BAB II Medan Ibukota Provinsi Sumatera - Kota Pematang Siantar Pada Masa Awal Kemerdekaan 1945-1947

BAB II Medan Ibukota Provinsi Sumatera

2.1. Proklamasi dan Awal Pemerintahan di Sumatera Timur

  Pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, dua bom dijatuhkan oleh Amerika Serikat di Hirosima dan Nagasaki. Hal ini serta merta menjadi sebuah kekalahan bagi Jepang dan akhir dari Perang Dunia ke-II. Berakhirnya Perang Dunia ke-II menjadi sebuah awal baru bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945 atas nama bangsa Indonesia Sukarno-Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Namun berita proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak sampai ke seluruh Indonesia secara bersamaan. Hal ini adalah wajar karena Jepang masih tetap berkuasa pada saat itu, bahkan mereka juga melakukan pengawasan ketat terhadap setiap saluran radio.

  Wilayah Sumatera Timur sendiri, mendapat berita proklamasi secara resmi ketika Mr. T. M. Hasan dan dr. Amir, selaku perwakilan Sumatera dalam sidang PPKI kembali ke Medan pada tanggal 29 Agustus 1945. Namun setibanya mereka di Medan, proklamasi tidak langsung dibicarakan secara terbuka karena suasana Medan saat itu masih dalam pengawasan Jepang. Selain itu, di Medan sendiri telah terbentuk

  

comite van ontvangst yang dipelopori oleh para raja-raja, sultan-sultan, dan para

  pamongpraja Sumatera Timur yang. Pertemuan yang menghasilkan pembentukan

  

comite van ontvangst ini diadakan pada 25 Agustus 1945 di kediaman dr. Mansoer di

  sudut Jalan Raya Medan (Jalan Amaliun). Keberadaan mereka ini kemudian menjadi desas-desus karena dianggap sedang mempersiapkan kembalinya Belanda untuk menguasai Indonesia kembali, terutama Sumatera Timur.

  Kembalinya Mr. T. M. Hasan dan dr. Amir sendiri ke Sumatera, sebenarnya bukan hanya membawa berita tentang proklamasi. Bersama dengan Mr. Abbas, mereka yang merupakan perwakilan Sumatera dalam PPKI mendapat tugas dari Presiden untuk membentuk pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera dengan Medan sebagai Ibukotanya. Selain itu, Mr. T. M. Hasan dan dr. Amir juga diangkat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera, sementara Mr. Abbas bertugas membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) dan Dewan Perwakilan Daerah di seluruh Sumatera.

  Pada dasarnya, Mr. T. M. Hasan dan dr. Amir yang kembali ke Medan dengan membawa perintah Presiden Sukarno, sebenarnya mempunyai wewenang untuk membentuk pemerintahan republik di Sumatera secara sepihak tanpa memperdulikan kelompok-kelompok yang menganggap sinis hal tersebut, terutama para raja dan sultan di Sumatera Timur. Namun hal tersebut tidak dilakukan, Mr. T. M. Hasan dan dr. Amir memilih untuk mencoba merangkul semua golongan masyarakat di Medan, baik dari tokoh pergerakan politik maupun dari tokoh kerajaan. Pada akhirnya upaya yang mereka lakukan ini mengalami kegagalan. Kegagalan ini disebabkan para tokoh-tokoh yang mereka jumpai tidak bersedia, para tokoh kerajaan lebih menginginkan kembalinya kekuasaan Belanda, sementara beberapa tokoh politik tidak berani melakukannya karena masih adanya tentara Jepang yang berkuasa. Keadaan ini kemudian bertambah rumit ketika pasukan kecil dari pihak NICA pimpinan Letnan Brondgeest mendarat di Medan pada 31 Agustus 1945.

  Kondisi ini yang kemudian menjadi dasar sejumlah tokoh pergeraakan yang tergabung dalam panitia penolong Gyugun dan Heiho mendesak Mr. T. M. Hasan untuk segera memproklamasikan kemerdekaam Indonesia di Medan. Akhirnya pada tanggal 30 September 1945, panitia penolong Gyugun dan Heiho pimpinan Achmad Tahir yang kemudian berubah nama menjadi Barisan Pemuda Indonesia (BPI), mulai mempersiapakan pengumuman proklamsi kemerdekaan di kota Medan. Hal ini semakin diperkuat dengan kabar bahwa di Pematangsiantar telah terjadi kegiatan-kegiatan untuk merealisasikan kemerdekaan Indonesia.

  Rapat akhirnya diadakan di Gedung Perguruan Taman Siswa pada tanggal 30 September 1945. Pertemuan yang pada awalnya hanya dihadiri oleh para anggota BPI ini pun pada akhirnya berubah menjadi rapat umum. Pada rapat inilah kemudian Mr. T. M. Hasan membacakan proklamasi dan menjelaskan tentang peritiwa 17 Agustus 1945 di Jakarta, dan menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan dan pemerintah republik saat ini sudah ada. Setelah mendengar berita tersebut dan pidato para tokoh pergerakan, semangat para anggota pertemuan itu pun menjadi menyala-nyala. Para anggota yang hadir sudah dimasuki oleh jiwa yang baru, jiwa merdeka yang meluap-luap dengan hebatnya.

  Pada tanggal 3 Oktober 1945, Mr. T. M. Hasan pada akhirnya mengumumkan bahwa dirinya telah secara resmi diangkat sebagai Gubernur Sumatera. Setelah resmi menjadi Gubernur, Mr. T. M. Hasan pun mulai memerintahkan pengibaran bendera merah putih di seluruh Sumatera dan mulai mengeluarkan dekrit. Dekrit yang kemudian menjadi tanda bahwa Pemerintah Republik Indonesia di Provinsi Sumatera telah resmi berdiri di kota Medan. Dekrit pertama yang dikeluarkan Gubernur Sumatera adalah mengenai pengangkatan sepuluh Residen Provinsi Sumatera. Dekrit No.1-X- tanggal 3 Oktober 1945 secara resmi mengangkat sepuluh orang sebagai Residen, yakni:

  1) Dr. Ferdinand Lumbantobing (Residen Tapanuli)

  2) Teuku Nyak Arief (Residen Aceh)

  3) Mr. Mohammad Yusuf (Residen Sumatera Timur)

  4) Mohammad Safei (Residen Sumatera Barat)

  5) Ir. Indra Tjahya (Residen Bengkulu)

  6) Dr. A. Syagaf Yahya (Residen Jambi)

  7) Dr. A. K. Gani (Residen Palembang)

  8) Mr. Abd. Abbas (Residen Lampung)

  9) M. A. Syarif (Residen Bangka dan Belitung)

  10) Aminuddin (Residen Riau berkedudukan di Pekanbaru)

  Raden Mohammad Amrin 8)

  Ibid

  Barnawi (Bukit Tinggi) 13 Biro Sejarah Prima, Op.cit, hal. 150 dan 749.

