BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM Kejahatan terhadap ketertiban umum merupakan perbuatan yang meresahkan masyarakat, merugikan korban baik psikis, biologis, dan materi, sehingga sudah selayaknya tindak pidana kejahat

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM Kejahatan terhadap ketertiban umum merupakan perbuatan yang

  meresahkan masyarakat, merugikan korban baik psikis, biologis, dan materi, sehingga sudah selayaknya tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum diatur dalam produk perundang-undangan, dimana penerapannya harus benar-

  

  benar dilaksanakan sesuai dengan hukum materill atau upaya penal dalam menanggulangi tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum serta penegakannya harus tegas, sehingga pada akhirnya tercapai tujuan dasar hukum yaitu memberikan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum dan

  

  membantu meningkatkan perekonomian pembangunan negara. Oleh karena itu dalam bab ini diuraikan pengaturan hukum tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum di dalam KUHP.

  Pengaturan tentang tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum dapat dilihat dalam Bab V KUHP. Adapun beberapa ketentuan tindak pidana dalam KUHP yang termasuk dalam kejahatan terhadap ketertiban umum adalah sebagai berikut :

1. Ketentuan Tindak Pidana Penodaan terhadap Bendera Kebangsaan, Lagu Kebangsaan, dan Lambang Negara

  Tindak pidana penodaan terhadap bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, dan lambang Negara diatur dalam

   54 Lihat Pengertian hukum materill menurut Sudikno Mertokusumo yang menyatakan “Tempat dimana hukum diambil, faktor yang membantu pembentukan hukum”. 55 Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Pustaka Tinta Mas : Surabaya,

  “Barang siapa menodai bendera kebangsaan Republik Indonesia dan lambang Negara Republik Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.” Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal ini adalah sebagai berikut :

  a. Menodai. Arti kata menodai sama dengan menghina. Perbuatan menodai dapat dilakukan dengan beberapa macam cara, misalnya : mengencingi, merobek-robek, melumuri dengan kotoran. Agar perbuatan itu dapat dituntut dengan pasal ini, cara menodai itu harus dilakukan secara demonstratif, artinya dapat dilihat oleh orang banyak, sehingga menimbulkan kesan yang mengakibatkan kemarahan pada orang banyak ; b. Bendera kebangsaan Republik Indonesia yaitu Sang Merah Putih ; c. Lambang Negara Republik Indonesia yaitu lambang Garuda Pancasila.

  Pasal ini ditambahkan melalui Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dengan diadakannya pasal 154a, pasal XVI Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dicabut. Dalam pasal ini diancam dengan pidana, barangsiapa terhadap bendera Kebangsaan Indonesia, dengan sengaja menjalankan sesuatu perbuatan yang dapat menimbukan perasaan penghinaan Kebangsaan. Jadi di sini yang dipakai adalah

   penghinaan, hal mana dalam aturan yang baru, diganti dengan menodai.

56 Moeljatno, Kejahatan-Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum (Open Bare Orde), (PT.

  

2. Ketentuan Tindak Pidana Menyatakan Perasaan Tak Baik Terhadap

Pemerintah

  Tindak pidana menyatakan perasaan tak baik terhadap pemerintah diatur dalam : a.

  Pasal 154 KUHP Pasal 154 KUHP mengatur tindak pidana menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan terhadap Pemerintah di depan umum, yang berbunyi :

  “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal ini adalah sebagai berikut :

  1. Di depan umum. Artinya tidak hanya dilakukan di tempat umum (tempat yang didatangi oleh setiap orang), tetapi harus dapat didengar oleh publlik.

  2. Menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, dan merendahkan. Artinya memberitahukan, menunjukkan, atau menjelaskan perasaan permusuhannya, kebenciannya, atau yang sifatnya merendahkan tidak hanya terbatas pada perbuatan mengucapkan dengan lisan saja, tetapi juga dapat dilakukan dengan tindakan-tindakan. Undang-undang tidak menjelaskan mengenai perasaan yang dimaksud, dan agaknya telah diberikan kepada para hakim untuk memberikan interpretasi mengenai hal itu secara bebas ;

  3. Terhadap pemerintah Indonesia yaitu pemerintah menurut Undang- Undang Dasar Tahun 1945, seperti Presiden, Wakil Presiden, dan para Menteri Negara.

  Logeman berpendapat, bahwa menurut Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (Undang-Undang tanggal 15 Agustus 1950 No. 7, Lembaran Negara No. 50-56), Presiden, Wakil Presiden, dan para Menteri secara bersama-sama merupakan suatu samengesteld orgaan yang disebut pemerintah,

  

  dengan beberapa alasan antara lain, yakni : 1. bahwa dalam Pasal 83 ayat (1) UUDS RI telah ditentukan bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu-gugat ; 2. bahwa dalam Pasal 83 ayat (2) UUDS RI telah ditentukan bahwa Menteri-

  Menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagian- bagiannya sendiri-sendiri ;

  3. bahwa dalam Pasal 85 UUDS RI telah ditentukan bahwa sekalian keputusan Presiden juga yang mengenai kekuasaan atas Angkatan Perang Republik Indonesia ditandatangani serta oleh Menteri (Menteri-Menteri) yang bersangkutan kecuali yang ditetapkan dalam Pasal 45 ayat keempat dan Pasal 51 ayat keempat.

  Kenyataan bahwa yang disebut pemerintah di Indonesia itu adalah Presiden bersama para Menteri, Logeman telah menunjuk pada bunyinya Pasal 68

  

Konstitusi RIS yang mengatakan bahwa :

  (1) Presiden dan Menteri-Menteri bersama-sama merupakan pemerintah ; (2)Di mana-mana dalam Konstitusi ini disebut Pemerintah, maka yang dimaksud ialah Presiden dengan seorang atau beberapa atau para Menteri,

57 P. A. F. Lamintang, Op. Cit., hlm. 453.

  yakni menurut tanggung jawab khusus atau tanggung jawab umum mereka itu.

