BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Menopause - Faktor-faktor yang Memengaruhi Aktivitas Seksual pada Ibu Menopause di Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe Tahun 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Menopause

  Menopause merupakan sebuah kata yang memiliki arti atau makna yang menjelaskan tentang gambaran terhentinya haid atau menstruasi. Menopause dapat diartikan sebagai haid terakhir. Menopause disebut juga sebagai periode klimakterium di mana seorang wanita berpindah dari tahun reproduktif ketahun non- reproduktif dalam hidupnya, pada fase ini wanita akan mengalami akhir dari proses biologis dari siklus menstruasi, yang dikarenakan terjadinya perubahan hormon yaitu penurunan produksi hormon estrogen yang dihasilkan ovarium (Kartono, 2007).

  Menurut Mulyani (2013) masa menopause dibagi ke dalam empat periode yaitu: (1) Masa klimakterium dimana pada masa ini terjadi peralihan antara masa reproduksi dan masa senium, masa ini dikenal dengan masa pramenopause yaitu 4-5 tahun sebelum masa menopause. Pada masa ini wanita mengeluh haid tidak teratur, siklus haid panjang dan jumlah haid relatif banyak. Masa ini dimulai pada usia 40 tahun dan akan mengalami penurunan kesuburan. (2) Masa perimenopause yaitu masa peralihan antara masa pramenopause dan setelah menopause sampai usia 48 tahun. (3) Masa menopause yaitu masa tidak ada lagi menstruasi atau saat haid terakhir dimana terhentinya menstruasi sekurang-kurangnya satu tahun. Masa menopause terjadi pada usia 49-51 tahun. (4) Masa senium yaitu masa setelah menopause, ketika seorang wanita telah mampu menyesuaikan diri dengan

  12 kondisinya, telah tercapai satu keadaan keseimbangan hormonal, sehingga tidak ada lagi gangguan fisik maupun psikis. Masa ini berlangsung 3-5 tahun setelah masa menopause yaitu usia antara 65 tahun.

  Setiap wanita akan mengalami masa menopause pada usia yang berbeda, pada umumnya wanita akan mengalami masa menopause sekitar usia 45-55 tahun. Ada beberapa kasus menopause dapat terjadi pada usia paling muda yaitu 30-40 tahun yang disebut menopause prematur. Menopause prematur ditandai dengan terjadi penghentian masa menstruasi sebelumnya tepat pada waktunya, terjadinya hot flushes serta peningkatan kadar hormon gonadotropin. Faktor penyebab terjadinya menopause prematur adalah herediter, gangguan gizi yang cukup berat, penyakit menahun dan penyakit yang merusak jaringan kedua ovarium. Umumnya batas usia terjadinya menopause adalah usia 52 tahun namun ada beberapa faktor yang mendorong wanita mengalami menopause baru pada usia 58 tahun (menopause terlambat), ada beberapa penyebab wanita terlambat mengalami menopause karena mengalami fibromioma uteri dan tumor ovarium yang menghasilkan estrogen (Mulyani, 2013). Menurut Bambang (2003) usia rata-rata wanita mengalami menopause alami atau berhentinya haid adalah umur 50 tahun, wanita memasuki masa menopause berkisar antara umur 50 tahun hingga terjadinya penurunan atau hilangnya hormon estrogen yang menyebabkan perempuan mengalami keluhan atau gangguan pada aktivitas sehari-hari.

  Perempuan pada masa Yunani kuno mengalami menopause sama seperti perempuan modern sekarang ini yaitu sekitar usia 50-51 tahun. Fakta ini telah dilaporkan oleh Aristoteles dalam Histonia Animalonium. Pada sebagian besar wanita sekitar 70% mereka menjalani masa ini tanpa keluhan yang berarti. Jika dilihat dari berbagai kultur wanita Asia dibandingkan wanita Eropa dan Amerika, lebih banyak keluhan pada wanita Amerika dan Eropa dibandingkan wanita Asia. Di Jepang 60% wanita yang sudah menopause berpendapat bahwa menopause bukahlah hal yang penting bagi mereka bahkan tidak ada hot flushes untuk menggambarkan terjadinya perubahan yang terjadi, sementara di Eropa, wanita dari kalangan sosial ekonomi yang rendah lebih banyak bermasalah dengan menopause dibandingkan dengan ekonomi menengah ke atas, dalam hal ini pendidikan dan pengetahuan tentang perubahan masa menopause sangat berhubungan dengan keluhan menopause (Burger dan Boulet, 1991).

  Menurut Yatim (2001) ada beberapa faktor yang mempengaruhi cepat lambatnya wanita memasuki usia menopause yaitu: (1) Faktor psikis dan pekerjaan dimana keadaan seorang wanita yang tidak menikah dan bekerja akan mempengaruhi perkembangan psikis seorang wanita, mereka akan mengalami waktu menopause yang lebih mudah atau cepat dibandingkan dengan wanita yang menikah dan tidak bekerja atau bekerja dan tidak menikah. (2) Faktor cemas; kecemasan yang dialami akan sangat menentukan kecepatan atau bahkan keterlambatan masa-masa menopause. Ketika seorang perempuan lebih sering merasa cemas dalam kehidupannya, maka bisa diperkirakan bahwa dirinya akan mengalami menopause lebih dini, sebaliknya jika seorang wanita lebih santai dan rileks dalam menghadapi hidup, biasanya masa-masa menopause lebih lambat. (3) Umur sewaktu mendapat haid pertama kali (menarch), beberapa peneliti menemukan hubungan antara umur pertama mendapat haid pertama dengan umur sewaktu memasuki menopause, semakin muda umur sewaktu mendapat haid pertama kali, semakin tua usia memasuki menopause. Wanita yang mendapatkan menstruasi pada usia 16 atau 17 tahun akan mengalami menopause lebih dini, sedangkan wanita yang haid lebih dini akan mengalami menopause sampai pada usia 50 tahun. (4) Usia melahirkan; wanita yang melahirkan diatas usia 40 tahun akan mengalami usia menopause yang lebih tua atau lama, hal ini disebabkan karena kehamilan dan persalinan akan memperlambat sistim kerja organ reproduksi bahkan akan memperlambat sistim penuaan tubuh. (5) Jumlah anak; makin sering melahirkan maka akan makin lama memasuki usia menopause. (6) Merokok; seorang wanita yang merokok akan lebih cepat mengalami menopause. Pada wanita perokok diperoleh usia menopause lebih awal sekitar 1,5 tahun. Merokok mempengaruhi cara tubuh memproduksi atau membuang hormon estrogen. Di samping itu juga merokok juga berpotensi membunuh sel telur. Wanita perokok akan mengalami masa menopause pada usia yang lebih muda yaitu usia 43 hingga 50 tahun. Selama menopause, ovarium wanita akan berhenti memproduksi sel telur sehingga wanita tersebut tidak bisa hamil lagi. (7) Pemakaian kontrasepsi; pemakaian kontrasepsi hormonal akan mempengaruhi wanita memasuki lebih lama usia menopause, hal ini di karenakan cara kerja kontrasepsi yang menekan kerja ovarium atau indung telur. (8) Sosial ekonomi; keadaan sosial ekonomi seseorang akan mempengaruhi faktor fisik, kesehatan, pendidikan serta pekerjaan. Bila faktor tersebut cukup baik maka akan mempengaruhi beban fisiologis. Keadaan

klimakterium akan berkaitan dengan kesehatan fisiologis. (9) Penyakit diabetes; penyakit autoimun seperti diabetes melitus menyebabkan terjadinya menopause dini.

