DRONES An Inhumanly Attack Analisa Huku

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Dalam sepuluh tahun terakhir, penggunaan pesawat tanpa awakyang
disebut sebagai drones telah menjelma sebagai suatu alat persenjataan yang
dinilai penting dan cukup cekatan dalam menangani masalah terorisme dan
militan di seluruh dunia.1 Keuntungan serta kelebihan menggunakan drones
dibandingkan senjata lain kemudian dikenal serta ditelaah lebih jauh oleh
sejumlah badan intelejen dunia. Salah satu alasan utama beberapa negara yang
sudah mulai mengoperasikan drones di lapangan adalah kemampuan senjata ini
untuk mampu mengobservasi target atau objek, baik seorang individu,
kelompok maupun berupa lokasi yang dituju selama berjam-jam lamanya, lalu
kemudian dapat segera melakukan penyerangan tanpa harus menggunakan
seorang pilot sehingga resiko terhadap keamanan pilot tersendiri terlindungi.2
Kombinasi kapabilitas yang dimiliki drones dinilai unik serta telah
memberikan peluang bagi Amerika Serikat untuk membangun instalasi khusus
dan mengembangkan penggunaan drones tersendiri. Amerika Serikat meyakini
bahwa drones merupakan senjata mutakhir yang efektif dalam membasmi
jaringan teroris dan telah dioperasikan semenjak masa pemerintahan Bush

hingga Obama sekarang.3 Pada tahun 2009, Philip Alston menyatakan bahwa
penggunaan drones oleh Amerika Serikat dalam menarget militan di Pakistan
dan Afghanistan dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap Hukum
Internasional.4 Semenjak era pemerintahan Bush telah berakhir, Amerika Serikat
diperkirakan telah melakukan setidaknya 45 penyerangan dengan menggunakan
drones terhadap Pakistan, seperti yang dilansir The New America Foundation.5
Semenjak saat tersebut hingga sekarang, Obama ditengarai telah melakukan

1

Richard N. Haass’s Speech. Conducting as President of Council on Foreign Relations. January 2013

2

Paul B. Stares and Micah Zenko. Enhancing U.S. Preventive Action, CSR No. 48. A Center for Preventive Action
Report. October 2008.
3
Tom
Tschida,
New

tork
Times,
Predator
Drones
and
Unmanned
Aerial
Vehicles
(http://topics.nytimes.com/top/reference/timestopics/subjects/u/unmanned_aerial_vehicles/index.htm l). Diunduh
pada Kamis, 21 Mei 2013.
4

UN News Centre, UN Rights Expert Voices Concern Use of Unmanned Drones by United States
(http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID= 32764&Cr=alston&Cr1. Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.
5

Peter Bergen & Katherine Tiedemann, The Year of the Drone: An Analysis of US Drone Strikes in Pakistan, 20042010,
NEW
AMERICA
FOUNDATION,

1
(2010),
available
at
http://www.newamerica.net/publications/policy/the_year_of_the_drone; The Bush Years: Pakistan Strikes 20042009.

Universitas Al Azhar
Indonesia

1

penyerangan terhadap Pakistan dengan jumlah lima kali lipat lebih banyak
dibandingkan pada masa pemerintahan Bush sebelumnya. 6 Tentara militer
Amerika Serikat telah melepaskan serangan sebanyak 297 kali dan
menyebabkan terbunuhnya 1.800 rakyat sipil.7 Penggunaan drones semakin
dikenal dengan adanya penyerangan yang menewaskan terdakwa teroris Osama
Bin Laden di Pakistan pada 2011 silam.8
Amerika Serikat telah mereformasi salah satu kebijakan pertahannya
untuk selalu mengandalkan penggunaan drones, yang digunakan untuk
mendukung upaya tempur dalam memerangi kontraterorisme, termasuk

