FILSAFAT ANALITIK BAHASA Pengertian Perk

“ FILSAFAT ANALITIK BAHASA ”
(Pengertian, Perkembangan, dan Teori-teori Arti)

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“Filsafat Bahasa”
Dosen Pengampu :
Dr. Mohamad Jazeri, M.Pd

Disusun Oleh :
Muhammad Zaenal Faizin (12504174018)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB (PBA)
PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
TULUNGAGUNG
2018

i

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, taufik dan hidayahNya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini disusun oleh penulis untuk
memenuhi tugas matakuliah “Filsafat Bahasa”.
Penulis menyampaikan rasa hormat dan penghargaan serta terima
kasih kepada :
1. Dr. Maftukhin, M.Ag selaku Rektor IAIN Tulungagung yang telah
memberi kesempatan untuk dapat mengenyam pendidikan pascasarjana.
2. Prof. Dr. H. Akhyak, M.Ag selaku Direktur Pascasarjana IAIN
Tulungagung atas izinnya untuk menuntut ilmu di jurusan Pendidikan
Bahasa Arab.
3. Dr. Mohamad Jazeri, M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah “Filsafat
Bahasa” yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian makalah ini.
4. Seluruh civitas akademika IAIN Tulungagung yang ikut dalam kelancaran
penulisan makalah ini.
5. Serta semua pihak yang telah banyak membatu penulis dalam penulisan
makalah ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekuranga dalam
penyusunan makalah ini. Penulis sangat mengharap kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini.


Tulungagung, 10 April 2018

Penulis

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ..........................................................................

i

PRAKATA .............................................................................................

ii

DAFTAR ISI ..........................................................................................

iii


BAB I PENDAHULUAN ......................................................................

1

A. Latar Belakang .....................................................................

1

B. Rumusan Masalah ................................................................

1

C. Tujuan Pembahasan ..............................................................

2

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................

3


A. Pengertian Filsafat Analiti Bahasa .......................................

3

B. Perkembangan Filsafat Analiti Bahasa .................................

4

C. Teori-teori Arti Filsafat Analitik Bahasa .............................

6

BAB III PENUTUP ............................................................................... 13
A. Kesimpulan ........................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 15

iii

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Sekarang ini, filsafat bukan lagi merupakan bidang yang dijauhi
orang lantaran kemisteriusannya. Sudah banyak bermunculan buku
filsafat, baik berupa karya ilmiah yang disusun sendiri oleh penulis
Indonesia maupun hasil pengalihbahasaan dari kepustakaan asing, ada
yang ditulis oleh para ahli filsafat, ada pula yang bukan, ada juga karya
filsafat yang disusun dengan bahasa ilmiah yang begitu ketat dan rumit,
namun tak kurang pula yang disajikan dengan bahasa yang cukup
bersahaja.1
Belajar filsafat, sepertinya memasuki suatu medan yang luas tiada
bertepi, tiada rambu-rambu petunjuk jelas yang dapat menuntun ke jalan
keluar yang paling tepat, sehingga semuanya menjadi serba misteri dan
penuh problema. Kebanyakan orang menganggap bahasa itu satu hal yang
wajar, seperti udara yang kita isap, tetapi pada waktu sekarang, banyak
ahli termasuk didalamnya filosof-filosof yang memakai “metode logical
analitik” melihat bahwa penyelidikan tentang arti serta prinsip-prinsip dan
aturan-aturan bahasa merupakan problema yang pokok dalam filsafat. Para
filosof menyadari bahwa terdapat beberapa macam problema filsafat yang
dapat dijelaskan melalui suatu analisis bahasa. Tradisi inilah oleh para ahli

sejarah filsafat disebut sebagai “Filsafat Analitik” yang berkembang di
Eropa terutama di Inggris abad XX.2
Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai
pengertian, perkembangan, dan teori-teori arti dalam filsafat analitik
bahasa.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian Filsafat Analitik Bahasa itu ?
1

Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik : Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para
Tokohnya, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), hlm. v
2
Abdul Chaer, Filsafat Bahasa, (Jakarta : Rineka Cipta, 2015), hlm. 92-93

1

2. Bagaimana sekilas mengenai perkembangan Filsafat Analitik Bahasa ?
3. Bagaimana teori-teori arti dalam Filsafat Analitik Bahasa ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian Filsafat Analitik Bahasa


