Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Ant

(1)

PERSEPSI MASYARAKAT SUKU BATAK TOBA DAN

BATAK KARO DALAM KONTEKS KOMUNIKASI

ANTARBUDAYA

(Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam

Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Antarsuku Tersebut)

SKRIPSI

Liberty T. Togatorop

(090904066)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

PERSEPSI MASYARAKAT SUKU BATAK TOBA DAN

BATAK KARO DALAM KONTEKS KOMUNIKASI

ANTARBUDAYA

(Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam

Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Antarsuku Tersebut)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Liberty T. Togatorop

(090904066)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FEKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

Lembar Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh : Nama : Liberty T. Togatorop

NIM : 090904066 Departemen : Ilmu Komunikasi

Skrispsi : PERSEPSI MASYARAKAT SUKU BATAK TOBA DAN

BATAK KARO DALAM KONTEKS KOMUNIKASI ANTARBUDAYA (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Antarsuku Tersebut)

Medan, Agustus 2013

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Dra. Lusiana A. Lubis, MA.,Ph.D Dra. Fatma Wardy Lubis, MA NIP. 196704051990032002 NIP. 195102191987011001

Dekan FISIP USU

Prof. Dr. Badaruddin, M.Si NIP. 196805251992031002


(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika dikemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya

akan bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku

Nama : Liberty T. Togatorop

NIM : 090904066

Tanda Tangan : Tanggal : 2013


(5)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh

Nama : Liberty T. Togatorop NIM : 090904066

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi : PERSEPSI MASYARAKAT SUKU BATAK TOBA DAN

BATAK KARO DALAM KONTEKS KOMUNIKASI ANTARBUDAYA (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Antarsuku Tersebut)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan dewan penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji : ( )

Penguji : ( )

Penguji Utama : ( )

Ditetapkan di : Medan Tanggal :


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Yesus Kristus sebagai Juruselamat pribadi penulis atas berkat dan kasih setiaNya yang melimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Antarsuku Tersebut.” Penulisan skrispsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU). Berkat penyertaan tangan Tuhan yang kuat, dan kasih setiaNya, penulis mengerjakan skripsi ini dengan semangat yang menyala-nyala, tak lupa juga untuk tetap menjaga integritas sebagai seorang mahasiswa yang bertanggung jawab dihadapan Tuhan dan manusia.

Selama duduk di bangku kuliah hingga akhirnya menyelesaikan skripsi ini, begitu banyak saran, kritikan, bimbingan serta semangat yang sangat memotivasi penulis. Jerih payah dan keringat orang tua penulis dalam memenuhi kebutuhan secara materiil dan moril, kasih sayang, nasehat dan dukungan serta doa yang tiada henti untuk penulis selama mengecap pendidikan di Universitas Sumatera Utara (USU) sungguh luar biasa. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dari hati yang terdalam kepada kedua orang tua penulis, bapak Ronald Togatorop (Bapak motivator terhebat dalam hidup penulis) dan ibu Nurmala Siallagan. Penulis juga mengucapkan terimakasih atas dukungan, doa dan semangat dari kakak dan abang penulis, Eva Marlina Togatorop, Dance Flora Togatorop, Vera S.M Togatorop, Rina H.M Togatorop dan Patar Febri Anri Siahaan, dan kepada adikku yang paling cantik Odor Tua M. Togatorop juga abang penulis yang paling cool Samuel Frans Clinton Hamonangan Togatorop. Terimakasih juga untuk kakekku satu-satunya Op. Gerald Togatorop yang selalu memberikan semangat, dukungan dan motivasi kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.


(7)

Peneliti juga menyadari bahwa banyak sekali bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini. oleh karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yakni Bapak Prof. Drs. Badruddin, M.si beserta jajarannya.

2. Ketua Departemen Ilmu Komunikasi yakni Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A.

3. Dosen pembimbing penulis Ibu Dra. Hj. Lusiana Andriani Lubis, MA., Ph.D. yang senantiasa meluangkan waktu untuk memberi arahan, bimbingan dan ilmu dengan sabar selama penulis menyusun skripsi ini.

4. Dosen pembimbing akademis peneliti Prof. DR. Suwardi Lubis, M.Si yang telah membimbing peneliti selama masa perkuliahan.

5. Seluruh staff Departemen dan Laboratorium Ilmu Komunikasi FISIP USU yakni Kak Maya, Kak Icut, Kak Yovita cantik, Kak Hanim manis, dan Kak Puan yang telah membantu segala sesuatu yang berkaitan dengan jalannya pendidikan peneliti.

6. Seluruh dosen dan staf pengajar yang telah membimbing penulis selama perkuliahan di Departemen Ilmu Komunikasi.

7. Kepada seluruh informan penulis di Desa Surbakti dan Desa Unjur, yang telah menyediakan waktu dan tenaga untuk diwawancarai penulis.

8. Kepada keluarga Bapak Olet Sitepu dan Ibu br Ginting, Abang Andi dan kakak Ernawati Ginting, S. Kep, Mia, Egy, Luna dan Eloy Pindonta, yang sangat membantu penulis selama proses penelitian.

9. Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) ‘Laetictia Dulcissima (LD7)’ yakni Kak Rascel Octavia Sitepu, abang Windo Harjoin Sidabutar, S.I.kom, adek Felina Susianti Sidabutar yang selalu membantu, memberikan semangat, motivasi, kritik, saran, dukungan dan doa bagi penulis. Semangat terus pantang menyerah. Terima kasih juga kepada kak Yosefin Tiara Sidabutar, abang Dedy Panggabean, abang Paulus Sinaga, abang Armensius Sinaga, adek Jernih Panjaitan dan kak Meydita Simbolon yang selalu mengajari dan


(8)

mendukung penulis. Juga kepada adik Marisi Sihombing, Amd dan Devi Silalahi, Amd yang selalu memberi semangat dan doa.

10. Kelompok Kecil ‘Ameiren Zephan’ yakni Monalisa Sitepu, Raja Ramos Hot Monang Purba, Fernando Anderson, dan Samuel Christian Lubis, terimakasih atas dukungan dan doa kalian. Belajar dengan baik ya dek, tetap jaga hubungan pribadi yang baik dengan Tuhan. Masa depan hanya ada di tanganNya.

11. Kepada sahabat baik penulis, Damai Ryanti Purba, S. I.kom yang selalu mendukung, mendoakan dan memotivasi penulis, menjadi sahabat ‘pendengar yang sejati’ dan tempat penulis berbagi banyak hal. Sahabat penulis lainnya, Serdita, Willer, Siska, Rani, Mianhot Pandiangan, Kak Mery S.Sos, Kak Marinta S.Sos, Christo Surbakti, dan sahabat lainnya yang tak bisa disebutkan satu per satu.

12. Kepada teman seperjuangan penulis di Komunikasi angkatan 2009, Tika A. Purba, Rebeka Purba, Sarah Gultom, Rina Maria Hutagaol, Norasina Pandia, Arnold Nainggolan, Reno C.O Sibarani, Rittar Murdani Samosir dan masih banyak lagi. Tetap semangat dan berjuang menjadi yang terbaik.

13. Seluruh komponen pelayanan UKM KMK USU UP PEMA FISIP baik AKK, PKK, TPP dan Alumni atas dukungan, doa dan bimbingan yang mengajari penulis menjadi alumni berkualitas, jadi garam dan terang dunia.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan saran yang membangun. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Penulis


(9)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Liberty T. Togatorop NIM : 090904066

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Sumatera Utara

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Ekslusif (Non-ekslusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

PERSEPSI MASYARAKAT SUKU BATAK TOBA DAN BATAK KARO DALAM KONTEKS KOMUNIKASI ANTARBUDAYA (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Antarsuku Tersebut). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media-formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama masih tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan Pada Tanggal : Agustus 2013

Yang Menyatakan,


(10)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Antarsuku Tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti, Kabupaten Karo terhadap masyarakat Batak Toba, dan sebaliknya persepsi mayarakat Batak Toba di Desa Unjur, Kabupaten Samosir terhadap masyarakat Batak Karo. Selain daripada itu tujuan lainnya dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pergeseran nilai-nilai kebudayaan yang terjadi di masing-masing suku, Batak Karo dan Batak Toba dalam memahami arti perkawinan antarsuku tersebut.

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode studi kasus, artinya hanya berlaku di dua daerah yang sudah ditetapkan oleh peneliti, yaitu Desa Unjur, Kabupaten Samosir dan Desa Surbakti, Kabupaten Karo. Teknik yang digunakan adalah wawancara mendalam kepada informan yang ditemukan oleh peneliti dengan purpossive sampling, dengan kriteria tertentu yaitu bapak atau ibu yang sudah mempunyai anak berumur 17 tahun ke atas, karena umur 17 tahun adalah masa bagi seorang anak diakui secara kewarganegaraan dan masuk dalam fase muda (pubertas), mulai tertarik dengan lawan jenis. Subjek penelitian di Desa Surbakti ada sebanyak enam keluarga Batak Karo, dan sebanyak lima keluarga Batak Toba di Desa Unjur.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti tidak pernah memegang prinsip melarang anak untuk pacaran atau menikah dengan orang Batak Toba, sebaliknya masyarakat Batak Toba di Desa Unjur yang menekankan nilai itu kepada anak dalam keluarga. Faktor lain yang mempengaruhi persepsi masyarakat Batak Toba di Desa Unjur terhadap masyarakat Batak karo ini adalah hambatan komunikasi seperti stereotip, etnosentrisme dan juga prasangka. Secara keseluruhan, hal yang paling disoroti oleh masing-masing suku ketika diperhadapkan dengan perkawinan antarsuku Batak Karo dengan Batak Toba adalah ketidaksesuaian adat istiadat budaya, dan bahasa. Dan agama menjadi hal yang paling utama untuk mempertimbangkan perkawinan antarsuku tersebut, Batak Karo dan Batak Toba.


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1Konteks Masalah ... 1

1.2Fokus Masalah ... 7

1.3Tujuan Penelitian ... 7

1.4Manfaat Penelitian ... 7

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1Paradigma Kajian ... 8

2.1.1 Perspektif Interpretivisme ... 8

2.2Uraian Teoritis ... 9

2.2.1 Komunikasi Antarbudaya ... 9

2.2.1.1 Pengertian Komunikasi Antarbudaya ... 9

2.2.1.2 Asumsi-asumsi Komunikasi Antarbudaya ... 10

2.2.2 Persepsi ... 11

2.2.2.1 Sistem Lambang ... 14

2.2.2.2 Pandangan Dunia (World View) ... 15

2.2.2.3 Organisasi Sosial ... 21

2.2.3 Hambatan Komunikasi Antarbudaya ... 24

2.2.3.1 Prasangka Sosial ... 26

2.2.3.2 Stereotip ... 28

2.2.3.3 Etnosentrisme ... 30


(12)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1Metode Penelitian ... 34

3.2Objek Penelitian ... 36

3.3 Subjek Penelitian ... 36

3.4 Kerangka Analisis ... 39

3.5 Tehnik Pengumpulan Data ... 40

3.6 Tehnik Analisis Data ... 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1Deskripsi Subjek Penelitian ... 45

4.2Hasil Pengamatan dan Wawancara ... 54

4.3 Pembahasan ... 117

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1Kesimpulan ... 139

5.2Saran ... 141

5.3 Implikasi ... 141

DAFTAR REFERENSI ... 143


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Model Teoritis Persepsi Nilai-nilai perkawinan dalam tinjauan Komunikasi Antarbudaya

33 2. Model Analisis Interaktif Miles dan Huberman 39


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Hubungan antara Kesadaran dan Kemampuan Berkomunikasi Antarbudaya

25


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil Wawancara 2. Biodata Peneliti

3. Daftar Bimbingan Skripsi 4. Surat Izin Penelitian


(16)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Antarsuku Tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti, Kabupaten Karo terhadap masyarakat Batak Toba, dan sebaliknya persepsi mayarakat Batak Toba di Desa Unjur, Kabupaten Samosir terhadap masyarakat Batak Karo. Selain daripada itu tujuan lainnya dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pergeseran nilai-nilai kebudayaan yang terjadi di masing-masing suku, Batak Karo dan Batak Toba dalam memahami arti perkawinan antarsuku tersebut.