disejumlah wilayah konflik-bersenjata, maupun di luar teritori Amerika Serikat. 9
Drones Targeting atau kemampuan bekerja drones terbukti berhasil dalam
mencari serta membunuh musuh yang memang sengaja menjadi target sekaligus
memiliki efektivitas dibandingkan dengan penggunaan kekuatan tradisional
lainnya.10 Akan tetapi, sejumlah kritikus pemerhati kebijakan pertahanan
Amerika berpendapat bahwa terdapat sejumlah alasan yang menyangkut
masalah legalitas serta moralitas dalam menggunakan drones sebagai sebuah
senjata untuk membunuh atau mencari pelaku terorisme dan kaum belligerent
dalam konflik non-tradisional, yang Amerika Serikat terus perangi.11
Hukum Internasional yang mewadahi tata cara perang ataupun
pelaksanaan suatu agresi dirampungkan dalam sub-hukum yang disebut Hukum
Humaniter Internasional.12 Keterkaitan penggunaan drones oleh negara manapun
diharuskan untuk sesuai dengan ketentuan berdasarkan Konvensi Jenewa,
dengan pasal-pasal terkait. Hukum Humaniter Internasional sengaja dibuat untuk
menciptakan kondisi yang sesuai serta cara yang ideal untuk menggunakan
kekuatan bersenjata, akan tetapi penggunaan drones di dalam suatu perang harus
6

Lihat Covert War on Terror—The Data, supra note 16.


7

Iraq An Attack Is Imminent, Articles of International Movement for A Just World (http://www.justinternational.org/
index.php?option=com_content&view=article&id=173&catid=44:archived-articles2002-older&Itemid=152).
Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.
8

Bin Laden Is Dead. Obama Says. Doug Mills. New York Times (http://www.nytimes.com/2011/05/02/world/asia/
osama-bin-laden-is- killed.html?_r=1&pagewanted=all). Diunduh pada Kamis, 21 Mei 2013.
9

See, e.g., Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions, Study on Targeted Killings,
Human Rights Council, ¶¶ 7, 18-22, U.N. Doc. A/HRC/14/24/Add.6 (May 28, 2010) (by Phillip Alston).
10

See, e.g., Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions, Study on Targeted Killings,
Human Rights Council, ¶¶ 7, 18-22, U.N. Doc. A/HRC/14/24/Add.6 (May 28, 2010) (by Phillip Alston).
11
See, e.g., Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions, Study on Targeted Killings,
Human Rights Council, ¶¶ 7, 18-22, U.N. Doc. A/HRC/14/24/Add.6 (May 28, 2010) (by Phillip Alston).

12
Reference Guide to the Geneva Conventions

Universitas Al Azhar
Indonesia

2

memenuhi sejumlah prinsip yang diadopsi dari Konvensi Jenewa, seperti
distinction, proportionality dan precautions.13 Sedangkan, penggunaan drones
yang telah dioperasikan belum menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip umum
tersebut.14
1.2

Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaran di atas, terlihat bahwa penggunaan drones bukan
merupakan hal baru dalam kebijakan pertahanan Amerika Serikat. Keinginan
Amerika Serikat untuk memberantas jaringan terorisme dunia diimbangi dengan
kemampuannya untuk menginstalasi sekaligus mengoperasikan drones secara
mutakhir. Dalam waktu bersamaan, upaya ini turut menimbulkan keresahan

global, dimana masyarakat sipil turut menjadi korban., seperti yang terjadi di
Pakistan. Oleh karena itu, penulisan ini dititikberatkan pada pemahaman seputar
dampak

serta

legalitas

atas

penggunaan

drones

oleh

setiap

negara


bangsaterutama Amerika Serikat.
Dengan demikian, maka penulis merumuskan pertanyaan tentang
bagaimana legalitas penggunaan drones dalam kekuatan bersenjata sesuai
dengan ketentuan yang telah diatur dalam payung Hukum Humaniter
Internasional?, yang penulis rasa perlu untuk dikaji lebih lanjut.
1.3

Tujuan Penulisan
Penulisan ini dibuat sebagai salah stau kewajiban akademis dalam mata
kuliah Pengkajian Strategi sekaligus untuk memahami legalitas penggunaan
drones yang dilakukan oleh Amerika Serikat menurut Hukum Humaniter
Internasional.

1.4

Kerangka Konseptual
1.4.1

Hukum Humaniter Internasional
Menurut kepustakaan hukum humaniter internasional, hukum ini kerap


disebut dengan berbagai macam istilah, seperti; hukum perang (law of war)
atapun hukum sengketa bersenjata (law of armed conflict). Hukum perang
13

Texts and commentaries of 1949 Conventions & Additional Protocols

14

Robin Geib and Michael Siegrist, Has the Armed Conflict in Afghanistan Affected the Rules on the Conduct of
Hostilities?, International Review of ICRC, Volume 93 Number 881, March 2011.