2. Untuk mengetahui sekilas mengenai perkembangan Filsafat Analitik
Bahasa.

3. Untuk mengetahui teori-teori arti dalam Filsafat Analitik Bahasa.

2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat Analitik Bahasa
Perhatian filosof terhadap bahasa semakin besar. Mereka sadar bahwa
dalam kenyataannya banyak persoalan-persoalan filsafat, konsep-konsep
filosofis akan menjadi jelas dengan menggunakan analisis bahasa. Tokohtokoh filsafat analitika bahasa hadir dengan terapi analitika bahasanya untuk
mengatasi kelemahan kekaburan, kekacauan yang selama ini ada dalam
berbagai macam konsep filosofis.
Secara etimologi kata analitik berarti menginvestigasi, logis, mendalam,
sistematis, tajam dan tersusun.3 Sedangkan pengertian filsafat analitik secara
terminologi yaitu:

Menurut Rudolph Carnap, filsafat analitik adalah pengungkapan secara
sistematik tentang syntax logis (struktur gramatikal dan aturan-aturannya) dari
konsep-konsep dan bahasa khususnya bahasa ilmu yang semata-mata formal.
Roger jones menjelaskan arti filsafat analitik bahwa baginya tindak
menganalisis berarti tindak memecah sesuatu ke dalam bagian-bagiannya.
Tepat bahwa itulah yang dilakukan oleh para filosof analitik. 4
Kaelan juga mengungkapkan sebagaimana dikutip oleh A. Chaedar
Alwasilah, bahwa analitik bahasa adalah metode yang khas untuk menjelaskan,
menguraikan, dan menguji kebenaran ungkapan-ungkapan filosofis.5 Asep
Ahmad Hermawan dalam bukunya juga menjelaskan bahwa analitik itu sendiri
berarti kata-kata dan kalimat-kalimat biasa (analisisndum) diganti dengan katakata atau kalimat-kalimat yang lain (analisisns) yang mempunyai arti yang
sama tetapi bentuknya menjadi lebih jelas.6
Jadi dapat disimpulkan bahwa filsafat analitik bahasa adalah sebuah
metode yang khas untuk menjelaskan, menguraikan, dan menguji kebenaran
3

Ibid, hlm. 92
Ibid, hlm. 92
5
A. Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosda Karya,

2014), hlm. 23
6
Asep Ahmad Hermawan, Filsafat Bahasa : Mengungkapkan Hakikat Bahasa, Makna, dan
Tanda, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2009), hlm. 47
4

3

ungkapan-ungkapan filosofis, dengan cara mengganti kata-kata dan kalimatkalimat biasa dengan kata-kata atau kalimat-kalimat yang lain yang
mempunyai arti yang sama tetapi bentuknya menjadi lebih jelas, logis,
mendalam, sistematis, tajam dan tersusun.
B. Perkembangan Filsafat Analitik Bahasa
Bilamana dikaji perkembangan filsafat setidaknya terdapat empat fase
perkembangan pemikiran filsafat, sejak munculnya pemikiran yang pertama
sampai dewasa ini, yang menghiasi panggung sejarah umat manusia. Pertama,
kosmosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek
pemikiran dan wacana filsafat, yaitu yang terjadi pada zaman kuno. Kedua,
teosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan Tuhan sebagai pusat
pembahasan filsafat, yang berkembang pada zaman abad pertengahan. Ketiga,
antroposentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai

objek wacana filsafat, hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern.
Keempat, logosentris yaitu fase perkembangan pemikiran filsafat yang
meletakkan bahasa sebagai pusat perhatian pemikiran filsafat dan hal ini
berkembang setelah abad modern sampai sekarang. Fase perkembangan
terakhir ini ditandai dengan aksentuasi filosof pada bahasa yang disadarinya
bahwa bahasa merupakan wahana pengungkapan peradaban manusia yang
sangat kompleks itu. 7
Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama,
bahkan sejak zaman Pra Sokrates, yaitu ketika Herakleitos membahas tentang
hakikat

segala

sesuatu

termasuk

alam

semesta.


