Pengaruh Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dampingan Yayasan Pusaka Indonesia

(1)

PENGARUH SOSIAL EKONOMI KELUARGA TERHADAP KORBAN KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DAMPINGAN YAYASAN PUSAKA

INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan guna Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Diajukan oleh: RIZKY YULIJAR

100902013

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

SKRIPSI INI DISETUJUI UNTUK DIPERTAHANKAN OLEH

HALAMAN PERSETUJUAN

Nama : Rizky Yulijar

Nim : 100902013

Judul : Pengaruh Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dampingan Yayasan Pusaka Indonesia

Medan, 26 Juni 2014 Pembimbing Skripsi

Dra. Berlianti, MSP NIP. 19670604 2009 10 2 001

Ketua Departemen

Hairani Siregar, S.Sos, MSP NIP. 19710927 1998 01 2 001

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara

Prof.Dr. Badaruddin, M.Si NIP.19680525 1992 03 1 002


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

SKRIPSI INI TELAH DIPERTAHANKAN DI DEPAN PANITIA PENGUJI

HALAMAN PENGESAHAN

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pada Hari :

Tanggal :

Pukul :

Tempat : Ruang Sidang FISIP USU

TIM PENGUJI

KETUA PENGUJI PENGUJI I


(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

ABSTRAK

Pengaruh Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dampingan Yayasan Pusaka Indonesia

(Skripsi ini terdiri dari 6 Bab, 126 Halaman, 47 Tabel, 1 Bagan, Lampiran, 21 kepustakaan dan sumber lainnya yang berasal dari koran dan internet)

Kekerasan terhadap anak terus meningkat di Indonesia maupun di Provinsi Sumatera Utara, sebagian besar kekerasan tersebut adalah kekerasan seksual. Salah satu faktor terjadinya kekerasan seksual pada anak adalah sosial ekonomi keluarga. Situasi ekonomi yang memprihatinkan, pendapatan yang rendah, tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi secara layak bukan tidak mungkin dapat memicu terjadinya kekerasan seksual pada anak. Pelaku kekerasan umumnya adalah orang yang telah dikenal baik oleh anak maupun keluarga, membuat anak tidak sepenuhnya menyadari bahaya yang mengancamnya. Akibatnya anak kehilangan keyakinan terhadap lingkungan terdekat yang dimilikinya. Dengan keadaan seperti itu maka akan muncul bentuk perilaku sosial yang kurang sehat seperti kehilangan kepercayaan pada orang lain, menarik diri, merasa kesepian, bahkan dapat mengarah pada gangguan perilaku dan emosi yang lebih berat seperti kecemasan dan depresi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sosial ekonomi keluarga terhadap korban kekerasan seksual pada anak dampingan Yayasan Pusaka Indonesia. Metode penelitian ini adalah eksplanasi yaitu bertujuan untuk menguji variabel yang dihipotesiskan, yang menjadi sampel adalah seluruh korban kekerasan seksual dampingan Yayasan Pusaka Indonesia pada tahun 2013 yakni berjumlah 13 orang. Penelitian ini di lakukan di Yayasan Pusaka Indonesia provinsi Sumatera Utara serta areal lingkungan sekitar korban kekerasan seksual. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, wawancara dan observasi. Analisis penelitian menggunakan analisis korelasi product moment.

Dari hasil analisis korelasi yang dilakukan dengan analisis product moment diketahui koefisien korelasi (���) = 0,591 dengan taraf siknifikan 5% (taraf kepercayaan 95%) yaitu 0,553, ternyata lebih besar dari r tabel yaitu (0,591>0,553), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan hipotesa (Ha) yang mengatakan “ada pengaruh sosial ekonomi keluarga terhadap korban kekerasan seksual pada anak” dapat diterima. Sedangkan kontribusi sosial ekonomi keluarga terhadap korban kekerasan seksual pada anak dampingan Yayasan Pusaka Indonesia adalah sebesar 34,9%.


(5)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE

ABSTRACT

Effect of Socioeconomic Families Against Victims of Sexual Violence in Children accompanied by Indonesian Pusaka Foundation

(This thesis consists of 6 Chapters, 126 Pages, 47 Tables, 1 Chart, Appendix, 21 libraries and other sources from newspapers and the Internet)

Violence against children continues to rise in Indonesia and in the province of North Sumatra, most of the violence is sexual violence. One of the factors the occurrence of child sexual abuse are family socioeconomic. Economic situation of the poor, low income, no viable economic fulfillment is not possible to trigger the occurrence of child sexual abuse. Perpetrators of violence are generally people who are well known to the child and family, making children not fully aware of the dangers that threaten it. As a result, the child loses confidence in its immediate environment. In such circumstances it would appear the form of unhealthy social behavior such as loss of confidence in others, withdrawn, lonely, even can lead to behavioral and emotional disorders are more severe such as anxiety and depression.

This study aims to determine the effect of socioeconomic families of victims of sexual violence against children facilitated Indonesia Pusaka Foundation. This research method is the explanation that is intended to test the hypothesized variables, the sample is facilitated sexual assault victims throughout the Indonesian Heritage Foundation in 2013, which amounted to 13 people. His study was conducted at the Indonesian Yayasan Foundation of North Sumatra province and surrounding area victims of sexual violence. Data was collected using questionnaires, interviews and observations. Analysis of studies using product moment correlation analysis.

From the results of the correlation analysis carried out by the analysis of known product moment correlation coefficient (rxy) = 0.591 with a significance level of 5% (level of 95%) is 0.553, was greater than of that table r (0.591> 0.553), so it can be concluded that there is a relationship hypothesis (Ha) that says "no socio-economic influences on victims of child sexual abuse" is acceptable. While the socio-economic contribution to the family of the victims of child sexual abuse Indonesian Heritage Foundation is the beneficiary of 34.9%.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang tak terhingga kepada penulis, serta salawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SWA, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: “Pengaruh Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dampingan Yayasan Pusaka Indonesia”.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi guna meraih gelar sarjana (S1) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan sehingga mengurangi nilai dari kesempurnaan skripsi ini. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk menyempurnakan skripsi ini ke depannya.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik tidak terlepas dari bantuan dan perhatian dari berbagai pihak. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Badaruddin Rangkuti, selaku dekan FISIP USU.

2. Ibu Hairani Siregar S.sos, M.SP selaku ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial. 3. Ibu Dra.Berlianti, M.SP selaku dosen pembimbing penulis dalam penelitian ini.

Terimakasih banyak ibu atas bimbingan dan pengetahuan yang ibu berikan dalam penulisan skripsi ini. Semoga ilmu pengetahuan yang telah ibu berikan dapat menjadi bekal pembelajaran bagi saya kedepannya.

4. Bapak Fatwa Fadilla SH, selaku Ketua Badan Pengurus Yayasan Pusaka Indonesia yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Yayasan Pusaka Indonesia.


(7)

5. Terimakasih banyak penulis ucapkan kepada kedua orang tua saya, Ayahanda Alm. Burhan Hasibuan dan Ibunda Rosidah bulan Ritonga, yang telah melahirkan dan membesarkan saya dengan tulus dan kasih sayang, mendidik, membiayai dan memotivasi penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan sampai diperguruan tinggi. Khusus buat Ibu ku tersayang yang uda berjuang sendirian untuk besaran Uli hingga bisa sampai sekarang ini, maksi banyak ya ma.

6. Saudara-saudara ku tersayang, buat Kak Hazni Helizar dan Adik ku Irham zulfirman, yang selalu memotipasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Staf pengajar dan staf kepegawaian di kampus FISIP USU, yang telah memberikan banyak kesempatan untuk penulis menimba ilmu dan meminta pertolongan-pertolongan sehingga menghantarkan saya pada akhir studi ini.

8. Anggota Divisi Anak dan Perempuan Yayasan Pusaka Indonesia yang selama ini sangat banyak membantu, kepada Ibu Elisabet, Pak Marjoko, dan Bang Mitra Lubis, terimakasih banyak atas kerja sama dan bimbingannya selama ini. Kepada sluruh staf Yayasan Pusaka Indonesia, Kak Nida, Pak Adek, Pak Ucok, Bang OK, Kak Una, Kak tina, Kak Irma, Kak Ami, Bang Osin dan semua staf lainnya yang mungkin terlupa untuk disebutkan, terimakasih banyak atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk belajar di Yayasan Pusaka Indonesia.

9. Untuk narasumber yang telah banyak membantu dalam penelitian ini, tetap semangat adik-adikku, yakinlah dengan usaha dan harapan maka semua akan menjadi lebih baik. 10. Buat teman Kos ku Novika Sari yang sudah banyak memberikan masukan serta menjadi

editor yang baik untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Buat teman-teman ku Ayu Lestari S.sos, Wenny Marlindan dan Maya Jelita, makasi banyak uda menjadi teman-teman yang baik selama empat tahun ini. Gak terasa bentar lagi kita akan nyelesaian pendidikan kita.


(8)

12. Buat semua teman-teman Ilmu Kesejahteraan Sosial 2010 yang nggak bisa aku sebutin satu persatu, makasih buat semua persahabatan dan kebersamaan kita selama ini. Buat teman yang lain tetap berjuang dan semangat.

13. Semua teman dan pihak yang udah membantu dalam penyelesaian skipsi ini.

Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Skripsi ini tentunya jauh dari kesempurnaan untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mohon maaf atas ketidak sempurnaan tersebut.