  Seorang pelaku dapat disebut telah memenuhi unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 154 KUHP, di sidang pengadilan yang memeriksa perkara pelaku harus terbukti :

  1. bahwa pelaku telah menghendaki menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap pemerintah Indonesia ; 2. bahwa pelaku mengetahui pernyataan dari perasaannya telah ia lakukan di depan umum ; 3. bahwa pelaku mengetahui perasaan yang ia nyatakan di depan umum merupakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan ; 4. bahwa pelaku mengetahui perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan telah ia tujukan kepada pemerintah Indonesia.

  Pasal ini dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarka

  anggal 17 Juli 2007.

  b. KUHP

  Pasal 155 KUHP mengatur tentang tindak pidana menyebarluaskan, mempertunjukkan atau menempelkan secara terbuka suatu tulisan atau gambar yang isinya mengandung perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap Pemerintah Indonesia, yang berbunyi :

  “(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau

  (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencahariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena melakukan kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.” Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal ini adalah sebagai berikut : a. Unsur subjektif : Dengan maksud agar tulisan atau gambar itu isinya diketahui oleh orang banyak atau diketahui secara lebih luas lagi oleh orang banyak ; b. Unsur objektif : Menyebarluaskan, mempertunjukkan secara terbuka, menempelkan secara terbuka suatu tulisan, atau suatu gambar, atau yang di dalamnya mengandung pernyataan mengenai perasaan permusuhan, kebencian, merendahkan terhadap pemerintah Indonesia. Yang dapat disiarkan adalah misalnya surat kabah, majalah, buku, surat seleberan atau lainnya, yang dibuat dalam jumlah yang banyak mempertunjukkan berarti memperlihatkan kepada orang banyak. Menempelkan berarti melekatkan di suatu tempat yang mudah diketahui oleh orang banyak.

  Menteri Kehakiman menjelaskan kepada Komisi Pelapor bahwa yang dimaksudkan dengan verspreiden atau menyebarluaskan adalah in omloop

  

brengen van een pluraliteit van exemplaren , artinya mengedarkan lebih dari satu

  lembar, kerena menurut Menteri : een enkel voorwerp kan men niet verspreiden,

  

op onderscheiden plaatsen tegelijk brengen , artinya : orang tidak dapat

  menyebarluaskan benda yang jumlahnya hanya satu, atau orang tidak akan dapat membawa benda yang jumlahnya hanya satu buah ke berbagai tempat yang

   berbeda pada waktu yang bersamaan. Ketentuan pidana dalam KUHP yang mengatur tindak pidana penyebarluasan adalah Pasal 137, 144, 161, 163, 282, dan Pasal 321 KUHP, yang pada umumnya telah melarang orang menyebarluaskan tulisan atau gambar yang isinya tidak pantas, seperti menghina, menghasut, dan sebagainya, dan telah menjadikan perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang terlarang dan membuat pelakunya dapat dijatuhi pidana, jika perbuatan-perbuatan tersebut telah dilakukan orang dengan maksud agar isinya diketahui oleh orang banyak atau isinya menjadi diketahui oleh orang banyak atau isinya menjadi diketahui secara lebih luas lagi oleh orang banyak.

  Pasal ini juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarka tanggal 17 Juli 2007. Apabila ditinjau kembali penjelasan Pasal 154, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa Pasal 154 tersebut menuntut delik pers, sedangkan pasal ini menuntut penyebarannya.

3. Ketentuan Tindak Pidana Menyatakan Perasaan Tak Baik Terhadap Golongan Tertentu

  Tindak pidana menyatakan perasaan tak baik terhadap golongan tertentu diatur dalam : a. Pasal 156 KUHP

  Pasal 156 KUHP mengatur tentang tindak pidana menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap satu atau lebih golongan penduduk Indonesia di depan umum, yang berbunyi :

  “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

  Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal ini hampir sama dengan Pasal 154 KUHP, hanya bedanya kalau pasal 154 KUHP rasa kebencian atau penghinaan itu ditujukan kepada Pemerintah Republik Indonesia, pada pasal ini rasa kebencian atau penghinaan tersebut ditujukan kepada sesuatu atau beberapa golongan penduduk Indonesia. Untuk lebih jelasnya, unsur-unsur Pasal ini adalah sebagai berikut :

  1. Di muka umum ;

  2. Menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan ; 3.

  Terhadap golongan. Yang dikatakan golongan dalam Pasal ini ialah tiap- tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras (segolongan orang yang terdiri atas individu- individu yang mempunyai ikatan yang erat antara yang satu degan yang lain, misalnya karena mempunyai ciri-ciri karakteristik yang sama), negeri asal, agama (Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu), tempat asal, keturunan, kebangsaan (Eropa, Cina, Jepang, atau Indonesia) atau kedudukan menurut hukum tata negara.

  Van Hattum berpendapat tentang kesengajaan si pelaku dalam Pasal 154 dan Pasal 156 KUHP bahwa meskipun kata sengaja tak disebut dalam rumusan pasal-pasal tersebut, tapi di situ harus diisyaratkan bahwa kesengajaannya juga harus ditujukan pada sifat permusuhan dan sebagainya dari pernyataannya.

  Dengan perkataan lain, terdakwa harus menginsyafi bahwa secara obyektif apa yang dinyatakan dapat dan akan diterima oleh orang yang mendengarnya sebagai bersifat demikian. Hanya jika penginsyafan yang demikian itu ada, maka hubungan kesalahan (schuldverband) yang diperlukan untuk semua kejahatan ada pula. Dikatakan oleh van Hattum bahwa yurisprudensi juga berpendirian

   demikan.

