Pengalaman Remaja Putri Korban Kekerasan Seksual di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan

(1)

Pengalaman Remaja Putri Korban Kekerasan Seksual di Pusat

Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan.

SKRIPSI

oleh

Otania Hosianna S 111101036

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

(4)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat yang berlimpah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “Pengalaman Remaja Putri Korban Kekerasan Seksual di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan”

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS sebagai Wakil Dekan I, Ibu Evi Karota Bukit, S.Kp, MNS sebagai Wakil Dekan II, dan Bapak Ikhsanuddin A. Harahap, S.Kp, MNS, sebagai Wakil Dekan III Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Reni Asmara Ariga, S.Kp., M.A.R.S selaku dosen pembimbing skripsi saya. Terima kasih atas waktu, bimbingan, masukan, dan arahan yang sangat membantu sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. 4. Ibu Nur Afi Darti S.Kp., M.Kep dan Sri Eka Wahyuni, S.Kep.,Ns, M.Kep

selaku dosen penguji. Terima kasih atas masukan yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini.

5. Kepada seluruh dosen dan pegawai Fakultas Keperawatan USU yang telah memberikan bimbingan selama masa perkuliahan.

6. Orangtua saya Ir. Japinder Samosir. dan mama saya Surya Christa Damayanti Hutabarat, saudari-saudari saya Arnes Anestesia Samosir, S.Farm. dan Anggi Mareta Samosir. yang saya cintai dan saya sayangi. Terima kasih atas doa, dukungan, dan semangat yang senantiasa kalian berikan sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Sahabat-sahabat (Lady Diana Puspita Dewi, Putri Nanda Sari, Wita dan Eunike Juni). Terima kasih atas bantuan, dukungan, dan semangat yang


(5)

8. kalian berikan. Teman-teman seperjuangan (Haryati Karmila, Haryati Simatupang dan Yeni Cessilia dan seluruh stambuk 2011), semoga kita semua akan meraih kesuksesan.

9. Seluruh pegawai PKPA dan kakak-kakak psikolog yang telah membantu. 10.Seluruh partisipan penelitian.

Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan dan bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Penulis sangat mengharapkan adanya saran yang bersifat membangun untuk perbaikan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Medan, Agustus 2015 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PRAKATA ... iii

DAFTAR ISI……… ... v

DAFTAR TABEL ... vii

ABSTRAK (INDONESIA) ... viii

ABSTRACK (INGGRIS) ... ix

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.Latar Belakang ... 1

2.Tujuan Penelitian ... 4

3.Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

1. Konsep Remaja ... 6

1.1 Defenisi Remaja ... 6

1.1.1 Remaja Awal ... 6

1.1.2 Remaja Tengah...8

1.1.3 Remaja Akhir ... 10

2. Kekerasan Seksual pada anak ... 11

2.1 Defenisi kekerasan seksual pada anak ... 11

2.2 Klasifikasi kekerasan seksual ... 12

2.3 Tanda dan gejala kekerasan seksual ... 17

2.4 Dampak kekerasan seksual ... 18

2.5 Faktor resiko ... 21

2.6 Karakteristik pelaku kekerasan seksual ... 21

2.7 Alasan umum kenapa anak tidak mengungkapkan kekerasan seksual ... 21

2.8 Kebutuhan anak setelah kekerasan seksual ... 23

3. Studi Fenomenologi ... 24

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ... 29

1. Desain penelitian ... 29

2. Partisipan ... 29

3. Lokasi dan waktu penelitian ... 30

3.1 Lokasi penelitian ... 30

3.2 Waktu penelitian ... 30

4. Pertimbangan etik ... 31

5. Instrumen penelitian ... 31

6. Pengumpulan data ... 32

7. Analisa data ... 34


(7)

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

1. Hasil penelitian ... 38

1.1 Karakteristik partisipan ... 38

1.2 Hasil wawancara ... 39

2. Pengalaman Remaja Putri Korban Kekerasan Seksual di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan ... 39

3. Pembahasan ... 75

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 93

1. Kesimpulan ... 93

2. Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 95

LAMPIRAN ... 99

1. Lampiran 1. Inform consent ... 99

2. Lampiran 2. Lembar persetujuan menjadi partisipan ... 100

3. Lampiran 3. Instrumen penelitian (Kuesioner Data Demografi) .. 101

4. Lampiran 4. Panduan wawancara ... 103

5. Lampiran 5. Surat uji validasi pertanyaan wawancara ... 104

6. Lampiran 6. Surat komite etik ... 105

7. Lampiran 7. Surat survey awal dan izin penelitian ... 106

8. Lampiran 8. Surat selesai penelitian ... 108

9. Lampiran 9. Jadwal penelitian ... 109

10.Lampiran 10. Anggaran dana ... 110

11.Lampiran 11. Lembar bukti bimbingan ... 111

12.Lampiran 12. Riwayat hidup ... 121


(8)

DAFTAR TABEL

halaman Tabel 4.1. Karakteristik Partisipan ... 39 Tabel 4.1. Matriks Tema ... 74


(9)

Judul Penelitian :Pengalaman Remaja Putri Korban Kekerasan Seksual di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan. Nama : Otania Hosianna S

NIM : 111101036

Fakultas : Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Tahun Akademik : 2014/2015

