ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PAJAK KENDARAAN BERMOTOR (Studi Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk)

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PAJAK

  

KENDARAAN BERMOTOR

(Studi Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk) (Jurnal Skripsi) Oleh ANGGER BINTANG PAMUNGKAS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018

  

ABSTRAK

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN

PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PAJAK

KENDARAAN BERMOTOR

(Studi Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk)

Oleh

  

Angger Bintang Pamungkas, Tri Andrisman, Budi Rizki Husin

Email: angger.bintang@gmail.com.

  Pajak kendaraan bermotor seharusnya dikelola dengan baik dan memenuhi asas akuntabilitas publik, tetapi pada kenyataannya dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus- TPK/2016/PN.Tjk, justru pajak tersebut dikorupsi sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp.2.493.785,150.00 (dua miliar empat ratus sebilan puluh tiga juta tujuh ratus delapan puluhlima ribu seratus lima puluh rupiah). Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi pajak kendaraan bermotor dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk? (2) Apakah pidana yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana korupsi pajak kendaraan bermotor dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus- TPK/2016/PN.Tjk telah memenuhi rasa keadilan substantif? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Narasumber penelitian terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi pajak kendaraan bermotor pada Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk terdiri dari: pertimbangan yuridis, yaitu terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Pertimbangan filosofis dilihat dari fakta-fakta persidangan yang menurut hakim terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Pertimbangan sosiologisnya dilihat dari tujuan pemidanaan itu sendiri serta alasan-alasan yang dapat meringankan maupun memberatkan terdakwa. (2) Pidana yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana Korupsi Pajak Kendaraan Bermotor dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk belum memenuhi keadilan substantif, karena pidana penjara, pidana denda dan pidana uang pengganti yang dijatuhkan hakim belum optimal dibandingkan dengan sesuai dengan ancaman pidananya. Selain itu tindak pidana korupsi Pajak Kendaraan Bermotor ini dilakukan secara berlanjut sejak Tahun 2014 sampai 2015, dengan jumlah BBNKB dan PKB yang dikorupsi mencapai 111 kendaraan baru

  Kata Kunci: Dasar Pertimbangan Hakim, Korupsi, Pajak Kendaraan Bermotor

  

ABSTRACT

ANALYSIS OF BASIS OF JUDGE'S CONSIDERATION IN IMPOSING

PUNISHMENT AGAINST PERPETRATORS OF CORRUPTION CRIME IN

MOTOR VEHICLE TAX

  

(Study of Decision Number: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk)

Motor vehicle taxes should be properly managed and meet the principles of public

accountability, but in reality in Decision Number 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk, the tax is

corrupted resulting in a state loss of Rp.2.493.785,150.00 (two billion four hundred ninety

three million seven hundred eighty five five thousand one hundred fifty rupiah). Problems

in this research are: (1) What is the basis of judge's consideration in imposing punishment

against perpetrators of corruption crime in motor vehicle tax in Decision Number:

18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk? (2) Is the criminal sanction imposed on the perpetrators of

corruption of motor vehicle tax in Decision Number: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk has

fulfilled the sense of substantive justice? This research uses normative juridical approach

and empirical juridical approach. The research subjects consist of District Court Judge

Tanjung Karang, Attorney at State Attorney Bandar Lampung and Criminal Law

Academician Faculty of Law University of Lampung. Data collection was done by

literature study and field study, then the data were analyzed qualitatively.

The results of the research and discussion show: (1) The basis of judge's consideration in

imposing criminal judgment against perpetrators of corruption crime on motor vehicle tax

at Decision Number 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk consists of: juridical consideration,

legally and convincingly guilty of committing a criminal act of corruption as charged by

the Public Prosecutor. Philosophical considerations are seen from the facts of the trial

which the defendant judge proved legally and convincingly guilty of committing a criminal

act of corruption. The sociological considerations are seen from the purpose of the

criminal act itself and the reasons that can be both lighten and burdensome to the

accused. (2) The criminal sanction imposed by the judge on the perpetrators of criminal

acts of Motor Vehicle Tax Corruption in Decision Number: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk

has not fulfilled substantive justice, due to imprisonment, criminal penalty and substitute

money sentenced by judge has not been optimal compared with its criminal threat. In

addition, the criminal act of corruption of Motor Vehicle Tax is carried out continuously

since 2014 to 2015, with the number of BBNKB and PKB being corrupted to reach 111

new vehicles.