  Penerapan Pasal 156 KUHP dapat dilihat dalam Putusan Landraad Pekalongan tahun 1938 yang dimuat dalam Indisch tijdschrift van het recht jilid 147 halaman 870 oleh Buschkens. Duduknya perkara adalah sebagai berikut : Terdakwa sebagai seorang agen polisi yang bertugas di perempatan jalan umum di Pekalongan memerintahkan kepada seorang Tionghoa A yang ada di trotoar jalan, supaya jalan terus. Menurut A dia lalu didorong dengan tongkaat pendek. Ketika A menanya apa sebabnya, maka Terdakwa lalu bilang “Cina jangan bertingkah ; Cina mau dibikin habis oleh Japan”. Ini terjadi dalam tahun 1937. Selain A, ada 2 (dua) saksi yang menguatkan ucapan tersebut. Maka dari itu meskipun Terdakwa mungkir, landraad memutus bahwa Terdakwa bersalah melanggar pasal 156

   KUHP dan menjatuhkan denda f 25,--.

  b.

   Pasal 156a KUHP mengatur tentang tindak pidana dengan sengaja didepan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut orang di Indonesia, yang berbunyi :

  “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : 1. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; 2. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

  60 Moeljatno, Kejahatan-Kejahatan ..., Op. Cit., hlm. 33-36.

  Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal ini pada dasarnya melarang orang :

  1. Dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, yang pada pokoknya bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia ;

  2. Dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apa pun yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

  Pasal ini merupakan isi dari Pasal 4 Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 (Lembaran Negara Nomor 3 Tahun 1965) tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan / atau Penodaan Agama.

  c. KUHP “(1)Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan- golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencahariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.”

  Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal ini adalah hampir sama saja dengan Pasal 155 KUHP, hanya bedanya kalau pasal 155 mengancam hukuman kepada orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang isinya menyatakan rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Republik Indonesia, maka pada pasal ini rasa kebencian, permusuhan atau penghinaan tersebut ditujukan kepada sesuatu atau beberapa golongan penduduk Indonesia. Unsur-unsur Pasal ini adalah sebagai berikut : a. Unsur subjektif : Dengan maksud agar isinya diketahui orang banyak atau diketahui secara lebih luas lagi oleh orang banyak ; b. Unsur objektif : Menyebarluaskan, mempertunjukkan atau menempelkan secara terbuka suatu tulisan atau gambar yang di didalamnya mengandung pernyataan permusuhan, kebencian dan merendahkan di antara atau terhadap golongan-golongan penduduk di Indonesia.

  Noyon dan Langemeijer berpendapat bahwa suatu tulisan itu ialah setiap reproduksi secara mekanis dari pemikiran dalam bentuk kata-kata, dan termasuk pula dalam pengertiannya yakni setiap ungkapan dari pemikiran dalam kata-kata, sehingga ungkapan seperti itu tidak selalu harus dilakukan dengan pensil atau pena, melaikan juga dapat dilakukan misalnya, dengan alat cetak, dengan ukiran, dan sebagainya. Sedangkan mengenai gambar, Noyon dan Langemeijer mengatakan bahwa gambar seperti itu tidak perlu diartikan sebagai gambar seseorang, melainkan cukup jika isinya yang mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau merendahkan di antara atau terhadap golongan- golongan penduduk di Indonesia tercermin dalam suatu lukisan, misalnya gambar

   karikatur, plakat, dan sebagainya.

4. Ketentuan Tindak Pidana Menyelenggarakan Pemilihan Anggota Untuk Suatu Lembaga Kenegaraan Asing

  Tindak pidana menyelenggarakan pemilihan anggota untuk suatu lembaga kenegaraan asing diatur dalam : a. KUHP “Barang siapa menyelenggarakan pemilihan anggota untuk suatu lembaga kenegaraan asing di Indonesia, atau menyiapkan ataupun memudahkan pemilihan itu, baik yang diadakan di Indonesia maupun di luar negeri, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak tujuh ribu lima ratus rupiah.”. Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal ini adalah sebagai berikut :

  1. Menyelenggarakan pemilihan anggota untuk suatu lembaga kenegaraan asing. Artinya mengadakan pemilihan anggota badan politik di negeri asing, yang dapat merugikan ketertiban dan keamanan umum ;

  2. Menyiapkan atau memudahkan pemilihan itu, baik yang diadakan di Indonesia maupun di luar negeri ;

  Pasal ini bertujuan untuk menjaga adanya kemungkinan berkobar- kobarnya nafsu politik dengan segala akibatnya yang merugikan ketertiban dan keamanan umum, maka Negara Republik Indonesia selalu waspada menjaga keamanan umum dalam negeri dan tidak menghendaki pemilihan-pemilihan untuk anggota-anggota badan politik negara asing serta perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan itu, misalnya : persiapan-persiapan, pegajuan calon-calon untuk pemilihan tersebut.

  b. Pasal 159 KUHP “Barang siapa turut serta dalam pemilihan umum, baik yang diadakan di Indonesia maupun di luar negeri, seperti yang dimaksudkan dalam pasal 158, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak seribu lima ratus rupiah.” Unsur yang terkandung dalam Pasal ini adalah turut serta dalam pemilihan umum yang dimaksud dalam Pasal 158 KUHP. Yang dimaksud dengan turut serta pada pemilihan itu ialah yang mengeluarkan suaranya baik yang diadakan di

  Moeljatno berpendapat bahwa Pasal 158 dan Pasal 159 KUHP tidak mempunyai arti lagi dan dapat dipandang dihapus berdasarkan pasal V Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1946. Bunyinya pasal ini ialah peraturan hukum pidana yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian, sementara tidak berlaku. Meskipun sudah wajar sekali, bahwa setelah kemerdekaan Indonesia, kiranya tidak mungkin ada orang yang akan melakukan perbuatan tersebut Pasal 158 dan Pasal 159 KUHP di atas, namun pada kenyataannya ada juga penulis yang menyangkal peniadaan pasal-pasal tersebut.

   a.