ABSTRAK

Kekerasan seksual pada anak adalah segala keterlibatan anak dalam aktifitas seksual yang anak tidak memahami sepenuhnya, tidak dapat memberikan izin mengenai hal tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain fenomenologi yang bertujuan mengeksplorasi pengalaman remaja putri korban kekerasan seksual di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan. Teknik pengambilan sampling dengan purposive sampling dengan jumlah partisipan sebanyak tiga orang. Hasil dari penelitian ini mendapatkan empat tema. Hasil penelitian menunjukkan kekerasan seksual paling banyak dilakukan oleh orang terdekat atau orang yang dikenal, kekerasan seksual juga memungkinkan anak menjadi rentan untuk menjadi korban di kejadian berikutnya. Kekerasan seksual yang terjadi pada anak meninggalkan banyak dampak negatif bagi anak yakni dampak fisik, psikologis, sosial, spiritual dan akademik. Anak dengan pola asuh yang tidak tepat dan berasal dari sosial ekonomi rendah lebih rentan mengalami kekerasan seksual. Dukungan orang tua menjadi hal yang sangat penting untuk membantu pemulihan anak korban kekerasan seksual, akan tetapi tekanan sosial dan anak yang bingung akan masa depan akan menghambat pemulihan kekerasan seksual.


(10)

Title of the Thesis : Female Teenagers Victimized by Sexual Harassment in PKPA (Center for Studies and Child Protection) Medan Name of Student : Otania Hosianna S

Std. ID Number : 111101036

Faculty : Nursing Science, University of Sumatera Utara Academic Year : 2014-2015

ABSTRACT

Sexual harassment to children is their involment in sexual activities which they do not undertand at all and are prohibited. The research used qualitative method with a phenomenalogical design whose objective was to explore female teenagers victimized by sexual harassment in PKPA (Center for Studies and Child Protection), Medan. Purposive sampling technique is used with total three (3) respondents. The result of research showed that there were four themes. Most of sexual harassment was done by the closest or known persons which enabled children to be subject to the next victims. Sexual harassment can cause many negative impacts, namely physical, psychological, social, spiritual and academic impacts. Children with inappropriate care patterns and come from low socio-economic background are subject to suffer from sexual harassment. Parents’ supports are very important to help recover children victimized by sexual harassment. However, the social pressure and children who are uncertain about their future will prevent them from the recovery from sexual harassment.


(11)

Judul Penelitian :Pengalaman Remaja Putri Korban Kekerasan Seksual di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan. Nama : Otania Hosianna S

NIM : 111101036

Fakultas : Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Tahun Akademik : 2014/2015

ABSTRAK

Kekerasan seksual pada anak adalah segala keterlibatan anak dalam aktifitas seksual yang anak tidak memahami sepenuhnya, tidak dapat memberikan izin mengenai hal tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain fenomenologi yang bertujuan mengeksplorasi pengalaman remaja putri korban kekerasan seksual di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan. Teknik pengambilan sampling dengan purposive sampling dengan jumlah partisipan sebanyak tiga orang. Hasil dari penelitian ini mendapatkan empat tema. Hasil penelitian menunjukkan kekerasan seksual paling banyak dilakukan oleh orang terdekat atau orang yang dikenal, kekerasan seksual juga memungkinkan anak menjadi rentan untuk menjadi korban di kejadian berikutnya. Kekerasan seksual yang terjadi pada anak meninggalkan banyak dampak negatif bagi anak yakni dampak fisik, psikologis, sosial, spiritual dan akademik. Anak dengan pola asuh yang tidak tepat dan berasal dari sosial ekonomi rendah lebih rentan mengalami kekerasan seksual. Dukungan orang tua menjadi hal yang sangat penting untuk membantu pemulihan anak korban kekerasan seksual, akan tetapi tekanan sosial dan anak yang bingung akan masa depan akan menghambat pemulihan kekerasan seksual.


(12)

Title of the Thesis : Female Teenagers Victimized by Sexual Harassment in PKPA (Center for Studies and Child Protection) Medan Name of Student : Otania Hosianna S

Std. ID Number : 111101036

Faculty : Nursing Science, University of Sumatera Utara Academic Year : 2014-2015

ABSTRACT

Sexual harassment to children is their involment in sexual activities which they do not undertand at all and are prohibited. The research used qualitative method with a phenomenalogical design whose objective was to explore female teenagers victimized by sexual harassment in PKPA (Center for Studies and Child Protection), Medan. Purposive sampling technique is used with total three (3) respondents. The result of research showed that there were four themes. Most of sexual harassment was done by the closest or known persons which enabled children to be subject to the next victims. Sexual harassment can cause many negative impacts, namely physical, psychological, social, spiritual and academic impacts. Children with inappropriate care patterns and come from low socio-economic background are subject to suffer from sexual harassment. Parents’ supports are very important to help recover children victimized by sexual harassment. However, the social pressure and children who are uncertain about their future will prevent them from the recovery from sexual harassment.


(13)

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi 0-1 tahun, usia bermain/toddler 1-2,5 tahun, pra sekolah 2,5-5 tahun , usia sekolah 5-11 tahun hingga remaja 11-18 tahun (Azis, 2005).