  Pada penyakit autoimun, antibodi yang terbentuk akan menyerang FSH. (10) Status gizi; faktor yang mempengaruhi menopause lebih awal biasanya juga dipengaruhi oleh konsumsi makanan yang sembarangan. Jika ingin mencegah menopause lebih dini dapat dilakukan dengan menerapkan pola hidup sehat seperti tidak merokok, serta mengkonsumsi makanan yang baik misalnya sejak masih muda rajin mengkonsumsi makanan seperti kedelai, kacang merah, bengkong atau pepaya.

  (11) Stress; stress juga merupakan salah satu faktor yang bisa menentukan kapan wanita akan mengalami menopause. Jika seseorang sering merasa stres maka sama halnya dengan cemas, maka wanita tersebut akan lebih cepat mengalami menopause. (12) Cuaca dan ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut; wanita yang tinggal di ketinggian lebih dari 2000-3000 m dari permukaan laut lebih cepat 1-2 tahun memasuki usia menopause dibandingkan dengan wanita yang tinggal di ketinggian < 1000 m dari permukaan laut.

  Hasil penelitian Astuti (2008) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan usia menopause pada wanita usia 45-55 tahun di Kelurahan 26 Ilir Kecamatan Bukit Kecil Palembang dengan desain penelitian survey dan pendekatan cross sectional terhadap 67 responden didapatkan hasil rata-rata usia menopause > 47 tahun yaitu sebanyak 38 orang (59,7%) dan jumlah usia menopause < 47 tahun sebanyak 29 orang (40,3%), responden yang mengalami menarche lambat yaitu pada usia > 13 tahun sebanyak 42 orang (67,16%) dan usia < 13 tahun sebanyak 25 orang (32,84%), dengan uji statistik Chi-Sguare menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara usia menarche dengan usia menopause. Hasil univariat responden yang memiliki paritas tinggi yaitu 26 orang (70,27%) rata-rata usia menopause > 47 tahun dan uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara paritas dengan usia menopause. Dari faktor usia ibu terdapat 35 responden melahirkan terakhir pada usia tua > 40 tahun sebanyak 26 tahun (74,26%) rata-rata usia menopause > 47 tahun, hasil penelitian ini sesuai dengan ungkapan Beth Israel dalam Kasdu (2002) yang mengungkapkan bahwa wanita yang masih melahirkan diatas usia 40 tahun akan mengalami usia menopause lebih tua.

  Terjadinya menopause menyebabkan penurunan bahkan terhentinya produksi hormon estrogen dan progesteron, sehingga dapat menimbulkan berbagai masalah.

  Ketika kadar estrogen menurun, maka bagian tubuh yang mendapat suplai estrogen akan bereaksi sehingga otak akan terus memerintahkan hipofisis untuk meningkatkan FSH dan LH dalam rangka memproduksi ertrogen agar dapat mencukupi kebutuhan organ yang membutuhkan. Selama masa reproduksi kelenjar pituitari memproduksi dua hormon yaitu hormon LH (luteiningsing hormone) dan FSH (follicle stimulating

  

hormon ). Hormon FSH berfungsi merangsang ovum atau sel telur dan hormon LH

  berfungsi untuk merangsang terjadinya ovulasi atau pelepasan sel telur. Hormon ini sangat menentukan jumlah hormon estrogen dan progesteron yang akan dihasilkan oleh ovarium. Ketika akan mendekati masa menopause ovulasi akan semakin jarang terjadi akibat ovarium melepaskan sedikit hormon ertrogen, hal ini menyebabkan menstruasi menjadi tidak teratur dan akhirnya sama sekali berhenti. Hormon merupakan pembawa pesan kimia yang dilepaskan dalam sistim peredaran darah yang akan mempengaruhi organ yang ada di seluruh tubuh dan juga mengakibatkan terjadinya perubahan tubuh (Manan, 2013).

  Pada masa menopause wanita akan mengalami perubahan-perubahan dimana perubahan itu akan terjadi secara menyeluruh baik fisik, sosial, mental dan moral spiritual, yang keseluruhannya saling kait mengkait antara satu bagian dengan bagian yang lain. Setiap perubahan memerlukan penyesuian diri (adaptasi), padahal dalam kenyataannya semakin menua usia kita akan semakin kurang fleksibel untuk menyesuaikan terhadap berbagai perubahan yang terjadi dan disinilah berbagai gejolak yang harus dihadapi oleh setiap wanita menopause, gejolak tersebut dapat terjadi akibat perubahan fisik, perubahan psikis dan perubahan sosial (Padila, 2013).

  Perubahan fisik yang dirasakan oleh wanita menopause akibat penurunan hormon estrogen dan progesteron adalah perubahan pola menstruasi dimana perdarahan akan terlihat beberapa bulan dan akhirnya akan berhenti sama sekali, rasa panas (Hot flush), gejala ini akan dirasakan mulai dari wajah sampai ke seluruh tubuh, rasa panas disertai warna kemerahan pada kulit dan berkeringat, rasa panas ini akan mempengaruhi pola tidur wanita menopause yang akhirnya akan membuat wanita menopause kekurangan tidur dan mengalami kelelahan. Hot flush dialami oleh sekitar 75% wanita menopause dan akan dialami selama 1 tahun dan 25-50% wanita akan mengalami hot flush selama 5 tahun. Hot flush juga dapat mempengaruhi wanita menopause mengalami keluar keringat malam yang akan membuat wanita menopause merasa tidak nyaman ( Mulyani, 2013).