  Mr. Laut Siregar (Medan) 2)

  Sumatera melalui dekrit No.3-X- tanggal 3 Oktober 1945 yaitu: 1)

  Abdul Xarim M. S 10) dr. Sahir Nitihardjo.

  Tengku Abdul Hamid 9)

  Abu Bakar Djaar 7)

   Selain mengangkat para Residen, dan untuk memperlancar roda pemerintahannya Mr.

  Mr. T. M. Hanafiah 6)

  4) dr. Pringadi 5)

  3) Mangaradja Soangkupon

  2) Mas Tahir, Sekretaris Gubernur

  1) Tengku Hafas, Residen yang diperbantukan pada Kantor Gubernur

  T. M. Hasan juga mengangkat sepuluh orang penasehat Gubernur melalui dekrit No. 2-X- tanggal 3 Oktober 1945, yakni:

14 Di samping itu, Gubernur juga mengangkat empat wlikota untuk kotamadya di

  3) dr. Hakim (Padang) 4) Ir. Ibrahim (Palembang).

   Setelah membentuk struktur pemrintahan Republik di Sumatera, Mr. T. M. Hasan

  juga mengangkat lima orang wakil pemerintah untuk kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur. Hal ini dilakukan mengingat di daerah Sumatera Timur terdapat wilayah kerajaan dan statusnya diakui dalam pasal 18 UUD 1945. Para wakil pemerintah tersebut yaitu:

1) Tulus, Wakil Pemerintah RI untuk Deli Serdang berkedudukan di Medan.

  2) Tengku Amir Hamzah, Wakil Pemerintah RI untuk Langkat berkkedudukan di Binjai.

  3) Madja Purba, Wakil Pemerintah RI untuk Simalungun berkedudukan di Pematangsiantar.

  4) Ngerajai Meliala, Wakil Pemerintah RI untuk Tanah Karo berkedudukan di Kaban Jahe.

  5) Tengku Musa, Wakil Pemerintah Ri untuk Asahan berkedudukan di Tanjung Balai.

  Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, kelima wakil pemerintah ini melakukan kontak langsung dengan residen Sumatera Timur di Medan.

  Terbentuknya struktur pemerintahan dan wakil pemerintahan di setiap Ibid. daerah-daerah di Sumatera, secara resmi telah menandakan berdirinya pemerintahan republik Indonesia di Sumatera dan secara resmi pula Sumatera menjadi wilayah Indonesia sebagai bagian dari negara yang merdeka. Setelah membentuk struktur pemrintahan, pada tanggal 4 Oktober 1945, Mr. T. M. Hasan juga memerintahkan mobilisasi umum untuk mengambilalih kekuasaan dari tangan Jepang. Perintah ini dalam satu hari dilaksankan serentak di penjuru kota Medan bahkan juga di daerah-daerah lain di Sumatera Timur. Dengan cepat mobilisasi umum ini berhasil mengambilalih seluruh kantor jawatan pemerintah, kepolisian, kantor pos, telegraf, kereta api, dan lainnya. Mr. T. M. Hasan juga memerintahkan pembentukan KNI daerah Sumatera Timur yang kemudian di ketuai oleh dr. Soenarjo dan dr. Djabangun sebagai wakil ketua.

  Setelah membentuk pemerintahan RI di Sumatera, pada tanggal 6 Oktober 1945 diadakan rapat raksasa di lapangan Esplanade Medan (Lapangan Merdeka). Rapat raksasa ini dihadiri utusan dari Binjai, Stabat, Tanjungpura, Pangkalan Brandan, Tebing Tinggi, Pematangsiantar. Ditempat ini secara resmi dibacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dibacakan langsung oleh Mr. T. M. Hasan. Sebelum pembacaan proklamasi ini terlebih dahulu diadakan upacara penaikan bendera merah

   putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

2.2. Kedatangan Sekutu-NICA ke Sumatera Timur

16 Parulian Hutabarat dkk, Perjuangan Korps Brigade Mobil Polri Masa Perang Kemerdekaan

  

RI Pemerintahan Darurat RI di Sumatera , Medan: Yayasan Keluarga Besar Pejuang Kemerdekaan RI

Benteng Huraba, 1996, hal. 60-61.

  Menyerahnya Jepang ditangan Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 menjadikannya harus melepaskan kembali daerah pendudukannya. Ini berarti daerah-daerah koloni yang semula direbut Jepang dari bangsa barat yang tergabung dalam blok Sekutu harus dikembalikan. Sementara dari awal semenjak dikalahkan Jepang, Belanda masih mempunyai keinginan yang sangat besar untuk kembali menguasai wilayah Indonesia.

  Keinginan besar untuk kembali menguasai Indonesia ini yang kemudian membuat Belanda mendesak Sekutu, khususnya Inggris untuk membuat suatu perjanjian. Perjanjian yang dilakukan secara rahasia antara Inggris dan Belanda ini dikenal dengan “Civil Affair Agreement” atau CAA. Perjanjian yang dilakukan di

   London menjelang pendaratan Inggris di Indonesia sebagai tentara pendudukan.

