lagi penerapannya dalam praktik bahasa oleh Firth pada tahun 1957. Konteks situasi merepresentasikan jenis situasi (situation type) yang oleh Bernstein (1971, 1973) dinamakan konteks sosial. Struktur semiotik sebuah jenis situasi mempunyai 3 dimensi, yakni aktivitas sosial yang sedang berlangsung (on going social activity) hubungan peran


(44)

yang terlibat (the role relationships involved) dan sarana simbolik atau retorik yang merujuk pada medan (field), sarana (mode), dan pelibat (tenor).

‘Kode’ mengawasi gaya semantik suatu budaya, namun bukan sebagai varitas bahasa, dialek, atau register. Kode sebagai jenis semiotik sosial atau berada di atas sistem linguistik, diaktualisasikan dalam bahasa melalui register karena kode menentukan orientasi semantik penutur dalam konteks sosial tertentu; apa yang dimaksudkan sebagai varian adalah karakteristik-karakteristik sebuah register berasal dari bentuk kode tersebut. Kode mentransmisi atau mengawasi transmisi pada dasar subkultur atau kultur.

Dalam ‘sistem linguistik’ ada sistem semantik yang menjadi perhatian utama adalah sistem semantik, leksikogramatika, dan fonologi. Kerangka konsep ini dinamakan sistem fungsional yang terdiri atas metafungsi, ideasional, interpersonal, dan tekstual. Komponen fungsional adalah sarana makna yang hadir dalam bahasa sehari-hari manusiadalam setiap konteks sosial. Sebuah teks adalah sebuah produk dan tiga komponen tersebut yang terjalin direalisasi sebagai integrasi struktur .

Terdapat tiga (3) hal penting sistem komunikasi bahasa menurut Halliday (1985), yaitu metafungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual. Metafungsi ideasional merepresentasikan aspek pengalaman manusia di dalam dan di luar khususnya sebagai sistem tanda. Dengan kata lain harus mampu merepresentasikan objek dan hubungannya dengan dunia di luar bahasa sebagai sistem representasi. Metafungsi interpersonal menawarkan hubungan antara pencipta tanda dengan penerima tanda. Metafungsi tekstual menjelaskan pembentukan teks, kerumitan tanda-tanda yang dihubungkan baik secara internal maupun eksternal.


(45)

Tabel di bawah ini menjelaskan hubungan struktur semiotik situasi dengan komponen fungsi semantik (Halliday, 1979:143)

Semiotic structures associated with functional component of situation of semantics

field (type of social action) experiential tenor (role relationships) interpersonal mode (symbolic organization) textual

‘Konteks budaya’ dalam masyarakat jelas terlihat dalam setiap interaksi sosial berbahasa. Konteks budaya menjadi ragam yang merujuk kepada proses sosial karena anggota dalam suatu budaya melalui tahapan-tahapan perlu mencapai tujuan agar teks yang disampaikan dapat dipahami. Menurut Martin (1984), genre adalah budaya di dalam suatu kegiatan berbahasa yang bertahap, bertujuan yang digunakan oleh sekelompok masyarakat. Konsep genre dalam istilah Sistemik Fungsional adalah tujuan yang harus dicapai dalam suatu kegiatan dengan melalui tahapan-tahapan. Setiap genre mempunyai struktur generik atau skematika yang merujuk kepada masing-masing konfigurasi.

‘Konsep ideologi’ adalah pahaman atau kepercayaan yang diyakini oleh satu masyarakat. Biasanya ideologi diawasi oleh suatu kekuasaan kelompok yang mendominasi. Menurut Kress (1993) ideologi terjadi karena adanya kekuasaan terhadap sejarah, politik, sistem masyarakat, nilai, sastra dan budaya yang membentuk pandangan masyarakat dalam meyakini suatu konsep.