Medan, 26 Juni 2014 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR BAGAN ... xiii

DAFATAR LAMPIRAN ... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 9

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 9

1.4 Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sosial dan Ekonomi ... 11

2.2 Keluarga ... 16

2.2.1 Pengertian Keluarga ... 16

2.2.2 Ciri-Ciri Umum Keluarga ... 17

2.2.3 Bentuk-Bentuk Keluarga ... 18

2.2.4 Fungsi-Fungsi Pokok Keluarga ... 19

2.2.5 Pola Asuh Orang Tua ... 21


(10)

2.3 Kekerasan Seksual pada Anak ... 23

2.3.1 Pengertian Anak ... 23

2.3.2 Hak-Hak Anak ... 23

2.3.3 Pengertian Kekerasan Seksual ... 24

2.3.4 Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual ... 28

2.3.5 Ciri-Ciri Umum Ank yang Mengalami Kekerasan Seksual ... 31

2.3.6 Faktor-Faktor Terjadinya Kekerasan Seksual ... 33

2.4 Pendidikan Seks ... 39

2.4.1 Perlunya Pendidikan Seks ... 39

2.4.2 Tujuan Pendidikan Seks di Sekolah ... 41

2.4.3 Peran Orangtua dalam Memberikan Pengetahuan tentang Seks ... 41

2.5 Peran Yayasan Pusaka Indonesia dalam Memberikan Pendampingan terhadap Anak yang Menjadi Korban Tindak Kekerasan ... 44

2.6 Kesejahteraan Anak ... 46

2.6.1 Pengertian Kesejahteraan Anak ... 46

2.6.2 Peran Pekerja Sosial terhadap Pelayanan Kesejahteraan Sosial ... 46

2.7 Kerangka Pemikiran ... 49

2.8 Hipotesis ... 51

2.9 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional ... 52

2.9.1 Defenisi Konsep ... 52


(11)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian ... 56

3.2 Lokasi Penelitian ... 56

3.3 Populasi dan Sampel ... 57

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 57

3.5 Teknik Analisis Data ... 58

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Berdirinya Lembaga Yayasan Pusaka Indonesia .... 60

4.2 Visi dan Misi Lembaga ... 61

4.3 Nilai-Nilai Utama Lembaga ... 62

4.4 Program Kerja Lembaga ... 63

4.5 Divisi Kelembagaan ... 64

4.5.1 Divisi Anak dan Perempuan ... 64

4.5.2 Divisi Pengembangan Komunitas (Community Development ... 68

4.5.3 Divisi Kewirausahaan Sosial ... 70

4.5.4 Divisi Informasi dan Dokumentasi ... 72

4.6 Konsulat ... 74

4.7 Struktur Badan Pengurus Yayasan Pusaka Indonesia Periode 2013-2018 ... 75

4.8 Lokasi Lembaga ... 76

4.9 Program yang Sudah dan Sedang Dikerjakan ... 77


(12)

BAB V ANALISIS DATA

5.1 Identitas Responden ... 89

5.2 Sosial Ekonomi (Variabel X) ... 91

5.3 Korban Kekerasan Seksual pada Anak (Variabel Y) ... 106

5.4 Uji Hipotesis ... 122

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 125

6.2 Saran ... 126


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Model Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Anak ... 47

Tabel 2 Jaringan Kerja Yayasan Pusaka Indonesia ... 83

Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan Usia ... 89

Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan ... 90

Tabel 5 Distribusi Responden Berdasarkan Penghasilan Pokok Orang Tua 91 Tabel 6 Distribusi Responden Berdasarkan Dapat Memenuhi Kebutuhan Sandang ... 92

Tabel 7 Distribusi Responden Berdasarkan Orang Tua Dapat Menabung ... 93

Tabel 8 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Orang Tua ... 94

Tabel 9 Distribusi Responden Berdasarkan Orang Tua Dapat Menyekolahkan ... 94

Tabel 10 Distribusi Responden Berdasarkan Kegiatan Belajar Rutin yang Pernah di Ikuti di Luar Sekolah ... 96

Tabel 11 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekejaan Orang Tua ... 96

Tabel 12 Distribusi Responden Berdasarkan Ibu Turut Bekerja ... 97

Tabel 13 Distribusi Responden Berdasarkan Lokasi Orang Tua Bekerja ... 98

Tabel 14 Distribusi Responden Berdasarkan Status Penguasaan Bangunan atau Rumah Tempat Tinggal ... 98

Tabel 15 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Dinding Tempat Tinggal 99 Tabel 16 Distribusi Responden Berdasarkan Jumalah Kamar Tidur yang Berada di Rumah... 100

Tabel 17 Distribusi Responden Berdasarkan Orang Tua Sering Berkomunikasi pada Seluruh Anggota Keluarga ... 101 Tabel 18 Distribusi Responden Berdasarkan Orang Tua Aktif dalam


(14)

Kegiatan Sosial di Lingkungan Tempat Tinggal ... 102 Tabel 19 Distribusi Responden Berdasarkan Orang Tua Mengikuti Kegiatan Keagamaan

103

Tabel 20 Distribusi Responden Berdasarkan Anggota Keluaraga Sering Sakit 104 Tabel 21 Distribusi Responden Berdasarkan Kemana Keluarga Berobat ... 105 Tabel 22 Distribusi Responden Berdasarkan Dari Mana Biaya Pengobatan .. 106 Tabel 23 Distribusi Responden Berdasarkan Bentuk Kekerasan yang di

Dapatkan ... 106 Tabel 24 Distribusi Responden Berdasarkan Berapa Kali Mendapatkan

Perlakuan Kekerasan Seksual ... 107 Tabel 25 Distribusi Responden Berdasarkan Sejak Usia Berapa Mendapatkan Tindak

Kekerasan Seksual ... 108 Tabel 26 Distribusi Responden Berdasarkan Sudah Berapa Lama Tindak

Kekerasan Seksual Menimpa Anda ... 108 Tabel 27 Distribusi Responden Berdasarkan dalam Kurun Waktu Berapa

Lama Anda Mendapatkan Tindak Kekerasan ... 109 Tabel 28 Distribusi Responden Berdasarkan Dimana Saja Tindak Kekerasan

Terjadi ... 110 Tabel 29 Distribusi Responden Berdasarkan Siapa yang Melakukan Tindak Kekerasan

Seksual ... 111 Tabel 30 Distribusi Responden Berdasarkan Mengenal Pelaku ... 112 Tabel 31 Distribusi Responden Berdasarkan Pelaku Mempunyai Hubungan

Dekat dengan Anda ... 112 Tabel 32 Distribusi Responden Berdasarkan Perasaan Terhadap Pelaku Pasca Tindak


(15)

Tabel 33 Distribusi Responden Berdasarkan Sesuatu yang Dijanjikan Pelaku 113 Tabel 34 Distribusi Responden Berdasarkan Apakah Masyarakat di Sekitar

Tempat Tinggal Anda Mengetahui dan Membantu Pasca Masalah

ini Terjadi ... 115 Tabel 35 Distribusi Responden Berdasarkan Bentuk Lingkungan Keluarga

yang di Tinggali ... 116 Tabel 36 Distribusi Responden Berdasarkan Orang Tua Memberikan Pola

Asuh dalam Keluarga pada Kehidupan Sehari-hari ... 117 Tabel 37 Distribusi Responden Berdasarkan Keluarga/Lembaga Turut

Membantu Mengatasi Masalah ... 118 Tabel 38 Distribusi Responden Berdasarkan Mendapatkan Pengobatan

Kesehatan Reproduksi Pasca Kekerasan ... 118 Tabel 39 Distribusi Responden Berdasarkan Tindak Kekerasan yang Anda

Alami ... 119 Tabel 40 Distribusi Responden Berdasarkan Memiliki Harapan untuk

Bangkit dari Tindak Kekerasan Seksual ... 120 Tabel 41 Distribusi Responden Berdasarkan Harapan Guna Menuntut

Keadilan pada Pelaku ... 121


(16)

Bagan 1 Alur Pikir ... 51


(17)

Lampiran 1 Tabel Data untuk Persamaan Variabel X (Sosial Ekonomi Keluarga)

Lampiran 2 Tabel Data untuk Persamaan Variabel Y (KekerasanSeksual pada Anak)

Lampiran 3 Tabel Data Untuk Perhitungan Persamaan Regresi Hipotesis Penelitian

Lampiran 4 Nilai-Nilai r Product Moment

Lampiran 5 Kuesioner Penelitian

Lampiran 6 Pengajuan dan Persetujuan Komisi Pembimbing Penulisan Proposal/

Penelitian Skripsi

Lampiran 7 Daftar Hadir Seminar Proposal

Lampiran 8 Lembar Kegiatan Bimbingan Penelitian/Penulisan Skripsi

Lampiran 9 Surat Penelitian di Yayasan Pusaka Indonesia

Lampiran 10 Surat Balasan dari Yayasan Pusakan Indonesia

Lampiran 11 Lembaran Kegiatan Bimbingan Proposal Penelitian Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial

BAB I PENDAHULUAN


(18)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

ABSTRAK

Pengaruh Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dampingan Yayasan Pusaka Indonesia

(Skripsi ini terdiri dari 6 Bab, 126 Halaman, 47 Tabel, 1 Bagan, Lampiran, 21 kepustakaan dan sumber lainnya yang berasal dari koran dan internet)

Kekerasan terhadap anak terus meningkat di Indonesia maupun di Provinsi Sumatera Utara, sebagian besar kekerasan tersebut adalah kekerasan seksual. Salah satu faktor terjadinya kekerasan seksual pada anak adalah sosial ekonomi keluarga. Situasi ekonomi yang memprihatinkan, pendapatan yang rendah, tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi secara layak bukan tidak mungkin dapat memicu terjadinya kekerasan seksual pada anak. Pelaku kekerasan umumnya adalah orang yang telah dikenal baik oleh anak maupun keluarga, membuat anak tidak sepenuhnya menyadari bahaya yang mengancamnya. Akibatnya anak kehilangan keyakinan terhadap lingkungan terdekat yang dimilikinya. Dengan keadaan seperti itu maka akan muncul bentuk perilaku sosial yang kurang sehat seperti kehilangan kepercayaan pada orang lain, menarik diri, merasa kesepian, bahkan dapat mengarah pada gangguan perilaku dan emosi yang lebih berat seperti kecemasan dan depresi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sosial ekonomi keluarga terhadap korban kekerasan seksual pada anak dampingan Yayasan Pusaka Indonesia. Metode penelitian ini adalah eksplanasi yaitu bertujuan untuk menguji variabel yang dihipotesiskan, yang menjadi sampel adalah seluruh korban kekerasan seksual dampingan Yayasan Pusaka Indonesia pada tahun 2013 yakni berjumlah 13 orang. Penelitian ini di lakukan di Yayasan Pusaka Indonesia provinsi Sumatera Utara serta areal lingkungan sekitar korban kekerasan seksual. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, wawancara dan observasi. Analisis penelitian menggunakan analisis korelasi product moment.

Dari hasil analisis korelasi yang dilakukan dengan analisis product moment diketahui koefisien korelasi (���) = 0,591 dengan taraf siknifikan 5% (taraf kepercayaan 95%) yaitu 0,553, ternyata lebih besar dari r tabel yaitu (0,591>0,553), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan hipotesa (Ha) yang mengatakan “ada pengaruh sosial ekonomi keluarga terhadap korban kekerasan seksual pada anak” dapat diterima. Sedangkan kontribusi sosial ekonomi keluarga terhadap korban kekerasan seksual pada anak dampingan Yayasan Pusaka Indonesia adalah sebesar 34,9%.


(19)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE

ABSTRACT

Effect of Socioeconomic Families Against Victims of Sexual Violence in Children accompanied by Indonesian Pusaka Foundation

(This thesis consists of 6 Chapters, 126 Pages, 47 Tables, 1 Chart, Appendix, 21 libraries and other sources from newspapers and the Internet)

Violence against children continues to rise in Indonesia and in the province of North Sumatra, most of the violence is sexual violence. One of the factors the occurrence of child sexual abuse are family socioeconomic. Economic situation of the poor, low income, no viable economic fulfillment is not possible to trigger the occurrence of child sexual abuse. Perpetrators of violence are generally people who are well known to the child and family, making children not fully aware of the dangers that threaten it. As a result, the child loses confidence in its immediate environment. In such circumstances it would appear the form of unhealthy social behavior such as loss of confidence in others, withdrawn, lonely, even can lead to behavioral and emotional disorders are more severe such as anxiety and depression.

