Teknologi Pemanfaatan Lahan Berbasis Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN BERBASIS PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

  Oleh: Abdul Rauf dan Rahmawaty

  PENDAHULUAN

  Daerah aliran sungai (DAS) didefenisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi

  

menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau

  atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah pengairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (PP No.37 Tahun 2012). Pengelolaan DAS pada dasarnya merupakan pengelolaan sumberdaya alam (terutama lahan) untuk pemenuhan hajat hidup setiap makhluk, utamanya manusia di dalam ekosistem DAS secara berkelanjutan, menyangkut kebutuhan yang nyata (tangible) meliputi papan, sandang dan pangan, dan kebutuhan yang tidak terukur (intangible) meliputi kenyamanan, kesegaran, dan keamanan dari ancaman bencana alam. Pemenuhan hasrat kehidupan material dan immaterial dimaksud akan terwujud jika tata hubungan timbal balik antara manusia dengan komponen ekosistem DAS lainnya terjadi secara harmonis. Hal tersebut sejalan dengan PP No. 37/2012 Pasal 1 (2) yang menyebutkan bahwa pengelolaan DAS merupakan upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan.

  Berdasarkan kondisi biofisik dan sosial ekonominya, DAS dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu DAS yang harus dipulihkan daya dukungnya dan DAS yang harus dipertahnkan daya dukungnya. Pelaksanaan kegiatan Pengelolaan DAS yang akan

  

dipulihkan daya dukungnya sebagaimana dimaksud dalam PP 37 Tahun 2012 Pasal 39

  huruf a, meliputi:

  a. optimalisasi penggunaan lahan sesuai dengan fungsi dan daya dukung wilayah;

  b. penerapan teknik konservasi tanah dan air dilakukan dalam rangka pemeliharaan kelangsungan daerah tangkapan air, menjaga kualitas, kuantitas, kontinuitas dan distribusi air;

  c. pengelolaan vegetasi dilakukan dalam rangka pelestarian keanekaragaman hayati, peningkatan produktivitas lahan, restorasi ekosistem, rehabilitasi dan reklamasi lahan; d. peningkatan kepedulian dan peran serta Instansi Terkait dalam pengelolaan DAS; dan/atau e. pengembangan kelembagaan Pengelolaan DAS untuk meningkatkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi lintas sektor dan wilayah administrasi Sementara pelaksanaan kegiatan Pengelolaan DAS yang dipertahankan daya dukungnya sebagaimana dimaksud dalam PP 37 Tahun 2012 Pasal 39 huruf b, meliputi: a. menjaga dan memelihara produktivitas dan keutuhan ekosistem dalam DAS secara berkelanjutan; b. bimbingan teknis dan fasilitasi dalam rangka penerapan teknik konservasi tanah dan air demi kelangsungan daerah tangkapan air, untuk menjaga kualitas, kuantitas, kontinuitas dan distribusi air;

  c. peningkatan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar sektor dan wilayah administrasi dalam rangka mempertahankan kelestarian vegetasi, keanekaragaman hayati dan produktivitas lahan;

  d. peningkatan kapasitas kelembagaan pengelolaan DAS untuk meningkatkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi lintas sektor dan wilayah administrasi

  Dengan demikian, bila ditinjau dari aspek biofisik, maka teknologi pemanfaatan lahan (wilayah daratan) berbasis pengelolaan DAS merupakan teknik (cara atau metoda) pemanfaatan lahan, baik lahan budidaya dan hutan, maupun pemukiman, yang tetap memiliki fungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air hujan secara proporsional guna mempertahankan/meningkatkan produk nyata (tangible) dan produk tidak nyata (intangible) yang bebas dari ancaman bencana. Teknologi pemanfaatan lahan berbasis pengelolaan DAS yang akan diuraikan berikut ini lebih ditekankan pada teknik pemanfaatan lahan yang dapat meningkatkan daya jerap (infiltrasi) dan daya simpan (water holding capacity) tanah terhadap air yang datang (curah hujan) pada lahan budidaya, lahan kehutanan, dan lahan pemukiman. Dengan begitu, pemanfaatan lahan akan memberi manfaat ekologi (kelestarian lingkungan) di satu sisi, dengan tetap memberikan manfaat ekonomi di sisi lain, dan dapat berlangsung secara berkelanjutan.