Universitas Al Azhar
Indonesia

3

adalah hukum yang mengatur tentang perang. Seperti yang Oppenheim
ungkapkan, lalu dikutip oleh Yoram Dinstein, menyatakan perang adalah suatu
pertarungan di antara dua Negara atau lebih melalui angkatan bersenjata mereka

dengan tujuan menaklukkan satu dengan lainnya dan memaksakan syarat-syarat
perdamaian yang menguntungkan pihak pemenang. 15 Hukum humaniter tidak
memfokuskan pada sebuah legalitas dimana konflik bersenjata terjadi, namun
menurut Konvensi Jenewa 1949 beserta kedua Protokol Tambahan 1977, yaitu
menyediakan perlindungan hukum bagi orang-orang yang tidak, ataupun yang
tidak lagi, ikut serta secara langsung dalam permusuhan (korban luka, korban
sakit, korban karam, orang yang ditahan sehubungan dengan konflik bersenjata,
dan orang sipil) dan membatasi dampak kekerasan dalam pertempuran demi
mencapai tujuan perang .16 Hukum ini terkandung dalam Konvensi Jenewa.17
Setidaknya terdapat dua kondisi terkait dengan Hukum Humaniter Internasional,
yaitu; jus ad bellum (law on the use of force) dan jus in bello (law in war). Jus
ad bellum berotasi pada peraturan yang diatur dalam Statuta PBB atau peraturan
yang mengesahkan suatu negara dalam mengambil tindakan kekerasan.18
Sedangkan, Jus ad bello merupakan bentuk aplikasi sejumlah peraturan yang
dilakukan pada saat peperangan. Kedua kondisi tersebut memiliki beberapa
prinsip yang harus diterapkan, baik prinsip pada jus ad bellum agar dapat
mengkategorikan bahwa penggunaan kekuatan bersenjata suatu negara dapat
diakui keabsahannya ataupun prinsip dalam jus in bello yang terkait dengan
apakah negara-negara yang sedang dalam peperangan tidak melanggar atau
bertindak jauh dari apa yang seharusnya dilakukan.19

1.4.2

Proportionality (Prinsip Proporsionalitas)
Menyadur dari salah satu situs resmi yang membahas Hukum Humaniter

Internasional, prinsip proporsionalitas ditujukan agar perang atau penggunaan
15

Yoram Dinstein, War and Agression, and Self Defence, Cambridge University, Cambridge, New York,
Melbourne, Madrid, Cape Town, Singapore, São Paulo, 2005, p. 5.
16
http://www.icrc.org/eng/assets/files/other/indo-irrc_857_henckaerts.pdf
17

Lihat National Defence, Law of the Armed Conflict at the Operational and Tactical Level, Joint Manual, Issued on
Authority of the Chief of Defence Staff, 2001-08-13. Pada halaman 1-1 ditegaskan bahwa: The Law of Armed
Conflict (the LOAC), considered in the broadest sense, determines when states may resort to the use of armed force
and how they may conduct hostilities during armed conflicts. This guide is concerned primarily with the LOAC in the
narrow sense, that is, with the body of law that governs the conduct of hostilities during an armed conflict
18
Keichiro Okimoto. 2012. The Cumulative Requirements of Jus Ad Bellum and Jus In Bello in the Context of SelfDefense. Chinese Journal of International Law. Hlm. 3.
19

Alexander Moseley. Just War Theory (http://www.iep.utm.edu/justwar/). Diakses pada Kamis, 21 Mei 2013.
Pukul 13.56 WIB

Universitas Al Azhar
Indonesia

4

senjata tidak menimbulkan korban, kerusakan dan penderitaan yang berlebihan
yang tidak berkaitan dengan tujuan-tujuan militer (the unnecessary suffering
principles).20 Prinsip ini tercantum dalam Pasal 35 (2) Protokol Tambahan I: “It
is prohibited to employ weapons, projectiles and material and methods of
warfare of a nature to cause superfluous injury or unnecessary suffering”.21
Prinsip ‘unnecessary suffering’ juga harus dilihat dengan membandingkan
senjata yang dipakai yaitu bahwa ‘it is unlawful to use a weapon which causes
more suffering or injury than another which offers the same or similar military
advantages’.22
1.4.3