5. Ketentuan Tindak Pidana Menghasut di Muka Umum

  KUHP Pasal 160 KUHP mengatur tentang tindak pidana menghasut dengan lisan atau dengan tulisan untuk melakukan sesuatu tindak pidana, untuk melakukan tindak kekerasan terhadap kekuasaan umum atau untuk melakukan tindak kekerasan terhadap kekuasaan umum atau untuk melakukan sesuatu ketidaktaatan lainnya, yang berbunyi :

  “Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal ini adalah sebagai berikut :

  1. Menghasut. Artinya mendorong, mengajak, mebangkitkan atau membakar semangat untuk melakukan sesuatu yang tidak benar menurut segi hukum ;

  Noyon dan Langemeijer membedakan perbuatan menggerakkan orang lain melakukan kejahatan lainnya dengan perbuatan menggerakkan orang lain melakukan kejahatan yang disebut menghasut itu. Orang perlu melihat pada cara- cara yang dipakai oleh pelaku untuk menggerakkan orang lin melakukan kejahatan tersebut. Beliau-beliau berpendapat bahwa dwang atau pemaksaan tidak dapat disebut suatu penghasutan. Menurut Noyon dan Langemeijer :

  “Mengenai penghasutan yang terutama ialah menarik perhatian mengenai sesuatu hal, dan berusaha meyakinkan tentang perlu atau pentingnya hal tersebut, dan berusaha untuk membat hal tersebut menjadi kenyataan ; dengan demikan yang disebut penghasutan ialah usaha untuk meyakinkan orang lain dengan cara memberikan suatu gambaran yang

  

  demikian rupa tentang perlunya sesuatu hal seperti yang ia inginkan.” Noyon dan Langemeijer berpendapat bahwa suatu penghasutan dapat dilakukan orang dalam bentuk pengharapan, dalam bentuk persetujuan, bahkan juga dalam bentuk yang sifatnya imperatif, tetapi tidak mungkin dalam bentuk perintah, karena perintah mempunyai suatu kekuatan yang sifatnya mengharuskan

   dan tidak dapat dibantah.

  Hoge Raad dalam arrest-nya tertanggal 26 Juni 1916, N. J. 1916 telah

  memutuskan, bahwa : “Untuk suatu perbuatan menghasut adalah tidak perlu bahwa pelaku telah memakai kata-kata yang sifatnya membakar hati orang. Cukup kiranya jika terdakwa telah menghasut orang-orang yang dipanggil atau akan dipanggil untuk memasuki dinas militer, agar mereka menolak panggilan tersebut, atau dengan sengaja tidak menaati perintah-perintah yang diberikan oleh

  

  atasan mereka.”

  64 65 P. A. F. Lamintang, Loc. Cit., hlm. 507.

  Ibid.

  2. Dengan lisan atau dengan tulisan. Dengan lisan berarti dengan cara berpidato, sedangkan dengan tulisan berarti dengan surat selebaran, pamflet, majalah, surat kabar dan sebagainya ;

  3. Di muka umum atau di tempat umum, misalnya di pasar, gedung pertunjukan dan sebagainya ;

  4. Untuk melakukan sesuatu tindak pidana ;

  5. Untuk melakuan tindak kekerasan terhadap kekuasaan umum. Yang dimaksud dengan kekuasaan umum adalah penguasa, yakni pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah di daerah beserta alat-alat perlengkapannya ;

  6. Untuk melakukan sesuatu ketidaktaatan lainnya :

  a) baik terhadap suatu peraturan perundang-undangan (undang-undang dalam arti materiil, yakni segala peraturan perundang-undangan, baik yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang di pusat maupun yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang di daerah) ; b) maupun terhadap suatu perintah jabatan yang telah diberikan berdasarkan suatu peraturan undang-undang (perintah jabatan yang diberikan oleh seorang pejabat yang berwenang mengeluarkan perintah seperti itu di dalam jabatannya).

  Hoge Raad dalam arrest-nya tertanggal 21 Mei 1918, N. J. 1918

  halaman 644, W. 10259 mengenai hubungan antara orang yang memberikan perintah dengan orang yang menerima perintah, telah memutuskan :

  “Yang dimaksudkan di sini bukan hanya sifat membawahi sebagai pegawai negeri melainkan setiap kewajiban untuk taat dari warga negara terhadap alat-alat kekuasaan negara jika mereka bertindak memerintah.”

   Van Hamel berpendapat mengenai kewenangan seorang pejabat

  mengeluarkan perintah jabatan seperti yang dimaksudkan di atas itu, bahwa kewenangan tersebut ditentukan oleh segi formal dan segi materiil dari kewenangannya itu, yakni oleh pengangkatan dalam jabatan dari orang yang memberikan perintah dan hubungannya dengan orang yang diperintah, oleh wilayah di mana ia mempuyai kekuasaan, dan oleh wilayah di mana ia mempuyai kekuasaan, dan oleh bentuk dan isi dari perintah itu.

   b.

