BAB I Pendahuluan - Kota Pematang Siantar Pada Masa Awal Kemerdekaan 1945-1947

BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Pematangsiantar diawal abad ke-20 merupakan kota kedua terbesar di kawasan

1 Sumatera Utara. Terletak sekitar 1900 meter diatas permukaan laut menjadikan kota

  ini memiliki iklim yang sejuk dan ditinjau dari geografis, letak Pematangsiantar sangat strategis, baik dari segi ekonomis, politik, maupun dari sudut pandang pertahanan. Oleh karena itu, pada tahun 1915 Pematangsiantar dijadikan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai ibukota afdeling Landschap Simalungun en

2 Karolanden karena letaknya yang juga strategis sebagai daerah penghubung untuk

  kepentingan ekonomi politik Belanda antara daerah Tapanuli, Karo, Simalungun, dan

   dataran rendah Sumatera Timur.

  Keberadaan Kota Pematangsiantar sebagai kota transit dan ibukota afdeling kemudian menjadikan kota ini berkembang pesat dan menjelma sebagai salah satu pusat ekonomi perkebunan di Sumatera Timur saat itu. Pertumbuhan kota 1 Swarni, “Peristiwa Siantar Hotel (15 Oktober 1945)”, Skripsi Sarjana Departemen Sejarah

  Fakultas Ilmu Budaya USU, Tidak diterbitkan, hal. 16 2 Sumatera Timur tahun 1915 merupakan satu residen yang terdiri dari lima afdeling, yakni Deli en

Serdang beribukota Medan, Langkat beribukota Binjai, Asahan ibukotanya Tanjung Balai, Bengkalis

ibukotanya Bengkalis, dan Simalungun en Karolanden dengan ibukota Pematangsiantar. Tengku L.Sinar, “Konsep Sejarah Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang”, 1986, hal. 238-239. 3 Tukidjan Pranoto, ”Tetes Embun di Bumi Simalungun”, Tanpa Kota Penerbit: Yayasam Keluarga, 2001, hal. 5

  Pematangsiantar mulai mendorong banyaknya para pendatang dari berbagai etnis dan berkembangnya berbagai profesi baru yang dibutuhkan untuk memfasilitasi masyarakat perkebunan disekitarnya. Hal yang kemudian menjadi akibat Pematangsiantar sebagai salah satu daerah padat penduduk dan sekaligus menjadi

   kota yang heterogen.

  Heterogenitas ini terlihat dari komposisi penduduk Kota Pematangsiantar yang tidak didominasi oleh satu suku. Pada awalnya penduduk asli Kota Pematangsiantar di dominasi oleh Suku Batak Simalungun, namun setelah terjadinya urbanisasi, maka penduduk Kota Pematangsiantar terdiri dari berbagai macam suku antara lain Tapanuli, Jawa, Aceh, Padang, Karo, Cina, India, dan Melayu.

  Kondisi sosial dan demografi ini yang tampaknya menjadi alasan Simalungun dan Kota Pematangsiantar mulai juga berkembang menjadi daerah yang cukup cepat menerima ide-ide nasionalisme di kawasan Sumatera Utara. Diawali dengan masuknya ide kebangsaan yang dibawa oleh organisasi Budi Utomo pada tahun 1908 dan Syarekat Islam pada tahun 1929, selanjutnya Pematangsiantar mulai banyak kedatangan organisasi-organisasi kebangsaan lain mulai dari bidang sosial dan pendidikan dari Taman Siswa, hingga dibidang politik dan nasionalisme seperti PNI (Partai Nasional Indonesia), Gerindo (Gerakan rakyat Indonesia), dan GAPI (Gabungan Politik Indonesia). Perkembangan inilah yang kemudian menjadikan Simalungun terutama kota Pematangsiantar menjadi salah satu sentrum pergerakan 4 Ibid, hal. 10-11

  

  kaum Nasionalis di Sumatera Utara. Hal yang kemudian menjadikan Pematangsiantar sebagai salah satu basis pendukung Proklamasi Republik Indonesia.

  Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan oleh Sukarno dan Hatta tidak hanya merupakan awal dari terbentuknya sebuah negara baru yang merdeka bernama Indonesia, tapi juga menjadi sebuah tanda pengobaran semangat perjuangan yang baru dalam jiwa masyarakat Indonesia demi mengusir penjajahan. Proklamasi juga menjadi alat dalam pemersatu perjuangan masyarakat dalam satu nama yakni bangsa Indonesia yang merdeka.