  Keywords: Basic Judge Consideration, Corruption, Motor Vehicle Tax

   PENDAHULUAN

  Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

  Terjadinya tindak pidana korupsi akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary

  crime ). Oleh karena itu diperlukan

  penegakan hukum yang komprehensif

  tindak pidana korupsi secara benar, adil, tidak ada kesewenang-wenangan, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, maka terdapat beberapa asas yang harus selalu tampil dalam setiap proses penanganan perkara, yaitu asas tidak berpihak (impartiality), asas kejujuran dalam memeriksa dan memutus (fairness), asas beracara benar (prosedural due process), asas menerapkan hukum secara benar yang menjamin dan melindungi hak-hak substantif pencari keadilan dan kepentingan sosial (lingkungan), asas 1 Halim. Pemberantasan Korupsi. Rajawali Press. Jakarta. 2004. hlm. 47. kekerasan dalam proses peradilan.

  2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

  sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) tidak menyebutkan secara tegas pengertian korupsi. Pasal 2 Ayat (1) menyeb utkan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).” Tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang pada umumnya memiliki posisi penting dalam pemerintahan, termasuk oleh para Pegawai Negeri Sipil di dalam lingkungan pemerintahan daerah.

1 Untuk menjamin penanganan perkara

  3 Salah satu perkara tindak pidana korupsi

  adalah tindak pidana korupsi Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).

  Pemungutan dan pengelolaan pajak secara ideal harus dilaksanakan secara transparan dan memenuhi akuntabilitas publik, tetapi pada kenyataannya terjadi tindak pidana korupsi pada Unit 2 Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana . Ghalia Indonesia. Jakarta.

  2001. hlm. 22. 3 Eddy Mulyadi Soepardi, Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi. Fakutals Hukum Sugih yang dilakukan oleh pegawai tenaga sukarela bernama Ahmad Abe Ronado Alias Abe Bin Riska Saleh, dengan total kerugian negara sebesar Rp.2.493.785,150.00 (dua miliar empar ratus sebilan puluh tiga juta tujuh ratus delapan puluh lima ribu seratus lima puluh rupiah).

  Terdakwa Ahmad Abe Ronado Alias Abe Bin Riska Saleh selaku Pegawai pada UPTD Samsat Gunung Sugih yang diberi tugas sebagai pencetak kutipan II berdasarkan Surat Uraian Tugas yang ditandatangani oleh Kepala Pungutan Pajak (KPP) PKB dan BBN-KB Dispenda Gunung Sugih. Besaran PKB dan BBNKB yang menjadi dasar Untuk Penetapannya untuk Tahun 2012 s/d 2014 adalah berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 17 Tahun 2012 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan PKB dan BBNKB Tahun 2012 Jo. Peraturan Gubernur Nomor 18 Tahun 2012 tentang pemberlakuan secara mutatis mutandis Permendagri Nomor 29 Tahun 2012 Jo. Permendagri Nomor 29 Tahun 2012 tentang Dasar Pengenaan PKB dan BBN-KB. Terdakwa menetapkan besaran PKB dan BBNKB diluar dari ketentuan tersebut di atas, dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri.

  Isu hukum dalam penelitian ini adalah pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa masih belum optimal dibandingkan dengan ancaman pidana penjara maksimal sebagaimana dimaksud dalam Dakwaan Primer, yaitu

  Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK. Ancaman pidana maksimal yang seharusnya diterapkan adalah paling lama 20 (dua puluh) tahun penjara, hakim sebenarnya maksimal tetapi hakim hanya menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan atau mendekati ancaman pidana minimal yaitu 4 tahun penjara.

  Pidana denda yang dijatuhkan terhadap terdakwa juga masih belum optimal dibandingkan dengan ancaman pidana denda maksimal sebagaimana dimaksud dalam Dakwaan Primer, Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK, yaitu paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah. Hakim menjatuhkan pidana denda minimal (sama dengan ancaman minimal) yaitu Rp. 200.000.000, (dua ratus juta rupiah). Selain itu pidana uang pengganti yang dijatuhkan terhadap terdakwa juga masih belum sebanding dengan besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi oleh terdakwa, yaitu sebesar Rp.2.493.785,150.00 (dua miliar empat ratus sebilan puluh tiga juta tujuh ratus delapan puluhlima ribu seratus lima puluh rupiah), tetapi pidana uang penggantinya hanya sebesar Rp. 200.000.000, (dua ratus juta rupiah). Permasalahan penelitian ini adalah: a.

  Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi pajak kendaraan bermotor dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus- TPK/2016/PN.Tjk? b. Apakah pidana yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana korupsi pajak kendaraan bermotor dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus- TPK/2016/PN.Tjk telah memenuhi rasa keadilan substantif? yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan.

  Analisis data dilakukan secara kualitatif.

  Hakim dalam memberikan keputusan harus memiliki pertimbangan secara yuridis, yaitu perbuatan tersebut terbukti di dalam fakta persidangan memenuhi ketentuan pelanggaran yang dinyatakan di dalam suatu undang-undang. Dalam kaitannya dengan pidana korupsi, putusan hakim harus mencantumkan perbuatan terdakwa yang memenuhi rumusan pasal tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang- Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

  31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pelaku tindak pidana Korupsi Pajak Kendaraan Bermotor dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/PN.Tjk bernama Ahmad Abe Ronado Alias Abe Bin Riska Saleh selaku Pegawai pada UPTD Samsat Gunung Sugih yang diberi tugas sebagai pencetak kutipan II berdasarkan Surat Uraian Tugas yang ditandatangani oleh Kepala Pungutan Pajak (KPP) PKB dan BBN-KB Dispenda Gunung Sugih. Besaran PKB

  Penetapannya untuk Tahun 2012 s/d 2014 adalah berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 17 Tahun 2012 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan PKB dan BBNKB Tahun 2012 Jo. Peraturan Gubernur Nomor 18 Tahun 2012 tentang pemberlakuan secara mutatis mutandis Permendagri Nomor 29 Tahun 2012 Jo. Permendagri Nomor 29 Tahun 2012 tentang Dasar Pengenaan PKB dan BBN-KB, sehingga terdakwa tidak boleh menetapkan besaran PKB dan BBNKB diluar dari ketentuan tersebut diatas. Secara yuridis hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tindak pidana tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti yang dimaksud adalah: (a) Keterangan Saksi; (b) Keterangan Ahli; (c) Surat; (d) Petunjuk; (e) Keterangan Terdakwa, atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan sebagaimana diatur Pasal 184 KUHAP.

II. PEMBAHASAN A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Pajak Kendaraan Bermotor dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus- TPK/2016/PN.Tjk 1. Pertimbangan Yuridis

  Ketentuan Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk mebuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Ayat (3) dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat pelaku tindak pidana. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini adalah sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa Ahmad Abe

  Ronado Alias Abe Bin Riska Saleh telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal

  18 Undang-Undang Nomor

  31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagaimana dalam dakwaan Primair.

  2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ahmad Abe Ronado Alias Abe Bin Riska Saleh berupa pidana penjara selama 6 (enam) Tahun dan 6 (enam) bulan, dengan perintah terdakwa ditahan dan Denda sebesar Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan.

  3. Menghukum terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. Rp.400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah), yang diperhitungkan dengan barang bukti uang tunai pada Penuntut Umum sebesar Rp.

  Rp.400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) yang dititipkan pada Bank BRI Cabang Bandar Jaya, untuk menutupi uang pengganti tersebut dengan ketentuan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan ini berkekuatan hukum tetap, uang tersebut disetorkan ke kas negara. pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus- TPK/PN.Tjk dengan amar putusan sebagai berikut:

  1. Menyatakan Terdakwa, Ahmad Abe Ronado Alias Abe Bin Riska Saleh telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana “Korupsi”; 2. Menjatuhkan pidana penjara kepada

  Terdakwa selama : 4 (empat) Tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sejumlah Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan; 3. Menghukum terdakwa dengan pidana tambahan berupa uang pengganti sejumlah Rp.Rp.400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah), yang diperhitungkan dengan barang bukti uang tunai pada Penuntut Umum sejumlah Rp. Rp.400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) yang dititipkan pada Bank BRI Cabang Bandar Jaya, untuk menutupi uang pengganti tersebut dengan ketentuan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan ini berkekuatan hukum tetap, uang tersebut disetorkan ke kas Negara

  Sebelum pertimbangan-pertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, barang bukti yang diajukan dan diperiksa dipersidangan. Putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek menyelesaikan perkara pidana, sehingga dapat dinyatakan bahwa putusan hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti dapat berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum banding atau kasasi, melakukan grasi dan sebagainya.