Ilmu semiotik meliputi studi seluruh tanda-tanda tersebut baik tanda visual, tanda yang dapat berupa imaji dalam lukisan dan foto dalam seni dan fotografi, tanda pada kata-kata, bunyi-bunyi, imaji bahasa tubuh, ekspresi wajah, warna, dan semua unsur-unsur komunikasi. Imaji adalah gambaran yang terbentuk dari sebuah objek visual.


(46)

Gramatika didalam bahasa menjelaskan kata, klausa, frasa, kalimat, dan teks. Sedangkan gramatika visual memperlihatkan orang, tempat, dan benda-benda dikombinasikan dengan kompleksitas dan perluasan penjelasan visual dari sebuah objek. Fokus gramatika visual adalah pada deskripsi estetika imaji dan cara komposisi imaji yang digunakan untuk menarik perhatian penyaksi atau pembaca (Kress dan van Leeuwen, 1996:1).

Grammar goes beyond formal rules of correctness. It is a means of representing patterns of experience…. It enables human beings to build a mental picture of reality, to make sense of their experience of what goes on around them and inside them (Halliday, 1985: 101)

Analoginya adalah struktur visual merealisasikan makna-makna sebagaimana struktur linguistik melakukannya, dengan demikian menyebabkan berbeda interpretasi dari pengalaman dan berbeda bentuk interaksi sosial. Makna dapat direalisasikan dalam bahasa, sedangkan komunikasi visual diekspresikan kedua-duanya baik dalam verbal maupun dalam visual. Walaupun keduanya berbeda, misalnya bahasa melalui pilihan antara kelas kata dan semantik, namun di dalam komunikasi visual ekspresi dilakukan melalui sistem pilih, pada beberapa hal seperti: penggunaan warna dan struktur komposisi yang menonjol. Bahasa visual belum dipahami secara universal karena bahasa visual itu spesifik secara budaya, misalnya komunikasi visual dalam dunia barat berbeda dengan dalam dunia timur.

Pendekatan semiotik sosial menurut Kress dan van Leeuwen (1996:11) menekankan pada dua hal penting. Yang pertama, komunikasi memerlukan partisipan untuk membuat pesan-pesan secara maksimal untuk dipahami pada konteks tertentu, kemudian memilih bentuk ekspresi yang diyakini secara maksimal, transparan kepada partisipan lainnya. Sebaliknya komunikasi terjadi pada struktur sosial yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan pada kekuasaan, dan hal ini mengakibatkan setiap partisipan


(47)

memahami secara maksimal. Partisipan yang mempunyai kekuasaan dapat memaksakan partisipan lain mengikuti interpretasi yang kuat dengan pemahaman yang maksimal, sehingga partisipan tersebut mampu melakukan atau menghasilkan pesan-pesan terbaik dengan usaha yang maksimal untuk memberi interpretasi. Sebaliknya partisipan yang tidak mempunyai kekuasaan harus bekerja keras untuk memahami pesan-pesan penting tersebut secara maksimal.

Yang kedua, representasi memerlukan pembuat tanda memilih bentuk-bentuk untuk ekspresi yang ada didalam pikiran mereka, membentuk pandangan apa yang menurut mereka cocok pada tempatnya dan dapat dipercayai pada konteks yang diberikan.

Prinsip semiotik sosial pada penelitian ini adalah untuk mengungkap makna semiotik baik berupa ungkapan verbal, konteks budaya, konteks situasi, ideologi, makna semantik, dan makna visual seperti imaji, tanda atau simbol, seperti berikut:

Setiap berinteraksi oral manusia secara otomatis mendengar suara prosodik, intonasi dan bunyi-bunyi, kita juga saling berpandangan atau menatap, kita memperhatikan setiap gerak gerik lawan bicara During interaction, 1) you’re aware of your friends’ spoken language in order to hear the verbal choices, the content, the

prosody and the pitch, 2) aware of facial expression, clothing, standing/sitting,

nodding/leaning back or forward, 3) aware of environment where it takes place, etc

(Kress dan van Leeuwen, 2006: 177)

Analisis semiotik mengungkapkan representasi visual dan verbal bahasa dan menjelaskan berbagai jenis imaji yang ada di dalam konteks sosio-kultural. Kress dan van Leeuwen (2006: 178) memperkenalkan semiotik sosial sebagai “multimodal texts”, i.e.