Bahkan

Aristoteles

menyebutnya sebagai “para fisiologis kuno” atau ‘hoi arkhaioi physiologoi’.
Seluruh minat Herakleitos terpusatkan pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju
bahwa di atas dunia fenomenal ini terdapat „dunia menjadi‟ namun ada dunia
yang lebih tinggi, dunia idea, dunia kekal yang berisi „ada‟ yang murni.
Meskipun begitu ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan saja, ia mencari
prinsip perubahan. Menurut Herakleitos, prinsip perubahan ini tidak dapat
ditemukan dalam benda material. Petunjuk ke arah tafsiran yang tepat terhadap
7

Kaelan, Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa dan Pengaruhnya Terhadap Ilmu
Pengetahuan, (Yogyakarta : Paradigma, 2006), hlm. 7

4

tata kosmis bukanlah dunia material melainkan dunia manusiawi, dan dalam
dunia manusiawi ini kemampuan bicara menduduki tempat yang sentral.
Dalam pengertian inilah maka medium Herakleitos bahwa “kata” (logos)
bukan semata-mata gejala antropologi. Kata tidak hanya mengandung
kebenaran universal. Bahkan Herakleitos mengatakan “jangan dengar aku”,
“dengarlah pada sang kata dan akuilah bahwa semua benda itu satu”. Demikian
sehingga pemikiran Yunani awal bergeser dari filsafat alam kepada filsafat
bahasa yang meletakkan sebagai objek kajian filsafat.8
Filsafat bahasa mulai berkembang pada abad ke XX dengan telaah
analitik filosofik Wittgenstein tentang bahasa. Noam Chomsky-lah yang
pertama-tama mengangkat bahasa sebagai disiplin linguistic. Grice dan Quinelah yang mengangkat meaning sebagai intensionalitas si pembicara dan
meaning dalam konteks kejadiannya. Davidson lebih lanjut mengetengahkan
tentang struktur semantik, untuk memahami bahasa, termasuk unsur-unsurnya
dan mengembangkan tentang interpretasi yang dapat berbeda antara si
pembicara dan yang dibicarakan. Frege lebih lanjut mengembangkan konsep
tentang referensi. Ekspresi bahasa bukan hanya representasi of mine, tetapi juga
mengandung referensi, yaitu hal-hal yang relevan dengan pernyataan yang
ditampilkan.9
Filsafat abad modern memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap
timbulnya filsafat analitika bahasa. Peranan rasio, indra, dan intuisi manusia
sangat menentukan dalam pengenalan pengetahuan manusia. Oleh karena itu,
aliran rasionalisme yang menekankan otoritas akal, aliran empirisme yang
menekankan peranan pengalaman indera dalam pengenalan pengetahuan
manusia serta aliran imaterialisme dan kritisisme Immanuel kant menjadi
sangat penting sekali pengaruhnya terhadap tumbuhnya filsafat analitika
bahasa terutama dalam pengungkapan realistas segala sesuatu melalui
ungkapan bahasa.10

8

hlm. 77
9

Kaelan, Filsafat Bahasa Hakikat dan Realitas Bahasa, (Yogyakarta : Paradigma, 2017),
Chaer, Filsafat … , hlm. 92
Ibid, hlm. 93

10

5

C. Teori-teori Arti Filsafat Analitik Bahasa
Masalah arti atau makna suatu ungkapan bahasa merupakann persoalan
yang paling mendasar di dalam filsafat bahasa.11 Arti suatu kata tergantung
pada penggunaannya dalam kalimat, sedangkan arti suatu kalimat tergantung
pada penggunaannya dalam bahasa. Ini menunjukkan bahwa kita dapat terjebak
ke dalam kerancuan bahasa, manakala kita menjelaskan pengertian suatu kata
dengan memisahkannya dari situasi yang melingkupinya.12
Arti atau makna mengandung implikasi yang begitu luas, maka ada
baiknya kita mengetahui beberapa upaya pemecahan yang coba dilakukan.
Dalam hal ini ada beberapa teori arti yang perlu mendapat perhatian kita.
Teori-teori arti tersebut adalah :
1. Teori Acuan (Referential Theory)
Teori