  Berdasarkan uraian di atas maka pembahasan pertimbangan hukum hakim yang bersifat yuridis dapat dibagi menjadi sebagai berikut sesuai dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Menimbang bahwa Jaksa PU telah mengajukan terdakwa ke persidangan dengan dakwaan yang berbentuk subsidaritas (bersusun berlapis).

  Dakwaan Primair Penuntut Umum adalah Pasal 2 Ayat (1) Jo. Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dirubah dan ditambah dengan Undang- Undang Nomor 20 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo.

  Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Dakwaan primair dalam amar putusan ini adalah terdakwa dikenakan pelanggaran dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara paling sedikit empat tahun penjara paling lama dua puluh tahun penjara dan denda paling sedikit Rp 200.000.000.- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyakRp.1.000.000.0000.- ( satu

   Pertimbangan Filosofis

  Pertimbangan filosiofis merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan. Penerapan aspek filosofis ini terlihat pada putusan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Bahwa berdasarkan fakta-fakta persidangan, hakim berpendapat terdakwa telah memenuhi dakwaan Jaksa Penuntut Umum, sehingga penjatuhan pidana merupakan implementasi pembuktian pembenaran dalam dalam peristiwa tersebut.

  Dasar pertimbangan hukum hakim yang bersifat filosofis merupakan pandangan hakim bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan keuangan negara, sehingga diperlukan suatu mekanisme hukum yang mengedepankan upaya pengembalian kerugian negara, melalui pidana uang pengganti dalam tindak pidana korupsi. Pengembalian kerugian negara melalui uang pengganti merupakan hal yang sangat penting, karena uang tersebut dapat dipergunakan untuk melanjutkan pembangunan. Pengembalian tersebut tidaklah mudah karena proses peradilan tindak pidana korupsi pada umumnya membutuhkan waktu yang lama, sehingga terpidana mempunyai kesempatan untuk mengalihkan atau menyembunyikan harta bendanya yang berasal dari tindak pidana korupsi. Selain itu tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crimes, di mana pelakunya adalah kalangan intelektual dan mempunyai kedudukan penting, sehingga mudah untuk mengalihkan/ menyembunyikan harta korupsi. Sehubungan dengan itu Pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud Ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

  Upaya pengembalian kerugian keuangan negara oleh Kejaksaan dalam tindak pidana korupsi melalui uang pengganti merupakan salah satu upaya penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Pengembalian tersebut tidaklah mudah karena tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa, yang pelakukanya berasal dari kalangan intelektual dan mempunyai kedudukan penting. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diatur tiga upaya yang perlu dilakukan dalam penyelesaian tunggakan uang pengganti yaitu: Penyitaan dan pelelangan harta benda milik terpidana dan ahli warisnya setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap, melalui putusan subsider pidana penjara, melalui gugatan perdata dan administrasi keuangan. Upaya untuk mencegah terjadinya tunggakan uang pengganti melalui pendataan dan penyitaan harta benda milik terpidana, bagaimana pelunasan uang pengganti melalui hukuman badan (penjara) serta bagaimana penyelesaian tunggakan uang administrasi keuangan. Upaya untuk melunasi uang pengganti, jaksa dapat menyita dan melelang harta benda terpidana setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila ketentuan ini dilaksanakan, jaksa akan menemui kesulitan dalam menemukan harta benda milik terpidana atau ahli warisnya. Dan kemungkinan timbulnya tunggakan uang pengganti sangat besar.

  Oleh karena pendataan dan penyitaan harta benda milik tersangka harusnya sudah dilakukan sejak penyidikan. Untuk itu memerlukan optimalisasikan tugas dan fungsi Kejaksaan di bidang penyidikan dan intelijen yustisial. Optimalisasi tugas dan fungsi Kejaksaan di bidang intelijen dalam menemukan harta kekayaan negara yang dikorupsi tidak terhenti pada proses penyidikan tetapi terus berlanjut pada penuntutan, eksekusi dan upaya perdata.