(48)

“any text whose meanings are realized through more than one semiotic code”. Analisis multimodal dapat diintegrasikan dengan analisis kode semiotik bahasa misalnya dengan aspek metafungsi bahasa untuk menjelaskan bagaimana gramatika dapat menjelaskan ekspresi efek visual gambar atau lambang, warna, tanda simbol dengan aspek verbal dalam teks multimodal. Dalam sarana tulis aspek multimodal terletak pada desain visual tanda baca, spasi, warna, font atau gaya, imaji dan sarana representasi dan komunikasi lainnya. Semua aspek multimodal ini potensi menjadi sumberdaya semiotik mendekorasi suatu komunikasi untuk menunjukkan potensi penguatan wacana sebagai suatu semiotik sosial.

Menurut Sinar (2011, 2012) di dalam analisis multimodal, teks-teks dianalisis dan dimaknai tidak hanya dari fisik bahasa yang terujar atau tertulis secara verbal tetapi juga teks diungkap dan dimaknai dari tampilan visual seperti yang terdapat pada iklan media cetak. Dengan kata lain, dalam klasifikasi perspektif semiologis kecenderungan analisis multimodal yaitu semua aspek semiotika yang muncul dalam teks dianalisis seluruhnya secara terpadu, baik aspek dan unsur semiotik kebahasaan maupun aspek dan unsur semiotik non-kebahasaan. Yang terakhir ini lazim disebut sebagai aspek dan unsur yang dikategorikan sebagai “visual representation” (lihat mis. Kress & Leeuwen 1996).

Kress dan van Leeuwen (2006, 177) menyarankan tiga prinsip komposisi dalam menganalisis teks verbal dan visual yaitu nilai informasi (Information Value), tonjolan (Salient) dan bingkai (framing), yang diaplikasikan tidak hanya pada gambar tunggal, tetapi juga pada teks multi-semiotik. Interaksi langsung diciptakan melalui tatapan mata seperti pernyataan Kress and van Leeuwen (2006: 116-124) ‘the gaze’ as a central aspect of the interpersonal metafunction establishing interaction between the participants in the


(49)

communicative act. Dalam sebuah tayangan, jika pelibat teks sebagai imaji menatapkan mata langsung kepada kamera, maka tatapan tersebut langsung tepat pada mata para penyaksi teks visual, sebagai efeknya hal ini menumbuhkan suatu garis hubungan

‘connecting the participant’s sight line with the viewers’ sehingga pembaca atau penyaksi teks mempunyai interpretasi bahwa imagi membalas tatapan matanya. Analisis ini disebut dengan ‘salience’ (Kress dan van Leeuwen, 2006: 201-203). Salience dari bagian kepala adalah bagian utama yang menghasilkan jarak sosial keakraban antara sender dengan penyaksi dan pembaca dibandingkan bahagian lain dalam tubuh imaji. Tatapan mata menekankan mereka diletakkan dalam ruang luas dan kosong, wajah sekaligus memperoleh salience di dalam lingkup wajah yang juga menanti respon dari penyaksinya. Peran sekunder imaji juga memperlihatkan objek-objek pendukung seperti sarung tangan, topi, sepatu but, jilbab, scarf, bandana, saputangan, dll yang mengekspresikan hubungan eksplisit sebagai pembuat makna atau ‘meaning-maker’ yang tujuannya untuk menjelaskan setiap kekosongan informasi yang bersifat interpretasi atau ‘interpretive gaps’ (lihat juga Baumgarten 2008).

Dalam analisis multimodal struktur hirarki di antara unsur penting yang diperlihatkan oleh imagi secara visual adalah ukuran (size), warna (colour), ketajaman fokus (focus). Kress dan van Leeuwen (1996) menekankan “how colour is very important in creating meaning.”