I. PEMANFAATAN LAHAN BUDIDAYA BERBASIS PENGELOLAAN DAS

  Beberapa teknologi pemanfaatan lahan di kawasan budidaya (perkebunan dan atau pertanian) yang telah umum dikerjakan oleh para pekebun dan petani selama ini, yang kemudian dilengkapi dengan sentuhan teknologi (cara/metoda) berbasis pengelolaan DAS, diuraikan berikut ini, diantaranya:

  1. Piringan

  Piringan pada budidaya tanaman tahunan (perkebunan dan industri) seharusnya dibuat seperti piring yang memiliki bibir piring di bagian tepi dan cekungan di bagian tengahnya (Gambar 1). Bentuk seperti piring ini dapat menampung air hujan dan mencegah kehilangan pupuk akibat erosi. Piringan pada perkebuan kelapa sawit (foto), dengan diameter 4 m dan kedalaman cekungan rata-rata 10 cm saja, setiap piringan dapat menampung air hujan

  3

  3

  sebanyak 1,26 m atau 1.260 liter air per pohon atau sebanyak 170,1 m per hektar atau sekitar 170.100 liter (setara dengan 17 mobil tangki berkapasitas 10.000 liter) (1 hektar kebun kelapa sawit terdapat 135 pohon)

  Gambar 1. Piringan berbentuk piring cekung yang dapat menampung air hujan

  2. Pembumbunan

  Pembumbunan pada tanaman pohon seperti pada jeruk manis (foto) yang benar adalah penumpukan sisa gulma atau sisa tanaman sedemikian rupa melingkar mengelilingi pohon dengan jalur tumpukan sejajar dengan proyeksi vertikal dari ujung tajuk pohon (Gambar 2). Sebagaimana diketahui pada tanah yang sejajar dengan proyeksi vertikal ujung tajuk inilah ujung akar (perakaran aktif) dari setiap tanaman pohon. Oleh sebab itu, penempatan bumbunan seperti ini, disamping memberi manfaat tambahan hara bagi tanaman, juga dapat menjadi penampung air saat terjadi hujan.

  Gambar 2. Pembumbunan sejajar (proyeksi vertikal) ujung tajuk yang dapat menahan dan menampung steam flow air hujan

  3. Embung

  Embung adalah kolam-kolam kecil yang sengaja dibuat untuk menampung air hujan pada lahan pertanian (Gambar 3), terutama di lokasi yang sangat sulit mendapatkan sumber air, biasanya pada punggung dan puncak lereng. Pada dasar kolam (embung) diberi lapisan kedap air berupa plastik atau dibeton agar air tidak mudah habis dari dalam embung. Dengan

  3

  ukuran embung 3x3x2 meter misalnya, maka dapat ditampung tambahan air sebanyak 18 m

  2

  untuk setiap embung. Bila setiap 500 m lahan dibuat satu embung, maka setiap hektar akan

  3

  terdapat 20 embung. Ini berarti dapat ditampung air hujan sebanyak 360 m per hektar atau setara dengan 360.000 liter per hektar.

  Gambar 3. Embung di lahan budidaya yang dapat menampung air hujan di lahan budidaya dataran tinggi

  4. Penyadapan Air

  Gubug atau saung di ladang dapat diperankan sebagai sarana penyadapan (pemanenan) air hujan (Gambar 4a). Air hujan yang jatuh ke atap saung dialirkan menggunakan talang (seng bekas) menuju bak/kolam yang dibuat di bagian belakang saung. Ke dalam kolam dapat dipelihara ikan, selain airnya dapat digunakan untuk menyiram tanaman atau pengencer pupuk cair atau pestisida. Penyadapan air dapat pula dilakukan di parit/saluran bagian bawah lahan yang dilapisi plastik di bagian dasarnya (Gambar 4b), sehingga air limpasan dapat ditahan di dalam bak plastik tersebut. a b Gambar 4. Penyadapan (pemanenan) air hujan di lahan usahatani