  Kekosongan kekuasaan yang dialami bangsa Indonesia ketika kekalahan Jepang dalam perang pasifik adalah sebuah awal terjadinya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Namun, luasnya wilayah Indonesia dan kurangnya sarana komunikasi menjadi sebuah persoalan dalam penyebaran berita proklamasi kemerdekaan. Hal inilah menjadi celah yang dimanfaatkan oleh Belanda dalam upaya ingin mengambil kembali kekuasaan terhadap Indonesia. Salah satu daerah yang terlambat mendapat kabar Proklamasi ini adalah wilayah Sumatera Timur.

  Ditunjuknya T. Moh. Hasan dan Dr. Amir sebagai perwakilan Sumatera Timur dalam pembentukan Negara Indonesia, tidak serta merta menjadikan wilayah Sumatera Timur cepat mendapat kabar tentang Proklamasi. T. Moh. Hasan sendiri yang kemudian ditunjuk oleh Sukarno sebagai Wakil Pimpinan Besar bangsa 5 Ibid, hal. 11-13. Indonesia untuk wilayah Sumatera, mengawali penyebaran berita proklamasi secara langsung di wilayah Sumatera Selatan. Di Sumatera Timur sendiri, T. Moh. Hasan mengadakan upacara resmi berdirinya Republik Indonesia dan pembacaan proklamasi di muka umum baru diadakan pada tanggal 6 oktober 1945, hampir dua bulan setelah proklamasi dibacakan oleh Sukarno dan Hatta. Hal ini pun dilakukan T. Moh Hasan setelah mendapat dukungan dari Barisan Pemuda Indonesia (BPI) sekaligus menjelaskan kepada sebagian rakyat tentang Proklamasi itu sendiri dalam sebuah

  

rapat BPI pada tanggal 30 september 1945.

  Keterlambatan dalam penyebaran berita proklamasi ini tidak hanya karena kurangnya alat komunikasi dan sarana trasportasi. Namun, kedatangan NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) dan sekutu yang telah lebih dulu sebelum T. Moh Hasan menyampaikan Proklamasi dan lambatnya tiba surat pengangkatan dirinya sebagai Gubernur Sumatera oleh Presiden Sukarno menjadi beberapa hambatan yang terjadi. Maka dari itulah pembacaan teks proklamasi di Sumatera Timur resmi baru dilakukan pada tanggal 6 oktober 1945 dan sekaligus berdirinya

   pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera.

  Keberadaan Sekutu dan NICA yang telah lebih dulu tiba sebelum berdirinya Pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera menjadi sebuah masalah rumit dalam proses pembentukan Pemeritahan Republik di Sumatera. Pihak tentara sekutu yang 6 Biro Sejarah Prima, “Medan Area Mengisi Kemerdekaan”, Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia, 1976, hal. 114-118. 7 Ibid, hal. 150-151.

  dipimpin oleh T.E.D. Kelly mulai bergerak cepat dalam upaya melumpuhkan persenjataan yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam upaya ini, selain melakukan penyebaran maklumat yang berisi pelarangan dan penyerahan senjata yang dimilki oleh masyarakat, sekutu juga mulai membentuk pasukan tambahan yang berisi orang-orang Cina dan bertugas sebagai pengamanan terutama di wilayah medan. Gerakan sekutu inilah yang kemudian menyulut bentrok antara tentara Sekutu dan

8 Laskar-laskar rakyat.

  Bentrok yang berkepanjangan antara tentara Sekutu/NICA dengan pihak Laskar beserta Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan meletusnya sebuah peristiwa Revolusi Sosial pada maret 1946 semakin memperkeruh situasi Kota Medan. Hingga pertengahan April 1946 melalui sebuah rapat Komite Nasional Indonesia (KNI) se-Sumatera yang diadakan di Bukit Tinggi, T.Moh Hasan mengambil keputusan untuk memindahkan ibu kota provinsi dari Medan ke Pematangsiantar. Bahkan tak hanya lembaga pemerintahan yang pindah ke Pematangsiantar, kantor RRI dan Divisi IV TKR kemudian ikut dipindahkan ke sana.

  Perpindahan pusat pemerintahan berlangsung secara sembunyi-sembunyi untuk menghindari ancaman dan tindakan dari penguasa militer Sekutu/NICA. Setelah dipindahkannya kantor Gubernur Sumatera dan Markas Besar TKR Divisi IV/TRI

8 H.R Sjahnan, “Dari Medan Area Ke Pedalaman dan Kembali Ke Kota Medan”, Medan: Dinas Sejarah Kodam-II/BB, 1982, hal. 17-19.

   Komandemen Sumatera pada akhir April 1946 , kemudian diikuti oleh Badan-badan perjuangan tingkat Sumatera Timur.

