BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekerasan terhadap Anak (Child Abuse) 2.1.1 Pengertian Anak - Dampak Kekerasan Seksual terhadap Perkembangan Anak (Studi Kasus Anak Korban Kekerasan Seksual di Yayasan Pusaka Indonesia Sumatera Utara)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kekerasan terhadap Anak (Child Abuse)

2.1.1 Pengertian Anak

  Terdapat beragam defenisi anak yang dapat kita temukan dalam beberapa undang-undang ataupun berbagai instrumen tentang anak dan hak asasi manusia lainnya yang di gunakan di Indonesia. Salah satu tema utama dalam perdebatan defenisi anak adalah tentang kapan mulai dan selesainya seseorang disebut anak.

  Namun, perlu ditekankan disini bahwa Konvensi Hak Anak (dalam Save the Children, 2010 : 18) memang tidak menetapkan kapan mulainya seseorang dianggap anak maupun kapan berakhirnya masa anak. Para pedegraf Konvensi Hak Anak (KHA) menghargai keragaman hukum domestik nasional dalam penentuan kapan mulainya Sebagai suatu standar minimal, KHA mempersilahkan tiap-tiap sistem hukum untuk mengaturnya sendiri.

  Menurut The Minimum Age Convention nomor 138 tahun 1973, pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam

  Convention on The Rights of Children (1989) yang telah diatifikasi pemerintah melalui

  kepres no 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun kebawah. Sementara itu UNICEF juga mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0-18 tahun. Undang-undang RI nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-Undang perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun (Huraerah, 2006 : 19).

  Selanjutnya UU No. 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak, juga mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kemudian UU no 39 / 1999 tentang HAM dalam pasal 1 ayat 5 menyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yanf berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya (Save the Children, 2010 : 19).

2.1.2 Anak Rawan

  Anak rawan pada dasarnya merupakan sebuah istilah untuk menggambarkan kelompok anak-anak yang karena situasi, kondisi, dan tekanan-tekanan kultur maupun struktur menyebabkan mereka belum atau tidak terpenuhi hak-haknya dan acap kali pula dilanggar hak-haknya. Inferior, rentan, dan marginal adalah beberapa ciri yang tersisih dari kehidupan normal dan terganggu proses tumbuh kembangnya secara wajar. Adapun dikatakan rentan karena mereka sering menjadi korban situasi dan bahkan terlempar dari masyarakat (displaced children). Sementara itu, anak-anak rawan tersebut tergolong marjinal karena dalam kehidupan sehari-harinya mereka mengalami berbagai bentuk eksploitasi dan diskriminasi, mudah diperlakukan salah dan bahkan acap kali pula kehilangan kemerdekaannya (Suyanto, 2010 : 4).

  Secara konseptual, anak-anak rawan pada awalnya disebut dengan instilah khusus yakni Children in Especialy Difficult Circumtance (CEDC). Dalam Guidelnes Pelaporan KHA tahun 1996, istilah CEDC diatas kemudian telah diganti dengan istilah yang disebut Children in need of Special Protection (CNSP) atau anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus (Suyanto, 2010: 4).

  Irwanto (dalam Suyanto, 2010 : 4, 5) menyebutkan bahwa menurut dokumen PBB, beberapa situasi yang dianggap rawan bagi anak sehingga membutuhkan upaya perlindungan khusus, antara lain adalah : Pertama, jika anak berada dalam lingkungan dimana hubungan antara anak dengan orang-orang disekitarnya khususnya orang dewasa, penuh dengan kekerasan atau cenderung tidak perduli dan menelantarkan.

  Kedua, jika anak berada dalam lingkungan yang sedang mengalami konflik bersenjata. Ketiga, jika anak berada dalam ikatan kerja -baik formal maupun informal- dimana

  kepentingan perkembangan dan pertumbuhan anak kemudian tidak memperoleh perhatian dan perlindungan yang memadai. Keempat, jika anak melakukan pekerjaan yang mengandung resiko kerja tinggi seperti diatas geladak kapal, pekerjaan konstruksi, pertambangan, pengecoran, dilakukan dengan zat-zat kimiawi yang berbahaya atau mesin-mesin besar atau jenis pekerjaan tertentu yang jelas-jelas merugikan anak, seperti bekerja dalam industri seks komersial. Kelima, jika anak terlibat dalam secara lahir atau cacat akibat kecelakaan), latar belakang budaya (minoritas), sosial- ekonomi (tidak memiliki KTP, akte kelahiran, miskin) maupun politis orang tuanya rentan terhadap berbagai perlakuan diskriminatif. Ketujuh, anak yang karena status sosial perkawinannya rentan terhadap tindakan diskriminatif. Kedelapan, jika anak sedang berhadapan dan mengalami konflik dengan hukum dan harus berurusan dengan aparat penegak hukum sesuai pranatanya.

2.1.3 Defenisi Kekerasan terhadap Anak (Child Abuse)

  Menurut Gelles (dalam Suyanto, 2010: 28) kekerasan terhadap anak (child

  abuse ) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. Namun demikian perlu disadari bahwa

  child abuse sebenarnya tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan secara fisik,

  melainkan juga dapat berupa berbagai bentuk seperti eksploitasi melalui pornografi dan penyerangan seksual, pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi (malnutrision), pengabaian pendidikan dan kesehatan (education and medical neglect ) dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (medical abuse).