  Isi perjanjian di London ini antara lain sebagai berikut :

  “Pengakuan Inggris atas de facto dan de jure Belanda terhadap Indonesia (Hindia-Belanda). Belanda mempunyai hak untuk menjalankan kewajibannya selaku penguasa resmi di Indonesia berdasarkan undang-undang yang

   berlaku di Hindia Belanda sebelum terjadinya Perang Dunia ke-II”

  Menurut ketentuan tersebut pada fase pertama Panglima tentara Sekutu akan berwenang menyelenggarakan operasi militer serta memulihkan keamanan dan ketertiban. Sedangkan fase kedua, setelah keadaan kembali normal dan terkendali, 17 Swarni, Peristiwa Siantar Hotel (15 Oktober 1945), Skripsi sarjana jurusan Ilmu Sejarah

  USU, Medan: Tidak diterbitkan, 1997, hal. 33-34 Ibid, hal. 124 pejabat-pejabat NICA akan mengambil alih tanggung jawab tersebut dari pihak

   sekutu.

  Strategi lain yang dilakukan Belanda adalah dengan membentuk NICA (Nederland Indies Civil Administration) yang merupakan sebuah badan pemerintahan sipil Hindia Belanda. Badan ini berkedudukan di Brisbane, Australia. Salah satu tujuan dibentukna NICA adalah untuk mempersiapkan segala sesuatu mengenai usaha pengembalian wilayah Indonesia kepada pemerintah Belanda.

  Masuknya Sekutu ke Indonesia dimulai saat pelaksanaan invasi yang mereka lakukan terhadap Malaya (Malaysia) dipenghujung Perang Dunia ke-2. Laksamana Lord Louis Mounbaten selaku Panglima Besar SEAC (South East Asiatic Command), merencanakan akan melakukan invasi tersebut pada tanggal 9 September 1945. Untuk melancarkan proses invasi tersebut, maka dibentuklah ACDS (Anglo Dutch Country

  

Section ), sebuah seksi dari SEAC yang bertugas untuk melakukan pengumpulan

  informasi dan komunikasi di wilayah-wilayah bekas jajahan Ingris yang sedang

   diduduki Jepang.

  Pada akhir bulan Juni 1945, ACDS mengirim tiga unit pasukan komando melalui udara ke daerah pegunungan Seulimeum Aceh, unit kedua diterjunkan di sekitar Labuhan Batu dan unit ketiga diturunkan di daerah Riau. Pada tanggal 15 Agustus 19 G. Moedjanto, Indonesia Abad ke-20, Dari Kebangkitan Nasional Sampai Linggarjati, Yogyakarta: Kanisius, 1992 hal. 96.

  Edisaputra, Op.cit, hal. 110

  1945, baru menyususl penerjunan pasukan unit keempat di hutan sekitar hulu sungai Besitang. Pasukan ini dipimpin oleh Brondgeest berpangkat Letnan Satu Pelaut

21 Belanda.

  Pada tanggal 31 Agustus 1945, tepat tengah malam asukan Brondgeest tiba di kota Medan dan menginap di Hotel De Boer, dan menjadikannya sebagai markas Belanda. Selama berada di Medan, Brondgeest membentuk pasukan polisi Belanda khusus untuk daerah Sumatera Timur. Rekrutmen anggota asukan ini diambil dari bekas tawanan Jepang dan bekas anggota KNIL yang ada dalam masyarakat. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban di kawasan Sumatera Timur, Brondgeest menempatkan 60 personil di asrama “pensiun wilhelmina” yang terletak di jalan Bali

   Medan dan 27 orang ditempatkan di Siantar Hotel di kota Pematangsiantar.

  Invasi yang di intruksikan oleh Laksamana Louis Mountbaten ini kemudian terhenti ketika Panglima Besar Angkatan Perang Sekutu di Pasifik, Jendral Mc.

  Arthur mengeluarkan larangan resmi. Larangan ini berisi mengenai penyerahaan kekuasaan Jepang yang hanya boleh diterima oleh Panglima Sovyet, Inggris, Tiongkok, dan Amerika Serikat, dan hanya dapat dilakukan setelah penanda tanganan penyerahan tidak bersyarat pada tanggal 2 September 1945 di Tokyo dan 12 September 1945 di Singapura. Atas intruksi inilah kemudian pemerintah Jepang kembali mengambil alih proses pengamanan wilayah Indonesia termasuk Sumatera 21 Ibid.

  Ibid, hal. 111-112 Timur. Pasukan Brondgeest pun tidak dapat berbuat apa-apa dan ditempatkan di

   “Pension Wilhemina”, Siantar Hotel, dan berapa tempat lainnya di kota Medan.

  Proses pendaratan tentara Sekutu ke Indonesia secara resmi bermula ketika Jendral Sir Philips Cristison, pimpinan tentara Sekutu yang akan mendarat di Indonesia dari Singapura, pada tanggal 25 September 1945 mengeluarkan pengumuman yang berisi:

  “Bahwa tentara Sekutu yang akan mendarat di Jawa dan Sumatera tidak akan membawa serdadu-serdadu Belanda atau NICA, bendera Merah Putih boleh dikibarkan terus dan organisasi dibawah pimpinan Sukarno tidak akan

   dilucuti senjatanya.”

  Ditegaskan selanjutnya oleh Jendral Sir Philips Christison, bahwa hanya ada tiga tugas dari kedatangan tentara Sekutu di Indonesia, yaitu:

  1. Melucuti senjata-senjata Jepang.

  2. Mengembalikan orang tawanan dan tahanan.

  3. Menjaga keamanan.

  Janji Jendral Sir Philip Cristison tersebut tidak terlalu dipercaya oleh bangsa Indonesia, terutama para pemuda. Para pemuda menganggap hal tersebut hanya omong kosong belaka. Sikap tidak percaya para pemuda ini terbukti benar ketika 23 Biro Sejarah Prima, “Medan Area Mengisi Kemerdekaan”, Medan: Badan Musyawarah

  Pejuang Republik Indonesia, 1976, hal. 79-83 Edisaputra, Op.cit, hal. 115-116

  Sekutu membentuk AFNEI (Alied Force for Netherland East Indies) yang merupakan pasukan yang ditugaskan untuk mendarat di Indonesia. Pasukan ini terdiri dari tiga

   brigade yang masing-masing mendarat di Jakarta, Surabaya, dan Medan.