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode studi kasus, artinya hanya berlaku di dua daerah yang sudah ditetapkan oleh peneliti, yaitu Desa Unjur, Kabupaten Samosir dan Desa Surbakti, Kabupaten Karo. Teknik yang digunakan adalah wawancara mendalam kepada informan yang ditemukan oleh peneliti dengan purpossive sampling, dengan kriteria tertentu yaitu bapak atau ibu yang sudah mempunyai anak berumur 17 tahun ke atas, karena umur 17 tahun adalah masa bagi seorang anak diakui secara kewarganegaraan dan masuk dalam fase muda (pubertas), mulai tertarik dengan lawan jenis. Subjek penelitian di Desa Surbakti ada sebanyak enam keluarga Batak Karo, dan sebanyak lima keluarga Batak Toba di Desa Unjur.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti tidak pernah memegang prinsip melarang anak untuk pacaran atau menikah dengan orang Batak Toba, sebaliknya masyarakat Batak Toba di Desa Unjur yang menekankan nilai itu kepada anak dalam keluarga. Faktor lain yang mempengaruhi persepsi masyarakat Batak Toba di Desa Unjur terhadap masyarakat Batak karo ini adalah hambatan komunikasi seperti stereotip, etnosentrisme dan juga prasangka. Secara keseluruhan, hal yang paling disoroti oleh masing-masing suku ketika diperhadapkan dengan perkawinan antarsuku Batak Karo dengan Batak Toba adalah ketidaksesuaian adat istiadat budaya, dan bahasa. Dan agama menjadi hal yang paling utama untuk mempertimbangkan perkawinan antarsuku tersebut, Batak Karo dan Batak Toba.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Istilah komunikasi bukanlah suatu istilah yang baru bagi kita. Bahkan komunikasi itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari sejarah peradaban umat manusia, dimana pesan yang menjadi inti dari komunikasi itu sendiri sampai saat ini selalu menjadi suatu kajian yang tak pernah ada habisnya. Secara sederhana, komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan sebuah saluran, sehingga bisa memberikan suatu efek bagi komunikan itu sendiri, sesuai dengan pemaknaannya terhadap pesan yang diterima. Bentuk pesan dalam komunikasi ini juga terbagi menjadi dua bagian, yaitu pesan dalam bentuk bahasa verbal dan juga pesan dalam bentuk bahasa non verbal.

Komunikasi verbal adalah proses penyampaian pesan kepada komunikan dalam bentuk kata-kata baik itu secara lisan ataupun dalam bentuk tertulis. Sedangkan komunikasi non verbal adalah proses penyampaian pesan kepada komunikan dalam bentuk ekspresi, sentuhan, wajah, waktu, gerak, isyarat, bau, perilaku, mata dan lain-lain, yang bisa merangsang makna pada diri komunikan tersebut. Proses pemaknaan inilah yang pasti kita alami dalam segala aspek kehidupan kita, dimana ketika menjalin komunikasi dengan orang lain, kita pasti terlibat langsung dalam komunikasi verbal dan juga non verbal serta bagaimana kita akan memaknai simbol dari komunikasi verbal dan non verbal tersebut (Mulyana, 2007:259). Kesamaan pemaknaan terhadap penggunaan simbol verbal dan non verbal akan membuat orang-orang yang berkomunikasi lebih mudah mencapai pengertian bersama. Dalam hal ini, peneliti ingin menambahkan aspek kebudayaan atau dimensi perbedaan kebudayaan ke dalam proses komunikasi, maka tak lain yang akan diulas adalah Komunikasi Antarbudaya (KAB).

Menurut Porter dan Samovar (1982), bahwa hubungan budaya dan komunikasi penting dipahami untuk memahami komunikasi antarbudaya, karena melalui pengaruh budayalah maka manusia akhirnya belajar komunikasi.


(18)

Komunikasi Antarbudaya adalah komunikasi antara dua orang atau lebih dengan perhatian khusus pada faktor-faktor kebudayaan yang mempengaruhinya, bagaimana dua orang atau lebih, yang ketika menjalin sebuah komunikasi, saling memaknai simbol atau lambang, juga bahasa, dengan latar belakang budaya yang berbeda. Hal tersebut adalah sangat penting bagi kita, sehingga dapat menimbulkan pemaknaan yang sama, untuk terciptanya suatu komunikasi yang efektif.

Salah satu asumsi yang ada dalam komunikasi antarbudaya adalah adanya perbedaan persepsi antara komunikator dan komunikan. Bagaimana persepsi mengenai orang lain dan akibat dari persepsi tersebut terhadap sifat hubungan yang terbentuk. Komunikasi, dalam bentuk dan konteks apapun, selalu menampilkan perbedaan iklim antara komunikator dengan komunikan. Dengan adanya perbedaan iklim budaya tersebut, maka pada umumnya perhatian teoritis atau praktis dari komunikasi selalu difokuskan pada pesan-pesan yang menghubungkan individu atau kelompok dari dua situasi budaya yang berbeda. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam perbedaan itu umumnya mengimplikasikan bahwa hambatan komunikasi antarbudaya, acapkali tampil dalam bentuk perbedaan persepsi terhadap norma-norma budaya, pola-pola berpikir, prinsip, struktur budaya dan juga sistem budaya.

Kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang turut menentukan persepsi manusia. Berbeda kebudayaan, maka berbeda pula persepsi yang dimiliki oleh masing-masing individu tersebut. Persepsi seringkali dimaknakan dengan pendapat, sikap, penilaian dan perasaan. Persepsi menggambarkan pengalaman manusia tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan tentang objek tersebut, namun adanya perbedaan persepsi diantara manusia terhadap rangsangan yang sama, inilah yang menjadi keunikan dari persepsi itu sendiri.

Persepsi mempengaruhi berlangsungnya komunikasi antarbudaya. Pemahaman akan perbedaan persepsi diperlukan jika ingin meningkatkan kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain yang berbeda kebudayaan.


(19)

Semakin tinggi tingkat kesamaan persepsi individu dalam suatu kelompok maka semakin besar kemungkinan anggota kelompok itu berkomunikasi satu sama lain sehingga mereka dapat mempertahankan identitasnya (Liliweri, 2001:114).

Peristiwa tentang persepsi dalam komunikasi antarbudaya ini masih sering kita temukan di negara kita sendiri, Indonesia, karena terdiri dari beraneka ragam suku (etnis) yang masing-masing suku tersebut memiliki nilai budaya yang dapat membedakan ciri suku yang satu dengan yang lainnya. Nilai budaya yang dimaksud adalah nilai budaya daerah yang dipandang sebagai suatu cara hidup dan dianut pada setiap kelompok masyarakat. Ciri nyata dari keanekaragaman ini adalah adanya kecenderungan yang kuat dari setiap suku bangsa untuk mempertahankan identitas masing-masing. Orientasi yang dominan ke dalam golongan sendiri memberikan indikasi mengenai pekanya hubungan antarsuku atau antarbudaya dalam masyarakat, dikarenakan perbedaan nilai budaya dalam setiap suku, hal ini sering disebut dengan Etnosentrisme (Lubis,1999:2). Etnosentrisme ini juga bisa kita maknai dengan suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai hal yang mutlak dan digunakan sebagai standar untuk mengukur serta bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain. Hal ini menyebabkan persepsi dalam setiap kelompok etnis memandang orang dari kelompok etnis lain sebagai orang barbar, kafir, atau bahkan tidak mempunyai peradaban.

Inilah yang sering diperhatikan oleh penulis, jangankan antar suku dalam negara Indonesia, antarsub suku dalam satu rumpun pun, hal seperti ini masih sering terjadi, misalnya suku Batak. Suku Batak terdiri dari sub-sub suku Batak yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Angkola-Mandailing, Batak Pakpak/Dairi (Siahaan,E.K,dkk. 1975:1). Dalam hal ini peneliti ingin melihat proses komunikasi antarbudaya lebih spesifik lagi dari sekian banyaknya suku di Indonesia, yaitu proses komunikasi antarbudaya Suku Batak Toba dan Suku Batak Karo. Dua suku itu adalah sub suku yang berada dibawah satu rumpun yaitu Suku Batak, namun memiliki perbedaan yang kontras dalam banyak hal, apabila dibandingkan dengan sub Suku Batak lainnya. Tidak hanya dialek


(20)

serta bahasanya, namun juga nilai-nilai kehidupan, prinsip hidup, struktur sosial, adat-istiadat dan yang lainnya.

Perbedaan persepsi, adanya stereotip, prasangka dan juga etnosentrisme dari suatu suku terhadap suku lainnya sering terealisasi dalam fenomena-fenomena yang sering diamati, bahkan dialami langsung oleh peneliti, yaitu adanya keluarga suku Batak Toba yang melarang anak-anaknya berpacaran dengan suku Batak Karo dan juga sebaliknya, orang tua dari suku Batak Karo melarang anak-anaknya untuk menjalin hubungan yang sangat dekat atau pacaran bahkan menikahi orang yang bersuku Batak Toba. Peneliti mendapati hal yang demikian karena sudah bertanya kepada beberapa orang yang mewakili kedua suku tersebut, teman-teman dari suku Batak Toba dan suku Batak Karo yang ada di kampusnya, akhirnya peneliti mendapati fenomena yang sama. Jika ditarik benang merah, maka yang menjadi pemicu timbulnya fenomena adalah persepsi yang berbeda, stereotip, prasangka dan etnosentrisme diantara kedua sub suku Batak tersebut, Batak Toba dan Batak Karo yang membuat komunikasi antarbudaya menjadi sedikit terbatas.

Hal ini tentunya semakin diperkuat lagi setelah peneliti melakukan pra penelitian di Desa Unjur, Kabupaten Samosir, pada tanggal 18 Januari 2013, dengan bertanya kepada beberapa orang yang berasal dari suku Batak Toba yang ada di desa itu dan pra penelitian di Desa Surbakti, Kabupaten Karo, pada tanggal 25 Januari dengan melakukan hal yang sama, yaitu bertanya kepada beberapa orang yang berasal dari suku Batak Karo, peneliti pun akhirnya menemukan stereotip dari suku Batak toba terhadap Batak Karo dan juga sebaliknya. Adapun stereotip masyarakat suku Batak Toba terhadap masyarakat suku Batak Karo, cenderung pendendam, jorok, kuat dalam hal-hal mistis, perempuan Batak Karo cenderung lebih etnosentris, sedikit licik, berbeda apa yang dikatakan dimulut dan dihati, bahasa dan tradisi yang kuat, pemalas, mengutamakan harta daripada pendidikan, sedikit sombong dengan harta benda yang dimiliki. Sebaliknya suku Batak Karo juga mengakui bahwa suku Batak Toba itu pekerja keras, harga diri tinggi namun bukan berarti gengsi, menjunjung tinggi harkat khusus perempuan,


(21)

cerdas, mengutamakan pendidikan dan kemajuan daripada harta benda, prinsip dan idealisme yang kuat, dan agak kasar dan terkesan keras.