  Meskipun proses perpindahan itu berjalan lancar, namun problemnya adalah kurangnya gedung-gedung di Pematangsiantar yang dapat dipakai sebagai kantor pemerintahan dan dapat menampung semua pegawai yang turut pindah. Tetapi semangat revolusioner telah menghapus hambatan itu. Dengan semangat gotong royong, sebuah kantor yang seharusnya layak jadi kantor sebuah Jawatan, dijadikan kantor Walikota, Jawatan dan dinas-dinas Provinsi bergabung sekantor dengan dinas-dinas dan jawatan tingkat Kabupaten. Percetakan dan Harian “Soeloeh Merdeka” menempati gedung “Dezon” dan disitu pula semua pegawainya bertempat tinggal. Balai Kota Pematangsiantar yang dahulunya menjadi Kantor Assisten

  

Residen Simalungun en Karolenden dijadikan Kantor Pemerintahan Provinsi

   Sumatera yang sekarang terletak di Jalan Merdeka Pematangsiantar . Dari sinilah

  roda pemerintahan dan kebijakan operasi militer menghancurkan pos-pos militer Belanda/Sekutu di Medan Area dan ancaman agresi militer Belanda dibahas dan diputuskan. Pejuang yang berjiwa revolusioner telah lahir dan berkembang dikota ini.

  Semangat itu pula yang menyebabkan penduduk Pematangsiantar merelakan rumah

  9 Di bekas Kantor Gubernur Sumatera itu ditemukan tulisan yang menyatakan bahwa “Gedung ini

pernah menjadi Kantor Gubenrur Provinsi Sumatera dari tanggal 6 februari 1946 – 29 Juli 1947”.

  Edisaputra, “Simalungun Jogjanya Sumatera”, Medan: Bina Satria 45, hlm. 230. 10 Ibid, hal. 231-232 dan harta benda lainnya untuk dipakai sebagai perkantoran atau tempat tinggal para

   pegawai dan pejuang kemerdekaan.

  Dari persoalan inilah yang kemudian menjadikan sebuah latar belakang dalam melakukan penelitian mengenai Kota Pematangsiantar dan peranannya pada masa kemerdekaan. Situasi kota yang banyak dipenuhi oleh para pejuang revolusi yang berbaur pula dengan pengungsi dan para birokrat pemerintah sipil dan militer menjadikan Pematangsiantar juga dijuluki sebagai kota revolusioner.

  Selain itu, bagaimana fungsi dan peranan kota Pematangsiantar sebagai ibukota masa awal kemerdekaan merupakan salah satu alasan yang mendorong penulis ingin membahas Kota Pematangsiantar pada masa awal kemerdekaan. Maka dari itu penulis memilih judul Penelitian Skripsi ini adalah “Kota Pematangsiantar Pada

  

Masa Awal Kemerdekaan 1945-1947”. Dengan mengambil tema Sejarah Kota, saya

  ingin menuliskan bagaimana situasi dan kondisi Kota Pematangsiantar pada masa awal Kemerdekaan Indonesia antara tahun 1945 hingga 1947.

1.2. Rumusan Masalah

  Rumusan masalah merupakan sebuah landasan penelitian yang berguna untuk mengetahui hal-hal apa saja yang akan dibahas dan menjadi akar permasalahan dalam sebuah penelitian. Akar permasalahan merupakan aspek yang penting karena di 11 Suprayitno, “Pematangsiantar Pada Masa Awal Kemerdekaan 1945-1947”, Makalah

  

dipresentasikan pada Acara Seminar “Kontribusi Pematangsiantar Sebagai Kota Perjuangan Mempertahankan NKRI 1945-1949 ”, Pematangsiantar, 20 Mei 2013, hlm. 5 dalamnya terdapat berbagai konsep yang akan diteliti, maka sesuai dengan judul

  

“Kota Pematangsiantar Pada Masa Awal Kemerdekaan 1945-1947” dibuatlah suatu

  batasan pokok masalah penelitian dirangkum dalam beberapa pertanyaan, yaitu: 1.

  Faktor-faktor apa yang menjadikan Kota Pematangsiantar dipilih sebagai ibukota Provinsi Sumatera menggantikan Medan pada 1946? Dalam rumusan masalah ini, poin-poin yang diteliti adalah

  • Mengenai kondisi sosial politik dan keamanan Kota Medan sebagai

  Ibukota Provinsi Sumatera yang mengancam eksistensi Pemerintahan Republik karena konflik tentara Sekutu/NICA dengan TKR dan Laskar Rakyat, serta terjadinya Revolusi Sosial di Sumatera Timur yang membuat Sekutu/NiCA mengkonsentrasikan pengamanan Kota Medan untuk menghindari hal itu.

