Partisipasi Masyarakat Kabupaten Simeulue Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pasca Tsunami

(1)

TESIS

Oleh

RASYID ASSAF DONGORAN

057004018/PSL

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

PARTISIPASI MASYARAKAT KABUPATEN SIMEULUE

DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

PASCA TSUNAMI

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

RASYID ASSAF DONGORAN

057004018/PSL

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

Nama Mahasiswa : Rasyid Assaf Dongoran

Nomor Pokok : 057004018

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S) Ketua

(Dr. Delvian, S.P., M. P) (Ir. Mozart B. Darus, MBA., MSc)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H.,M.S) (Prof.Dr.Ir.T. Chairun Nisa B., M.Sc) Tanggal lulus: 23 Februari 2010


(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 23 Februari 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S Anggota : 1. Dr. Delvian, S.P., M. P

2. Ir. Mozart B. Darus, MBA., MSc 3. Prof. Dr. Badaruddin, M.S 4. Prof. Dr. Ramli, M.S


(5)

Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pasca Tsunami dibawah bimbingan Retno Widhiastuti, Delvian dan Mozart B. Darus.

Penelitian ini dilaksanakan di dua puluh tujuh desa di enam kecamatan, Kabupaten Simeulue, Propinsi Aceh, dengan tujuan untuk mengetahui hubungan persepsi dan partisipasi serta bentuknya masyarakat dalam pengelolaan kawasan ekosistem mangrove serta hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan partisipasi masyarakat tersebut.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif, dimana analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif. Responden penelitian terdiri dari masyarakat di dua puluh tujuh desa di enam kecamatan tersebut yang secara langsung menerima manfaat dan akibat dari pengelolaan yang kawasan mangrove yang dilakukan. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuisioner, observasi lapangan dan wawancara secara terstruktur dengan masyarakat yang dipilih menjadi responden dalam penelitian ini.

Hasil penelitian berdasarkan indikator yang ditentukan menunjukkan lebih dari sebagian besar responden mengungkapkan bahwa pengelolaan kawasan mangrove yang dilakukan tidak bagus. Bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove berdasarkan aspek yang diperhatikan menunjukkan bahwa bentuk partisipasi yang terjadi adalah partisipasi perwakilan. Terdapat hubungan yang cukup nyata antara korelasi karakteristik terhadap persepsi responden, sehingga kekuatan korelasi karakteristik terhadap persepsi masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove adalah lemah, walaupun ada beberapa variabel yang cukup kuat seperti variabel pengalaman dan harapan responden.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kekuatan korelasi antara persepsi terhadap partisipasi masyarakat sedang saja, dan berdasarkan model partisipasi yang diinginkan maka bentuk partisipasi yang diinginkan masyarakat adalah bentuk partisipasi perwakilan. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dengan menempatkan perwakilan masyarakat untuk menentukan kebijakan pengelolaan yang diambil. Selanjutnya tingkatan partisipasi masyarakat berada pada tingkat partisipasi fungsional.


(6)

ABSTRACT

Rasyid Assaf Dongoran. Simeulue Community Participation in Mangrove Ecosystem Management on Post Tsunami under supervised by Retno Widhiastuti, Delvian and Mozart B. Darus.

This research had been done in twenty-seven villages, six sub-districts, Simeulue District, Aceh Province, with the aim of knowing perception relations and participation as well as the form of community in mangrove ecosystem management and the relations between factors which had influenced to perception and community participation.

The research methodology which used is quantitative method, where the analysis of the data had been done with the descriptive analysis. Respondent research consisted of community in twenty-seven villages in six sub-districts who directly accepted the benefit and result from this activity. The data collection were had been done with questionnaire, observation and interview structure with chosen community as respondent in this research.

Results of the research were based on the indicator determined which showed more than most respondents said that the mangrove management was not good. The form of community participation in mangrove management based on the aspect was delegation's participation. Gotten by relations were real enough between the characteristics correlation towards the perception of the respondent, so as the strength of the characteristics correlation towards community perception in mangrove management were weak, though had several variables which were strong enough such the experience variable and hope of the respondent.

Based on results of the research was obtained by the strength of the correlation between the perception towards community participation was an average, and based on the participation model which are wanted then the form of community participation was delegation participation. This showed that the community participation by placing people representative to determine the management policy to be taken. Further the community participation phase was in the level of functional participation.


(7)

maka penulis dapat menyelesaikan Tesis ini. Judul dari penelitian ini adalah Partisipasi Masyarakat Kabupaten Simeulue Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pasca Tsunami.

Pada kesempatan ini penulis ucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk menimba ilmu pengetahuan di Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan berbagai fasilitas yang mendukung penyelesaian studi penulis di Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS dan Prof. Dr. Erman Munir, MSc selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pengelolan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS dan Dr. Delvian, SP., MP serta Ir. Mozart B. Darus, MBA., MSc selaku ketua, dan anggota komisi pembimbing, atas semua pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, kesabaran dan dorongan serta motivasi yang telah diberikan kepada penulis hingga berakhirnya penelitian dan penulisan tesis ini.

5. Prof. Dr. Badaruddin, MS dan Prof. Dr. Ramli, MS selaku tim penguji yang telah banyak memberikan nasehat dan masukan kepada penulis.

6. Ayahanda Aslin Dongoran, SH dan Ibunda Maskot br Ritonga serta para adinda sekalian yakni: Hasiani Putrinta D, SH, Ridho Karya Dongoran, SPi, Sari


(8)

Ramadhani D, A.Md, Anytha Purwareyni Umbas, SPi dan dr. Sri Rezeki Arbaningsih.

7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen dan pegawai administrasi SPs Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan USU.

8. Sdr Dony Saputra, SSos yang telah banyak membantu serta keluarga besar Yayasan Akasia Indonesia-Sumatra Rainforest Institute (SRI) serta teman-teman PSL angkatan 2005 SPs USU.

Semoga Tesis ini bermanfaat.


(9)

NIM : 057004018

TEMPAT/TANGGAL LAHIR : BINJAI, 6 FEBRUARI 1976

JENIS KELAMIN : LAKI-LAKI

AGAMA : ISLAM

STATUS : BELUM KAWIN

KEBANGSAAN : INDONESIA

ALAMAT : Jl. Dr Mansyur III, No.16A

PB Selayang II Medan

NAMA ORANGTUA

AYAH : ASLIN DONGORAN,SH

IBU : MASKOT BR RITONGA

RIWAYAT PENDIDIKAN

Tahun 1988/1989 : Lulus Sekolah Dasar Pada SD Negeri

060851 Medan

Tahun 1991 : Lulus Sekolah Menengah Pertama Pada

SMP Negeri 11 Medan

Tahun 1994 : Lulus Sekolah Menengah Atas Pada

SMA Negeri 2 Bukit Tinggi

Tahun 2003 : Lulus Strata-1 Pada FMIPA,

Program Studi Biologi,

Universitas Sumatera Utara,Medan

RIWAYAT PEKERJAAN

Tahun 2003-2005 : Staff Pengajar, Universitas Sumatera

(US), Kab Rokan Hilir, Propinsi Riau

Tahun 2006 – 2007 : Staff RTI International-Indonesia pada

Local Governance Support Program United States Agency for International

Development (USAID)

Tahun 2007- 2009 : Staff German Agro


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Kerangka Pemikiran ... 5

1.4. Tujuan Penelitian ... 7

1.5. Hipotesis... 7

1.6. Manfaat Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Pengelolaan Sumberdaya Alam Hutan ... 9

2.2. Mangrove ... 12

2.3. Partisipasi Masyarakat ... 14

2.4. Persepsi ... 22

2.5. Defenisi Konsep ... 26

2.5.1. Persepsi ... 26

2.5.2. Partisipasi Masyarakat ... 27

2.5.3. Pengelolaan ... 28

2.5.4. Hutan ... 28

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 29

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 29

3.2. Metode Penelitian ... 29

3.3. Populasi dan Sampel ... 30

3.3.1. Populasi ... 30

3.3.2. Sampel ... 31

3.4. Variabel yang Diamati ... 33


(11)

4.1.2. Persepsi Responden Tentang Pengelolaan Kawasan

Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 43

4.1.3. Partisipasi Responden Terhadap Pengelolaan Kawasan Mangrove ... 49

4.1.4. Hubungan Karakteristik Responden dengan Persepsi Tentang Pengelolaan Kawasan Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 57

4.1.5. Hubungan Antara Persepsi Responden dengan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Kawasan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 61

4.2. Pembahasan ... 63

4.2.1. Karakteristik Responden... 63

4.2.2. Persepsi Responden Tentang Pengelolaan Kawasan Mangrove ... 65

4.2.3. Partisipasi Responden dalam Pengelolaan Kawasan Ekosistem Mangrove ... 68

4.2.4. Hubungan Karakteristik Responden dengan Persepsi ... 72

4.2.5. Hubungan Persepsi dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Mangrove ... 75

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

5.1. Kesimpulan ... 77

5.2. Saran ... 78


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Penyebaran Kawasan Mangrove di Kabupaten Simeulue Tahun 2003 .... 3