  3. Pertimbangan Sosiologis

  Pertimbangan sosiologis oleh hakim adalah mengedepankan prinsip pembinaan terhadap pelaku kejahatan sehingga memberikan kesempatan bagi pelaku kejahatan untuk melakukan perubahan atau penyesuaian pidana. Pelaku yang dijatuhi pidana telah berkekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan. Hakim sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman mempunyai kewenangan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hal ini dilakukan oleh membuat putusan tersebut harus mempertimbangkan dari segi manfaat serta nilai keadilan bagi terdakwa dan negara. Cara hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap perkara pidana yang diajukan kepadanya adalah dengan melakukan sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik Dasar hukum hakim dalam penjatuhan pidana terhadap para pelaku harus memenuhi nilai keadilan baik bagi pelaku itu sendiri maupun bagi negara dan meiliki manfaat serta efek jera bagi para pelaku pidana agar dikedepan harinya tidak mengulangi perbuatan pidana. Putusan hakim tersebut masih dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian namun tidak boleh lebih berat dari putusan semula dan harus dengan persetujuan pelaku pidana. Perubahan atau penyesuaian dapat berupa pencabutan atau penghentian sisa pidana atau tindakan dan penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya. Tujuan pemidanaan adalah berorientasi untuk pembinaan terpidana, yakni dengan menyatakan bahwa terpidana yang memenuhi syarat-syarat dimungkinkan dilakukan perubahan atau penyesuaian ats pidananya, yang disesuaikan dengan kemajuan positif yang diperoleh selama terpidana dalam pembinaan. Penerapan pidana terhadap pelaku pidana korupsi Pajak Kendaraan Bermotor didasarkan pada kesalahan merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana korupsi harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa dengan ukuran norma penghati-hati atau penduga-duga, seraya memperhitungkan di dalamnya segala keadaan dan juga keadaan pribadi pelaku tindak pidana korupsi. Jadi segala keadaan yang objektif dan yang menyangkut pelaku sendiri harus diteliti dengan seksama. Untuk menentukan niat dari pelaku tindak pidana korupsi dapat digunakan ukuran apakah ia ada kewajiban untuk berbuat lain. Sesuai dengan uraian di atas maka diketahui bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dalam perkara tindak pidana korupsi pajak kendaraan bermotor pada Putusan Nomor: 18/Pid.Sus- TPK/2016/PN.Tjk terdiri dari: Pertimbangan yuridis, yaitu terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Pertimbangan filosofis dilihat dari fakta-fakta persidangan yang menurut hakim terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pertimbangan sosiologis dilihat dari tujuan pemidanaan itu sendiri serta alasan-alasan yang dapat meringankan maupun memberatkan terdakwa pelaku tindak pidana korupsi.

   Pidana yang Dijatuhkan Hakim terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Pajak Kendaraan Bermotor dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk dalam Perspektif Keadilan Substantif

  Keadilan adalah kehendak yang ajek, tetap untuk diberikan kepada siapa pun sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan tuntutan zaman. Korelasi antara filsafat, hukum dan keadilan sangat erat, karena terjadi tali temali antara kearifan, norma dan keseimbangan hak dan kewajiban. Hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat dan negara, materi hukum digali, dibuat dari nilai-nilai yang terkandung dalam bumipertiwi yang berupa kesadaran dan cita hukum (rechtidee), cita moral, kemerdekaan individu dan bangsa, perikemanusiaan, perdamaian, cita politik dan tujuan negara. Hakim sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman mempunyai kewenangan melalui putusannya yang didasarkan pada keyakinan, integritas moral yang baik serta mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Hal ini sesuai dengan fungsi hukum sebagai instrumen untuk melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Hakim berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. juga dapat menimbulkan pertanyaan yang kemudian meragukan keberadaan hukum. Hukum harus memberikan perlindungan status hukumnya karena setiap orang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Aparat penegak hukum wajib menegakkan hukum dan dengan berfungsinya aturan hukum, maka secara tidak langsung pula hukum akan memberikan perlindungan pada tiap hubungan hukum atau segala aspek dalam kehidupan masyarakat yang diatur oleh hukum. Keadilan hukum ditujukan pada sikap lahir manusia, ia tidak mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk, yang diperhatikan adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya. Kepastian hukum tidak memberi sanksi kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan tetapi yang di beri sanksi adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut atau menjadikannya perbuatan yang nyata atau konkrit. Hukum memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan bermasyarakat sebagai alat untuk menciptakan keadilan, keteraturan, ketentraman dan ketertiban, tetapi juga untuk menjamin adanya kepastian hukum. Pada tataran selanjutnya, hukum diarahkan sebagai sarana kemajuan dan kesejahteraan masyarakat yang dibentuk atas keinginan dan kesadaran tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Hukum merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial dalam suatu masyarakat, yaitu bahwa hukum akan melayani anggota-anggota masyarakat, baik berupa pengalokasian kekuasaan, pendistribusian sumber- sumber daya, serta melindungikepentingan anggota masyarakat itu sendiri oleh karenanya hukum menjadi semakin penting mewujudkan keadilan. Pandangan negatif masyarakat terhadap hakim dapat dihindari dengan memutus perkara secara adil dan teliti, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan terhadap suatu putusan. Dari dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap/sifat kepuasan moral jika keputusan yang dibuatnya dapat menjadi tolak ukur untuk kasus yang sama, sebagai bahan referensi bagi kalangan teoritis dan praktisi hukum serta kepuasan nurani jika sampai dikuatkan dan tidak dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung jika perkara tersebut sampai ke tingkat banding atau kasasi.