  Pendaratan pertama di pulau Sumatera, yakni Belawan-Medan seharusnya terlaksan pada tanggal 9 Oktober 1945. Namun ketidaksiapan tentara Jepang untuk melakukan penyerahan menjadikan pendaratan terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Pada pendaratan ini, pasukan Sekutu sudah melanggar janji pemimpinnya. Hal ini karena dalam rombongan mereka terdapat beberapa pembesar KNIL.

  Menyikapi pendaratan Sekutu ke Belawan, pada tanggal 9 Oktober 1945 BPI dan beberapa organisasi pemuda lain melakukan sebuah pertemuan yang bernama “Rapat Samudra”. Rapat yang dilaksanakan di lapangan MSV ini banyak dihadiri oleh para pemuda hingga terlihat seperti samudra manusia. Pada rapat ini, Simalungun memberangkatkan tiga bus sebagai perwakilan yang terdiri dari anggota Cap Rante pimpinan Jonathan Silitonga, dan BKPI pimpinan Abdul Azis Siregar dan

26 Burhanuddin Kuncoro.

  Dalam rapat ini kemudian lahirlah sebuah kesepakatan seluruh peserta rapat yang senada dengan seruan pemerintah pusat, yakni:

  “Bahwa pendaratan serdadu Sekutu di Pelabuhan 25 Belawan-Medan dapat diterima. Tapi bilamana Sekutu turut Ibid, Hal. 119-120.

  Ibid, hal. 123

  memboncengkan serdadu NICA, keamanan tidak dapat dijamin oleh

   pemuda-pemuda Indonesia.”

  Pernyataan para pemuda ini kemudian disampaikan kepada Gubernur Sumatera untuk disampaikan keapada perwira penghubung sekutu di Medan.

  Keraguan terhadap janji pihak sekutu ini kemudian terbukti, ketika para buruh bongkar muat di pelabuhan menerima uang pembayaran dari mereka dengan uang NICA. Seketika hal ini ditolak oleh para buruh dan meminta dibayar dengan uang Jepang. Dalam perdebatan inilah beberapa buruh berbicara dengan bahasa Inggris yang membuat serdadu tersebut kebingungan, dan ketika dipancing berbahasa Belanda baru dijawab dengan lancar. Hal ini yang kemudian di ketahui bahwa para serdadu NICA berada diantara tentara Sekutu.

2.3. Gejolak Konflik di Kota Medan

  Pendaratan tentara Sekutu pada tanggal 10 Oktober 1945 dibawah pimpinan Brigjend TED Kelly yang diikuti oleh para pembesar NICA menjadi sebuah awal dari timbulnya konflik di Medan dan seluruh wilayah Sumatera Timur. Setelah melakukan serah terima kekuasaan dengan pihak Jepang, tentara Sekutu dan NICA segera berangkat ke Medan dan menyebar ke tempat yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh Letnan Brondgeest yang sudah berada di Medan.

  Keberadaan pasukan Sekutu pimpinan Brigjend TED Kelly menimbulkan sikap ketidaksukaan di kalangan rakyat Indonesia. Tindakan mereka yang memboncengi

  Ibid tentara NICA dan sering bertindak profokatif, banyak memicu perkelahian dengan para pemuda. Tidak adanya penengah persilisihan mengakibatkan perkelahian-perkelahian tersebut sering memicu pertempuran. Bahkan persoalan ini tidak hanya terjadi di Medan saja, tapi di daerah lain di Sumatera Timur.

  Peristiwa terbesar terjadi pada tanggal 13 Oktober 1945 yang di kenal dengan peristiwa Jalan Bali. Peristiwa yang bermula dari sikap profokatif tentara sekutu terhadap seorang pemuda yang memakai lencana merah putih didadanya. Oleh tentara sekutu lencana tersebut direbut lalu diinjak-injak oleh mereka. Persoalan tersebut bertambah parah ketika para pemuda yang mendengar hal tersebut bergerak kemarkas Sekutu mendapat sebuah tembakan yang menewaskan seorang penduduk.

  Peristiwa ini kemudian memicu kemarahan para pemuda dan rakyat yang dalam sekejap menyerbu markas Pasukan Sekutu/Belanda di Pansion Wilhelmina, dengan berbekal bambu runcing, tombak, parang dan lainnya. Perkelahian ini kemudian menjadi pertempuran antara rakyat dan tentara Belanda. Menanggapi persoalan ini, pihak Tentara Sekutu dan pihak Jepang akhirnya menyelesaikannya dengan cara

   berunding damai dengan para pimpinan pemuda.

  Peristiwa jalan Bali ini kemudian tersiar kepenjuru Medan dan Sumatera Utara, yang menjadikan sinyal bagi para pemuda bahwa perjuangan menegakkan proklamasi telah dimulai. Peristiwa ini kemudian memicu terjadinya peristiwa lain seperti insiden

  H.R Sjahnan, Op.cit, hal. 17-20 Siantar Hotel di Pematangsiantar dan serangan pasukan Bedjo terhadap gudang senjata Jepang di Pulo Brayan dan markas tentara Belanda Glugur Hong dan Helvetia.

  Pertempuran yang banyak menewaskan korban terutama para tentara KNIL. Hal ini kemudian memunculkan anggapan bahwa darah orang Belanda dan kaum kolonialis harus ditumpahkan demi kemerdekaan.

  Serangakaian peristiwa tersebut kemudian membuat pihak tentara Sekutu melalui Brigjend TED Kelly mengambil tindakan dengan mengeluarkan ultimatum kepenjuru Sematera Timur yang berbunyi sebagai berikut :

  Bahwa bangsa Indonesia dilarang keras membawa senjata, termasuk senjata tajam, seperti pedang, tombak, keris, rencong, dan sebagainya. Senjata-senjata itu harus diserahkan kepada tentara Sekutu. Kepada para komandan pasukan Jepang diperintahkan untuk tidak menyerahkan senjatanya kepada TKR dan laskar rakyat, dan harus menyerahkan daftar

   senjata api yang dimilikinya.