acuan

ini

merupakan

teori

arti

yang

mengenali

(mengidentifikasikan) arti suatu ungkapan dengan apa yang diacunya atau
dengan hubungan acuan itu.13 Kita dapat mengenali arti suatu istilah atau
ungkapan berdasarkan sesuatu yang diacu oleh istilah atau ungkapan
tersebut, dan juga berdasarkan hubungan antara istilah atau ungkapan itu
dengan sesuatu yang diacunya. Contoh, kata “si manis” mempunyai arti
karena mengacu pada seekor kucing atau kata “si belang” mengacu pada
seekor anjing.14
Dalam contoh di atas, kita belum menghadapi kesulitan yang
berarti, karena nama “si manis” atau “si belang” mengacu kepada sesuatu
yang konkret, yaitu kucing dan anjing itu tadi. Bagaimana halnya dengan
ungkapan-ungkapan atau kata-kata yang tidak memiliki acuan konkret
seperti itu? Apakah suatu ungkapan atau kata yang tidak mempunyai
acuan konkret dianggap sebagai hal yang tidak mengandung arti
(meaningless)?
Jawabannya adalah bahwa suatu atau yang diacu lainnya tidak
harus merupakan sesuatu yang konkret atau sesuatu yang dapat diamati
Mustansyir, Filsafat Analitik … , hlm. 153
Ibid, hlm. 156
13
Ibid, hlm. 161
14
Ibid, hlm. 162

11
12

6

seperti “si manis” atau “si belang” itu tadi. Acuan ini dapat juga berupa
jenis sesuatu (sama halnya dengan nama-nama yang umum seperti
“kucing”), suatu kualitas, suatu bentuk peristiwa, suatu hubungan, dan
seterusnya. Contohnya :
a) Sokrates itu bijaksana (Bijaksana merupakan kualitas),
b) Gempa bumi yang berkekuatan lebih dari 6 skala Ritcher hampir selalu
merenggut korban jiwa (Gempa bumi merupakan suatu bentuk
peristiwa),
c) Wanita itu adik saya (mengacu kepada suatu hubungan keluarga yaitu
tante dan bibi)
Jadi menurut teori acuan ini, suatu ungkapan atau kata harus
mempunyai acuan agar ungkapan atau kata itu mengandung arti atau
makna.

Dalam

contoh-contoh

di

atas,

masing-masing

mempunyai acuan, meskipun jenis-jenis acuannya berbeda-beda.

ungkapan
15

Kelemahan paling mendasar dari teori ini adalah tidak dapat
dipastikan bahwa setiap ungkapan yang mengandung arti itu mengacu
kepada sesuatu,16 yakni teori ini sangat tidak memadai (inadequate)
lantaran ada dua buah ungkapan yang mengandung arti berbeda padahal
mempunyai acuan yang sama. Contohnya : “Nyonya Corazon Aquino”
dan “Presiden Filipina sekarang”. Kedua ungkapan ini mengacu pada atau
pribadi yang sama. Ini jelas dan dapat dipahami. Namun kita tidak dapat
mengatakan bahwa ungkapan “Nyonya Corazon Aquino” itu sama artinya
dengan “Presiden Filipina sekarang”. Sebab kesamaan arti yang demikian
itu membingungkan, tetapi juga mengandung konsekuensi yang sangat
mendasar terhadap arti ungkapan tersebut.17
Kelemahan yang lain justru sebaliknya yakni artinya sama
sedangkan acuannya berbeda. Contohnya “saya”, “kamu”, “di sini”, “ini”,
istilah-istilah ini semua secara sistematis berubah acuannya seiring dengan
perubahan kondisi-kondisi pengucapannya. Misalnya kata “saya” akan
mengacu pada si B apabila si B yang mengucapkannya, tetapi juga akan
15

Ibid, hlm. 162-163
Ibid, hlm. 174
17
Ibid, hlm. 165-166

16

7

mengacu pada si C apabila si C yang mengucapkannya, demikian
seterusnya.18
2. Teori Ideasi (The Ideational Theory)
Teori Ideasi ini adalah suatu jenis teori arti yang mengenali
(mengidentifikasi) arti ungkapan dengan gagasan-gagasan (idea-idea) yang
berhubungan dengan ungkapan tersebut. Dalam hal ini, teori ideasi ini
menghubungkan makna atau arti makna atau ungkapan dengan suatu ide
atau representasi psikis yang ditimbulkan kata atau ungkapan tersebut
kepada

kesadaran.