2.3 Penelitian Sebelumnya

Banyak hasil penelitian sebelumnya yang relevansi dengan penellitian ini, maka pada sub-bab penelitian sebelumnya penulis hanya mengambil beberapa penelitian pada


(50)

bagian ini. Adapun beberapa penelitian sebelumnya, yaitu penelitian mengenai Untaian Kata Leluhur, Kata-kata untuk Bertahan: marjinalitas, emosi, dan kuasa kata-kata magi di kalangan orang Petalangan Riau (Yoonhee Kang, 2005). Penelitian ini ingin menunjukkan subjektivitas dan keragaman marjinalitas dengan mengkaji keterkaitan antara marjinalitas, emosi, dan genre lisan di kalangan orang Petalangan, Riau. Berfokus pada emosi sebagai sarana tafsir dan praktik, kajian ini mengungkap bagaimana wacana kultural khas orang Petalangan mengenai emosi berlaku dalam relasinya dengan marjinalitas melalui praktik bahasa tertentu. Penelian ini juga memperlihatkan, mengapa dan bagaimana orang Petalangan merevitalisasi dan mempergunakan tradisi lisan mereka di tengah perubahan sosial yang terjadi.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Amanriza, dkk (1989) mengenai Koba Sastra Lisan Orang Riau (dalam Dialek Daerah Rokan Hilir). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesusasteraan Melayu Riau merupakan bagian dari kesusasteraan Nusantara yang tumbuh dan berkemabang di semenanjung Melayu dan di daerah Riau. Sebagai sastra sub-kultur Melayu, maka kesusasteraan Melayu Riau berwujud sebagai sastra lisan atau oral tradition dan tradisi tulis atau written tradition. Tradisi lisan sulit diterka kapan mulainya, barangkali sama tuanya dengan masyarakat Melayu itu sendiri. Tradisi lisan diperkirakan mulai ketika masuknya pengaruh Islam di Semenanjung Melayu sekitar abad ke-7 Masehi. Tardisi tulis mengalami perkembangan pesat dari abad ke-14 sampai abad ke-19 dengan mempergunakan tulisan Arab. Setelah itu tradisi tulis mempergunakan tulisan Latin.

Kesusasteraan Melayu Riau yang berwujud sastra lisan adalah bagian dari tradisi lisan. Dalam kehidupan orang Melayu Riau, tradisi lisan ini diungkapkan dalam tiga


(51)

bentuk pengungkapan, yaitu: (1) pengungkapan melalui kata-kata atau bahasa, (2) pengungkapan melalui bunyi dan, (3) pengungkapan melalui gerak atau tari. Adapun jenis-jenis sastra lisan yang mentradisi pada masyarakat Melayu Riau, antara lain: mantera, pantun, syair, ungkapan (pepatah petitih), seni tutur/teater tutur, kayat, nyanyi panjang, koba. Jenis dan bentuk sastra lisan di atas tidak merata dimiliki oleh pesukuan atau puak yang terdapat dalam masyarakat Melayu Riau. Banyak ragam tradisi lisan ini antara lain disebabkan keadaan alam daerah Riau yang sebagian terdiri dari wilayah lautan dan sebagian lainnya merupakan daratan (hutan belantara) serta pulau-pulau (kepulauan).

Penelitian tradisi lisan oleh Syafa’at, dkk (2008) dengan judul penelitian Negara, Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal yang bertemakan “Mendayagunakan Kearifan

Lokal”, Pergulatan Masyarakat Adat atau Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Hasil penelitian menguraikan secara kritis tentang pengakuan terhadap eksistensi kearifan lokal dan politik, hukum dan hak masyarakat adat terhadap akses sumber daya alam serta memahami posisi dan kapasitas hukum adat dalam politik pembangunan hukum di Indonesia dalam perspektif Antropologi Hukum.