  Hal ini dilakukan tentara Sekutu karena mereka beranggapan ditugaskan untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Bahkan sejak dikeluarkannya maklumat tersebut, pihak tentara Sekutu mulai gencar melakukan razia. Tindakan ini kemudian menambah kecurigaan masyarakat terhadap tentara sekutu.

  Keadaan semakin memanas ketika pada tanggal 1 Desember 1945 tentara Sekutu memperkuat kedudukan mereka di Medan dan memampangkan tulisan Fixed

  

Boundaries yang menjadi tanda kekuasaan tentara Sekutu, wilayah inilah yang

29 Kementerian Penerangan RI, Republik Indonesia Provinsi Sumatera Utara, Jakarta: Kementerian Penerangan, 1953, hal. 42

  kemudian dikenal dengan Medan Area. Persoalan ini telah menjadikan keadaan semakin tegang dan memicu permusuhan yang tidak dapat didamaikan antara tentara Sekutu dengan pemuda Indonesia, hal yang kemudian menjadi awal bagi insiden-insiden lainnya.

  Keadaan ini terus berlanjut dengan banyaknya pertempuran yang terjadi antara tentara Sekutu dengan TKR dan laskar rakyat di sekitar kota Medan. Pergolakan yang terjadi ini menjadikan keadaan kota Medan sebagai Ibukota Provinsi Sumatera kian bertambah panas. Teror terhadap rakyat dan pemuda Indonesia tidak hanya di dapat dari pasukan Sekutu, namun para pengikut-pengikut kolonialis, NICA dan Poh An

30 Tui . Tindakan pasukan Sekutu mulai disadari sebagai upaya penjajahan ketika

  mereka mulai melakukan penggempuran, penggeledahan, penyerkapan, penangkapan dan pembunuhan terhadap beberapa penduduk dengan dalih sebagai ancaman keamanan. Bahkan tentara Sekutu juga mulai merampas gedung-gedung milik

   pemerintah Republik Indonesia.

  Krisis yang terus berlanjut di Kota Medan yang kemudian diikuti oleh peristiwa Revolusi Sosial pada Maret 1946 menjadikan situasi kota Medan semakin tidak aman.

  Pasukan Sekutu juga mulai melakukan serangan militer terahadap basis-basis militer 30

  “Poh An Tui (Barisan Pengawal Tionghoa), dibentuk dan diresmikan Sekutu pada tanggal 1

Januari 1946. Tujuan semula adalah untuk menjaga keamanan orang-orang Cina, tetapi kenyataannya

turut ambil bagian bersama tentara Sekutu dan NICA untuk menumpas Republik Indonesia. Bahkan

mereka juga menjadi Pasukan V Belanda di daerah pedalaman. Hal ini terlihat ketika Agresi Militer

dimana mereka membantu Belanda dengan melakukan kekacauan.” Lihat Edisaputra, Op.cit, hal. 226-228 Ibid, hal. 226 Republik di perbatasan Medan Area. Dalam serangan-serangan ke basis-basis tentara Republik ini beberapa tokoh politik bahkan ditawan, seperti M. Saleh Umar.

  Kerasnya tindakan Inggris di Medan Area menimbulkan beberapa permasalahan bagi pemimpin pemerintahan Republik. Baik dr. Amir maupun Ahmad Tahir menyadari bahwa konfrontasi besar dengan Inggris akan mengancam keselamatan Pemerintahan Republik di Sumatera Timur. Beberapa upaya pun dilakukan dr. Amir untuk mencari solusi damai dengan Inggris, yakni jalur diplomasi seperti yang dilakukan pemerintah pusat.

  Keadaan kota Medan yang semakin tidak kondusif akibat dari konflik tersebut akhirnya menjadi alasan dilakukannya pemindahan pusat pemerintahan provinsi Sumatera dari Medan ke Pematangsiantar pada April 1946. Pindahnya Ibukota juga diikuti oleh seluruh jawatan pemerintahan dan juga Markas TRI Divisi IV, hal ini kemudian juga diikuti oleh penduduk Medan dan sekitarnya yang merasa keadaan sudah tidak lagi aman akibat teror dari pasukan Sekutu.

2.4. Revolusi Sosial

  Menurut Mochtar Lubis, revolusi itu seperti banjir, dan sekarang tidak seorang pun dapat mengendalikannya. Apapun yang kita lakukan, ia mengikuti jalannya sendiri, tanpa menghiraukan kita yang menciptakannya. Revolusi sosial adalah suatu revolusi untuk mengubah dtruktur masyarakat kolonial atau feodal kepada suatu susunan masyarakat atas dasar Undang-Undang Dasar 1945.

  Telah dijelaskan sebelumnya bahwa situasi di Sumatera Timur pasca kemerdekaan Indoneisa mengalami gejolak. Berbagai konflik dan hambatan satu persatu datang menghadang Negara Republik Indonesia di wilayah Sumagtera Timur yang baru terbentuk. Mulai dari kerusuhan yang dipelopori oleh Sekutu/NICA,

  

  hingga mengontrol kelompok radikal yang non-kooperatif dalam mempertahankan Republik Indonesia. Laskar-laskar rakyat dan partai-partai politik yang bergabung di dalam Volksfront merasa tidak suka dengan sikap dan kebijakan yang ditunjukkan olh

   Mr. T.M. Hasan dalam memimpin pemerintahan.

  Sikap tidak suka yang berawal dari pertemuan yang diadakan pada tanggal 8 September 1945 (sebelum pertemuan di Taman Siswa) oleh Mr. T.M. Hasan dengan tokoh politik lainnya seperti, Abdul Xarim MS, Mohammad Said, dan Jahja Jacoeb di rumah dr. Amir di Tanjunga Pura. Dalam pertemuan ini Mr. T.M. Hasan dan dr. Amir lalai sehingga sama sekali tidak menyinggung masalah kemerdekaan Indonesia kepada mereka. Hal ini menimbulkan kekecewaan para tokoh politik terhadap kedua pemimpin tersebut. Sikap dr. Amir sendiri sudah tidak begitu perduli terhadap proklamasi kemerdekaan karena beliau menganggap proklamasi hanyalah sandiwara 32 Kelompok radikal tersebut antara lain, Saleh Umar, Marzuki Lubis, dsn Jacob Siregar

  

(PNI/Napindo), Laut Siregar dan Nathar Zainuddin (PKI), Sarwono Sastrosutardjo, (Pesindo), dan

Bachtiar Yunus (Hizbullah). Lihat Suprayitno, “Revolusi Sosial di Sumatera Timur Maret 1946 (Tregedi

Amir Hamzah)” dalam Agus Suwigno (ed.), Sejarah Sosial di Indonesia : Perkembangan dan Kekuatan

70 Tahun Prof. Dr. Suhartono Wiryo Pranoto, Yogyakarta : Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya

  Universitas Gajah Mada, 2011, hal. 149 Ibid, hal. 150

  

  belaka. Kekecewaan para tokoh politik ini semakin mendalam dengan adanya kebijakan Mr. T.M. Hasan yang berusaha melakukan diplomasi terhadap golongan bangsawan kesultanan di Sumatera Timur agar melebur ke dalam republik.