Prinsip-prinsip yang berbeda dalam budaya kedua suku tersebut menjadi salah satu faktor penghambat komunikasi antarbudaya, yang mengakibatkan individu dari suku Batak Toba lebih mementingkan kelompoknya sendiri karena menganggap prinsip, norma, adat istiadatnya lebih baik daripada suku Batak Karo dan juga sebaliknya, sehingga sulit untuk menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman atau hubungan ke jenjang yang lebih serius, antarsuku tersebut atau sering disebut dengan etnosentrisme. Dalam penelitian ini, peneliti memusatkan perhatian pada dua suku, Batak Toba dan Batak Karo yang berada dibawah satu rumpun suku, yaitu suku Batak. Supaya lebih spesifik lagi, peneliti memilih lokasi untuk mengadakan penelitian kepada masyarakat Batak Toba yang ada di Desa Unjur, Kabupaten Samosir dan masyarakat Batak Karo yang ada di Desa Surbakti, Kabupaten Karo.

Desa Unjur merupakan desa yang secara geografis terdiri dari tanah dan bebatuan. Desa ini akan terlihat kering, gersang dan tandus ketika musim kemarau melanda. Sama seperti desa lainnya, Desa Unjur ini juga memiliki iklim penghujan dan kemarau di setiap tahunnya. Sumber penghasilan masyarakat di desa ini adalah dengan bertani. Hasil tani yang paling bisa diandalkan dari desa ini adalah jagung, bawang merah, beras, dan juga jenis sayuran tertentu. Desa Unjur adalah salah satu desa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir dengan penduduk yang didominasi oleh masyarakat sub suku Batak Toba. Penduduk sebanyak 161 Kepala Keluarga (KK), hanya ada 1 KK yang berasal dari suku Batak Angkola Mandailing dan hanya 1 KK yang beragama Islam, selebihnya beragama Kristen. Jadi memang benar-benar desa yang asli didiami oleh Suku Batak Toba. Desa inilah yang diamati peneliti mengalami fenomena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Kemudian, peneliti mencoba bertanya kepada beberapa orang tua yang tinggal di Desa Unjur dan memang masih banyak orang tua yang melarang anak-anaknya menjalin hubungan lebih dari sekedar teman dengan seseorang yang berasal dari suku lain, terutama sub suku Batak Karo.


(22)

Sementara Desa Surbakti adalah salah satu desa yang mempunyai penduduk yang cukup banyak berasal dari suku Batak Toba. Desa ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Secara umum keadaan topografi desa Surbakti adalah daerah perbukitan atau dataran tinggi. Iklim di desa ini sama halnya dengan desa-desa lainnya di wilayah Indonesia, yaitu kemarau dan penghujan, hal ini berhubungan dengan mata pencaharian yang mendominasi desa tersebut, yakni bertani. Udara yang sejuk dan pemandangan yang sangat indah adalah salah satu daya tarik dari desa ini. Penduduk dominan adalah suku Batak Karo, dengan jumlah penduduk sebanyak 632 KK. Desa ini sudah dipengaruhi oleh era modern, karena memang letaknya yang dekat dengan Kota Berastagi dan Kota Medan. Namun, ketika peneliti melakukan survey sementara dan bertanya kepada beberapa orangtua di desa Surbakti, tidak jarang peneliti menemukan orang tua yang mengatakan kalau mereka juga berpesan kepada anak-anaknya untuk tidak pacaran dengan suku Batak Toba, walaupun pada akhirnya beberapa dari anak-anak mereka menikah dengan suku Batak Toba. Inilah yang membuat peneliti merasa tertarik untuk meneliti apa sebenarnya persepsi orang tua dari sub suku Batak Toba terhadap sub suku Batak Karo, dalam nilai-nilai perkawinan kedua suku tersebut, namun bukan berarti hanya dari sudut adat pernikahan, tetapi juga mencakup nilai, norma, sistem kepercayaan, kebiasaan, cara pandang (pandangan hidup), sikap, stereotip, prasangka dan hal lain yang membedakannya.

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode studi kasus, agar tidak membatasi pemikiran, pendapat, dan sanggahan dari masyarakat yang ingin diteliti, sehingga peneliti bisa bertanya lebih jauh dan lebih dalam tentang kasus tersebut. Peneliti menggunakan tehnik pengumpulan data purpossive sampling, dengan kriteria yaitu orang tua yang sudah mempunyai anak 17 tahun ke atas. Kriteria inilah yang dibuat oleh peneliti, karena memang dalam konteks usia anak menuju remaja seperti itulah orangtua akan lebih berhati-hati dalam menghadapi fase perkembangan psikologis anak, dimana usia 17 tahun ke atas itu merupakan umur yang rentan dalam hal biologis (seks) dan merupakan salah satu syarat


(23)

diakui sebagai pribadi yang sudah diterima, serta mempunyai tanggung jawab sosial dalam lingkungan bermasyarakat.

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan uraian konteks masalah di atas, maka peneliti merumuskan bahwa fokus masalah yang akan diteliti adalah

“Bagaimana masyarakat suku Batak Toba di Desa Unjur dan masyarakat suku Batak Karo di Desa Surbakti dalam mempersepsi nilai-nilai perkawinan antarsuku tersebut?”

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui persepsi dalam Komunikasi Antarbudaya suku Batak Toba terhadap suku Batak Karo dan sebaliknya, suku Batak Karo terhadap Batak Toba.

2. Untuk mengetahui pergeseran nilai-nilai dari masing-masing kebudayaan dalam memahami arti perkawinan antarsuku tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Manfaat Akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi akademis dalam Ilmu Komunikasi, khususnya mengenai Komunikasi Antarbudaya.

2. Manfaat Teoritis, untuk menguji pengalaman teoritis peneliti selama mengikuti perkuliahan di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, serta menambah pengetahuan dan wawasan peneliti maupun mahasiswa lain yang membacanya, khususnya Departemen Ilmu Komunikasi.

3. Manfaat Praktis, Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dalam memahami persepsi dalam Komunikasi antarbudaya.


(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian

2.1.1 Perspektif Interpretivisme

Interpretivisme merupakan perspektif teori dalam konstruktivisme. Perspektif ini adalah salah satu bagian dari paradigma yang menolak keberadaan paradigma positivistik. Interpretivisme ini berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada pengalaman orang yang diteliti (Newman, 1997:68). Metodologi seperti ini disebut fenomenologi, yaitu berbagai bentuk objek simbolis yang dihasilkan dari tindakan sosial manusia: percakapan, ungkapan, pikiran, pendapat, persepsi, perasaan dan keinginan. Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan hanya sekedar hubungan sebab akibat yang memang sudah pasti, pemahaman makna ini barang tentu tidak dapat diukur semata secara kuantitatif melainkan kualitatif (Vardiansyah, 2008:60).

Fenomena sosial adalah bangunan menyeluruh, yang tidak dapat dipilah-pilah, serta bermakna: bersifat kontekstual, konfliktual dan dialektis. Karena itu fenomena sosial adalah berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik, tergantung konteks situasional dan manusia pelakunya, maka dari itu hasil penelitian dengan paradigma atau perspektif interpretivisme ini tidak boleh digeneralisasikan sebagaiman yang dilakukan positivisme, subjek dan objek penelitian merupakan kesatuan interaksi, karenanya menuntut keterlibatan langsung peneliti di lapangan serta menghayati berprosesnya subjek pendukung penelitian. Interpretivisme ini menuntut pendekatan holistik dan menyeluruh: mengamati objek dalam konteks keseluruhan, tidak diparsialkan, tidak dieliminasi dalam variabel-variabel guna mendapatkan pemahaman lengkap apa adanya, karena objek bukan mekanik tetapi humanistis, penelitian tidak bebas nilai, karena memang tidak ada aspek sosial yang benar-benar bebas nilai (Subjektif).


(25)

2.2 Uraian Teoritis

2.2.1 Komunikasi Antarbudaya

2.2.1.1Pengertian Komunikasi Antarbudaya

Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, minum, tindakan sosial, ekonomi dan politik juga dilakukan berdasarkan pola kebudayaan yang kita dianut oleh masing-asing individu. Hal ini menunjukkan bahwa semua tindakan komunikasi kita sesuai dengan konsep budaya yang mendarah daging dalam tubuh kita. Dengan demikian budaya tidak bisa dipisahkan dari komunikasi, karena budaya itu sendiri tidak hanya mencakup siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana komunikasi tersebut berlangsung, akan tetapi budaya juga turut menentukan bagaimana seseorang menyandi pesan, menyampaikan pesan, serta bagaimana konteks dan situasi dalam proses pengiriman pesan, dan proses penafsiran akan pesan tersebut sampai pada akhirnya menemukan makna dibalik pesan. Jadi komunikasi antarbudaya adalah proses komunikasi yang terjadi diantara dua orang atau lebih, dengan latar belakang budaya yang berbeda. Inilah yang menjadi ciri khas dari komunikasi antarbudaya.

Komunikasi Antarbudaya selalu mempunyai tujuan tertentu yakni menciptakan komunikasi yang efektif melalui pemaknaan yang sama melalui pesan yang dipertukarkan. Dengan demikian, untuk mencapai komunikasi yang efektif itu, individu-individu yang saling berkomunikasi itu haruslah mempunyai makna yang sama terhadap pesan yang disampaikan dan diterima. Secara umum tujuan komunikasi antarbudaya antara lain menyatakan identitas sosial dan menjembatani perbedaan antarbudaya melalui perolehan informasi baru, mempelajari sesuatu yang baru yang tidak pernah ada dalam kebudayaan. Intensifitas kita dalam Komunikasi antarbudaya mampu mengubah persepsi dan sikap kita terhadap lawan bicara kita (Liliweri, 2004:254).

Komunikasi antarbudaya memiliki perbedaan dari bentuk komunikasi lainnya. Perbedaan tersebut terletak pada latar belakang pengalaman yang relatif


(26)

besar diantara para komunikatornya yang disebabkan oleh perbedaan kebudayaan. Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda budaya, maka akan berbeda pula perilaku komunikasi dan makna yang dimilikinya. Ada syarat-syarat pokok yang diperlukan individu untuk berkomunikasi secara efektif antar budaya. Syarat-syarat itu adalah : 1. Menghormati anggota budaya lain sebagai budaya, 2. Menghormati budaya lain apa adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki, 3. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak (Mulyana, 2005:6-7).

Sebagaimana kita ketahui bahwa budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Budaya bertanggung jawab atas perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Namun yang sering menjadi masalah adalah ketika makna yang disandi oleh seseorang dengan budayanya berbeda dengan penyandian balik oleh lawan bicaranya. Cara menilai budaya lain dengan nilai-nilai budaya sendiri dan menolak mempertimbangkan norma-norma budaya lain akan menentukan keefektifan komunikasi yang akan terjadi. Disatu pihak ada orang-orang yang sekaligus mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang lain, dipihak lain ada juga orang-orang yang tidak mengetahui dan menerima, sehingga kemungkinannya tinggi sekali untuk mengalami kegagalan komunikasi.

2.2.1.2 Asumsi-Asumsi Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi Antarbudaya merupakan salah satu kajian dalam ilmu komunikasi, karena memang komunikasi antarbudaya itu memindahkan fokus dari kebudayaan yang satu pada kebudayaan yang dibandingkan, menghubungkan kebudayaan dengan komunikasi, serta membawa kita untuk memperhatikan bahwa kebudayaan yang mendarah daging dalam diri setiap individu mampu mengubah perilaku individu tersebut. hal ini jelas didukung oleh adanya “asumsi-asumsi” teoritik. Asumsi tidak terlepas dari teori, dimana teori itu sendiri diartikan sebagai alat keilmuan yang bertujuan untuk menerangkan hubungan antara berbagai aktivitas manusia yang diamati.


