ANALISIS KOMPARATIF PENGATURAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN DALAM HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

(1)

ANALISIS KOMPARATIF PENGATURAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN DALAM HUKUM PIDANA POSITIF

DAN HUKUM PIDANA ISLAM

(Skripsi)

Oleh

NOVRIANSYAH

F A K U L T A S H U K U M UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(2)

Novriansyah

ABSTRAK

ANALISIS KOMPARATIF PENGATURAN

TINDAK PIDANA PERJUDIAN DALAM HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

OLEH NOVRIANSYAH

Perjudian merupakan tindak pidana yang sangat sering kita jumpai di lingkungan sekitar kita bahkan kita sendiri pernah melakukan perjudian, baik disengaja maupun tidak sengaja, walaupun hanya kecil-kecilan. Praktek perjudian dari hari ke hari justru semakin marak ke berbagai lapisan masyarakat kita. Mulai dari kalangan terbawah sampai ke kalangan atas. Peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara kita yang mengkatagorikan perjudian sebagai tindak pidana, meski cendrung bersifat kondisional. Aturan hukum yang melarang perjudian sudah sangat jelas, tapi bisnis perjudian ilegal di tanah air berkembang dengan pesatnya karena penegakan hukum yang setengah hati dalam pemberantasan perjudian. Hukum Pidana Islam adalah hukum yang bersifat universal karna ia merupakan bagian dari agama islam yang universal sifatnya, hukum islam berlaku bagi orang islam dimanapun ia berada. Permasalahan adalah bagaimanakah perbandingan pengaturan tindak pidana perjudian dalam hukum pidana positif di Indonesia dan hukum pidana islam dan bagaimanakah penerapan sanksi terhadap tindak pidana perjudian dalam hukum pidana positif Indonesia dan hukum pidana islam.

Metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Penelitian pendekatan dengan menelaah hukum sebagi kaedah yang dianggap sesuai dengan penelitian yuridis normatif atas penelitian hukum tertulis. Penelitian hukum normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis yang berkaitan erat dengan masalah konsep-konsep hukum, perbandingan hukum dan sanksi hukum.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa perbandingan tindak pidana perjudian dalam hukum pidana positif Indonesia dan hukum pidana islam ialah bahwa dilihat dari pengaturan menurut hukum pidana positif perjudian itu sendiri oleh pemerintah di katagorikan sebagai tindak pidana dengan mengacu pada KUHP, UU No. 13 tahun 1973, UU No. 7 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan UU No. 7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) itu sendiri secara tegas menyebutkan segala perjudian merupakan pelanggaran hukum sebagaimana


(3)

Novriansyah

dimaksud Pasal 303 KUHP “Diancam dengan pidana sepuluh tahun dan denda RP.25.0000.00,- barang siapa tanpa mendapat izin dilihat dari segi hukum islam maka jelas diatur dalam al quran diatur dalam surat Al Baqoroh ayat 219, dalam surat Al Maidah ayat 90-91, As Sunnah Ijma “ yang melarang dengan tegas segala bentuk perjudian, di provinsi Nangro Aceh Darusalam (NAD) sendiri telah dilaksanakan peraturan yang berdasarkan syariat islam khususnya tentang perjudian yang tertuang dalam Qanun No. 13 tahun 2003 dan penerapan sanksi terhadap tindak pidana perjudian dalam hukum pidana positif indonesia dan hukum pidana islam (jinayah) ialah dari sisi hukum positif dalam perspektif hukum, perjudian merupakan salah satu tindak pidana (delict) yang meresahkan masyarakat. Ancaman pidana perjudian sebenarnya sudah cukup berat, yaitu dengan hukuman pidana penjara antara 4 tahun (KUHP) dan paling lama 10 tahun atau pidana denda sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000. Pasal 303 KUHP jo. Pasal 2 UU No. 7 tahun 1974, dalam hukum islam maka dapat dikategorikan sebagai kejahatan hudud adalah kejahatan yang diancam hukuman had, yaitu : hukuman yang telah ditentukan kualitasnya oleh Allah SWT dan rasulluloh SAW dengan demikian hukuman tersebut tidak mempunyai batas minimum dan maksimum, kejahatan qisas diyat adalah kejahatan yang diancam dengan hukuman qisas. Qisas adalah hukuman yang sama dengan kejahatan yang dilakukan, sedangkan dalam qanun provinsi NAD No. 13 tahun 2003 pasal 23 diancam dengan ‘uqubat cambuk di depan umum paling banyak 12 kali dan paling sedikit 6 kali atau denda paling banyak Rp. 35.000.000,. paling sedikit Rp. 15.000.000,.Qanun di Provinsi Nangro Aceh Darusalam (khususnya perjudian) sangat dominan diterapkan jika dibandingkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia secara umum, hal tersebut terjadi dikarenakan jumlah warga muslim yang sangat besar dan penerapan sanksi Qanun hanya dilakukan pada warga muslim seperti yang tercantum dalam Pasal 23 Qanun Maisir.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disarankan bahwa perlu ada keberanian para pengambil kebijakan di negeri ini untuk melokalisasi perjudian di satu kawasan tertentu yang jauh dari lingkungan banyak penduduk, sekaligus memetakan sejauh mana resistensi yang bakal muncul dan adanya penegakan hukum (law enforcement) secara tegas dan konsisten penegakan hukum tidak bisa secara sendiri- sendiri, tapi menyarankan adanya keterpaduan di antara aparat penegak hukum termasuk DPR RI, kalangan LSM, dan peranan masyarakat.


(4)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan... 6

D. Kerangka Teori dan Konseptual... 7

E. Sistematika Penulisan ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana ... 12

1. Pengertian Tindak Pidana ... 12

2. Pengertian Jenis-Jenis Tindak Pidana ... 14

B. Pengertian dan Jenis-Jenis Pidana... 23

C. Pengertian dan Jenis-Jenis Perjudian ... 25

D. Konsep Pemidanaan Menurut Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam... 27

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 35

B. Jenis dan Sumber Data ... 36

C. Penentuan Narasumber... 37

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 37

E. Analisis Data ... 38

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber ... 39


(5)

B. Perbandingan Pengaturan Tindak Pidana Perjudian dalam

Hukum Pidana Positif Indonesia dan Hukum Pidana Islam ... 40 C. Penerapan Sanksi Terhadap Tindak Pidana Perjudian dalam

Hukum Pidana Positif Indonesia dan Hukum Pidana Islam ... 51

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 64 B. Saran... 65 DAFTAR PUSTAKA


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Al Qordhawi, yusuf. 2003. Menuju Pemahaman Islam yang Kaffah : Analisis Komprehensif Tentang Pilar Karakteristik, Tujuan dan Sumber-Sumber Acuan Islam.Insan Cemerlang. Jakarta

Ar Rifa’i, Muhammad Nasib. 1999. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Gema Insani Press. Jakarta

Asshiddiqie, Jimly. 1996. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Angkasa. Jakarta

Basyir, Ahmad Azhar. 2000. Ikhtisar Fikikh Jinayat. UII Press. Yogyakarta Bungin, Burhan. 2009.Metode Penelitian Kualitatif.LP3ES. Jakarta

Daud Ali, Mohammad. 1990. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia.Rajawali Pers. Jakarta.

Dede, Rosyada. 1992. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta, Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan. Jakarta.

Departemen Agama. 1992. Al Qur’an dan terjemahannya. Tanjung Mas Inti. Jakarta

Doi, Abdur Rahman I. 1990.Inilah Syariah Islam. Pustaka Panji Mas. Jakarta. ..., 1992. Tindak Pidana dalam Syariat Islam. Rineka Cipta.

Jakarta

Erwandi, Tarmizi. 2007.Judi di Zaman Dulu dan Sekarang.Jakarta.

Hosen, Ibrahim. 1987. Apakah Judi Itu. Lembaga Kajian Ilmiah Institut Ilmu Agama. Jakarta

Ifdal, Kasim. 2007.Perkembangan delik Agama dari Masa ke Masa.Jakarta. Imam Ar Razi Hakikat. 1998.Hakikat Judi.Jakarta.


(7)

Kartini, Kartono. 1981.Patologi Sosial Jilid 1.Rajawali Pers. Jakarta.

Leden, Marpaung. 2005. Asas Teori Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta.

Moeljatno. 1993.Asas-asas Hukum Pidana.PT. Roneka Cipta. Jakarta.

Mr. J.E. Jonkers. 1987. Buku Pedoman Hukum Pidana Belanda.PT Bina Aksara. Jakarta.