  KUHP Pasal 161 KUHP mengatur tentang tindak pidana menyebarluaskan, mempertunjukkan atau menempelkan secara terbuka suatu tulisan yang berisi hasutan agar orang melakukan sesuatu tindak pidana, melakukan tindak pidana terhadap kekuasaan umum dan melakukan ketidaktaatan lainnya, yang berbunyi :

  “(1)Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan yang menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, menentang penguasa umum dengan kekerasan, atau menentang sesuatu hal lain seperti tersebut dalam Pasal di atas, dengan maksud supaya isi yang menghasut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

   (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu

  menjalankan pencahariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

  Pasal ini memuat delik penyiaran dari kejahatan dalam Pasal 160 KUHP. Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal ini adalah sebagai berikut : 67 Ibid., hlm. 522. a. Unsur subjektif : Dengan maksud agar isinya yang bersifat menghasut diketahui oleh orang banyak atau diketahui secara lebih luas lagi oleh orang banyak ;

  b. Unsur objektif : Menyebarluaskan, mempertunjukkan atau menempelkan secara terbuka suatu tulisan yang isinya mengandung hasutan :

  1. Untuk melakukan sesuatu tindak pidana ;

  2. Untuk melakukan tindak kekerasan terhadap kekuasaan umum ;

  3. Untuk melakukan ketidaktaatan terhadap suatu peraturan undang- undang ;

  4. Untuk melakukan ketidaktaatan terhadap suatu perintah jabatan yang diberikan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan.

  Tindak pidana penyebarluasan yang dimaksudkan dalam Pasal 161 ayat (1) KUHP adalah penyebarluasan itu harus dilakukan secara terbuka. Menurut Menteri Kehakiman, penyebarluasan artinya memberikan kesempatan kepada beberapa orang untuk membaca satu eksemplar yang sama itu tidak dapat membuat pelakunya dapat dipidana. Simons berpendapat, bahwa yang membuat pelakunya tidak dapat dipidana bukan hanya memberikan kesempatan kepada beberapa orang untuk membaca satu eksemplar yang sama saja, melainkan juga menyebarluaskan suatu tulisan dalam lingkungan yang terbatas atau dalam lingkungan yang tertutup.

69 Tindak pidana menawarkan bantuan untuk melakukan tindak pidana diatur

6. Ketentuan Tindak Pidana Menawarkan Bantuan Untuk Melakukan Tindak Pidana

  dalam : a. KUHP

  Pasal 162 KUHP mengatur tentang tindak pidana menawarkan pemberian bantuan untuk melakukan sesuatu tindak pidana, yang berbunyi : “Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menawarkan untuk memberi keterangan, kesempatan atau sarana guna melakukan tindak pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal ini adalah sebagai berikut :

  1. Menawarkan dengan lisan atau dengan tulisan. Menawarkan dengan lisan, misalnya : menawarkan sesuatu alat dengan harga murah, yang dapat dipakai untuk mengiris kaca, sehingga memudahkan orang untuk memasuki rumah orang lain, guna melakukan pencurian. Menawarkan dengan tulisan, misalnya : menawarkan dengan iklan kepada pria iseng yang ingin bersebadan dengan gadis (perawan), di sebuah rumah yang pasti dapat memberikan pelayanan yang memuaskan ;

  2. Memberikan keterangan-keterangan, kesempatan atau sarana-sarana untuk melakukan sesuatu tindak pidana ;

  3. Di muka umum.

  Undang-undang tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur kesengajaan pada pelaku tindak pidana pada pasal ini, akan tetapi tidak dapat disangkal lagi kebenarannya, bahwa tindak pidana yang diatur dalam Pasal 162 KUHP ini harus dilakukan dengan sengaja. Itu juga berarti kesengajaan pelaku harus ditujukan pada semua unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 162 KUHP. Agar pelaku dapat dinyatakan terbukti telah memenuhi semua unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 162 KUHP, maka di sidang pengadilan yang memeriksa perkara pelaku, harus dapat dibuktikan bahwa :

   b.

  1. Pelaku telah menghendaki melakukan perbuatan menawarkan dengan lisan atau dengan tulisan ;

  2. Pelaku mengetahui, bahwa yang ia tawarkan dengan lisan atau dengan tulisan itu ialah suatu pemberian keterangan, kesempatan atau sarana untuk melakukan suatu tindak pidana dan ;

  3. Pelaku mengetahui, perbuatan menawarkan pemberian keterangan, kesempatan atau sarana dengan lisan atau dengan tulisan itu telah ia lakukan di depan umum.

  Hakim harus memberikan putusan bebas, jika di sidang pengadilan yang memeriksa perkara ternyata salah satu dari unsur-unsur tindak pidananya tidak dapat dibuktikan.

  KUHP Pasal 163 KUHP mengatur tentang tindak pidana menyebarluaskan, mempertunjukkan atau menempelkan secara terbuka suatu tulisan yang berisi penawaran tentang pemberian keterangan, kesempatan atau sarana untuk melakukan sesuatu tindak pidana, yang berbunyi :

  “(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan yang berisi penawaran untuk memberi keterangan, kesempatan atau sarana guna melakukan tindak pidana dengan maksud supaya penawaran itu diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

   (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu

  menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.” Pasal ini memuat delik penyiaran dari kejahatan yang dimaksud oleh Pasal 162 KUHP. Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal ini adalah sebagai berikut : a. Unsur subjektif : Dengan maksud agar penawara itu diketahui oleh orang banyak atau diketahui secara lebih luas lagi oleh orang banyak ; b. Unsur-unsur objektif : Menyebarluaskan, mempertunjukkan atau menempelkan secara terbuka suatu tulisan yang berisi penawaran untuk memberikan keterangan-keterangan, kesempatan atau sarana-sarana guna melakukan sesuatu tindak pidana.

  Tindak pidana menyebarluaskan atau mempertunjukkan secara terbuka suatu tulisan yang berisi penawaran pemberian kesempatan untuk melakukan sesuatu tindak pidana misalnya melalui iklan di dalam sebuah surat kabar yang menyatakan bahwa disewakannya sebuah villa di Cipanas dengan ruang keluarga 20 x 20 meter, dan dengan halaman parkir yang cukup untuk 30 mobil, letak terpencil (1 kilometer dari jalan raya), cocok untuk menyelenggarakan rolet. Iklan seperti itu merupakan tulisan yang berisi penawaran mengenai pemberian kesempatan untuk melakukan suatu tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 163 ayat (1) KUHP.