  Menurunnya hormon estrogen dan progesteron juga menyebabkan perubahan seperti pusing, mual, gerah, berdebar-debar, tremor, terjadi peningkatan berat badan, penurunan lubrinasi pada vagina, vagina menjadi kering dan kurang elastis akibat penipisan jaringan pada dinding vagina sehingga ketika melakukan hubungan seksual bisa timbul rasa nyeri dan gatal-gatal pada vagina ibu, terjadinya peradangan pada kandung kencing dan vagina, terjadinya penurunan aktivitas sehari-hari disebabkan wanita menopause akan mudah merasakan kelelahan sehingga tidak sanggup melakukan pekerjaan yang terlalu berat. Masalah menopause juga memberikan perubahan psikis karena adanya anggapan bahwa menopause adalah saat berakhirnya semua sifat kewanitaan. Keadaan ini diperkuat oleh kurang pengertian atau kurangnya informasi mengenai perubahan-perubahan yang terjadi pada masa menopause (Mulyani, 2013).

  Pada wanita menopause penurunan fungsi seksual sering kali berhubungan dengan berbagai perubahan fisik. Wanita menopause akan berkurang keinginan seksualnya karena keringat malam, keringat malam dapat mengganggu tidur dan kekurangan tidur dapat mengurangi energi, aktivitas seksual membutuhkan energi.

  Penurunan fungsi seksual juga terjadi karena adanya perubahan pada organ reproduksi. Perubahan organ reproduksi terjadi akibat berhentinya menstruasi karena sel telur tidak lagi diproduksi sehingga akan berpengaruh terhadap komposisi hormon dalam organ reproduksi.

  Adapun perubahan organ reproduksi pada wanita menopause adalah: (1) tuba fallopi dimana saluran tuba akan mengalami penipisan dan mengkerut, lipatan-lipatan tuba menjadi lebih pendek, endosalpingo menipis mendatar dan silia menghilang. (2) Uterus akan mengecil karena terjadi atropin endometrium dan juga disebabkan hilangnya cairan dan perubahan bentuk jaringan ikat interstisal. (3) Servik atau mulut rahim akan mengkerut dan terselubung dinding vagina, saluran memendek dan menyempit. (4) Vagina akan mengalami kekeringan dan kurang elastisitas, lipatan- lipatan berkurang, dinding menipis dan mudah luka, hilangnya rugae karena penipisan. Keasaman vagina meningkat karena terhambatnya pertumbuhan basil donderlein yang menyebabkan glikogen seluler meningkat sehingga mudah terjadi infeksi. Terjadinya atrofi pada epitel vagina hingga hanya tinggal lapisan sel asal, vagina menjadi kering dan menyebabkan disreunia atau rasa sakit ketika berhubungan seksual. Pada wanita yang mengalami hal tersebut akan mudah sekali timbul infeksi dan terjadi vaginitis senilis dengan gejala fluor albus yang kadang bercampur darah, rasa nyeri dan gatal. (5) Dasar panggul; kekuatan dasar panggul juga sudah berkurang kekuatan dan elastisitasnya karena atropin dan lemahnya daya sokong disebabkan prolapsus uterus vagina. (6) Perenium dan anus; lemak subcutan menghilang, atropin dan otot sekitarnya menghilang menyebabkan tonus spinkter melemah dan menghilang. (7) Kelenjar payudara; terjadi perubahan terhadap payudara yaitu puting susu mengecil, kurang erektil, pigmentasi berkurang, payudara kelihatan mengendor dan mendatar. Hormon estrogen mempunyai tanggung jawab terhadap penampilan luar kelenjar payudara pada wanita. Pada wanita menopause terjadinya penurunan hormon estrogen menyebabkan bentuk payudara tidak menarik lagi. (8) aktivitas kendali spinkter destrussor pada kandung kencing menghilang sehingga sering kencing tanpa disadari dan hormon estrogen memegang peranan penting dalam

mempertahankan mukosa kandung kencing dan uretra, selain itu perubahan hormonal juga sangat mempengaruhi dalam pengendalian pertumbuhan, perkembangan ciri-ciri seksual dan penyimpanan energi serta pengendalian valume cairan, kadar air dan gula dalam darah. Hormon merupakan satu zat yang dilepaskan ke dalam aliran darah dari satu kelenjar pada sistim endokrin yang berpengaruh pada aktivitas sel-sel tubuh yang mengendalikan fungsi organ tubuh secara keseluruhan. Pada masa menopause perubahan hormon estrogen dan progesteron mampu mempengaruhi langsung perubahan pada seorang wanita. Penurunan hormon estrogen akan mempengaruhi langsung pada kondisi fisik maupun organ reproduksi (Mulyani, 2013).

  Menurut Mulyani (2013) ada beberapa keluhan masa klimakterium berdasarkan persentase gejala atau tanda umum yang sering dialami oleh wanita :

Tabel 2.1. Keluhan Masa Klimakterium No

  Keluhan Klimakterik Menopause pada Wanita Usia 45-54 Tahun Persentase(%) Kejadian

  1 Mudah tersinggung, takut, gelisah dan mudah marah 90 %

  2 Gejolak panas (hot flushes) 70 %

  3 Depresi 70 %

  4 Sakit Kepala 70 %

  5 Cepat lelah, sulit berkonsentrasi, mudah lupa, kurang tenaga 65 %

  6 Berat badan bertambah 60 %

  7 Nyeri tulang dan otot 50 %

  8 Gangguan tidur 50 %

  9 Obesitas 40 %

  10 Jantung berdebar-debar 40 %

  11 Gangguan libido 30 %

  12 Kesemutan 25 %

  13 Mata berkunang-kunang 20 %

  Ketidakmampuan wanita menopause untuk menghadapi tekanan atau konflik akibat perubahan-perubahan fisik dapat menimbulkan masalah psikologis seperti perasaan gelisah, mudah tersinggung, tegang, cemas, perasaan tertekan, malas, sedih, merasa tidak berdaya, mudah menangis, mudah lupa, emosi yang meluap. Gejala ini juga timbul akibat adanya penurunan hormon estrogen dan progesteron, hormon ini berfungsi untuk mengatur memori, daya persepsi dan suasana hati. Penurunan hormon estrogen menyebabkan berkurangnya neurotransmiter di dalam otak, dimana neurotransmiter di dalam otak tersebut akan mempengaruhi suasana hati sehingga apabila neurotransmiter kadarnya rendah maka akan menimbulkan perasaan cemas yang akhirnya dapat menyebabkan depresi pada wanita menopause. Perubahan seksual pada wanita menopause juga sangat dipengaruhi oleh rasa malu untuk mempertahankan kehidupan seksualitasnya, sikap keluarga dan masyarakat yang kurang mendukung serta diperkuat oleh budaya dimana masalah seksual lansia merupakan masalah yang tidak penting dan tabu untuk dibicarakan, masyarakat mengganggap seks orang lanjut usia itu praktis dan pelan-pelan akan hilang sendiri (Padila, 2013).