Distinctions (Prinsip Diskriminasi)
Prinsip diskriminasi mengandung tiga komponen: 1). larangan tentang

serangan terhadap penduduk sipil dan obyek-obyek sipil yang lain; 2). bahkan
jika target serangan adalah sasaran militer, serangan terhadap obyek tersebut
tetap dilarang jika “May be expected to cause incidental loss of civilian life,
injury to civilians, damage to civilian objects or a combination thereof, which
would be excessive in relation to the concrete and direct military advantage
anticipated”; 3). jika terdapat pilihan dalam melakukan serangan, minimalisasi
korban dan kerusakan atas obyek-obyek sipil harus menjadi prioritas. 23 Selain itu
semua senjata yang ketika digunakan tidak bisa membedakan sasaran militer dan
sipil dan memiliki tingkat akurasi yang rendah harus dilarang.24

20

http://www.propatria.or.id/download/Positions%20Paper/perang_hukum_humaniter_ep.pdf

21

http://www.propatria.or.id/download/Positions%20Paper/perang_hukum_humaniter_ep.pdf

22

Lihat Additional Protocol I Geneva Conventions. Pasal 35 dan Pasal 51

23

Dictionary of Military and Associated Terms, US Department of Defence, 2005, dapat diakses
pada http://usmilitary.about.com/od/glossarytermsm/g/m3987.htm
24
http://www.propatria.or.id/download/Positions%20Paper/perang_hukum_humaniter_ep.pdf

Universitas Al Azhar
Indonesia

5

BAB 2
THE USING OF DRONES: AN INHUMANLY ATTACK OF AMERICA
2.1

Dekade Drones
Dalam sebuah diskusi bertema International Humanitarian Law and
New Weapon Technologies, Jakob Kellenberger menyatakan: “Today, we live in
the age of information technology and we are seeing technology being used on
the battlefield. This is not entirely new multiplication of new weapons or
methods of warfare that rely on such technology seems exponential. In a closer
look, there are numbers of technologies that have only recently entered the
battlefield or could potentially enter it. These are cyber technology, remotecontrolled weapon systems and robotic weapons system... Drones or
“unmanned aerial vehicles” are the most conspicuous example of such new
technologies.”25
The unmanned aerial vehicle yang lebih umum dikenal sebagai drones
merupakan pesawat tanpa awak dengan kendali jarak jauh yang sengaja dibuat
untuk kepentingan militer.26 Pesawat ini termasuk dalam kategori pesawat
tempur paling moderen, memiliki konfigurasi otomatis autopilot, dilengkapi
dengan berbagai sensor serta diprogram untuk bermanuver rutin sesuai dengan
pengaturan awal.27 Pada dasarnya, berbagai jenis drone terbagi dalam dua
kategori besar, yaitu drone yang sengaja diprogram untuk melakukan
pengintaian serta pengawasan dan drone yang dipersenjatai dengan rudal
ataupun bom.28 Pesawat tempur tanpa awak ini memiliki nilai lebih dengan tidak
menempatkan pilot dalam situasi yang beresiko tinggi. Konfigurasi dari
penggunaan pesawat tanpa awak ini bersifat aerodinamis, taktis dan memberikan
keuntungan ekonomi.29

25

Witny Tanod mengutip dalam International Humanitarian Law and New Weapon. International Committee of the
Red Cross 34th Round Table. (http://www.icrc.org/eng/resources/documents/sta tement/new-weapontechnologiesstatement-2011- 09-08.htm).
26

Air Force officials announce remotely piloted aircraft pilot training pipeline", www.af.mil.

27

Taylor, A. J. P. Jane's Book of Remotely Piloted Vehicles.

28

Mayer. "The Predator War". Retrieved 2009

29

Ibid.

