BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

  Istilah komunikasi bukanlah suatu istilah yang baru bagi kita. Bahkan komunikasi itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari sejarah peradaban umat manusia, dimana pesan yang menjadi inti dari komunikasi itu sendiri sampai saat ini selalu menjadi suatu kajian yang tak pernah ada habisnya. Secara sederhana, komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan sebuah saluran, sehingga bisa memberikan suatu efek bagi komunikan itu sendiri, sesuai dengan pemaknaannya terhadap pesan yang diterima. Bentuk pesan dalam komunikasi ini juga terbagi menjadi dua bagian, yaitu pesan dalam bentuk bahasa verbal dan juga pesan dalam bentuk bahasa non verbal. Komunikasi verbal adalah proses penyampaian pesan kepada komunikan dalam bentuk kata-kata baik itu secara lisan ataupun dalam bentuk tertulis. Sedangkan komunikasi non verbal adalah proses penyampaian pesan kepada komunikan dalam bentuk ekspresi, sentuhan, wajah, waktu, gerak, isyarat, bau, perilaku, mata dan lain-lain, yang bisa merangsang makna pada diri komunikan tersebut. Proses pemaknaan inilah yang pasti kita alami dalam segala aspek kehidupan kita, dimana ketika menjalin komunikasi dengan orang lain, kita pasti terlibat langsung dalam komunikasi verbal dan juga non verbal serta bagaimana kita akan memaknai simbol dari komunikasi verbal dan non verbal tersebut (Mulyana, 2007:259). Kesamaan pemaknaan terhadap penggunaan simbol verbal dan non verbal akan membuat orang-orang yang berkomunikasi lebih mudah mencapai pengertian bersama. Dalam hal ini, peneliti ingin menambahkan aspek kebudayaan atau dimensi perbedaan kebudayaan ke dalam proses komunikasi, maka tak lain yang akan diulas adalah Komunikasi Antarbudaya (KAB).

  Menurut Porter dan Samovar (1982), bahwa hubungan budaya dan komunikasi penting dipahami untuk memahami komunikasi antarbudaya, karena melalui pengaruh budayalah maka manusia akhirnya belajar komunikasi. Komunikasi Antarbudaya adalah komunikasi antara dua orang atau lebih dengan perhatian khusus pada faktor-faktor kebudayaan yang mempengaruhinya, bagaimana dua orang atau lebih, yang ketika menjalin sebuah komunikasi, saling memaknai simbol atau lambang, juga bahasa, dengan latar belakang budaya yang berbeda. Hal tersebut adalah sangat penting bagi kita, sehingga dapat menimbulkan pemaknaan yang sama, untuk terciptanya suatu komunikasi yang efektif.

  Salah satu asumsi yang ada dalam komunikasi antarbudaya adalah adanya perbedaan persepsi antara komunikator dan komunikan. Bagaimana persepsi mengenai orang lain dan akibat dari persepsi tersebut terhadap sifat hubungan yang terbentuk. Komunikasi, dalam bentuk dan konteks apapun, selalu menampilkan perbedaan iklim antara komunikator dengan komunikan. Dengan adanya perbedaan iklim budaya tersebut, maka pada umumnya perhatian teoritis atau praktis dari komunikasi selalu difokuskan pada pesan-pesan yang menghubungkan individu atau kelompok dari dua situasi budaya yang berbeda. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam perbedaan itu umumnya mengimplikasikan bahwa hambatan komunikasi antarbudaya, acapkali tampil dalam bentuk perbedaan persepsi terhadap norma-norma budaya, pola-pola berpikir, prinsip, struktur budaya dan juga sistem budaya.

  Kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang turut menentukan persepsi manusia. Berbeda kebudayaan, maka berbeda pula persepsi yang dimiliki oleh masing-masing individu tersebut. Persepsi seringkali dimaknakan dengan pendapat, sikap, penilaian dan perasaan. Persepsi menggambarkan pengalaman manusia tentang objek, peristiwa atau hubungan- hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan tentang objek tersebut, namun adanya perbedaan persepsi diantara manusia terhadap rangsangan yang sama, inilah yang menjadi keunikan dari persepsi itu sendiri.