  Sementara itu Barker (dalam Huraerah, 2006: 36) mendefinisikan kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan pada orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.

2.1.4 Bentuk – Bentuk Kekerasan terhadap Anak

  Terry E. Lawson (dalam Huraerah, 2007: 36), psikiater anak mengklasifikasikan kekerasan terhadap anak (child abuse) menjadi empat bentuk, yaitu: emotional abuse,

  verbal abuse, physical abuse , dan sexual abuse.

  a.

   Emotional Abuse Emotional abuse dapat terjadi apabila setelah orang tua mengetahui

  keinginan anaknya untuk meminta perhatian namun sang orang tua tidak memberikan apa yang diinginkan anak tapi justru mengabaikannya. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional, jika kekerasan emosional tersebut berjalan konsisten

  b.

   Verbal Abuse

  Verbal abuse lahir akibat bentakan, makian orang tua terhadap anak.

  Ketika anak meminta sesuatu, orang tua tidak memberikannya dan malah membentaknya. Anak akan mengingat kekerasan ini jika semua kekerasan verbal ini terjadi pada satu periode.

  c.

   Physical Abuse Kekerasan ini terjadi saat anak menerima pukulan dari orang tua.

  Kekerasan jenis ini akan diingat anak apalagi kekerasan itu meninggalkan bekas.

  d.

   Sexual Abuse

  Terjadi selama 18 bulan pertama dalam kehidupan anak namun ada juga kasus ketika anak perempuan menderita kekerasan seksual dalam usia 6 bulan. Selain itu child abuse juga dapat dikelompokkan kedalam 4 benntuk yaitu :

  Kekerasan secara Fisik (physical abuse), adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda- benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang, atau rotan dan dapat pula berupa luka bakar.

  2. Kekerasan secara psikologis (psycological abuse), meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, atau film pornografi pada anak. Anak yang mengalami perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladatif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut keluar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.

  3. Kekerasan secara seksual (Sexual Abuse), dapat berupa perlakuan pra- kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, ekshibitionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).

  4. Kekerasan secara sosial (social abuse), dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Sedangkan eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat (Huraerah, 2006: 37).

2.2 Kekerasan Seksual (Sexual Abuse)

  orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.

  Selain itu kekerasan anak secara seksual dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibisionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).

  Menurut Resna dan Darmawan (dalam Abu Huraerah, 2006: 61), tindakan penganiayaan seksual dapat dibagi atas tiga kategori yaitu perkosaan, incest dan eksploitasi. Dalam ekspoitasi termasuk diantaranya prostitusi dan pornografi. Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut : a.

  Pemerkosaan Pelaku tindak pemerkosaan biasanya adalah pria. Perkosaan biasanya terjadi pada suatu saat dimana pelaku biasanya lebih dahulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Jika anak diperiksa segera setelah perkosaan, maka bukti fisik dapat ditemukan seperti air mata, darah, dan luka memar yang merupakan penemuan mengejutkan dari penemuan akut suatu penganiayaan. Apabila terdapat kasus pemerkosaan dengan kekerasan terhadap anak, akan merupakan suatu resiko terbesar karena penganiayaan sering berdampak emosi tidak stabil.

  b.

   Incest

  Didefenisikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual lainnya antara dilarang hukum ataupun kultur. Incest biasanya terjadi dalam waktu yang lama dan sering menyangkut suatu proses terkondisi.

  c.

  Eksploitasi Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi, dan hal ini cukup unik karena sering meliputi suatu kelompok secara berpartisipasi. Hal ini dapat terjadi sebagai sebuah keluarga atau diluar rumah bersama beberapa orang dewasa dan tidak berhubungan dengan anak-anak dan merupakan suatu lingkungan seksual. Pada beberapa kasus meliputi seluruh keluarga ibu, ayah, dan anak-anak dapat terlibat dan anak-anak harus dilindungi dan dipindahkan dari situasi rumah. Hal ini merupakan situasi patologi dimana kedua orang tua sering terlibat kegiatan seksual dengan anak-anaknya dan mempergunakan anak-anak untuk prostitusi dan pornografi. Ekspoitasi anak-anak membutuhkan intervensi dan penanganan yang banyak scara psikiatri.

  Selain itu Tower juga melakukan pembagian jenis kekerasan seksual berdasarkan identitas pelaku.

  1. Familial Abuse

Familial Abuse atau Incest merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan

  darah, menjadi bagian dalam keluarga inti. Seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, termasuk dalam pengertian incest.

  2. Extrafamilial Abuse

Extrafamilial Abuse, dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban, dan hanya

  40% yang melaporkan peristiwa kekerasan. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban utamanya adalah anak-anak.

  Pedophilia diartikan ”menyukai anak-anak”.