2. Distribusi Kecamatan dan Desa Pesisir dengan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 30

3. Distribusi Penggenapan Sampel ... 32

4. Kekuatan Korelasi ... 35

5. Distribusi Responden Menurut Umur ... 37

6. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan ... 38

7. Distribusi Responden Menurut Pekerjaan ... 39

8. Distribusi Responden Menurut Jumlah Tanggungan Keluarga ... 40

9. Distribusi Responden Menurut Lama Bermukim di Desa ... 41

10. Distribusi Responden Berdasarkan Manfaat Kawasan yang Dirasakan ... 42

11. Distribusi Responden Berdasarkan Harapan Terhadap Kawasan Mangrove ... 43

12. Persepsi Responden Tentang Lokasi Kawasan Hutan Mangrove ... 44

13. Persepsi Masyarakat Tentang Kawasan Hutan Mangrove Sebagai Lahan Untuk Perikanan Yang Menguntungkan ... 45

14. Persepsi Masyarakat Tentang Kawasan Mangrove Yang Berfungsi sebagai Kawasan Filter Air Laut ... 46

15. Pendapat Mengenai Kawasan Hutan Mangrove yang Berfungsi Sebagai Pemecah Ombak ... 46

16. Persepsi Tentang Pengelolaan Kawasan Mangrove ... 47

17. Persepsi Mengenai Manfaat Pengelolaan Kawasan Mangrove ... 48

18. Persepsi Mengenai yang Melakukan Pengelolaan Kawasan Mangrove ... 49

19. Faktor yang Mendasari Keikutsertaan Pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove ... 50

20. Alasan atau Pertimbangan Akan Ikut Terlibat dalam Kegiatan Pengelolaan ... 51


(13)

Setiap Keputusan Yang Dikeluarkan dalam Pengelolaan Kawasan

Mangrove ... 53 24. Pendapat Mengenai Apakah Setiap Kebijakan dalam Pengelolaan Hutan

Mangrove Sebaiknya Dikonsultasikan kepada Masyarakat ... 53 25. Pendapat Mengenai Apakah Keterlibatan Masyarakat Dilakukan ketika

Ada Kegiatan atau Proyek saja ... 54 26. Pendapat Mengenai Apakah Keterlibatan Masyarakat Dimulai dari Awal

Sampai Akhir Kegiatan Pengelolaan ... 55 27. Pendapat Mengenai Bagaimana Sebaiknya dalam Melakukan

Perencanaan terhadap Kegiatan Pengelolaan ... 56 28. Pendapat Mengenai Bagaimana Sebaiknya Untuk Memutuskan Rencana

Penetapan Wilayah atau lokasi Kegiatan ... 56 29. Hubungan Umur Responden dengan Persepsi tentang Pengelolaan

Ekosistem Mangrove di Kabupaten Simeulue... 57 30. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Persepsi dalam Pengelolaan

Kawasan Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 58 31. Hubungan Pekerjaan Responden Dengan Persepsi Pengelolaan Kawasan

Ekosistem Mangrove di Kabupaten Simeulue... 58 32. Hubungan Jumlah Tanggungan dengan Persepsi Masyarakat dalam

Pengelolaan Kawasan Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 59 33. Hubungan Lama Bermukim Responden dengan Persepsi tentang

Pengelolaan Kawasan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 59 34. Hubungan Pengalaman Responden dengan Persepsi tentang Pengelolaan

Kawasan Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 60 35. Hubungan Harapan Responden dengan Persepsi Masyarakat Terhadap


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


(15)

Nomor Judul Halaman

1. Kuisioner ... 83 2. Peta Lokasi Penelitian ... 90 3. Datamatika ... 91


(16)

ABSTRAK

Rasyid Assaf Dongoran. Partisipasi Masyarakat Kabupaten Simeulue Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pasca Tsunami dibawah bimbingan Retno Widhiastuti, Delvian dan Mozart B. Darus.

Penelitian ini dilaksanakan di dua puluh tujuh desa di enam kecamatan, Kabupaten Simeulue, Propinsi Aceh, dengan tujuan untuk mengetahui hubungan persepsi dan partisipasi serta bentuknya masyarakat dalam pengelolaan kawasan ekosistem mangrove serta hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan partisipasi masyarakat tersebut.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif, dimana analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif. Responden penelitian terdiri dari masyarakat di dua puluh tujuh desa di enam kecamatan tersebut yang secara langsung menerima manfaat dan akibat dari pengelolaan yang kawasan mangrove yang dilakukan. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuisioner, observasi lapangan dan wawancara secara terstruktur dengan masyarakat yang dipilih menjadi responden dalam penelitian ini.

Hasil penelitian berdasarkan indikator yang ditentukan menunjukkan lebih dari sebagian besar responden mengungkapkan bahwa pengelolaan kawasan mangrove yang dilakukan tidak bagus. Bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove berdasarkan aspek yang diperhatikan menunjukkan bahwa bentuk partisipasi yang terjadi adalah partisipasi perwakilan. Terdapat hubungan yang cukup nyata antara korelasi karakteristik terhadap persepsi responden, sehingga kekuatan korelasi karakteristik terhadap persepsi masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove adalah lemah, walaupun ada beberapa variabel yang cukup kuat seperti variabel pengalaman dan harapan responden.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kekuatan korelasi antara persepsi terhadap partisipasi masyarakat sedang saja, dan berdasarkan model partisipasi yang diinginkan maka bentuk partisipasi yang diinginkan masyarakat adalah bentuk partisipasi perwakilan. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dengan menempatkan perwakilan masyarakat untuk menentukan kebijakan pengelolaan yang diambil. Selanjutnya tingkatan partisipasi masyarakat berada pada tingkat partisipasi fungsional.


(17)

Ecosystem Management on Post Tsunami under supervised by Retno Widhiastuti, Delvian and Mozart B. Darus.

This research had been done in twenty-seven villages, six sub-districts, Simeulue District, Aceh Province, with the aim of knowing perception relations and participation as well as the form of community in mangrove ecosystem management and the relations between factors which had influenced to perception and community participation.

The research methodology which used is quantitative method, where the analysis of the data had been done with the descriptive analysis. Respondent research consisted of community in twenty-seven villages in six sub-districts who directly accepted the benefit and result from this activity. The data collection were had been done with questionnaire, observation and interview structure with chosen community as respondent in this research.

Results of the research were based on the indicator determined which showed more than most respondents said that the mangrove management was not good. The form of community participation in mangrove management based on the aspect was delegation's participation. Gotten by relations were real enough between the characteristics correlation towards the perception of the respondent, so as the strength of the characteristics correlation towards community perception in mangrove management were weak, though had several variables which were strong enough such the experience variable and hope of the respondent.

Based on results of the research was obtained by the strength of the correlation between the perception towards community participation was an average, and based on the participation model which are wanted then the form of community participation was delegation participation. This showed that the community participation by placing people representative to determine the management policy to be taken. Further the community participation phase was in the level of functional participation.


(18)

2

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi kompleks antara sifat fisika dan sifat biologi. Sifat fisik mangrove mampu berperan sebagai penahan ombak serta penahan intrusi dan abrasi laut. Proses dekomposisi serasah mangrove yang terjadi mampu menunjang kehidupan makhluk hidup di dalamnya (Arief, 2003).

Ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup namun semakin hari semakin kritis ketersediaannya. Di beberapa daerah pesisir di Indonesa sudah terlihat adanya pendegradasian ekosistem mangrove akibat penebangan mangrove yang dilakukan secara berlebihan. Mangrove telah dirubah menjadi fungsi yang lain dikarenakan berbagai kegiatan pembangunan.

Beberapa sektor pembangunan yang terkait, secara langsung maupun tidak langsung, dengan kawasan konservasi pesisir adalah pengembangan kawasan pemukiman, industri, rekreasi dan pariwisata, transportasi, budidaya tambak, serta kehutanan dan pertanian. Selain itu potensi ekonomi kawasan mangrove cukup tinggi yang didukung oleh kemudahan pemanfaatan dan pemasaran hasilnya. Hal ini menyebabkan laju kerusakan ekosistem mangrove berlangsung semakin cepat.


(19)

Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75 % dari luas ekosistem mangrove di Asia STenggara. Sebaran ekosistem mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Luas sebaran ekosistem mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tinggal 2,50 hektar pada tahun 1990. Penurunan luasan ekosistem mangrove tersebut menunjukan bahwa degradasi kawasan mangrove cukup tinggi dengan laju 200 ribu hektar/tahun (Dahuri, 1996). Permasalahan utama yang sering kali menjadi penyebab pendegradasian kawasan mangrove adalah pembangunan tambak liar, pengembangan kawasan pariwisata yang tidak akrab lingkungan, perubahan fungsi lahan menjadi perkebunan, kemudian berkembangnya kawasan pemukiman di garis hijau pantai (mangrove zone).

Pertambahan penduduk terutama di daerah pantai menyebabkan perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan, sehingga kawasan mangrove makin cepat menipis dan rusak di seluruh hutan tropis. Kondisi ini menyebabkan kawasan mangrove menjadi perhatian yang serius.

Secara garis besar ada dua faktor penyebab rusaknya kawasan mangrove, yaitu: faktor manusia, yang merupakan faktor dominan yang menjadi penyebab utama kerusakan dalam hal pemanfaatan lahan yang berlebihan dan faktor alam, seperti: banjir, kekeringan, dan hama penyakit, yang merupakan faktor penyebab kerusakan yang relatif kecil jika di bandingkan pada faktor utama (Sudarmaji, 2001).


(20)

4

Setelah terjadinya bencana alam tsunami pada akhir 2004 dan gempa bumi di tahun 2005 maka pemerintah kabupaten Simeulue melalui Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias, Non Government Organisasion (NGO) lokal dan internasional beserta segenap potensi masyarakat sedang melakukan proses rehabilitasi dan rekonstruksi pada semua sektor, termasuk rehabilitasi dan pengembangan ekosistem mangrove.

Pulau Simeulue merupakan salah satu dari gugusan pulau-pulau di sebelah barat pulau Sumatera. Topografinya berbukit dengan sedikit daerah landai dekat pesisir. Sebahagian besar wilayah pantainya merupakan pantai berbatu/berpasir dan sebahagian lain merupakan pantai berlumpur dengan tumbuhan mangrove. Pulau Simeulue mempunyai hutan yang masih cukup baik. Berdasarkan data yang diperoleh dari dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Simeulue, luas total kawasan ekosistem mangrove di kabupaten Simeulue adalah 2.779,97 Ha (Tabel 1). Sebaran mangrove di pulau Simeulue terletak di Teluk Sinabang, Teluk Sibigo, Teluk Dalam, Teluk Salang. Sementara sebahagian kecil kawasan mangrove tersebar secara periodik di beberapa lokasi, antara lain di desa Alus-alus dan Labuan Bakti.