  Persepsi mempengaruhi berlangsungnya komunikasi antarbudaya. Pemahaman akan perbedaan persepsi diperlukan jika ingin meningkatkan kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain yang berbeda kebudayaan. Semakin tinggi tingkat kesamaan persepsi individu dalam suatu kelompok maka semakin besar kemungkinan anggota kelompok itu berkomunikasi satu sama lain sehingga mereka dapat mempertahankan identitasnya (Liliweri, 2001:114).

  Peristiwa tentang persepsi dalam komunikasi antarbudaya ini masih sering kita temukan di negara kita sendiri, Indonesia, karena terdiri dari beraneka ragam suku (etnis) yang masing-masing suku tersebut memiliki nilai budaya yang dapat membedakan ciri suku yang satu dengan yang lainnya. Nilai budaya yang dimaksud adalah nilai budaya daerah yang dipandang sebagai suatu cara hidup dan dianut pada setiap kelompok masyarakat. Ciri nyata dari keanekaragaman ini adalah adanya kecenderungan yang kuat dari setiap suku bangsa untuk mempertahankan identitas masing-masing. Orientasi yang dominan ke dalam golongan sendiri memberikan indikasi mengenai pekanya hubungan antarsuku atau antarbudaya dalam masyarakat, dikarenakan perbedaan nilai budaya dalam setiap suku, hal ini sering disebut dengan Etnosentrisme (Lubis,1999:2). Etnosentrisme ini juga bisa kita maknai dengan suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai hal yang mutlak dan digunakan sebagai standar untuk mengukur serta bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain. Hal ini menyebabkan persepsi dalam setiap kelompok etnis memandang orang dari kelompok etnis lain sebagai orang barbar, kafir, atau bahkan tidak mempunyai peradaban.

  Inilah yang sering diperhatikan oleh penulis, jangankan antar suku dalam negara Indonesia, antarsub suku dalam satu rumpun pun, hal seperti ini masih sering terjadi, misalnya suku Batak. Suku Batak terdiri dari sub-sub suku Batak yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Angkola-Mandailing, Batak Pakpak/Dairi (Siahaan,E.K,dkk. 1975:1). Dalam hal ini peneliti ingin melihat proses komunikasi antarbudaya lebih spesifik lagi dari sekian banyaknya suku di Indonesia, yaitu proses komunikasi antarbudaya Suku Batak Toba dan Suku Batak Karo. Dua suku itu adalah sub suku yang berada dibawah satu rumpun yaitu Suku Batak, namun memiliki perbedaan yang kontras dalam banyak hal, apabila dibandingkan dengan sub Suku Batak lainnya. Tidak hanya dialek serta bahasanya, namun juga nilai-nilai kehidupan, prinsip hidup, struktur sosial, adat-istiadat dan yang lainnya.

  Perbedaan persepsi, adanya stereotip, prasangka dan juga etnosentrisme dari suatu suku terhadap suku lainnya sering terealisasi dalam fenomena- fenomena yang sering diamati, bahkan dialami langsung oleh peneliti, yaitu adanya keluarga suku Batak Toba yang melarang anak-anaknya berpacaran dengan suku Batak Karo dan juga sebaliknya, orang tua dari suku Batak Karo melarang anak-anaknya untuk menjalin hubungan yang sangat dekat atau pacaran bahkan menikahi orang yang bersuku Batak Toba. Peneliti mendapati hal yang demikian karena sudah bertanya kepada beberapa orang yang mewakili kedua suku tersebut, teman-teman dari suku Batak Toba dan suku Batak Karo yang ada di kampusnya, akhirnya peneliti mendapati fenomena yang sama. Jika ditarik benang merah, maka yang menjadi pemicu timbulnya fenomena adalah persepsi yang berbeda, stereotip, prasangka dan etnosentrisme diantara kedua sub suku Batak tersebut, Batak Toba dan Batak Karo yang membuat komunikasi antarbudaya menjadi sedikit terbatas.