2.3 Perkembangan Anak

2.3.1 Defenisi Perkembangan Anak

  Perkembangan ialah perubahan-perubahan psiko-fisik sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisik pada anak, ditunjang oleh faktor lingkungan, dan proses belajar dalam pasage waktu tertentu, menuju kedewasaan. Perkembangan dapat diartikan pula sebagai proses transmisi dari konstitusi psiko-fisik yang herediter, diransang oleh faktor-faktor lingkungan yang menguntungkan dalam perwujudan aktif- menjadi secara kontinu. Dimana setiap fenomena/gejala perkembangan anak merupakan produk dari kerjasama dan pengaruh dari timbal balik antara potensialitas hereditas dengan faktor-faktor lingkungan (Kartono, 1995: 21).

  Selain itu perkembangan juga dapat diartikan sebagai perubahan yang progresif dan kontinyu (berkesinambungan) dalam diri individu dari mulai lahir sampai mati (The progressive and Continous Change in the Organism from Birth to Death). Pengertian lain dari perkembangan adalah perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan baik menyangkut fisik (Jasmaniah) maupun psikis (rohaniah) (Yusuf, 2004: 15).

  Banyak orang menggunakan istilah pertumbuhan dan perkembangan secara bergantian. Namun dalam kenyataannya kedua istilah itu memiliki makna yang berbeda. Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitatif yaitu peningkatan ukuran dan struktur. Sebaliknya perkembangan, berkaitan dengan perubahan kualitatif dan kuantitatif. Ia dapat didefenisikan sebagai deretan progresif dari perubahan yang teratur dan koheren. “Progresif’ menandai bahwa perubahannya terarah, membimbing hubungan nyata antara perubahan yang terjadi dan dan yang akan mengikutinya (Hurlock, 1993: 23).

  Sementara itu Berk (dalam Ali dan Anshori, 2004 : 11) berpendapat bahwa pertumbuhan yang terjadi sebagai perubahan individu lebih mengacu dan menekankan pada aspek perubahan fisik kearah lebih maju. Dengan kata lain, istilah pertumbuhan dapat didefenisikan sebagai proses perubahan fisiologis yang bersifat progresif dan kontinu serta berlangsung dalam periode tertentu. Oleh karena itu, sebagai hasil dari pertumbuhan adalah bertambahnya berat, panjang atau tinggi badan, tulang, dan otot- otot menjadi lebih kuat, lingkar tubuh menjadi lebih besar dan organ tubuh menjadi lebih sempurna. Sedangkan perkembangan lebih mengacu pada perubahan karakteristik yang khas dari gejala-gejala psikologis kea rah yang lebih maju. Para ahli psikologi lebih merujuk pada pengertian perkembangan sebagai suatu proses perubahan yang bersifat progresif dan menyebabkan tercapainya kemampuan dan karakteristik psikis yang baru.

2.3.2 Fase Perkembangan Anak

  Untuk mendapatkan wawasan yang jelas mengenai perkembangan anak, orang membagi perkembangan anak dalam beberapa periode dengan alasan pada fase perkembangan tertentu, anak secara umum memperlihatkan ciri dan tingkah laku karakteristiknya. Pada umumnya, sarjana-sarjana ilmu jiwa anak mengemukakan pembagian periode perkembangan anak menurut pertimbangannya sendiri.

  Aristoteles (dalam Kartono, 1995 : 28) membagi masa perkembangan selama 21 tahun kedalam 3 stepnia yang dibatasi 2 gejala alamiah yang penting yaitu (1) pergantian gigi dan (2) munculnya gejala pubertas. Pembagian tersebut adalah : 0-7 tahun, disebut sebagai masa kecil, masa bermain.

  b.

  7-14 tahun, masa anak-anak, masa belajar, atau masa sekolah rendah.

  c.

  14-21 tahun, masa remaja atau pubertas, masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa.

  Kemudian Charlot Buhler (dalam Kartono, 1995 : 28) membagi masa perkembangan anak menjadi:

1. Fase pertama, 0-1 tahun : masa menghayati obyek-obyek diluar diri sendiri, dan saat melatih fungsi-fungsi terutama fungsi motorik.

  2. Fase kedua, 2-4 tahun : masa pengenalan dunia obyektif diluar diri sendiri, disertai penghayatan subyektif. Mulai dari pengenalan AKU sendiri dengan bantuan bahasa dan kemauan sendiri. Anak tidak mengenal dunia luar berdasarkan pengamatan obyektif dirinya melainkan memindahkan keadaan batinnya pada benda-benda diluar dirinya. Karena itu ia berbicara dengan boneka ataupun kelinci sperti betul-betul memiliki sifat yang dimilikinya sendiri. Fase ini disebut pula fase bermain dengan subyektifitas menonjol.

  3. Fase ketiga, 5-8 tahun : masa sosialisasi anak. Pada saat ini anak mulai memasuki masyarakat (misalnya taman kanak-kanak, pergaulan dengan kawan sepermainan, dan sekolah rendah). Anak mulai belajar mengenal dunia sekitar dengan objektif.

  4. Fase keempat, 9-11 tahun : masa sekolah rendah. Pada titik ini anak mencapai onyektivitas tertinggi. Pada fase ini anak mulai menemukan diri sendiri yaitu secara tidak sadar mulai berfikir tentang diri pribadi. Pada waktu ini, anak sering kali mengasingkan diri.