(27)

Ketika sebuah teori komunikasi bisa diterapkan dalam sebuah kehidupan sehari-hari, hal inilah yang disebut dengan asumsi, dan dengan adanya asumsi ini orang-orang akan mampu memberikan batas-batas bagi penerapan sebuah teori. Jdi, asumsi teori komunikasi antarbudaya berarti seperangkat pernyataan yang menggambarkan sebuah lingkungan yang valid, tempat dimana sebuah teori komunikasi antarbudaya dapat diterapkan atau diaplikasikan. Berikut ada beberapa asumsi teori komunikasi antarbudaya, yaitu:

1. Komunikasi Antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan

2. Dalam komunikasi antarbudya terkandung isi dan relasi antarpribadi 3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi

4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian 5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan

6. Efektifitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya

2.2.2 Persepsi

Manusia diberi kemampuan oleh Tuhan untuk mempersepsikan apa yang dia lihat dan dia rasakan dari pengalaman dilingkungan tempat dia hidup. Persepsi-persepsi tersebut berasal dari kebudayaan yang mengajarkan kepada individu untuk mencipta, merasa, dan mengkarsa. Jadi kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang turut menentukan persepsi manusia. Berbeda kebudayaan, maka berbeda pula persepsi yang dimiliki oleh masing-masing individu tersebut. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan. Komunikasi antarbudaya akan lebih dapat dipahami sebagai perbedaan budaya dalam mempersepsi objek-objek sosial dan kejadian-kejadian.

Perbedaan kerangka berpikir dan pengalaman seseorang (Frame of reference dan Field of experience) menyebabkan perbedaan model komunikasi yang dihasilkan. Dan jika dilihat ke belakang, sebenarnya perbedaan tersebut merupakan hasil dari budaya setiap orang yang berbeda. Model komunikasi yang berbeda menyebabkan perbedaan dalam pemaknaan sesuatu. Dan salah satu


(28)

kendala dalam memahami komunikasi antarbudaya adalah masalah bahasa dan persepsi masing-masing pihak yang berkomunikasi. Tidak hanya itu, faktor pendukung seperti kebiasaan-kebiasaan, aturan-aturan, sikap pola perilaku, yang semua tercakup dalam perbedaan budaya juga menjadi kendala dalam berkomunikasi antar budaya.

Komunikasi antara dua orang atau lebih juga akan dipengaruhi oleh iklim komunikasi, antara komunikator dengan komunikan adalah berbeda. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam perbedaan latar belakang kebudayaan dan juga iklim komuniaksi diantara individu, umumnya mengimplikasikan bahwa hambatan komunikasi antarbudaya acapkali tampil dalam bentuk perbedaan persepsi terhadap nilai-nilai budaya, norma budaya, pola berpikir dan sistem budaya (Liliweri, 2004:15). Bahkan masalah-masalah yang kecil dalam komunikasi pun sering sekali diperumit oleh perbedaan-perbedaan persepsi ini, jadi mau atau tidak, kita harus paham apa kerangka persepsi dari lawan bicara kita. Belajar bagaimana mempersepsi dunia. Karena dalam komunikasi antarbudaya yang efektif dan ideal itu, yang diharapkan adalah adanya persamaan dalam pengalaman dan persepsi. Namun yang menjadi masalah adalah ketika kita dihadapkan dengan budaya, maka jarang kita menemukan yang namanya persamaan dalam pengalaman dan persepsi.

Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari luar atau lingkungan eksternal kita (Lubis, 2012). Dengan kata lain persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Secara umum bisa kita lihat bahwa bagaimana orang berperilaku itu adalah hasil dari bagaimana persepsinya terhadap dunia. Inilah yang disebut dengan pengalaman budaya mereka. Kita cenderung memperhatikan, memikirkan dan memberikan respon kepada unsur-unsur lingkungan kita yang penting bagi kita. Misalnya, ketika anak-anak dari penduduk Amerika serikat digabung dengan anak-anak dari penduduk Meksiko, dan dihadapan mereka ada dua jenis pertandingan yang berlangsung, baseball dan adu banteng, secara keseluruhan anak-anak melaporkan bahwa mereka melihat pemaandangan yang


(29)

berhubungan dengan budaya mereka; Anak-anak Meksiko cenderung menyukai adu banteng dan anak-anak Amerika Serikat cenderung melihat pertandingan

baseball. Apa yang terjadi adalah bahwa anak-anak membuat pilihan berdasarkan latar belakang budaya mereka; mereka cenderung untuk melihat, menyenangi dan melaporkan apa yang biasa bagi mereka (Samovar,2010: 222).

Persepsi juga membicarakan bagaimana kita memberikan makna pada stimuli yang dikecap oleh alat indera kita. Kebudayaan juga sangat mempengaruhi persepsi, sebab apa yang dianggap sama oleh seorang individu, belum tentu dianggap sama oleh individu yang lain. Misalnya, pada masyarakat yang menitikberatkan kekayaan, akan membagi masyarakat dalam dua kelompok : orang kaya dan orang miskin. Sementara pada masyarakat yang mengutamakan pendidikan akan membagi masyarakat dalam dua golongan yaitu : kelompok terdidik dan tidak terdidik. Pengelompokan budaya erat kaitannya dengan label ; dan yang kita beri label yang sama cenderung untuk kita persepsi sama. Agama, Ideologi, intelektualitas,tingkat ekonomi, pekerjaan dan citra rasa sebagai faktor-faktor internal akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap realitas yang ada (Rakhmat, 2007:61).

Dengan demikian, persepsi itu terikat oleh budaya dan bersifat subjektif. Semakin besar perbedaan kebudayaan seseorang dengan orang lain, maka akan semakin besar perbedaan persepsi diantara mereka terhadap suatu realitas (Liliweri,2001: 15). Oleh sebab itu, sangat jarang kita temui dua orang yang mempunyai persepsi yang persis sama, karena memang persepsi itu terikat pada budaya yang mendarah daging dalam diri masing-masing. Ada unsur-unsur yang mempunyai pengaruh besar dan langsung atas makna-makna yang dibangun dalam persepsi seseorang yang dibentuk terhadap orang lain ketika berkomunikasi. Unsur-unsur tersebut terdiri atas system kepercayaan (belief), nilai (value), sikap (attitude), pandangan dunia (world view), dan organisasi sosial (social organization). Unsur-unsur tersebut mempengaruhi persepsi manusia dan makna yang dibangun dalam persepsi tersebut. (Liliweri, 2001:160).


(30)

2.2.2.1Sistem Lambang

Hampir semua pernyataan manusia baik yang ditujukan pada diri sendiri atau pun yang ditujukan pada orang lain dinyatakan dengan lambang atau simbol. Hubungan antara pihak yang ikut serta didalam suatu proses komunikasi banyak ditentukan oleh lambang-lambang yang digunakan dalam berkomunikasi. Lambang atau simbol adalah hasil kreasi manusia dan sekaligus menunjukkan tingginya kualitas budaya manusia dalam berkomunikasi dengan sesamanya. Diantara semua bentuk simbol, bahasa merupakan simbol yang paling rumit, halus dan berkembang. Lambang ini bukan hanya tergambar dalam bentuk verbal saja, yang menggunakan kata-kata (bahasa lisan atau tertulis), tetapi juga sangatlah penting untuk meyakinkan lambang verbal dengan lambang non verbal, seperti gerakan anggota tubuh, bunyi-bunyian, bau-bauan. Lambang membawa pernyataan dan diberi makna oleh penerima, karena itu memberi makna terhadap lambang yang dipakai dalam berkomunikasi bukanlah sesuatu hal yang mudah, melainkan suatu persoalan yang cukup rumit (Cangara, 2005:50). Proses pemberian makna terhadap suatu lambang yang diterima ini sangat dipengaruhi oleh faktor budaya dan juga psikologis, karena sebuah pesan yang disampaikan dengan lambang yang sama, bisa saja berbeda arti bilamana individu yang menerima pesan itu berbeda dalam kerangka berpikir dan kerangka pengalaman.

“Meskipun kita hidup dalam satu bahasa yang sama (Inggris), tetapi kita banyak berbeda dalam kerangka budaya (McNamara, 1966).”

Bahasa menjadi media yang utama dalam budaya untuk menyampaikan maksud dan tujuan melalui interaksi di antara individu dalam melihat realitas sosial. Bagimana otak menanggapi stimuli yang diterima, kemudian masuk dalam tahap proses berpikir untuk memberikan sebuah makna atas stimuli, hingga pada akhirnya mengekspresikan makna lewat pendapat, yang disebut dengan persepsi. Bahasa yang berbeda sebenarnya mempengaruhi pemakainya untuk berpikir, melihat lingkungan, dan alam semesta di sekitarnya dengan cara yang berbeda, dan karenanya berperilaku secara berbeda pula. Benjamin Lee Whorf (1956) menyatakan pandangannya bahwa (1) Tanpa bahasa kita tidak dapat berpikir; (2) Bahasa mempengaruhi persepsi; (3) Bahasa mempengaruhi pola berpikir


(31)

(Mulyana, 2007: 276). Sebenarnya bukan kata yang mempunyai makna, namun kitalah yang memberikan makna terhadap kata-kata itu, dan makna yang kita berikan pada satu kata bisa lebih dari satu atau dua makna, tergantung pada konteks ruang dan waktu. Kata-kata yang membangkitkan makna dalam pikiran orang. Jadi makna ada di kepala bukan pada lambang atau simbol. Contoh, orang Sunda menggunakan kata bujur yag berarti “pantat”, ternyata bagi orang Batak Karo itu artinya “Terimakasih”, dan “benar” bagi orang di Kalimantan Selatan. Bagaimana jika dua, tiga orang ini berkomunikasi, apa yang akan terjadi? Kemungkinan akan tergambar seperti ilustrasi di bawah ini:

Seorang cowok Batak dan cewek Sunda berada di sebuah angkutan kota. Si cowok berlagak sok akrab dengan cewek terseebut dan ia langsung membayar ongkos si cewek. “Biarin saya yang bayar, Neng.” Si cewek tidak bisa berbuat apa-apa. “Terima kasih, Mas” katanya. Si cowok pun menjawab, “Bujur kembali”. Tentu saja si cewek marah dan menamparkan uang ke wajah si cowok, sambil berucap, “Enak saja, nih uangmu!”

Menurut Gudykunst dan Kim (1984) untuk mencapai komunikasi yang efektif, maka komunikator harus mengetahui apa yang ingin dibicarakan, sehingga pesan yang ingin disampaikan jelas dan membuat komunikan bisa menerima dengan cermat. Pola berpikir seorang individu yang berasal dari budaya lain dituntut untuk bisa memahami sebagaimana budaya lawan bicaranya (Lubis, 2012). Dengan mengerti pola-pola dasar pengetahuan verbal dan non verbal dari suatu kebudayaan, kita dapat mengetahui sikap-sikap dasar dari kebudayaan tersebut. Misalnya dengan memperhatikan cara pemberian salam dari pihak keluarga laki-laki dalam acara pernikahan adat Batak Toba, terhadap keluarga perempuan, kita dapat melihat dan mempelajari sedikit tentang sikap orang batak yang sangat menghormati pihak pemberi isteri. Dengan demikian, kita juga bisa melihat bagaimana sistem nilai suatu budaya.