  Noyon, dalam cetakan keempat dari kitab pelajarannya yang berjudul Het

  

Wetboek van Strafrecht I menghendaki agar kegunaan yang bersifat melangaar

  hukum dari kesempatan yang diberikan oleh pelaku dinyatakan dengan tegas di dalam surat dakwaan dari penuntut umum. Akan tetapi, Langemeijer tidak sependapat dengan kehendak Noyon, dengan alasan bahwa undang-undang tidak dikemukakan, berkenaan dengan keinginan Noyon agar kegunaan yang bersifat melanggar hukum dari kesempatan yang diberikan harus dinyatakan tegas di dalam surat dakwaan dari penuntut umum seperti yang dikatakan di atas, Langemeijer berpendapat :

  “Tidak ada alasan apa sebabnya tindak pidana harus dinyatakan dengan tegas, jika hal tersebut sudah cukup jelas bagi pelaku. Berdasarkan hal-hal tersebut, tidak berarti bahwa orang yang menawarkan sarana-sarana, kesempatan atau keterangan-keterangan itu perlu mengetahui tentang sifatnya yang melanggar hukum dari tindakan yang bersangkutan. Jika pada umumnya, pengetahuan pelaku tentang unsur-unsur dari suatu tindak pidana bukan merupakan syarat, maka dengan sendirinya undang-undang pun tidak dapat mensyaratkan keharusan adanya pengetahuan pada pelaku

  

  tentang sifatnya yang terlarang dari tindakan yang bersangkutan.” P. A. F Lamintang berpendapat bahwa walaupun kegunaan dari keterangan, kesempatan atau sarana yang ditawarkan memang benar bukan merupakan unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 163 ayat (1) KUHP, tetapi untuk dapat menyatakan pelaku telah terbukti memenuhi unsur objektif dari tindak pidana tersebut, di sidang pengadilan yang memeriksa perkara pelaku, harus dapat dibuktikan bahwa pelaku ituu memang mengetahui yang ia sebarluaskan atau yang ia pertunjukkan atau tempelkan secara terbuka merupakan suatu tulisan, yang berisi penawaran mengenai pemberian keterangan, kesempatan atau sarana untuk melakukan sesuatu tindak pidana. Itu juga berarti tindak pidana tersebut mau tidak mau harus disebutkan di dalam surat dakwaan dari penuntut umum, walaupun untuk maksud tersebut tidak perlu dipakai kata-kata seperti yang

   terdapat di dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan.

71 Ibid., hlm. 544.

7. Ketentuan Tindak Pidana Pembujukan (Uitlokking) Melakukan suatu Kejahatan yang Gagal

  Tindak pidana pembujukan (uitlokking) melakukan suatu kejahatan yang ternyata gagal diatur dalaKUHP : “(1)Barang siapa dengan menggunakan salah satu sarana tersebut dalam

  Pasal 55 ke-2 mencoba menggerakkan orang lain supaya melakukan kejahatan, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, tetapi dengan ketentuan jika tidak mengakibatkan kejahatan atau percobaan kejahatan sekali-kali tidak dapat dijatuhkan pidana yang lebih berat daripada yang ditentukan terhadap kejahatan itu sendiri.

   (2) Aturan tersebut tidak berlaku, jika tidak mengakibatkan kejahatan atau

  percobaan kejahatan disebabkan karena kehendaknya sendiri.” Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 163 bis KUHP, dalam doktrin juga sering disebut sebagai mislukte uitlokking, yang artinya ialah usaha untuk menggerakkan orang lain melakukan suatu kejahatan, yang ternyata gagal. Menurut ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 163 bis KUHP, kegagalan itu

  

  disebabkan oleh dua hal, yakni :

  a. Karena orang yang digerakkan untuk melakukan suatu kejahatan itu, ternyata tidak bergerak untuk melakukan kejahatan tersebut ; b. Karena orang yang digerakkan untuk melakukan suatu kejahatan itu, ternyata tidak melakukan suatu percobaan yang dapat dipidana, artinya telah mencoba melakukan kejahatan yang bersangkutan, tetapi percobaannya itu ternyata tidak memenuhi syarat-syarat untuk membuat dirinya dapat dipidana.

  Simons dan Pompe berpendapat bahwa perbuatan membantu

   melakukan suatu uitlokking tidak membuat pelakunya dapat dijatuhi pidana.

  Adapun menurut Hoge Raad dalam arrest-nya tertanggal 24 Januari 1950, N. J. 1950 No. 287 : membantu menggerakkan orang lain melakukan suatu kejahatan itu dapat saja terjadi. Dengan alasan bahwa dengan adanya kata melakukan dalam rumusan Pasal 55 KUHP itu, undang-undang tidak menutup kemungkinan tentang

   adanya suatu perbuatan membantu melakukan suatu uitlokking.

  P. A. F. Lamintang berpendapat bahwa orang yang membantu melakukan suatu uitlokking, yang ternyata gagal seperti itu, tetap dapat dipersalahkan telah membantu melakukan suatu mislukte uitlokking. Dengan kata lain, orang tersebut dapat diminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana karena melanggar larangan-larangan yang diatur dalam Pasal 56 jo. Pasal 163 bis

76 KUHP.

  Noyon dan Langemeijer berpendapat bahwa tindak pidana yang diatur dalam Pasal 163 bis ayat (1) KUHP merupakan suatu kejahatan yang berdiri sendiri, tidak ada hubungannya dengan uitlokking, hingga persyaratan untuk adanya suatu percobaan, yang membuat pelakunya dapat dipidana, tidak berlaku

   bagi kejahatan ini.