  5. Sistem Tanam Hole in Hole

  Sistem tanam hole in hole adalah pembuatan lubang tanam ganda sedemikian rupa sehingga lubang untuk penempatan bibit dibuat/berada di bagian tengah/di dalam lubang lainnya yang ukurannya lebih kecil (Gambar 5). Sistem tanam ini juga dimaksudkan sebagai upaya pemanenan air (water harvesting), terutama untuk penanaman tanaman pohon penghijauan/reboisasi di daerah yang sukar diperoleh sumber air (di bagian punggung atau puncak bukit/lereng). Dengan ukuran lubang luar 1x1x0,5 m, maka dapat ditahan air

  3

  tambahan sebanyak 0,5 m per lubang. Bila jarak tanam pohon 10x10 meter maka akan

  3

  diperoleh 100 lubang tanam. Ini berarti dapat ditahan tambahan air sebanyak 50 m atau setara dengan 50.000 liter air per hektar per kejadian hujan.

  Gambar 5. Hole in hole untuk penanaman bibit pohon pada kawasan langka air seperti di lereng/puncak gunung/bukit

  6. Sistem Tanam Big Hole

  Penanaman dengan lubang besar yang diisi kompos atau TKKS (Gambar 6a), dan tanapa diberi TKKS (Gambar 6b), selain bertujuan meningkatkan kesuburan dan kemampuan tanah menahan air juga sebagai upaya pencegahan penyakit ganoderma yang diharapkan dapat memutus rantai perkembangannya (ganoderma).

  Gambar 6. Sistem tanam Big Hole (lubang besar) pada budidaya kelapa sawit dapat menampung air hujan

  7. Rorak

  Rorak merupakan bangunan konservasi berupa parit yang dibuat memotong lereng, biasanya diterapkan pada lahan budidaya yang miring (Gambar 7). Parit dibuat sedemikian rupa berukuran lebar 0,5-0,6 meter dengan kedalaman 0,5-0,7 meter dan panjang tergantung pada panjang lahan ke arah memotong lereng (sejajar kontur). Rorak perlu dibuat pada lahan gawangan panen lahan perkebunan, baik kebun kelapa sawit maupun karet di lahan miring karena gawangan panen biasanya membentuk tapak jalan yang padat dan menjadi saluran saat terjadi hujan.

  Gambar 7. Rorak memotong lereng pada lahan miring

  8. Parit Polder

  Parit polder adalah parit drainase yang dibuat sedemikian rupa mengelilingi lahan usaha budidaya pertanian dengan ukuran tergantung pada jenis tanaman yang dibudidayakan (Gambar 8). Pada usaha budidaya tanaman perkebunan skala korporasi misalnya, parit polder dapat dibuat berukuran lebar atas 2 meter, lebar bawah 1 meter dan dalam 1,5 meter mengelilingi blok-blok kebun yang berfungsi selain menjaga kebun dari gangguan hewan ternak atau pencurian hasil kebun, juga dapat berfungsi menampung air larian (limpasan permukaan) dari dalam hamparan kebun. Parit polder yang diberi pintu air (yang dapat dibuka ditutup) di salah satu ujungnya yang berfungsi menahan air hujan di parit pada ketinggian yang tidak mengganggu pertumbuhan tanaman dan membuang air berlebih yang mungkin tertampung pada saat hujan telah reda, sangat membantu memitigasi banjir/genangan di saluran drainase alami (sungai atau anak-anak sungai) selain memperbesar masuknya air ke dalam tanah. Dengan demikian air hujan yang jatuh di kawasan perkebunan tidak serta merta dalam waktu bersamaan (saat terjadi hujan) masuk ke dalam sungai atau anak-anak sungai, sehingga luapan air sungai (banjir) dapat diminimalisir.