  Burns (1997) dalam Wiknjosastro ( 2006) memaparkan beberapa mitos yang merugikan seksualitas perempuan, seperti tubuh perempuan milik laki-laki, kebahagian perempuan tergantung pada keberadaan laki-laki, tubuh perempuan itu memalukan dan perempuan kurang memiliki hasrat seksual, hal ini menyebabkan perempuan tidak punya kontrol terhadap kehidupan seksualitasnya, sehingga mereka menjadi rentan terhadap problema kesehatan seksualitasnya.

  Upaya pencegahan terhadap keluhan atau masalah menopause yang dilakukan pada tingkat pelayanan dasar adalah pemeriksaan alat kelamin wanita bagian luar seperti liang dan leher rahim untuk melihat adanya kelainan yang mungkin timbul seperti lecet, keputihan, pertumbuhan abnormal atau adanya benjolan dan tanda radang, melakukan papsmear untuk melihat adanya tanda radang dan deteksi dini terhadap kemungkinan adanya kanker pada saluran reproduksi, melakukan perabaan payudara; ketidakseimbangan hormon yang terjadi akibat penurunan kadar hormon estrogen, dapat menimbulkan pembesaran atau tumor payudara, hal ini juga dapat terjadi pada pemberian hormon pengganti untuk mengatasi masalah kesehatan akibat menopause, perabaan payudara sendiri atau SADARI (pemeriksaan payudara sendiri) dapat dilakukan secara teratur untuk menentukan tumor payudara sedini mungkin, penggunaan bahan makanan yang mengandung unsur fito-estrogen yang dapat menggantikan penurunan hormon estrogen seperti mengkonsumsi kacang kedelai, pepaya, semanggi merah, penggunaan bahan makanan sumber kalsium (susu, yoghurt, keju, teri), menghindari makanan yang mengandung banyak lemak, kopi dan alkohol (Pusdiknakes, 2006).

2.2. Aktivitas Seksual

  Aktivitas seksual merupakan kegiatan yang dilakukan dalam upaya memenuhi dorongan seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ kelamin atau seksual melalui beberapa prilaku, misalnya berfantasi, masturbasi, nonton atau membaca buku pornografi, cium pipi, cium bibir, petting dan hubungan seks (Ingrid,2001). Banyak wanita setelah menopause ragu melakukan aktivitas seksual, padahal membiarkan menopause menjadi penghalang dalam melakukan aktivitas seksual adalah hal yang salah, inilah yang menjadi penyebab wanita menopause kehilangan kemampuan dalam fungsi dan kenerja seksualnya bersama pasangan. Melakukan aktivitas seksual pada usia premenopause atau menopause tidak menjadi kendala, wanita tidak perlu khawatir akan kehamilan, justru pada masa itu aktivitas seksual merupakan rekreasi, relasi dan ekspresi cinta suami istri (Sitepoe, 2008).

  Seksualitas pada wanita menopause menjadi isu yang penting sejak dahulu sampai sekarang. Secara teori telah diakui bahwa seksualitas adalah hal yang penting, namun tidak diikuti oleh tindakan dalam kehidupan kesehariannya. Bagi wanita menopause, sentuhan pada malam hari, mendengar irama jantung suami dan percakapan terbuka ditempat tidur merupakan hal yang penting dilakukan, karena mampu meningkatkan keintiman dan meningkatkan komunikasi dengan pasangan.

  Hubungan seksual dalam keluarga merupakan puncak keharmonisan dan kebahagian, oleh karena itu kedua belah pihak harus dapat menikmatinya bersama. Ketidakpuasan seks dapat menimbulkan perbedaan pendapat, perselisihan dan akhirnya menjadi penyebab perceraian, itulah sebabnya seksualitas harus dibicarakan secara terbuka sehingga tidak mengecewakan kedua belah pihak (Manuaba dkk, 2009).

  Pada tahun-tahun dimana seorang wanita mengalami menopause, wanita mungkin akan mengalami perubahan dalam kehidupan seksualitasnya. Aktivitas seksual selama menopause sangat bervariasi, tergantung pada pembinaan. Wanita yang memiliki kesempatan berhubungan seksual dengan pasangannya secara teratur menunjukkan stabilitas perilaku seksual pada masa menopause, hanya 25% dari jumlah wanita menopause yang pergi konsultasi pada dokter untuk mengeluh mengenai seksual masa menopause. Beberapa wanita mengatakan mereka lebih menikmati seks setelah mereka tidak perlu khawatir akan terjadinya kehamilan dan mereka mengatakan tidak pernah merasa kehidupan seksualitasnya sepositif seperti masa menopause ini, tapi ada pula yang merasa bahwa tubuhnya tidak handal lagi sehingga aktivitas seksualnya tidak mantap lagi, alasan utama adalah karena muncul perubahan fisik, perubahan organ reproduksi dan juga perubahan psikis yang memegang peranan penting pada perilaku seksualitas wanita menopause (Sitepoe, 2008).

  Menurut Ebersole dan Hess (1981) seksualitas merupakan ungkapan cinta, kehangatan, saling berbagi, sentuhan maupun hal yang menyentuh antara manusia, bukan hanya tindakan fisik berupa hubungan seksual. Seksulitas dapat mengandung arti apa saja yang dapat memberikan kenikmatan seksual atau kesenangan, kegembiraan dan kenyamanan. Menurut konferensi APNET (Asia Pasifik Networks

  

for Sosial Health) di Cepu, Filiphina 1996 mengatakan seksualitas adalah ekspresi

  seksual seseorang yang secara sosial dianggap dapat diterima serta mengandung aspek-aspek kepribadian yang luas dan mendalam. Seksualitas merupakan gabungan dari perasaan dan perilaku seseorang yang tidak hanya didasari pada ciri seks secara biologis, tetapi juga merupakan satu aspek kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan dari aspek kehidupan yang lain.

  Seksualitas adalah konsep terpadu yang meliputi kemampuan fisik seseorang dalam menerima rangsangan dan kenikmatan seksual serta pembentukan identitas seksual dan gender yang melekat pada perilaku seksual yang dipahami oleh individu maupun masyarakat, jadi seksualitas tidak hanya meliputi konsep biologis tetapi juga konsep sosial (Pusdinakes, 2006). Dalam pengertian seksualitas mempunyai 2 aspek yaitu: (1) Seksualitas dalam arti sempit yang artinya alat kelamin itu sendiri, kelenjar dan hormon-hormon dalam tubuh yang mempengaruhi bekerjanya alat-alat kelamin, ciri dari anggota –anggota tubuh yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, hubungan kelamin dan proses pembuahan, kehamilan dan kelahiran. (2) Seksualitas dalam arti luas yaitu segala hal yang terjadi akibat adanya perbedaan jenis kelamin seperti perbedaan tingkah laku, perbedaan atribut dan perbedaan peran (Abineno,1999).