Tabel 1. Penyebaran Kawasan Mangrove di Kabupaten Simeulue Tahun 2003

No Penyebaran/Lokasi Luas (Ha)

1 Teluk Sinabang 408.31

2 Teluk Dalam 1,492.41

3 Teluk Sibigo 388.26

4 Teluk Lewak 84.45

5 Teluk Salang 213.50


(21)

7 Teluk Besung 19.15

8 Lokasi lain 92,45

Total 2,779.97

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Simeulue 2003

Bagi masayarakat pesisir pada umumnya dan masyakat Simeulue khususnya, keberadaan kawasan mangrove bukan hanya berfungsi sebagai kawasan hijau saja, tetapi menyangkut kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kawasan mangrove merupakan tempat bagi masyarakat untuk mencari sumber-sumber dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam konteks sosial masyarakat keberadaan kawasan mangrove menjadi penting sebagai pelindung desa dari pasang air laut dan tsunami. Dari dua aspek penting ini maka keberadaan kawasan mangrove menjadi sangat perlu dijaga kelestariannya.

Berdasarkan hal tersebut, peran serta masyarakat sebagai aktor yang sangat berkepentingan terhadap manfaat dari keberadaan mangrove sangat penting untuk menjaga kelestarian ekosistem mangrove. Oleh karena itu perlu dilakukan sebuah penelitian yang mampu menyajikan penjelasan tentang persepsi dan hubungannya dengan partisipasi masyarakat Kabupaten Simeulue dalam proses pembangunan kembali daerah setelah bencana khususnya dalam konteks pengelolaan ekosistem mangrove.

1.2. Perumusan Masalah

Kawasan mangrove yang berada di wilayah Pulau Simeulue mempunyai peranan yang sama pentingnya dengan kawasan hutan yang ada dimanapun terhadap


(22)

6

konservasi keanekaragaman hayati, tata air dan peningkatan perekonomian masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu kawasan ekosistem mangrove di Kabupaten Simeulue haruslah dikelola secara baik dengan memperhatikan fungsi-fungsi kawasan secara berkelanjutan dan memberikan manfaat optimal bagi masyarakat yang ada disekitarnya.

Di lain sisi, karena kawasan ekosistem mangrove terletak di wilayah daerah pemukiman masyarakat, maka partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan ekosistem mangrove menjadi penting untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan. Dengan demikian perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana gambaran kondisi kawasan ekosistem mangrove di Kabupaten Simeulue setelah terjadinya bencana alam tsunami.

2. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove setelah terjadinya bencana alam tsunami.

3. Bagaimana hubungan persepsi masyarakat dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove.

1.3. Kerangka Pemikiran

Partisipasi masyarakat merupakan hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan proses pembangunan itu sendiri, secara ideal partisipasi masyarakat adalah upaya untuk mencapai kemajuan yang didasarkan atas keinginan, kebutuhan,


(23)

dan harapan masyarakat sendiri yang diaktualisasikan dalam suatu kegiatan berkelanjutan. Partisipasi masyarakat itu sendiri dalam implementasi kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove di pengaruhi oleh beberapa faktor keberhasilan, dimana berhasil atau tidaknya proses pengelolaan yang dilaksanakan antara lain dipengaruhi oleh persepsi masyarakat setempat terhadap lokasi, manfaat, dan pengelolaan hutan mangrove. Pengaruh dari faktor inilah yang mendasari keterlibatan masyarakat dengan kesadaran dan tanggung jawab terhadap keberhasilan maupun kegagalan pengelolaan ekosistem mangrove yang dilakukan.

Pada sisi lain, persepsi seseorang juga dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman dan karakteristik seseorang antara lain: umur, pendidikan, pekerjaan, jumlah tanggungan, lama bermukim, pengalaman, harapan, dan lain sebagainya. Partisipasi seseorang berhubungan dengan persepsi dan karakteristiknya. Apabila seseorang mempunyai persepsi yang positif karena stimulan informasi tentang sesuatu maka kecenderungannya akan bertindak atau berprilaku secara positif juga terhadap kegiatan yang memang diinginkannya.

Secara jelas kerangka pemikiran tersebut dapat digambarkan dalam skema berikut ini:

Partisipasi Dalam Pengelolaan 1. Tingkat Keterlibatan 2. Jenis Keterlibatan

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Simeulue

Persepsi Masyarakat 1. Lokasi

2. Manfaat

3. Rencana Pengelolaan

Karakteristik Responden 1. Umur

2. Pendidikan 3. Pekerjaan


(24)

8

Gambar 1. Kerangka Pemikiran 1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui gambaran kondisi kawasan ekosistem mangrove di Kabupaten Simeulue setelah terjadinya tsunami.

2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove pasca terjadinya gempa bumi dan tsunami. 3. Untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap partisipasi

masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove.

1.5. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah:

1. Terdapat hubungan nyata antara karakteristik sosial masyarakat dengan persepsi terhadap pengelolaan ekosistem mangrove.

2. Terdapat hubungan yang mempengaruhi antara persepsi masyarakat dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove.

1.6. Manfaat Penelitian

1. Secara akademis penelitian ini diharapkan akan menambah khazanah penelitian tentang partisipasi masyarakat terhadap suatu kondisi yang berhubungan dengan upaya pelestarian suatu kawasan setelah terjadinya bencana alam tsunami.


(25)

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sabagai bahan masukan bagi pemerintah, khususnya Pemerintah Kabupaten Simeulue dalam pengelolaan ekosistem mangrove serta pihak-pihak yang membutuhkan untuk mengevaluasi dan menindaklanjuti kegiatan dan aktifitas masyarakat Kabupaten Simeulue pasca tsunami.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Sumberdaya Alam Hutan

Hutan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi negara Indonesia. Diperkirakan hampir lebih dari setengah penduduk Indonesia menggantungkan hidup terhadap hutan. Maka dari itu, paradigma pengelolaan hutan yang menekankan prinsip sustainable harus dipakai demi menjaga kelestarian fungsi hutan. Fungsi hutan itu sendiri tidak hanya fungsi ekologis, tetapi juga meliputi fungsi ekonomi, sosial dan budaya.

Pengelolaan hutan terkait dengan pengusahaan hutan dan sumberdaya hutan yang ada di wilayah tersebut. Berdasarkan fungsi dari hutan dan faktor ketergantungan masyarakat khususnya di sekitar hutan, pengelolaan hutan harus memperhatikan berbagai aspek. Penguasaan hutan secara sepihak akan lebih banyak menimbulkan akses yang tidak baik karena pada hakikatnya hutan adalah milik bersama. Keterlibatan berbagai pihak sangat diperlukan sebagai stakeholder yang secara langsung merasakan dampak dari pengelolaan hutan yang dilakukan. Perlu juga diperhatikan suatu mekanisme yang menjadi aturan bagi stakeholder dalam dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan kawasaan (Awang, 2003).

Pengelolaan sumberdaya alam dan hutan dilakukan agar tidak terjadinya proses eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya alam dan hutan tersebut. Di Indonesia sendiri sampai sekarang ini telah berkembang beberapa pendekatan yang dilakukan terhadap kawasan hutan. Secara garis besarnya model pengelolaan yang


(27)

diterapkan yaitu: pengelolaan hutan secara terpusat (centralistic management), pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat (community based management). Di samping itu, ada juga pengelolaan hutan yang diserahkan kepada swasta yang mengantongi izin pengusahaan hutan. Pengelolaan hutan oleh pihak swasta dilakukan terhadap hutan-hutan yang ditetapkan sebagai hutan produksi. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan pemerintah atas perhitungan biaya dan tenaga, serta pandangan penguasaan hutan yang tidak sepihak. Tetapi dalam beberapa kasus yang terjadi, kenyataannya pengelolaan hutan yang diserahkan kepada swasta justru banyak yang pada akhirnya menimbulkan masalah. Hal ini terjadi akibat pengelolaan hutan yang dilakukan lebih mengedepankan dimensi ekonomi dan mengabaikan dimensi ekologis, seperti pada kasus-kasus HPH yang ada di Indonesia.

Dalam perspektif pengelolaan hutan yang terjadi selama ini, hubungan hutan dan masyarakat selama ini hanya dilihat sebagai faktor ekonomi belaka, yang kemudian secara sadar "memarjinalkan" kehadiran masyarakat di dalam membangun hutan tersebut. Sebahagian masyarakat dijadikan musuh oleh pemerintah karena di stigmatisasi sebagai perusak sumberdaya alam hutan (SDAH). Selama ini masyarakat dianggap pesaing dalam pemanfaatan SDAH oleh pengusaha dan pemerintah. Bukannya masyarakat tidak bersahabat dengan hutan akan tetapi selama ini masyarakat memang dijauhkan secara politik dan ekonomi oleh pemerintah (Suporaharjo, 2005).

PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) adalah istilah baru yang muncul sejak tahun 1999 di Indonesia. Istilah ini sangat dipengaruhi oleh konsep


(28)

11

CBFM (Community Based Forest Management) yang dikembangkan oleh DENR Philipina (Department of Environment and Natural Resources) sejak tahun 1995 atau sebelumnya.

Konsep pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat merupakan bentuk pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat yang sesuai dengan karakteristik daerah dan adat lokal yang ada, serta dilandasi oleh semangat pengelolaan kehutanan secara sosial.