  Gambar 8. Arahan kepada salah seorang pekebun dalam pembuatan parit polder (pembatas bantaran jalan dengan lahan budidaya) berbasis pengelolaan DAS

  9. Mulsa Vertikal

  Teknik mulsa vertikal adalah pemberian bahan organik sisa tanaman atau pupuk kandang atau kombinasi antara keduanya dengan cara membenamkan ke dalam parit atau rorak yang sengaja dibuat sedemikian rupa di antara barisan tanaman dengan jalur memotong lereng teknik mulsa vertikal ini air berlebih (limpasan permukaan) yang mengalir di atas permukaan tanah akan masuk ke dalam parit (rorak) yang berisi bahan organik sisa tanaman dan atau pupuk kandang sehingga air lebih banyak ditahan di dalam parit atau rorak berisi bahan organik tersebut. Pada pertanaman tanaman semusim parit atau rorak yang telah diisi serasah dan pupuk kandang atau kompos dapat ditutup kembali dengan tanah sehingga tidak mengurangi luas permukaan lahan yang dapat ditanami. Mulsa vertikal selalu pula dilakukan pada lahan hutan produksi (hutan tanaman) saat replanting.

  Gambar 9. Teknik mulsa vertikal pada budidaya tanaman tahunan di lahan miring

  10. Mulsa Insitu

  Pemberian mulsa organik sebanyak mungkin menutupi permukaan tanah dari sisa gulma atau sisa tanaman setempat (insitu) (Gambar 10) selain dapat mencegah terjadinya erosi juga dapat membantu menyerap air dalam jumlah banyak karena keberadaan mulsa merangsang populasi fauna tanah dalam menggemburkan (membuat lubang biopri dalam tanah). Mulsa sisa tanaman/sisa gulma juga berperan dalam mengeliminir zat beracun yang berasal dari pestisida atau bahan pupuk sehingga dapat menjaga kualitas tanah dan air. Pada gilirannya mulsa sisa tanaman dan gulma yang telah terdekomposisi akan menyumbangkan unsur hara bagi tanaman.

  Gambar 10. Mulsa dari pengendalian gulma setempat (insitu) pada pertanaman tanaman pohon

  11. Tanaman Penutup Tanah (Cover Crop)

  Lahan sela tanaman tahunan sedapat mungkin harus selalu tertutup oleh tanaman penutup tanah yang juga memiliki nilai ekonomi, seperti bengkuang pada lahan sela kelapa sawit muda, rumput pakan ternak pada lahan sela jeruk manis (Gambar 11), nenas pada lahan kebun kelapa dan lain-lain. Gambar 11. Pemanfaatan lahan sela tanaman tahunan untuk budidaya tanaman menghasilkan dan rumput pakan ternak

  12. Sistem Surjan

  Sistem surjan adalah sistem pertanian yang umum diterapkan pada lahan yang selalu tergenang (rawa) atau lahan dengan muka air dangkal yang meninggikan (menimbun) lahan pada satu bagian dengan jalan mendalamkan lahan pada bagian lainnya (sebelahnya). Dengan demikian terbentuk bagian lahan menyerupai benteng/bedeng yang lebarnya tergantung keinginan (biasanya 2 meter lebar dan panjang tergantung panjang lahan) yang dapat ditanami tanaman lahan kering, dan bagian yang dalam dengan dimensi yang sama dengan bedengnya dan selalu tergenang air, yang dapat berfungsi sebagai kolam ikan (Gambar 12). Dengan demikian terjadi sistem pertanian campuran (terpadu) antara tanaman lahan kering dengan pemeliharaan ikan atau tanaman lahan basah (padi sawah), jika air genangan tidak terlalu dalam. Sistem ini dapat dilakukan di lahan pekarangan, baik di pedasaan maupun di perkotaan (urban farming).

  Gambar 12. Sistem Surjan pada lahan yang selalu tergenang atau muka air dangkal mengkombinasikan tanaman sayuran lahan kering dengan kolam ikan.

  

II. PEMANFAATAN LAHAN DI KAWASAN PEMUKIMAN BERBASIS PENGELOLAAN

DAS

  1. Biopori

  Biopori adalah lubang-lubang (pori-pori, terutama pori makro) di dalam tanah yang dibuat oleh jasad biologi, seperti lubang cacing tanah, lubang tikus, lubang marmut, lubang landak, lubang jangkrik, lubang semut, lubang rayap, lubang bekas akar yang mati dan membusuk, termasuk lubang yang dibuat menggunakan bor tanah oleh manusia (Gambar 13). Biopori terakhir ini umumnya berdiameter 10 cm dengan kedalaman mencapai 100 cm dapat menampung air sebanyak 15,7 liter. Bila lubang ini diisi sampah organik rumah tangga, dapat menampung air 2-3 kali lebih banyak, apalagi bila sampah organik tersebut telah melapuk menjadi kompos.