2.2.2.2Pandangan Dunia (World View)

Pandangan dunia berkaitan dengan orientasi suatu budaya terhadap hal-hal seperti Tuhan, kemanusiaan, alam semesta, juga masalah filosofis lainnya. Pandangan dunia ini membantu kita untuk mengetahui posisi dan tingkatan kita dalam alam semesta. Oleh karena pandangan dunia begitu kompleks, kita sulit


(32)

melihatnya dalam interaksi antarbudaya. Misalnya, jelas berbeda bagaimana pandangan seorang kristiani dengan muslim, dengan khatolik, juga dengan seorang atheis. Pandangan dunia sangat mempengaruhi budaya. Efeknya sering sekali dalam hal-hal yang tampak nyata dan remeh seperti pakaian, isyarat dan perbendaharaan kata. Pandangan dunia mempengaruhi kepercayaan, nilai, sikap, penggunaan waktu dan banyak aspek budaya lainnya, sehingga pandangan dunia ini pun akhirnya mempengaruhi komunikasi antarbudaya, oleh karena sebagai anggota suatu budaya setiap pelaku komunikasi mempunyai pandangan dunia yang tertanam dalam pada jiwa yang sepenuhnya dianggap benar dan ia otomatis menganggap bahwa pihak lain juga memandang dunia sama seperti pandangannnya.

a. Sistem Kepercayaan

Pada dasarnya, manusia yang memiliki naluri untuk menghambakan diri kepada yang Maha Kuasa, yaitu dimensi lain di luar dirinya dan lingkungannya, yang dianggap mampu mengendalikan hidup manusia. Dorongan ini sebagai akibat atau refleksi ketidakmampuan manusia dalam menghadapi tantangan-tantangan hidup, dan hanya Yang Maha Kuasa saja yang mampu memberikan kekuatan dalam mencari jalan keluar dari permasalahan hidup dan kehidupan. Dalam komunikasi antarbudaya, tidak ada hal yang benar dan hal yang salah sejauh itu berkaitan dengan kepercayaan. Sistem kepercayaan ini merupakan produk manusia sebagai homo religius. Manusia yang memiliki kecerdasan pikiran dan perasaan luhur tanggap bahwa diatas kekuatan dirinya terdapat kekuatan lain yang maha besar. Karena itu manusia takut sehingga menyembahnya dan lahirlah kepercayaan yang sekarang menjadi agama. Fungsi sosial agama adalah memperkuat struktur sosial dan prinsip-prinsip moral, secara keseluruhan berfungsi untuk memperbaiki akhlak manusia. Agama menjelaskan apa yang seharusnya dan memadukannya dengan alam dan sekitar. Pada dasarnya peranan agama dalam etnis manapun merupakan unsur utama karena agama mengandung nilai-nilai universal yang berisikan pendidikan dan pembinaan dan pembentukan moral dalam keluarga. Misalnya seseorang percaya bahwa hembusan angin dapat mengarahkan perilakunya ke arah yang benar, maka kita


(33)

tidak boleh menyatakan itu sesuatu hal yang salah. Kita harus dapat mengenal dan menghadapi kepercayaan tersebut bila kita ingin menjalin komunikasi yang baik dengan orang tersebut.

b. Nilai

Menjelaskan apa itu suatu nilai bukanlah hal yang mudah. Setidak-tidaknya bisa kita katakan bahwa nilai itu bagi kita adalah sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu hal yang kita inginkan dan pastinya semua itu adalah sesuatu yang baik. Nilai selalu mempunyai konotasi positif. Sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila berguna dan berharga (nilai kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai moral) dan juga nilai religius. Tidak pernah ada komunitas masyarakat yang terbentuk dan berdiri tanpa adanya sistem nilai. Nilai dalam masyarakat tercakup dalam adat kebiasaan dan tradisi, yang secara tidak sadar diterima dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat. Dalam suatu komunitas masyarakat yang secara cepat mengalami perubahan, nilai menjadi bahan pertentangan. Nilai mempunyai tiga ciri, sebagai berikut: 1). Nilai berkaitan dengan subjek. Kalau tidak ada subjek yang menilai, maka tidak akan ada nilai. 2). Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, dimana subjek ingin membuat sesuatu. 3). Nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambah oleh subjek pada sifat-sifat yang dimiliki objek (Bertens, 2004: 139).

Tidak bisa dipungkiri bahwa nilai sering dikacaukan dengan keyakinan dan juga kepercayaan. Keyakinan itu berisi kepercayaan pada suatu argumentasi yang sungguh-sungguh dianggap benar. Keyakinan tidak butuh bukti empiris. Nilai-nilai adalah perasaan-perasaan tentang apa yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan, atau tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh. Dalam suatu komunitas mayarakat, setiap individu akan mengikuti nilai-nilai yang sudah ditanamkan oleh leluhurnya. Mereka akan menjunjung tinggi nilai itu sehingga menjadi salah satu faktor penentu untuk berperilaku. Dalam hal ini, seorang anggota dalam suatu komunitas masyarakat tertentu dan yang terdahulu, akan memberitahukan nilai apa yang berlaku dalam komunitas itu, memberitahukan apa yang boleh dilakukan dan hal yang tabu atau tidak boleh dilakukan.


(34)

Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa sistem nilai yang berlaku itu tidak tersebar secara sembarangan, tetapi menunjukkan serangkaian hubungan yang bersifat timbal balik, yang menjelaskan adanya tata tertib dalam suatu komunitas masyarakat. Jadi, nilai-nilai itu tidak bersifat universal karena kecenderungannya berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya. Misalnya, dalam komunitas masyarakat suku Batak Karo, ada satu nilai yang dipegang kuat, yaitu menantu perempuan tidak boleh mengajak berbicara mertuanya laki-laki. Ternyata nilai seperti ini tidak berlaku bagi masyarakat suku Batak Toba. Tidak ada batasan dalam masyarakat suku Batak Toba untuk bicara kepada mertua atau menantunya, namun yang pasti berbicaralah dengan sopan.

Wujud nilai lainnya yang berlaku bagi kedua suku ini adalah sistem kekerabatan yang sangat kuat, dalam bahasa Batak Toba dikatakan Dalihan Na Tolu, sementara dalam suku Batak Karo disebut Sangkep Sitelu, Artinya, ada tiga golongan kedudukan yang sama dan sederajat di dalam sub suku Batak, ketiga golongan inilah yang melahirkan istilah-istilah kekerabatan dalam masyarakat batak yang harus diutamakan dan dihormati. Golongan pertama yaitu Menghormati dan sujud pada pihak pemberi isteri dalam suatu perkawinan, “Somba marhula-hula” (Batak Toba), “Kalimbubu” (Batak Karo), golongan kedua adalah tetap berhati-hati dan menjaga persaudaraan yang baik dengan Saudara/i kandung kita, “manat mardongan tubu”(Batak Toba), “Senina” (Batak Karo), golongan ketiga adalah menghormati serta bisa mengambil hati dari kelompok anak perempuan dan suaminya juga anak-anaknya, serta orangtua dari suaminya (bagi anak perempuan yang telah menikah), disebut “Elek marboru” (Batak Toba), Beru (Batak Karo). Dalam sub suku Batak Toba, ketiga golongan ditambah lagi dengan satu pelengkap, yaitu Sopan dan baik dalam persahabatan satu kampung. Istilah kekerabatan yang kita temukan di dalam sub suku Batak Karo juga jauh berbeda dengan sub suku Batak Toba, Simalungun, Angkola-Mandailing dan Pakpak Dairi. Demikianlah sedikit perbedaan yang bisa dijelaskan penulis, dari sekian banyak perbedaan yang ada diantara kedua sub suku Batak tersebut. Sehingga terbersit dalam pikiran penulis, bagaimana menjalin hubungan lebih dari sekedar teman diantara kedua sub suku Batak


(35)

tersebut, Batak Toba dan Batak Karo, bagaimana dengan pemaknaan terhadap simbol, nilai budaya dan juga adat istiadat diantara keduanya.

Menurut Williams (1960), dalam sistem nilai tersebut, kadang-kadang terdapat berbagai konsepsi yang hidup di dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang dianggap bernilai dalam hidup. Nilai-nilai budaya adalah aspek penilaian daripada sistem kepercayaan, nilai dan sikap. Nilai-nilai tersebut pada dasarnya bersifat normatif, yang dapat menjadi rujukan kepada anggota budaya tentang perkara yang baik, buruk, benar, salah, positif, negatif dan sebagainya. Nilai-nilai budaya ini juga menekankan perilaku-perilaku yang penting dan yang harus dikesampingkan. Nilai budaya menjadi suatu pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia dalam suatu komunitas masyarakat. Nilai-nilai budaya adalah sesuatu aturan yang tersusun untuk membuat pilihan-pilihan dan mengurangkan konflik dalam masyarakat. Sistem nilai budaya itu demikian kuatnya meresap dan berakar dalam jiwa masyarakat, sehingga sulit diganti atau diubah dalam waktu yang singkat (Soelaeman, 2005).

c. Perilaku

Dengan adanya sistem nilai dan juga kepercayaan yang dipegang oleh setiap individu, maka berbeda juga perilaku yang dilahirkan. Sikap adalah suatu keadaan internal atau keadaan yang masih ada dalam diri manusia. Keadaan internal ini berupa keyakinan yang diperoleh dari sebuah proses belajar dari kebudayaan, proses akomodasi dan asimilasi pengetahuan yang mereka dapatkan, sebagaimana telah dikemukakan oleh Peaget’s tentang perkembangan kognitif manusia (Wadworth, 1971)

Keyakinan diri yang ada dalam diri individu inilah yang mempengaruhi respon pribadi terhadap obyek dan lingkungan sosialnya. Jika kita yakin bahwa mencuri adalah perbuatan tercela, maka ada kecenderungan dalam diri kita untuk menghindar dari perbuatan mencuri atau menghidar terhadap lingkungan pencuri. Jika seseorang meyakini bahwa dermawan itu baik, maka mereka merespon positif terhadap para dermawan, dan bahkan mungkin ia akan menjadi dermawan. Sekilas, di atas terlihat bahwa antara sikap dan perilaku ada kesamaan. Namun,


(36)

bukanlah demikian. Sikap dan perilaku jelas berbeda, perilaku adalah bagian dari kehidupan manusia yang menurut Wikipedia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau genetika. Sedangkan prilaku itu sendiri adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Para psikolog, di antaranya Morgan dan King, Howard dan Kendler, Krech, Crutchfield dan Ballachey, mengatakan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan hereditas. 09 Maret 2013

Secara hereditas, misalnya, mempengaruhi kecerdasan, kemampuan sensasi, dan emosi jiwa. Sistem ini juga mempengaruhi mekanisme biologis, tetapi juga psikologis. Sehingga beberapa tahun terakhir ini banyak juga manusia yang berusaha mengendalikan perilaku manusia melalui manipulasi genetis. Oleh karena itu sangatlah penting untuk kita ketahui pengaruh biologis terhadap perilaku yang terbentuk dalam diri seorang individu. Namun secara faktor lingkungan, perilaku yang terbentuk itu adalah proses belajar dari pendidikan yang didapat, nilai dan budaya masyarakat, politik, dan sebagainya. Bagaimana seorang anak berperilaku dan bagaimana ia memandang dunia adalaah tergantung bagaimana anak tersebut dididik dalam sebuah keluarga yang menanamkan sistem nilai, kepercayaan dan mewarisi kebudayaan yang akan melekat pada diri si anak. Dengan kata lain, perilaku itu timbul dari bagaimana pandangan dunia yang tertanam dalam pribadi si anak, yang sepenuhnya dianggap benar dan mengenggap bahwa pihak lain juga memandang cara yang sama seperti dirinya.