Mubin Hamid, Fatchul. 2007.199 Kebiasaan yang Keliru. Mutiara Pustaka. Jawa Timur Mojokerto.

Muladi. 2005.Teori-teori dan Kebijakan Pidana.Alumni. Bandung.

Musa, Muhammad Yusuf. 1988.Islam Suatu kajian Komprehensif. Rajawali Pers. Jakarta

Ninik, Widiyanti. 1978. Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya Ditinjau dari Segi Kriminologi dan Sosial.PT Pradnya Paramita. Jakarta.

P.A.F. Lamintang. 1997.Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia.PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

Santoso, Topo. 2000. Menggagas Hukum Pidana Islam : penegakan syariat dalam wacana dan agenda.Gema Insani Pers. Jakarta

..., 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam : penegakan syariat dalam wacana dan agenda.Gema Insani Pers. Jakarta

Soedarto. 1990.Hukum Pidana. Yayasan Soedarto. Semarang.

Soerjono, Soekanto. 1984.Penanggulangan Kejahatan.Rajawali Pers. Jakarta. ..., 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia

Pers. Jakarta

Soerodibroto, Soenarto. 1991KUHP dan KUHAP.Rajawali Pers. Jakarta.

Tim Penyusun Hakikat Judi. 1988. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam. Jakarta

Tim Penyusun Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum. 2000. Departemen Agama. Jakarta

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)


(8)

Utrech, E. 1986.Hukum Pidana I.Pustaka Tinta Mas.Jakarta. Zainuddin, Ali. 2007.Hukum Pidana Islam.Sinar Grafika. Jakarta. Zuhdi, Majfuk. 1987.Masail Fiqhiyah. Haji Masagung. Jakarta ---www.Qanunprovinsinangroeacehdarussalam.com


(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana perjudian merupakan suatu perbuatan yang banyak dilakukan orang, karena hasil yang akan berlipat ganda apabila menang berjudi. Perjudian merupakan tindak pidana yang sangat sering kita jumpai di lingkungan sekitar kita bahkan kita sendiri pernah melakukan perjudian, baik di sengaja maupun tidak di sengaja, walaupun hanya kecil-kecilan ataupun hanya iseng saja. Praktek perjudian dari hari ke hari justru semakin marak di berbagai lapisan masyarakat, mulai dari kalangan bawah sampai ke kalangan atas. Perjudian juga tidak memandang usia, banyak anak-anak di bawah umur yang sudah mengenal bahkan sering melakukan perjudian. Seperti kita lihat dalam acara berita kriminal di TV juga banyak ibu-ibu rumah tangga yang tertangkap sedang berjudi bahkan diantaranya sudah berusia lanjut. Dalam skala kecil, perjudian banyak dilakukan di dalam lingkungan masyarakat kita meskipun secara sembunyi-sembunyi (ilegal). Beragam permainan judi mulai togel (toto gelap) sampai judi koprok di gelar di tempat-tempat perjudian kelas bawah.

Judi untuk skala besar, sudah menjadi pengetahuan umum, di Jakarta, Medan, Batam, Surabaya, dan kota besar lainnya di tanah air, para cukong judi telah membangun “imperium” bisnis perjudian terselubung dengan berbagai jenis permainan, seperti : mickey mouse kasino, jackpot, roulette, dan bola ketangkasan (bingo). Tragisnya lagi, di lokasi-lokasi itu berkembang secara luas industri kejahatan lainnya, seperti : perdagangan narkoba, perdagangan perempuan dan anak, serta termasuk perdagangan senjata ilegal (Daud Ali, 1990:240).


(10)

Bentuk-bentuk perjudian senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi. Perjudian tidak harus berhadap-hadapan antara sesama pelaku, seperti pemain jackpot tidak pernah berhadapan dengan pemiliknya (bandar) yang sebenarnya.

Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama Islam, pernah melegalkan undian berhadiah yang termasuk judi, seperti : Sumbangan Sosial Berhadiah (SSB), kupon porkas, Nasional Lotre (Nalo) dan Lotre Totalisator (Lotto). Namun akhirnya semuanya dicabut karena sebagian besar ulama di Indonesia mengharamkan dan meminta pemerintah mencabut izinnya (Masjfuk Zuhdi,1987:174).

Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara kita mengkategorikan perjudian sebagai tindak pidana, meski cendrung bersifat kondisional. Aturan hukum yang melarang perjudian sudah sangat jelas, tapi bisnis perjudian ilegal di tanah air berkembang dengan pesatnya karena penegakan hukum yang setengah hati dalam pemberantasan perjudian. Di sisi lain, kondisi mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam membuat judi tersebut tidak dibenarkan. Islam menaruh perhatian besar pada perjudian, karena mudharat atau akibat buruk yang ditimbulkan dari perjudian lebih besar dibandingkan manfaatnya maka Islam mengharamkan segala macam bentuk perjudian.

Ancaman pidana perjudian sebenarnya sudah cukup berat, merujuk Pasal 303 KUHP jo Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 maka hukuman pidana perjudian adalah dengan hukuman pidana penjara antara 4 tahun (KUHP) dan paling lama 10 tahun atau pidana denda sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000. Sementara itu, dalam hukum Islam perjudian dapat dikatagorikan sebagai kejahatan hudud adalah kejahatan yang diancam hukuman had, yaitu hukuman yang telah ditentukan kualitasnya oleh Allah SWT dan Rasulluloh SAW dengan demikian hukuman


(11)

tersebut tidak mempunyai batas minimum dan maksimum, kejahatan qisas diyat adalah kejahatan yang diancam dengan hukuman qisas. Qisas adalah hukuman yang sama dengan kejahatan yang dilakukan (Ali, 1990:240).

Di Indonesia, Propinsi Nangro Aceh Darusalam adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang telah melaksanakan peraturan yang berdasarkan syariat Islam, khusus tentang perjudian tertuang dalam Qanun Nomor 13 tahun 2003, pada Pasal 23 Qanun tersebut termuat jika melakukan perjudian maka diancam dengan hukuman cambuk di depan umum paling banyak 12 kali dan paling sedikit 6 kali atau denda paling banyak Rp. 35.000.000 paling sedikit Rp. 15.000.000 .

Tindak Pidana perjudian dalam hukum pidana positif diatur dalam Pasal 303 ayat (1) KUHP yang menentukan:

“Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak enam ribu rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin ;

1. Dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu;

2. Dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk permainan judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak untuk perduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya suatu tata-cara;

3. Menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai pencarian.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian disebutkan dalam Pasal 1 bahwa semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Dalam konsideran disebutkan bahwa perjudian pada hakekatnya bertentangan dengan agama, kesusilaan dan moral, serta membahayakan bagi penghimpunan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.


(12)

Surat AL Baqarah Ayat 219 :

”Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah : “pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa kedua dosanya lebih besar dari manfaatnya.” Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah SWT menerangkan ayat-ayat Nya kepadamu supaya kamu berfikir.

Surat AL Maa-Idah ayat 90-91 :

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi (berkorban) untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syetan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah SWT dan sholat, maka berhentilah kamu ( dari mengerjakan pekerjaan itu )”

Berdasarkan KUHP dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, judi tidak dianggap tindak pidana bila mendapat izin dari pemerintah atau judi dilakukan di dalam rumah yang para pelakunnya di undang khusus, tetapi berdasarkan hukum pidana Islam, perjudian di anggap sebagai kejahatan yang pelakunya harus dijatuhi sanksi.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai Studi Komparatif Pengaturan Tindak Pidana Perjudian Dalam hukum Pidana Positif dan Hukum pidana Islam.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan dalam penulisan proposal skripsi ini adalah :


(13)

a. Bagaimanakah perbandingan pengaturan tindak pidana perjudian dalam hukum pidana positif Indonesia dan hukum pidana Islam ?

b. Bagaimanakah penerapan sanksi terhadap tindak pidana perjudian dalam hukum pidana positif Indonesia dan hukum pidana Islam ?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penulisan skripsi ini adalah pembahasan secara komparatif tentang tindak pidana perjudian dalam hukum pidana positif dan hukum pidana Islam, dengan menitikberatkan kepada unsur dan sanksi yang dikenakan terhadap tindak pidana perjudian, dengan lokasi penelitian di Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Bandar Lampung dan Universitas Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan penulisan ini adalah :

a. Mengetahui tentang perbandingan tindak pidana perjudian dalam hukum pidana positif di Indonesia dan hukum pidana Islam.

b. Mengetahui tentang penerapan sanksi terhadap tindak pidana perjudian dalam hukum pidana positif di Indonesia dan hukum pidana Islam.