  Gambar 13. Pembuatan lubang biopori di kawasan permukiman

  2. Sumur Resapan

  Sumur resapan merupakan lubang yang dibuat sedemikian rupa dengan ukuran dan model berlebih, terutama di sekitar area pemukiman. Sumur resapan lazim dan lebih efektif diterapkan untuk menampung air hujan yang jatuh di atas atap bangunan (rumah, kantor, gudang, dan lain-lain) yang dibuat sedemikian rupa di salah satu sudut halaman bangunan guna menampung air hujan yang jatuh di atap bangunan tersebut yang disalurkan melalui talang-talang atap bangunan tersebut (Gambar 14).

  Gambar 14. Sumur resapan sederhana yang dibangun di salah satu rumah warga

  3. Tangki Penampung

  Penampungan air hujan dari atap rumah dapat pula dilakukan menggunakan tangki penampung air dengan prinsip yang sama dengan sumur resapan. Air hujan yang mengalir dari talang-talang atap rumah dimasukkan/ditampung ke dalam tangki-tangki air (Gambar 15) yang diberi keran air pada dasar tangki untuk penggunaan air tersebut untuk berbagai penggunaan, seperti menyiram bunga, mencuci kenderaan, mencuci peralatan dapur, mencuci pakaian, atau bahkan untuk air konsumsi.

  Gambar 15. Tangki penampung air hujan yang jatuh di atap bangunan

  4. Bak Penampung

  Bak penampung air hujan dapat dibuat di bawah teritisan atap bangunan (ujung atap bangunan tempat air hujan jatuh ke permukaan tanah) (Gambar 16). Bak ini biasanya dibuat di halaman belakang/samping bangunan, berukuran lebar sekitar 1-2 meter dengan panjang disesuaikan dengan panjangnya teritisan atap bangunan tersebut. Ketinggian bak/kolam dibuat sekitar 1,5-2,0 meter dan pada ketinggian 1 meter diberi keran air. Fungsi keran air ini untuk mengeluarkan sebagian air di dalam bak (menggunakan air saat tidak terjadi hujan). Dengan demikian, bagian bak yang kosong dengan ketinggian 0,5-1,0 meter berfungsi menampung air kembali saat terjadi hujan, dan bagian bawahnya tetap terisi air untuk pemeliharaan (kolam) ikan.

  Gambar 16. Bak penampung air hujan di bawah teritisan atap bangunan

  5. Tapak Permeable

  Tapak halaman, trotoar dan badan jalan yang dibuat dari coneblock atau lantai berlubang- lubang di kawasan pemukiman dan atau perkantoran (Gambar 17) dapat membantu penyerapan air hujan ke dalam tanah, sekaligus halaman tetap bersih dan indah. Pengerasan halaman rumah dan badan-badan jalan di area pemukiman/perkotaan menggunakan beton semen atau aspal menyebabkan tanah di kawasan tersebut tidak dapat menyerap dan menyimpan air sehingga menimbulkan genangan/banjir saat terjadi hujan.

  Gambar 17. Tapak permeable berupa pelapisan permukaan tanah menggunakan coneblok yang juga dapat menyerap air hujan.

  6. Taman Intersepsi

  Taman dengan sebagian komponennya berupa pepohonan dapat diberdayakan untuk menampung air hujan, selain memberikan keindahan dan kesejukan. Batang pohon besar akan mengalirkan air dalam jumlah banyak pada saat terjadi hujan (steamflow). Bila di sekitar pangkal batang tidak ada serasah atau tumbuhan bawah, air yang mengalir melalui batang ini dapat menyebabkan erosi. Agar air steamflow dapat ditahan (terintersepsi) dan berkesempatan lebih banyak masuk terserap ke dalam tanah, maka di sekeliling batang (dengan diameter tertentu) diberi penyangga, baik berupa cor semen atau benteng batu dan barisan tanaman hias (Gambar 18).