(37)

2.2.2.3Organisasi Sosial

Cara bagaimana suatu budaya mengorganisasikan dirinya dan lembaga-lembaganya juga mempengaruhi bagaimana anggota-anggota budaya itu mempersepsi dunia dan bagaimana mereka berkomunikasi. Ada dua organisasi sosial yang turut berperan dalam pembentukan individu, mengembangkan wawasan individu dan mewariskan budaya dalam diri individu, yaitu keluarga dan sekolah.

a). Keluarga

Keluarga adalah organisasi sosial terkecil dalam suatu budaya, namun memiliki pengaruh yang cukup besar. Dalam suatu lembaga sosial, keluarga ini merupakan salah satu institusi non formal yang paling berperan dalam mengembangkan seorang anak. Keluarga memberikan banyak pengaruh budaya kepada anak, bahkan sejak pembentukan sikap pertamanya. Keluarga juga yang membimbing anak dalam memilih kata-kata hingga komunikasi dengan dialeknya. Melalui keluarga, individu belajar mengenal kebudayaannya dan menilai kebudayaannya paling baik dibandingkan dengan kebudayaan etnis lain.

Menurut Galvin dan Bromel (1991), keluarga adalah institusi dasar dan tertua dibandingkan yang lainnya. Keluargalah yang menjadi dasar dari segala sesuatunya, dimana anak dilahirkan, dibesarkan dan juga dididik sebaik mungkin, diwarisi nilai-nilai dan juga budaya yang berlaku, hingga akhirnya individu itu paham dan dewasa, membentuk keluarga sendiri, yang pada akhirnya akan mewarisi hal yang sama pada anak-anaknya (Lubis, 2012). Hal-hal seperti disebutkan diatas sering disebut dengan fungsi keluarga sebagai lembaga sosialisasi. Dimana dalam keluarga, anak diajak dan diberitahu bagaimana harus hidup bersama dengan orang lain, diajak dan diberitahu bagaimana anak harus hadir dalam kehidupan yang luas di kalangan masyarakat. Dalam keluarga, kita diajari bagaimana menyapa orang lain dengan sebutan ibu guru, bapak guru, dan

lain-lain.

diakses tanggal 2013-03-12.

Dari keluargalah kita belajar mengenal ada sopan santun yang harus dipakai di tengah-tengah kehidupan bersama. Dengan demikian, anak yang lahir


(38)

dari sebuah keluarga mengetahui bagaimana berinteraksi dengan orang lain. Dalam interaksi, anak diajak mempelajari status dan peranan masing-masing anggota. Ayah, ibu, kakak dan adik, dan mereka mempunyai peranan yang berbeda. Dengan demikian, secara perlahan-lahan anak ditatapkan pada kehidupan nyata yang ada di masyarakat yang kompleks dengan status dan peranan. Namun, walau demikian, interaksi komunikasi antara keluarga yang satu dengan keluarga lainnya juga bisa terhambat, apalagi dengan keluarga yang berbeda latar belakang budaya, karena memang setiap keluarga mempunyai persepsi masing-masing yang tentunya berbeda antara satu dengan lainnya dalam menanamkan pandangan, nilai-nilai yang pada akhirnya terwujud dalam bentuk perilaku (Lubis, 2012:78). Proses belajar dalam kehidupan keluarga akan sangat mempengaruhi pandangan atau perspektif seorang individu pada dunianya sendiri dan dunia lain.

b). Sekolah

Sekolah adalah organisasi sosial lainnya yang juga berpengaruh. Sekolah diberikan tanggung jawab besar dalam mewariskan dan memelihara suatu budaya. Banyak hal yang diajarkan di sekolah, namun apapun yang diajarkan di sekolah, pelajaran itu ditentukan oleh budaya tempat sekolah itu berada. Menurut Webster (1991), sekolah merupakan tempat atau institusi/lembaga yang secara khusus didirikan untuk menyelenggarakan proses belajar-mengajar atau pendidikan. Sebagai institusi, sekolah merupakan tempat untuk engajar murid-murid, tempat untuk melatih murid, memberikan instruksi tentang keterampilan dan keilmuan di lapangan. Berdasarkan pendapat itu, maka sekolah terdiri dari dua bagian, yaitu secara fisik yaitu bangunan-bangunannya, dan secara non fisik terdiri dari sistem-sistem hubungan diantara mereka yang bertugas untuk mengaajar dan yang diajar. Kedua bagian tersebut saling berkaitan satu dengan yang lainnya, misalnya seorang tenaga pengajar akan berhasil mensosialisasikan nilai-nilai dengan sempurna apabila didukung dengan adanya fasilitas yang mamadai (Lubis, 2012).

Dengan demikian berarti sekolah yang merupakan lembaga formal tidak kalah pentingnya dengan lembaga non formal keluarga. Sekolah itu memelihara kebudayaan dengan menceritakan atau meregenerasikan kepada murid atau siswa apa yang telah terjadi (sejarah), memberikan fakta-fakta, menanamkan nilai-nilai


(39)

dan sikap dari kebiasaan-kebiasaan yang baik yang dapat diterima dalam kebudayaan. Jadi, sekolah merupakan salah satu agen sosialisasi norma dan nilai, sekolah merupakan tempat lembaga (institusi) pendidikan yang menyelenggarakan seluruh kegiatannya baik praktis maupun substantif.

Terkait dengan fungsi sekolah sebagai salah satu agen sosialisasi nilai dan norma, maka masyarakat akan menghadapi dua msalah, yaitu: (1) keadaan sosial budaya yang turut mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan, sebagimana kita ketahui bahwa masyarakat indonesia adalah masyarakat yang majemuk yang terlihat dari keanekaragaman suku, agama, golongan dalam masyarakat. Hal ini tentunya turut mewarnai pola-pola kontak, interaksi, relasi dan komunikasi intrabudaya maupun antarbudaya sehingga orang indonesia lebih menyukai hubungan-hubungan “kekeluargaan, kekerabatan dan kesukuan”. Sekolah umum yang menampung anak didik dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda sering sekali mengahadapi konflik antar etnik, yaang berujung pada komunikasi non efektif. Hal ini terbkti dari pendirian lembaga atau sekolah yang berkaitan erat dengan kepentingan suatu kelompok etnik tertentu, satu suku, satu agama, satu ras, dan sama golongan. (2) Keadaan di bidang pendidikan. Semakin hari semakin banyak lemabaga yang beridiri untuk memajukan anak didik dari segi keterampilan dan bakat, seperti SMK, STM dan lainnya.

Ada tiga nilai yang disosialisasikan dalam lembaga pendidikan atau sekolah, yaitu (1) profesionalisme, dimana seorang individu itu dibina untuk menguasai seccara tuntas bidang keahliannya, yang disertai dengan komitmen dan dorongan untuk mencapai prestasi setinggi-tingginya, (2) toleransi terhadap keanekaragaman, yaitu menghargai adanya perbedaan pendapat. Kurikulum sekolah dapat memasukkan pelajaran muatan materi antar etnik, apakah itu mengenal kebudayaan suku bangsa lain. Materi antaretnik berwawasan, kognisi; misalnya materi yang membuka wawasan anak didik untuk mengetahui, memahami dan menguraikan komponen kebudayaannya sendiri dengan kebudayaan lain dalam masyarakat, (3) keterbukaan, yaitu kesediaan dan kesiapan untuk menerima informasi, gagasan dan nilai-nilai baru yang konstruktif tanpa memaksakan dari mana asal gagasan dan nilai tersebut. dengan demikian kita


(40)

akan terhindar dari wawasan yang sempit (Liliweri, 2001:211). Sekolah mengutamakan peningkatan dan pengembangan kemampuan anak didik untuk mampu memandang dunia dari berbagai perspektif. Jadi, anak didik diharuskan untuk mengetahui dan menghargai hakikat nilai, struktur, sistem, fungsi, ajaran dogma sesuai kepercayaan antarbudaya. Selain sekolah, peranan organisasi kemasyarakatan seperti serikat tolong menolong, arisan dan perkumulan sosial lainnya juga mempengaruhi individu dalam mempersepsi sesuatu. Disini jugalah individu mencoba untuk saling belajar dan memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat pada masing-masing budayanya.

2.2.3 Hambatan dalam Komunikasi Antarbudaya

Dalam kenyataannya, manusia tidak dikatakan berinteraksi apabila tidak terjadi komunikasi. Setiap komunikasi yang terjadi pasti memiliki tujuan yaitu mencapai pemahaman yang sama diantara komunikator dan komunikan. Sama halnya dengan komunikasi antarbudaya yang mempunyai tujuan yakni mencapai komunikasi yang efektif dengan adanya penafsiran serta pemahaman yang sama terhadap suatu rangsangan atau stimuli. Tujuan komunikasi antarbudaya ini akan tercapai apabila bentuk-bentuk hubungan antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk memperbaharui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan dan memperbaharui manajemen komunikasi yang efektif, adanya semangat kesetiakawanan, persahabatan, hingga kepada mengurangi konflik.

Efektifitas komunikasi antarbudaya tergantung pada situasi dan hubungan sosial antara komunikator dengan komunikan yang berbeda latar belakang kebudayaan, terutama dalam luasnya lingkup pengalaman diantara mereka. Pengertian bersama terhadap suatu rangsangan yang muncul adalah hal yang sangat penting sekali, bahkan menentukan dalam proses komunikasi. Menurut William Howell (1982) dalam buku Lubis (2012), setiap individu mempunyai tingkat kesadaran dan kemampuan yang berbeda dalam menjalin komunikasi antarbudaya. Tingkat kesadaran dan kemampuan itu dibagi kedalam empat kemungkinan, seperti tabel dibawah ini:


(41)

Tabel 2.1

Hubungan antara kesadaran dan kemampuan Berkomunikasi Antarbudaya

SADAR bahwa TIDAK MAMPU

SADAR bahwa MAMPU TIDAK SADAR bahwa

TIDAK MAMPU

TIDAK SADAR bahwa MAMPU

Sumber: Lubis (2012)

1. Seseorang sadar bahwa dia tidak mampu memahami budaya orang lain. Kesadaran ini dapat mendorong orang untuk melakukan eksperimen bagi komunikasi antarbudaya yang efektif. Dengan adanya kesadaran maka seseorang akan mencari tahu bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan orang lain di luar buadyanya sendiri.

2. Dia sadar bahwa dia mampu memahami budaya orang lain. Kesadaran akan kemampuan itu dapat mendorong untuk memahami, melaksanakan, memelihara dan mengatasi komunikasi antarbudaya. Komunikasi efektif akan tercapai dengan adanya kesadaran kemampuan memahami budaya orang lain, sehingga akan sangat sedikit peluang untuk hambatan komunikasi antarbudaya seperti stereotip, persepsi, etnosentrisme, dan diskriminasi.

3. Dia tidak sadar bahwa dia mampu memahami budaya orang lain. Dia sebenarnya mempu berbuat untuk memahami orang lain, dan kemungkinan orang lain menyadari kemampuannya itu. Sikap seperti ini juga tidak baik, karena dalam kondisi tertentu akan membuat dia untuk lebih menarik diri dari suatu pergaulan, karena adanya rasa tidak percaya diri dalam hatinya, yang disebabkan oleh ketidaksadarannya terhadap kemampuan yang dimiliki.

4. Dia tidak sadar bahwa dia tidak mampu menghadapi perbedaan antarbudaya. Seseorang sama sekali tidak menyadari bahwa sebenarnya dia tidak mampu mengahadapi perilaku budaya orang lain. Pribadi seperti ini sering menjadi masalah dalam komunikasi antarbudaya, dimana


(42)

komunikasi efektif tidak terjalin, namun dia selalu ingin menjalin hubungan komunikasi antarbudaya tersebut.

Setiap manusia pasti ingin menjalin sebuah komunikasi yang efektif, supaya apa yang disampaikan bisa dimengerti orang lain dengan baik. Demikian juga halnya dalam hubungan komunikasi antarbudaya. Namun, ada beberapa hal yang menjadi penghambat bagi kita untuk mencapai sebuah komunikasi efektif, seperti prasangka sosial, stereotip, diskriminasi dan juga etnosentrisme yang tinggi. Hal ini jelas akan menghambat, karena semua faktor tersebut memandang pada self-centre, yang membuat seseorang memaksakan apa yang dipikirkan pada orang lain.