  5. Fase kelima, 14-19 tahun : masa tercapainya sintesa antara sikap kedalam batin sendiri dengan sikap keluar kepada dunia obyektif. Setelah berumur 16 tahun minatnya pada lapangan hidup yang lebih konkrit yang dahulu hanya dikenal secara subyektif. Diantara subyek dan obyek yang dihayatinya mulai terbentuk satu sintese. Dengan tibanya masa ini, tamatlah masa perkembangan remaja dimana individu kemudiam memasuki batas kedewasaan.

  Fase perkembangan secara psikologis ditandai oleh para ahli melalui masa kegoncangan dimana apabila perkembangan itu dapat dilukiskan sebagai proses evolusi, maka pada masa kegoncangan itu evolusi berubah menjadi revolusi. Pada masa perkembangan umumnya individu mengalami masa kegoncangan dua kali yaitu pada kira-kira tahun ketiga atau keempat dan pada permulaan masa pubertas. Berdasarkan dua masa kegoncangan tersebut, perkembangan individu dapat digambarkan melalui tiga periode atau masa, yaitu :

  1. Dari lahir sampai masa kegoncangan pertama (tahun ketiga atau keempat) yang biasa disebut masa kanak-kanak.

  2. Dari masa kegoncangan pertama sampai masa kegoncangan kedua yang biasa disebut masa keserasian bersekolah.

  3. Dari masa kegoncangan kedua sampai akhir masa remaja yang biasa disebut masa kematangan (Yusuf, 2004 : 22).

2.3.3 Aspek-Aspek Perkembangan Anak

  Aspek-aspek perkembangan ini meliputi : fisik, intelligensi (kecerdasan), emosi, bahasa, sosial, kepribadian, moral, dan perkembangan kreativitas.

1. Perkembangan Fisik

  Kuhlen dan Thompson (dalam Yusuf, 2004: 101) mengemukakan bahwa perkembangan fisik individu meliputi empat aspek yaitu (1) Sistem syaraf, yang mempengaruhi perkembangan kekuatan dan motorik; (3) Kelenjar Endokrin, yang menyebabkan munculnya pola tingkah laku baru, seperti pada usia remaja berkembang perasaan senang untuk aktif dalam suatu kegiatan, yang sebagian anggotanya terdiri atas lawan jenis; (4) Struktur fisik/tubuh yang meliputi tinggi, berat, proporsi.

  Aspek fisiologis lainnya yang sangat penting bagi kehidupan manusia adalah otak (brain). Otak dapat dikatakan sebagai pusat atau sentral perkembangan dan fungsi kemanusiaan. Otak memiliki pengarus yang sangat menentukan bagi perkembangan aspek-aspek lainnya seperti keterampilan motorik, intelektual, emosional, sosial, moral maupun kepribadian (Yusuf, 2004 : 101,104).

  Perkembangan fisik seolang anak dapat mempengaruhi perilaku anak sehari- hari baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, perkembangan fisik seorang anak menentukan keterampilannya dalam bergerak. Dan secara tidak langsung, pertumbuhan dan perkembangan fisik akan mempengaruhi bagaimana anak memandang dirinya sendiri dan bagaimana ia memandang orang lain. Ini akan tercermin dari pola penyesuaian diri anak secara umum yang akan memberikan warna tersendiri pada perkembangan pribadi anak (Hurlock, 1993 : 114).

2. Perkembangan Intelektual

  C.P. Chaplin mengartikan intelegensi sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Anita E. Woolfolk mengemukakan bahwa menurut teori-teori lama, intelegensi itu meliputi tiga pengertian yaitu (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang atau lingkungan pada umumnya. Selanjutnya Woolfolk mengemukakan intelegensi merupakan satu atau beberapa kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan dalam rangka memecahkan masalah dan beradaptasi dengan lingkungan (Yusuf, 2004 : 106).

  Jean Piaget (dalam Ali dan Ansori, 2004: 27) membagi perkembangan Intelek/kognitif menjadi empat tahapan sebagai berikut : a.

  Tahap Sensori-Motoris Dialami pada usia 0-2 tahun, pada tahap ini anak dengan lingkungannya dilakukan melalui perasaan dan otot-ototnya. Interaksi ini terutama diarahkan oleh sensasi-sensasi dari lingkungannya. Dimana anak mengembangkan kemampuannya untuk mempersepsi, melakukan sentuhan, gerakan dan secara perlahan belajar mengoordinasikan tibdakan-tindakannya.

  b.

  Tahap Praoperasional Dialami pada usia 2-7 tahun, tahap ini disebut juga tahap intuisi sebab perkembangan kognitifnya memperlihatkan kecenderungan yang ditandai oleh suasana intuitif. Pada tahap ini anak sangat bersifat egosentis sehingga seringkali bermasalah dengan lingkungannya dan cenderung mengutamakan pandangannya sendiri.

  c.

  Tahap Operasional Konkret Dialami pada usia 7-11 tahun, pada tahap ini anak mulai menyesuaikan diri dengan realitas konkret dan sudah mulai berkembang rasa ingin tahunya. Dalam tahap ini interaksinya dengan lingkungannya semakin berkembang dengan baik karena egosentrisnya sudah semakin berkurang dan anak sudah mulai lebih d.