  Menurut Mckhann dan Albert.M (2010) respons seksual dibagi dalam tiga fase yaitu: (1) Fase hasrat; hasrat seksual bekerja melalui bagian otak yang disebut dengan hipotalamus. (2) Fase kenikmatan yaitu kesadaran seksual diawali dengan stimulasi mental. (3) Fase orgasme dimana orgasme bisa bersifat refleks tapi sering memiliki bahan yang diarahkan otak dan secara sadar. Tujuan seksualitas secara umum adalah meningkatkan kesejahteraan kehidupan manusia dan tujuan secara khusus adalah sebagai prokreasi yaitu menciptakan atau meneruskan keturunan dan sebagai rekreasi yaitu untuk memperoleh kenikmatan biologis atau seksual.kesehatan seksualitas adalah integrasi dari somatis (badan), emosional, intelektual dan aspek sosial yang dapat memperkaya dan meningkatkan personalitas kepribadian, komunikasi dan cinta. kesehatan seksualitas mempunyai empat komponen yaitu (1) Prilaku personal maupun sosial dalam kesepakatan terhadap identitas individu gender. (2) Kenyamanan dalam berprilaku seksual dan hubungan interpersonal yang efektif serta komitmen untuk hidup bersama antara pria dan wanita sepanjang hidup. (3) Respons terhadap stimulus erotis yang dapat membangkitkan aktivitas seksual yang menyenangkan. (4) Kemampuan untuk dapat mewujudkan prilaku seksual yang harmonis terhadap seseorang beserta nilainya.

  Secara psikologis seksualitas berhubungan erat dengan identitas peran jenis, perasaan terhadap seksualitas itu sendiri dan bagaimana menjalankan fungsi sebagai makhluk seksual. Dari dimensi sosial berkaitan dengan bagaimana lingkungan berpengaruh dalam pembentukan mengenai seksualitas dan prilaku seksualitas, dari dimensi budaya menunjukkan bagaimana perilaku seks menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Perilaku seksual mencakup tindakan-tindakan seksual terhadap orang lain atau diri sendiri yang dapat diamati.

  Saat memasuki menopause perempuan dilanda rasa takut karena berhentinya masa subur dan terjadi perubahan organ reproduksi yang juga mengakibatkan terjadinya perubahan seksualitas. Perubahan fisik masa itu bukan berarti kehidupan seks akan ikut mati. Kekhawatiran terbesar bagi wanita dan pasangan hidupnya adalah hilangnya keinginan untuk berhubungan intim dengan pasangannya, banyak mitos yang berkata wanita tidak bergairah terhadap seks dan tidak bisa mencapai kepuasaan seksual, hal ini tidak benar. Bertambahnya usia, maka perilaku seks juga akan berubah, perubahan seksualitas pada wanita menopause berhubungan dengan penurunan hormon estrogen dan progesteron yang mengakibatkan hubungan intim menimbulkan rasa sakit karena dinding vagina menjadi tipis, namun banyak study yang mengungkapkan bahwa wanita menopause ternyata memiliki gairah seks tinggi ketimbang mereka yang masih subur dan aktivitas seksual wanita menopause lebih baik daripada wanita usia subur. Pada wanita menopause aktivitas seksual lebih mementingkan kualitasnya (Nugraha. B, 2014).

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa keinginan dan kemampuan seks pada wanita setelah klimakterium terus berlanjut, dari 250 orang responden yang berusia 60-93 tahun ada 54% pasangan menikah yang masih aktif secara seksual (Suparto, 2006). Survei menemukan fakta lain, dimana kelompok usia paling aktif secara seksual adalah kelompok umur 31- 45 tahun yaitu 87%, usia 18-30 tahun 85%, usia 46-54 tahun 74%, usia hubungan seksual tidak aktif lagi yaitu pada rentang 55-70 tahun 45% dan diatas 70 tahun 15% (Manan, 2010).

  Menurut Gramegna tahun 1998 dalam Phanjoo tahun 2000 sebuah studi pada wanita Chili dilaporkan bahwa wanita usia 60 tahun, 40% masih aktif secara seksual.

  Menurut Hutapea (2005) frekuensi hubungan seksual pada masa lansia memang mengalami penurunan dari 4 kali seminggu pada usia 25 tahun menjadi sekali seminggu pada usia 50 tahun, tiga kali sebulan pada usia 70 tahun dan sekali sebulan pada usia 75 sampai 79 tahun.

  Hasil penelitian Melaniani tahun 2007 di Kelurahan Renon Kecamatan Denpasar Selatan dengan judul faktor-faktor yang memengaruhi aktivitas seksual pada wanita perimenopause terhadap 77 responden yang berumur 45-55 tahun dengan desain penelitian observasional, penelitian bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional didapatkan hasil rata-rata usia wanita yang telah mengalami menopause sebesar 57,1% yaitu pada usia 50 tahun, perubahan yang paling banyak dialami oleh responden adalah perubahan fisik yaitu ketidakteraturan siklus haid sebesar 78.0% dan perubahan psikologis dalam bentuk cepat marah dan tersinggung sebesar 49,4%, untuk aktivitas seksual, ketertarikan responden terhadap pasangannya sebahagian besar diungkapkan dengan cara memegang tangan dan membelai sebesar 40,3% dan melakukan aktivitas seksual secara teratur dengan frekuensi >1 x seminggu sebesar 61%. Hasil penelitian pada faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas seksual, responden yang tidak bekerja dan aktivitas seksualnya masih aktif sebesar 58,6% sedangkan responden yang bekerja dan aktivitas seksualnya masih aktif sebesar 77,1%, responden yang tidak memakai alat kontrasepsi dan aktivitas seksualnya masih aktif sebesar 100% sedangkan responden yang memakai alat kontrasepsi dan aktivitas seksualnya masih aktif sebesar 69,9%, responden yang masih memiliki anak hidup dan aktivitas seksualnya masih aktif sebesar 71,1%, responden yang tidak memiliki anak hanya sebesar 1,3%, kesiapan renponden menghadapi menopausenya baik dan aktivitas seksualnya masih aktif sebesar 82% dan responden yang kurang siap dalam menghadapi menopause dan aktivitas seksualnya masih aktif sebesar 57,1%, perubahan fisik yang dialami responden dalam batas tidak wajar dan aktivitas seksual masih aktif sebesar 36,4% dan aktivitas seksual kurang aktif sebesar 13,6%, responden dengan perubahan fisik masih dalam batas wajar dengan aktivitas seksual masih aktif 83,6% dan aktivitas

seksual kurang aktif 5,5%. Perubahan psikologis yang dialami responden dalam tidak batas wajar dengan aktivitas seksual masih aktif sebesar 36,4% dan aktivitas kurang aktif sebesar 13,6%, untuk perubahan psikologi masih dalam batas wajar dengan aktivitas seksual masih aktif sebesar 83,6% dan aktivitas seksual kurang aktif sebesar 5,5%. Hasil analisis dengan uji regresi ordinal ternyata variabel yang berpengaruh secara nyata terhadap aktivitas seksual wanita usia 45-55 tahun pada masa menopause hanya variabel perubahan fisik dengan signifikasi p< 0,05 dimana nilai p=0,017.