This study aims to determine the effect of socioeconomic families of victims of sexual violence against children facilitated Indonesia Pusaka Foundation. This research method is the explanation that is intended to test the hypothesized variables, the sample is facilitated sexual assault victims throughout the Indonesian Heritage Foundation in 2013, which amounted to 13 people. His study was conducted at the Indonesian Yayasan Foundation of North Sumatra province and surrounding area victims of sexual violence. Data was collected using questionnaires, interviews and observations. Analysis of studies using product moment correlation analysis.

From the results of the correlation analysis carried out by the analysis of known product moment correlation coefficient (rxy) = 0.591 with a significance level of 5% (level of 95%) is 0.553, was greater than of that table r (0.591> 0.553), so it can be concluded that there is a relationship hypothesis (Ha) that says "no socio-economic influences on victims of child sexual abuse" is acceptable. While the socio-economic contribution to the family of the victims of child sexual abuse Indonesian Heritage Foundation is the beneficiary of 34.9%.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Status dan kondisi anak Indonesia adalah paradoks. Secara ideal, anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar, dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitasnya diwarnai data kelam dan menyedihkan. Anak Indonesia masih dan terus mengalami kekerasan (Huraerah, 2012: 21).

Kekerasan terhadap anak seringkali diidentifikasi dengan kekerasan kasat mata, seperti kekerasan seksual dan fisikal. Padahal, kekerasan yang bersifat psikis dan sosial (struktural) juga membawa dampak buruk dan permanen terhadap anak. Karenanya istilah child abuse atau perlakuan salah terhadap anak bisa terentang mulai dari yang bersifat fisik (physical

abuse) hingga seksual (sexual abuse) dari yang bermatra psikis (mental abuse) hingga sosial

(social abuse) yang berdemensi kekerasan stukrural (Huraerah, 2012: 22).

Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terjadi peningkatan kekerasan terhadap anak. Tahun 2013 sebanyak 3.023 kasus pelanggaran hak anak terjadi di Indonesia dan 58 persen atau 1.620 anak jadi korban kejahatan seksual. Jika dibandingkan tahun 2012, jumlah tahun 2013 meroket tajam hingga mencapai 60 persen. Dilihat dari klasifikasi usia, dari 3.023 kasus tersebut, sebanyak 1.291 kasus (45 persen) terjadi pada anak berusia 13 hingga 17 tahun, korban berusia 6 hingga 12 tahun sebanyak 757 kasus (26 persen), dan usia 0 hingga 5 tahun sebanyak 849 kasus atau 29 persen (http://megapolitan.kompas.com.Anak. Jadi.Korban.Kekerasan.Seksual. Diakses pada tanggal 18 Februari 2014 pukul 22.00).


(21)

Hasil pendataan berita media massa yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), menemukan bahwa tindak kekerasan seksual lebih banyak menimpa anak perempuan dengan angka ratio 1:7 bila dibandingkan anak laki-laki. Sementara itu studi yang dilakukan Lembaga Perlindungan Anak Jatim (LPA Jatim) yang menginventarisasi berita yang diekspos harian Jawa Pos, menemukan angka perbandingan antara anak perempuan dan anak laki-laki yang menjadi korban tindak kekerasan seksual adalah 3:7. Adapun di harian Memorandum, angka perbandingan yang diperoleh adalah 2:8. Ini berarti dari sekitar 10 anak yang menjadi korban tindak kekerasan seksual, maka diperkirakan 7-8 di antaranya adalah anak perempuan (Suyanto, 2010: 50).

Tindak kekerasan terhadap anak-anak potensial terjadi di semua lapisan masyarakat, namun jauh lebih umum terjadi di golongan masyarakat yang lebih rendah. Untuk kasus kekerasan seksual, terutama biasanya potensial terjadi di keluarga miskin karena tekanan kebutuhan hidup dan kondisi lingkungan sosial di sekitarnya memang memungkin kasus ini terjadi (Perton, dalam Suyanto, 2010: 52). Salah satu kasus di awal tahun 2013 terjadi kasus kematian anak perempuan keluarga pemulung berusia 11 tahun, (RI) yang di duga menjadi korban kekerasan seksual (Media Indonesia, 2013: 15).

Berbagai berita yang diidentifikasi LPA Jatim, memang sebagian besar tidak diketahui dengan pasti bagaimana latar belakang ekonomi korban. Namun di sebagian berita dengan jelas disebutkan bahwa korban umumnya adalah berasal dari golongan masyarakat miskin. Di harian Jawa Pos, diketahui 17,5% korban adalah berasal dari kelas miskin. Sementara itu, untuk korban yang berasal dari kelas menengah ke atas hanya 8,7%. Di harian Memorandum polanya hampir sama yaitu 18,7% korban adalah dari golongan masyarakat miskin dan 12,2% berasal dari kelas menengah ke atas. Untuk kasus child abuse, seperti kekerasan seksual pada anak, diperlakukan kasar, dan sebagainya pada dasarnya memang potensial terjadi di lingkungan komunitas yang sederhana, termarginalisasi dan miskin, karena gaya hidup,


(22)

kondisi lingkungan dan “ruang” untuk terjadinya peristiwa itu memang lebih terbuka (Suyanto, 2010: 54).

Dilihat dari asal tempat tinggal korban, studi yang dilakukan LPA Jatim menemukan sebagian besar anak yang menjadi korban tindak kekerasan dan dilanggar hak-haknya adalah mereka yang bertempat tinggal di kota besar. Di harian pagi Jawa Pos, ditemukan sekitar 62, 1% korban tindak kekerasan seksual bertempat tinggal di kota besar. Demikian pula, dari 230 berita harian pagi Memorandum yang telah dipilih, ternyata 57,8% menyebutkan bahwa tempat tinggal korban sebagian besar adalah di kota besar. Pedesaan, tercatat hanya sekitar 5% saja, dan untuk kota kecil dan menengah sekitar 35%. Dalam hal ini, ada dua hal yang mungkin dapat dijelaskan. Pertama, karena akses media massa memang lebih menjangkau daerah perkotaan daripada kota kesil atau daerah pedesaan–apalagi yang terpencil. Kedua, karena secara sosiologis lingkungan sosial di kota besar memang lebih keras, lebih kejam, dan kontrol sosialpun relatif lebih longgar karena adanya situasi anomi, dan hubungan interpersonal antar warga yang sifatnya kontraktual atau bahkan penuh konflik (Suyanto, 2010: 55).

Identifikasi yang dilakukan pada dua surat kabar di Jawa Timur yakni Jawa Pos dan Memorandum memperlihatkan bahwa sebagian besar status pelaku kaitannya dengan korban adalah orang lain dan tetangga korban. Harian Jawa Pos memeberitakan terdapat sekitar 54,4% pelaku yang berstatus orang lain dan sebanyak 14,6% sebagai tetangga korban. Sementara itu, harian Memorandum membuat sekitar 40% orang lain dan 27,4% pelaku sebagai tetangga korban. Data ini dengan demikian menunjukkan bahwa korban tindak kekerasan seksual umumnya adalah orang yang tergolong dekat dengan pelaku. Setidaknya, oleh pelaku korban sudah tidak di anggap sebagai orang lain, sehingga hanya dengan sedikit rayuan, janji di iringi dengan paksaan dan ancaman mereka dapat melakukan aksinya (Suyanto, 2010: 65).


(23)

Pelaku kekerasan yang umumnya adalah orang yang telah dikenal baik oleh korban maupun keluarga, membuat korban tidak sepenuhnya menyadari bahaya yang mengancamnya. Sebelumnya, para pelaku ini memiliki jarak yang dekat dengan anak. Namun kedekatan jarak ini justru digunakan oleh pelaku untuk melancarkan maksud buruknya. Akibatnya anak kehilangan keyakinan terhadap lingkungan terdekat yang dimilikinya. Hal ini dapat menimbulkan efek yang lebih buruk karena anak menjadi kehilangan kemampuan untuk menentukan batas-batas lingkungan pribadinya. Anak mungkin menjadi takut untuk memiliki kedekatan dengan orang lain. Dengan keadaan seperti itu maka akan muncul bentuk perilaku sosial yang kurang sehat seperti kehilangan kepercayaan pada orang lain, menarik diri, merasa kesepian, bahkan dapat mengarah pada gangguan perilaku dan emosi yang lebih berat seperti kecemasan dan depresi.

Pada situasi psikologis, sosial, dan ekonomi yang normal, secara teoritis kecil kemungkinan seorang individu akan tergolong untuk melakukan tindak kekerasan seksual pada anak-anak. Tetapi jika kondisi tersebut tidak dapat terpenuhi sesuai dengan kebutuhan dan harapan individu, niscaya kekecewaan, frustasi, depresi, dan stres akan mudah menyerang kehidupan individu. Situasi ekonomi yang memprihatinkan, pendapatan yang rendah, tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi secara layak bukan tidak mungkin dapat memicu terjadinya depresi dan frustasi yang pada gilirannya akan dapat menyebabkan terjadinya kekerasan seksual pada anak.

Meski tidak dapat diketahui secara langsung korelasi di antara kondisi tersebut tetapi data yang berhasil di himpun dari Harian Jawa Pos dan Memorandum memperlihatkan bahwa secara persentatif cukup banyak pelaku tindak kekerasan seksual dan pelanggaran terhadap hak anak berasal dari golongan masyarakat miskin. Sumber dari Jawa Pos menyebutkan sekitar 21,45 pelaku tindak kekerasan seksual berasal dari golongan masyarakat miskin dan sekitar 25,5% pelaku tindak kekerasan seksual yang berhasil di ekspos oleh Harian


(24)

Memorandum memiliki latar belakang sosial dan ekonomi rendah. Sementara itu, hanya sekitar 9,7% pelaku tindak kekerasan yang di ekspos harian Jawa Pos dari kalangan masayarakat menengah ke atas dan sekitar 14,3% yang berhasil diekspos oleh harian Memorandum (Suyanto, 2010: 61).

Banyak kasus ditengarai bahwa pendidikan pelaku tindak kekerasan seksual terhadapa anak kebanyakan adalah rendah. Individu yang berpendidikan rendah di samping cenderung kurang bijak dalam menyikapi masalah dan memiliki cara pandang serta berfikir yang terbatas mereka umumnya juga tidak terlalu berfikir panjang tentang resiko atau akibat dari perilakunya. Dalam banyak hal perasaan rikuh, sungkan, atau malu pada lingkungan sosialnya terkadang tidak terlalu dianggap serius oleh mereka. Sering kali mereka beranggapan bahwa perilaku atau tindakan yang mereka lakukan tidak akan diperhatikan oleh orang lain karena mereka sadar akan posisinya yang cenderung rendah di masyarakat. Seolah mereka sah-sah saja untuk melakukan segala perbuatan atau tindakan di dalam lingkungannya. Bahkan, tindak kekerasan seksual yang mereka lakukan terhadap anak-anakpun dianggap sebagai hal biasa (Suyanto, 2010: 62).