  Tahap Operasional Formal Dialami pada usia 11 tahun ke atas. Pada masa ini anak telah mampu mewujudkan suatu keseluruhan dalam pekerjaannya yang merupakan hasil dari berfikir logis. Pada tahap ini interaksinya dengan lingkungan sudah amat luas, menjangkau teman sebayanya bahkan berusaha untuk dapat berinteraksi dengan orang dewasa.

3. Perkembangan Emosi

  Chaplin (dalam Ali dan Asrori, 2004: 62) mendefinisikan emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya dari perubahan perilaku. Defenisi lain menyatakan bahwa emosi adalah suatu respons terhadap suatu perangsang yang menyebabkan perubahan fisiologis disertai perasaan yang kuat dan biasanya mengandung kemungkinan untuk meletus.

  Daniel Goleman (dalam Ali dan Asrori, 2004: 63) kemudian mengidentifikasi sejumlah kelompok emosi yaitu amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan malu. Dari deretan daftar emosi tersebut ternyata ada bahasa emosi yang dikenal oleh bangsa-bangsa diseluruh dunia, yaitu emosi yang diwujudkan dalam bentuk ekspresi wajah yang didalamnya mengandung emosi takut, marah, sedih dan senang.

  Selain itu, emosi juga dapat dikelompokkan kedalam 2 bagian yaitu : 1.

  Emosi Sensori yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang lapar, dll. Emosi Psikis yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan.

  Diantaranya adalah perasaan intelektual, perasaan sosial, perasaan susila, perasaan keindahan (estetis) dan perasaan ketuhanan (Yusuf, 2004 : 117).

4. Perkembangan Bahasa

  Bahasa merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian ini, tercakup semua cara untuk berkomunikasi, dimana fikiran dan perasaan dinyatakan dalam bentuk lambang atau simbol untuk mengungkapkan suatu pengertian, seperti dengan menggunakan lisan, tulisan, isyarat, bilangan, lukisan dan mimik muka (Yusuf, 2004: 118).

  Bahasa sangat erat kaitannya dengan perkembangan berfikir individu. Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya yaitu kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat, dan menarik kesimpulan.

  Berikut adalah laju dari perkembangan bahasa pada anak.

  a.

  Usia 1,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat positif, seperti “bapak makan”.

  b.

  Usia 2,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat negatif (menyangkal).

  c.

  Pada usia selanjutnya anak dapat menyusun pendapat kritikan, keragu-raguan, dan menarik kesimpulan analogi (Yusuf, 2004 : 119).

5. Perkembangan Hubungan Sosial

  Alisyahbana, dkk (dalam Ali dan Ansori, 2004: 85) mendefenisikan Hubungan Sosial sebagai “cara-cara individu bereaksi terhadap orang-orang di sekitarnya dan bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap dirinya. Selain itu hubungan sosial juga norma kelompok, moral, dan tradisi ; meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan berkomunikasi.

  Anak dilahirkan belum bersifat sosial. Dalam Arti, dia belum memiliki kemampuan untuk bergaul dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus belajar tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain. Kemampuan ini diperoleh anak melalui berbagai kesempatan atau pengalaman bergaul dengan orang-orang di lingkungannya, baik orang tua, saudara, teman sebaya atau orang dewasa lainnya (Yusuf, 2004: 122).

  Melalui pergaulan atau hubungan sosial, anak mulai mengembangkan bentuk- bentuk tingkah laku sosial seperti pembangkangan (negativisme), agresi (aggression), berselisih / bertengkar, menggoda, persaingan, kerja sama, tingkah laku berkuasa, mementingkan diri sendiri, simpati maupun bentuk tingkah laku sosial lainnya. Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Apabia lingkungan sosial itu baik maka anak akan mencapai perkembangan sosialnya secara matang. Namun, apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif, seperti perlakuan yang kasar, sering memarahi, acuh tak acuh, atau pembiasaan terhadap anak dalam menerapkan norma maupun tata karma cenderung menampilkan perilaku maladjustment, seperti perasaan minder, senang mendomiasi orang lain, egois, senang menyendiri, kurang memiliki tenggang rasa, kurang mempedulikan norma dalam berperilaku (Yusuf, 2004 : 124,125).

6. Perkembangan Kepribadian

  MAY (dalam Yusuf, 2004: 126) mengartikan kepribadian sebagai “a social

  

stimus value ”. Jadi menurutnya cara orang lain mereaksi, itulah kepribadian

  individu itu. Gordon W. Allport kemudian mendefenisikan kepribadian sebagai organisasi dinamis dalam diri individu sebagai system psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.

  E.B Hurlock (dalam Yusuf, 2004 : 130) mengemukakan bahwa kepribadian yang sehat ditandai dengan karakteristik sebagai berikut : a.

  Mampu menilai diri secara relistik. Individu mampu menilai dirinya sebagai apa adanya, baik kelebihan maupun kekurangannya yang menyangkut fisik dan kemampuan.

  b.

  Mampu menilai situasi secara realistik. Individu mampu menghadapi situasi atau kondisi kehidupan secara realistik dan mau menerimanya secara wajar. c.

  Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik. Individu tidak mereaksi keberhasilan prestasinya dengan perasaan superiority complex, maupun dengan perasaan frustasi apabila menghadapi kegagalan.

  d.

  Menerima tanggung jawab. Individu mampu bertanggung jawab dn mengatasi masalah yang dihadapinya.

  e.

  Kemandirian. Individu memiliki sikap mandiri dalam berfikir dn bertindak.

  Mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku.

  f.

  Dapat mengontrol emosi. Individu merasa nyaman dengan emosinya. Dapat menghadapi situasi frustasi, depresi, ataupun stress.

  g.

  Berorientasi tujuan. Dapat merumuskan tujuan berdasarkan pertimbangan yang matang dan berupaya mencapai tujuan tersebut dengan mengembangkan kepribadian (wawasan) dan keterampilan. Berorientasi keluar. Individu mampu bersikap respek, empati terhadap orang lain, mempunyai keperdulian terhadap situasi atau masalah lingkungannya dan bersifat fleksibel dalam berfikirnya. i.

  Penerimaan sosial. Individu dinilai positif oleh orang lain, mau berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial, dan memiliki sikap bersahabat dengan orang lain. j.

  Memiliki filsafat hidup. Mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat hidup dan berakar dari keyakinan agama. k.

  Berbahagia. Mampu mewarnai kehidupannya dengan kebahagiaan yang didukung oleh faktor pencapaian prestasi, penerimaan dari orang lain, dan perasaan dicintai atau disayangi orang lain.

  Adapun kepribadian yang tidak sehat ditandai dengan karakteristik seperti mudah marah, cemas, tertekan (depresi), bersikap kejam atau senang mengganggu orang lain, sulit untuk menghindari perilaku menyimpang meski sudah diperingati atau dihukum, suka berbohong, hiperaktif, memusuhi semua bentuk otoritas, senang mencemooh, sulit tidur, kurang memiliki tanggung jawab, minim kesadaran beragama, pesimis, dan kurang bergairah (Yusuf, 2004 : 131).

7. Perkembangan Moral

  Menurut Shaffer (dalam Ali dan Anshori, 2004: 136) moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi.

  Rogers juga berpendapat bahwa moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat.

  Anak memperoleh nilai-nilai moal dari lingkungannya terutama orang tua. Beberapa sikap orang tua perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak, diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Konsisten dalam mendidik anak.

  2. Sikap orang tua dalm keluarga.

  3. Penghayatan dan pengalman agama yang dianut.

  4. Sikap konsisten orang tua dalam menerapkan norma (Yusuf, 2004 : 133). John Dewey yang kemudian dijabarkan oleh Jean Piaget (dalam Ali dan

  Anshori, 2004 : 137-139) mengemukakan tiga tahap perkembangan moral

  1. Tahap Pra Konvensional. Pada tahap ini, anak mengenal aik-buru, benar-salah suatu perbuatan dari sudut konsekuensi menyenangkan atau menyakiti secara fisik, atau enak tidaknya akibat perbuatan yang diterima.

  2. Tahap Konvensional. Pada tingkat ini anak memandang perbuatan baik-benar atau berhrga bagi dirinya apabila dapat memenuhi harapan keluarga, kelompok atau bangsa.

  3. Tahap Pasca Konvensional. Ada usaha individu untuk mengartikan nilai atau prinsip moral yang dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok, pendukung atau orang yang menganut prinsip moral tersebut.

8. Perkembangan Kreativitas

  Torrance (dalam Ali dan Anshori, 2004 : 43) mengatakan bahwa agar potensi kreatif individu dapat diwujudkan diperlukan kekuatan-kekuatan pendorong dari kemudian mendefinisikan kreativitas sebagai proses kemampuan memahami kesenjangan-kesenjangan atau hambatan-hambatan dalam hidupnya, merumuskan hipotesis-hipotesis baru dan mengomunikasikan hasilnya serta sedapat mungkin memodifikasi dan menguji hipotesis-hipotesis yang telah dirumuskan.

  Pendekatan yang dilakukan dalam studi kreativitas dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pendekatan psikologis dan pendekatan sosial. Dedi Supriadi (dalam Ali dan Asrori, 2004: 40) mengatakan bahwa pendekatan psikologis lebih melihat kreativitas dari segi kekuatan yang ada dalam diri individu sebagai faktor yang menentukan seperti intelegensi, bakat, motivasi, sikap, minat, dan disposisi kepribadian lainnya. Sedangkan pendekatan sosiologis berasumsi bahwa kreativitas individu merupakan hasil dari proses interaksi sosial, dimana individu dengan segala potensi dan disposisi kepribadiannya dipengaruhi oleh lingkungan sosial tempat individu berada, yang meliputi ekonomi, politik, kebudayaan dan peran keluarga (Ali dan Anshori, 2004 : 45).

2.4 Kesejahteraan Sosial

2.4.1 Defenisi Kesejahteraan Sosial

  Secara yuridis konsepsional, pengertian kesejahteraan sosial termuat dalam UU No. 11 tahun 2009 tentang ketentuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial, pasal 1 ayat 1 mengartikan kesejahteraan sosial sebagai “Kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya”.