2.2.3.1Prasangka Sosial

Prasangka Sosial merupakan satu bentuk sikap yang secara psikologis menjadi sangat penting dalam hubungan interaksi dalam masyarakat. Interaksi Sosial dalam komunitas masyarakat akan sangat rentan bagi munculnya prasangka sosial, yang dapat mengarah pada perilaku-perilaku yang merusak keharmonisan hubungan antarkelompok dalam masyarakat. Istilah prasangka sering digunakan untuk menggambarkan kecenderungan untuk menganggap hal lain dengan cara negatif. Menurut Effendy (1981), prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan berat bagi suatu kegiatan komunikasi oleh karena orang-orang yang mempunyai prasangka, belum apa-apa sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang sedang menyampaikan pesan (Liliweri, 2001: 175). Prasangka sosial merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan, yang berlainan dengan golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka hanya hasil dari ketidakmampuan individu untuk menyadari keterbatasan dalam berpikir etnosentris dan stereotip-nya. Johnson (1986) dalam Liliweri (2001), menyatakan bahwa prasangka disebabkan karena: (1) gambaran perbedaan antara kelompok; (2) nilai yang dimiliki kelompok lain nampaknya sangat menguasai kelompok minoritas; (3) adanya stereotip; (4) karena perasaan superior pada kelompok sendiri atau adanya etnosentrisme.

Brislin dalam Lubis (2012), menyatakan bahwa prasangka itu mencakup hal-hal berikut: memandang kelompok lain lebih rendah, sifat memusuhi


(43)

kelompok lain, bersikap ramah pada kelompok lain, bersikap ramah pada kelompok lain dalam waktu tertentu, namun menjaga jarak pada saat lain. Sebenarnya hingga derajat tertentu, kita berprasangka terhadap suatu kelompok. Hal ini tidak bisa dipungkiri, kita tidak bisa tidak berprasangka. Dengan adanya prasangka, maka proses komunikasi sering menjadi korbannya, terganggu dan akhirnya menghambat komunikasi. Pada umumnya, orang-orang yang mempunyai prasangka yang sama akan lebih cocok dan senang ketika menjalin hubungan komunikasi daripada mereka yang tidak kenal, dengan perbedaan prasangka yang tinggi.

Prasangka merupakan suatu konsep yang sangat dekat dengan stereotip, akan tetapi tidaklah demikian. Prasangka memiliki dua komponen: komponen (berpikir) kognitif, dan komponen (perasaan) afektif. Stereotip menjadi dasar dari komponen kognitif dari prasangka. Komponen afektif terdiri dari satu perasaan pribadi terhadap kelompok orang lain. Perasaan ini mungkin termasuk kemarahan, penghinaan, kebencian, penghinaan, kasih sayang dan simpati. Disisi lain, stereotip ini bisa bersifat negatif bisa juga bersifat positif, beda halnya dengan prasangka yang memang cenderung bersifat negatif. Alport (1954) dalam Mulyana (2005), mendefinisikan bahwa prasangka etnik sebagai suatu antipati berdasarkan suatu generalisasi yang salah dan kaku. Prasangka mungkin dinyatakan atau dirasakan. Budaya dan kepribadian sangat mempengaruhi prasangka.

Prasangka sangat berkaitan dengan persepsi seseorang atau kelompok lain, dan sikap serta perilakunya terhadap mereka. Prasangka terhadap anggota suatu kelompok ternyata sangat merusak. Sebuah contoh mengenai prasangka sosial ialah attitude orang Jermanterhadap keturunan orang-orang Yahudi di Negaranya yang sudah lama terdapat di masyarakat masyarakat Jerman. Hal ini terjadi sejak abad ke-19 dan memuncak pada zaman Jerman-Hitler dengan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk meniadakan sama sekali golongan Yahudi disana. Satu contoh lagi seperti di Amerika Serikat, di sana terdapat prasangka social terhadap golongan Negro atau golongan kulit hitam terutama di Amerika bagian selatan. Dari prasangka social tersebut keduanya sama-sama melahirkan tindakan-tindakan


(44)

diskriminatif terhadap masing-masing pihak yang diprasangkai. Bahwasanya tindakan-tindakan diskriminatif yang berdasarkan prasangka social akan merugikan masyarakat Negara itu sendiri, akibatnya perkembangan potensi-potensi manusia masyarakat tersebut akan sangat diperhambat. Apabila kita berprasangka bahwa orang kulit hitam pemalas, orang Jepang itu militeristik, orang China itu mata duitan, wanita sebagai objek seks, politisi itu penipu, tanpa didukung dengan data yang memadai dan akurat, maka komunikasi kita akan sering macet karena berlandaskan persepsi kita yang keliru, yang pada akhirnya orang lain pun akan salah mempersepsi kita.

Sekarang ini telah diusahkan untuk mengubah dan menghilangkan prasangka-prasangka sosial yang picik dan yang menghambat perkembangan masyarakat dengan wajar. Usaha-usaha memerangi prasangka sosial antargolongan itu kiranya jelas harus dimulai dari : (1) didikan anak-anak dalam keluarga oleh orangtuanya dan di sekolah nantinya oleh gurunya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa organisasi non formal (keluarga) dan formal (sekolah) sangatlah berpengaruh pada pembentukan karakter seorang anak terlebih bagaimana dia nantinya memandang dunia sekitarnya; (2) Kemudian kita bisa menghindarkan anak dari pengajaran-pengajaran yang dapat menimbulkan prasangka-prasangka sosial, dan ajaran-ajaran yang sudah berprasangka sosial; (3) menjalin interaksi antargolongan yang cukup intensif (Gerungan, 1991).

2.2.3.2Stereotip

Sering sekali kita dengarkan kalau prasangka itu bergandengan dengan stereotip. Stereotip adalah gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang atau golongan lain yang bercorak negatif. Stereotip mengenai orang lain itu sudah tertanam dalam orang yang berprasangka sebelum ia mempunyai kesempatan untuk bergaul sewajarnya dengan orang yang dikenai prasangka itu. Stereotip ini memegang peranan yang sangat besar pada orang yang berprasangka dalam pergaulan sosialnya dengan orang yang dikenai prasangka. Misalnya, stereotip orang berkulit hitam yang tertanam dalam benak orang Amerika berkulit putih adalah bodoh, pemalas, kurang ajar dan tidak berkesusilaan. Stereotip ini jelas akan menentukan sikap orang Amerika berkulit


(45)

putih terhadap sifat dan watak orang kulit hitam, terlepas dari tingkat ekonomi, pendidikan dan kebudayaannya.

Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (1991), mendefenisikan stereotip sebagai kepercayaan yang kita anut mengenai kelompok-kelompok atau individu-individu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih dulu terbentuk (Mulyana, 2005). Misalnya, orang Batak Toba pekerja keras, agak kasar, jujur dan menjunjung tinggi nilai anak laki-laki dalam keturunan, orang Sunda suka kawin cerai, pelit dalam hal uang belanja, orang Batak Karo pemalas, jorok, pendendam, menyukai hal yang berbau mistis, dan masih banyak contoh stereotip lainnya. Ada beberapa faktor yang berperan dalam terbentuknya stereotip, yaitu: (1) sebagai manusia kita cenderung membagi dunia ini ke dalam dua kategori, yaitu kita dan mereka; (2) stereotip bersumber dari kecenderungan kita untuk melakukan kerja kognitif sesedikit mungkin, dalam berpikir mengenai orang lain. Kita seolah-olah sudah diberikan bayangan apa yang ada di depan kita, sebelum kita memasuki dunia itu, seperti yang diungkapkan oleh Lippman, bahwa kita tidak melihat dulu baru memberikan defenisi; kita mendefenisikan dahulu baru melihat; kita diberitahukan dahulu tentang dunia sebelum kita melihatnya; kita membayangkan banyak hal sebelum kita mengalaminya. Dan prakonsepsi itu mempengaruhi keseluruhan proses persepsi.

Sekalipun dikatakan bahwa stereotip itu bisa negatif bisa positif, namun pada umumnya stereotip itu bersifat negatif. Sebenarnya tidak salah ketika setiap suku dalam bangsa itu memiliki stereotip tersendiri, dan sangatlah baik ketika stereotip itu memang kita simpan dalam benak kita. Tetapi yang berbahaya itu adalah ketika kita mengaktifkan stereotip itu dalam menjalin hubungan dengan orang lain yang berasal dari luar golongan atau suku kita, dengan kata lain kita membentuk suatu hubungan komunikasi antarbudaya yang terhambat dikarenakan stereotip yang ada dalam benak kita terhadap orang yang kita ajak berbicara. Ada Empat alasan mengapa Stereotip menghambat komunikasi antarbudaya:

1. Sejenis penyaring, dimana suatu hal yang benar memiliki peluang yang sangat kecil untuk diungkapkan dan diketahui.


(1)

P : Pandangan terhadap sekolah atau pendidikan sebagai wadah sosialisasi nilai-nilai dan jendela dunia

I : Sesuai dengan nilai atau prinsip hidup orang kita Batak Toba dan juga yang bapak dan ibu pegang, yaitu Anakhonhi do hamoraon di au, maka harta bukan segalanya. Namun, yang paling utama adalah anak-anak yang sudah Tuhan percayakan dalam keluarga kami, itulah harta yang terbesar bagi kami, itulah kekayaan yang bapak dan ibu miliki. Tujuh anak bapak dan ibu, harus bisa minimal sarjana semua. Pendidikan, taraf hidup, dan keadaan mereka nantinya harus lebih tinggi dari bapak dan ibu sekarang. Rumah adat Batak Toba kan bermakna seperti itu, dengan ujung atap yang lebih tinggi di bagian belakang. Bapak dulu hanya sebatas Sarjana Muda, ibu disini hanya tamatan SPG, jadi prinsip itu yang terus kami pegang, mereka harus lebih tinggi lagi dari kami. Pendidikan anak harus lebih tinggi dari kami orangtuanya, walaupun menuntut ilmu itu nantinya menciptakan jarak yang sangat jauh antara anak dengan kami orang tua. Ini menjadi doa kami kepada Tuhan, agar Tuhan selalu menyertai anak-anak di setiap pendidikan yang ditempuh, agar tidak terpengaruh dengan kejahatan anak-anak muda zaman sekarang, sehingga motto atau nilai Anakhonhi do hamoraon di au ittu bisa terwujud. Kebanyakan orang kita Batak Toba ini adalah pejuang sejati untuk anak-anakya. Walaupun miskin dan tidak punya apa-apa, tetapi anak itu harus sekolah dan mencapai cita-citanya. Dengan mengecap pendidikan yang semakin baik, maka wawasan anak pasti semakin luas dan pengetahuan semakin tinggi, dengan sendirinya hal itu akan menanamkan nilai-nilai kepada anak, jadi bukan hanya dirumah mereka bisa mendapatkan pengajaran. Perilaku orang yang berpendidikan pasti jauh berebda dengan perilaku orang yang tak punya pendidikan.