Penelitian ini juga mendeskripsikan bagaimana pengalaman empiris masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alam, hutan, pesisir dan lautan, ruang di atas dan di bawah air secara berkelanjutan dengan menerapkan sistem kearifan lokal. Kemudian mendeskripsikan strategi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan berdasarkan kearifan lokal terhadap alat penangkapan ikan yang tidak ramah dan cenderung merusak sumber daya pesisir dan lautan.


(52)

Penelitian Amri (2011) yang bertajuk Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon Remaja di Padangsidimpuan, hasil penelitiannya adalah tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan merupakan suatu kebiasaan yang masih ada di tengah-tengah masyarakat, karena masih kerap terselenggara dengan baik upacara perkawinan adat. Perubahan yang terjadi pada tradisi upacara perkawinan adat, akibat perkembangan zaman, sehingga tradisi masyarakat yang menjadi kebiasaan tersebut sedikit demi sedikit mulai disederhanakan, karena yang sebelumnya tujuh hari dan tiga hari, kini lebih sering satu hari saja. Faktor penyebabnya adalah finansial dan efektifitas waktu, sehingga penyelenggaraan upacara perkawinan adat mulai disederhanakan.

Tradisi lisan pada upacara adat di Padangsidimpuan, setelah dianalisis leksikon yang berasal dari lingkungan sebanyak 264 kata. Penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon pada komunitas remaja di Padangsidimpuan, karena faktor internal penyebab terjadinya penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada upacara perkawinan adat di Kota Padangsidimpuan, karena remaja tidak memahami upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan. Remaja tidak memahami urutan/kronologis upacara perkawinan adat dan remaja tidak memahami jenis-jenis upacara perkawinan adat. Remaja tidak mengetahui apa pengukur besar kecilnya upacara perkawinan adat. Remaja jarang mendengar leksikon pronominal dan tidak memahami leksikon adat dan mereka tidak berusaha untu mencari tahu (bertanya) agar memahami makna leksikon tersebut kepada pelaku adat.

Penelitian Suastika (2011) yang bertajuk Tradisi Lisan (Satua) di Bali Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna. Hasil penelitiannya adalah tradisi lisan di Bali, yang dalam


(53)

istilah masyarakat Bali masatua telah lama dikenal. Dalam tradisi masatua ini peranan orang tua, yaitu ayah ibu, kakek nenek sangatlah penting melakukan usaha berupa menyampaikan cerita lisan ini dengan terus menerus sebagai milik bersama di waktu malam ketika akan menidurkan anak-anak dan cucunya. Tradisi masatua di Bali memiliki berbagai fungsi, antara lain untuk hiburan dalam mengisi waktu senggang, menyampaikan berbagai nilai kehidupan lewat tokoh-tokoh dan dialog-dialongya termasuk pula pesan agama dan moral sesuai cara-cara tokohnya menyelesaikan masalah tersebut.

Sebagian masyarakat masih melakukan kegiatan masatua itu, sebagian lagi masyarakat Bali menganggap tradisi itu kurang relevan lagi dalam dunia modern. Ada sebagian pula masyarakatnya menganggap kegiatan masatua tersebut sudah tidak aktual lagi, kemudian menceritakan cerita modern atau wayang, bahkan tokoh-tokoh dari luar negeri yang sedang ngetop di televisi. Kenyataannya tradisi masatua semakin tahun semakin memudar terutama di kota-kota besar.

Penelitian Yunita (2011) yang bertajuk Analisis Semiotik Tradisi Bermantra Pagar Diri di Desa Ujung Gading Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi

Sumatera Utara, hasil penelitian menunjukkan bahwa mantra pagar diri merupakan salah satu mantra yang termasuk ke dalam tradisi lisan yang perkembangannya dilakukan secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Mantra pagar diri tidak pernah dibukukan, sehingga dalam pelaksanaannya selalu mengalami perbedaan walaupun mereka seketurunan. Kearifan lokal yang terdapat dalam mantra ritual pagar diri dapat dilihat dari kesalinghubungan antara alam semesta dan alam kesadaran manusia yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal juga terdapat dalam


(54)

mantra-mantra, jampi-jampi, nyanyian, pepatah, petuah, kitab-kitab kuno dan sebagainya. Interpretasi mantra yang digunakan dalam ritual pagar diri merupakan semiotik yang terdiri atas mantra itu sendiri sebagai penanda dan suatu persembahan kepada makhluk gaib, semoga pemohon mendapat perlindungan dari segala kejahatan, baik kejahatan yang tampak oleh mata, maupun kejahatan yang kasat mata.