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah anak Indonesia tahun 2010 yakni penduduk Indonesia berusia 0-17 tahun mencapai 82,1 juta jiwa atau sebesar 33,4% dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 237,6 juta jiwa. Hal yang akhir-akhir ini sangat mengkhawatirkan bangsa ini khususnya mengenai kesejahteraan anak adalah kasus kekerasan yang sangat banyak terjadi di seluruh pelosok negeri. Peningkatan korban kekerasan pada anak semakin mengkhawatirkan di dunia bahkan di Indonesia. Kekerasan yang dialami anak-anak bukan hanya kekerasan berupa penelantaran atau pemukulan tetapi juga kekerasan seksual. Menurut WHO (2014) sekitar 25-50% anak mengalami kekerasan fisik, 20% perempuan mengalami kekerasan seksual dan 5-10% laki-laki mengalami kekerasan seksual. Menurut data Komisi Nasional Pelindungan Anak (Komnas Anak) hingga Oktober 2013 tercatat 2.792 kasus pada anak, 1.424 kekerasan dan sekitar 52% adalah kekerasan seksual.

Menurut The National Child Traumatic Stress Network (2007) kekerasan seksual pada anak adalah semua interaksi antara anak dan orang dewasa atau


(14)

dengan anak lainnya dimana anak digunakan untuk rangsangan seksual oleh pelaku. Kekerasan seksual dapat mencakup perilaku menyentuh dan tidak menyentuh. Perilaku menyentuh diantaranya adalah menyentuh vagina atau penis, dada atau bokong, kontak oral-genital atau hubungan seksual. Perilaku tidak menyentuh diantaranya veyeurism, exhibitionism dan menunjukkan pornografi. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh NCTSN International Rescue Committee (2012) juga menambahkan bahwa menunjukkan area tertentu, menunjukkan area tertentu anak, mengeksploitasi anak di prostitusi atau untuk pornografi juga merupakan kekerasan seksual. Menurut Holmes & Slap (1998, dalam Sharon 2005) kekerasan seksual juga mengacu pada perilaku orang dewasa terhadap anak-anak seperti mencumbu, melakukan tindakan sodomi.

Kekerasan yang dialami oleh anak akan menimbulkan banyak dampak negatif bagi anak, seperti yang diungkapkan oleh WHO (2014) efek jangka panjang anak yang mengalami kekerasan alah kerusakan fisik, gangguan mental, hubungan yang buruk, bahkan akan menyebabkan pertumbuhan sosial dan ekonomi negara yang buruk.

Maltz (2002 dalam Hall & Hall, 2011) menyebutkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi masa anak-anak melanggar hak dasar hidup manusia. Anak-anak seharusnya memiliki pengalaman seksual pada waktu masa perkembangan yang tepat dan berada dalam kontrol anak. Pada saat kekerasan seksual terjadi pada masa anak-anak bisa menghalangi pertumbuhan sosial anak dan banyak menyebabkan banyak masalah psikososial.


(15)

Kekerasan seksual yang dialami anak bisa memberi dampak yang buruk bagi anak. Menurut Afifi (2012, dalam Sandra et all 2012) menyatakan bahwa efek dari kekerasan seksual pada anak antara lain, anxiety disorder, depresi, gangguan tidur, penyalahgunaan obat-obatan dan Post Traumatic Stress Disorder.Menurut Briere & Eliot 2003; Fater dan Mullaney (2000 dalam Thomas et al, 2012) Anak laki-laki yang mengalami kekerasan seksual oleh pemuka agama akan berdampak anak tersebut akan kehilangan spiritualitasnya, tidak percaya pada orang tua, saudara kandung dan support system, meninggalkan mereka dengan harga diri yang negatif dan menyalahkan diri sendiri.

Cruise (2004) menyatakan bahwa anak perempuan cenderung menjadi korban kekerasan seksual, meskipun diyakini bahwa anak laki-laki cenderung tidak melaporkan pelecehan yang dialami dibandingkan anak perempuan.

Purcell, Mallow, Dolezal & Carballo-Dieguez (2004 dalam Wilson dan Widom, 2010) menyatakan laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki melaporkan tingkat kekerasan seksual pada masa kecil kira-kira tiga kali lebih tinggi dibanding laki-laki pada umumnya.

Penelitian Kurniawati (2013) menerangkan bahwa penyebab tindakan kekerasan seksual pada anak adalah kemiskinan, retardasi mental, balas dendam pelaku dan ingin membuat malu keluarga, adanya kesempatan, korban takut ancaman pelaku, kurang pengawasan orang tua dan kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi.


(16)

2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengalaman anak perempuan usia remaja terhadap kekerasan seksual yang pernah dialaminya.

3. Manfaat Penelitian

Ada 4 manfaat penelitian ini, antara lain bagi pendidikan keperawatan, pelayanan keperawatan, keluarga dan penelitian selanjutnya.

1. Pendidikan Keperawatan

Penelitian ini diharapkan berguna untuk pendidikan keperawatan yakni memberi pengetahuan bagi pendidikan keperawatan gambaran anak yang mengalami trauma dan bagaimana tumbuh kembangnya setelah mengalami kekerasan seksual.