  Para tokoh politik menganggap bahwa kaum bangsawan Sumatera Timur adalah sebuah ancaman bagi pemerintahan republik. Anggapan ini muncul ketika tersiar kabar bahwa para kaum bangsawan dan kesultanan Sumatera Timur membentuk sebuah panitia untuk menyambut kedatangan Belanda kembali. Hal ini yang kemudian memunculkan sikap ketidaksukaan kaum republik atas upaya Mr. T. M. Hasan melakukan upaya diplomasi terhadap kaum bangsawan Sumatera Timur.

  Sikap yang ditunjukkan para kaum republik bermula ketika tersiar kabar tentang pertemuan yang dilakukan oleh kaum bangsawan Sumatera Timur pada tanggal 25 Agustus 1945. Sebuah pertemuan yang melibatkan raja-raja, sultan-sultan, dan para pamongpraja ini diadakan oleh dr. Mansoer yang saat itu menjabat sebagai ketua Shu

  

Shangi Kai Sumatera Timur, di kediamannya di sudut jalan raja/ jalan Amalium.

  Pertemuan ini diadakan untuk mengatur cara-cara dalam menyambut kedatangan Belanda kembali. Dalam pertemuan tersebut telah dibentuk comite van ontvangat (panitia penyambutan kedatangan Belanda) yang diketuai oleh Sultan Langkat dan dr.

  Mansoer sebagai wakilnya. Selanjutnya fakta-fakta yang tidak dimumumkan secara resmi tersebut tersebar luas dimasyarakat. Hal inilah yang menjadi desas-desus dan akhirnya setelah semakin jauh dari tempat asal kejadian, maka isinya semakin

  Biro Sejarah Prima, Op.cit, hlm. 100-101

   berbeda.

  Berita keberadaan comite van ontvangst yang diyakini sebagai upaya memuluskan kembalinya Belanda oleh kaum bangsawan Sumatera Timur menjadi salah satu hambatan terjadinya proklamasi kemerdekaan di Sumatera Timur. Mr. T.M. Hasan yang medapat tanggung jawab atas proklamasi tersebut bersikap ragu-ragu karena merasa tidak memiliki kekuataan politik untuk melakukan hal tersebut. Sikap ini yang kemudian menimbulkan kekecewaan di kalangan tokoh politik yang mendukung proklamasi yang pada akhirnya mengambil tindakan untuk mendesak Mr.

  T.M. Hasan untuk melakukan kewajibanya.

  Akibat desakan para pemimpin politik, pada tanggal 31 September 1945 Mr. T.M. Hasan memanggil seluruh pemuda yang tergabung dalam BPI dalam rapat sosialisasi kemerdekaan Indonesia di gedung Taman Siswa Medan. Akhirnya pada tanggal 6 Oktober 1945, bendera merah putih resmi berkibar di lapangan Esplanade (lapangan

   medeka sekarang) Medan.

  Telah dijelaskan sebelumnya bahwa awal tahun 1946 keadaan politik di Sumatera Timur semakin memanas karena konflik antara pihak Sekutu/Nica dengan laskar rakyat dan adanya perpecahan antar golongan. Perpecahan antar golongan ini misalnya, perpecahan antara kerajaan yang konservatis dan perpecahan antara 35 36 Ibid, hal. 94-116 Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera Timur,

  Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1987, hal. 268; 271

  Pemerintah Republik Indonesia dengan Persatuan Perjuangan. Perpecahan ini menimbulkan perebutan pengaruh dan kekuasaan diantara golongan partai, serta adanya pertentangan lain antara golongan pemilik modal dengan para buruh dan raja-raja dengan rakyat. Pertentangan-pertentangan ini kemudian menimbulkan pernyataan untuk menghapuskan swapraja (sultan, raja, Sibayak, dan datu) yang menjadi dasar dari tujuan Persatuan Perjuangan untuk menghapus sistem kerajaan di

37 Sumatera Timur.

  Keadaan ini semakin memanas lagi karena munculnya kesan kurang kerjasama antara Gubernur Mr. T.M. Hasan dengan wakilnya dr. Amir dalam menangani kelompok yang bertikai. Bahkan kedua tokoh ini seakan didikte oleh para pemimpin pergerakan yang bertikai itu. Hal ini yang menyebabkan aktivitas golongan kiri lebih didukung oleh para pemuda dari pada kedua tokoh tersebut yang lebih berhaluan moderat. Dalam keadaan kacau seperti ini para pemuda biasanya cenderung mudah digiring pada tindakan-tindakan yang mengandung kekerasan. Itulah sebabnya para tokoh golongan kiri lebih mendapat tempat dikalangan pemuda dari pada tokoh-tokoh moderat.

  Pada awal Februari 1946 diadakan rapat antara Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Sumatera Timur dengan Gubernur Sumatera dan para Sultan, raja, dan sibayak seluruh Sumatera Timur. Dalam rapat itu KNI meminta kepada agar para sultan, raja-raja, dan sibayak segera mengubah sistem pemerintahannya ke demokrasi sesuai

  Ibid, hal 356 dengan Undang-undang Dasar Republik Indonesia.