2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis


(14)

1. Secara teoritis, penelitian ini berguna bagi perkembangan hukum pidana Indonesia terutama mengenai pengaturan tindak pidana perjudian dan hukum pidana positif dan hukum pidana Islam.

2. Penelitian ini juga sebagai konstribusi atau masukan dalam rangka rekonstruksi hukum pidana Indonesia, khususnya dalam pengaturan mengenai tindak pidana perjudian.

b. Kegunaan Praktis

Kegunaan praktis dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai saran untuk meningkatkan pengetahuan mengenai pengetahuan tindak pidana perjudian dalam hukum pidana positif dan hukum pidana Islam.

2. Sebagai sumber informasi dan bahan acuan bagi mereka yang memerlukan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Metode komparatif dalam penulisan skripsi ini adalah mempelajari sistem hukum pidana Positif dan sistem hukum pidana Islam dengan tujuan membandingkannya, yang bertitik tolak dari mencari identitas fungsi norma-norma hukum itu dalam penyelesaian masalah sosial dalam masyarakat dalam bidang pengertian tindak pidana dan sistem pemidanaan.

Metode perbandingan hukum menggunakan pendekatan fungsional dijelaskan oleh Zweigert : Seseorang sarjana perbandingan hukum terutama tertarik pada hakikat sesuatu (die natur der sache). Ia pertama-tama harus menentukan hakikat problema yang dihadapi, sebab hanya demikian ia akan dapat menemukan kaidah hukum yang tepat. Ia tidak dapat memulai


(15)

pekerjaannya sebelum ia menetapkan konsep-konsepnya, atau dengan kata lain menetapkan kategori-ketagori fungsi dan bukan kategori-kategori norma (Barda Nawawi Arief, 1998 : 12).

Berbagai sistem hukum hanya dapat dibandingkan selama sistem-sistem itu berfungsi untuk menyelesaikan problema-problema sosial yang sama atau untuk memenuhi kebutuhan hukum yang sama. Dengan demikian perbandingan hukum tidak bertitik tolak pada norma-norma hukum tetapi pada fungsi-fungsi, yaitu : mencari identitas dan fungsi norma-norma hukum itu dalam penyelesaian problema sosial yang sama.

Menurut Rudolf D. Schlessinger (1959) dalam bukunya comparative law mengemukakan antara lain :

1. Comparative law merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih tentang bahan hukum tertentu.

2. Comparative law bukanlah suatu perangkat peraturan dan asas-asas hukum, bukan suatu cabang hukum.

3. Comparative lawadalah teknik atau cara menggarap unsur hukum asing yang aktual dalam suatu masalah hukum.

Perbandingan hukum sebagai suatu metode mengandung arti bahwa ia merupakan suatu cara pendekatan untuk lebih memahami suatu objek atau masalah yang diteliti. Menurut Van Apeldoorn objek ilmu hukum adalah hukum sebagai gejala kemasyarakatan. Ilmu hukum tidak hanya menjekaskan apa yang menjadi ruang lingkup dari hukum itu sendiri tetapi juga menjelaskan hubungan antara gejala-gejala hukum dengan gejala sosial lainnya. Untuk mencapai tujuannya itu, maka digunakan metode sosiologis, sejarah dan perbandingan hukum.

1. Metode sosiologis dimaksudkan untuk meneliti hubungan antara hukum dengan gejala sosial lainnya.


(16)

3. Metode perbandingan hukum, untuk membandingkan sebagai tertib hukum dari bermacam-macam masyarakat.

(Barda Nawawi Arief, 1998 : 5)

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau yang akan diteliti (Soerjono Soekanto, 1984 : 132).

Konsep yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah, sebagai berikut :

a. Analisis ialah penyelidikan terhadap sesuatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya sebab musabab, duduk perkara dan sebagainya) (Nawawi, 1990:32).

b. Komparatif ialah berkenaan atau berdasarkan perbandingan (Nawawi, 1990:453), dalam hal ini perbandingan mengenai mengaturan tindak pidana perjudian dalam Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam.

c. Tindak pidana ialah sesuatu kekuatan manusia (menselijke gedraging) yang oleh peraturan perundang-undangan diberi hukuman jadi, suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan hukuman (E. Utrecht, 1986 : 251). Sedangkan tindak pidana dalam hukum Islam adalah tindak pelanggaran atau perbuatan tercela, yang menurut pertanggungjawaban terhadap pelakunya. Perbuatan yang dimaksud adalah setiap perbuatan yang dilarang atau diharamkan (Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum, 2002 : 313).


(17)

d. Perjudian adalah pertaruhan dengan sengaja, yaitu : mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai, dengan menyadari adanya resiko dan harapan-harapan tertentu pada pristiwa-pristiwa permainan, pertandingan, perlombaan dan kejadian-kejadian yang tidak/belum pasti hasilnya (Kartini Kartono, 1981 : 51).

e. Hukum pidana Islam adalah sistem perundang-undangan tentang pidana yang didasarkan atas nilai ilahiah yang bersumber dari Al-Qur’an, sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya (Islam Untuk disiplin Ilmu Hukum, 2002 : 314).

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adaalah sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang penulisan skripsi dengan judul Analisis Komparatif Pengaturan Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam. Kemudian dalam bab ini juga memuat perumusan masalah dan pembatasan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan serta diuraikan pula mengenai kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi mengenai pengertian perjudian, sumber-sumber hukum pelarangan perjudian, dan klafikasi tindak pidana perjudian dalam hukum pidana positif dan hukum pidana Islam.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat mengenai metode penulisan, yang meliputi : pendekatan masalah yang merupakan penjelasan tentang bagaimanakah masalah yang akan dijawab tersebut (berkaitan


(18)

dengan disiplin ilmu dan sudut pandang peneliti), sumber dan jenis data yang merupakan penjelasan tentang dari mana data tersebut diperoleh penentuan populasi dan sampel, teknik pengumpulan data yang berisikan cara bagaimana data dikumpulkan dan diolah, analisis data yang memuat cara dan sudut pandang data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat mengenai pembahasan dan permasalahan yang berisi perbandingan perjudian dalam hukum pidana positif dan hukum pidana Islam, unsur-unsur perjudian dalam hukum pidana positif dan hukum pidana Islam serta pengaturan sanksi tindak pidana perjudian dalam hukum pidana positif dan hukum pidana Islam.

V. PENUTUP

Bab ini memuat kesimpulan dan saran-saran yang mengarah kepada penyempurnaan penulisan tentang Analisis Komparatif Pengaturan Tindak Pidana Perjudian dalam Kitab Undang-Undang Pidana dan Hukum Pidana Islam.


(19)

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

Sebelum membahas masalah tindak pidana maka terlebih dahulu kita mengerti apa pidana itu, hukum pidana dan segala pengaturannya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Menurut Saleh (1962:5) pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud nestapa yang dengan sengaja dilimpahkan negara pada pembuat delik itu. Dikatakan Simons (1984:112) bahwa strafbaar feit itu adalah kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Sementara itu, Poernomo (1982:86) mengatakan bahwa tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan kepentingan orang lain atau merugikan kepentingan umum.

Beberapa sarjana hukum pidana di Indonesia menggunakan istilah yang berbeda-beda menyebut kata “pidana” ada beberapa sarjana yang menyebut tindak pidana, pidana perbuatan atau delik. Untuk mengetahui hal ini, maka diuraikan pendapat dari beberapa sarjana baik pengertian perbuatan pidana, tindak pidana, ataupunstrafbaar feit,sebagai berikut :

a. Pompe dalam Poernomo (1982:91) memandang dari dua hal, yakni :

1. Definisi menurut teori memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang diberikan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.


(21)

2. Definisi menurut hukum positif, merumuskan strafbaar feit adalah suatu kejadian yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

b. Moeljatno (1993:37) mengatakan bahwa pebuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana yang disertai dengan ancaman/sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut. Menentukan kapan dan hal apa yang mereka telah melanggar larangan itu dapat dikenakan/dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan.

c. Menurut pendapat Van Hammel dalam Moeljatno (1993:38) dirumuskan bahwastrafbaar feit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas jelas bahwa di dalam perbuatan tindak pidana tersebut didapatkan adanya suatu kejadian tertentu, serta adanya orang-orang yang berbuat guna menimbulkan suatu akibat karena melanggar peraturan perundang-undangan yang ada.