2. Pelayanan Keperawatan

Penelitian ini diharapkan memberi gambaran tentang bagaimana pengalaman anak pasca trauma kekerasan seksual yang dialaminya sehingga penelitian ini bisa menjadi landasan pemberian implementasi pada anak korban kekerasan seksual.

3. Keluarga dan Masyarakat

Penelititan ini diharapkan memberi gambaran pada keluarga dan masyarakat seperti apa sebaiknya memperlakukan anak korban kekerasan seksual. Serta memberi informasi pada orang tua untuk membantu anak dalam proses penyembuhan trauma yang dialaminya.


(17)

4. Penelitian selanjutnya

Diharapkan peneliti selanjutnya meneliti usia dewasa yang pernah menjadi korban kekerasan seksual pada masa anak-anak dan diharapkan juga untuk peneliti selanjutnya untuk mengembangkan suatu model perawatan yang bisa cocok digunakan untuk meminimalisir stress pasca trauma yang dialami anak.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Remaja 1.1. Defenisi Remaja

Remaja adalah periode perkembangan selama individu mengalami perubahan dari masa anak-anak menuju dewasa biasanya antara usia 13-20 tahun (Potter & Perry, 2005). Remaja terdiri dari tiga periode yakni remaja awal, remaja tengah dan remaja akhir dan ditandai dengan masing-masing karakteristik dari biologis, psikososial dan isu sosial (Kliegman et al, 2011).

1.1.1 Remaja awal

Perkembangan remaja awal menurut Kliegman dan koleganya (2011).

1. Perkembangan biologis

Remaja didefinisikan sebagai periode perkembangan, pubertas adalah proses biologis yang mana terjadi perubahan anak-anak menjadi orang dewasa. Perubahan biologis mencakup perubahan dari karakteristik seksual sekunder, perubahan ukuran tubuh, perkembangan kapasitas reproduksi. Perubahan yang pertama sekali tampak pada remaja putri pada masa pubertas adalah pertumbuhan payudara antara usia 8 sampai 12 tahun. Menstruasi dimulai 2 sampai 2,5 tahun setelah masa pubertas dimulai.


(19)

2. Perkembangan kognitif dan moral.

Remaja awal digambarkan sebagai masa transisi dari pemikiran konkret operasional menjadi pemikiran logika formal atau pemikiran abstrak, proses lain yang penting tetapi memiliki kontribusi berbeda adalah kemampuan kognitif yakni alasan dan pendapat (proses berfikir tentang konsekuensi dari sebuah keputusan atau tindakan). Proses ini mungkin berkembang berbeda pada setiap remaja, remaja awal biasanya mengaplikasikan pada tugas sekolah, tapi tidak pada dilema pribadi. Perkembangan moral masih mengikuti adat istiadat yang berlaku pada lingkungan remaja dan belum sempurna.

3. Konsep diri

Kesadaran diri meningkat secara bertahap dalam menanggapi perubahan somatik pubertas. Kesadaran diri pada usia ini berpusat pada karakteristik eksternal, bagi remaja awal normal jika senang memperhatikan perubahan tubuh, perubahan wajah, dan merasa bahwa semua orang memperhatikannya.

4. Hubungan dengan keluarga, teman sebaya dan masyarakat. Pada remaja awal, aktivitas orang tua menjadi kurang menarik bagi remaja dan lebih tertarik pada hubungan sebaya terutama dengan teman sebaya yang memiliki jenis kelamin yang sama. Memperdalam


(20)

hubungan dengan teman sebaya berkontribusi untuk memandirikan anak dari orang tua.

5. Seksualitas

Kecemasan dan ketertarikan pada seks dan anatomi seksual meningkat selama masa awal pubertas. Remaja awal sangat normal jika membandingkan dirinya dengan orang lain. Remaja awal kadang-kadang melakukan masturbasi.

1.1.2 Remaja tengah

Kliegman dan koleganya (2011) menjelaskan tentang perkembangan anak usia remaja tengah

1. Perkembangan biologis

Kecepatan pertumbuhan sebelum masa pubertas adalah 6-7cm per tahun selama masa remaja tengah. Rata-rata puncak pertumbuhan remaja putri pada usia 11,5 tahun yakni pada pertumbuhan 8,3cm per tahun kemudian melambat dan berhenti pada usia 16 tahun. Menarche 95% terjadi pada remaja putri saat usia 10,5-14,,5 tahun. Pada umumnya terjadi siklus anovulatory selama 1-2 tahun setelah menarche. Waktu menarche sampai saat ini belum diketahui secara pasti, beberapa hal yang dianggap sebagai faktor penyebab adalah faktor genetik, status nutrisi, tipe dan jumlah dari kegiatan fisik yang dilakukan, penyakit kronis, dan kesehatan emosional.


(21)

2. Perkembangan kognitif dan moral

Remaja tengah menjadi transisi perubahan pola fikir menjadi berfikir logis, pada masa ini remaja mulai bertanya dan menganalisa secara ekstensif. Remaja saat ini memiliki kemampuan kognitif untuk memahami keruwetan dunia yang mereka jalani, refleksi diri, melihat ke dalam diri mereka sendiri, dan mulai memahami tentang tindakan dalam konteks moral dan legal. Kebiasaan moral akan sama atau berbeda dari orang tua remaja.