   Sultan-sultan dan raja-raja akan memrintah sesuai dengan kemauan

  dewan itu. Dewan tersebut membuat undang-undang, raja-raja mengerjakan keputusan dari Badan Perwakilan tersebut..........” Dalam pertemuan tersebut, Mr.

  T.M. Hasan selaku perwakilan republik menyampaikan pidato : “............Pemerintah Negara Republik Indonesia telah menegaskan politiknya terhadap daerah istimewa yaitu Negara Republik Indonesia mengakui daerah “zelfbestuur”. Di jaman Belanda kedudukan raja-raja terikat sekali; Belanda yang melakukan pemerintahan, sedang raja-raja digunakan sebagai perkakas kaum penjajah dan kaum kapitalis. Dalam zaman Indonesia merdeka ini, raja-raja mesti menjadi pemimpin bangsanya kembali. Pemerintahan otokrasi raja-raja yang ditanamkan oleh Belanda harus ditukar menjadi pemerintahan demokrasi dan raja-raja hendaknya bersiap memimpin rakyat. Raja-raja berhak menjadi pemimpin Negara Republik Indonesia.

   Dilain pihak, para sultan dan raja-raja yang diwakili oleh Sultan Langkat

  memberikan pidato bahwa mereka berjanji akan setia terhadap Pemerintahan Republik Indonesia. Dalam pidatonya, Sultan Langkat juga meminta agar gubernur Sumatera dapat menyampaikan kepada Presiden R.I mengenai permohonan para sultan agar mempertimbangkan pembentukan daerah istimewa di Sumatera Timur.

   Dari pidato yang disampaikan Sultan Langkat, tersirat bahwa Sulatan-sultan

  Sumatera Timur belum menunjukkan kesungguhan mereka untuk meletakkan haknya sebagai swapraja dan setia ke dalam republik. Hal ini terlihat dalam pidato Sultan 38 Kementrian Penerengan R.I, Republik Indonesia : Provinsi Sumatera Utara, Medan: CV

  Karya Purna, 1953, hal. 76 39 A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid II, Bandung: DISJARAH-AD dan Angkasa Bandung, 1977, hal. 595 40 Permintaan untuk menjadi daerah istimewa di Sumatera Timur berkaitan dengan kebijakan

Presiden R.I terhadap peleburan kerajaan di Jawa (Yogyakarta) menjadi daerah Istimewa Yogyakarta.

  

Pidato dultan Langkat pada tanggal 3 Februari 1946, lihat Mansyur, The Golden Bridge : Jembatan

Emas 1945 , Medan : Lembaga Sosial Juang 45 Medan Area, Tanpa Tahun, Hal. 265-266.

  Langkat yang menginginkan supaya wilayah kekuasaan para sultan-sultan di Sumatera Timur menjadi daerah istimewa sehinggaa tetap melanggengkan sistem otokrasi mereka meskipun tidak seperti pada masa Belanda.

  Sikap dari para sultan dan swapraja Sumatera Timur ini membuat ketegangan semakin meningkat. Selain itu, sikap Gubernur Mr. T.M. Hasan yang menyatakan belum berniat untuk menghapus kerajaan-kerajaan karena ada dasar hukum untuk menjadi daerah istimewa semakin menimbulkan kecurigaan dikalangan partai politik terutama golongan kiri. Mereka mengnggap bahwa Gubernur belum ingin menghapuskan sistem pemerintahan kerajaan. Hal ini jelas betentangan dengan program persatuan perjuangan.

  Di tengah situasi ini, golongan kiri telah berhasil menyusupi berbagai posisi penting dalam peta kekuatan daerah Sumatera Timur. Keadaan ini semakin parah ketika jabatan pemerintahan dipegang olah dr. Amir selama kepergian Mr. T.M. Hasan meninjau daerah-daerah. Para tokoh golongan kiri mulai ikut menyertai setiap kegiatan dr. Amir kesetiap daerah-daerah genting seperti Simalungun dan Asahan.

  Tujuan utama mereka ialah melakukan provokasi rakyat dengan isu-isu yang dapat menimbulkan kebencian mereka terhadap pihak kerajaan dan bangsawan. Keadaan ini disambut antusias oleh rakyat yang kemudian digunakan oleh pihak golongan kiri untuk segera bergerak melakukan aksinya.

  Tanggal 1 Maret 1946, tidak ada tanda-tanda akan terajdi revolusi sosial. Pada saat itu, masih ada pertemuan makan di hotel Wi Yap, dimana hadir antara lain Datu Jamil, Tengku Busu dari Indrapura, Tengku Hafaz, Raja Kalimansyah dari

   Sumalungun, Raja Silima Huta, dan Mahadi. Pada awal maret itu juga M. Yunus

  Nasution dan Marzuki Lubis mengadakan suatu pembicaraan dengan Kolonel Ahmad Tahir (Panglima Divisi) dan Mayor Mazuar, di kediaman Laut Siregar. Dalam pertemuan ini pihak volksfront membentangkan rencana mereka untuk menghapuskan struktur pemerintahan swapraja. Mereka mengemukakan bahwa tanda-tanda pihak swapraja akan melawan republik telah kelihatan, maka dari itu pihak volksfront ingin bertindak. Pihak TRI menyetujui rencana mereka kalau dilakukan tanpa

   penahanan-penahanan dan pembunuhan-pembunuhan.

  Pihak TRI yang mendapat berita bahwa partai-partai politik akan melakukan penurunan raja-raja, Diminta supaya jangan campur tangan karena persoalanya adalah urusan sipil. TRI mengintruksikan kepada bawahannya di setiap daerah agar jangan mencampuri urusan tersebut, kecuali terjadi kekacauan yang membahayakan keamanan.