  Pengertian lain juga dapat dikembangkan dari hasil Pre-Coference Working for the 15’th International Conference of Social Welfare yakni, “Kesejahteraan sosial meningkatkan taraf hidup masyarakat berdasarkan konteks sosialnya. Di dalamnya tercakup pula unsur kebijakan dan pelayanan dalam arti luas yang terkait dengan berbagai kehidupan masyarakat, seperti pendapatan, jaminan sosial, kesehatan, perumahan, pendidikan, rekreasi budaya dan lain sebagainya (Huda, 2009: 73).

  Elizabeth Wickenden (dalam Wibawa, 2010: 23) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem perundang-undangan, kebijakan, program, pelayanan dan bantuan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan sosial yang dikenal sebagai kebutuhan dasar bagi kesejahteraan manusia dan bagi berfungsinya ketertiban sosial secara lebih baik.

  Dari defenisi tersebut dapat difahami 3 hal, sebagai berikut : a.

  Konsep Pelayanan Sosial (bidang praktik Pekerjaan sosial) mencakup aktivitas yang sangat luas, mulai dari perundang-undangan sosial sampai kepada tindak langsung pemberian bantuan.

  b.

  Konsep ‘Kesejahteraan Sosial’ berbeda dengan ‘kesejahteraan’. Terpenuhinya kebutuhan sosial (kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan) menjadi dasar bagi terciptanya ‘kesejahteraan’ (sebagai keadaan yang baik dalam semua aspek kehidupan manusia).

  c.

  Pada tingkat masyarakat, kesejahteraan sosial berarti terdapatnya ketertiban sosial (social order) yang lebih baik.

2.4.2 Peran Pekerja Sosial terhadap Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak

  Pekerjaan sosial adalah profesi pertolongan kemanusiaan, yang tujuannya adalah untuk meningkatkan keberfungsian sosial individu, kelompok, keluarga, dan (International Federation Of Social Workers), General Meeting, 26 July 2000, Montreal, Canada adalah profesi untuk meningkatkan perubahan sosial, pemecahan masalah dalam hubungan kemanusiaan serta pemberdayaan serta kebebasan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan. Dengan menggunakan teori-teori perilaku manusia dan sistem sosial, pekerja sosial mengintervensi pada titik-titik dimana masyarakat berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip hak asasi manusia dan keadilan sosial adalah hal yang fundamental bagi pekerjaan sosial.

  Sejak awal keberadaannya, profesi pekerjaan sosial telah memasukkan pelayanan perlindungan anak (child protective services) sebagai salah satu bidang pelayanannya, demikian penjelasan Zastrowdan Huttman dalam Suharto, 1997. Hal serupa juga dikemukakan oleh Stein, Gambrill, bahwa pekerja sosial sudah sejak lama berada di garis depan untuk melakukan identifikasi, assesment, dan tindakan kekerasan dan penelantaran anak (Huraerah, 2006: 97).

  Pelaksanaan model pertolongan terhadap kasus kekerasan terhadap anak dapat dilakukan melalui prosedur atau proses sebagai berikut :

  1. Identifikasi. Penelaahan awal terhadap masalah mengenai adanya tindakan kekerasan terhadap anak. Laporan dari masyarakat atau dari profesi lain, seperti, polisi, dokter, ahli hukum dapat dijadikan masukan pada tahap ini.

  2. Investigasi. Penyelidikan terhadap kasus yang dilaporkan. Pekerja sosial dapat melakukan kunjungan rumah, wawancara dengan anak atau orang yang diduga sebagai pelaku mengenai tuduhan yang dilaporkan, pengamatan terhadap perilaku anak dan orang yang diduga sebagai pelaku, penelaahan terhadap kehidupan keluarga.

3. Intervensi. Pemberian pertolongan terhadap anak atau keluarga yang dapat 4.

  Terminasi. Pengakhiran atau penutupan kasus.

2.5 Kerangka Pemikiran

  Tindak kekerasan, acapkali diterima seorang anak, tanpa sedikitpun seorang anak dapat membela diri. Sadar ataupun tidak sadar, anak merupakan potensi dan penerus cita-cita bangsa yang dasarnya telah dibangun oleh generasi sebelumnya. Semua kekerasan yang diterima oleh anak akan direkam dalam alam bawah sadar mereka dan akan dibawa pada masa dewasa dan terus sepanjang hidupnya. Akibatnya si anak setelah tumbuh dan berkembang menjadi dewasa akan sangat agresif dan melakukan kekerasan yang serupa terhadap anak-anak.

  Menurut Gelles kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. Terry E. Lawson, psikiater anak mengklasifikasikan kekerasan terhadap anak (child abuse) menjadi empat bentuk, yaitu: emotional abuse, verbal

  abuse, physical abuse, dan sexual abuse.

  Sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan

  seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.

  Inferior, rentan, dan marginal adalah beberapa ciri yang umum diidap oleh anak-anak korban kekerasan. Dikatakan inferior, karena mereka biasanya tersisih dari dikatakan rentan karena mereka sering menjadi korban situasi dan bahkan terlempar dari masyarakat (displaced children). Sementara itu, anak-anak korban kekerasan tersebut tergolong marjinal karena dalam kehidupan sehari-harinya mereka mengalami berbagai bentuk eksploitasi dan diskriminasi, mudah diperlakukan salah dan bahkan acap kali pula kehilangan kemerdekaannya.