Berdasarkan Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) istilah umum yang dipakai adalah tindak pidana karena bersifat netral, dan pengertian itu, meliputi : perbuatan pasif dan aktif. Jadi, dapat dikatakan bahwa pengertian tindak pidana mempunyai arti perbuatan melawan hukum atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

2. Jenis-jenis Tindak Pidana a. Tindak Pidana Umum

Tindak pidana umum ini adalah suatu perbuatan pidana yang pengaruhnya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang terdiri dari :

1) Kejahatan


(22)

“Kejahatan merupakan perbuatan yang melanggar dan bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah dan tugasnya, perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah hukum dan tidak memenuhi atau melawan perintah yang telah ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat”.

Berkaitan dengan hal tersebut, pelaku tindak pidana kejahatan dapat dikatakan telah mempunyai latar belakang yang ikut mendukung terjadinya kriminalitas tersebut, sebagai contoh seorang yang hidup di lingkungan yang rawan akan tindak kriminal, maka secara sosiologis jiwanya akan terpengaruh oleh keadaan tempat tinggalnya.

Selanjutnya menurut Sue Titus Reid dalam Soekanto (1984:44) bagi suatu perumusan tentang kejahatan maka diperhatikan adalah :

1. Kejahatan adalah suatu tindakan sengaja (omissi). Dalam pengertian ini seseorang dapat dihukum karena pengertiannya, melainkan harus ada suatu tindakan atau kealpaan dalam bertindak. Kegagalan untuk bertindak dapat juga merupaka kejahatan. Jika terdapat suatu keajaiban hukum untuk bertindak dalam kasus tertentu, di samping itu ada niat jahat (criminal insert, mens rea).

2. Merupakan pelanggaran hukum pidana.

3. Dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau pembenaran yang diakui secara hukum. 4. Diberi sanksi oleh negara sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran.

Berdasarkan beberapa definisi di atas pada dasarnya kejahatan adalah suatu bentuk perbuatan dan tingkah laku yang melanggar hukum dan perundang-undangan lain serta melanggar norma sosial sehingga masyarakat menentangnya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan definisi secara tegas tentang pengertian kejahatan. Berkaitan dengan kejahatan dapat disimpulkan bahwa semua perbuatan yang disebut dalam buku ke- II Pasal 104 – 488 KUHP adalah kejahatan dan perbuatan lain secara tegas dinyatakan sebagai kejahatan dalam undang-undang di luar KUHP.


(23)

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang pelanggaran adalah Pasal 489-569/BAB I-IX. Moeljatno (2000:72) menyatakan pelanggaran adalah wetsdelichten, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat hukumannya baru dapat diketahui setelah adawetyang menentukan demikian.

Jonkers (1987:27) membedakan kejahatan dan pelanggaran, sebagai berikut :

Maka pembunuhan, pencurian, penganiyaan dan peristiwa-pristiwa semacam itu merupakan kejahatan (rechtsdelicten) karena terpisah dari aturan pidana yang tegas, dirasakan sebagai perbuatan yang tidak adil. Sedangkan, peristiwa seperti : bersepeda di atas jalan yang dilarang, berkendara tanpa lampu atau kejurusan yang dilarang merupakan kejahatan undang-undang/pelangaran (wetsdelicten), karena oleh undang-undang diancam dengan pidana.

Sementara itu, Bambang (1982:96) mengungkapkan perbedaan kejahatan dan pelanggaran adalah, sebagai berikut :

a. Kejahatan adalah criminal onrecht dan pelanggaran adalah politie onrecht. Criminal onrecht adalah perbuatan hukum sedangkan politie onrecht merupakan perbuatan yang tidak mentaati larangan keharusan yang ditentukan oleh penguasa negara. Adapula pendapat yang lain mengatakan arti criminal onrecht sebagai perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma menurut kebudayaan atau keadilan yang ditentukan oleh Tuhan atau membahayakan kepentingan hukum, sedangkan arti politie onrecht sebagai perbuatan yang pada umumnya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang oleh peraturan penguasa atau negara.

b. Kejahatan adalah memperkosa suatu kepentingan hukum, seperti : pembunuhan, pencurian,dan sebagainya atau juga membahayakan suatu kepentingan hukum dalam arti abstrak misalnya penghasutan dan sumpah palsu, namun kadang-kadang dapat pula dikatakan bahwa sumpah palsu juga termasuk sebagai suatu kejahatan.

c. Kejahatan atau pelanggaran itu dibedakan karena sifat dan hakekatnya berbeda, tetapi ada perbedaan kejahatan dan pelanggaran didasarkan atas ukuran pelanggaran itu dipandang dari sudut kriminologi tidaklah berat apabila dibandingkan dengan kejahatan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disebutkan bahwa suatu perbuatan dikatakan termasuk pelanggaran atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa negara karena antara kejahatan dan


(24)

pelanggaran itu berbeda baik dari sifat, hakekat, maupun ukuran dari tindak pidana yang dilakukan.

b. Tindak Pidana Khusus

Tindak pidana khusus adalah suatu perbuatan pidana atau tindak pidana yang diatur di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dasar pemberlakuan tindak pidana khusus adalah KUHP diatur dalam Pasal 103, yaitu : ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab IV buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain, misal : tidak pidana korupsi (Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi), Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Terorisme, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 Tentang Terorisme, Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Nakotika, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, kejahatan terhadap anak (Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak), pelanggaran HAM (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia).

Tindak pidana khusus maksudnya ditinjau dari peraturan yang menurut undang-undang bersifat khusus baik jenis tindak pidananya, penyelesaiannya, sanksinya bahkan hukum acaranya sebagian diatur secara khusus dalam undang-undang tersebut dan secara umum tetap berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


(25)

Moeljatno (1993:12) menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana yang merupakan inti dari pada sifat melawan hukum adalah perbuatan, karena perbuatan itulah yang hanya diikuti oleh unsur-unsur objeknya. Selanjutnya Van Hammel dalam Soedarto (1990:41) merumuskan unsur strafbaar feit, yaitu :

a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang. b. Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum.

c. Dilakukan dengan kesalahan oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab baik sengaja maupun tidak sengaja.

Sedangkan menurut Simons dalam Kansil (2004:37), unsur-unsur tindak pidana adalah : a. Perubahan manusia

b. Perubahan manusia itu harus melawan hukum (wederrechtelijk)

c. Perbuatan itu harus diancam dengan pidana (strafbaar gesteld) oleh undang-undang d. Harus dilakukan oleh seorang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvat baar) e. Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan (schuld) si pembuat.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa unsur-unsur dari suatu tindak pidana adalah perbuatan manusia yang melawan hukum dan dapat diancam dengan hukuman pidana baik disengaja maupun tidak disengaja yang terjadi karena si pembuat.

4. Pertanggung Jawaban Pidana

Pengertian pertanggungjawaban menurut kamus bahasa Indonesia adalah perbuatan, pertanggungjawaban, sesuatu yang bertanggung jawabkan. Pengertian pidana menurut kamus bahasa Indonesia adalah kejahatan tentang pembunuhan, perampokan, korupsi dan sebagainya. Kemudian, pengertian pertanggungjawaban pidana menurut kamus bahasa Indonesia adalah suatu perbuatan yang wajib dipertanggungjawabkan oleh pelaku pidana.


(26)

Menurut Wirjino Projodikiro (1999:71) pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang harus di pertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Lebih spesifik, Moeljatno (1993:58) berpendapat mengenai pertanggungjawaban tindak pidana, sebagai berikut :

“Suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana apabila telah mempunyai unsur-unsur perbuatan manusia, diancam/dilarang oleh undang-undang bersifat melawan hukum dilakukan dengan kesalahan dan perbuatan tersebut mampu atau dapat dipertanggung jawabkan. Pengertian tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar peraturan-peraturan pidana diancam dengan hukuman oleh undang-undang dan dilaksanakan oleh seseorang yang bersalah, orang yang mampu dan dipertanggungjawabkan. Apalagi kita mengkajinya lebih jauh makna dari pengertian ini, maka didalamnya terdapat unsur delick atau tindak pidana, yaitu :

a. Adanya unsur perbuatan b. Adanya unsur pelanggaran c. Diancam dengan hukuman d. Dilakukan dengan kesalahan

Menurut Simons dalam Kansil (2004:49), seseorang mampu bertanggung jawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila :

1. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum.

2. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut

Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu bersalah, unsur-unsur dari kesalahan menurut Soedarto (1990:91) ialah :

1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat

2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan atau kealpaan

3. Tidak ada alasan pemaaf, yang dimuat dalam Pasal 44, Pasal 48, sampai pasal 51 KUHP


(27)

a. Kesengajaan

Menurut Moeljatno (1993:171), untuk menentukan kesengajaan ada dua macam teori, yaitu : 1. Teori kehendak (Witstheheorie)

Teori kehendak kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan kepada yang terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalam wet, sedangkan menurut yang lain kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan rumusan wet. Lagi pula kehendak merupakan arah, maksud, atau tujuan hak mana berhubungan dengan motif (alasan pendorong untuk berbuat) dan tujuan perbuatan. Konsekuensinya adalah bahwa menentukan suatu perbuatan dikendaki oleh terdakwa, jadi perbuatan tersebut harus dibuktikan sesuai dengan motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan klasual dalam batin terdakwa.

2. Teori Pengetahuan (Voorstellings Theories)

Menurut teori ini kesengajaan diterima sebagai pengetahuan, disini pembuktian lebih singkat karena hanya berhubungan dengan unsur-unsur perbuatan yang dilakukan saja. Tidak ada hubungan kausal antara motif dengan perbuatan, hanya berhubungan dengan pertanyaan, yaitu : kelakuan, maupun akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya. Maka kita menganut teori pengetahuan, konsekuensinya ialah bahwa untuk membuktikan adanya kesengajaan dapat menempuh dua jalan, yaitu : membunyikan adanya hubungan klausal dalam batin terdakwa antara motif dan tujuan, atau pembuktian adanya penginsyafan atau pengertian terhadap apa yang dilakukan beserta akibat dan keadaan-keadaan yang yang menyertainya jadi mengenai kelakuan hanya ada dua kemungkinan, yaitu : diinsyafi atau tidak diinsyafi.

Kesengajaan adalah tindak pidana yang dilakukan oleh subyek hukum yang ditentukan, Projodikora (1999:61) membagi kesengajaan dalam tiga macam/bentuk/corak, yaitu :

1. Kesengajaan dengan maksud (Dolus Directus) adalah bahwa sesorang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja dimana perbuatan menjadi tujuan sesuai dengan kehendaknya. 2. Kesengajaan dengan kepastian (Ofzet bijt zekerheids bewotzjin), yaitu : bahwa seseorang

melakukan perbuatan tertentu dengan tujuan tertentu, dimana sangat disadarinya bahwa akibat lain, yang bukan menjadi perbuatannya dikatakan ada kesengajaan bagi kepastian. 3. Kesengajaan dengan kemungkinan (Dolus Eventualis), yakni : suatu perbuatan tertentu

dengan tujuan tertentu dimana sangat disadarinya bahwa selain tujuannya tercapai, maka makin ada akibat yang dikehendakinya akan terjadi.


(28)

Kealpaan adalah perbuatan yang merupakan tindak pidana yang tidak ada dasar niat untuk melakukan kejahatan tetapi karena kecerobohan atau kurang hati-hatinya mengakibatkan terjadinya kejahatan. Sebagai contoh sebagai berikut :

Pasal 359 KUHP

“Barangsiapa yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun”.

Pasal 360 KUHP

“Barangsiapa karena kealpaanya menyebabkan orang lain mendapatkan luka-luka berat, diancam dengan pidana 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.”

Berdasarkan kedua pasal tersebut, kealpaan dapat diartikan bahwa seseorang tersebut kurang berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan yang obyeknya kausal menimbulkan keadaan yang dilarang tanpa adanya unsur niat jahat.

Van Hamel dalam Moeljatno (1993:201) menyatakan bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu :

1. Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum. 2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Dua syarat di atas menunjukan bahwa dalam batin terdakwa kurang diperhatikan benda-benda yang dilindungi oleh hukum atau ditinjau dari sudut masyarakat bahwa dia kurang memperhatikan akan larangan-larangan yang berlaku dalam masyarakat.


(29)

Apabila diperhatikan, maka untuk dapat dipidana seseorang tidak cukup apabila seseorang itu telah melakukan perbuatan pidana saja tetapi, di samping itu pula orang tersebut harus ada kesalahan dan dapat dipertanggungjawabkan atau dapat bertanggung jawab, jadi dalam hal ini syarat utamanya perbuatan tindak pidana tidak ada alasan pemaaf sebagaimana diatur dalam pasal 44, 48 dan 49 (2) KUHP

Pasal 44 KUHP

(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (zeikelijke storing) tidak dipidana.

(2) Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

(3) Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.

Pasal 48 KUHP

Barang siapa melakukan suatu perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.

Pasal 49 (2) KUHP

Pembelaan tersangka yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak di pidana.

Tidak dapat dipidananya seseorang dikarenakan berhubungan dengan jiwa si pelaku dan tidak ada alasan pembenar sebagaimana diatur dalam pasal 48, 49 (1), 50 dan 51 KUHP


(30)

Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.

Pasal 49 (1) KUHP

Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena adanya serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri atau orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.

Pasal 50 KUHP

Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.

Pasal 51 KUHP

(1) Barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak dipidana.

(2) Perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikat baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaan termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

Tidak dapat dipidananya seseorang dikarenakan sifat melawan hukum perbuatan tersebut hapus karena undang-undang.

B. Pengertian dan Jenis-jenis Pidana

Jenis-jenis pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disingkat dengan (KUHP) dan di luar KUHP, sebagaimana terdapat dalam Pasal 10 KUHP, dibagi dalam dua jenis :


(31)

a. Pidana pokok, yaitu : 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Pidana denda.

5. Pidana tutupan (ditambah berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946. b. Pidana tambahan, yaitu :

1. Pencabutan hak-hak tertentu. 2. Perampasan barang-barang tertentu. 3. Pengumuman putusan hakim.

Selain jenis sanksi yang berupa pidana dalam hukum pidana positif dikenal juga jenis sanksi yang berupa tindakan, misalnya :

a. Penempatan di Rumah Sakit Jiwa bagi orang yang tidak dapat mempertanggungjawabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu karena penyakit (lihat Pasal 45 ayat 2 KUHP).

b. Bagi anak yang berumur 16 tahun melakukan tindak pidana, Hakim dapat mengenakan tindakan berupa (lihat Pasal 45 KUHP namun telah dicabut semenjak adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak) :

1. Mengembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya atau 2. Memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada pemerintah.

Dalam hal yang ke (2) anak tersebut dimasukkan dalam rumah pendidikan negara yang menyelenggarakannya diatur dalam peraturan pendidikan paksa.

c. Penempatan di tempat bekerja Negara bagi pengangur yang malas bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian serta menggangu ketertiban umum dengan melakukan pengemisan, bergelandangan atau perbuatan asosial.

d. Tindakan tata tertib dalam hal tindak pidana ekonomi (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Drt 1955) dapat berupa :

1. Penempatan perusahaan si terhukum di bawah pengampunan untuk selama waktu tertentu (3 tahun untuk tindak pidana kejahatan ekonomi dan 2 tahun untuk pelanggaran tindak pidana ekonomi).

2. Pembayaran uang jaminan selama waktu tertentu.

3. Pembayaran sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan menurut taksiran yang diperoleh.

4. Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya terhukum sekedar hakim tidak menentukan lain.

Berkaitan dengan jenis-jenis pidana ini Pemerintah berkali-kali merumuskan atau menyempurnakan melalui perancangan Versi Konsep Revisi KUHP tahun 1972, Konsep Usul


(32)

Rancangan KUHP Buku 1 Tahun 1982/1983 yang disusun oleh Tim Kajian Hukum BPHN, dan Rancangan KUHP Tahun 2000 yang diketuai oleh Muladi (2005:48), dapat ditegaskan dalam perkembangannya konsep terakhir jenis-jenis pidana pokok menjadi :

1. Pidana penjara. 2. Pidana tutupan. 3. Pidana pengawasan. 4. Pidana denda. 5. Pidana kerja sosial.

Berdasarkan uraian jenis-jenis pidana di atas, dapat diketahui bahwa jenis pidana merupakan sanksi yang diberikan aparat penegak hukum kepada pelaku tindak pidana yang melakukan kejahatan. Pengenaan sanksi ini sesuai dengan Pasal 10 KUHP.

C. Pengertian dan Jenis-Jenis Perjudian

Menurut Kartini Kartono (1981:51) yang dimaksud perjudian adalah pertaruhan dengan sengaja yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai, dengan menyadari adanya resiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa permainan, pertandingan dan kejadian-kejadian yang tidak/belum pasti hasilnya.