3. Konsep diri

Remaja tengah lebih menerima perubahan tubuhnya dan menjadi lebih menyenangkan dengan idealisme dalam eksplorasi pilihan masa depan. Hubungan dengan teman sebaya adalah hal yang penting pada tahap ini untuk menjelaskan identitas dan gambaran diri remaja. Remaja tengah sangat normal bereksperimen dengan orang yang berbeda, merubah cara berpakaian, dan merubah teman sekelompok yang berbeda-beda dari bulan ke bulan.

4. Hubungan dengan keluarga, teman sebaya dan masyarakat

Masa remaja tengah sangat identik dengan remaja yang mempunyai tipikal meniru. Hubungan dengan orang tua menjadi lebih tegang dan jauh dibandingkan hubungan remaja dengan teman sebaya. Remaja yang berpacaran akan menjadi penyebab pertengkaran antara remaja dan orang tua.


(22)

5. Seksualitas

Berpacaran menjadi aktivitas yang sesuai norma sebagai remaja tengah untuk melihat kemampuan remaja dalam berhubungan dengan orang lain. Tingkat aktivitas seksual sangat luas dan berbeda tergantung dari ras, budaya dan negara. Aspek orientasi seksual remaja tengah yang sangat penting adalah identitas seksual meliputi keyakinan mengenai cinta, kejujuran dan dalam hal pelanggaran susila. Hubungan pada usia ini biasanya sangat dangkal dan menekankan pada kecantikan/ketampanan dan percobaan seksual lebih daripada keintiman. Remaja cenderung mengikuti beberapa karakteristik dari pola perilaku seksual. Remaja pada umumnya sudah mengetahui tentang risiko kehamilan, HIV, penyakit menular seksual, tetapi pengetahuan tidak konsisten dengan perilaku yang terkontrol.

1.1.3 Remaja akhir

Perkembangan remaja akhir menurut Kliegman dan koleganya (2011) 1. Perkembangan biologis

Perubahan somatik pada periode ini sederhana jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Tahap akhir dari perkembangan payudara dan rambut pubis pada usia 17-18 tahun.

2. Perkembangan psikososial

Perubahan pada fisik yang lambat menyebabkan timbulnya stabilitas dari gambaran tubuh. Perkembangan kognitif yang berpusat pada diri sendiri menjadi berkurang, pemikiran tentang keadilan,


(23)

patroitisme, dan sejarah meningkat. Remaja akhir menjadi berorientasi pada masa depan, mampu bertindak sesuai rencana masa depan, menunda gratifikasi, berkompromi, menetapkan batas dan berfikir bebas. Remaja akhir bersikap konstan dengan emosinya.

2. Kekerasan Seksual Pada Anak

2.1. Definisi Kekerasan Seksual pada Anak

Secara global tidak ada makna kekerasan seksual pada anak yang standar tetapi World Health Organization (WHO) mendefenisikan kekerasan seksual pada anak adalah:

Child sexual abuse is the involvement of child in sexual activity that he or she does not fully comprehend, is unable to give informed consent to, or for which the child is not developmentally prepared and cannot give consent, or that violates the laws or social taboos of society. Child sexual abuse is evidenced by this activity between a child and an adult or another child who by age or development is in relationship of responsibility, trust or power, the activiy being intended to gratify or satisfy the need of the other person.”

Sesuai dengan apa yang disebutkan oleh WHO, kekerasan seksual didefiniskan oleh UNICEF-International Rescue Committee (2012) sebagai bentuk aktivitas seksual dengan seorang anak oleh orang dewasa atau oleh anak lainnya yang memiliki kekuatan melebihi anak tersebut. Kekerasan seksual pada anak sering melibatkan kontak tubuh, hal ini dapat mencakup sexual kissing, menyentuh dan oral/anal atau vaginal sex. Tidak semua kekerasan seksual melibatkan kontak tubuh, namun memaksa anak untuk menyaksikan pemerkosaan dan atau tindakan kekerasan seksual lainnya, memaksa anak untuk menonton pornografi atau menunjukkan bagian


(24)

pribadinya atau bagian pribadi anak dan mengekspolitasi anak sebagai pekerja seks komersil atau untuk pornografi juga merupakan tindakan kekerasan seksual. Secara spesifik tindakan kekerasan seksual yang mencakup baik perilaku kontak atau non-kontak diuraikan dibawah ini:

a. Kontak fisik atau menyentuh dapat meliputi:

Menyentuh genitalia anak atau bagian pribadi untuk tujuan seksual, membuat anak menyentuh genitalia orang lain atau bermain permainan seksual, memasukkan objek atau bagian tubuh (seperti jari, lidah atau penis) kedalam vagina, ke dalam mulut atau ke dalam anus untuk tujuan seksual.

b. Tindakan kekerasan seksual yang tidak melibatkan kontak antara lain: Menunjukkan gambar pria atau wanita tanpa busana pada anak, secara sengaja mengekspos genitalia orang dewasa pada anak untuk kesenangan atau kepentingan seksual orang dewasa, memfoto anak dalam pose seksual, mendorong anak untuk menonton atau mendengar tindakan seksual, menonton anak tanpa busana untuk kesenangan atau kepentingan seksual orang dewasa, memaksa anak untuk menyaksikan pemerkosaan atau tindakan kekerasan seksual lainnya.