Dilihat dari “ruang” tempat terjadinya kekerasan seksual dan pelanggaran terhadap hak anak, studi ini menemukan bahwa lingkungna keluarga ternyata justru menjadi tempat yang paling rawan bagi anak-anak. Dari 103 kasus yang berhasil dikumpulkan LPA Jatim dari Harian Jawa Pos, 39,8% di antaranya, menyebutkan bahwa lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual terhadap anak-anak adalah di lingkungan keluarga. Demikian pula yang terjadi di berita-berita yang dikumpulkan dari Harian Memorandum. Dari 230 kasus yang berhasil diidentifikasi, 53,5% melaporkan bahwa tindak kekerasan yang dialami anak-anak ternyata terjadi di lingkungan keluarganya sendiri. Ini berarti, bahaya yang mengancam anak-anak ternyata bukan dari orang lain atau para penjahat profesional yang tidak di kenal korban, tetapi justru ancaman itu kerap kali muncul dari orang-orang yang dekat dengan korban, atau


(25)

bahkan orang-orang yang semula diharapkan dapat menjaga dan tempat berlindung. Sebagai contoh figur ayah yang biasanya dibayangkan selalu penuh kasih sayang kepada anak-anaknya. Tak sekali-dua kali media masa memberitakan peristiwa seorang ayah yang gelap mata kemudian memperkosa anaknya sendiri tanpa belas kasihan (Suyanto, 2010: 66).

Salah satu faktor terjadinya tindak kekerasan seksual pada anak adalah kemiskinan. Fenomena kemiskinan merupakan keadaan yang mengkhawatirkan, dimana Indonesia termasuk negara dengan jumlah orang miskin yang cukup besar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada September 2011 mencapai 29,89 juta orang atau 12,36 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat secara nasional jumlah orang miskin hingga bulan September 2012 sebanyak 28,59 juta orang atau 11,66 persen (Analisa, 2013: 28). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin per September 2013 di Indonesia mencapai 28,55 juta orang atau 11,47 persen (Analisa, 2014: 1).

Kemiskinan sesungguhnya tidak hanya terkait dengan aspek ekonomi saja, tetapi aspek lain juga mempengaruhi. Kemiskinan juga di sebabkan lemahnya aspek moral, sosial dan aspek budaya serta aspek pembangunan yang belum merata. Logikanya orang miskin umumnya pendapatan kecil dan tidak menentu (Anwas, 2013: 84).

Kemiskinan seringkali bergandengan dengan rendahnya tingkat pendidikan, pengangguran, dan tekanan mental umumnya dipandang sebagai faktor dominan yang mendorong terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Lemahnya penengakan hukum dan praktik budaya bisa pula berdampak pada fenomena kekerasan seksual terhadap anak (Huraerah, 2012: 23).

Kota Medan sendiri menduduki urutan keempat kasus kekerasan seksual, dimana 62 persen kasus kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat anak. Kesimpulan ini diperoleh dari penelitian yang dilakukan di 24 kota besar di Indonesia yang sudah mewakili di seluruh Indonesia. Hal itu di ungkapkan oleh Ketua Komnas Perlindungan Anak Indonesia. Kota


(26)

Medan menduduki urutan keempat karena banyaknya kasus kekerasan setelah Jakarta, Makasar, dan Jawa Barat (Tribun Medan, 2012: 14). Data yang dilansir dari media cetak dan elektronik serta kasus yang ditangani Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Pusaka Indonesia yang konsen dalam isu perlindungan anak di Sumut, menunjukkan setidaknya ada 236 korban kekerasan terhadap anak. Kasus pencabulan menempati urutan pertama 138 korban, disusul dengan kasus penganiayaan 46 korban dan kasus pemerkosaan 14 korban, selebihnya kasus pencurian, pembunuhan, penculikan, penelentaran. Usia anak yang menjadi korban tersebut bergerak dari 4 tahun sampai 18 tahun. Namun yang paling dominan menjadi korban adalah mereka-mereka yang berusia 6-8 tahun 66 korban, 15-18 tahun sebanyak 107 korban. Kota Medan merupakan tempat urutan korban terbesar mencapai 101 Korban, 74 kasus diantaranya merupakan korban pencabulan dan pemerkosaan, disusul Deli Serdang 34 korban, Tebing Tinggi 11 korban (Analisa, 2014: 4).

Kota Medan, juga terdapat banyak Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam upaya perlindungan terhadap kekerasan pada anak dan perempuan, salah satunya adalah Yayasan Pusaka Indonesia. Lembaga Swadaya Masyarakat tersebut dibantu empat divisi yakni Divisi Anak dan Perempuan, Divisi Pengembangan Komunitas, Divisi Kewirausahaan Sosial, dan Divisi Informasi dan Komunikasi. Yayasan Pusaka Indonesia dalam Divisi Anak dan Perempuan, salah satu programnya adalah melakukan upaya untuk melawan dan mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan terhadap anak dan perempuan termasuk perdagangan anak dan perempuan. Klien yang di tangani Yayasan Pusaka Indonesia kebanyakan adalah anak berusia delapan sampai tujuh belas tahun yang mengalami tindak kekerasan seksual. Salah satu faktor tindak kekerasan seksual itu terjadi karena anak mudah sekali terbujuk dengan rayuan pelaku, misalnya anak akan diberikan uang apabila anak menuruti permintaan si pelaku. Pelaku tindak kekerasan seksual pada anak biasanya orang yang terdekat dengan anak yaitu ayah, pacar, dan tetangga. Lokasi tempat terjadinya


(27)

kekerasan seksual tidak jarang berada di lingkungan sekitar anak, yaitu lingkungan rumah dan sekolah.

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah diuraikan, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Korban Kekerasan Seksual pada Anak Dampingi Yayasan Pusaka Indonesia”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah diuraikan maka masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana pengaruh sosial ekonomi keluarga terhadap korban kekerasan seksual pada anak dampingan Yayasan Pusaka Indonesia?”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan peneliitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sosial ekonomi keluarga terhadap korban kekerasan seksual pada anak dampingan Yayasan Pusaka Indonesia.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Pengembangan konsep-konsep dan teori-teori yang berkenaan dengan permasalahan Kekerasan Seksual pada Anak


(28)

1.4 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian, kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan uraian metodologi penelitian yang terdiri dari tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data .

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan uraian sejarah geographis dan gambaran umum tentang lokasi dimana penelitian melakukan penelitian .

BAB V : ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta analisisnya.

BAB VI : PENUTUP


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.3 Pengertian Sosial dan Ekonomi

Pengertian sosial ekonomi jarang dibahas secara bersamaan. Pengertian sosial dan pengertian ekonomi sering dibahas secara terpisah. Istilah sosial (social dalam bahasa inggris) dalam ilmu sosial memiliki arti yang berbeda beda, misalnya istilah sosial dalam

sosialisme dengan istilah departemen sosial, jelasn kedua duanya menunjukkan makna yang

sangat jauh berbeda. Menurut Soekanto, apabila istilah sosial pada ilmu sosial menunjuk pada objeknya, yaitu masyarakat, sosialisme suatu ideologi yang berpokok pada prinsip pemikiran umum atas alat alat produksi dan jasa jasa dalam bidang ekonomi.

Sedangkan istilah sosial pada departemen sosial, menunjukkan pada kegiatan kegiatan di lapangan sosial. Artinya kegiatan kegiatan yang di tujukan untuk mengatasi persoalan persoalan yang di hadapi masyarakat dalam bidang kesejahteraan, seperti tuna karya, tuna susila, tuna wisma, orang jompo, anak yatim piatu, dan lain lain. Selain itu Soekanto (1993:464) mengemukakan bahwa istilah sosial pun berkenaan dengan pelaku interpersonal, atau yang berkaitan dengan proses proses sosial. (Soekanto, dalam Supardan, 2009:27).

Defenisi sosial pada dasarnya bisa diartikan sebagai kemasyarakatan. Dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan yang menghadirkan orang lain dalam kehidupan manusia. Kehadiran orang lain itu bisa bersifat nyata maupun tidak nyata. Kehadiran manusia secara nyata bisa dirasakan baik melalui audio dan visual. Sedangkan untuk kehadiran manusia tidak nyata bisa berupa imajenasi, kenangan, khayalan, dan lain sebagainya. Defenisi sosial ini terkait pada hubungan-hubungan manusia dengan lingkungan masyarakat, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan kelompoknya, dan manusia dengan organisasi yang diikutinya. Hal ini juga berkaitan langsung dengan istilah bahwa manusia merupakan makhluk sosial di muka bumi, karena manusia tidak bisa hidup sendirian dan pasti akan


(30)

selalu membutuhkan orang lain dalam kehidupannya sehari-hari 22.00).

Sedangkan Ekonomi atau economic dalam banyak literatur ekonomi disebutkan berasal dari bahasa Yunani yaitu “Oikos atau Oiku” dan “Nomos” yang berarti peraturan rumah tangga. Dengan kata lain pengertian ekonomi adalah semua yang menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan perkehidupan dalam rumah tangga, tentu saja yang dimaksud dan dalam perkembangannya kata rumah tangga bukan hanya sekedar merujuk pada satu keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anaknya, melainkan juga rumah tangga yang lebih luas yaitu rumah tangga bangsa, negara, dan dunia (Putong, 2005: 9). Ekonomi juga sering diartikan sebagai cara manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jadi dapat dikatakan bahwa ekonomi bertalian dengan proses pemenuhan keperluan hidup manusia sehari-hari

Berdasarkan pengertian yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa sosial ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain dalam sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Pemenuhan kebutuhan yang dimaksud berkaitan dengan penghasilan. Hal ini disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan.

Menurut Melly G Tan mengatakan kedudukan sosial ekonomi mencakup tiga faktor yaitu pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan. Pendapat diatas didukung oleh Mahbud UI dari Bank Dunia bersama dengan James Grant dari Overseas Development Council mengatakan bahwa sosial ekonomi di titik beratkan pada pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan, air yang sehat dan didukung oleh pekerjaan yang layak (http://www.psychologymania.

com/2012/10/pengertian-sosial-ekonomi.html. Diakses pada tanggal 29 Maret 2014 pukul


(31)

1. Pendapatan

"Pendapatan" dapat didefinisikan sebagai upah, gaji, keuntungan, sewa, dan setiap aliran pendapatan yang diterima. Namun, cara lain untuk melihat generasi sumber penghasilan (pendapatan) adalah dalam bentuk kompensasi pekerja, jaminan sosial, uang pensiun, kepentingan atau dividen, royalti, piutang, tunjangan atau tunjangan lain dari pemerintah, masyarakat, atau bantuan keuangan keluarga.