Melihat fenomena pergeseran dan perubahan yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia cukup menarik dibandingkan dengan penanganan sumberdaya alam lainnya. Sumberdaya hutan (SDH) relatif lebih "diobok-obok" oleh publik, dan hal ini sekaligus memberikan petunjuk bahwa berbagai ragam perubahan memang diharapkan juga oleh instansi kehutanan, walaupun sering sekali perubahan itu hanya didefenisikan sendiri oleh institusi tersebut. Publik melihat SDH sering dengan perspektif masing-masing lalu kemudian cara publik melihat ini telah melahirkan ragam pengertian dan konsep dalam pembangunan kehutanan.

Menurut ahli kehutanan Westoby, social forestry merupakan satu pendekatan pembangunan kehutanan yang mempunyai tujuan memproduksi manfaat hutan untuk perlindungan dan rekreasi bagi masyarakat. Sementara itu FAO memperkenalkan istilah Community Forestry (CF) untuk menggambarkan segala macam keadaan yang melibatkan penduduk lokal dalam kegiatan pembangunan kehutanan (Awang, 2003).

Menurut Foley dan Bernard (1984) dalam Awang (2003) Kehutanan Sosial adalah ilmu dan seni mengenai kayu-kayuan/pohon atau dan vegetasi lainnya pada


(29)

semua lahan yang ada dan mengelola hutan yang ada dengan melibatkan masyarakat secara aktif guna menyediakan segala macam barang/bahan-bahan dan jasa-jasa untuk anggota masyarakat desa dan juga kelompok masyarakat. Dalam kaitannya dengan kehutanan sosial ini, yang paling utama dalam proyek kehutanan sosial terletak dalam kata "sosial" yang berarti proyek menjamin kebutuhan lokal dengan memasukkan manfaat bagi masyarakat didalam membuat rancangan kegiatan kehutanan kembali dan pembagian manfaat hasil hutan tersebut bagi masyarakat lokal.

Sedangkan menurut Wiersum (1984) dalam Awang (2003) memandang kehutanan sosial harus merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan profesionalisme rimbawan yang tujuan khususnya pada peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan mengakomodir aspirasi mereka ke dalam pembangunan di bidang kehutanan.

2.2. Mangrove

Ekosistem mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh disepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa disuatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Dengan demikian kawasan mangrove dapat diinterpretasikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindungi, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut, yang tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Ekosistem


(30)

13

mangrove merupakan tipe hutan tropika dan subtropika yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai (Kusmana, 2005).

Ekosistem mangrove, sering disebut dengan sebutan hutan payau atau hutan bakau. Kawasan mangrove merupakan tipe hutan tropika dan sub-tropika yang khas, tumbuh disepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Dahuri, 2003).

Menurut FAO (dalam Fahutan IPB, 2005), luas kawasan mangrove di dunia adalah sekitar 16.530.000 ha yang tersebar di Asia 7.441.000 ha, Afrika 3.258.000 ha, dan Amerika 5.831.000 ha, sedangkan luasan ekosistem mangrove Indonesia

diperkirakan seluas 3.735.250 ha yang tersebar di 13.677 pulau pada garis pantai lebih dari 81.000 km.

Kawasan mangrove terdiri atas jenis-jenis pohon Avicennia, Rhizophora, Sonneratia, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceros, Scyphyphora, dan Nypa. Sementara itu jenis-jenis tumbuhan mangrove yang ditemukan di hutan mangrove Indonesia sekitar 89 jenis yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit (Soemardiharjo, et. al., dalam Fahutan IPB, 2005).

Ekosistem mangrove mempunyai peranan penting dalam menjaga kawasan pantai. Secara garis besar fungsi mangrove dikategorikan kedalam tiga macam fungsi,


(31)

yaitu fungsi fisik, fungsi biologis (ekologis) dan fungsi ekonomi. Secara fisik hutan mangrove berfungsi sebagai penjaga garis pantai dari erosi agar tetap stabil, melindungi daerah belakang mangrove dari hempasan gelombang dan angin kencang. Fungsi ekologis kawasan mangrove adalah sebagai tempat mencari makan dan berkembang biaknya berbagai jenis ikan, udang dan lainnya. Sedangkan secara ekonomi kawasan mangrove mempunyai fungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan potensi hasil hutan seperti madu, kayu, dan tempat rekreasi (Kusmana, 2007).

2.3. Partisipasi Masyarakat

Pembangunan merupakan cara logis yang ditempuh oleh pemerintahan manapun untuk mewujudkan tujuan masyarakatnya. Pembangunan merupakan sebuah proses yang panjang dan multi dimensional dalam suatu bangsa. Seperti yang tertulis dalam UUD 1945 dikatakan bahwa pembangunan yang dilaksanakan bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Maka dalam proses pembangunan memerlukan modal pembangunan yang meliputi segala potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, dan ditunjang oleh sebuah pengelolaan pembangunan yang tepat agar pembangunan dapat terus berlangsung dan berkelanjutan. Adapun bentuk modal pembangunan yang dimiliki oleh bangsa ini adalah sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM), dan tentunya juga dipengaruhi oleh faktor lainnya.


(32)

15

Sumberdaya manusia dimaksudkan adalah kualitas manusia yang melaksanakan proses pembangunan, dalam mengelola modal pembangunan. Demikian juga sumberdaya alam, sebagai sumberdaya yang siap digunakan (ready to use), memiliki keragaman yang tersebar di wilayah negara ini. Selain itu, perlu dipahami juga bahwa SDA ini mempunyai keterbatasan jumlah yang harus disingkapi dengan tepat agar dapat memberikan manfaat dalam pembangunan.

Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 ditegaskan bahwa pengelolaan SDA ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Hal ini menunjukan bahwa posisi dan fungsi SDA memegang peranan penting dalam proses pembangunan. Sesuai dengan semangat landasan konstitual tersebut, maka penyelenggaraan pengelolaan SDA senantiasa mengandung semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Semangat kerakyatan berarti pembangunan ditujukan untuk kemakmuran rakyat sepenuhnya. Berkeadilan bermaksud bahwa setiap masyarakat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam pengelolaan SDA. Berkelanjutan bermaksud bahwa pengelolaan SDA, untuk masa sekarang juga harus menjamin kehidupan di masa yang akan datang. Jadi tujuan dari SDA (hutan) untuk masyarakat adalah untuk meningkatkan standar kehidupan masyarakat, melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang ada, dan menjadikan masyarakat menjadi lebih dinamis. Dalam UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 dikatakan bahwa hutan merupakan suatu ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Lebih dalam UU Kehutanan No. 41 tahun 1999


(33)

pasal 3, dikatakan tujuan penyelenggaraan kehutanan adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan; menjamin keberadaan hutan, mengoptimalkan fungsi hutan, meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai, dan meningkatkan kemampuan masyarakat secara partisipatif. Masyarakat tersebut adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, yang kehidupannya bergantung pada berbagai macam hasil hutan dengan ketergantungan yang besar maka masyarakat desa hutan memiliki pandangan terhadap hutan sebagai sumber ekonomi keluarga, sumber bahan pangan, sumber air dan sumber kebudayaan bagi mereka (Awang, 2003).

Pembangunan yang berkelanjutan memerlukan keterpaduan antara lingkungan hidup dan tingkat kemajuan pembangunan. Kedua hal ini sama berperan dalam mewujudkan keserasian dan keseimbangan dalam pembangunan. Lingkungan hidup berperan sebagai modal dan harapan pembangunan sedangkan tingkat kemajuan pembangunan sebagai indikator keberhasilan masyarakat dalam proses pembangunan. Disini posisi masyarakat merupakan posisi yang penting dalam proses melaksanakan pembangunan. Pembangunan akan dinilai berhasil jika pembangunan tersebut membawa perubahan kesejahteraan dalam masyarakat. Pembangunan tidak pernah mencapai tujuannya jika meninggalkan rakyat. Oleh karena itu proses pembangunan adalah merupakan proses tawar-menawar antara kebutuhan masyarakat dan keinginan pemerintah. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan, partisipasi masyarakat merupakan hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan proses pembangunan itu sendiri.


(34)

17

Menurut FAO (Mikkelsen, 2003) mendefenisikan salah satu dari banyak arti kata partisipasi sebagai berikut, yaitu: keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan hidup mereka.

Dalam pengertian diatas dapat dilihat bahwa partisipasi adalah merupakan suatu keterlibatan mental dan perasaan, lebih dari hanya keterlibatan secara jasmaniah saja yang ditandai dengan kesediaan memberikan sumbangan dalam usaha pencapaian tujuan bersama dan juga turut bertanggungjawab terhadapi usaha yang dilakukan dalam pencapaian tujuan tersebut.

Partisipasi menurut Awang (2003) adalah keterlibatan aktif dan bermakna dari massa penduduk dari tingkatan-tingkatan yang berbeda seperti:

1. Di dalam proses pembentukan keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan kemasyarakatan dan pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

2. Dalam pelaksanaan program-program dan proyek-proyek secara suka rela dan pembagian yang merata.

3. Dalam pemanfaatan hasil-hasil dari satu program atau suatu proyek. Hal ini menjadi penting karena banyak program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat ternyata justru ditolak oleh masyarakat sendiri.

Steven E. Daniels dan G. B. Walker (Suporaharjo, 2005) menyimpulkan idealnya, partisipasi masyarakat dapat menjadi forum untuk memadukan nilai-nilai dan informasi ilmiah dari masyarakat dan lembaga pemerintah sehingga keputusan akhir diakui oleh sebahagian besar masyarakat sebagai hal perlu dijalankan dan dapat


(35)

dijalankan (layak), selain membuat proses pengambilan keputusan lembaga pemerintah menjadi transparan, serta memungkinkan masyarakat dan pengadilan untuk melihat sejauh mana kesungguhan lembaga pemerintah memandang suatu persoalan. Apabila penanganannya kurang matang, partisipasi masyarakat dapat menimbulkan kekecewaan atau pengabaian perbadaan-perbedaan nilai yang mendasar.