  • Kota Pematangsiantar masa menjadi Ibukota Provinsi Sumatera.

2. Bagaimana peranan kota Pematangsiantar dalam upaya mengisi kemerdekaan

  1945-1947? Dalam rumusan masalah ini, yang diteliti adalah:

  • Peranan-peranannya selama berstatus Ibukota Provinsi, baik sebagai pusat pemerintahan, ekonomi, dan keamanan.

1.3. Tujuan Penelitian

  Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian mengenai kota Pematangsiantar pada periode perjuangan mempertahankan kemerdekaan adalah : 1.

  Untuk menjelaskan faktor-faktor yang menjadikan kota Pematangsiantar sebagai ibukota Provinsi Sumatera menggantikan Medan.

  2. Untuk menjelaskan situasi dan peranan kota Pematangsiantar dalam mengisi dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia 1945-1947.

  Sehubungan dengan penulisan dan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, maka ada beberapa hal yang bermanfaat bagi kita, antara lain adalah:

  1. Untuk memperkaya informasi bagi masyarakat mengenai peranan kota Pematang Siantar dalam mengisi kemerdekaan Republik Indonesia.

  2. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis dan pembaca mengenai kota Pematang Siantar pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia.

  3. Untuk mempertajam kemampuan penulis dalam melakukan penulisan karangan ilmiah.

1.4. Tinjauan Pustaka

  Menulusuri sejarah Kota Pematangsiantar pada masa periode awal kemerdekaan Indonesia tak lepas dari sejarah Indonesia, Sumatera Utara dan Kota Medan pada masa periode awal kemerdekaan juga. Hal ini dikarenakan keempat persoalan ini memiliki kaitan erat dalam proses sejarahnya. Untuk itu, literatur yang digunakan adalah beberapa mengenai sejarah dimasa awal kemerdekaan baik hal umum mengenai Indonesia hingga yang membahas mengenai sejarah perjuangan Sumatera Utara dan Medan area dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

  Penulis menggunakan beberapa buku sebagai acuan penelitian dalam upaya membahas persoalan Kota Pematangsiantar pada awal Kemerdekaan 1945-1950.

  Buku-buku ini digunakan karena penulis menganggap informasi mengenai permasalahan yang akan diteliti terdapat dalam buku tersebut,beberapa buku yang digunakan yaitu:

  Buku terbitan Biro Sejarah Prima yang berjudul “Medan Area Mengisi

  

Proklamasi”. Buku ini banyak menjelaskan tentang situasi dan kondisi wilayah

  Sumatera Utara pada masa perang kemerdekaan Indonesia. Buku ini menjelaskan bagaimana proses kemerdekaan diwilayah Sumatera Timur mulai dari berita proklamasi kemerdekaan hingga agresi militer Belanda I yang memicu konflik di kota Medan dan sekitarnya antara laskar rakyat dengan tentara Sekutu/NICA. Buku ini membantu penulis mendapat keterangan tentang perpindahan ibukota pemerintahan provinsi Sumatera dari Medan ke Pematangsiantar.

  Buku terbitan Kementrian Penerangan, Republik Indonesia, Provinsi

  

Sumatera Utara. Buku ini banyak menjelaskan secara umum tentang keadaan wilayah utara Sumatera seperti Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli masa kemerdekaan. Buku ini membantupenulis dalam menjelaskan proses pembentukan pemerintahan di wilayah utara Sumatera. Selain itu dalam bab 20 dan 21 dibuku ini dijelaskan mengenai pembangunan ekonomi nasional dan pembangunan masyarakat pada masa awal kemerdekaan terutama diwilayah Sumatera Utara.

  Edisaputra dalam buku “Simalungun Jogja-nya Sumatera, dalam Perang

  

Kemerdekaan Indonesia, dijelaskan bagaimana wilayah Simalungun dan Kota

  Pematangsiantar pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Kota Pematangsiantar yang kemudian menjadi ibukota provinsi Sumatera pada masa agresi militer Belanda I sempat menjadi pertahanan terakhir bagi pemerintahan Indonesia di Sumatera. Dalam buku ini juga dijelaskan tentang proses masuknya proklamasi di Simalungun serta perang kemerdekaan yang bergejolak diwilayah tersebut. Salah satu bahasan penting dalam buku ini adalah mengenai hijrahnya ibukota Sumatera ke Pematangsiantar yang menjadikan kota tersebut sebagai pusat pemerintahan dan militer wilayah Sumatera, hingga peristiwa yang membuat jatuhnya Ibukota ke tangan Belanda.