  Dua faktor yang mempengaruhi aktivitas seksual pada wanita menopause adalah: (1) Faktor internal yaitu perubahan berupa kemunduran fisik yang khususnya berkaitan dengan hormon seks yang memberikan pengaruh pada stimulasi sensori dan aliran darah akibat penurunan hormon estrogen seperti penurunan lubrinasi vagina, dinding vagina menjadi tipis dan mudah teriritasi, penurunan aktivitas seksual pada wanita menopause juga dapat disebabkan karena penyakit yang diderita dan perubahan psikologis seperti kesepian, depresi, merasa tidak pantas berpenampilan untuk menarik perhatian pasangannya. (2) Faktor eksternal berupa kebudayaan yang berkembang di masyarakat yang mengganggap bahwa wanita menopause tidak layak lagi dilakukan sehingga memberikan dampak penurunan aktivitas seksual (Darmojo dan Martono, 2006).

  Menurut Mulyani (2013) hilangnya gairah seksual secara jangka panjang terjadi pada sejumlah wanita selama dan sesudah menopause, penyebab hilangnya gairah seksual pada perempuan menopause atau penurunan libido disebabkan oleh beberapa faktor: (1) Depresi (stres) ketika wanita sudah tidak haid lagi, rasa depresi selalu timbul dengan interval waktu yang tetap. Perasaan depresi itu biasanya tiba bersamaan dengan datangnya siklus menstruasi setiap bulannya. Depresi tersebut timbul berupa bentuk kekecewaan hati seorang wanita karena dirinya sudah tidak lagi mengalami menstruasi dan merasa kurang lengkap dirinya sebagai seorang wanita.

  (2) Kelelahan; pekerjaan sebagai seorang wanita yang mengurus anak dan suami membuat seorang wanita mempunyai peran ganda apalagi jika wanita tersebut wanita karier, sehingga membuat dirinya mencapai titik kelelahan yang sangat berat. Kelelahan juga terjadi karena kurang tidur atau insomnia sehingga menimbulkan perasaan lelah yang berkepanjangan. (3) Gangguan kesehatan; pada wanita menopause pola makan tidak sama seperti usia produktif sehingga bila tidak mengontrol pola makan akan terjadi kelebihan lemak yang tersimpan pada payudara, perut, bokong dan paha. Selain itu kelebihan makanan di dalam keadaan tubuh yang kemampuan metabolisme kurang baik dapat menimbulkan penyakit kolesterol, hipertensi, diabetes dan jantung. (4) Masalah psikologis; mulai menurunnya kemampuan berpikir dan kemampuan mengingat dapat menimbulkan penyakit pikun.

  Perasaan takut menjadi tua, tidak menarik, tidak enak dipandang lagi, susah tidur, mudah tersinggung, dan cepat marah, merasa tertekan, sedih tanpa diketahui penyebabnya, sangat emosional dan spontan, ada perasaan takut kehilangan suami, anak dan ditinggalkan sendiri. (5) Masalah pribadi dengan pasangan; pada setiap pasangan diperlukan komunikasi agar terjadi keharmonisan dalam keluarga. Seorang wanita perlu mendiskusikan pada pasangannya perubahan yang sedang dialaminya, dengan adanya komunikasi yang baik diharapkan mendapatkan solusi yang tepat dari pasangan sehingga dapat menyesuaikan diri selama berhubungan intim dan merasakan kenyamanan. (6) Efek samping terapi medikamentosa; masa menopause adalah masa rawan bagi wanita karena sering timbul berbagai penyakit sehingga harus mengkonsumsi obat-obatan yang dapat mempengaruhi sistim metabolisme tubuh (7) Perubahan hormon; pada wanita menopause, secara menyeluruh sistim hormonal pada tubuh mulai menurun fungsinya sehingga mempengaruhi metabolisme dalam tubuh. Penurunan hormon estrogen dan progesteron dalam tubuh memberikan dampak pada penurunan organ reproduksi sehingga berpengaruh pada aktivitas seksual wanita menopause.

  Selain faktor fisiologis dan psikologis, hal lain yang mempengaruhi seksualitas pada wanita lansia adalah penyakit maupun tindakan bedah. Penyakit jasmani secara langsung yang dapat mempengaruhi fungsi seksual adalah endokrin seperti kencing manis, saraf, dan vaskuler. Penyakit tidak langsung yang dapat mempengaruhi fungsi seksual adalah penyakit yang menyebabkan kelemahan, nyeri dan secara psikologi menyebabkan gangguan gambaran diri maupun self esteem yang rendah (Mulyani, 2013).

  Dalam beberapa artikel kesehatan, dilaporkan bahwa penyakit Diabetes Melitus berkontribusi terhadap disfungsi seksual dengan prevalensi berkisar antara 20– 80%, sedangkan studi yang dilakukan di Jordania, dilaporkan bahwa wanita dengan usia 50 tahun atau lebih yang menderita diabetes, lebih banyak mengalami disfungsi seksual yaitu sebesar 59,6% (Ali, 2008). Masalah seksual yang dapat timbul karena penyakit diabetes antara lain masalah lubrikasi vagina, penurunan libido dan orgasme. Disamping itu penyakit sistemik seperti gagal ginjal, penyumbatan pulmonary kronis, sirosis dan distropika myotonia, dapat menyebabkan melemahnya orgasme hingga anorgasme, penurunan libido dan mengurangi lubrikasi vagina (Meston, 1997).