  Gambar 18. Taman intersepsi yang dapat menahan air hujan steam flow

  7. Green Leaf

  Penanaman pohon di dalam pot besar atau drum bekas yang ditempatkan di lantai atap rumah/bangunan atau penghijauan di lantai atap bangunan (green leaf) di kawasan pemukiman/perkotaan (Gambar 19) dapat membantu menahan dan menyimpan air hujan, selain berfungsi keindahan, kesejukan dan produksi buah-buahan. Pot-pot tanaman yang memiliki ruang (permukaan media tanah berada di bawah bibir pot) sekitar 10-15 cm saja, sudah barang tentu akan berfungsi sebagai penangkap (penyadap) air pada saat terjadi hujan.

  Gambar 19. Green leaf sebagai upaya pemanfaatan atap rumah yang ditanami pohon sistem pot yang juga dapat menampung air hujan.

  8. Piringan Pohon di Taman

  Penanaman pepohonan di taman-taman kota atau di halaman rumah dengan menyertakan piringan di sekitar pangkal batang (Gambar 20) sangat disarankan guna menampung air hujan yang mengalir lewat batang (steam flow). Hal ini jelas akan membantu menahan dan menyimpan (menyerap air hujan) dan pada akhirnya akan mengurangi (memitigasi) terjadinya genangan atau banjir.

  Gambar 20. Piringan di sekitar pangkal batang pohon di taman kota atau pekarangan rumah/kantor

  9. Taman Vertikal

  Taman vertikal adalah susunan bunga-bungaan yang ditanam dalam pot (pot system) yang ditempatkan secara secara vertikal menggunakan penyangga besi atau kayu dan bambu (Gambar 21). Selain memperindah taman atau halaman rumah/kantor, sistem ini juga dapat membantu memeperbesar intersepsi (menahan) air hujan per satuan luas taman. Saat ini taman vertikal telah banyak dibuat, terutama di kota-kota besar yang memiliki halaman sempit. Selain untuk estetika dan penyerapan air, juga dapat berfungsi sebagai penyerap CO2 dan debu.

  Gambar 21. Taman vertikal di pekarangan dan taman kota, selain untuk estetika, juga berperan sebagai penahan (intersepsi) air hujan dan penjernih polusi udara

10. Pengembangan Situ-Situ

  Situ-situ dalam hal ini adalah area tempat berkumpulnya (terakumulasinya) air saat terjadi hujan berlebih. Landskap permukaan lahan memang menyediakan bagian-bagian cekungan, lereng dan puncak (cembungan). Dengan begitu, area cekungan (seperti rawa-rawa) pada suatu landskap pasti akan “didatangi” air limpasan dari berbagai arah pada saat terjadi hujan lebat. Pada area ini dapat dilakukan pengembangan situ-situ untuk kegiatan usaha (bisnis) berbasis pengelolaan air (water management) yang dapat menghasilkan keuntungan yang lebih kurang sama dibandingkan dengan mengubahnya menjadi kawasan industri sekalipun. Usaha wisata air, berupa water boom, kolam renang, waduk dengan sampan-sampan dan kereta air, kolam pemancingan dan outbound dan lain-lain (Gambar 22) akan menghasilkan keuntungan dalam jumlah besar di satu sisi dan fungsi kawasan sebagai tempat berkumpulnya air saat terjadi hujan.

  Gambar 22. Pengembangan situ-situ memanfaatkan lahan cekungan yang selalu tergenang air (tempat terkonsentrasinya air) saat terjadi hujan untuk taman dan bahkan usaha (bisnis) berbasis air

III. PENGHIJAUAN BERBASIS PENGELOLAAN DAS

  Penanaman pohon penghijauan belum tentu sepenuhnya dapat mendukung penyerapan (penampungan) dan penyimpanan air yang datang (hujan). Hutan tanpa serasah lantai hutan (hutan kota, misalnya) tidak akan berfungsi baik dari segi daur hidrologi, bahkan dapat menimbulkan erosi lebih besar. Beberapa teknik penghijauan dan atau reboisasi berbasis pengelolaan DAS (dapat menampung dan menyerap air hujan lebih banyak), diantaranya:

1. Penanaman Pohon Penyerap Air

  Pohon Beringin (Ficus benjamina) dan pohon Pulai (Alstonia scholaris) (Gambar 23) yang mampu menangkap dan menyimpan air dalam jumlah banyak (meningkatkan WHC) di sekitar tempat tumbuhnya sehingga pohon ini selalu digunakan untuk penghijauan di lingkungan mata air. Selain pohon ini mudah tumbuh pada lahan kritis (sebagai pohon pionir). Beringin mampu tumbuh di tanah yang tandus, gersang, berbatu, bercadas, dan lereng-lereng yang terjal. Perakaran pohon Beringin dalam dan memiliki akar pengikat yang banyak dan menyerabut sehingga tidak mudah roboh. Sementara Pulai mampu tumbuh pada bulan kering hingga 4 bulan.

  Gambar 23. Pohon Beringin (Ficus benjamina) dan pohon Pulai (Alstonia scholaris) mampu menangkap dan menyimpan air dalam jumlah banyak di sekitar tempat tumbuhnya.

  2. Penguat Bantaran Sungai Pohon Pakam (Pometia spp) sangat baik digunakan sebagai pohon penguat bantaran sungai.

  Tempat tumbuh pohon Pakam yang umumnya berada di bantaran hingga ke bibir sungai (Gambar 24), memiliki peran konservasi sebagai penguat bibir, tebing, dan bantaran sungai. Kekuatan berjangkarnya akar di sela-selah celah hamparan bebatuan tebing sungai menyebabkan pohon pakam tumbuh kokoh mempertahankan bantaran sungai dari gerusan air sungai bahkan banjir bah sekalipun. Pohon Beringin dan pohon Pulai juga baik untuk penguat bantaran sungai.

  Gambar 24. Pohon Pakam (Pometia spp) sangat baik digunakan sebagai pohon penguat bantaran sungai.

  3. Rehabilitasi Lahan Kritis

  Pohon Sengon, Ketapang, Beringin, Pulai, Kelor merupakan pohon yang sesuai digunakan untuk rehabilitasi lahan kritis. Pohon-pohon ini (Gambar 25) berfungsi sebagai pohon perintis (pohon pionir), memiliki sifat mampu tumbuh di tanah yang tandus, gersang, berbatu, bercadas, dan lereng-lereng yang terjal, sistem perakarannya dalam dan memiliki akar pengikat yang banyak dan menyerabut sehingga tidak mudah roboh, mampu tumbuh pada bulan kering hingga 4 bulan. Setalah pohon-pohon ini tumbuh dan membentuk tajuk yang rindang serta merangsang tumbuhnya vegetasi bawah dan menyumbang bahan organik tanah yang banyak, baru kemudian dapat ditanami pohon penghijauan lainnya yang lebih bernilai ekonomis.

  Gambar 25. Pohon Sengon dan Ketapang berfungsi sebagai pohon perintis (pohon pionir) dalam merehabilitasi lahan kritis.

  4. Pohon Intersepsi

  Keberadaan pepohonan dalam kawasan hutan, terutama hutan rakyat dan hutan kota akan berfungsi efektif dalam meng-intersepsi (menahan) air hujan sebanyak mungkin di atas permukaaan tanah (menempel pada tajuk, terperangkap di pelepah dan dedaunan kering di atas permukaan tanah) apabila hutan tersebut memiliki keragamaan (variasi) pohon yang banyak. Kombinasi antara pohon berdaun lebar (jati, ketapang, kepayang, dan lain-lain) dengan pohon berpelepah (aren,pinang, kelapa) (Gambar 26) dan pohon berdaun kecil memberikan peluang lebih banyak terjadinya intersepsi air hujan.