Menurut Dali Murtiara dalam Kartono (1981:52) dalam menafsirkan KUHP menyatakan bahwa permainan judi itu harus diartikan dengan arti luas, juga termasuk segala pertaruhan tentang kalah menangnya suatu pacuan kuda atau lain-lain pertandingan atau segala pertaruhan dalam perlombaan-perlombaan itu misalnya totalisator, dan lain-lain.

Bila mengacu pada KUHP yang dimaksud dengan perjudian berdasarkan Pasal 303 ayat (3) adalah “Tiap-tiap permainan, dimana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena permainannya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ


(33)

termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain demikian segala pertaruhan lainnya.

Menurut Yusuf Qardhawi dalam Imam Ar Razi (1998:22), setiap permainan yang mengandung qimar adalah haram. Qimar ialah setiap permainan yang pemainnya tidak terlepas dari untung dan rugi. Ia adalah mesin/judi yang disejajarkan oleh Al-Qur’an dengan anak, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib.

Selanjutnya, Imam Ar Razi (1998:22) mengemukakan bahwa hakikat maisir adalah qiman/permainan yang mengandung untung-untungan. Ibnu Sirrin, Mujahid dan Atha mengatakan setiap sesuatu yang mengandung spekulasi termasuk judi. Menurut Imam Qurthubi maisir ada dua macam, yakni : maisir permainan seperti catur dan maisir/judi yaitu sesuatu dimana seseorang berspekulasi di dalamnya.

Menurut Imam Abu Bakar Al Jasshash (1998:22), hakikat judi ialah pemilikan benda atas dasar spekulasi. Menurut Syekh Sa’id bahwa maisir/judi ialah memindahkan kepemilikan harta secara tidak logis karena tidak ada imbalan. Menurut Jalalain judi ialah alat-alat permainan yang mempergunakan taruhan uang.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa perjudian adalah suatu kegiatan pertaruhan untuk memperoleh keuntungan dari hasil suatu pertandingan, permainan atau kejadian yang hasilnya tidak dapat diduga sebelumnya.

D. Konsep Pemidanaan Menurut Hukum Pidana Positif Indonesia Dan Hukum Pidana Islam.


(34)

Pasal 1 ayat 1 KUHP menyebutkan “Tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali berdasarkan suatu ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu dari perbuatan itu”. Asas ini dikenal dengan asas Nulla Poena, lengkapnya adalah Nullum Nulla Poena Praevia Lege Poenali, yang dikembangkan oleh seorang pakar Jerman bernama Paul Johann Aselm Von Feuerbach. Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, ajarannya dikenal dengandee leer van de psychologische dwang(ajaran tentang pemaksaan secara psikologis).

Ajaran dee leer van de psychologische dwang (ajaran tentang pemaksaan secara psikologis) dalam Marpaung (2005:115) memuat tiga ketentuan, yakni :

a. Nulla puna sine lege,yang bermakna bahwa setiap penjatuhan hukuman harus didasarkan pada undang-undang.

b. Nulla Poena sine crimine, yang bermakna bahwa penghukuman hanya dapat dilakukan jika perbuatan itu telah diancam dalam suatu undang-undang.

c. Nullum crimen sine poena legali,yang bermakna bahwa perbuatan tersebut telah diancam oleh suatu undang-undang yang berakibat dijatuhnya hukuman berdasarkan ketentuan dalam undang-undang.

Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (1), seseorang karena melakukan suatu perbuatan dapat dihukum bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Ada suatu norma hukum pidana yang tertentu.

b. Norma hukum pidana itu harus berdasarkan undang-undang yang dibuat dan dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.

c. Norma hukum pidana itu harus sudah berlaku sebelum perbuatan dilakukan.

Hukum pidana memberikan sanksi yang begis dan sangat memperkuat berlakunya norma-norma hukum yang telah ada, dalam hukum pidana bukan saja hal memidana si terdakwa, akan tetapi sebelum sampai kepada itu, terlebih dahulu harus ditetapkan apakah terdakwa benar melakukan perbuatan pidana atau tidak.


(35)

Aspek atau segi hukum pidana itu yaitu menentukan apakah perbuatan seseorang merupakan perbuatan pidana atau bukan dan kemudian menentukan apakah orang yang melakukan perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan karena perbuatan tersebut atau tidak.

Konsep pemidanaan menurut hukum positif bertitik tolak pada unsur melawan hukum perbuatan pidana sesuai dengan aturan/peraturan perundang-undangan yang diatur dan diancam pidana, hukuman pidana merupakan hukum yang bengis/kejam dengan karena setiap yang melanggar hukum pidana dikenai sanksi pidana baik berupa kurungan (penjara), denda sampai pencabutan hak-hak tertentu, sehingga dapat menimbulkan efek jera terhadap pelaku pidana tersebut.

2. Konsep Pemidanaan menurut Hukum Pidana Islam a. Pengertian Pidana Islam

Hukum Pidana Islam merupakan terjemahan dari kata Fiqih Jinayah. Fiqih Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf, sebagai hasil pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-Qur’an dan Hadits.

Hukum Pidana Islam merupakan syari’at Allah SWT yang mengandung kemasylahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia dan akhirat, syari’at Islam dimaksud, secara materil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk melakukannya. Al-Qur’an merupakan penjelasan Allah SWT tentang syari’at, sehingga disebut Al-Bayan (penjelas).


(36)

Asas-asas umum hukum Islam adalah asas-asas hukum yang meliputi semua bidang dan lapangan Hukum Islam, yaitu sebagai berikut :

a. Asas keadilan adalah asas yang penting dan mencakup semua asas dalam Hukum Islam. Akibat dari pentingnya asas dimaksud sehingga Allah SWT SWT mengungkapkan di dalam Al-Qur’an lebih dari 1000 kali.

b. Asas kepastian hukum adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan yang dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan yang ada dan berlaku pada perbuatan itu.

c. Asas kemanfaatan adalah asas yang menyertai asas keadilan dan kepastian hukum yang dipertimbangkan asas pertimbangan asas kemanfaatannya, baik kepada yang bersangkutan sendiri maupun kepada masyarakat.

Asas-asas Hukum Pidana Islam adalah asas-asas hukum yang mendasari pelaksanaan Hukum Pidana Islam di antaranya :

a. Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya.

b. Asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain adalah asas yang menyatakan bahwa setiap perbuatan manusia, baik perbuatan yang baik maupun jahat akan mendapatkan imbalan yang setimpal.

c. Asas praduga tak bersalah adalah asas yang mendasari bahwa seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya itu.

d. Asas kemaslahatan hidup adalah asas yang mendasari segala pekerjaan yang mendatangkan kebaikan, berguna, dan bermanfaat pada kehidupan pribadi manusia dan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Ruang lingkup Hukum Pidana Islam, meliputi : pencurian, menuduh orang baik-baik berzina, meminum minuman memabukkan, membunuh dan/atau melukai seseorang, merusak harta seseorang, melakukan gerakan-gerakan kekacauan dan semacamnya berkaitan dengan hukum kepidanaan.

Jenis hukuman yang menyangkut tindak pidana kriminal dalam Hukum Pidana Islam terbagi menjadi dua, yaitu :


(37)

1. Ketentuan hukuman yang pasti mengenai berat ringannya hukuman termasuk qishash dan diat yang tercantum di dalam Al-Qur’an dan Hadits.

2. Ketentuan hukuman yang dibuat oleh hakim melalui putusannya yang disebut hukuman ta’zir.

Hukuman publik dalam ajaran Islam adalah Jinayah yang memuat aturan mengenai perbuatan yang diancam dengan hukuman. Sumber Hukum Pidana Islam adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ar-Ra’yu.

a. Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam yang pertama memuat kumpulan wahyu-wahyu Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.

b. Sunnah Nabi Muhammad SAW, merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an, yang berupa perkataan, perbuatan, dan perizinan Nabi Muhammad SAW.

c. Ar-Ra’yu atau penalaran adalah sumber ajaran Islam ketiga. Penggunaan akal manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah yang bersifat umum.

Unsur-unsur Hukum Pidana Islam yaitu :

1. Secara yuridis normatif di satu aspek harus didasari oleh suatu dalil yang menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan hukuman (unsur materil).