2.2. Klasifikasi kekerasan seksual

Stuart dan Laraia (2001) membagi kekerasan seksual menjadi lima, yaitu:


(25)

a. Penyerangan seksual

Penyerangan seksual adalah perlakuan memaksa dalam kontak seksual dengan orang lain tanpa persetujuan. Ketidakadaan persetujuan berhubungan dengan kognitif, perkembangan kepribadian, perasaan takut atau pelaku menggunakan ancaman verbal dan fisik. Penyerangan seksual bukan hanya tentang perilaku seksual tetapi juga motivasi untuk hasrat menghina, merusak dan mendominasi korban. Penyerangan seksual paling banyak dialami oleh wanita dan anak-anak menyebabkan trauma fisik, psikis, gangguan spiritual, dan kemunduran dalam hubungan sosial. Ketakutan akan pemerkosaan dan penyerangan seksual adalah efek utama pada perempuan sehingga korban membatasi aktivitasnya sebagai usaha untuk menjamin keamanannya. Penyerangan seksual dapat menghancurkan semua aspek dari kehidupan korban, termasuk aktivitas sosial, hubungan interpersonal, pekerjaan dan karir.

b. Kekerasan dalam keluarga

Kekerasan dalam keluarga merupakan perilaku yang paling berbahaya yang terjadi antara keluarga dan anggota keluarga lainnya. Kekerasan dalam keluarga meliputi kekerasan fisik, kekerasan emosional pada anak, penelantaran anak, kekerasan antara teman akrab, pemerkosaan dalam perkawinan dan kekerasan oleh orang dewasa. Setiap keluarga unik, memiliki karakteristik umum yang kelihatan pada kebanyakan kekerasan dalam keluarga, selanjutnya tanpa menghiraukan


(26)

tipe kekerasan yang terjadi dalam keluarga, semua anggota keluarga termasuk yang bukan merupakan keluarga inti sangat dipengaruhi terhadap kekerasan yang terjadi. Kekerasan mungkin hanya menjadi rahasia keluarga dan berlannjut ke generasi berikutnya.

c. Kekerasan pada hubungan

Istilah kekerasan pada hubungan merujuk pada pola perkosaan dan perilaku memaksa, termasuk secara fisik, seksual dan kekerasan psikologis yang digunakan orang dewasa atau remaja untuk menyerang pasangannya. Hal ini dapat terjadi pada pasangan pacaran, orang yang sudah menikah dan yang hidup bersama sebagai suami istri secara heteroseksual, lesbian maupun pasangan gay.

d. Pemerkosaan dalam perkawinan

Pemerkosaan dalam perkawinan biasanya dilaporkan dengan kekerasan fisik, banyak suami yang melakukan kekerasan pada istrinya percaya bahwa itu adalah hak mereka untuk melakukan hubungan seksual dimana saja yang mereka inginkan. Korban dari pemerkosaan dalam perkawinan menjelaskan bahwa ia sering menerima hubungan seksual melalui vagina dengan pemaksaan, hubungan seksual melalui anus, dipukul, dibakar atau ditendang saat melakukan hubungan seksual, suami korban juga kerap memasukkan benda ke dalam vagina dan anus, dipaksa melakukan hubungan seksual dengan hewan atau


(27)

melakukan hubungan seksual saat anak mereka melihat. Korban pemerkosaan dalam perkawinan diancam menggunakan senjata atau pemukul jika menolak melakukan yang diinginkan oleh suami korban.

e. Elder abuse

Kekerasan seksual ini dilakukan oleh suami istri, kakak, abang, kakek, nenek atau orang dewasa lain yang lebih dewasa dalam keluarga tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh orang yang dewasa lebih merusak dibanding yang dilakukan bukan oleh orang dewasa.

Kliegman dan koleganya (2011) juga menambahkan klasifikasi kekerasan seksual pada remaja menjadi 6 tipe pemerkosaan, yakni:

1. Acquaintance rape

Pemerkosaan ini dilakukan oleh orang yang dikenal oleh remaja merupakan jenis pemerkosaaan yang paling banyak terjadi pada usia 16-24 tahun. Pelaku bisa merupakan tetangga, teman sekelas, atau teman dari angota keluarga yang lain. Hubungan pelaku dengan korban mungkin akan menyebabkan masalah pada keluarga, pengaduan remaja juga mungkin tidak dipercaya dan menimbulkan keraguan pada keluarga. Korban pemerkosaan oleh orang yang dekat ini juga sering menunda mencari bantuan medis, mungkin tidak melaporkan kejadian (lebih banyak pada


(28)

pria daripada perempuan), dan sangat sedikit yang mau melakukan penuntutan kriminal pada jalur hukum walaupun setelah melaporkannya kejadian.