Universitas Al Azhar
Indonesia

6

Amerika Serikat adalah negara pertama yang menggunakan drone pada
masa pemerintahan Bush, bertepatan paska peritiwa 9/11.30 Penyerangan dengan
menggunakan drone dilakukan pertama kali di Afganistan. 31 Pada masa Presiden
Obama, penyerangan dengan menggunakan pesawat tanpa awak mengalami
peningkatan yang signifikan32, sehingga kemudian perkembangan drone ini
berimplikasi terhadap Hukum Internasional.33 Setelah Amerika mengembangkan
operasional drone secara lebih komprehensif, terlihat bahwa terdapat suatu
kompetisi antara pelucutan senjata oleh sejumlah negara dengan pengadaan
kontrol kekuatan bersenjata pada waktu bersamaan. 34 Pelucutan senjata berarti
secara sepenuhnya melepaskan persenjataan dan mengontrol kekuatan
bersenjata, lebih sederhana lagi merujuk pada pembatasan penggunaan kekuatan
bersenjata.35
2.2

Legalitas dan Moralitas atas Penggunaan Drones
Perkembangan senjata yang digunakan dalam peperangan, konflik
maupun dalam perlindungan untuk sebuah negara dan keamanan internasional
tetap berada dalam koridor regulatif dalam Pasal 36 dari Protokol Tambahan I
dari

Konvensi

Jenewa

1949.36

Pasal

ini

bermaksud

untuk

menjaga

perkembangan dari persenjataan yang digunakan baik oleh negara dan
organisasi- organisasi internasional agar tetap menghormati, menjaga dan tidak
melewati batas-batas dari prinsip-prinsip hukum internasional yang telah ada. 37
Dewasa ini, penggunaan remote- controlled weapon systems merupakan sebuah
refleksi dari sejumlah peristiwa yang meresahkan dunia internasional.
Kemungkinan setiap pengembangan senjata membawa situasi global kepada

30

Bill Yenne. 2004. Attack of the Drones: A History of Unmanned Aerial Combat. USA. Zenith Press. Hlm. 9.

31

Ibid.

32

Theresa Reinold. 2011. State Weakness. Irregular Warfare and the Right to Self-Defense Post 9-11. American
Journal International Law. Hlm. 9 – 11.
33

Michael Nas. 2008. Pilots by Proxy: Legal Issues Raised by the Development of Unmanned Aerial Vehicles.
Hlm.1
34

Conway Henderson. 2010. Understanding International Law. United Kingdom. Wiley-Blackwell. Hlm. 181 – 184.

35

Conway Henderson. 2010. Understanding International Law. United Kingdom. Wiley-Blackwell. Hlm. 181 – 184.

36

Texts and commentaries of 1949 Conventions & Additional Protocols

37

Agenda
(2012).
[(
Agenda.
2012.
The
Morality
of
Drone
Warfare.
from:http://castroller.com/podcasts/TheAgendaVideo/3019369 "he Morality of Drone Warfare"].

Universitas Al Azhar
Indonesia

Available

7

tahap apa yang sering disebut sebagai security dilemma.38
Banyaknya negara dalam komunitas internasional, terkadang membuat
suatu kondisi di mana jika terjadi perbuatan yang tidak bertanggung jawab,
perbuatan ini dapat memberikan goncangan terhadap sistem hak dan kewajiban
negara-negara dalam Hukum Internasional. Upaya untuk mencegah goncangan
terhadap sistem hak dan kewajiban kemudian diatur dalam kesepakatan tertulis,
seperti Pasal 2(4) dari Statuta PBB yang menyatakan bahwa setiap negara harus
menjaga dirinya sendiri untuk tidak menggunakan kekuatan bersenjata terhadap
negara lain serta menjaga keamanan internasional. 39 Tahun 1970, PBB
mengeluarkan Declarations on Principles of International Law Concerning
Friendly Relations and Co-operation Among States in Accordance with the
Charter of United Nations dan menghendaki seluruh Negara untuk menjauhkan
penggunaan kekuatan bersenjata (use of force), intervensi, atau tindakan yang
membahayakan Negara lain serta berperilaku dengan tingkah laku yang baik
sesuai dengan Piagam PBB.40
Penggunaan drones atau pesawat tanpa awak sebagai senjata dalam
memerangi terorisme ataupun tindak kejahatan lain menjadi perbincangan yang
kontroversial dalam forum internasional. Lebih jauh, dalam laporannya pada
Dewan Hak Asasi Manusia mengenai extrajudicial, summary or arbitrary
executions, Philip Alston melaporkan adanya kontroversi penggunaan drones.
Beberapa mengungkapkan penggunaan drones tidak sesuai dengan Hukum
Humaniter Internasional dikarenakan penggunaannya menyebabkan kematian
yang tidak seharusnya.41 Akan tetapi, kemampuan drone sebagai pesawat tempur
tanpa awak yang memiliki sejumlah kemampuan teknis di atas rata-rata serta
tidak beresiko terhadap keselamatan nyawa pilot menjadi pertimbangan yang
cukup kuat dalam segi eketifitas penggunaannya. Namun pada kenyataannya,
drone telah mengakibatkan banyak kerugian serta menewaskan ratusan orang
38