P : Pandangan terhadap perkawinan beda agama

I : Jika anak kami berhubungan atau mungkin pacaran dengan seseorang yang berbeda agama, ibu jelas akan menentangnya. Tidak untuk yang beda agama! Makanya dari kecil kita sudah didik dan ajari itu anak supaya tidak sekali-sekali murtad. Begini sebenarnya nak, kami jelas jelas melarang anak kami untuk pacaran dengan seseorang yang berasal dari agama yang berbeda. Menurut kepercayaan yang bapak dan ibu yakini, bahwa anak-anak itu sudah dibaptis di dalam nama Yesus Kristus, Roh Tuhan ada padanya, bagaimana mungkin dia akan murtad lagi? Yah walaupun sebenarnya keselamatan yang kami yakini itu adalah urusan pribadi dengan Tuhan, maksud bapak ketika dia murtad pun, itu adalah pilihan hidupnya, jika mau binasa silahkan murtad, berarti keselamatan yang ada padanya itu perlu kita beri tanda tanya. Akan tetapi, sebisa mungkin kita


(2)

akan terus berdoa untuk anak-anak agar tidak murtad hanya karena cinta dan godaan dunia yang hanya sesaat. Bapak dan ibu disini juga kan tidak mau melihat begitu saja anak-anak kami berjalan menuju kebinasaan. Kita harus tetap arahkan, nasehati dan didik mereka. Kalau memang harus menikah dengan seseorang yang berbeda agama tersebut, yasudahlah jangan menyesali orang tua, itu adalah pilihannya.

P : Pandangan terhadap perkawinan campuran Batak Toba dengan Batak Karo

I : Pendapat bapak sih seperti tadi, tidak jauh beda dengan perbedaan agama, tetapi kalau memang harus itu dan sudah itu jodoh yang Tuhan tetapkan, ya tidak masalah. Yang penting kan dia dengan suaminya kelak, atau dia dengan calon isterinya, bukan kita lagi. Pastinya nasehat sudah kita berikan jauh sebelumnya, jauh sebelum anak mulai masuk dalam tahap tertarik dengan laki-laki. Bagi ibu juga itu adalah hal yang penting, karena tidak hanya menyangkut mereka berdua menurut ibu, itu sudah menyangkut dua keluarga yang sangat besar, karena sudah pasti masuk dalam acara adat nantinya kan jika menikah. Ibu sendiri adalah pribadi yang tidak setuju anak pacaran dengan orang Karo, ibu akan terus menasehati dan mengarahkan anak-anak untuk tidak pacaran dengan beda agama dan beda suku, terutama orang suku Batak Karo. Bahkan di rumah pun bapak dan ibu selalu mengingatkan supaya tidak pacaran dengan orang Batak Karo. Perkawinan campuran itu sangat susah untuk dijalankan nak, karena yang pertama, tidak ada kesesuaian adat istiadat dengan mereka orang Batak Karo, kemudian yang kedua itu adalah dari segi bahasa kita tidak mengerti apa yang mereka katakan, dan mereka juga demikian. Jadi, bagaimana komunikasi bisa nyambung? Bagaimana pesan bisa tersampaikan? Misalnya, sinamot manang tuhor ni boru (harga yang harus dibayar pihak laki-laki kepada pihak perempuan). Bagi orang Batak Karo, sinamot itu sangat murah, sementara Batak Toba sinamotnya harus besar. Kenapa? Karena memang orang Batak Toba itu adalah anak dan boru ni Raja. Makanya sebagai raja harus berwibawa ke dalam dan keluar, terutama dalam hal adat istiadat. Mungkin bagi mereka sesama itu tidak menjadi masalah, tetapi ketika keluar dari suku itu menjadi batu sandungan, karena sering menimbulkan masalah. Nilai yang lain yang tidak sesuai dari Batak Karo ke Batak Toba adalah adanya keharusan bagi tulang dari pihak laki-laki untuk membuat surat pernyataan setuju akan pernikahan berenya ke putri Batak Karo itu tadi, jika itu tidak ada, maka perkawinan akan segera ditunda. Itulah beberapa nilai adat istiadat yang berbeda.


(3)

P : Pandangan terhadap orang Batak Karo

I : Orang Batak Toba itu masih mau kata memaafkan, sementara kalau orang Batak Karo itu keras sekali, tidak mau memaafkan, sangat pendendam. Kemudian egoisme yang cukup tinggi, terus masih banyak mereka yang percaya kepada dunia gaib atau mistik, kalau hal lain sih mereka suka makan sirih, jadi terkesan jorok, tetapi memang kebanyakan mereka itu penjorok, jarang memperhatikan kebersihan di rumah, karena mereka itu fokus hanya ke ladang. P : Nilai-nilai budaya Batak Toba terkait perkawinan dan cara

pewarisan nilai kepada anak dalam keluarga

I : Pertama itu adalah Dalihan Na Tolu itu harus kita perjelas kepada anak, yaitu sebagai prinsip kehidupan dalam menjalankan budaya suku Batak, artinya ada tiga golongan kedudukan yang sama dan sederajat di dalam sub suku Batak, ketiga golongan inilah yang melahirkan istilah-istilah kekerabatan dalam masyarakat batak yang harus diutamakan dan dihormati. Golongan pertama yaitu Menghormati dan sujud pada pihak pemberi isteri dalam suatu perkawinan, disebut Somba marhula-hula, golongan kedua adalah tetap berhati-hati dan menjaga persaudaraan yang baik dengan Saudara/i kandung kita, disebut Manat mardongan tubu, golongan ketiga adalah menghormati serta bisa mengambil hati dari kelompok anak perempuan dan suaminya juga anak-anaknya, serta orangtua dari suaminya (bagi anak perempuan yang telah menikah), disebut Elek marboru. Dalam sub suku Batak Toba, ketiga golongan ditambah lagi dengan satu pelengkap, yaitu Sopan dan baik dalam persahabatan satu kampung. Dengan adanya silsilah orang Batak Toba, maka anak-anak saya itu tahu yang mana keluarganya, dan tahu bagaimana bertutur sapa dengan kerabat keluarga, dia juga bisa tahu kepada siapa dia bisa menikah. Kemudian nilai yang lain yang juga bapak ajarkan ke anak-anak bahwa orang Batak Toba itu memegang teguh dan mengusahakan hidupnya menuju 3H, yaitu hamoraon, hagabeon, hasangapon. Simbol orang batak yaitu ulos juga penting kita jelaskan maknanya bagi anak-anak, karena memang ulos itu kan berbeda-beda maknanya dan ragamnya, seperti Ulos Sibolang diberikan kepada orang yang sudah meninggal, Ulos Bintang maratur diberikan kepada anaknya yang datang dari perantauan, kemudian dibawa


(4)

ke rumah tulang, dan diberkati disana, itulah ulos yang diberikan tulang kepada anak, Ulos Mangiring itu diberikan kepada yang sudah berkeluarga, supaya punya putra dan putri yang banyak, dan keturunan yang sejahtera.

P : Pendapat terhadap pergeseran nilai-nilai budaya Batak Toba

I : Memang benar itu nak, zaman sekarang sudah banyak anak-anak zaman sekarang tidak mau tahu lagi tentang budaya dan adat istiadat orang Batak Toba, hal ini diakibatkan oleh kemajuan telekomunikasi, mereka banyak meniru gaya yang ditampilkan dalam pesawat televisi, padahal itu kan gaya orang luar negeri, bukan gaya dan adat kita, tetapi bukan hanya faktor kemajuan teknologi, faktor orang tua juga ada. Banyak orang tua yang tidak peduli akan perkembangan dari anaknya, tidak peduli apakah adat istiadat ini perlu saya sampaikan kepada anak? Bahkan pendidikan anak pun tidak diperhatikan, kenapa? Karena pendidikan zaman sekarang sudah jauh lebih canggih dari zaman dulu, jadi orang tua tidak mampu lagi menjangkau apa yang dikerjkan anak di sekolah, ini membuat orang tua malas mendampingi anaknya belajar, dibiarkan begitu saja. Padahal secara psikologi, hanya didampingi belajar atau mungkin duduk disamping anak saja ketika anak itu belajar, itu sangatlah berarti. Perilaku anak itu adalah cerminan bagaimana didikan dalam keluarga. Kembali ke topik sebelumnya tadi, tentang perkawinan campuran antara Batak Toba dengan Batak Karo, jadi menikah dengan seseorang yang berasal dari suku yang sama adalah salah satu cara untuk tetap menjaga kelesatrian adat istiadat dan budaya sendiri. Karena jika menikah dengan beda suku, nilai budaya suku apa yang akan diwariskan kepada anak nantinya? Kalau seperti ini kan jadi menimbulkan konflik tersendiri di rumah tangga. Kedua itu anak harus juga banyak bertanyalah, jangan diam dan cuek. Ketiga adalah budaya itu harus diajarkan di sekolah, mata pelajaran Bahasa Daerah Batak Toba. Inilah sekarang yang menjadi kelemahan dari pemerintah kabupaten Samosir ini, kenapa itu dihapuskan dari mata pelajaran? Saran bapak, Mata Pelajaran Bahasa Daerah Batak Toba harus dikembalikan ke awal, supaya tidak semakin hilang dari jiwa anak-anak zaman sekarang.


(5)

Alamat e-mail

BIODATA

Nama : Liberty T. Togatorop

NIM : 090904066

Tempat/ Tanggal Lahir : Unjur/ 30 Oktober 1990 Anak ke : 5 dari 7 bersaudara

Alamat : Jl. Djamin Ginting, Golden Vista 2 Blok C No. 16

RIWAYAT PENDIDIKAN

1996 – 2001 SD Inpres 174603 Unjur 2002 - 2004 SMP Negeri 1 Simanindo 2005 - 2008 SMA Negeri 1 Simanindo

2009 - 2013 Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU

1. Talkshow Pengenalan Public Relation dan Jurnalistik Ikatan Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi (IMAJINASI) FISIP USU 2009

Pendidikan Non Formal / Training – Seminar

2. Talkshow Pengenalan Public Relation dan Jurnalistik Ikatan Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi tahun 2010

3. Media and Company Visit Ikatan Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi (IMAJINASI) FISIP USU 2010

4. Workshop Junalistik dan Public Relations Ikatan Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi (IMAJINASI) FISIP USU 2010

1. Panitia Media and Company Visit Ikatan Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi (IMAJINASI) FISIP USU 2011 sebagai Koordinator Seksi Konsumsi


(6)

2. Panitia Workshop Junalistik dan Public Relations Ikatan Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi (IMAJINASI) FISIP USU 2011 sebagai Anggota

3. Panitia INISIASI Ikatan Mahasiswa Departemen Ilmu komunikasi (IMAJINASI) FISIP USU 2011

4. Anggota UKM Teater O USU 2009-sekarang

5. Panitia Talkshow Pengenalan Public Relation dan Jurnalistik Ikatan Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi (IMAJINASI) FISIP USU 2010 sebagai Volunter

6. Anggota UKM KMK USU UP PEMA FISIP 7. Anggota SUMUT TV Club

PENGALAMAN KERJA


Dokumen yang terkait

Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Ant

1 91 173

Hubungan Perilaku Martarombo dengan Kepedulian Suku Batak Toba Terhadap Sesama Batak Toba

35 167 106

Hubungan Persepsi Kongruensi Budaya dengan Intergroup Contact Pada Masyarakat Suku Batak Toba Terhadap Masyarakat Suku Nias di Kabupaten Simalungun

3 74 80

Komunikasi Masyarakat Batak Toba Dalam Upacara Pernikahan Adat (Studi Kasus Tentang Proses Komunikasi Antarbudaya Dalam Upacara Pernikahan Adat Batak Toba Pada Masyarakat di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara)

9 129 118

Perubahan Perlakuan terhadap Anak Perempuan pada Masyarakat Batak Toba (Studi Deskriptif pada Masyarakat Batak Toba di Desa Pollung, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)

11 112 129

Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Anta

0 1 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian 2.1.1 Perspektif Interpretivisme - Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa S

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam

0 1 7

Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Anta

0 1 15

Hubungan Persepsi Kongruensi Budaya dengan Intergroup Contact Pada Masyarakat Suku Batak Toba Terhadap Masyarakat Suku Nias di Kabupaten Simalungun

0 0 23