  Gambar 26. Pohon berdaun lebar dan berpelepah dapat menintersepsi air hujan lebih banyak

  5. Sistem Agroforestry

  Sistem agroforestry (Gambar 27) adalah suatu sistem penggunaan lahan yang berorientasi sosial dan ekologikal dengan mengintegrasikan (mengkombinasikan) pepohonan (hutan) dengan tanaman pertanian (agronomis) dan atau ternak secara simultan atau berurutan, untuk mendapatkan total produksi tanaman dan hewan secara berkelanjutan dari suatu unit lahan. Pemanfaatan lahan optimal seperti ini sekaligus membuka peluang daya jerap dan daya simpan tanah terhadap air hujan lebih banyak.

  Gambar 27. Sistem agroforestry yang juga dapat memperbesar kapasitas infiltrasi tanah terhadap air hujan

  6. Pematah Angin

  Pohon Cemara dan Jati selain memiliki nilai ekonomi yang tinggi juga selalu dipergunakan sebagai pohon pematah angin. Barisan pohon (hutan) Jati di perkebunan Tembakau Deli misalnya (Gambar 28a) ditujukan untuk mengendalikan arah angin agar tidak menerpa tanaman tembakau. Pohon cemara banyak dan sesuai ditanam di pantai-pantai berpasir membentuk tajuk dengan tunas dan percabangan yang tumbuh rapat dari pangkal batang dan menganyam satu sama lain membentuk benteng penghempang angin, menahan intrusi air laut dan garam ke daratan, bahkan dapat menghempang ombak dan tsunami (Gambar 28b). a b

  Gambar 28. Pohon pematah angin diantaranya pahon jati di perkebunan Tembakau Deli (a) dan cemara laut di pantai berpasir (b)

  7. Penyerap Polusi Udara

  Pohon Trembesi, Mahoni, Asam Jawa, dan Angsana merupakan jenis pohon penghijauan dikenal memiliki sifat sebagai penyerap polusi udara (terutama CO

  2 ) yang sangat banyak.

  Berkenaan dengan itu, pohon-pohon ini banyak digunakan sebagai pohon penghijauan di kawasan pemukiman, perkotaan dan industri (Gambar 29). Pohon Trembei mampu menyerap CO

  2 sebanyak 28.488,39 kg/pohon/tahun. Selain itu, pohon Trembesi memiliki sifat

  mudah/sesuai tumbuh di dataran pantai berpasir yang juga berfungsi sebagai pohon pematah angin dan pencegah abrasi.

  Gambar 29. Pohon mahoni, trembesi, asam jawa, dan angsana sebagai penyerap polutan udara, sesuai digunakan untuk komponen hutan kota atau taman di kawasan permukiman,

  

DAFTAR PUSTAKA

Abdul-Rauf, Jamilah, dan K.S. Lubis. 2011. Dasar-Dasar Pengelolaan Daearah Aliran Sungai.

  USU Press. Medan. Abdul-Rauf. 2011. Sistem Agroforestry; Upaya Pemberdayaan Lahan Secara Berkelanjutan.

  USU Press. Medan. Abdul-Rauf. 2008. Pengendalian Erosi dan Limpasan Permukaan Menggunakan Teknik

  Mulsa Vertikal pada Budidaya Jeruk Manis di Lahan Miring. Jurnal Agrista UNSYIAH Banda Aceh, Vol.12 No.1, April 2008. Hal. 1-9. Abdul-Rauf. 2009. Profil Arboretum USU 2006-2008. USU Press. Medan. Abdul-Rauf, Y.Hidayat, Rahmawaty, dan B.Slamet. 2010. Rencana Umum Pengelolaan DAS Terpadu DAS Asahan Toba. BP-DAS Asahan Barumun, Kementerian Kehutanan.

  Pematang Siantar. Abdurrachman, A dan Sutono, S. 2002. Teknologi Pengendalian Erosi Lahan Berlereng.

  Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Balitbangtan Deptan. Bogor.103 – 145. Agus, F dan Widianto. 2004. Petunjuk Praktis Konservasi Tanah Pertanian Lahan Kering.

  World Agroforestry Centre. ICRAF Southeast Asia. Bogor. Sinukaban, N. 2008. Pembangunan Daerah Berbasis Strategi Pengelolaan DAS. Prosiding Lokakarya Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS).

  Forum DAS Provinsi Lampung