  Penderitaan getir yang tak berujung harus ditelan begitu saja oleh anak-anak korban kekerasan yang polos dan tak berdaya, kesakitan, kesedihan, kesepian, kekecewaan, dan kemarahan mereka, tak urung dalam beberapa gradasi menimbulkan gangguan pada psikis seperti stress, phobia, atau trauma yang merusak kepercayaan terhadap diri dan orang lain. Ketakutan menjadi penjara tanpa pengadilan bagi mereka.

  Situasi psikis yang oleh pakar kriminologi disebut monomanien (gangguan terhadap kekuatan jiwa) itu akan berpengaruh terhadap perkembangan anak dimana disatu kutub dapat menimbulkan depresi yang meruntuhkan mental, dan kepribadian anak, dan pada kutub ekstrim lain, justru dapat menghilangkan rasa takut. Kekerasan kemudian dianggap sebagai sesuatu yang biasa, sah, dan wajar.

  Tabel I Bagan Alur Pemikiran Anak Korban Kekerasan Pusaka Indonesia Seksual Perkembangan Anak Emosi Bahasa Intelektual Fisik Kepribadian Intelektual Hubungan Sosial Moral

2.6 Definisi Konsep dan Definisi Operasional

2.6.2 Definisi Konsep

  Konsep adalah suatu makna yang berada di alam fikiran atau dunia kepahaman manusia yang dinyatakan kembali dengan sarana lambang perkataan atau kata-kata.

  Dengan demikian konsep bukanlah objek gejalanya itu sendiri, konsep adalah suatu hasil pemaknaan di dalam intelektual manusia yang memang merujuk ke gejala nyata ke alam empiris. Konsep merupakan sarana yang merujuk ke dunia empiris, dan bukan merupakan refleksi sempurna (mutlak) dunia empiris. Bahkan konsep bukanlah dunia empiris itu sendiri. Berdasarkan konsep tersebut peneliti dapat menata hasil pengamatannya ke dalam suatu tata kepahaman yang menggambarkan dunia realitas sebagaimana yang dirasa, dialami, dan diamati (Suyanto, 2011 : 49).

  Adapun yang menjadi batasan konsep dalam penelitian ini adalah : a. Dampak adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh suatu keadaan atau kondisi. Kekerasan Anak adalah peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak.

  c.

  Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.

  d.

  Perkembangan Anak adalah perubahan-perubahan psiko-fisik sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisik pada anak, ditunjang oleh faktor lingkungan, dan proses belajar dalam pasage waktu tertentu, menuju kedewasaan.

2.6.3 Definisi Operasional

  Menurut Soetandyo Wignjosoebroto (dalam Suyanto, 2011: 50) , spesifikasi prosedur yang memungkinkan penegasan ada atau tidaknya realitas tertentu sebagaimana menurut konsepnya disebut defenisi operasional.

  Jika defenisi konsep ditujukan untuk mencapai keseragaman pemahaman tentang konsep-konsep, baik berupa obyek, peristiwa, maupun fenomena yang diteliti, maka perumusan operasional ditujukan dalam upaya transformasi konsep ke dunia nyata sehingga konsep-konsep penelitian dapat diobservasi. Defenisi operasional atau yang sering disebut operasionalisasi konsep berarti menjadikan konsep yang semula berfifat statis menjadi dinamis. Jika konsep itu sudah bersifat dinamis, maka akan memungkinkan untuk dioperasikan (Siagian, 2011: 141).

  Dalam hal ini harus ditentukan terlebih dahulu variabel-variabel yang ada dalam penelitian ini agar terlihat jelas bagaimana dampak kekerasan seksual terhadap dan variabel terikat.

1. Variabel Bebas

  Secara sederhana variabel bebas (independent variable) dapat didefenisikan sebagai variabel atau sekelompok atribut yang mempengaruhi atau memberikan akibat terhadap variabel atau sekelompok atribut lain. Ada kalanya variabel bebas juga disebut dengan variabel pengaruh. Biasanya untuk variabel bebas diberikan simbol “x”, sehingga sering disebut variabel x (Siagian, 2011: 89). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kekerasan seksual terhadap anak. Adapun kekerasan seksual terhadap anak dalam penelitian ini meliputi pemerkosaan, pencabulan, sodomi, dan incest.

2. Variabel Terikat

  Variabel terikat (dependent variable) secara sederhana dapat didefenisikan sebagai variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain. Melihat kedudukannya maka variabel terikat sering juga disebut variable terpengaruh. Biasanya diberi notasi “y” sehingga disebut sebagai variabel y (Siagian, 2011: 90).

  Dan variabel terikat dalam penelitian ini adalah perkembangan anak korban kekerasan seksual, dengan menganalisis kasus anak korban kekerasan seksual yang didampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia Sumatera Utara. Adapun perkembangan anak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perkembangan yang meliputi fisik, sosial, kepribadian, moral, intelektual, bahasa, dan emosi dari seorang anak.