Atau

dengan

kata

lain,

teori

ideasi

ini

mengidentifikasikan arti E (Expression, atau ungkapan) dengan gagasangagasan (ide-ide) yang menimbulkan atau juga yang ditimbulkan E
(Expression). Jadi pada dasarnya teori ideasi meletakkan gagasan (ide)
sebagai titik sentral yang menentukan arti suatu ungkapan. Teori ini
melatarbelakangi pola berpikir orang mengenai bahasa sebagai, “suatu arti
atau alat (instrumen) bagi komunikasi pikiran atau gagasan”, atau sebagai
suatu “gambaran fisik dan eksternal dari suatu keadaan internal”, atau
bilamana orang menetapkan suatu kalimat sebagai suatu rangkaian katakata yang mengungkapkan suatu pikiran yang lengkap.19
Menurut teori ini, apa yang memberi suatu arti yang pasti terhadap
suatu ungkapan bahasa yaitu kenyataan bahwa ungkapan tersebut
digunakan secara teratur dalam komunikasi sebagai “tanda” (mark) dari
suatu gagasan yang pasti. Jadi peranan bahasa sangatlah ditentukan oleh
gagasan atau pikiran yang ada dalam diri manusia. Ungkapan-ungkapan
bahasa itu baru punya arti atau makna apabila ia berfungsi sebagai
“pengembang tugas” dari gagasan manusia.20
Berdasarkan teori ideasi ini, apabila suatu kata atau ungkapan
bahasa itu dipergunakan, paling tidak ada beberapa hal yang harus
dipenuhinya : (a) Gagasan atau ide itu harus hadir di dalam pemikiran si
pembicara, (b) Si pembicara haruslah melontarkan ungkapan itu sehingga
18

Ibid, hlm. 167
Ibid, hlm. 174-175
20
Ibid, hlm. 175
19

8

pendengarnya mengetahui bahwa gagasan atau ide itu ada dalam pikiran si
pembicara pada saat itu, dan (c) Sejauh komunikasi itu berhasil, maka
ungkapan bahasa itu haruslah membangkitkan gagasan atau ide yang sama
dalam pikiran si pendengar.
Untuk menguji kebenaran teori ideasi ini, kita dapat melihat contoh
kalimat-kalimat sebagai berikut :
a) Seandainya saya menjadi orang kaya, maka saya akan pergi ke tanah
suci Makkah
b) Barang siapa memalsukan uang ini baik dengan sengaja maupun tidak,
akan dituntut di muka hakim.
Dua kalimat di atas dapat membuktikan bahwa tidaklah tepat
dalam setiap ungkapan bahasa atau suatu kata yang dipergunakan, maka
gagasan atau ide tentang kata atau ungkapan itu harus hadir di dalam
pikiran si pembicara. Sekarang kita bertindak sebagai si pembicara yang
melontarkan kalimat a) dan b). Kemudian kita tanyakan kepada diri kita
sendiri, apakah yang tersirat di benak kita sewaktu kita mengucapkan katakata seperti : “seandainya”, “menjadi”, “maka”, “barangkali”, “akan”?
Ternyata kita tidak menemukan ide apapun tentang kata-kata itu tadi di
dalam pikiran kita. Hal ini membuktikan bahwa tidak setiap kata atau
ungkapan bahasa yang dilontarkan itu mencerminkan ide yang ada dalam
pikiran si pendengar.
Kelemahan lain dari teori ideasi ini yaitu tidak dapat dipastikan
dalam setiap komunikasi yang berhasil, ungkapan bahasa yang dilontarkan
itu akan membangkitkan atau mengakibatkan gagasan atau ide yang sama
dalam pikiran si pendengar. Sebagai suatu ilustrasi, dalam forum diskusi
sering terjadi perbedaan pendapat atau pandangan antara si pembicara
dengan si pendengar. Mungkin lantaran gagasan yang dilontarkan oleh si
pembicara itu tidak sesuai dengan gagasan atau ide yang ada dalam pikiran
si pendengar.21
Di dalam forum diskusi, acapkali komunikasi itu berhasil baik atau
berjalan sukses, lantaran terjadinya silang pendapat diantara si pembicara
21