Pendapatan dapat dilihat dalam dua istilah, relatif dan mutlak. Pendapatan mutlak, sebagaimana diteorikan oleh ekonom John Maynard Keynes, adalah hubungan yang seiring dengan kenaikan pendapatan, sehingga akan konsumsi, tetapi tidak pada tingkat yang sama. Pendapatan relatif menentukan seorang atau tabungan keluarga dan konsumsi berdasarkan pendapatan keluarga dalam kaitannya dengan orang lain. Pendapatan adalah sebuah ukuran yang umumnya digunakan sebagai status sosial ekonomi masyarakat karena relatif mudah untuk mengetahui seorang individu.

Keluarga dengan pendapatan yang lebih tinggi dapat mengumpulkan kekayaan dan tidak hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan pokok (tersier) tetapi pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier sambil dapat mengkonsumsi dan menikmati kemewahan. Sedangkan keluarga dengan pendapatan yang rendah hanya bisa memenuhi kebutuhan pokoknya (tersier), bahkan mereka terkandang meminjam uang dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

2. Pendidikan

"Tingkat pendidikan" sesuai dengan status sosial ekonomi karena merupakan fenomena “cross cutting” untuk semua individu. Pencapaian pendidikan individu dianggap sebagai cadangan untuk individu atas semua prestasi dalam hidup, yang tercermin melalui nilai-nilai atau derajatnya. Akibatnya, pendidikan memainkan sebuah peran dalam pendapatan.


(32)

Pendidikan memberikan dorongan, dengan demikian akan meningkatkan penghasilan. Sebagaimana disampaikan pada grafik, derajat tertinggi, gelar profesional dan doktor, membuat pendapatan mingguan tertinggi sementara mereka tanpa ijazah sekolah tinggi terhukum secara finansial. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi berhubungan dengan hasil ekonomi dan psikologis yang lebih baik (yaitu: pendapatan lebih, kontrol yang lebih, dan dukungan sosial dan jaringan yang lebih besar).

Pendidikan memainkan peranan penting dalam mengasah keterampilan seorang individu yang membuat dia sebagai orang yang siap untuk mencari dan memperoleh pekerjaan, serta kualifikasi khusus yang mengelompokkan orang dengan status sosial ekonomi tertinggi dari status sosial ekonomi terendah. Annette Lareau berbicara pada gagasan budidaya terpadu, di mana orang tua kelas menengah mengambil peran aktif dalam pendidikan dan pengembangan anak-anak mereka dengan menggunakan kendali mengorganisir kegiatan dan mendorong rasa hak melalui diskusi.

Laureau berpendapat bahwa keluarga dengan pendapatan rendah tidak berpartisipasi dalam gerakan ini, menyebabkan anak-anak mereka memiliki rasa kendala. Sebuah divisi dalam pencapaian pendidikan dengan demikian lahir dari dua perbedaan dalam membesarkan anak. Secara teori, keluarga berpenghasilan rendah memiliki anak yang tidak berhasil sedangkan anak-anak berpenghasilan menengah, yang merasa berhak, yang argumentatif, dan lebih siap untuk kehidupan dewasa.

3. Pekerjaan

"Pekerjaan yang bergengsi" sebagai salah satu komponen status sosial ekonomi, terdiri dari pendapatan dan pencapaian pendidikan. Status pekerjaan sesuai dengan tingkat pendidikan suatu individu yaitu melalui, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, mengeskplorasi dan mempertahankan posisi yang lebih baik. Status pekerjaan akibatnya menjadi sebuah indikator untuk posisi sosial kita atau status dalam


(33)

masyarakat, maka menggambarkan karakteristik pekerjaan, pengambilan membuat kemampuan dan pengendalian emosi, dan psikologis tuntutan pada pekerjaan.

Pekerjaan dirangking oleh jajak pendapat (antara organisasi lainnya) dan pendapat dari masyarakat umum yang disurvei. Beberapa pekerjaan yang paling bergengsi adalah dokter dan ahli bedah, pengacara, insinyur kimia dan biomedis, spesialis komputer, dan komunikasi analis. Pekerjaan ini, dianggap dikelompokkan dalam klasifikasi status sosial ekonomi tinggi, memberikan lebih banyak pekerjaan menantang dan kemampuan dan kontrol yang lebih besar terhadap kondisi kerja. pekerjaan dengan peringkat yang lebih rendah adalah pekerja pramusaji makanan, petugas counter, bartender dan pembantu, pencuci piring, tukang sapu, pelayan dan pembantu rumah tangga, pembersih kendaraan, dan tukang parkir. Pekerjaan yang kurang dihargai juga dibayar secara signifikan kurang dan lebih melelahkan, secara fisik berbahaya, dan memberikan otonomi yang kurang (http://tenagasosial.blogspot. com/2013/ 08/faktor-yang-mempengaruhi-status-sosial.html

Berdasarkan pekerjaan, penghasilan, dan pendidikan menurut Melliy G Tan maka masyarakat itu dapat digolongkan kedalam kedudukan sosial ekonomi rendah, sedang dan tinggi (Tan, dalam Koentjaraningrat, 1981 : 35).

. Diakses pada tanggal 28 februari 2014 pukul 22.00).

1. Golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Yaitu masyarakat yang menerima pendapatan lebih rendah dari keperluan untuk memenuhi tingkat hidup yang minimal. Untuk memenuhi tingkat hidup yang minimal, mereka perlu mendapatkan pinjaman dari orang lain.

2. Golongan masyarakat berpenghasilan sedang. Yaitu pendapatan yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok dan tidak dapat menabung.


(34)

3. Golongan masyarakat berpenghasilan tinggi. Yaitu selain dapat memenuhi kebutuhan pokok, juga sebagian dari pendapatannya itu dapat ditabungkan dan digunakan untuk kebutuhan yang lain.

2.2 Keluarga

2.2.1 Pengertian Keluarga

Burgess dan Locke mendefinisikan keluarga sebagai suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi; merupakan susunan rumah tangga sendiri; berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan; dan merupakan pemelihara kebudayaan bersama (Burgess dan Locke, dalam Khairuddin, 1997: 7). Keluarga adalah sistem konjungal, menekankan pada pentingnya hubungan perkawinan (antara suami dan istri), ikatan dengan suami atau istri cenderung dianggap lebih penting daripada ikatan dengan orangtua (Sunarto, 2004:63).

Dari beberapa definisi keluarga menurut Mac Iver and Page, Elliot and Merrill, dan A.M. Rose dapat dirumuskan inti sari pengertian keluarga sebagai berikut:

1. Keluarga merupakan kelompok sosial yang kecil yang umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak.

2. Hubungan sosial di antara anggota keluarga relatif tetap dan di dasarkan atas ikatan darah, perkawinan dan adopsi.

3. Hubungan antar anggota keluarga dijiwai oleh suasana kasih sayang dan rasa tanggung jawab.

4. Fungsi keluarga ialah merawat, memelihara dan melindungi anak dalam rangka sosialisasinya agar mereka mampu mengendalikan diri dan berjiwa sosial.


(35)

Hakekat keluarga merupakan hubungan seketurunan maupun tambahan (adopsi) yang diatur melalui kehidupan perkawinan bersama, searah dengan keturunan-keturunan mereka yang merupakan suatu satuan yang khusus (Khairuddin, 1997: 3).

2.2.2 Ciri-Ciri Umum Keluarga

Ciri-ciri umum keluarga antara lain seperti yang dikemukakan oleh Mac Iver and Page: 1. Keluarga merupakan hubungan perkawinan.

2. Berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara.

3. Suatu sistem tata nama, termasuk bentuk perhitungan garis keturunan.

4. Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota kelompok yang mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak.

5. Merupakan tenpat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga yang walau bagaimanapun tidak mungkin menjadi terpisah terhadap kelompok keluarga (Mac Iver and Page, dalam Khairuddin, 1997: 6).

2.2.3 Bentuk-Bentuk Keluarga

Ada dua macam tipe keluarga yang utama saat ini, yaitu: 1. Nuclear Family (Keluarga Inti)

Dewasa ini dapat ditentukan berbagai macam variasi keluarga, baik variasi dari struktur taraf hidup maupun falsafah hidup keluarga. Menurut Polak yaitu, “keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak yang belum dewasa atau belum kawin. Sedangkan dalam keluarga Jawa, keluarga inti disebut dengan Somah yang mempunyai peranan yang sangat penting. Seperti yang


(36)

dikemukakan oleh Hildred Geertz yaitu, “Somah seperti yang sudah dikatakan merupakan satu-satunya unit pertalian kekeluargaan yang penting.

2. Extended Family (Keluarga Besar)

Keluarga besar adalah suatu keluarga yang meliputi lebih dari satu generasi dan satu lingkungan keluarga yang lebih luas daripada hanya ayah, ibu, dan anaknya. Orang yang berasal dari keluarga besar memiliki lebih banyak pengalaman mengenai hidup dalam suatu kelompok yang lebih bervariasi termasuk hidup bersama dalam satu kelmpok dengan orang-orang yang berbeda umur dimana ada satu hubungan yang bersifat berkesinambungan antar generasi yang terdapat dalam kelompok atau keluarga tersebut. Dan bila ada orang tua yang tidak bisa mengasuh anak mereka, maka akan ada orang dewasa lain yang akan mengasuh mereka (Su’adah, 2005: 90).

2.2.4 Fungsi-Fungsi Pokok Keluarga

Pada dasarnya keluarga mempunyai fungsi-fungsi pokok yakni fungsi yang sulit dirubah dan digantikan oleh orang lain. Adapun yang menjadi fungsi-fungsi pokok tersebut antara lain:

1. Fungsi Biologik

Keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak, fungsi biologik orang tua ialah melahirkan anak. fungsi ini merupakan dasar kelangsungan hidup masyarakat. Namun fungsi ini pun juga mengalami perubahan, karena keluarga sekarang cenderung kepada jumlah anak yang sedikit. Kecenderungan kepada jumlah anak yang lebih sedikit ini di pengaruhi oleh faktor-faktor:

a. Perubahan tempat tinggal keluarga dari desa ke kota. b. Makin sulitnya fasilitas perumahan.


(37)

c. Banyaknya anak dipandang sebagai hambatan untuk mencapai sukses material keluarga.

d. Banyaknya anak dipandang sebagai hambatan untuk tercapainya kemesraan keluarga.

e. Meningkatnya taraf pendidikan wanita berakibat berkurangnya fertilitanya. f. Berubahnya dorongan dari agama keluarga mempunyai banyak anak. g. Makin banyaknya ibu-ibu yang bekerja di luar rumah.

h. Makin meluasnya pengetahuan dan penggunaan alat-alat kontrasepsi. 2. Fungsi Afeksi

Dalam keluarga terjadi hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi. Hubungan afeksi ini tumbuh sebagai akibat hubungan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan. Dari hubungan cinta kasih ini lahirlah hubungan persaudaraan, persahabatan, kebiasaan, identifikasi, persamaan pandangan mengenai nilai-nilai. Dasar cinta kasih dan hubungan afeksi ini merupakan faktor penting bagi perkembangan pribadi anak.