Radsan, AJ; Murphy (2011). "Measure Twice, Shoot Once: Higher Care for Cia-Targeted Killing". Univ. Ill. Law
Rev.:1201–1241.
39

Martin Dixon and Robert Moccorquodale. 1998. Cases and Materials on International Law. UK. Blackstone Press
Limit. Hlm. 559.
40

Conway Henderson. 2010. Understanding International Law. United Kingdom. Wiley-Blackwell. Hlm.29; The
1970 Declaration; Resolution 2625 (xxv) 24 October 1970.
41

UN News Centre. UN Rights Expert Voices Concern Use of Unmanned Drones by United States
(http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID= 32764&Cr=alston&Cr1).

Universitas Al Azhar
Indonesia

8

sipil, sehingga hal ini memicu legalitas penggunaan drone sebagai sebuah
terobosan alat tempur abad ke-20. Hingga saat ini, belum ada sebuah prokol
maupun konvensi internasional yang secara khusus dan terperinci membahas
legalitas daripada penggunaan drone, namun telaah dari akibat yang ditimbulkan
menjadi indikasi bahwa dunia internasional membutuhkan sebuah peraturan
yang binding dan compulsory obeyed

demi menjaga, mengantisipasi

kemungkinan dan memelihara situasi tatanan global yang damai.
BAB 3
KESIMPULAN
Penggunaan drone sebagai salah satu alat berperang dengan menggunakan
sistem teknologi, menuai banyak kritik serta mengakibatkan kontroversi yang
berkepanjangan semenjak tahun 2001. Kritik dan kontroversi tersebut baik ditinjau dari
taktis dan strategisnya penggunaan drone. Selain itu, penggunaan instrumen militer
yang belakangan ini sering berkembang dinilai sebagai kekuatan yang tumpul. Hal ini
dikarenakan dampak yang ditimbulkan apabila menggunakan instrumen militer, dimana
ratusan atau bahkan ribuan nyawa sipil menjadi korban dan kelangsungan hidup mereka
terancam. Intervensi strategis sebuah negara kepada negara lain adalah cerita tersendiri
yang memiliki retorika seragam. Kekuatan bersenjata yang digunakan sebagai alat
untuk memerangi sejumlah masalah, seperti kontratetotisme, adalah sebuah alasan yang
kemudian menjelma seolah menjadi suatu bentuk kelazimanterutama apabila aktor
utamanya adalah negara adidaya seperti Amerika Serikat.
Perkembangan persenjataan dan sejumlah konflik internasional yang sedang
terjadi mendorong negara untuk selalu dalam kondisi siaga menghadapi ancaman
terhadap negara mereka. Drone sebagai salah satu contoh pengembangan produksi
senjata mutakhir terbaru mulai beroperasi dalam sekitar satu dekade terakhir.
Penggunaannya yang juga kontroversial dilihat memiliki tingkat sekuritas yang cukup
tinggi walaupun dalam segi taktis dan ekonomis dapat dijadikan preferensi yang logis.
Oleh karena itu, Hukum Humaniter Internasional sebagai platform yang mengatur tata
cara berperang sekaligus mengutamakan kepentingan sipil yang berada dalam wilayah
perang (war zones) mempunyai sejumlah prinsip dasar yang diadopsi untuk situasi
perang atau pelucutan senjata, seperti distinctions, proportionality dan precautions.
Akan tetapi, elaborasi secara lebih mendalam seputar penggunaan senjata seperti drone
belum memiliki regulasi yang komprehensif dan masih bersifat premature. Hingga saat
Universitas Al Azhar
Indonesia

9

ini, legalitas penggunaan drone masih menadi perbincangan rumit dunia internasional,
namun apabila dilihat dari segi praktis, moralitas atas penggunaan drone berada di
bawah batas kesesuaian.

Universitas Al Azhar
Indonesia

10