Pengertian partisipasi masyarakat dalam pembangunan (kehutanan) dapat mempunyai pengertian luas dan sempit. Sehingga, menurut Awang (2003) partisipasi dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu; cara pandang dimana partisipasi

merupakan kegiatan pembagian massal dari hasil-hasil pembangunan; cara pandang dimana masyarakat secara massal telah menyumbang jerih payah dalam

pembangunan; dan bahwa partisipasi harus terkait dengan proses pengambilan keputusan di dalam pembangunan.

Hobley (dalam Awang 2003) partisipasi masyarakat di bagi dalam tiga bentuk. Pertama, partisipasi semu yaitu keikutsertaan masyarakat dalam sebuah kegiatan di mana keikutsertaan itu diukur dari upaya-upaya memobilisasi tenaga kerja masyarakat dalam kegiatan. Kedua, partisipasi perwakilan yaitu keterlibatan

masyarakat dalam sebuah kegiatan pembangunan diwakili oleh beberapa orang tertentu saja. Ketiga, partisipasi sejati adalah keikutsertaan yang dilakukan oleh setiap individu atau kelompok masyarakat atas dasar kehendak sendiri terhadap sesuatu


(36)

19

yang dirasakan memberi manfaat, dan keterlibatan tersebut meliputi semua aktifitas dari awal sampai akhir proses.

Selanjutnya Hobley (dalam Awang, 2003) merumuskan berbagai tingkatan dan arti partisipasi berdasarkan pengalamannya dalam melaksanakan kegiatan pembangunan di Nepal selama 10 tahun:

1. Partisipasi Manipulatif

Karakteristik dari model ini adalah keanggotaan yang bersifat keterwakilan pada suatu komisi kerja, organisasi, organisasi kerja, atau kelompok-kelompok dan bukannya pada individu.

2. Partisipasi Pasif

Partisipasi rakyat dilihat dari apa yang telah diputuskan atau apa saja yang telah terjadi, informasi datang dari administrator tanpa mau mendengar respon dari masyarakat tentang keputusan atau informasi tersebut.

3. Partisipasi melalui Konsultasi

Partisipasi rakyat dengan berkonsultasi atau menjawab pertanyaan. Orang dari luar mendefenisikan masalah-masalah dan proses pengumpulan informasi, dan mengawasi analisis. Proses konsultasi tersebut tidak ada pembagian dalam pengambilan keputusan, dan pandangan-pandangan tidak dipertimbangkan oleh orang luar.


(37)

Partisipasi rakyat melalui dukungan berupa sumberdaya, misalnya tenaga kerja, dukungan pangan, pendapatan atau insentif material lainnya. Mungkin saja petani menyediakan lahan dan tenaga kerja, tetapi tidak dilibatkan dalam proses percobaan-percobaan dan pembelajaran. Kelemahan dari model ini adalah apabila insentif habis, maka teknologi yang digunakan dalam program tidak akan berlanjut.

5. Partisipasi Fungsional

Partisipasi rakyat dilihat oleh lembaga eksternal sebagai tujuan akhir untuk mencapai target proyek, khususnya mengurangi biaya. Rakyat mungkin berpartisipasi melalui pembentukan kelompok untuk penentuan tujuan yang terkait dengan proyek. Keterlibatan seperti ini mungkin cukup menarik, karena mereka dilibatkan alam pengambilan keputusan. Tetapi hal ini terjadi setelah keputusan utamanya telah ditetapkan oleh orang dari luar desa tersebut. Pendeknya, masyarakat desa dikooptasi untuk melindungi target dari orang luar desa tersebut.

6. Partisipasi Interaktif

Partisipasi rakyat dalam analisis bersama mengenai pengembangan perencanaan aksi dan pembentukan serta penekanan lembaga lokal. Partisipasi lokal dilihat sebagai hak dan tidak hanya merupakan suatu cara untuk mencapai suatu target proyek saja. Proses pelibatan multi disiplin metodologi, ada proses belajar yang terstruktur. Pengambilan keputusan bersifat lokal oleh kelompok dan kelompok menentukan bagaimana ketersediaan sumberdaya


(38)

21

digunakan, sehingga kelompok tersebut memiliki kekuasaan untuk menjaga potensi yang ada.

7. Partisipasi Mandiri

Partisipasi rakyat melalui pengambilan inisiatif secara independen dari lembaga luar untuk perubahan sistem. Masyarakat mengembangkan hubungan dengan lembaga eksternal untuk advis mengenai sumberdaya dan teknik yang mereka perlukan, tetapi juga tetap mengawasi bagaimana sumber daya tersebut digunakan.

Dalam pelaksanaan pembangunan daerah (kehutanan), pemerintah haruslah mendasarkan pada pengakuan akan peranan penting yang akan dilakukan oleh daerah sejak dulunya. Menurut Usman (2000) pembangunan daerah sebetulnya bukanlah semata-mata duplikasi dari pembangunan nasional, dan juga bukan merupakan bentuk yang lebih kecil dari pembangunan nasional. Pembangunan daerah mempunyai karakteristik yang berbeda, dan pola serta spirit yang sesuai dengan potensi yang dimiliki. Keraf (2002) mengatakan hal yang paling penting dalam pembangunan pedesaan dalam perspektif etika lingkungan adalah kesamaan pemahaman dari semua masyarakat adat diseluruh dunia yang memandang dirinya, alam dan relasi diantara keduanya dalam perspektif yang religius dan spritual. Hal ini dipahami oleh masyarakat adat sebagai sebuah cara hidup dengan tujuan menata seluruh kehidupan manusia dalam relasinya dengan alam. Sehingga untuk pencapai


(39)

pembangunan yang berkelanjutan ekologis, harus disesuaikan dengan pandangan masyarakat desa terhadap lingkungannya.

2.4. Persepsi

Rakhmad (2000) menjelaskan persepsi sebagai pemahaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli).

Selanjutnya Suwandi dan Hidayat (Rakhmad, 2000) menjelaskan bahwa persepsi dari sudut komunikasi adalah urutan proses dimana seseorang tertarik pada suatu pesan, objek, peristiwa, informasi atau rangsangan (attraction), paham pada pesan (comprehension), mau menerima pesan (acceptability), merasa terlibat didalam pesan dan merasa membutuhkan pesan (self involvement) serta adanya unsur atau sifat membujuk yang terdapat didalam pesan yang disampaikan kepada penerima pesan (persuasion).

Persepsi adalah hasil interaksi antara dua faktor, yaitu faktor rangsangan sensorik yang tertuju kepada individu atau seseorang dan faktor pengaruh yang mengatur atau mengolah rangsangan itu secara intrapsikis. Faktor-faktor pengaruh itu dapat bersifat biologis, sosial dan psikologis. Karena adanya proses saling mempengaruhi antara kedua faktor tersebut dimana didalamnya bergabung pula proses asosiasi, maka terjadilah suatu hasil interaksi tertentu yang bersifat “gambaran psikis” (Rakhmad, 2000).


(40)

23

Wirawan (1995) menyatakan bahwa persepsi adalah proses pemahaman terhadap apa yang terjadi di lingkungan. Proses persepsi adalah hasil hubungan antara manusia dengan lingkungan dan kemudian diproses dalam alam kesadaran (kognisi) yang dipengaruhi ingatan tentang pengalaman masa lampau, minat, sikap dan intelegensi. Hasil pengamatan terhadap apa yang diinderakan akan mempengaruhi tingkah laku.

Menurut Krech dan Crutchfield (Rakhmad, 2000) ada 2 faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu faktor fungsional dan faktor struktural.

1. Faktor-Faktor Fungsional

Faktor fungsional biasanya disebut dengan kerangka rujukan (frame of reference). Kerangka bentuk rangsangan atau stimuli tidak menentukan persepsi tetapi karakteristik orang yang mendapat stimulan yang menentukan bagaimana pemaknaan pesan. Seseorang cenderung mempersepsikan bahwa persaingan bebas merupakan sebuah jalan untuk mencapai kemakmuran dalam pembangunan ekonomi. Ini berlaku bagi seseorang yang mempunyai latar belakang ideologi kapitalis atau yang liberal. Tetapi ketika seseorang yang memiliki dasar pemikiran Karl Marx maka keadaan itu dimaknai dengan sebaliknya bahwa persaingan bebas akan menindas kaum yang tidak mempunyai modal besar. Orang ini mempunyai latar belakang ideologi sosialis atau bahkan komunis. Faktor fungsional banyak mempengaruhi persepsi khususnya dalam proses pengambilan keputusan menentukan kategori-kategori. Faktor-faktor fungsional yang menentukan persepsi


(41)

diantaranya adalah faktor-faktor biologis dan faktor sosiologis. Faktor-faktor biologis adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan biologis (tubuh) manusia atau kebutuhan biologis manusia. Keadaan tubuh seseorang akan mempengaruhi pengertian tentang persepsi, panca indera yang lemah menentukan arti ketika pesan-pesan sampai pada seseorang.

Faktor sosiologis juga menentukan bentuk persepsi akhir dari seseorang. Faktor ini berkaitan dengan kondisi dari psikologis kita atau keadaan lingkungan yang berada disekitar kita dimana ada kelemahan dari alat indera kita dalam mengamati suatu objek atau peristiwa. Keadaan atau kelemahan dari alat indera kita sering memberikan pengertian tentang suatu objek karena pengaruh lingkungan atau obyek yang diamati. Banyak peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita. Dalam hal mempersepsikan setiap peristiwa itu, keadaan alat indera kita berperan dalam memberi pengertian terhadap suatu objek. Adakalanya indera-indera kita mengalami distorsi atau gangguan, tidak berfungsi dengan baik, maka ini bisa berakibat pada perbedaan persepsi terhadap hal yang kita amati.