Penelitian Daud (2001), mengenai Mantera Melayu Analisis Pemikiran, menjelaskan bahwa mantera Melayu memang mempunyai banyak fungsi dan digunakan dalam hampir semua aspek hidup individu dan kelompok masyarakat, khususnya untuk kesejahteraan dan keselamatan. Di samping sifatnya yang fungsional, keberkesanan sebuah mantera itu menjamin kedudukan dan pengekalannya dalam masyarakat. Mantera menjadi berkesan karena adanya kuasa magik dan kepadatan serta ketepatan kata dengan suatu maksud, sama ada secara nyata atau simbolik. Ketepatan itu penting untuk memudahkan pengamal berinterakasi dengan Allah, makhluk gaib, roh seseorang dan sebagainya. Mantera sebagai pernyataan sastra memang mempunyai nilai estetik, terutama, apabila dibaca menimbulkan irama yang menarik karena terdapatnya pola rima, aliterasi, asonansi dan perulangan berupa anaphora, epifora, dan lain-lain. Dari segi lain mantera dengan jelas memancarkan world-view dan pemikiran orang Melayu berhubung dengan kosmologi, kepercayaan warisan, ketuhanan, makhluk gaib, hakikat diri dan lain-lain. Sehubungan itu mantera memang boleh diterima sebagai dokumen sosiobudaya dan sukar ditandingi karya-karya lain dalam memberikan gambaran tentang masyarakat Melayu.

Penelitian mengenai mantra oleh Jalil, et al. (2008), menjelaskan bahwa mantra merupakan sastra lisan. Sastra lisan adalah susastra yang perkembangannya secara lisan


(55)

atau dari mulut ke mulut. Sastra lisan ini di Nusantara yang paling awal dikenal dan dikembangkan oleh masyarakat tradisional, sebagian pakar lainnya menyebutnya dengan sastra rakyat atau sebagian lainnya mengelompokkan kepada tradisi lisan. Hal tersebut terkait dengan medium pengucapan sastra itu sendiri. Dalam hal demikian, masyarakat tradisional di Nusantara memang terlebih dahulu mendayagunakan bahasa lisan (orality) sebagai medium pengucapan sastra daripada bahasa tulis (literacy) yang baru dikenal dan digunakan kemudian secara intensif sekitar abad ke-19.

Mantra oleh para pakar dan pengamat kebudayaan, dianggap sebagai susastra yang paling awal dikenal oleh manusia. Sastra lisan mantra dapat dikategorikan sebagai sastra lama atau sastra tradisional. Sastra lama dapat berbentuk puisi dan prosa. Jenis sastra yang termasuk jenis puisi ini misalnya, mantra, pantun, syair, dan lain-lain. Masyarakat tradisional bahkan hingga kini, mantra dan segala aspek yang berhubungan dengannya masih berperanan dalam sebagian kegiatan hidup masyarakat.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Hamidy (2010) yang berjudul Menumbai: Upacara Mengambil Madu Lebah Dalam Masyarakat Petalangan Kabupaten Kampar Daerah Riau. Hasil penelitiannya membicarakan suatu kegiatan budaya seperti menumbai (upacara mengambil madu lebah) yang merupakan suatu kajian yang mempelajari aspek-aspek manusia atau kelompok masyarakat tertentu dalam hubungannya dengan alam pikiran, perasaan dan cara mereka memandang alam. Penelitian ini mengamati ekspresi manusia dalam bentuk dan arti simbol yang dipergunakan oleh suatu komunikasi tertentu. Penelitian ini juga mencoba membaca dan menafsirkan berbagai simbol dan kiasan yang digunakan dalam kehidupan masyarakat Petalangan.