3. Fungsi Sosialisasi

Fungsi sosialisasi ini menunjukkan peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam keluarga itu anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadiannya (Khairuddin, 1997: 48).

Salah satu faktor yang terpenting dalam kehidupan sosial individu adalah interaksi sosial. Pengalaman-pengalaman interaksi sosial dalam keluarga menentukan pula cara-cara tingkah laku individu terhadap orang lain yang berada di lingkungan pergaulan sosial di luar keluarganya, di dalam masyarakat pada umumnya. Apabila interaksi sosialnya di dalam kelompok-kempok karena beberapa sebab tidak lancar


(38)

atau tidak wajar, kemungkinan besar bahwa interaksi sosial dengan masyarakat pada umumnya juga berlangsung tidak wajar.

Peran umum kelompok keluarga sebagai kelompok sosial pertama, dimana tempat manusia berkembang sebagai makhluk sosial. Terdapat pula peran-peran tertentu dalam keluarga yang dapat mempengaruhi perkembangan individu sebagai mahluk sosial. Keluarga menjadi kelompok sosial utama tempat anak belajar menjadi manusia sosial. Rumahtangga menjadi tempat pertama dalam perkembangan segi-segi sosial anak. Dalam interaksi sosial dengan orangtuanya yang wajar, anak dapat memperoleh hasil yang memungkinkan menjadi anggota masyarakat yang berguna kelak. Sedangkan apabila hubungan dengan orangtuanya kurang baik, kemungkinan bahwa interaksi sosial pada umumnya berlangsung kurang baik pula (Gerungan, 2004: 216).

2.2.5 Pola Asuh Orang Tua

Model perilaku keluarga secara langsung maupun tidak langsung akan dipelajari dan ditiru oleh anak. Anak akan mengikuti model perilaku orang tua di dalam keluarga seperti bersikap, bertutur kata, mengekspresikan harapan, serta mengungkapan perasaan dan emosinya. Model perilaku yang baik akan membawa dampak baik bagi perkembangan anak demikian juga sebaiknya. Keberhasilan pembentukan karakter pada anak ini salah satunya dipengaruhi oleh model orang tua dalam melaksanakan pola asuh. Pola asuh yang digunakan orangtua dalam menanamkan disiplin pada anaknya dikembangkan oleh Elizabeth B. Hurlock (Hurlock, 1972) terbagi atas tiga macam yaitu:

1. Otoriter

Setiap pelanggaran dikenakan hukuman. Tingkah laku anak dikekang secara kaku dan tidak bebas, ditetapkan oleh peraturan. Orangtua tidak mendorong untuk anak untuk mengambil keputusannya sendiri atas perbuatannya.


(39)

2. Demokratis

Orangtua menggunakan diskusi, penjelasan, dan alasan yang membantu anak untuk mematuhi suatu aturan. Orangtua menekankan aspek pendidikan. Orangtua yang demokratis adalah menumbuhkan kontrol dalam diri anak.

3. Permisif

Orangtua bersikap membiarkan atau mengizinkan setiap tingkah laku anak. Pola ini membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tatacara yang memberikan batasan dari tingkah lakunya. Bila terjadi hal berlebihan barulah orangtua bertindak. Pola ini pengawasan menjadi sangat longgar (Ihromi, 2004: 51).

2.2.6 Sosial Ekonomi Orang Tua

Kehidupan sosial-ekonomi yang mapan merupakan salah satu penunjang yang membentuk kebahagian hidup keluarga. Dengan ekonomi yang mapan, berarti semua kebutuhan keluarga dapat terpenuhi dengan baik, termasuk keperluan pendidikan, kesehatan, rekreasi dan anak-anak.

Kehidupan ekonomi yang terbatas atau kurang menyebabkan orang tua tidak mampu memberikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan makanan yang bergizi, kesehatan, pendidikan dan sarana penunjangnya dan bahkan perhatian kasih sayang pada anak. Hal ini dapat terjadi karena seluruh waktu dan perhatiannya cenderung tercurah untuk bekerja agar dapat meningkatkan taraf hidup keluarga.

Tidak tersedianya kebutuhan ekonomi yang cukup, anak-anak tidak mampu menyelesaikan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ini berarti taraf keterampilannya juga rendah. Bahkan tidak menutup kemungkinan sebagian dari mereka ada yang tidak mampu menyelesaikan sekolahnya atau drop-out (Dewi, 2012: 90).


(40)

2.3 Kekerasan Seksual pada Anak 2.3.1 Pengertian Anak

Menurut the Minimum Age Convention nomor 138, pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun kebawah. Sebaliknya, dalam Convention on tehe Rights of

the Child yeng telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppre nomor 29 tahun1990

disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun kebawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-undang RI nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-undang Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun.

Jika dicermati, secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial serta pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun (Huraerah, 2012: 31).

2.3.2 Hak-Hak Anak

Hak anak menurut pasal 2 Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, disebutkan bahwa:

1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarganya maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembangnya dengan wajar.

2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan ke mampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.


(41)

3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa kandungan maupun sesudah dilahirkan.

4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar (Huraerah, 2012: 33).

2.3.3 Pengertian Kekerasan Seksual

Pengertian seksual secara umum adalah sesuatu berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara hubungna intim antara laki-laki dengan perempuan (Dewi, 2012: 59).

Wahid dan Irpan memandang bahwa kekerasan seksual merupakan istilah yang menunjukkan pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat (Huraerah, 2012: 70).

Wignjosoebroto mendefenisikan kekerasan seksual sebagai suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seseorang (lelaki) terhadap seorang korban (biasanya perempuan) dengan cara menurut moral atau hukum yang berlaku adalah melanggar (Suyanto, 2010: 235). Sedangkan pendapat lain yang dikemukakan oleh Brownmiller tentang kekerasan seksual adalah pemaksaan terjadinya hubungan seks terhadap perempuan tanpa persetujuan ataupun tanpa kehendak yang disadari oleh perempuan itu tadi (Suyanto, 2010: 50).

Fenomena kekerasan seksual dapat dikatakan sebagai fenomena gunung es. Hal ini terjadi disebabkan korbannya sebagian besar adalah para perempuan dan anak-anak mereka. Sehingga apabila korban melaporkan tindakan kekerasan yang mereka alami, maka akan muncul ketakutan akibat adanya ancaman dari pelaku kekerasan seksual. Sosial ekonomi merupakan faktor yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pokok-pokok kehidupan masyarakat. Keadaan ini mempengaruhi pula cara-cara kehidupan


(42)

seseorang. Dalam kondisi pergolakan mudah sekali terjadinya tindak kekerasan seksual karena adanya ketegangan maupun ketidakamanan pada masyarakat, misalnya: penghasilan sosial yang rendah, keadaan perumahan yang buruk, dan sebagainya. Akibatnya akan kita jumpai peningkatan kriminalitas, salah satunya adalah kekerasan seksual pada anak.

Dilihat dari segi lingkungan sosial, psikologi lingkungan memandang bahwa sebuah lingkungan fisik (dalam hal ini tempat tinggal) juga memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan karakter seseorang, terutama sekali jika orang tersebut memiliki ikatan emosional yang erat dengan lingkungan fisiknya (Halim, 2008: xii). Tempat tinggal dapat meliputi tata ruang secara fisik yaitu kepadatan, kesesakan, ketersediaan ruang publik,

personal space, hingga menyangkut privacy pada setiap orang (Sarwono, 1992: 67). Tempat

tinggal yang ideal hendaknya memperhatikan berbagai dimensi kebutuhan masyarakat yang menempatinya. Tempat tinggal yang tepat tentunya akan mendukung kesejahteraan masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut. Sebaliknya, tempat tinggal yang kurang tepat akan mengurangi kesejahteraan masyarakatnya dan menghambat berbagai proses yang seharusnya dialami.

Sampson, morenoff, dan Erls dalam penelitiannya menyatakan bahwa dalam lingkungan yang buruk atau kumuh, dapat menghambat pengembangan organisasi sosial lingkungan, di mana ketiadaan organisasi sosial lingkungan ini meningkatkan risiko tindak kekerasan kepada anak (Sampson, morenoff, & Erls, dalam Halim, 2008: 199). Sedikit sekali individu yang melakukan tindak kekerasan kepada anak ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat. Kekurangan keterlibatan sosial ini menghilangkan sistem dukungan dari masyarakat untuk membatu individu mengatasi stres yang disebabkan oleh kondisi sosial. Lagi pula, kurangnya kontak dengan masyarakat menyebabkan individu sulit untuk mengubah perilakunya sesuai dengan nilai-nilai dan standar-standar masyarakat (Huraerah, 2012: 53).


(43)

Anak-anak merupakan salah satu pihak yang menempati suatu lingkup sosial. Pada usianya, mereka sedang mengalami proses tumbuh kembang yang sangat pesat baik secara fisik maupun psikologis. Tempat tinggal yang tepat akan sangat mendukung proses tersebut. Sayangnya, saat ini di Indonesia masih begitu banyak dijumpai lingkungan yang tidak berpihak pada tumbuh kembang anak secara sehat, namun justru menempatkan anak pada kondisi penuh resiko. Situasi semacam itu banyak dijumpai di daerah yang masyarakatnya berada pada tingkat sosial ekonomi bawah. Rumah ukuran kecil yang dipadati oleh penghuni, tidak adanya pembagian ruang, sehingga satu ruangan digunakan bersama untuk berbagai aktivitas oleh banyak orang di rumah.

Korban kekerasan seksual yang berasal dari keluarga dengan status sosial rendah biasanya kesulitan untuk mempertahankan privacy. Tempat-tempat yang seharusnya aman dan memfasilitasi tumbuh kembang anak, menjadi area yang mengancam dan membahayakan. Pada anak-anak dengan status sosial yang rendah, privacy yang diharapkan mungkin akan lebih sulit dicapai karena setiap saat orang lain dapat mengintervensi dirinya baik secara fisik maupun sosial. Lingkungan yang padat sangat membatasi privacy anak sehingga pertumbuhan emosinya menjadi terhambat. Padahal privacy berfungsi untuk mengembangkan identitas pribadi, yaitu mengenal diri sendiri dan menilai diri sendiri. Jika

privacy ini terganggu, apalagi secara terus-menerus, akan terjadi proses ketelanjangan sosial,

yaitu merasa semua orang tahu tentang rahasia diri sendiri. Selain itu, juga terjadi proses deindividuasi dimana anak merasa bahwa individunya sudah tidak dihargai lagi. Hal tersebut membuat anak semakin mudah untuk menjadi korban kekerasan seksual oleh orang di sekitasnya (Sarwono, 1992: 72).