2. Faktor-Faktor Struktural

Faktor-faktor struktural berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Faktor struktural persepsi dipengaruhi oleh pendidikan, kebudayaan dan pengalaman. Krech dan Crutchfield (Rakhmad, 2000) menyatakan dalam dalil persepsi yang ketiga bahwa sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan


(42)

25

pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Menurut dalil ini, jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya dengan efek yang berupa asimilasi atau kontras.

Kemudian dalil persepsi yang keempat bahwa objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu atau menyerupai satu sama lain cenderung ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama. Dalil ini umumnya benar-benar bersifat struktural dalam mengelompokkan objek-objek fisik.

Pada persepsi sosial, pengelompokan tidak murni struktural sebab apa yang dianggap sama atau berdekatan oleh individu tidaklah dianggap sama atau berdekatan oleh individu lain. Misalnya, seseorang menyebutkan definisi televisi, komputer, radio, emas dan baju adalah barang-barang berharga. Perbedaan pengelompokan ini timbul karena perbedaan pendidikan.

Perbedaan persepsi yang disebabkan oleh perbedaan pendidikan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi. Seseorang yang memiliki pendidikan lebih rendah akan mempersepsikan sesuatu berbeda dengan seseorang yang memiliki pendidikan lebih tinggi.

Kebudayaan juga berperan dalam melihat kesamaan. Pada masyarakat yang menitikberatkan kekayaan, orang akan membagi masyarakat yang mengutamakan pendidikan, orang mengenal dua kelompok masyarakat pada dua kelompok; orang kaya dan orang miskin. Pada masyarakat yang mengutamakan pendidikan, orang mengenal dua kelompok masyarakat; kelompok terdidik dan tidak terdidik.


(43)

Kelompok kultural erat kaitannya dengan label dan yang kita beri label yang sama cenderung dipersepsikan berbeda antara orang kaya dan orang miskin, orang yang terdidik dan yang tidak terdidik, orang pribumi dan non pribumi.

Dalam komunikasi, dalil kesamaan dan kedekatan ini sering dipakai oleh komunikator kredibilitasnya. Orang menjadi terhormat karena duduk berdampingan dengan anggota kabinet atau bersalaman dengan presiden. Sebaliknya, kredibilitas berkurang karena duduk berdampingan dengan orang yang nilai kredibilitasnya rendah pula.

Selain faktor pendidikan dan kultur budaya, faktor pengalaman individu juga mempengaruhi persepsi. Seseorang akan mempersepsikan sesuatu juga berdasarkan pengalaman yang ada pada dirinya.

2.5. Defenisi Konsep 2.5.1. Persepsi

Jalaludin Rakhmad (2000) menjelaskan persepsi sebagai pemahaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan yang diterima. Wirawan (1995) menyatakan bahwa persepsi adalah proses pemahaman terhadap apa yang terjadi di lingkungan. Proses persepsi adalah hasil hubungan antara manusia dengan lingkungan dan kemudian diproses dalam alam kesadaran (kognisi) yang dipengaruhi ingatan tentang pengalaman masa lampau, minat, sikap dan intelegensi. Hasil pengamatan terhadap apa yang diinderakan akan mempengaruhi tingkah laku.


(44)

27

Dalam penelitian ini persepsi disimpulkan sebagai pemahaman dan pengetahuan masyarakat yang lahir dari proses interaksi yang terjadi dengan kawasan hutan terhadap keberadaan hutan mangrove dan fungsi-fungsinya serta pengelolaan hutan mangrove terutama setelah terjadi bencana gempa bumi dan tsunami di Kabupaten Simeulue.

2.5.2. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi dapat diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam suatu proses pembangunan. Pengertian partisipasi dalam suatu proses pembangunan (kehutanan) dapat mempunyai pengertian luas dan sempit. Sehingga menurut Awang (2003) partisipasi dapat dilihat dari tiga sudut pandang yaitu: cara pandang dimana partisipasi merupakan kegiatan pembagian dari hasil-hasil pembangunan, cara pandang dimana masyarakat secara massal telah menyumbangkan jerih payah dalam pembangunan, dan bahwa partisipasi harus terkait dengan proses pengambilan keputusan dalam pembangunan.

Arti kata partisipasi yang di rangkum FAO, pengertian partisipasi dapat diterjemahkan sebagai keterlibatan mental, pikiran dan emosi seseorang dalam situasi kelompok yang mendorongnya memberikan sumbangan kepada kelompok dalam pencapaian tujuan serta ikut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan. Dalam penelitian ini partisipasi masyarakat diartikan sebagai peran serta masyarakat dalam kegiatan pengelolaan kawasan hutan mangrove yang didorong oleh pandangan dan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya keberadaan fungsi-fungsi hutan mangrove bagi kehidupan sosial masyarakat.


(45)

2.5.2 Pengelolaan

Pengelolaan adalah proses memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan pencapaian tujuan. Pengelolaan meliputi proses perencanaan, pelaksanaan dan pengontrolan kebijakan yang dilakukan dalam kawasan hutan mangrove.

2.5.3 Hutan

Pengertian hutan dalam Undang-Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999 adalah merupakan suatu ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Arief, 2001). Istilah hutan mempunyai pengertian sebagai suatu asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dan binatang yang didominasi oleh pepohonan atau vegetasi kayu, yang mempunyai luasan tertentu sehingga berpengaruh dalam pembentukan iklim mikro dan kondisi ekologi yang spesifik.


(46)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan pada enam Kecamatan di Kabupaten Simeulue Propinsi Aceh. Kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Alafan, Salang, Simeulue Barat,

Teluk Dalam, Simelue Timur, dan Teupah Selatan. Dasar pemilihan lokasi penelitian ini karena Kabupaten Simeulue adalah satu daerah kepulauan yang memiliki ekosistem mangrove dan terkena bencana gempa bumi dan tsunami pada akhir tahun 2004 dan 2005, dan ke-enam kecamatan tersebut merupakan tempat berlangsungnya pengelolaan kawasan ekosistem mangrove di Kabupaten Simeulue.

Waktu pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan Juli sampai dengan pertengahan Bulan Agustus 2008. Pengolahan data dan penulisan laporan dilaksanakan pada akhir Bulan Agustus 2008 sampai Maret 2009.

3.2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ekplorasi dengan melakukan pengumpulan data primer melalui wawancara, penyebaran kuisioner dan pengumpulan data sekunder. Metode ini bertujuan untuk mengumpulkan data dari sejumlah variabel pada suatu kelompok melalui wawancara langsung dan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disediakan sebelumnya.


(47)

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Penelitian ini menggunakan populasi manusia yang bermukim di daerah yang mempunyai ekosistem mangrove adalah sebanyak lebih kurang 3342 KK (Kepala Keluarga) yang tersebar di 27 (dua puluh tujuh) desa (Tabel 2).

Tabel 2. Distribusi Kecamatan dan Desa Pesisir dengan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Simeulue

No Desa Kecamatan Kepala Keluarga Jumlah

1 Lafakha

ALAFAN

97

2 Lhok Dalam-Dekha 65

3 Langi 117

4 Lhok Pauh 82

5 Lewak 127

6 Ujung Salang SALANG 115

7 Lhok Makmur

SIMEULUE BARAT

70

8 Ama’Gaan 77

9 Sibigo 265

10 Sigulai 232

11 Mitem 65

12 Layabaung 197

13 Ujung Silingar

TELUK DALAM

95

14 Gunung Putri 73

15 Lugu Sekbahak 65

16 Kuala Bakti 56

17 Bulu Hadek 70

18 Selare 45

19 Lugu

SIMEULUE TIMUR

100

20 Ganting 127

21 Amaiteng 256

22 Air Dingin 221

23 Kolok 265

24 Pulau Bangkalak 73

25 Kuala Bakti Kawat TEUPAH

SELATAN

165

26 Ulul Falu 127

27 Ana’ao 95

Total 3342


(48)

31

3.3.2. Sampel

Secara sederhana sampel dapat diartikan sebagai bagian dari populasi yang menjadi sumber data sebenarnya dalam penelitian. Sampel adalah sebahagian dari jumlah atau karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiono, 2001). Unit analisis dalam penelitian ini adalah Kepala Keluarga (KK) yang bermukim di sekitar kawasan mangrove di Kabupaten Simeuleu. Untuk menentukan jumlah sampel yang akan di teliti digunakan teknik pengambilan Purposive Sampling, dimana kelompok subjek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat tertentu yang dipandang ada hubungan yang erat dengan ciri atau sifat populasi yang telah diketahui sebelumnya. Sampel atau responden dalam penelitina ini adalah kepala keluarga yang bermukim di 27 desa yang berada di 6 kecamatan pada kabupaten Simeulue. .

Jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10 sampai 15 % atau 20 sampai 25 % atau lebih (Arikunto, 2002). Berdasarkan hal tersebut maka daam penelitian ini sampel yang diambil adalah sebesar 10 % dari populasi yang ada. Maka Sampel representatif yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 334 KK. Jumlah ini adalah 10% dari populasi yang ada dan dipandang cukup mewakili pengumpulan data dari populasi yang ada.