  Ketentuan mengenai perumusan pidana maksimum dan minimum dikenal dengan pola pemidanaan baru, yaitu minimum khusus dengan tujuan untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk tindak pidana yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat. Ketentuan mengenai pidana penjara menganut asas maksimum khusus dan minimum khusus. Pada prinsipnya, pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya.

  Ketentuan pidana minimum (khusus) dan maksimum menegaskan bahwa meresahkan masyarakat diberlakukan ancaman secara khusus. Hal ini sesuai dengan tujuan pidana yaitu prevensi atau pencegahan, sanksi pidana merupakan sanksi yang paling istimewa, karena kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh kaidah-kaidah hukum pidana adalah nyawa, badan (kebebasan), kehormatan dan harta benda manusia, di samping kepentingan- kepentingan negara. Walaupun tujuan pemidanaan bukan merupakan suatu hal yang baru, tetapi dampak dari pemidanaan yang berkenaan dengan kelanjutan kehidupan terpidana, khususnya dampak stigmatisasi terhadap terpidana dan keluarganya, menumbuhkan aliran-aliran dalam hukum pidana yang lebih baru yang mengkreasi jenis-jenis pidana lain yang dianggap lebih menghormati harkat dan martabat manusia, di samping ingin mencapai tujuan pemidanaan itu sendiri.

  Pnjatuhan sanksi pidana harus merupakan hal yang paling penting dipertimbangkan hakim, karena menyangkut kepentingan tersebut, yang berbeda dengan sanksi perdata atau administasi yang berkenaan dengan sifat- sifat kebendaan. Pembebanan pidana harus diusahakan agar sesuai dan seimbang dengan nilai-nilai kesadaran hukum, nilai-nilai mana bergerak menurut perkembangan ruang, waktu dan keadaan yang mewajibkan pengenaan suatu nestapa yang istimewa sifatnya, sebagai suatu reaksi terhadap aksi dalam penjatuhan pidana. Hukum yang berkualitas pada dasarnya merupakan praktik hukum yang mengandung nilai-nilai keadilan bagi seluruh masyarakat dan sesuai dengan sebab itu hukum yang baik akan menjamin kepastian hak dan kewajiban secara seimbang kepada tiap-tiap orang. Tujuan hukum, di samping menjaga kepastian hukum juga menjaga sendi- sendi keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal utama bagi kepastian hukum yakni, adanya peraturan itu sendiri. tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, adalah diluar pengutamaan nilai kepastian hukum. Dengan adanya nilai yang berbeda-beda tersebut, maka penilaian mengenai keabsahan hukum atau suatu perbuatan hukum, dapat berlain-lainan tergantung nilai mana yang dipergunakan. Berdasarkan uraian di atas maka menurut penulis pidana yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana Korupsi Pajak Kendaraan Bermotor dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus- TPK/2016/PN.Tjk belum memenuhi keadilan substantif, karena pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa masih belum optimal dibandingkan dengan sesuai dengan ancaman pidana penjara maksimal sebagaimana dimaksud dalam Dakwaan Primer, yaitu Pasal 2 Ayat (1) Undang- Undang Nomor

  31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK). Ancaman pidana maksimal yang seharusnya diterapkan adalah paling lama 20 (dua puluh) tahun penjara, hakim sebenarnya dapat menjatuhkan pidana lebih maksimal tetapi hakim hanya menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan atau yaitu 4 tahun penjara.