Paul A. Bell mengemukakan ransangan dari lingkungan individu akan terjadi dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, ransangan itu dipersepsikan berada dalam batas ambang toleransi individu bersangkutan yang menyebabkan individu berada dalam keadaan


(44)

homeostasis. Kemungkinan kedua, ransangan itu dipersepsiakan di luar toleransi yang

menimbulkan stres pada individu (Paul A. Bell, dalam Sarwon, 1992: 86). Stres yang ditimbulkan dari lingkungan individu salah satunya adalah kondisi sosial. Kondisi sosial yang tidak baik akan meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup pengangguran, penyakit, Kondisi-kondisi rumah buruk, ukuran keluarga besar dari rata-rata, kelahiran bayi, orang cacat di rumah, dan kematian seorang anggota keluarga. Sebagian besar kondisi ini terjadi karena adanya kemiskinan (Huraerah, 2012: 52-54).

Sedangkan dari segi ekonomi, salah satu hal yang berhubungan dengan masalah perekonomian antara lain urbanisasi. Di negara yang sedang berkembang ke arah negara modern, terjadi perubahan dalam masyarakat. Salah satu perubahan tersebut adalah urbanisasi. Urbanisasi ini dapat menimbulkan hal-hal yang positif dan negatif. Dampak negatif dari urbanisasi adalah adanya pengangguran. Dapat dipastikan bahwa timbulnya niat jahat akan lebih besar karena menganggur dibandingkan sebaliknya.

Situasi tersebut pada akhirnya juga merembet dalam hal pemenuhan kebutuhan biologisnya. Sebahagian dari mereka yang tidak mampu menyalurkan hasrat seksnya tersebut pada wanita tuna susila, akan menyalurkan dalam bentuk onani, sedangkan yang lain mencari kesempatan untuk dapat melakukan hubungan seksual secara langsung yaitu dengan jalan pintas mengintai korban (anak pelaku sendiri atau orang-orang terdekat yang ada di sekitar pelaku) untuk dijadikan pelampiasan hasrat seksualnya. Pada akhirnya timbullah apa yang disebut dengan kejahatan seksual dengan berbagai bentuknya, dan salah satu diantaranya adalah pemerkosaan.

Sebaliknya golongan orang berada atau kaya tidak tertutup melakukan kejahatan susila, akibat kekayaannya sendiri. Perkosaan yang terjadi di hotel atau di tempat-tempat penginapan tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan di dalam melakukan niatnya tersebut tidak


(45)

jarang si pelaku yang berasal dari golongan berada mempergunakan alat perangsang yang kesemuanya ini diperoleh dengan uang yang tidak sedikit.

2.3.4 Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual

Menurut Resta dan Darmawan bahwa tindakan kekerasan seksual dapat dibagi atas tiga kategaori yaitu perkosaan, inces, dan eksploitas. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Perkosaan

Komnas Perempuan mendefiniskan perkosaan sebagai serangan yang diarahkan pada bagian seksual dan seksualitas seseorang dengan menggunakan organ seksual (penis) ke organ seksual (vagina), ke anus atau mulut, atau dengan menggunakan bagian tubuh lainnya yang bukan organ seksual atau benda-benda lainnya. Serangan itu dilakukan dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan ataupun dengan pemaksaan sehingga mengakibatkan rasa takut akan kekerasan, di bawah paksaan, penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau serangan atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya. Pelaku tindakan perkosaan biasanya pria. Pemerkosaan seringkali terjadi pada suatu saat dimana pelaku lebih dulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Jika anak diperiksa dengan segera setelah perkosaan, maka bukti fisik dapat ditemukan seperti air mata, darah, dan luka memar yang merupakan penemuan mengejutkan dari penemuan akut suatu penganiayaan. Apabila terdapat kasus pemerkosaan dengan kekerasan pada anak, akan merupakan suatu resiko terbesar karena penganiayaan sering berdampak emosi tidak stabil. Khususnya untuk anak ini dilindungi dan tidak


(46)

dikembalikan kepada situasi dimana terjadi tempat pemerkosaan, dan pemerkosa harus dijauhkan dari anak.

2. Inces

Didefenisikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual antara individu yang mempunyai hubungan dekat, yang mana perkawinan di antara mereka dilarang oleh hukum maupun kultur. Incest biasanya terjadi dalam waktu yang lama dan sering menyangkut suatu proses terkondisi.

3. Eksploitasi

Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan ponografi, dan hal ini cukup unik karena sering meliputi suatu kelompok secara berpartisipasi. Hal ini dapat terjadi sebagai sebuah keluarga atau di luar rumah bersama beberapa orang dewasa dan tidak berhubungan dengan anak-anak dan merupakan suatu lingkungan seksual. Pada beberapa kasus ini meliputi keluarga-keluarga, seluruh keluarga ibu, ayah dan anak-anak dapat terlibat dan anak-anak-anak-anak harus dilindungi dan dipindahkan dari situasi rumah. Hal ini merupakan situasi patologi dimana kedua orangtua sering terlibat kegiatan seksual dengan anak-anaknya dan mempergunakan anak-anak untuk prostitusi atau untuk pornografi. Eksploitasi anak-anak membutuhkan intervensi dan penanganan yang banyak secara psikiatri (Huraerah, 2012: 71).

Bentuk-bentuk kekerasan seksual menurut Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu:

1. Pasal 285 KUHP disebutkan tentang pemerkosaan:

Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.


(47)

Barang siapa dengan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang, dengan salah memakai kekuasaannya yang timbul dari pergaulan atau dengan memberdayakan, dengan sengaja mengajak orang di bawah umur yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahui atau patut dapat disangkanya dibawah umur, mengerjakan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan perbuatan cabul itu dengan dia, di hukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.

Menurut Caeti (2009) pencabulan adalah semua perilaku atau aktivitas seksual yang ditujukan pada anak-anak, termasuk didalamnya: meraba-raba, oral sex, persetubuhan,

exhibitionisme, mengambil atau menyimpan gambar porno anak-anak, menunjukkan

memperlihatkan materi porno secara vulgar kepada anak-anak atau melakukan hubungan sexual dihadapan anak-anak. Pada umumnya di Indonesia kata “pencabulan” digunakan untuk kekerasan seksual dengan korban anak di bawah umur (anak-anak yang belum dewasa). Jika berdasar pasal pada UU Perkawinan 1974, maka korbannya berumur kurang dari 16 tahun (http://www.academia.Edu. Makalah_Perkosaan_ dan _ pencabulan.docx. Diakses pada tanggal 29 maret 2014 pukul 20.00).

2.3.5 Ciri-Ciri Umum Anak yang Mengalami Kekerasan Seksual

1. Tandan-tanda Perilaku

a. Perubahan-perubahan mendadak pada perilaku: dari bahagia ke depresi atau permusuhan, dari bersahabat ke isolasi, atau dari komunitas ke penuh rahasia. b. Perilaku ekstrim: perilaku yang secara komperatif lebih agresif atau pasif dari

teman sebayanya atau dari perilaku dia sebelumnya.

c. Gangguan tidur: takut pergi ketempat tidur, sulit tidur atau terjaga dalam waktu yang lama, mimpi buruk.


(48)

d. Perilaku regresif. Kembali pada perilaku awal perkembangan anak tersebut; seperti ngompol, mengisap jempol, dsb.

e. Perilaku anti-sosial atau nakal: bermain api, mengganggu anak lain atau binatang, tindakan-tindakan merusak.

f. Perilaku menghindar: takut atau menghindar dari orang tertentu (orangtua, kakak, saudara lain, tetangga, pengasuh) lari dari rumah, nakal atau membolos sekolah. g. Perilaku seksual yang tidak pantas: masturbasi berlebihan, berbahasa atau

bertingkah porno melebihi usianya, perilaku seduktif terhadap anak yang lebih muda, menggambar porno.

h. Penyalahgunaan NABZA; alkohol atau obat terlarang khususnya pada anak remaja.

i. Bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap diri sendiri (self-abuse): merusak diri sendiri, gangguan makan, berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan beresiko tinggi, percobaan atau melakukan bunuh diri.

2. Tanda-tanda Kognisi

a. Tidak dapat berkonsentrasi: sering melamun dan menghayal, fokus perhatian singkat atau terpecah.

b. Minat sekolah memudar: menurunnya perhatian terhadap pekerjaan sekolah dibandingkan dengan sebelumnya.

c. Respon atau reaksi berlebihan: khususnya terhadap gerakan tiba-tiba dan orang lain dalam jarak dekat.

3. Tandan-tanda sosial-emosional

a. Rendahnya kepercayaan diri: perasaan tidak berharga.

b. Manarik diri: mengisolasi diri dari teman, lari ke dalam khayalan atau ke bentuk-bentuk lain yang tidak berhubungan.


(49)

c. Depresi tanpa penyebab: perasaan tanpa harapan dan ketidakberdayaan, pikiran dan pernyataan-pernyataan ingin bunuh diri.

d. Ketakutan berlebihan: kecemasan, hilangnya kepercayaan terhadap orang lain. e. Keterbatasan perasaan: tidak dapat mencintai, tidak riang seperti sebelumnya atau

sebagaimana dialami oleh teman sebanya. 4. Tanda-tanda fisik

a. Perasaan sakit yang tidak jelas: mengeluh sakit kepala, sakit perut, tenggorokan tanpa penyebab jelas, menurunnya berat badan secara drastis, tidak ada kenaikan berat badan secara memadai, muntah-muntah.

b. Luka-luka pada alat kelamin atau mengidap penyakit kelamin: pada vagina, penis atau anus yang ditandai dengan pendarahan, lecet, nyeri, atau gatal-gatal di seputar alat kelamin.

c. Hamil (Zastrow, dalam Huraerah, 2012: 73).

2.3.6 Faktor-Faktor Terjadinya Kekerasan Seksual

Terjadinya kekerasan seksual pada anak disebabkan oleh berbagai faktor yang memengaruhinya. Faktor-faktor yang memengaruhinya demikian kompleks, kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari lingkungan anak, yaitu:

1. Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma keagamaan yang terjadi di tengah masyarakat. Nilai-nilai keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasi horizontal yang cenderung makin meniadakan peran agama adalah sangat potensial untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan merugikan orang lain.


(50)

2. Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya berbagai perilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukuman dan norma keagamaan kurang mendapatkan responsi dan pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.