Selanjutnya berdasarkan dari jumlah sampel sebanyak 334 KK tersebut, maka dilakukan pendistribusian sampel dengan cara penghitungan rumus alokasi proporsional sebagai berikut (Arikunto, 2002) :


(49)

n = Ni x n N Keterangan:

Ni = Populasi setiap Desa N = Populasi

n = Sampel

Maka didapat jumlah sampel untuk masing-masing desa sebagai berikut:

Tabel 3. Distribusi Penggenapan Sampel

No Desa Jumlah No Desa Jumlah

1 Lafakha 9

3342 334 x

97 15 Lugu Sekbahak 6

3342 334 x

65

2 Lhok Dalam-Dekha 6 3342

334 x

65 16 Kuala Bakti 6

3342 334 x

56

3 Langi 11

3342 334 x

117 17 Bulu Hadek 6

3342 334 x 0

7

4 Lhok Pauh 8

3342 334 x

82 18 Selare 4

3342 334 x

45

5 Lewak 12

3342 334 x 27

1 19 Lugu 10

3342 334 x

100

6 Ujung Salang 11

3342 334 x 15

1 20 Ganting 12

3342 334 x

127

7 Lhok Makmur 7

3342 334 x 0

7 21 Amaiteng 26

3342 334 x

256

8 Ama’Gaan 7

3342 334 x

77 22 Air Dingin 22

3342 334 x

221

9 Sibigo 26

3342 334 x 65

2 23 Kolok 26

3342 334 x

265

10 Sigulai 24

3342 334 x 32

2 24 Pulau Bangkalak

8 3342 334 x 3 7

11 Mitem 6

3342 334 x 5

6 25 Kuala Bakti Kawat

6 1 3342 334 x 165

12 Layabaung 20

3342 334 x

197 26 Ulul Falu 12

3342 334 x

127

13 Ujung Silingar 10 3342

334 x 5

9 27 Ana’ao 10

3342 334 x

95

14 Gunung Putri 8

3342 334 x 3

7

Total 334

Dari tabel tersebut terlihat jumlah sampel yang diambil dari masing-masing desa di Kabupaten Simeulue.


(50)

33

3.4. Variabel Yang Diamati

Varibel-varibel yang diamati dalam penelitian ini meliputi : (1) Tingkat Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove, (2) Persepsi Masyarakat (3) Umur, (4) pendidikan, (5) pekerjaan, (6) jumlah tanggungan, (7) lama bermukim, (8) pengalaman dan (9) harapan. Ke-sembilan variabel tersebut dibagi atas tiga bagian bagian, yaitu variabel tak bebas (Y), variabel bebas (X) dan variabel Antara Y dalam penelitian ini adalah tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem Mangrove, sedangkan X adalah persepsi masyarakat meliputi; pemahaman masyarakat terhadap lokasi, manfaat, dan rencana pengelolaan. Variabel antaranya meliputi; Umur, pendidikan, pekerjaan, jumlah tanggungan, lama bermukim, pengalaman dan harapan.

3.5. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menyajikan data dan menganalisis secara mendalam. Penyajian data dilakukan secara kuantitatif digunakan untuk mencari hubungan antara nilai tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove dengan persepsi dan karakteristik seperti umur, pendidikan, pekerjaan, jumlah tanggungan, lama bermukim, pengalaman dan harapan.

Hubungan antara variabel tidak bebas (tingkat partisipasi) dengan variabel bebas: diuji dengan menggunakan uji koefisien korelasi Rank Spearman (Sugioyono, 2001). Pemilihan uji koefisien korelasi Rank Spearman ini didasarkan pada; (1) kemampuan uji ini melihat arah korelasi antara variabel tak bebas dengan variabel


(51)

bebas, (2) dalam menormalkan data yang dilakukan melalui urutan rangking, dan (3) mudah dipelajari dan diterapkan baik untuk data nominal dan ordinal. Uji koefisien Rank Spearman bertujuan untuk mengetahui keeratan hubungan antara variabel bebas (X) dengan variabel tak bebas(Y) dengan rumus : rs = 1 -

n n

di

3 2

. 6

Dimana :

rs = koefisien korelasi Rank Spearman di = Perbedaan antra kedua ranking (Rx-R1) N = banyaknya Sampel/Subjek

Jika didapatkan nilai korelasi dari pengolahan data lebih besar dari nol (rs > 0), itu berarti arah korelasinya mengarah positif. Dalam artian antar variabel memiliki hubungan. Sebaliknya jika nilai korelasi lebih kecil dari nol (rs< 0), dapat dipastikan tidak ada hubungan antar variabel

Arah korelasi (direction)

Y Y

rs>0 rs<0


(52)

35

Untuk melihat dan mengukur kuat atau tidaknya hubungan yang terjadi antara persepsi dan partisipasi masyarakat, maka digunakan klasifikasi kekuatan korelasi (Purnomo, 2006), yaitu :

Kekuatan korelasi (magnitude)

Tidak ada Sangat Lemah Sedang Kuat Sangat Sempurna Korelasi lemah Kuat

*---*---*---*---*---*---* r

0 0,1 0,25 0,5 0,75 0,9 1

Selain dengan menggunakan klasifikasi diatas, untuk melihat dan mengukur nilai koefisien korelasi antara persepsi dan partisipasi dapat juga dilihat dengan tabel kekuatan korelasi seperti yang dibawah ini.

Tabel 4. Kekuatan Korelasi

Nilai Koefisien Kekuatan Korelasi

0 Tidak ada korelasi

0,1 Sangat lemah

0,25 Lemah

0,5 Sedang

0,75 Kuat

0,9 Sangat kuat


(53)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Karakteristik Responden

Karakteristik responden dalam penelitian ini merupakan identitas responden yang berkaitan dengan umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, jumlah tanggungan, lama bermukim, dan harapan responden terhadap kawasan mangrove.

A. Umur

Umur masyarakat pesisir di Kabupaten Simeulue yang menjadi responden berkisar antara umur lebih dari 25 tahun sampai dengan lebih dari 65 tahun. Umur responden diklasifikasikan dalam lima kategori yaitu kategori pertama berada diantara umur 20 tahun sampai dengan 29 tahun, kategori kedua antara umur 30 tahun sampai dengan 39 tahun, kategori ketiga antara umur 40 tahun sampai dengan umur 49 tahun, kategori keempat berada antara umur 50 tahun sampai dengan 59 tahun. Kategori kelima berada diatas umur 60 tahun. Pengklasifikasian umur responden dilakukan berdasarkan usia produktif dengan mempertimbangkan aspek kemampuan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan kemampuan dalam mengambil keputusan terkait dengan keterlibatan dalam pengelolaan kawasan mangrove yang dilakukan.

Dari hasil survei yang dilakukan ditemukan sebesar 94,2% persen responden berada dalam umur yang produktif, diantaranya 13 % responden yang berumur pada kategori pertama, 27,6% responden ada kategori umur kedua, 37,3 % responden pada


(54)

37

kategori ketiga, dan 16,4% responden pada kategori keempat. Sedangkan hanya 5,8% persen responden yang berada dalam umur yang tidak produktif lagi (Tabel 5). Walaupun dalam kenyataannya responden yang berada dalam kategori umur yang tidak produktif lagi masih mampu dan dapat melaksanakan tugas-tugasnya dalam kegiatan perekonomian dan pengelolaan kawasan mangrove serta pembangunan.

Tabel 5. Distribusi Responden Menurut Umur

Umur Frekuensi Persentase

20 – 29 tahun 44 13

30 – 39 tahun 92 27,6

40 - 49 tahun 124 37,2

50 - 59 tahun 55 16,4

≥ 60 tahun 19 5,8

Jumlah Total 334 100

Sumber: Data Primer

B. Pendidikan

Pendidikan responden diklasifikasikan dalam lima kategori, dimana kategori pertama yaitu tidak sekolah, kategori kedua adalah responden yang tidak tamat SD, kategori ketiga responden yang tamat SD, kategori keempat responden yang mengikuti pendidikan sampai tingkat SMP, kategori kelima responden yang mengikuti pendidikan sampai tingkat SMA. Mengenai pendidikan informal dari keseluruhan responden yang ada, terdapat hanya 54 orang yang pernah mengikuti pendidikan luar sekolah, diantaranya pelatihan pertanian organik, pelatihan budi daya ikan, pelatihan koperasi dan penataran kepala desa.

Sebesar 0,3 persen responden tidak sekolah sedangkan sebagian lagi memiliki pendidikan sangat rendah yaitu 1,8 persen yang tidak tamat SD, dan 15,8 persen yang


(55)

tamat SD, serta 52,4 persen yang pernah dan menamatkan SMP. Untuk pendidikan kelas menengah terdapat 29,7 persen responden yang pernah sekolah dan menamatkan pendidikan sampai SMA (Tabel 6).

Tabel 6. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase

Tidak sekolah 1 0,3

Tidak tamat SD 7 1,8

Tamat SD 53 15,8

SMP 174 52,4

SMU 99 29,7

Jumlah Total 334 100

Sumber: Data Primer

Sebagian besar responden berpendidikan atau pernah mengecap pendidikan diatas sekolah dasar atau setara dengan sekolah dasar. Ini berarti bahwa kesadaran masyarakat untuk sekolah cukup tinggi. Hal ini terbukti dengan hanya 2,1% saja dari semua responden yang ada yang hanya tidak sekolah dan tidak lulus sekolah dasar. Hal ini berarti juga sebagian besar responden yang ada merasa bahwa pendidikan merupakan hal yang penting. Jika diperhatikan dari alasan yang dikatakan responden yang tidak melanjutkan pendidikan, hampir semua mengungkapkan bahwa pertimbangan biaya menorong responden tidak bisa melanjutkan pendidikan.

C. Pekerjaan

Pekerjaan responden dikategorikan dalam enam kategori. Kategori pertama yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan, kategori kedua sebagai petani, kategori ketiga sebagai buruh, kategori keempat sebagai pedagang atau wirausaha, kategori kelima sebagai pegawai negeri, dan kategori yang keenam yang memiliki pekerjaan sebagai pewagai swasta. Pengkategorian pekerjaan


(56)

39

responden dilakukan berdasarkan pekerjaan utama yang menjadi tumpuan utama perekonomian keluarga setelah terjadinya tsunami dan gempa bumi. Dari enam kategori pekerjaan diatas terdapat 36,4 persen responden yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan, 47 persen sebagai petani, 3,6 persen sebagai buruh, 7,6 persen sebagai pedagang atau wirausaha, 4,2 persen sebagai pegawai, dan 1,2 persen responden yang bekerja sebagai pegawai swasta (Tabel 7).