  Tindakan bedah yang berhubungan dengan masalah seksual pada lansia seperti operasi histerektomi, mastektomi dan bedah urologi lainnya misalnya radical

  

cystectomy pada keganasan saluran kemih, bedah panggul pada kanker rektum dan

  lain sebagainya, hal ini berhubungan dengan masalah psikologi seperti body image

  

dan self esteem yang rendah. Meskipun tindakan bedah vulvovaginal tidak diragukan

  lagi merupakan penyebab gangguan bodi image dan self esteem yang rendah pada semua usia, pada wanita lansia akan terasa semakin berat karena gangguan bodi

  

image telah terjadi seiring dengan bertambahnya usia. Kejadian inkontinentia urin

  terjadi pada saat intercourse sekitar 25% pada lansia, dimana hal tersebut menggangu hubungan seksual karena ketidakpuasan dan memberikan rasa malu karena keadaan tersebut (Hoehl dkk, 1998).

  Histerektomi merupakan operasi yang terbanyak dialami pada wanita. Di Amerika lebih dari satu diantara tiga wanita dioperasi histerektomi pada usia 60 tahun. Wanita lain merasa terganggu dalam hal kepuasan seksual. Hal ini disebabkan karena tidak adanya kontraksi uterus saat orgasme berlangsung. Pada wanita dengan paham feminis akan merasa kehilangan kefeminimannya, karena ketiadaan uterus sehingga terjadi gangguan body image dan self esteem yang rendah. Sebaliknya wanita lain yang merasa tertolong dengan diangkatnya uterus mereka, akan menikmati hubungan seksual karena hilangnya nyeri pada perut, hilangnya perdarahan yang abnormal atau kram perut (Hoehl dkk,1998).

  Pada masa menopause, yang perlu diperhatikan dalam hubungan seksual adalah keteraturannya bukan lamanya, namun tetap terjadi perubahan frekuensi dalam melakukan hubungan seksual. Wanita menopause masih melakukan hubungan seksual dan merasa bergairah hingga usia menjelang 80 tahun, berhentinya hubungan seksual karena ketiadaan pasangan (Bambang, 2003). Wanita menopause yang secara teratur dan aktif bersetubuh walaupun tidak sesering dulu akan menikmati seks lebih lama daripada mereka yang secara tidak teratur melakukan hubungan seksual, prinsipnya adalah “ Use It or lose It “(Suparto, 2002).

  Pada usia menopause tidak ada halangan untuk mempertahankan hubungan seksual hanya frekuensinya semakin berkurang tetapi diharapkan kualitasnya semakin meningkat sehingga dapat meningkatkan keharmonisan keluarga. Masalah yang dihadapi dalam hubungan seksual pada wanita menopause adalah keinginan seksual sudah berkurang, daerah erotik kurang sensitif dan agak sulit mencapai orgasme (Manuaba, 2009).

  Hasil penelitian Widodo (2010) tentang persepsi ibu menopause terhadap aktivitas seksual masa menopause di desa Jagalan Kecamatan Tawangmangun Karanganyar dengan jenis penelitian kualitatif dan pendekatan fenomenologi di dapatkan hasil ibu menopause menganggap aktivitas seksual adalah satu bentuk dari ungkapan kasih sayang dan rasa cinta, kumpul dengan suami saling merayu, persepsi ibu menopause tentang aktivitas seksual adalah adanya rasa tidak nyaman saat melakukan aktivitas seksual dan perasaan ibu cemas saat melakukan aktivitas seksual, ibu berkenyakinan bahwa melakukan aktivitas seksual pada masa menopause sudah tidak penting lagi karena merasa sudah tua dan tidak pantas lagi namun ibu percaya bahwa dengan tetap melakukan aktivitas seksual dapat mencegah suami mencari wanita lain dan itu tetap dilakukan karena satu kebutuhan yang harus dipenuhi. Pengaruh menopause terhadap aktivitas seksual menjadi kurang bahkan tidak sama sekali melakukan aktivitas seksual karena tidak bergairah lagi dan hasil wawancara pada ibu menopause sebanyak 75% responden tidak ada upaya atau keinginan untuk bertanya pada tenaga kesehatan ataupun mencari informasi dengan cara membaca buku, cukup dengan mendengarkan dari orang lain dan anggapan-anggapan yang ada di masyarakat.

2.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Aktivitas Seksual

2.3.1. Pengetahuan

  Terjadi kekhawatiran akan perubahan-perubahan yang terjadi sebelum menopause dan sesudah menopause dapat menjadi masalah apabila wanita tersebut tidak mengetahui secara benar tanda-tanda atau sindrom yang terjadi pada diri mereka ketika memasuki menopause. Adanya keluhan fisik seperti kekeringan pada vagina, kurangnya lubrinasi dan menurunnya fungsi seksual akan mempengaruhi perubahan aktivitas seksual di usia menopause. Hal ini tidak hanya dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi akibat penurunan fungsi reproduksi tetapi juga dipengaruhi oleh kurangnya informasi dan pengetahuan tentang dampak penurunan fungsi reproduksi terhadap penurunan respons seksual di usia menopause (varney, 2004). Masalah lain yang muncul akibat kurangnya pengetahuan tentang penurunan fungsi reproduksi dan fungsi seksual di usia menopause adalah gangguan biopsikososial yang akan mempengaruhi kinerja wanita usia menopause dan juga mengakibatkan tergangguanya hubungan suami istri (Martaadisoebrata, dkk, 2005). Banyak wanita pada masa menopause merasa takut akan kehilangan seksualitasnya, khususnya kemampuan melakukan aktivitas seksual yang menyebabkan hubungan interpersonal dengan pasangan kurang harmonis (Nappy, 2009).

  Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi perubahan hidup wanita menopause khususnya pada aktivitas seksual yaitu dengan memberikan pendidikan kesehatan pada wanita menopause dan suami agar dapat mengembangkan pengetahuan, sikap dan bagaimana cara mengatasi jika terjadi perubahan aktivitas seksual melalu kegiatan konseling karena kebutuhan seksual merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, untuk itu secara interpersonal, konseling merupakan satu metode yang sesuai untuk memberikan informasi dan membantu pasangan suami dan istri memahami dan mengerti bagaimana cara mengatasi perubahan aktivitas seksual pada masa menopause (Potter dan Perry, 2005).

  Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang, proses adopsi perilaku yang di dasari oleh pengetahuan akan lebih baik dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan diperlukan sebagai dorongan fisik dalam menumbuhkan rasa percaya diri, pengetahuan merupakan stimulasi terhadap tindakan seseorang (Notoatmojo, 2003).

  Hasil penelitian Ika (2010) di Puskesmas Arjuno Malang terhadap 67 responden tentang pengetahuan mengenai menopause didapatkan hasil tingkat pengetahuan wanita mengenai menopause berada pada katerori kurang yaitu sebesar 43%, sedangkan 31% responden memiliki tingkat pengetahuan sedang dan 26% pada kategori baik. Tingkat keluhan wanita menopause yang paling banyak adalah pada keluhan ringan yaitu 60% dan keluhan sedang sebanyak 33%, keluhan ringan 7%. Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman Rank menunjukkan bahwa ada hubungan antara kedua variabel ( p=0,002<0,05). Nilai koefisien korelasi (r) menunjukkan bahwa arah korelasi positif yaitu semakin kurang tingkat pengetahuan seseorang mengenai menopause maka semakin ringan pula tingkat keluhannya.

  Penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2009) dengan judul hubungan tingkat pengetahuan tentang menopause dengan dukungan sosial suami saat istri menghadapi menopause di desa Somagede Kecamatan Somagede Banyumas dengan jumlah responden 172 orang didapatkan hasil mayoritas pengetahuan responden tentang menopause pada kategori cukup 54,3%, hasil penelitian untuk dukungan sosial suami berada pada kategori sedang yaitu 54,3% dan hubungan antara tingkat pengetahuan dengan dukungan sosial suami saat istri menghadapi menopause di dapatkan hasil bahwa ada hubungan yang positif antara tingkat pengetahuan dengan dukungan sosial suamu saat istri menghadapi menopause dengan nilai koefisien sebesar 0,523 dan secara statistik bermakna di lihat dari nilai signifikan adalah 0,000 lebih kecil dari nilai alpa 0,05.

  Penelitian yang dilakukan oleh Ulfiana (2012) di desa Candi Mulyo Jombang dengan desain penelitian guasy exsperiment terhadap 45 pasangan suami istri dengan judul konseling pasangan suami istri tentang aktivitas seksual pada wanita menopause didapatkan hasil konseling pasangan suami istri tentang aktivitas seksual memberikan hasil yaitu peningkatan pengetahuan, perubahan sikap menjadi positif dan peningkatan tindakan dalam upaya mengatasi perubahan aktivitas seksual pada wanita menopause. Pasangan suami istri terdorong motivasinya dalam upaya untuk mengatasi perubahan aktivitas seksual pada wanita menopause, karena apabila seseorang mendapat ilmu atau informasi baru yang berguna untuk dirinya dan sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi, maka akan timbul motivasi untuk memahami, menerima dan akhirnya akan mengadaptasikan dalam kehidupan kesehariannya.

2.3.2. Aktivitas Fisik

  Perubahan fisik yang terjadi pada masa menopause menyebabkan rasa panas (Hot flush), gejala ini akan dirasakan mulai dari wajah sampai ke seluruh tubuh, rasa panas disertai warna kemerahan pada kulit dan berkeringat, rasa panas ini akan mempengaruhi pola tidur wanita menopause yang akhirnya akan membuat wanita menopause kekurangan tidur dan mengalami kelelahan didukung oleh pekerjaan sebagai seorang wanita yang mengurus anak dan suami membuat seorang wanita mempunyai peran ganda apalagi jika wanita tersebut wanita karier, sehingga membuat dirinya mencapai titik kelelahan yang sangat berat. Aktivitas seksual membutuhkan waktu dan tenaga, dengan terkurasnya stamina karena bekerja, kurang tidur dan istirahat maka akan mengalami kelelahan fisik dan ini menyebabkan terjadinya penurunkan gairah seksual. Kondisi tubuh yang lelah selalu jadi alasan yang cukup kuat untuk menolak aktivitas seksual. Fenomena ini sering kita jumpai dalam rumah tangga. Ada beberapa alasan yang membuat gairah seksualitas wanita menopause menurun, salah satunya adalah karena kelelahan. kelelahan bisa disebabkan karena banyaknya aktivitas sehari-hari yang dikerjakan oleh wanita menopause dan kelelahan merupakan respons normal dari aktivitas fisik.

  Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energ i ). Aktivitas fisik merupakan setiap gerakan tubuh yang membutuhkan energi untuk mengerjakannya. Aktivitas fisik yang bermanfaat untuk kesehatan usia lansia sebaiknya memenuhi kriteria FITT (Frequensi, Intensity, Time, Type). Frekuensi adalah seberapa sering aktivitas dilakukan oleh individu yaitu berapa hari, berapa kali dalam satu minggu. Intensitas adalah seberapa keras suatu aktivitas dilakukan, biasanya diklasifikasikan dalam intensitas rendah, sedang dan tinggi. Waktu mengacu pada durasi, seberapa lama suatu aktivitas dilakukan dalam satu kali pertemuan, sedangkan jenis aktivitas adalah jenis atau kegiatan-kegiatan fisik yang di lakukan sehari-hari (WHO, 2010). Menurut RDA (Recommeded Dietary Allwances) tahun 1989 mengkategorikan aktivitas fisik ke dalam istirahat tidur, berbaring, atau bersandar), sangat ringan (duduk dan berdiri, melukis, menyetir mobil, pekerjaan laboratorium, mengetik, menyapu, menyetrika, memasak, bermain kartu, bermain alat musik), ringan (berjalan dengan kecepatan 3,5-4 mph, mencabut rumput dan mencangkul, menangis dengan keras, bersepeda, ski, tenis, menari), berat (berjalan mendaki, menebang pohon, menggali tanah, basket, panjat tebing, sepak bola).

  Hasil penelitian Qamariyati (2013) dengan judul hubungan kecemasan dan aktivitas fisik dengan kehidupan seksual pada wanita menopause di kelurahan Sajen wilayah kerja puskesmas Trucuk I kabupaten Klaten terhadap 81 responden dengan metode survey explanatory dan pendekatan yang digunakan cross sectional didapatkan hasil mayoritas responden tidak mengalami kecemasan yaitu 98,8% dan sebagian besar responden yaitu 56,8% memiliki aktivitas fisik dengan level sedang serta responden yang memiliki kehidupan seksual normal sebanyak 74,1%. Dari hasil uji korelasi Rank Sperman dapat diketahui bahwa kecemasan yang dialami responden tidak memiliki hubungan dengan kehidupan seksual responden saat menopause dengan p-value 0,158, dan hasil uji Anova dapat diketahui bahwa aktivitas fisik responden menyebabkan adanya perbedaan yang bermakna pada kehidupan seksual responden saat menopause dengan p-value 0,044.

2.3.3. Cemas

  Faktor psikologis seperti kecemasan juga dapat mempengaruhi fungsi seksual seseorang, 70% disfungsi seksual disebabkan karena faktor psikologis (Phanjoo, 2000). Kecemasan timbul karena adanya kekhawatiran dalam menghadapi situasi yang sebelumnya tidak pernah di khawatirkan. Cemas merupakan sesuatu keadaan yang wajar, karena seseorang pasti menginginkan segala sesuatu dalam hidupnya dapat berjalan dengan lancar dan terhindar dari segala bentuk kegagalan serta sesuai dengan harapannya.