(1)

Sinar, T Silvana. 2010. Teori & Analisis Wacana, Pendekatan Linguistik Sistemik-Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press.

Sinar, T Silvana. 2011. Mitos Cerita Rakyat. Medan: USU Press.

Sinar, T Silvana. 2011. Kearifan Lokal Berpantun dalam Perkawinan Adat Melayu Batubara. Medan: USU Press.

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset. Suastika, I Made. 2011. Tradisi Sastra Lisan (Satua) di Bali Kajian Bentuk, Fungsi, dan

Makna. Bali: Pustaka Larasan bekerjasama dengan Program Studi Magister dan Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana.

Subyantoro, Arief, dan Suwarto, FX. 2006. Metode & Teknik Penelitian Sosial. Yogyakarta: C.V. Andi Offset.

Syafa’at, Rachmad, et.al. 2008. Negara, Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal. Malang: In-TRANS Publishing.

Syuropati, A. Mohammad. 2011. Teori Sastra Kontemporer & 13 Tokohnya (Sebuah Perkenalan). Yogyakarta: IN AzNa Books.

Triswanto, Sugeng D. 2010. Trik Menulis Skripsi & Menghadapi Presentasi Bebas Stres, Lengkap dari A sampai Z. Yogyakarta: Tugu Publisher.

Yunita, Erni. (2011). Analisis Semiotik Tradisi Bermantra Pagar Diri di Desa Ujung Gading Julu, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara. Medan: Sekolah Pascasarjana Program Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara. Tesis.

Zoest, Aart van. 1991. Fiksi dan Non-Fiksi dalam Kajian Semiotik. Jakarta: Intermasa.

b. Internet

hhtp://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifanlokal.pdf), diunduh 15 Maret 2012

2012

Desember 2011


(2)

Nama Bomo : M. Rasyid

DAFTAR PERTANYAAN KHUSUS BOMO

Usia : 65 tahun Agama : Islam

Pekerjaan : Bomo lukah gilo

Alamat : Desa Ulak Patian Kecamatan Kepenuhan Kabupaten Rokan Hulu 1. Bagaimana sejarah awal masyarakat suku Bonai?

2. Bagaimana asal usul dan sejarah nama Bonai? 3. Bagaimana kehidupan orang Bonai?

4. Kapan awal mula masyarakat Bonai memeluk Islam? 5. Apa mata pencarian orang Bonai?

6. Apa saja kesenian yang dimiliki orang Bonai? 7. Sudah berapa lama Bapak menjadi bomo?

8. Bagaimana awal mulanya menjadi seorang bomo? 9. Apa saja syarat untuk menjadi seorang bomo?

10.Selain jadi bomo, apa pekerjaan Bapak yang lainnya? 11.Bagaimana awal mula permainan rakyat lukah gilo?

12.Apa saja persyaratan yang diperlukan untuk pembuatan lukah? 13.Apa saja perlengkapan dan peralatan untuk membuat sebuah lukah? 14.Bagaimana cara memainkan lukah gilo?

15.Syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi pada saat pertunjukkan lukah gilo dimulai?

16.Bolehkah kami mengetahui mantera ritual lukah gilo tersebut?

17.Ada tidak perbedaan mantera lukah gilo orang Bonai dengan orang Sakai? 18.Bagaimana syarat untuk menjadi asisten bomo?


(3)

DAFTAR PERNTANYAAN KHUSUS MASYARAKAT Nama Informan : Yusri Syam

Usia : 38 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : S1

Pekerjaan : Dinas Pariwisata Kabupaten Rokan Hulu Alamat : Pasir Pangaraian

1. Apakah saudara asli orang Rokan Hulu?

2. Apakah anda mengetahui tentang masyarakat suku Bonai?

3. Bagaiamana pandangan anda terhadap masyarakat suku Bonai tersebut? 4. Apakah anda pernah berkomunikasi dengan masyarakat suku Bonai? 5. Apakah anda mengetahui permainan lukah gilo?