Tabel 7. Distribusi Responden Menurut Pekerjaan

Pekerjaan Frekuensi Persentase

Nelayan 120 36,4

Petani 155 47

Buruh 13 3,6

Pedagang/wirausaha 26 7,6

Pegawai 15 4,2

Karyawan swasta 5 1,2

Jumlah Total 334 100

Sumber: Data Primer

Dari hasil diatas dapat dilihat bahwa mayoritas masyarakat lebih memilih petani sebagai pekerjaan utama dari pada nelayan. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat mulai kesulitan mencari ikan untuk kondisi sekarang ini dengan kawasan mangrove yang ada telah rusak. Disamping itu mahalnya harga bahan bakar juga menyebabkan tingginya biaya operasioal yang dibutuhkan untuk sekali melaut dan sering kali tidak sesuai dengan hasil yang didapat.

D. Jumlah tanggungan

Jumlah tanggungan keluarga responden di hitung dari jumlah istri serta anak dan keluarga lain yang menjadi tanggungan. Jumlah tanggungan responden di bagi dalam enam kategori. Kategori pertama responden yang memiliki tanggungan 1 (satu) orang, kategori kedua memiliki jumlah tanggungan 2


(57)

(dua) orang, kategori ketiga memiliki jumlah tanggungan 3 (tiga) orang, kategori keempat memiliki jumlah tanggungan 4 (empat) orang, kategori kelima memiliki jumlah tanggungan 5 (lima) orang, kategori keenam responden yang memiliki jumlah tanggungan lebih dari lima orang.

Pada kategori pertama terdapat 35 responden yang memiliki jumlah tanggungan 1 orang, sebanyak 50 orang yang mempunyai jumlah tanggungan 2 orang, 64 responden yang memiliki jumlah tanggungan sebanyak 3 orang, kategori keempat terdapat 108 responden yang memiliki jumlah tanggungan sebanyak 4 orang, sebanyak 50 orang yang memiliki jumlah tanggungan sebanyak 5 orang, lalu terdapat sebanyak 23 responden yang memiliki jumlah tanggungan sebanyak lebih dari 5 orang (Tabel 8).

Tabel 8. Distribusi Responden Menurut Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah Tanggungan Keluarga Frekuensi Persentase

1 orang 35 10,6

2 orang 50 15,2

3 orang 65 19,4

4 orang 109 32,6

5 orang 50 15,2

6 orang 23 6,7

7 orang 2 0,3

Jumlah Total 334 100

Sumber: Data Primer

E. Lama Bermukim

Lama bermukim ditentukan dari lamanya responden tinggal di daerah tersebut di bagi dalam kategori pertama responden yang bermukim antara 1 sampai 10 tahun, kategori kedua yang bermukim 11 sampai 20 tahun, kategori ketiga yang bermukim antara 21 sampai dengan 30 tahun, kategori keempat yang


(1)

14 21 170.5 218.5 -48 2304

14 21 170.5 218.5 -48 2304

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 22 270 266 4 16

21 21 327.5 218.5 109 11881

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

18 24 270 296.5 -26.5 702.25

18 24 270 296.5 -26.5 702.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

11 17 64.5 33.5 31 961

11 18 64.5 67.5 -3 9

18 25 270 311 -41 1681

14 20 170.5 142 28.5 812.25

19 23 320 282 38 1444

13 22 112.5 266 -153.5 23562.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

13 26 112.5 321 -208.5 43472.25 13 26 112.5 321 -208.5 43472.25 13 26 112.5 321 -208.5 43472.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25


(2)

19 23 320 282 38 1444 13 22 112.5 266 -153.5 23562.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 22 270 266 4 16

21 21 327.5 218.5 109 11881

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 22 270 266 4 16

21 21 327.5 218.5 109 11881

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

13 22 112.5 266 -153.5 23562.25

11 18 64.5 67.5 -3 9

13 19 112.5 87 25.5 650.25

9 19 11.5 87 -75.5 5700.25

9 19 11.5 87 -75.5 5700.25

18 24 270 296.5 -26.5 702.25

11 17 64.5 33.5 31 961

10 17 35 33.5 1.5 2.25

10 17 35 33.5 1.5 2.25

11 17 64.5 33.5 31 961

11 18 64.5 67.5 -3 9

18 25 270 311 -41 1681

14 20 170.5 142 28.5 812.25

19 23 320 282 38 1444

13 22 112.5 266 -153.5 23562.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

19 23 320 282 38 1444

13 22 112.5 266 -153.5 23562.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

11 18 64.5 67.5 -3 9

18 25 270 311 -41 1681


(3)

13 22 112.5 266 -153.5 23562.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

13 26 112.5 321 -208.5 43472.25 13 26 112.5 321 -208.5 43472.25 13 26 112.5 321 -208.5 43472.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

19 23 320 282 38 1444

13 22 112.5 266 -153.5 23562.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

10 17 35 33.5 1.5 2.25

11 17 64.5 33.5 31 961

11 17 64.5 33.5 31 961

15 17 208.5 33.5 175 30625

9 19 11.5 87 -75.5 5700.25

13 20 112.5 142 -29.5 870.25

13 16 112.5 2.5 110 12100

14 17 170.5 33.5 137 18769

16 20 218 142 76 5776

18 24 270 296.5 -26.5 702.25

9 19 11.5 87 -75.5 5700.25

10 20 35 142 -107 11449

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

19 23 320 282 38 1444

13 22 112.5 266 -153.5 23562.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25


(4)

21 21 327.5 218.5 109 11881

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

21 21 327.5 218.5 109 11881

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

13 22 112.5 266 -153.5 23562.25

11 18 64.5 67.5 -3 9

13 19 112.5 87 25.5 650.25

9 19 11.5 87 -75.5 5700.25

9 19 11.5 87 -75.5 5700.25

18 24 270 296.5 -26.5 702.25

11 17 64.5 33.5 31 961

10 17 35 33.5 1.5 2.25

10 17 35 33.5 1.5 2.25

10 17 35 33.5 1.5 2.25

11 17 64.5 33.5 31 961

11 17 64.5 33.5 31 961

15 17 208.5 33.5 175 30625

9 19 11.5 87 -75.5 5700.25

13 20 112.5 142 -29.5 870.25

13 16 112.5 2.5 110 12100

14 17 170.5 33.5 137 18769

16 20 218 142 76 5776

18 24 270 296.5 -26.5 702.25

9 19 11.5 87 -75.5 5700.25

10 20 35 142 -107 11449

13 25 112.5 311 -198.5 39402.25

13 20 112.5 142 -29.5 870.25

12 17 85 33.5 51.5 2652.25

11 17 64.5 33.5 31 961

14 20 170.5 142 28.5 812.25

13 22 112.5 266 -153.5 23562.25

11 18 64.5 67.5 -3 9

13 19 112.5 87 25.5 650.25

9 19 11.5 87 -75.5 5700.25

9 19 11.5 87 -75.5 5700.25

18 24 270 296.5 -26.5 702.25

11 17 64.5 33.5 31 961

10 17 35 33.5 1.5 2.25

10 17 35 33.5 1.5 2.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25


(5)

14 20 170.5 142 28.5 812.25

10 20 35 142 -107 11449

13 25 112.5 311 -198.5 39402.25

13 20 112.5 142 -29.5 870.25

12 17 85 33.5 51.5 2652.25

11 17 64.5 33.5 31 961

14 20 170.5 142 28.5 812.25

18 24 270 296.5 -26.5 702.25

11 17 64.5 33.5 31 961

10 17 35 33.5 1.5 2.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

13 22 112.5 266 -153.5 23562.25

11 18 64.5 67.5 -3 9

13 19 112.5 87 25.5 650.25

9 19 11.5 87 -75.5 5700.25

9 19 11.5 87 -75.5 5700.25

18 24 270 296.5 -26.5 702.25

11 17 64.5 33.5 31 961

10 17 35 33.5 1.5 2.25

10 17 35 33.5 1.5 2.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

19 23 320 282 38 1444

13 22 112.5 266 -153.5 23562.25

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 22 270 266 4 16

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

18 22 270 266 4 16

21 21 327.5 218.5 109 11881

18 21 270 218.5 51.5 2652.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

10 17 35 33.5 1.5 2.25

11 17 64.5 33.5 31 961

11 17 64.5 33.5 31 961

15 17 208.5 33.5 175 30625

9 19 11.5 87 -75.5 5700.25

13 20 112.5 142 -29.5 870.25

13 16 112.5 2.5 110 12100


(6)

16 20 218 142 76 5776

18 24 270 296.5 -26.5 702.25

9 19 11.5 87 -75.5 5700.25

10 20 35 142 -107 11449

13 25 112.5 311 -198.5 39402.25

13 20 112.5 142 -29.5 870.25

12 17 85 33.5 51.5 2652.25

11 17 64.5 33.5 31 961

14 20 170.5 142 28.5 812.25

18 24 270 296.5 -26.5 702.25

11 17 64.5 33.5 31 961

10 17 35 33.5 1.5 2.25

10 17 35 33.5 1.5 2.25

13 22 112.5 266 -153.5 23562.25

11 18 64.5 67.5 -3 9

13 19 112.5 87 25.5 650.25

9 19 11.5 87 -75.5 5700.25

9 19 11.5 87 -75.5 5700.25

18 24 270 296.5 -26.5 702.25

11 17 64.5 33.5 31 961

10 17 35 33.5 1.5 2.25

10 17 35 33.5 1.5 2.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25

14 20 170.5 142 28.5 812.25