Ibid, hlm. 176-177

9

dan si pendengar. Salah satu bentuk silang pendapat itu adalah ungkapan
bahasa

yang

dilontarkan

oleh

si

pembicara

menimbulkan

atau

mengakibatkan gagasan yang berbeda dalam pikiran si pendengar. Padahal
menurut teori ideasi ini, jika komunikasi itu berhasil, maka ungkapan
bahasa itu haruslah membangkitkan gagasan atau ide yang sama dalam
pikiran si pendengar.22
3. Teori Tingkah Laku (Behavioral Theory)
Teori tingkah laku ini merupakan salah satu jenis teori arti yang
mengenali (mengidentifikasi) arti suatu kata atau ungkapan bahasa dengan
rangsangan-rangsangan (stimuli) yang menimbulkan ucapan tersebut,
dan/atau tanggapan-tanggapan (responses) yang ditimbulkan oleh ucapan
tersebut. Teori ini menanggapi bahasa sebagai semacam kelakuan yang
mengembalikannya kepada teori stimulus dan response. Makna atau arti
menurut teori ini merupakan rangsangan untuk menimbulkan perilaku
tertentu sebagai response kepada rangsangan itu tadi.
Ada beberapa kesamaan prinsip diantara teori tingkah laku ini
dengan teori ideasi. Pertama, teori tingkah laku ini juga memusatkan
perhatiannya pada sesuatu yang terlibat dalam penggunaan bahasa di
dalam komunikasi. Kedua, teori tingkah laku ini juga mengandaikan
adanya situasi dan tanggapan tertentu yang umum sifatnya dan selalu sama
manakala kata atau ungkapan bahasa itu dikatakan mempunyai arti sama.
Perbedaannya, teori tingkah laku ini lebih memfokuskan perhatiannya
pada aspek-aspek yang dapat diamati di depan umum dari situasi
komunikasi.
Teori ini biasanya dipergunakan oleh psikolog untuk menjelaskan
pelbagai aspek tingkah laku manusia berdasarkan rangsangan-rangsangan
(stimuli) dan tanggapan-tanggapan (responses) yang timbul dari kesadaran
manusia.23 Paling tidak ada dua pengandaian yang terkandung dalam teori
tingkah laku ini :

22
23

Ibid, hlm. 178
Ibid, hlm. 179

10

a) Harus ada bentuk-bentuk yang umum dan khas pada semua situasi
sehingga pada saat suatu ungkapan bahasa itu diucapkan, maka ia akan
memberikan suatu pengertian.
Sebagai contoh, apabila kita mengatakan : “Manusia adalah
satu-satunya makhluk yang bereksistensi”, maka ungkapan itu haruslah
berlaku bagi situasi yang umum dan khas dalam lingkup bahasa
filsafat. Dengan demikian kita tidak dapat lagi mengatakan bahwa
“hewan itu juga bereksistensi”, karena pernyataan yang terakhir ini
tidak mencakup situasi umum.
Kelemahan pengandaian ini adalah dalam kenyataan sering kita
jumpai suatu ungkapan yang sama, tetapi diucapkan atau dilontarkan
dalam situasi yang berbeda-beda, sehingga artinya juga berlainan.
Misalnya, ucapan “awas!”, dapat saja muncul pada situasi tertentu,
seperti mengancam seseorang atau meminta seseorang agar berhatihati. Contoh lain misalnya ucapan “ayo pergi!” juga dapat timbul pada
situasi-situasi tertentu seperti mengusir seseorang, mengajak seseorang
atau beberapa temannya agar pergi bersama-sama.
b) Harus ada bentuk-bentuk yang umum dan khas pada semua tanggapan
(responses) yang ditimbulkan oleh pengucapan dari ungkapan yang
diajukan itu tadi.
Misalnya, jika seorang Ayah memarahi anaknya seraya
mengatakan : “Pergi dan jangan injak lagi rumah ini!”, maka
diandaikan adanya tanggapan dari si anak terhadap ungkapan yang
dilontarkan oleh sang ayah itu tadi. Tentu saja tanggapan itu bisa
bermacam-macam. Seorang anak yang berperasaan halus mungkin
akan menangis terisak-isak dan minta maaf kepada ayahnya atas segala
kekhilafan yang dilakukannya. Tetapi anak yang bandel mungkin
melawan atau menanggapi hardikan ayahnya itu dengan hardikan yang
tak kalah serunya, misal : “Saya tidak mau pergi, bapak mau apa?”.
Jadi ada suatu tanggapan yang umum dan khas sifatnya
manakala suatu ungkapan itu dilontarkan dalam situasi tertentu, dan
hal itu akan mengakibatkan tanggapan yang tertentu pula. Baik itu