6. Bagaimana menurut anda tentang lukah gilo tersebut?

7. Apakah anda pernah menyaksikan dan memegang langsung lukah yang sedang bergerak tersebut?

8. Apakah pernah terniat dihati anda untuk menjadi seorang bomo atau asisten bomo lukah gilo?

9. Apa pekerjaan anda?

10.Apabila anda disuruh menjadi murid dari bomo yang menguasai ritual lukah gilo tersebut, apakah anda bersedia?


(4)

Nama Informan : Muhammadin

Usia : 63 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : Sekolah Rakyat (SR) Pekerjaan : Petani

Alamat : Desa Muara Musu Kecamatan Rambah Hilir Rohul 1. Apakah saudara asli orang Rokan Hulu?

2. Apakah anda mengetahui tentang masyarakat suku Bonai?

3. Bagaiamana pandangan anda terhadap masyarakat suku Bonai tersebut? 4. Apakah anda pernah berkomunikasi dengan masyarakat suku Bonai? 5. Apakah anda mengetahui permainan lukah gilo?

6. Bagaimana menurut anda tentang lukah gilo tersebut?

7. Apakah anda pernah menyaksikan dan memegang langsung lukah yang sedang bergerak tersebut?

8. Apakah pernah terniat dihati anda untuk menjadi seorang bomo atau asisten bomo lukah gilo?

9. Apa pekerjaan anda?

10.Apabila anda disuruh menjadi murid dari bomo yang menguasai ritual lukah gilo tersebut, apakah anda bersedia?


(5)

DAFTAR PERNTANYAAN KHUSUS MASYARAKAT Nama Informan : Muslim

Usia : 21 tahun

Agama : Islam

Pendidikan : Sedang menyelesaikan S1 Pekerjaan : Mahasiswa

Alamat : Desa Muara Musus Kecamatan Rambah Hilir Rohul 1. Apakah saudara asli orang Rokan Hulu?

2. Apakah anda mengetahui tentang masyarakat suku Bonai?

3. Bagaiamana pandangan anda terhadap masyarakat suku Bonai tersebut? 4. Apakah anda pernah berkomunikasi dengan masyarakat suku Bonai? 5. Apakah anda mengetahui permainan lukah gilo?

6. Bagaimana menurut anda tentang lukah gilo tersebut?

7. Apakah anda pernah menyaksikan dan memegang langsung lukah yang sedang bergerak tersebut?

8. Apakah pernah terniat dihati anda untuk menjadi seorang bomo atau asisten bomo lukah gilo?

9. Apa pekerjaan anda?

10.Apabila anda disuruh menjadi murid dari bomo yang menguasai ritual lukah gilo tersebut, apakah anda bersedia?


(6)

Nama Informan :

Usia :

Agama :

Pendidikan :

Pekerjaan :

Alamat :

1. Apakah saudara asli orang Rokan Hulu?

2. Apakah anda mengetahui tentang masyarakat suku Bonai?

3. Bagaiamana pandangan anda terhadap masyarakat suku Bonai tersebut? 4. Apakah anda pernah berkomunikasi dengan masyarakat suku Bonai? 5. Apakah anda mengetahui permainan lukah gilo?

6. Bagaimana menurut anda tentang lukah gilo tersebut?

7. Apakah anda pernah menyaksikan dan memegang langsung lukah yang sedang bergerak tersebut?

8. Apakah pernah terniat dihati anda untuk menjadi seorang bomo atau asisten bomo lukah gilo?

9. Apa pekerjaan anda?

10.Apabila anda disuruh menjadi murid dari bomo yang menguasai ritual lukah gilo tersebut, apakah anda bersedia?