  Pada tanggal 3 Maret 1946 menjelang 4 Maret meledaklah peristiwa yang dikenal dengan revolusi sosial di setiap daerah kerajaan Sumatera Timur. Gelora revolusi sosial dimulai di Sunggal pada tanggal 3 Maret, menyusul Binjai, Perbaungan, Indrapura, Lima Puluh, Tanah Datar, Seribudolok dan Kualuh. Pada 41 42 A.H. Nasution, Op.cit, hal. 598 T. Haji M. Lah Husny, Revolusi sosial 1946 di Sumatera Timur/Tapanuli Serta Pangkal dan

  Akibatnya (prolog dan nalognya) , Medan: Badan Penerbit Husny, 1984, hal. 49 tanggal 5 Maret dilakukan di Pematangsiantar, Tiga Dolok, Raya, dan Barus Jahe. Tanggal 6 Maret di Purba dan 7 Maret di Tanjung Pura. Ini masih diteruskan ke Berastagi, Tanjung Balai dan Bilah pada 8 Maret, menyusul ke Merbau pada 9 Maret serta Kota Pinang pada 11 Maret. Pada umumnya yang mengambil tindakan ini adalah laskar-laskar rakyat yang tergabung dalam persatuan perjuangan yang didukung oleh rakyat. Mereka menumbangkan kekuasaan raja-raja dengan menahan, merampok, dan membunuh raja-raja serta membumihanguskan istana-istana kerajaan.

  Demikian halnya yang terjadi di Simalungun, sebelum meletusnya peristiwa tersebut Ketua KNI Laut Siregar mengirim surat kepada kepada pemimpin TRI tentang kerusuhan yang akan terjadi. Ia meminta supaya pihak TRI tidak memihak pada golongan manapun. Namun akibat dari isi surat yang tidak jelas. pihak TRI tidak menduga akan terjadi bentrokan antara laskar dan pihak swapraja. Ahmad Tahir selaku Komandan TRI yang menyetujui tindakan ini meminta para amggota TRI untuk mengawasi peristiwa revolusi tersebut agar sesuai denga ketentuan-ketentuan yang telah disepakati, yakni:

  1. Penangkapan dilakukan dengan bersih, tertib, dan sopan 2.

  Semua tangkapan harus diserahkan pada pihak polisi atau pihak yang berwenang untuk diperiksa

  3. Yang benar-benar salah akan dihukum, yang tidak salah akan dibebaskan

4. Pihak TRI akan mengawasi hal ini sebagai peninjau dalam tindakan-tindakan

   pembersihan itu.

  Kejadian justru sebaliknya, dimana tindakan-tindakan yang dilakukan menjadi liar dan tidak sesuai dengan apa yang dibicarakan di rumah Mr. Laut Siregar. Di Simalungun, Saleh Umar mengeluarkan intruksi kepada pemimpin Pesindo, BHL dan PKI Pematangsiantar untuk menangkapi raja-raja di Simalungun. Pihak BHL mendapat peranan utama dalam peristiwa ini untuk mencegah terjadinya tuduh menuduh yang bersifat kesukuan di pedalaman Simalungun. Namun hal ini yang justru membawa keadaan semakin buruk bagi raja-raja itu. Di pedalaman Simalungun tidak terdapat adanya oposisi terpadu terhadap pemerintahan raja-raja, BHL yang bertindak di daerah-daerah ini dipimpin oleh beberapa tokoh yang memiliki dendam pribadi dan para pengikutnya yang tidak terpelajar.

44 Ketua BHL A.E. Saragih Ras dan ketua Pesindo A. Azis Siregar merupakan

  pemeran utama dalam peristiwa revolusi sosial di Simalungun. Saragih Ras memulai gerakan ini terhadap Raja dari Pane. Mereka ditangkap BHL pada tanggal 3 Maret 43 Jonner Hasibuan, Runtuhnya Feodalisme di Simalungun (1946), Skripsi Sarjana Jurusan

  Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU, Medan: Tidak diterbitkan, 1992, hal. 86-87 44 A.E. Saragih Ras merupakan Putra perbapaan Tiga ras Pane. Hal ini membuat ia mendapat

pendidikan seadanya dan magang di Kantor Kerajaan Pane. Dia berhenti tahun 1923, masuk dalam dunia

kejahatan untuk beberapa tahun, kemudian menjadi supir taksi (1927-1930). Pada tahun 1931

menggantikan ayahnya sebagi kepala kampungnya, tetapi rupanya Raja Pane menolaknya menurunkan

diri, dan menjadi salah seorang yan pertama masuk Gerindo pada tahun 1938 dan F-kikan pada tahun

1942. Oleh karena itu wajar dia diserahkan Kenkokutai di Simalungun dan penerusnya, Barisan Harimau

Liar. Pasukannya pada mulanya tidak begitu menonjol, sampai pasukan ini mengumpulakn harta

kekayaan dalam “revolusi sosial”. Sesudah tahun 1949, Saragih Ras banyak berada di penjara Republik

dan perkaranya tidak pernah dibawa ke sidang pengadilan. A.E. Saragih Ras merupakan salah seorang

pemimpin revolusi sosial untuk bagia Kabupaten Simalungun sekaligus menjadi pemimpin BHL, Anthony Reid, Op.cit, hal 307, malam beserta seluruh keluarga dan harta bendanya dirampas. Raja Pane dan beberapa pengikutnya dibawa pada suatu tempat pertahanan BHL dimana diadakan sebuah pesta dan kemudian semuanya dibunuh. Esok harinya BHL mengejar dan menangkap raja Raya untuk dibunuh dibawah jembatan besar. Rumahnya diobrak-abrik, emas dan barang berharganya dirampok. Sementara itu, raja Purba beruntung diselamatkan pasukan TRI dari tangan BHL. Raja Silimakuta yang kebetulan berada di Pematangsiantar saat rumahnya disergap dan dibakar juga selamat. Bersama dengan raja-raja Simalungun lainnya, kedua raja ini akhirnya

   mendapat pengamanan tahanan TRI di Pematangsiantar.

  Kota Pematangsiantar sendiri yang telah menjadi markas TRI di awal 1946, menjadi wilayah yang cukup aman dari peristiwa revolusi sosial. Bahkan Pematangsiantar menjadi tempat perlindungan bagi para korban-korban revolusi sosial dari daerah-daerah yang bergolak seperti Asahan, Labuhan Batu, Deli Serdang, Langkat, Tanah Karo dan Simalungun. Seperti Sultan Langkat T. Abdul Jalil Rahmatsyah dan keluarga yang ditempatkan diloteng sebuah toko milik seorang Pakistan di Jalan Sutomo sekarang.

  Ibid, hal 374