11

tanggapan positif (seperti si anak yang meminta maaf ketika diusir
oleh ayahnya) maupun tanggapan yang bersifat negatif (seperti si anak
yang balas menghardik ayahnya ketika ia diusir).
Kelemahan pengandaian ini adalah apabila ada suatu ungkapan
bahasa dilontarkan atau diucapkan pada situasi umum yang khas, atau
pada situasi yang sama, namun tanggapan yang muncul belum tentu
sama, dapat saja berbeda-beda. Misalnya, seorang tuan rumah
mendengar pintu rumahnya diketuk pada malam hari, kemudian ia
berseru “tunggu sebentar!” Tanggapan si pengetuk pintu dapat saja
berbeda-beda. Jika si pengetuk pintu itu memang benar-benar tamu
atau keluarga si empunya rumah, besar kemungkinan ia akan
menunggu sampai tuan rumah itu membuka pintu. Akan tetapi
mungkin saja si pengetuk pintu itu langsung ambil langkah seribu,
ketika mendengar si empunya rumah berseru : “tunggu sebentar!”,
karena ia seorang maling yang ingin mengetahui apakah tuan rumah
sudah tidur atau belum.
Dengan demikian juga tidak dapat dipastikan, bahwa suatu
ungkapan bahasa yang dilontarkan pada situasi tertentu, pasti akan
menimbulkan tanggapan yang tertentu pula.24

24

Ibid, hlm. 182-183

12

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Filsafat analitik bahasa merupakan sebuah metode yang khas untuk
menjelaskan, menguraikan, dan menguji kebenaran ungkapan-ungkapan
filosofis, dengan cara mengganti kata-kata dan kalimat-kalimat biasa dengan
kata-kata atau kalimat-kalimat yang lain yang mempunyai arti yang sama tetapi
bentuknya menjadi lebih jelas, logis, mendalam, sistematis, tajam dan tersusun.
Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama,
bahkan sejak zaman Pra Sokrates, yaitu ketika Herakleitos membahas tentang
hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta. Filsafat bahasa mulai
berkembang pada abad ke XX dengan telaah analitik filosofik Wittgenstein
tentang bahasa. Noam Chomsky-lah yang pertama-tama mengangkat bahasa
sebagai disiplin linguistic.
Arti atau makna mengandung implikasi yang begitu luas dalam Filsafat
Analitik Bahasa, maka ada baiknya kita mengetahui beberapa upaya
pemecahan yang coba dilakukan. Dalam hal ini ada beberapa teori arti yang
perlu mendapat perhatian kita. Teori-teori arti tersebut adalah :
1. Teori Acuan (Referential Theory)
Teori acuan ini merupakan teori arti yang mengenali (mengidentifikasikan)
arti suatu ungkapan dengan apa yang diacunya atau dengan hubungan
acuan itu.
2. Teori Ideasi (The Ideational Theory)
Teori Ideasi ini adalah suatu jenis teori arti yang mengenali
(mengidentifikasi) arti ungkapan dengan gagasan-gagasan (idea-idea) yang
berhubungan dengan ungkapan tersebut.
3. Teori Tingkah Laku (Behavioral Theory)
Teori tingkah laku ini merupakan salah satu jenis teori arti yang mengenali
(mengidentifikasi) arti suatu kata atau ungkapan bahasa dengan
rangsangan-rangsangan (stimuli) yang menimbulkan ucapan tersebut,

13

dan/atau tanggapan-tanggapan (responses) yang ditimbulkan oleh ucapan
tersebut.

14

DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar, 2014. Filsafat Bahasa dan Pendidikan, Bandung : Remaja
Rosda Karya.
Chaer, Abdul, 2015. Filsafat Bahasa, Jakarta : Rineka Cipta.
Hermawan,

Asep Ahmad, 2009. Filsafat Bahasa : Mengungkapkan Hakikat

Bahasa, Makna, dan Tanda, Bandung : Remaja Rosda Karya,.
Kaelan, 2006. Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa dan Pengaruhnya
Terhadap Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Paradigma.
Kaelan, 2017. Filsafat Bahasa Hakikat dan Realitas Bahasa, Yogyakarta :
Paradigma.
Mustansyir, Rizal, 2007. Filsafat Analitik : Sejarah, Perkembangan, dan Peranan
Para Tokohnya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

15