3. Kondisi perekonomian juga dapat merupakan satu penyebab seseorang melakukan kejahatan tindak kekerasan seksual. Keadaan ekonomi yang sulit akan membawa orang kepada pendidikan yang rendah dan pada tahap selanjutnya membawa dampak kepada baik atau tidaknya pekerjaan yang diperoleh. Keadaan yang demikan menyebabkan seseorang dapat kehilangan kepercayaan diri dan menimbulkan jiwa yang apatis, frustasi serta hilangnya respek atas norma-norma yang ada di sekitarnya. 4. Putusan hakim yang terasa tidak adil, seperti putusan yang cukup ringan yang

dijatuhkan pada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat mendorong anggota-anggota masyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat jahat tidak meresa takut lagi dengan sanksi hukuman yang akan diterimanya.

5. Ketidak mampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk dicarikan kompensasi pemuasnya.

6. Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam terhadap sikap, ucapan (keputusan) dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikannya. 7. Pengaruh perkembangan sosial budaya yang semakin tidak menghargai etika

berpakaian yang menutup aurat, yang dapat meransang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh dan jahat.

8. Gaya hidup atau metode pergaulan di antara laki-laki dengan perempuan yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang dalam hubungannya dengan kaedah akhlak mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan (Wahid & Irfan, 2001: 72) .


(51)

Pendapat lain dari sebuah model yang disebut “The Abusive Environment

Model”,Ismail menjelaskan bahwa faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak-anak

sesungguhnya dapat ditinjau dari segi aspek, yaitu: aspek kondisi sang anak sendiri, orang tua, dan lingkungan sosial.

1. Faktor anak itu sendiri

a. Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya.

b. Perilaku menyimpang pada anak. 2. Faktor orang tua

Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan seksual pada anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan seksual pada anak diantaranya :

a. Praktik-praktik budaya yang merugikan anak seperti kepatuhan anak kepada orang tua, hubungan asimetris.

b. Anak dibesarkan dalam penganiayaan. c. Gangguan mental.

d. Orang tua yang belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial terutama mereka yang mempunyai anak sebelum berumur 20 tahun.

e. Orang tua yang longgar terhadap perilaku seks bebas. f. Kurangnya pendidikan seks dalam keluarga.

g. Orang tua pecandu minuman keras dan obat. 3. Faktor lingkungan sosial/komunitas

Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan seksual pada anak. Faktor lingkungan sosial yang dapat menyebabkan kekerasan seksual dan penelantaran pada anak yaitu :


(52)

a. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materilistis.

b. Kondisi sosial-ekonomi yang rendah .

c. Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri.

d. Status wanita yang dipandang rendah.

e. Sistem keluarga patriarkal.

f. Nilai masyarakat yang terlalu individualistis (Suyanto, 2010: 35).

Sementara itu Richard J. Gelles juga mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor: personal, sosial, dan kultural. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat katagori utama, yaitu:

1. Pewaris kekerasan antar generasi

Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindak kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan diwariskan (transmitted) dari generasi ke generasi. Anak-anak yang mengalami perlakuan salah dan kekerasan mungkin menerima perilaku ini sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orangtua. Tetapi, sebagian besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Beberapa ahli yakin bahwa peramal tentang tindakan kekerasan di masa depan adalah apakah anak menyadari bahwa perilaku tersebut salah. Anak yang yakin bahwa perilaku buruk dan layak mendapatkan tindakan kekerasan akan lebih sering menjadi orangtua yang memperlakukan anaknya secara salah, dibandingkan anak-anak yang yakin bahwa orangtua mereka salah untuk memperlakukan mereka dengan tindak kekerasan. 2. Stres sosial

Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan


(53)

kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Tindak kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan. Keluarga-keluarga yang lebih kaya memiliki waktu yang lebih mudah untuk menyembunyikan tindak kekerasan karena memiliki hubungan yang kurang dengan lembaga-lembaga sosial dibandingkan dengan keluarga miskin. Selain itu, pekerja sosial, dokter, dan sebagainya yang melaporkan tindakan kekerasan secara subjektif lebih sering memberikan label kepada anak keluarga miskin sebagai korban tindakan kekerasan dibandingkan dengan anak dari keluarga kaya.

Penggunaan alkohol dan narkoba di antara orangtua yang melakukan tindakan kekerasan mungkin memperbesar stres dan meransang perilaku kekerasan. Karakteristik tertentu dari anak-anak, seperti: kelemehan mental, atau kecacatan perkembangan atau fisik juga meningkatkan stres dari orangtua dan meningkatkan risiko tindak kekerasan.

3. Isolasi sosial dan Leterlibatan masyarakat bawah

Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Faktor-faktor kultural sering menentukan jumlah dukungan masyarakat yang akan diterima suatu keluarga. Pada budaya dengan tingkat tindakan kekerasan terhadap anak yang rendah, perawatan anak biasanya dianggap sebagai tanggungjawab masyarakat, yaitu: tentangga, kerabat, dan teman-teman membantu perawatan anak apabila orangtua tidak bersedia atau tidak sanggup. Di Amerika Serikat, orangtua sering memikul tuntutan perawatan anak oleh mereka sendiri yang mungkin berakibat pada resiko stres dan tindakan kekerasan kepada anak yang lebih tinggi.


(1)

9. Apakah jenis pekerjaan orang tua (Ayah) anda? a. PNS

b. Pengawai Swasta c. Wiraswasta

10. Apakah orang tua (Ibu) anda turut bekerja setiap hari untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari?

a. Tidak Bekerja b. Kadang-kadang c. Bekerja

11a. Dimanakah lokasi orang tua anda bekerja? a. Di luar kota/luar negeri

b. Dalam kota c. Tidak Tetap

11b. Jika orang tua anda bekerja di luar kota/luar negeri, bagaimana frekuensi orang tua anda pulang ke rumah?

a. Pulang setiap hari b. Pulang seminggu sekali

c. Pulang sebulan sekali atau lebih

12. Bagaimana status penguasaan bangunan/rumah tempat tinggal yang anda tempati?

a. Milik sendiri b. Sewa

c. Numpang

13. Apakah jenis dinding tempat tinggal anda ? a. Beton

b. Semi beton c. Kayu

14. Berapakah jumlah kamar tidur yang berada di rumah anda? a. >2kamar

b. 1-2 kamar c. Tidak ada kamar


(2)

15. Apakah sehari-hari orang tua anda sering berkomunikasi pada seluruh anggota keluarga?

a. Sering b. Jarang c. Tidak pernah

16. Apakah orang tua anda aktif dalam kegiatan sosial di lingkungan tempat tinggal anda?

a. Aktif

b. Kadang-kadang c. Tidak aktif

17. Apakah orang tua anda mengikuti kegiatan keagamaan? a. Mengikuti

b. Kadang-kadang c. Tidak pernah

18. Apakah kedudukan orang tua anda di lingkungan tempat tinggal? a. Pemuka masyarakat/Pemuka Agama

b. Ketua RT/RW

c. Anggota masyarakat biasa

19. Apakah anggota keluarga anda sering sakit? a. Sering

b. Jarang c. Tidak pernah

20. Jika anggota keluarga anda sakit, kemana keluarga membawanya? a. Rumah sakit/Puskesmas

b. Pengobatan alternatif c. Tidak berobat

21. Jika anggota keluarga anda sakit, dari mana biaya pengobatannya? a. Orang tua


(3)

III. Korban Kekerasan Seksual Pada Anak (Variabel Y) 22. Seperti apa bentuk kekerasan yang anda dapatkan?

a. Pemerkosaan b. Pencabulan c. Inces d. Eksploitasi

23. Berapa kali anda mendapatkan perlakuan kekerasan tersebut? a. 1-3

b. 3-10 c. > 10

24. Sejak usia berapa pertama kali anda mendapatkan tindak kekerasan tersebut? a. 0-5 tahun

b. 5-10 tahun c. > 10 tahun

25. Sudah berapa lama tindak kekerasan tersebut menimpa anda? a. < 1 minggu

b. > 1 bulan c. > 1 tahun

26. Dalam kurun waktu berapa lama anda mendapatkan tindak kekerasan tersebut?

a. < 1 minggu b. > 1 bulan c. > 1 tahun

d. Lain-lain(sebutkan)...

27. Dimana saja tindak kekerasan itu terjadi? a. Di luar lingkungan tempat tinggal b. Di lingkungan tempat tinggal c. Rumah


(4)

28. Siapa yang melakukan tindak kekerasan tersebut kepada anda? a. Teman dekat/Media Sosial

b. Tetangga

c. Orang tua/Keluarga besar

29. Apakah kamu mengenal pelaku sebelumnya? a. Tidak mengenal

b. Mengenal

c. Sangat mengenal

30. Apakah pelaku mempunyai hubungan dekat dengan anda? a. Tidak dekat

b. Dekat c. Sangat dekat

31. Bagaimana perasaan anda terhadap pelaku pasca tindak kekerasan tersebut? a. Tidak membenci

b. Biasa saja

c. Sangat membenci

32a. Adakah sesuatu yang dijanjikan pelaku kepada anda untuk melakukan hal tersebut?

a. Ada b. Tidak ada

32b. Jika ada, apa yang di janjikan pelaku kepada anda? a. Pekerjaan

b. Barang c. Uang

d. Lain-lain(sebutkan)...

33. Siapa orang yang pertama kali mengetahui tindak kekerasan terhadap anda? a. Teman dekat

b. Tetangga


(5)

34. Apa tindakan selanjutnya setelah ada orang lain yang mengetahui tindak kekerasan seksual tersebut?

a. Melapor ke lembaga/kepihak yang berwajib b. Hanya keluarga saja yang mengetahui c. Diam saja

35. Bagaimana dengan masyarakat yang ada disekitar tempat tinggal anda, apakah mereka juga mengetahui dan membantu pasca masalah ini terjadi pada anda? a. Sangat mengetahui dan sangat membantu

b. Mengetahui dan membantu

c. Tidak mengetahui dan tidak membantu

36. Bagaimana bentuk lingkungan keluarga yang anda tinggali? a. Keluarga inti

b. Disharmonisasi keluarga (perceraian) c. Keluarga tunggal

37. Bagaimana orang tua anda memberikan pola suh dalam keluarga pada kehidupan sehari-hari terhadap anda dan anggota keluarga?

a. Otoriter b. Demokratis c. Permisif

38. Apakah keluarga/Lembaga turut membantu mengatasi masalah yang menimpa anda?

a. Sangat membantu b. Membantu

c. Tidak membantu

39. Apakah anda mendapat pengobatan (kesehatan reproduksi) pasca kekerasan dan sampai sekarang?

a. Sangat mendapatkan b. Kadang-kadang c. Tidak pernah


(6)

40. Apa akibat dari tindak kekerasan yang anda alami? a. Defresi

b. Trauma

c. Tidak Percaya diri

41. Apakah anda memiliki harapan untuk bangkit dari tindak kekerasan yang menimpa anda?

a. Ada harapan b. Biasa saja

c. Tidak ada harapan

42. Apakah yang anda harapkan guna menuntut keadilan pada pelaku? a. Diselesaikan secara kekeluargaan

b. Sesuai dengan UU yang berlaku c. Hukum yang seberat-beratnya