  Pidana denda yang dijatuhkan terhadap terdakwa juga masih belum optimal dibandingkan dengan ancaman pidana denda maksimal sebagaimana dimaksud dalam Dakwaan Primer, Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK, yaitu paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah. Hakim menjatuhkan pidana denda minimal (sama dengan ancaman minimal) yaitu Rp. 200.000.000, (dua ratus juta rupiah). Selain itu pidana uang pengganti yang dijatuhkan terhadap terdakwa juga masih belum sebanding dengan besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi oleh terdakwa, yaitu sebesar Rp.2.493.785,150.00 (dua miliar empat ratus sebilan puluh tiga juta tujuh ratus delapan puluhlima ribu seratus lima puluh rupiah), tetapi pidana uang penggantinya hanya sebesar Rp. 200.000.000, (dua ratus juta rupiah). Hakim juga seharusnya mempertimbangkan cara terdakwa melakukan tindak pidana korupsi Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dilakukan secara berlanjut mulai dari Oktober 2014 sampai dengan April 2015, dengan jumlah BBNKB dan PKB yang dikorupsi mencapai 111 kendaraan baru. Intinya adalah jenis-jenis pidana yang dijatuhkan hakim dalam perkara tindak pidana korupsi Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), masih belum maksimal, mengingat tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pemidanaan Agar Setimpal dengan Berat dan Sifat Kejahatannya. Surat Edaran tersebut menyatakan bahwa kecenderungan meningkatnya kualitas dan kuantitas tindak pidana terutama di bidang ekonomi memerlukan penanganan serta kebijakan pemidanaan secara khusus.

  Mahkamah Agung mengharapkan supaya pengadilan menjatuhkan pidana yang sungguh-sungguh setimpal beratnya dan sifat tindak pidana tersebut jangan sampai menjatuhkan pidana yang menyinggung rasa keadilan di dalam masyarakat.

III. PENUTUP A. Simpulan 1.

  Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi pajak kendaraan bermotor pada Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk terdiri dari: pertimbangan yuridis, yaitu terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Pertimbangan filosofis dilihat dari fakta-fakta persidangan yang menurut hakim terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Pertimbangan sosiologisnya dilihat dari tujuan pemidanaan itu sendiri serta alasan-alasan yang dapat meringankan maupun memberatkan terdakwa.

  Pidana yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana Korupsi Pajak Kendaraan Bermotor dalam Putusan Nomor: 18/Pid.Sus- TPK/2016/PN.Tjk belum memenuhi keadilan substantif, karena pidana penjara, pidana denda dan pidana uang pengganti yang dijatuhkan hakim belum optimal dibandingkan dengan sesuai dengan ancaman pidananya. Selain itu tindak pidana korupsi Pajak Kendaraan Bermotor ini dilakukan secara berlanjut sejak Tahun 2014 sampai 2015, dengan jumlah BBNKB dan PKB yang dikorupsi mencapai 111 kendaraan baru.

  B. Saran 1.

  Majelis hakim yang menangani tindak pidana korupsi di masa yang akan datang hendaknya lebih cermat dan tepat dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi mengingat tindak pidana ini merupakan kejahatan luar biasa, sehingga pidana yang dijatuhkan hendaknya pidana yang luar biasa pula.

  2. Majelis hakim yang menangani tindak pidana korupsi pajak kendaraan bermotor hendaknya mempertimbangkan rasa keadilan bagi masyarakat yang membayarkan pajak, karena masyarakat pada dasarnya mengharapkan pajak yang dibayarkan adalah untuk membiayai pembangunan namun pada praktiknya justru dikorupsi oleh pihak tertentu. Alatas, Syed Husein. 1983. Sosiologi

  Korupsi, Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer ,

  LP3ES, Jakarta Ali, Mahrus. 2011. Hukum Pidana

  Korupsi di Indonesia , UII Press,

  Yogyakarta Atmadja, Arifin P. Soeria. 2007.

  Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum Teori, Praktik dan Kritik, Fakultas

  Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem

  Peradilan Pidana, Binacipta,

  Bandung Halim. 2004. Pemberantasan Korupsi. Rajawali Press. Jakarta. Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai

  Hukum Pidana dan Acara . Ghalia Indonesia. Pidana Jakarta.

  Soepardi, Eddy Mulyadi. 2009.

  Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi.

  Fakutals Hukum Universitas Pakuan Bogor.