  Mayjen TNI (Purn) H.R. Sjahnan SH dalm buku yang berjudul “Dari Medan

  

Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan” . Menjelaskan bahwa kota

  Pematangsiantar memiliki peranan penting dalam proses perjuangan rakyat Sumatera Timur, dimana Pematangsiantar dijadikan sebagai pos pertahanan dan pengungsian bagi para tentara, laskar, dan rakyat dari kota Medan.

  Tukidjan Pranoto dalam buku yang berjudul “Tetes Embun Di Bumi

  

Simalungun ”, banyak dijelaskan mengenai kondisi wilayah Simalungun dan

  Pematang Siantar pada masa awal kemerdekaan dari sisi pandang perjuangan Laskar Napindo Banteng Resimen Simalungun. Selain itu, dalam buku ini dijelaskan juga mengenai bagaimana peranan masyarakat Pematngsiantar dalam menyambut kemerdekaan Republik Indonesia hingga bagaimana rakyat berperan dalam perjuangan kemerdekaan secara tidak langsung, seperti dengan melakukan pengumpulan senjata, membantu para tentara dengan hal-hal yang berguna lainnya.

  Selain dari buku-buku di atas, penulis juga mengguankan beberapa skripsi sarjana Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang berhubungan dengan Pematangsiantar pada periode awal kemerdekaan, seperti : Skripsi T. Besler Simamora yang berjudul Agresi Militer Belanda I (1947) di

  

Simalungun. Skripsi Jonner Hasibuan yang Berjudul Runtuhnya Feodalisme di

Simalungun (1946). Skripsi Swarni yang berjudul Peristiwa Siantar Hotel (15

Oktober 1945). Skripsi Rosidawaty yang berjudul Proklamasi di Simalungun.

  Beberapa skripsi ini yang menjadi dasar saya dalam melakukan penelitian dan penulisan mengenai kota Pematangsiantar pada periode 1945-1947. Dalam skripsi-skripsi ini banyak menjelaskan tentang keadaan wilayah Simalungun dalam beberapa periode.

1.5. Metode Penelitian

  Kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, sangat berpengaruh terhadap Ilmu Sejarah, setiap gejala sejarah tampak sebagai kompleksitas yang mencakup berbagai aspek atau memiliki berbagai dimensi. Analisis terhadap suatu unsure dan faktor penyebab yang melatar-belakangi gejala sejarah, oleh karena itu penggarapan sejarah harus menggunakan metodologi dan teori serta konsep-konsep dari ilmu-ilmu lain seperti ilmu sosiologi, antropologi dan lain-lain. Metodologi adalah ilmu yang membahas mengenai cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan data dan menjelaskan segala suatu peristiwa sejarah dengan bantuan

  

  seperangkat konsep dan teori . Dalam penerapannya, metode sejarah menggunakan emapat tahapan pokok, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.

  Pada tahapan pertama ialah pengumpulan sumber (heuristik), dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library

  

Research ). Dalam pengumpulan data melalui metode Library Reseach, penulis

  mengumpulkan beberapa dokumen, mengumpulkan buku, majalah, artikel, serta melakuan searching data di internet yang berhubungan dengan judul tulisan. Dalam upaya mencari segala data ini, penulis akan mengunjungi perpustakaan-perpustakaan daerah wilayah Sumatera Utara terutama Kota Pematangsiantar. 12 Tahapan kedua ialah Kritik. Dalam tahapan ini penulis telah memilah dan

  Sartono Kartodirjo, “Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah”, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1993, hal 3. melakukan Metode Kritik Sumber terhadap data-data yang nantinya penulis peroleh, baik berupa hasil wawancara maupun sumber tertulis. Dengan metode Kritik, baik metode kritik Intern maupun Ekstern.

  Tahapan lanjutan setelah uji dan analisa ialah interpretasi. Pada tahapan ini data yang diperoleh dianalisa sehingga melahirkan tulisan baru yang sifatnya objektif dan ilmiah dari objek yang diteliti. Objek kajian yang cukup jauh kebelakang serta minimnya sumber yang ada membuat interpretasi menjadi sangat sulit dilakukan.

  Untuk itu dibutuhkan analisa mendalam serta interpretasi yang tajam dari penulis.

  Tahapan terakhir ialah tahapan penulisan (Historigrafi). Dalam tahapan ini penulis memperhatikan aspek kronologis. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah Deskriptif-Naratif, yaitu menggambarkan setiap kronologis peristiwa serta aspek-aspek yang mempengaruhi jalanya peristiwa yang diteliti dengan melalui analisis yang mendalam kemudian menceritakannya dengan menggunakan perspektif sejarah.