2. Date rape

Pemerkosaan ini dilakukan oleh orang yang berkencan/ berpacaran dengan korban. Korban pemerkosaan pada saat berkencan biasanya merupakan orang yang barupada lingkungan tertentu (mahasiswa baru, orang yang baru datang ke kota) dan orang yang kekurangan dukungan sosial. Korban mungkin tidak menetapkan batasan-batasan asertif atau batas pada hubungan mereka dan mungkin akan memabukkan saat kejadian itu terjadi. Korban pemerkosaan saat berkencan kerapkali mengalami masa yang panjang tentang kepercayaan dan menyalahkan diri sendiri. Korban mungkin kehilangan kepercayaan diri pada pendapatnya mengenai seorang pria di kemudian hari. Remaja akan malu untuk membicarakan tentang kejadian tersebut kepada keluarga, teman, atau konselor dan mungkin tidak akan pernah pulih dari luka psikologis.

3. Male rape

Pemerkosaan yang dilakukan pada remaja laki-laki oleh laki-laki lain. Korban kekerasan pada laki-laki ini sering kali mengalami mengalami masalah identitas seksual, remaja memikirkan apakah mereka homoseksual atau tidak. Korban seringkali mengalami


(29)

masalah tidur, ketidakberdayaan, kecemasan, depresi bahkan ide bunuh diri.

4. Gang rape

Pemerkosaan yang dilakukan oleh sekelompok laki-laki pada seorang perempuan. Permpan korban pemerkosaan menemukan kesulitan untuk kembali ke lingkungan dimana pemerkosaan terjadi.

5. Statutory rape

Aktivitas seksual antara orang dewasa dengan remaja yang dibawah umur legal suatu hukum negara. Hal ini didasarkan pada belum mampunya seorang individu untuk memberikan persetujuan untuk mengikutsertakan dalam aktivitas seksual. 6. Stranger rape

Frekuensi terjadinya pemerkosaan ini pada remaja sangat jarang, pemerkosaan ini lebih sering terjadi pada orang dewasa.

2.3. Tanda dan gejala kekerasan seksual

Remaja yang mengalami kekerasan seksual pada fase akut menunjukkan hal yang sangat berbeda-beda, mulai dari yang sangat menutupi hal tersebut sampai yang agak sedikit terbuka atas kejadian. Kadang kala remaja tidak kelihatan ketakutan walaupun remaja tidak kelihatan ketakutan, kebanyakan dari korban mengalami ketakutan yang luar biasa dan sangat cemas tentang kejadian yang terjadi, perihal laporan tentang pemerkosaan,


(30)

pemeriksaan, keseluruhan proses termasuk kemungkinan akibat yang akan timbul (Kliegman et al, 2011)

Adanya temuan semen di mulut, rectum/anal atau pada pakaian, ada luka pada penis, rektum atau skrotum, luka memar, perubahan pada rektum, berdarah atau luka pada area mulut/tenggorokan, tanda dari kekerasan fisik mungkin ada, darah pada pakaian.

Anak yang mengalami kekerasan seksual dapat dilihat dari perubahan perilakunya, beberapa perubahan perubahan perilaku termasuk perilaku seksual adaah perilaku seksual yang diluar norma dan level perkembangan anak. Remaja yang megalami kekerasan seksual mungkin akan melakukan aktivitas seksual dengan beberapa orang tanpa memilih bahkan remaja mungkin menyewa jasa di tempat prostitusi, anak yang lebih tua dan remaja juga dapat berespon dengan melakukan kekerasan seksual dengan anak yang usianya lebih muda.

2.4. Dampak Kekerasan Seksual

Dampak kekerasan seksual pada remaja:

Depresi (kesedihan yang berkepanjangan), menangis dan mati rasa, mimpi buruk dan gangguan tidur, memiliki masalah di sekolah atau menghindari sekolah, menunjukkan kemarahan atau kesulitan berhubungan dengan orang tua, bertengkar, tidak mematuhi perintah, menunjukkan sikap menarik diri termasuk dari keluarga dan teman, sikap merusak diri sendiri (memakai obat-obatan, alkohol),


(31)

menunjukkan masalah makan, yakni tidak mau makan atau makan sepanjang waktu, fikiran untuk bunuh diri, membicarakan tentang kekerasan dan memikirkan kembali tentang kekerasan (UNICEF-International Rescue Committee, 2012). Kliegman dan koleganya (2011) juga menambahkan dampak pada remaja akibat kekerasan seksual yang dialami oleh remaja, yakni remaja mungkin berespon menjadi depresi, mencoba menggunakan obat-obatan atau alkohol, melarikan diri dari rumah.

Dampak kekerasan seksual menurut (Cruise, 2004) a. Kesehatan dan fisik

Penyakit menular seksual, kesulitan untuk berjalan, duduk atau berdiri, nyeri saat berkemih atau infeksi saluran kemih, gangguan tidur (kesulitan tidur atau mimpi buruk), enuresis atau encopresis, perilaku melukai diri sendiri.

b. Perkembangan kognitif dan pencapaian akademik

Perubahan performa secara tiba-tiba, kesulitan konsentrasi. Kliegman dan koleganya (2011) juga menambahkan remaja adalah tahap peralihan dari anak-anak menuju dewasa, respon remaja pada pemerkosaan yang terjadi padanya sesuai dengan elemen antara anak-anak dan remaja, kebanyakan remaja khususnya remaja awal, mungkin mengalami beberapa level dari disorganisasi kognitif.