2. Unsur moral yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hal ini disebut mukallaf.

Berdasarkan ruang lingkup hukum Islam yang telah diuraikan dapat ditentukan ciri-cirinya, sebagai berikut :

1. Hukum Islam adalah bagian dan bersumber dari ajaran agama Islam

2. Hukum Islam mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat di cerai-pisahkan dengan iman dan kesusilaan atau akhlak Islam

3. Hukum Islam mempunyai istilah kunci, yaitu : syariah dan fikih

4. Hukum Islam terdiri atas dua bidang utama, yaitu : ibadah dan hukum muamalah dalam arti luas

5. Hukum Islam mempunyai stuktur yang berlapis-lapis dalam bentuk bagan tangga bertingkat

6. Hukum Islam mendahulukan kewajiban dari hak, amal dari pahala

7. Hukum Islam dapat dibagi menjadi dua, yakni : hukum taklifi atau hukum taklif yaitu al-ahkhamsah. yang terdiri atas lima kaidah jenis hukum lima penggolongan hukum, yaitu


(38)

jaiz, sunah, makruh, wajib dan haram dan hukum wadh’i yaitu hukum yang mengandung sebab, syarat, halangan terjadi atau terwujudnya hubungan hukum.

3. Pengertian Judi Menurut Hukum Islam

Judi dalam bahasa syar’i disebut maysir atau qimar adalah transaksi yang dilakukan oleh dua belah pihak untuk pemilikan suatu barang atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu aksi atau peristiwa.

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Ma’idah ayat 90-91

“Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran meminum khamar dan berjudi itu menghalangi kamu dari mengingat Allah SWT dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan itu).

Dalam ayat di atas Allah SWT mensifati judi dan lain-lain dengan sifat yang membuat setiap insan yang memiliki iman hakiki sekecil apapun di hatinya akan berhenti mendadak melakukan hal-hal tersebut, maka pantaslah para sahabat ketika ayat ini turun menumpahkah arak-arak mereka sekalipun gelas arak itu sudah berada di muncungnya, seraya menjawab perintah Allah SWT SWT : “kami berhenti ya Rabb!”

4. Unsur-unsur Judi Menurut Hukum Islam

Ada tiga unsur agar suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai judi. Unsur-unsur tersebut, antara lain :


(39)

1. Permainan/perlombaan. Perbuatan yang dilakukan biasanya berbentuk permainan atau perlombaan. Jadi dilakukan semata-mata untuk bersenang-senang atau kesibukan untuk mengisi waktu senggang guna menghibur hati. Jadi bersifat kreatif. Namun disini para pelaku tidak harus terlibat dalam bertaruh terhadap jalannya sebuah permainan atau perlombaan.

2. Untung-untungan. Artinya untuk memenangkan permainan atau perlombaan ini lebih banyak digantungkan kepada unsur spekulatif/kebetulan atau untung-untungan. Atau faktor kemenangan yang diperoleh dikarenakan kebiasaan atau kepintaran pemain yang sudah sangat terbiasa atau terlatih.

3. Ada taruhan. Dalam permainan atau perlombaan ini ada taruhan yang dipasang oleh para pihak pemain atau bandar. Baik dalam bentuk uang ataupun harta benda lainnya. Bahkan kadang istripun bisa dijadikan taruhan. Akibat adanya taruhan maka tentu saja ada pihak yang diuntungkan dan ada yang rugikan. Unsur ini merupakan unsur yang paling utama untuk menentukan apakah sebuah perbuatan dapat disebut sebagai judi atau bukan.

Dari uraian di atas, maka jelas bahwa segala perbuatan yang memenuhi ketiga unsur di atas, meskipun tidak disebut dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1981 adalah masuk kategori judi meskipun dibungkus dengan nama-nama yang indah sehingga nampak seperti sambungan, semisal PORKAS atau SDSB. Bahkan sepak bola, pimpong, bulutangkis, voleydan catur bisa masuk kategori judi, bila dalam prakteknya memenuhi ketiga unsur di atas.

5. Delik Judi Menurut Hukum Islam

Delik (delict, actus reus)adalah perbuatan atau tindakan yang oleh suatu aturan hukum di larang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa (orang atau badan hukum) yang melanggar larangan tersebut. Istilah delik agama pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Oemar Seno Adji. Istilah ini memang dapat menimbulkan kebingungan karena membawa kita pada tiga pengertian atau asisiasi pikiran berikut ini :

(a) Delik menurut agama (b) Delik terhadap agama


(40)

Apalagi delik agama dalam tiga pengertian itu sudah tersebar dalam KUHP yang sekarang berlaku. Jadi “mana” yang sebetulnya yang lebih tepat disebutkan sebagai “delik agama” dari ketiga anggapan atau pengertian tersebut.

Delik judi menurut Hukum Islam ialah suatu aktifitas mengambil keuntungan dari bentuk permainan seperti kartu, adu ayam, main bola dan permainan lainnya, yang tidak memicu pelakunya berbuat kreatif, namun demikian bahwa para fuqaha tidak menempatkan perjudian dan undian sebagai salah satu pembahasan dalam delik pidana. Di tinjau dari Hukum Islam maka larangan tentang perjudian di rangkaikan dengan khamar.

Berdasarkan hal dimaksud, cukup beralasan jika perjudian dirangkaikan dengan khamar. Sehingga, perjudian termasuk salah satu tindak pidana, yang konsekuensi atau saksi hukumnya disejajarkan dengan tindak pidana khamar.


(41)

(42)

III. METODE PENELITIAN

Untuk memecahkan masalah guna memberikan petunjuk pada permasalahan yang akan dibahas dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya maka dalam penelitian ini diperlukan metode tertentu. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam kerangka penulisan ini adalah :

A. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan disain penelitian studi komparatif. Studi komparatif merupakan penelitian yang bersifat membandingkan dua variabel atau lebih. Kedua variabel bisa jadi tidak berhubungan atau mandiri. Studi komparatif dalam penulisan ini merupakan perbandingan mengenai mengaturan tindak pidana perjudian dalam hukum pidana positif dan hukum pidana Islam.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif (legal research) mengenai hukum pidana positif dan hukum pidana Islam. Penelitian hukum normatif adalah menelaah hukum sebagai kaedah yang dianggap sesuatu dengan penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum tertulis. Penelitian hukum normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis yang berkaitan erat dengan masalah konsep-konsep hukum, perbandingan hukum, dan sanksi hukum. Secara operasional penelitian hukum normatif dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research), dengan menelaah referensi baik referensi dalam negeri maupun luar negeri.

Studi kepustakaan ini dimaksudkan untuk memperoleh arah pemikiran dan tujuan penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, mengutif dan menelaah literatur-literatur


(43)

yang menunjang peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan bacaan lainnya yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.

B. Jenis dan Sumber Data

Adapun sumber data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah :

1. Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat berupa peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini bahan hukum primer yang digunakan adalah :

a. Al-Qur’an dan Terjemahnya. b. Sunnah Rosul.

c. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 d. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

e. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder ialah data-data yang diambil dari literatur yang berkaitan dengan pokok masalah, undang-undang, peraturan pemerintah, karya-karya ilmiah dan hasil-hasil penelitian para pakar sesuai dengan objek penelitian. Beberapa bahan hukum sekunder tersebut adalah Undang-Undang Nomor 13 tahun 1973, Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dan Qanun Aceh Nomor 13 tahun 2003.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan berupa bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder, seperti : Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia.


(44)

Narasumber merupakan orang yang memberi (mengetahui secara jelas atau menjadi sumber) informasi informan. Dalam penulisan proposal skripsi ini yang menjadi narasumber yaitu, dosen Fakultas Hukum dan dosen Fakultas Syar’iah, dengan klasifikasi sebagai berikut :

1. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang 2. Dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Lampung : 1 orang +

Jumlah : 2 orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data di dalam skripsi ini dilakukan dengan menggunakan cara studi kepustakaan, (Library research).Studi kepustakaan bertujuan mencari dan mendapatkan bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang dilakukan melalui studi dokumen, yaitu dengan cara membaca, mencatat dan menganalisa buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

2. Pengolahan Data

Pengolahan Data yang diperoleh dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Evaluasi (seleksi data), yaitu data yang telah diperoleh, diperiksa untuk mengetahui apakah masih terdapat kekurangan-kekurangan serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

b. Klasifikasi data, yaitu menyusun data yang telah dievaluasi menurut bahsanya masing-masing setelah dianalisis agar sesuai dengan permasalahan.

c. Sistematisasi data, yaitu menyusun data yang telah dievaluasi dan diklasifikasi dengan tujuan agar tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.