  Hal ini tentunya semakin diperkuat lagi setelah peneliti melakukan pra penelitian di Desa Unjur, Kabupaten Samosir, pada tanggal 18 Januari 2013, dengan bertanya kepada beberapa orang yang berasal dari suku Batak Toba yang ada di desa itu dan pra penelitian di Desa Surbakti, Kabupaten Karo, pada tanggal

  25 Januari dengan melakukan hal yang sama, yaitu bertanya kepada beberapa orang yang berasal dari suku Batak Karo, peneliti pun akhirnya menemukan stereotip dari suku Batak toba terhadap Batak Karo dan juga sebaliknya. Adapun stereotip masyarakat suku Batak Toba terhadap masyarakat suku Batak Karo, cenderung pendendam, jorok, kuat dalam hal-hal mistis, perempuan Batak Karo cenderung lebih etnosentris, sedikit licik, berbeda apa yang dikatakan dimulut dan dihati, bahasa dan tradisi yang kuat, pemalas, mengutamakan harta daripada pendidikan, sedikit sombong dengan harta benda yang dimiliki. Sebaliknya suku Batak Karo juga mengakui bahwa suku Batak Toba itu pekerja keras, harga diri tinggi namun bukan berarti gengsi, menjunjung tinggi harkat khusus perempuan, cerdas, mengutamakan pendidikan dan kemajuan daripada harta benda, prinsip dan idealisme yang kuat, dan agak kasar dan terkesan keras.

  Prinsip-prinsip yang berbeda dalam budaya kedua suku tersebut menjadi salah satu faktor penghambat komunikasi antarbudaya, yang mengakibatkan individu dari suku Batak Toba lebih mementingkan kelompoknya sendiri karena menganggap prinsip, norma, adat istiadatnya lebih baik daripada suku Batak Karo dan juga sebaliknya, sehingga sulit untuk menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman atau hubungan ke jenjang yang lebih serius, antarsuku tersebut atau sering disebut dengan etnosentrisme. Dalam penelitian ini, peneliti memusatkan perhatian pada dua suku, Batak Toba dan Batak Karo yang berada dibawah satu rumpun suku, yaitu suku Batak. Supaya lebih spesifik lagi, peneliti memilih lokasi untuk mengadakan penelitian kepada masyarakat Batak Toba yang ada di Desa Unjur, Kabupaten Samosir dan masyarakat Batak Karo yang ada di Desa Surbakti, Kabupaten Karo.

  Desa Unjur merupakan desa yang secara geografis terdiri dari tanah dan bebatuan. Desa ini akan terlihat kering, gersang dan tandus ketika musim kemarau melanda. Sama seperti desa lainnya, Desa Unjur ini juga memiliki iklim penghujan dan kemarau di setiap tahunnya. Sumber penghasilan masyarakat di desa ini adalah dengan bertani. Hasil tani yang paling bisa diandalkan dari desa ini adalah jagung, bawang merah, beras, dan juga jenis sayuran tertentu. Desa Unjur adalah salah satu desa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir dengan penduduk yang didominasi oleh masyarakat sub suku Batak Toba. Penduduk sebanyak 161 Kepala Keluarga (KK), hanya ada 1 KK yang berasal dari suku Batak Angkola Mandailing dan hanya 1 KK yang beragama Islam, selebihnya beragama Kristen. Jadi memang benar-benar desa yang asli didiami oleh Suku Batak Toba. Desa inilah yang diamati peneliti mengalami fenomena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Kemudian, peneliti mencoba bertanya kepada beberapa orang tua yang tinggal di Desa Unjur dan memang masih banyak orang tua yang melarang anak-anaknya menjalin hubungan lebih dari sekedar teman dengan seseorang yang berasal dari suku lain, terutama sub suku Batak Karo.

  Sementara Desa Surbakti adalah salah satu desa yang mempunyai penduduk yang cukup banyak berasal dari suku Batak Toba. Desa ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Secara umum keadaan topografi desa Surbakti adalah daerah perbukitan atau dataran tinggi. Iklim di desa ini sama halnya dengan desa-desa lainnya di wilayah Indonesia, yaitu kemarau dan penghujan, hal ini berhubungan dengan mata pencaharian yang mendominasi desa tersebut, yakni bertani. Udara yang sejuk dan pemandangan yang sangat indah adalah salah satu daya tarik dari desa ini. Penduduk dominan adalah suku Batak Karo, dengan jumlah penduduk sebanyak 632 KK. Desa ini sudah dipengaruhi oleh era modern, karena memang letaknya yang dekat dengan Kota Berastagi dan Kota Medan. Namun, ketika peneliti melakukan survey sementara dan bertanya kepada beberapa orangtua di desa Surbakti, tidak jarang peneliti menemukan orang tua yang mengatakan kalau mereka juga berpesan kepada anak-anaknya untuk tidak pacaran dengan suku Batak Toba, walaupun pada akhirnya beberapa dari anak-anak mereka menikah dengan suku Batak Toba. Inilah yang membuat peneliti merasa tertarik untuk meneliti apa sebenarnya persepsi orang tua dari sub suku Batak Toba terhadap sub suku Batak Karo, dalam nilai-nilai perkawinan kedua suku tersebut, namun bukan berarti hanya dari sudut adat pernikahan, tetapi juga mencakup nilai, norma, sistem kepercayaan, kebiasaan, cara pandang (pandangan hidup), sikap, stereotip, prasangka dan hal lain yang membedakannya.

  Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode studi kasus, agar tidak membatasi pemikiran, pendapat, dan sanggahan dari masyarakat yang ingin diteliti, sehingga peneliti bisa bertanya lebih jauh dan lebih dalam tentang kasus tersebut. Peneliti menggunakan tehnik pengumpulan data purpossive sampling, dengan kriteria yaitu orang tua yang sudah mempunyai anak 17 tahun ke atas. Kriteria inilah yang dibuat oleh peneliti, karena memang dalam konteks usia anak menuju remaja seperti itulah orangtua akan lebih berhati-hati dalam menghadapi fase perkembangan psikologis anak, dimana usia 17 tahun ke atas itu merupakan umur yang rentan dalam hal biologis (seks) dan merupakan salah satu syarat diakui sebagai pribadi yang sudah diterima, serta mempunyai tanggung jawab sosial dalam lingkungan bermasyarakat.

  1.2 Fokus Masalah

  Berdasarkan uraian konteks masalah di atas, maka peneliti merumuskan bahwa fokus masalah yang akan diteliti adalah “Bagaimana masyarakat suku Batak Toba di Desa Unjur dan masyarakat suku Batak Karo di Desa Surbakti dalam mempersepsi nilai-nilai perkawinan antarsuku tersebut?”

  1.3 Tujuan Penelitian

  Adapun Tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui persepsi dalam Komunikasi Antarbudaya suku Batak Toba terhadap suku Batak Karo dan sebaliknya, suku Batak Karo terhadap Batak

  Toba.

2. Untuk mengetahui pergeseran nilai-nilai dari masing-masing kebudayaan dalam memahami arti perkawinan antarsuku tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

  Manfaat penelitian ini adalah : 1. Manfaat Akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi akademis dalam Ilmu Komunikasi, khususnya mengenai Komunikasi

  Antarbudaya.

  2. Manfaat Teoritis, untuk menguji pengalaman teoritis peneliti selama mengikuti perkuliahan di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, serta menambah pengetahuan dan wawasan peneliti maupun mahasiswa lain yang membacanya, khususnya Departemen Ilmu Komunikasi.

Dokumen yang terkait

Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Ant

1 91 173

Hubungan Perilaku Martarombo dengan Kepedulian Suku Batak Toba Terhadap Sesama Batak Toba

35 167 106

Persepsi tentang sehat dan kebiasaan mengonsumsi Tuak Suku Batak Toba di Desa Meat Kecamatan Tampahan Kabupaten Toba Samosir

13 212 90

Hubungan Persepsi Kongruensi Budaya dengan Intergroup Contact Pada Masyarakat Suku Batak Toba Terhadap Masyarakat Suku Nias di Kabupaten Simalungun

3 74 80

Persistensi Pada Pasangan Infertil Suku Batak Toba Dalam Memperoleh Keturunan

3 73 127

Komunikasi Masyarakat Batak Toba Dalam Upacara Pernikahan Adat (Studi Kasus Tentang Proses Komunikasi Antarbudaya Dalam Upacara Pernikahan Adat Batak Toba Pada Masyarakat di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara)

9 129 118

Perubahan Perlakuan terhadap Anak Perempuan pada Masyarakat Batak Toba (Studi Deskriptif pada Masyarakat Batak Toba di Desa Pollung, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)

11 112 129

Motivasi Berprestasi Dan Pola Pengasuhan Pada Suku Bangsa Batak Toba Di Desa Parparean II

0 36 2

Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Anta

0 1 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian 2.1.1 Perspektif Interpretivisme - Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa S

0 0 26