8. Ketentuan Tindak Pidana Tidak Melaporkan Akan Adanya Tindak Pidana Tertentu

  Tindak pidana tidak melaporkan akan adanya tindak pidana tertentu diatur dalam : 74 P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Sinar Baru : Bandung, 1983), hlm. 606. 75 76 P. A. F. Lamintang, Delik-Delik Khusus ..., Loc. Cit., hlm. 550.

  Ibid., hlm. 551. a. KUHP

  Pasal 164 KUHP mengatur tentang tindak pidana dengan sengaja mengalpakan keharusan memberitahukan kepada pejabat kejaksaan, pejabat kepolisian atau kepada orang yang terancam mengenai pengetahuannya tentang adanya suatu permufakatan untuk melakukan sesuatu kejahatan tertentu, yang berbunyi :

  “Barang siapa mengetahui ada sesuatu permufakatan untuk melakukan kejahatan berdasarkan Pasal-Pasal 104, 106, 107, dan 108, 113, 115, 124, 187 atau 187 bis, sedang masih ada waktu untuk mencegah kejahatan itu, dan dengan sengaja tidak segera memberitahukan tentang hal itu kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada orang yang terancam oleh kejahatan itu, dipidana jika kejahatan itu jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah.” Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal ini adalah sebagai berikut :

  1. Unsur-unsur subjektif :

  a. Mengetahui tentang adanya suatu permufakatan untuk melakukan salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam Pasal 104 (mengatur tindak pidana permufakatan untuk menghilangkan nyawa atau kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden atau untuk membuat mereka tidak mampu memerintah), Pasal 106 (mengatur tindak pidana permufakatan untuk membawa seluruh atau sebagian wilayah negara ke bawah kekuasaan asing), Pasal 107 (mengatur tindak pidana permufakatan untuk merobohkan pemerintah), Pasal 108 (mengatur tindak pidana pemberontakan), Pasal 113 (mengatur tindak pidana kesengajaan mengumumkan, memberitahukan atau menyampaikan kepada orang yang berkenaan dengan pertahanan negara atau berkenaan dengan keamanan ke luar Indonesia), Pasal 115 (mengatur tindak pidana membaca, melihat atau menyuruh membuat salinannya dan lain-lain, surat-surat atau alat-alat rahasia yang berkenaan dengan pertahanan negara atau dengan keamanan ke luar Indonesia), Pasal 124 (mengatur tindak pidana memberikan bantuan kepada musuh pada waktu perang, dengan merugikan negara untuk kepentingan musuh), Pasal 187 (mengatur tindak pidana dengan sengaja menyebabkan kebakaran, peledakan atau banjir), atau Pasal 187 bis KUHP (mengatur tindak pidana membuat, menerima, berusaha menerima, mempunyai dalam persediaan, menyembunyikan, mengangkut atau memasukkan ke Indonesia, bahan-bahan, alat-alat dan lain-lain, yang dimasukkan untuk menimbulkan peledakan yang dapat menimbulkan bahaya bagi nyawa atau bagi barang). Permufakatan yang dimaksud adalah permufakatan yang terdapat dalam Pasal 88 KUHP yaitu permufaktan jahat itu terjadi, yakni segera setelah dua orang atau lebih memperoleh suatu kesepakatan untuk melakukan suatu kejahatan ; b. Dengan sengaja ;

  2. Unsur-unsur objektif : Tidak memberitahukan tentang hal tersebut pada waktunya dengan cukup kepada pejabat-pejabat kejaksaan, kepolisian, atau kepada orang yang terancam. Artinya mengalpakan keharusan untuk memberitahukan mengenai suatu permufakatan jahat yang telah ia ketahui kepada para pejabat kejaksaan atau kepolisian, atau kepada orang yang terancam.

  Noyon dan Langemeijer berpendapat bahwa kesengajaan mengalpakan keharusan untuk memberitahukan seperti yang dimaksud dalam Pasal 164 KUHP,

  

  dapat terjadi dalam 4 (empat) bentuk kesengajaan, yakni : 1. opzettelijk geheel achterwege laten, artinya dengan sengaja bersikap tak acuh mengenai peristiwa yang terjadi ; 2. opzettelijk te laat kennis geven, artinya dengan sengaja membuat pemberitahuain itu terlambat diberian ; 3. opzettelijk in onvoldoende omvang de kennisgeving doen, artinya dengan sengaja memberitahukan masalahnya secara tidak cukup ; 4. opzettelijk haar richten aan iemand aan wie zij niet behoort gericht te

  worden , artina dengan sengaja memberitahukan masalahnya kepada orang, yang sebenarnya tidak berwenang menerima pemberitahuan seperti itu.

  b.

  KUHP Pasal 165 KUHP mengatur tentang tindak pidana dengan sengaja mengalpakan keharusan memberitahukan kepada pejabat kejaksaan, kepolisian atau kepada orang yang terancam mengenai pengetahuannya tentang adanya maksud untuk melakukan kejahatan tertentu, yang berbunyi :

  “(1) Barang siapa mengetahui ada niat untuk melakukan salah satu kejahatan berdasarkan Pasal-Pasal 104, 106, 107, dan 108, 110-113, dan 115-129 dan 131 atau niat untuk lari dari tentara dalam masa perang, untuk desersi, untuk membunuh dengan rencana, untuk menculik atau memperkosa atau mengetahui adanya niat untuk melakukan kejahatan tersebut dalam bab VII dalam kitab undang- undang ini, sepanjang kejahatan itu membahayakan nyawa orang atau untuk melakukan salah satu kejahatan berdasarkan Pasal-Pasal 224- 228, 250 atau salah satu kejahatan berdasarkan Pasal-Pasal 264 dan 275 sepanjang mengenai surat kredit yang diperuntukkan bagi peredaran, sedang masih ada waktu untuk mencegah kejahatan itu, dan dengan sengaja tidak segera memberitahukan hal itu kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada orang yang terancam oleh kejahatan itu, dipidana jika kejahatan itu jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

   (2) Pidana tersebut diterapkan terhadap orang yang mengetahui bahwa

  sesuatu kejahatan berdasarkan ayat 1 telah dilakukan, dan telah membahayakan nyawa orang pada saat akibat masih dapat dicegah, dengan sengaja tidak memberitahukannya kepada pihak-pihak tersebut dalam ayat 1.”

  Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 165 ayat (1) adalah sebagai berikut :

  1. Unsur-unsur subjektif :

  a) Dengan sengaja ;

  b) Mengetahui tentang suatu maksud untuk melakukan salah satu kejahatan yang diatur dalam pasal 104, 106, 107, 108, 110-113, 115- 129, dan Pasal 131 KUHP, desersi dalam keadaan perang, pengkhianatan secara militer, pembunuhan dengan direncanakan terlebih dulu, penculikan atau pemerkosaan, salah satu kejahatan yang diatur dalam Bab VII KUHP, sejauh kejahatan itu menimbulkan bahaya bagi nyawa, salah satu kejahatan yang diatur dalam Pasal 224-228, 250 KUHP, dan salah satu kejahatan yang diatur dalam Pasal 264 dan Pasal 275 KUHP sejauh kejahatan itu berkenaan dengan surat-surat yang dimaksudkan untuk diedarkan ;

  2. Unsur-unsur objektif : Tidak memberitahukan tentang hal tersebut pada waktunya dengan cukup kepada pejabat-pejabat kejaksaan atau kepolisian atau kepada orang yang terancam.

  Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 165 ayat (2) adalah sebagai berikut :

  1. Unsur-unsur subjektif :

  a) Dengan sengaja ;

  b) Mengetahui tentang telah dilakukannya sesuatu kejahatan yang disebutkan dalam ayat (1) ;

  2. Unsur-unsur objektif : Tidak melakukan pemberitahuan yang sama, pada saat di mana akibat-akibatnya masih dapat dicegah.

  Perbedaan pasal 164 KUHP dengan 165 KUHP adalah bahwa dalam Pasal 164 KUHP, yang akan melakukan kejahatan adalah 2 (dua) orang atau lebih.

  Sedangkan dalam pasal 165 KUHP, yang akan melakukan kejahatan cukup 1 (satu) orang. Pasal ini memuat kewajiban untuk melaporkan kepada yang berwajib sebelum kejahatan itu dilakukan, juga kejadian yang sedang dan sesudah dilakukan, apabila dengan terjadinya kejahatan itu menimbulkan bahaya maut.

  Pasal 164 KUHP merumuskan pengetahuan pelaku telah ditentukan berupa pengetahuan pelakuk tentang adanya suatu permufakatan jahat atau

  

samaenspannig , maka dalam rumusan Pasal 165 KUHP, pengetahuan pelaku itu

  telah ditentukan berupa pengetahuan pelaku tentang adanya maksud untuk melakukan kejahatan-kejahatan tertentu. Mengenai kata “maksud” atau

  voornemen dalam rumusan Pasal ini menurut Simons anatara lain :

  “Pasal ini berbicara tentang voornemen dan bukan tentang rencana yang dipikirkan ataupun yang disebut crime projecte dalam Pasal 103 Code

  Penal , sehingga pengertiannya menjadi lebih luas dari yang dimaksudkan

  dalam pasal ini, karena suatu voornemen sudah ada pada seseorang, sebelum

  

  orang itu memikirkan rencananya.”

  Noyon dan Langemeijer berpendapat bahwa kata voornemen atau maksud dalam Pasal ini mempunyai arti yang tidak sama dengan kata niat, yang biasanya

   msih ada dalam hati seseorang.

  c.

  KUHP Pasal 166 KUHP mengatur tentang ketidakberlakuan Pasal 164 dan 165 KUHP bagi orang-orang tertentu, seperti bunyi pasal ini : “Ketentuan dalam Pasal 164 dan 165 tidak berlaku bagi orang yang dengan memberitahukan itu mungkin mendatangkan bahaya penuntutan pidana bagi diri sendiri, bagi seorang keluarganya sedarah atau semenda dalam garis lurus atau garis menyimpang derajat kedua atau ketiga, bagi suami/atau bekas suaminya, atau bagi orang lain yang jika dituntut, berhubung dengan jabatan atau pencariannya, dimungkinkan pembebasan menjadi saksi terhadap orang tersebut.”

  Pasal ini tidak berlaku bagi diri sendiri, keluarga, suami / bekas suami, dan bagi orang lain yang jika dituntut berhubungan dengan jabatan atau pencariannya untuk menjadi saksi terhadap orang yang memberitahukan tersebut, sebab telah diatur dalam Pasal 274 dan Pasal 277 HIR tentang orang yang tidak dapat menjadi saksi atau hak undur diri dari kesaksian, karena akan mendatangkan bahaya penuntutan hukuman bagi dirinya. Orang-orang tersebut adalah :

  1. Menurut Pasal 274 HIR

  a. Keluarga sedarah atau keluarga semenda dalam turunan ke atas atau ke bawah dari terdakwa atau dari salah seorang yang turut serta menjadi terdakwa ;

  b. Suami atau isteri dari terdakwa atau dari salah seorang yang turut menjadi terdakwa ; lagi pula saudara ibu atau saudara bapak baik laki- laki maupun perempuan, juga yang karena perkawinan dan anak saudara laki-laki dan anak saudara perempuan ; c. Suami atau isteri dari terdakwa atau dari salah seorang yang turut menjadi terdakwa, walaupun telah bercerai.