(45)

E. Analisis Data

Tujuan analisis data adalah untuk mnyederhanakan data kedalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterprestasikan. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif, yaitu cara menginterprestasikan kedalam bentuk kalimat-kalimat yang tersusun secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang jawaban dan permasalahan. Penganalisaan dilakukan dengan metode deduktif-induktif, yaitu menurut dari hal-hal yang bersifat umum beranjak ke hal-hal yang bersifat khusus.


(46)

1

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Perbandingan pengaturan tindak pidana perjudian dalam hukum pidana positif Indonesia dan hukum pidana Islam ialah bahwa dilihat dari pengaturan menurut hukum pidana positif perjudian itu oleh pemerintah dikategorikan sebagai tindak pidana dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 11/Drt/1957 tentang Peraturan Pajak Daerah, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 13 tahun 1973, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. KUHP itu sendiri secara tegas menyebutkan segala perjudian merupakan pelanggaran hukum sebagaimana dimaksud Pasal 303 KUHP “diancam dengan pidana paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak enam ribu rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin, dilihat dari segi hukum Islam maka jelas diatur dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 219, dalam surat Al-Maidah ayat 90-91, As-Sunnah, Ijma’ yang melarang tegas segala bentuk perjudian.

2. Penerapan sanksi terhadap tindak pidana perjudian dalam hukum pidana positif Indonesia dan Hukum Pidana Islam ialah dari sisi hukum positif dalam perspektif hukum, perjudian merupakan salah satu tindak pidana (delik) yang meresahkan masyarakat. Ancaman pidana perjudian adalah pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda sebanyak-banyaknya Rp.


(47)

25.000.000,-2

Pasal 303 KUHP jo. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1974, dalam hukum Islam maka dapat dikategorikan sebagai Kejahatan hudud adalah kejahatan yang diancam hukuman had, yaitu hukuman yang telah ditentukan kualitasnya oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW dengan demikian hukuman tersebut tidak mempunyai batas minimum dan maksimum, kejahatan qisas diyat adalah kejahatan yang diancam dengan hukuman qisas. Qisas adalah hukuman yang sama dengan kejahatan yang dilakukan, diyat hukuman pengganti berupa hukuman denda. Qanun di Provinsi Nangro Aceh Darusalam (khususnya perjudian) sangat dominan diterapkan jika dibandingkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia secara umum, hal tersebut terjadi dikarenakan jumlah warga muslim yang sangat besar dan penerapan sanksi Qanun hanya dilakukan pada warga muslim seperti yang tercantum dalam Pasal 23 Qanun Maisir.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka peneliti memberikan saran dan masukan, sebagai berikut :

1. Perlu ada keberanian para pengambil kebijakan di negeri ini untuk melokalisasi perjudian di satu kawasan tertentu yang jauh dari lingkungan banyak penduduk, sembari memetakan sejauh mana resistensi yang bakal muncul.

2. Adanya penegak hukum (law enforcement) secara tegas dan konsisten penegakan hukum tidak bisa secara parsial, tapi menyaratkan adanya keterpaduan di antara aparat penegak hukum (integrated legal system), atau


(48)

3

dengan kata lain para pemegang kebijakan dan pembuat kebijakan harus dapat bersama-sama membuat dan melaksanakan peraturan yang mengatur tentang perjudian dengan tegas dan konsisten.


(1)

yang menunjang peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan bacaan lainnya yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.

B. Jenis dan Sumber Data

Adapun sumber data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah :

1. Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat berupa peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini bahan hukum primer yang digunakan adalah :

a. Al-Qur’an dan Terjemahnya. b. Sunnah Rosul.

c. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 d. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

e. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder ialah data-data yang diambil dari literatur yang berkaitan dengan pokok masalah, undang-undang, peraturan pemerintah, karya-karya ilmiah dan hasil-hasil penelitian para pakar sesuai dengan objek penelitian. Beberapa bahan hukum sekunder tersebut adalah Undang-Undang Nomor 13 tahun 1973, Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dan Qanun Aceh Nomor 13 tahun 2003.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan berupa bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder, seperti : Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia.


(2)

Narasumber merupakan orang yang memberi (mengetahui secara jelas atau menjadi sumber) informasi informan. Dalam penulisan proposal skripsi ini yang menjadi narasumber yaitu, dosen Fakultas Hukum dan dosen Fakultas Syar’iah, dengan klasifikasi sebagai berikut :

1. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang 2. Dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Lampung : 1 orang +

Jumlah : 2 orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data di dalam skripsi ini dilakukan dengan menggunakan cara studi kepustakaan, (Library research).Studi kepustakaan bertujuan mencari dan mendapatkan bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang dilakukan melalui studi dokumen, yaitu dengan cara membaca, mencatat dan menganalisa buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

2. Pengolahan Data

Pengolahan Data yang diperoleh dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Evaluasi (seleksi data), yaitu data yang telah diperoleh, diperiksa untuk mengetahui apakah masih terdapat kekurangan-kekurangan serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

b. Klasifikasi data, yaitu menyusun data yang telah dievaluasi menurut bahsanya masing-masing setelah dianalisis agar sesuai dengan permasalahan.

c. Sistematisasi data, yaitu menyusun data yang telah dievaluasi dan diklasifikasi dengan tujuan agar tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.


(3)

E. Analisis Data

Tujuan analisis data adalah untuk mnyederhanakan data kedalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterprestasikan. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif, yaitu cara menginterprestasikan kedalam bentuk kalimat-kalimat yang tersusun secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang jawaban dan permasalahan. Penganalisaan dilakukan dengan metode deduktif-induktif, yaitu menurut dari hal-hal yang bersifat umum beranjak ke hal-hal yang bersifat khusus.


(4)

1

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Perbandingan pengaturan tindak pidana perjudian dalam hukum pidana positif Indonesia dan hukum pidana Islam ialah bahwa dilihat dari pengaturan menurut hukum pidana positif perjudian itu oleh pemerintah dikategorikan sebagai tindak pidana dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 11/Drt/1957 tentang Peraturan Pajak Daerah, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 13 tahun 1973, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. KUHP itu sendiri secara tegas menyebutkan segala perjudian merupakan pelanggaran hukum sebagaimana dimaksud Pasal 303 KUHP “diancam dengan pidana paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak enam ribu rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin, dilihat dari segi hukum Islam maka jelas diatur dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 219, dalam surat Al-Maidah ayat 90-91, As-Sunnah, Ijma’ yang melarang tegas segala bentuk perjudian.

2. Penerapan sanksi terhadap tindak pidana perjudian dalam hukum pidana positif Indonesia dan Hukum Pidana Islam ialah dari sisi hukum positif dalam perspektif hukum, perjudian merupakan salah satu tindak pidana (delik) yang meresahkan masyarakat. Ancaman pidana perjudian adalah pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda sebanyak-banyaknya Rp.


(5)

25.000.000,-2

Pasal 303 KUHP jo. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1974, dalam hukum Islam maka dapat dikategorikan sebagai Kejahatan hudud adalah kejahatan yang diancam hukuman had, yaitu hukuman yang telah ditentukan kualitasnya oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW dengan demikian hukuman tersebut tidak mempunyai batas minimum dan maksimum, kejahatan qisas diyat adalah kejahatan yang diancam dengan hukuman qisas. Qisas adalah hukuman yang sama dengan kejahatan yang dilakukan, diyat hukuman pengganti berupa hukuman denda. Qanun di Provinsi Nangro Aceh Darusalam (khususnya perjudian) sangat dominan diterapkan jika dibandingkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia secara umum, hal tersebut terjadi dikarenakan jumlah warga muslim yang sangat besar dan penerapan sanksi Qanun hanya dilakukan pada warga muslim seperti yang tercantum dalam Pasal 23 Qanun Maisir.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka peneliti memberikan saran dan masukan, sebagai berikut :

1. Perlu ada keberanian para pengambil kebijakan di negeri ini untuk melokalisasi perjudian di satu kawasan tertentu yang jauh dari lingkungan banyak penduduk, sembari memetakan sejauh mana resistensi yang bakal muncul.

2. Adanya penegak hukum (law enforcement) secara tegas dan konsisten penegakan hukum tidak bisa secara parsial, tapi menyaratkan adanya keterpaduan di antara aparat penegak hukum (integrated legal system), atau


(6)

3

dengan kata lain para pemegang kebijakan dan pembuat kebijakan harus dapat bersama-sama membuat dan melaksanakan peraturan yang mengatur tentang perjudian dengan tegas dan konsisten.