(32)

c. Perkembangan emosional, psikososial dan perilaku

Frekuensi menyentuh genitalia atau masturbasi, ekspresi seksual yang tidak tepat, perilaku seksual yang agresif dengan menggunakan kekerasan atau ancaman, isolasi sosial, ekspresi ketakutan yang ekstrim, perilaku ketergantungan, tidak mampu bersosialisasi, perilaku menyakiti orang lain, khususnya pada remaja, kesulitan mempercayai orang lain, kejam kepada binatang.

Akibat bagi kesehatan mental

Martin dan koleganya (2004 dalam Mullers dan Dowling, 2008) menjelaskan bahwa dampak personal yang terjadi pada remaja yang mengalami kekerasan seksual adalah 86,2% mengalami stress tingkat tinggi, 73% memiliki fikiran untuk bunuh diri, dan 45% melakukan percobaan bunuh diri. Hal ini menggambarkan bahwa kekerasan seksual sangat erat kaitannya dengan ide bunuh diri, percobaan bunuh diri, dan dengan sengaja melukai diri sendiri. Remaja juga merasakan ketidakberdayaan, remaja perempuan memiliki risiko tinggi untuk mengalami level depresi yang lebih tinggi Ruffolo et al (2004 dalam Muller dan Dowling, 2008). Chen dan koleganya (2004 dalam Mullers dan Dowling, 2008) juga menyatakan bahwa dampak remaja yang mengalami kekerasan seksual adalah penyalahgunaan obat-obatan, pengguna alkohol, dan sangat sedikit ditemukan memiliki perilaku kasar.


(33)

2.5. Faktor Resiko

Faktor resiko untuk kekerasan pada masa anak-anak, yakni anak yang tinggal dengan orang tua tunggal, tinggal di rumah tidak dengan orang tua kandung, sosial ekonomi rendah, dan ras minoritas. Faktor resiko menjadi pelaku kekerasan seksual adalah pernah mengalami kekerasan seksual pada masa anak-anak, gangguan mental, pernah terlibat aktivitas kriminal, status pendidikan rendah (International Rescue Committe, 2012).

2.6. Pelaku kekerasan seksual

Pada setiap negara di dunia akan ada perbedaan karakteristik dari pelaku kekerasan seksual, walaupun secara umum pelaku kekerasan seksual adalah laki-laki. (International Rescue Committe, 2012) menyatakan bahwa pelaku kekerasan seksual bisa berasal dari anggota keluarga (ayah, kakek, saudara kandung, tante, keponakan dan lain-lain). Pelaku juga bisa tetangga, pemimpin agama, guru, pemberi layanan kesehatan atau orang lain yang mungkin kontak langsung dengan anak. Anak juga dapat mengalami kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal, meskipun hal ini sangat jarang. Hal ini menyebabkan anak bisa mengalami kekerasan seksual lebih dari sekali.

2.7. Alasan umum kenapa anak tidak mengungkapkan kekerasan seksual. UNICEF-International Rescue Committee (2012) menjelaskan beberapa hal mengapa anak tidak mengungkapkan kekerasan seksual yang dialaminya.


(34)

a. Takut terhadap konsekuensi

Banyak anak takut menceritakan tentang kejadian kekerasan seksual yang dialaminya karena merasa terancam secara fisik atau karena mereka percaya.

b. Takut ditolak

Anak sering merasa takut bahwa orang dewasa tidak akan mempercayainya. Mereka tahu bahwa orang tua, pemimpin komunitas, pemimpin agama atau orang lain akan menolak tuntutannya dan menolak memberi bantuan.

c. Manipulasi

Pelaku dapat membuat trik atau menyongok anak dengan cara memberikannya hadiah atau uang agar tidak memberi tahu pada orang lain. Tersangka sering membuat anak merasa malu atau membuat anak merasa bersalah tentang kekerasan yang dialaminya. Kadang tersangka akan menyalahkan anak dan mengatakan anak yang mengundang kekerasan itu terjadi.

d. Menyalahkan diri sendiri

Anak percaya bahwa kekerasan seksual tersebut merupakan kesalahannya atau mereka berfikir bahwa dia pantas mendapatkan hal tersebut


(35)

e. Melindungi

Anak mungkin ingin melindungi pelaku dan atau keluarga khususnya jika pelaku mempunyai hubungan yang dekat dengan dirinya atau keluarga anak.

f. Usia

Anak yang lebih muda mungkin tidak menyadari telah mengalami kekerasan seksual. Mereka mungkin merasa tindakan tersebut adalah normal, terutama jika yang melakukan adalah orang yang dikenal atau dipercaya. Anak yang lebih kecil mungkin juga memiliki keterbatasan dalam bicara yang menyebabkan anak tidak memberitahukan kejadian. g. Cacat fisik atau mental

Anak tidak dapat memberitahu tentang kekerasan yang dialaminya karena tidak mampu bicara pada orang atau orang tidak memahami apa yang dikatakannya atau tidak mampu mencapai penyedia jasa layanan.

Anak yang mengalami kekerasan seksual mungkin akan ditolak oleh keluarga dan komunitasnya, mengalami sosial stigma yang ekstrim dan atau kehilanganan kesempatan untuk mendapat pendidikan dan kesempatan untuk bekerja. ( UNICEF-International Rescue Committee, 2012)

2.8. Kebutuhan anak setelah kekerasan seksual

Setelah kejadian kekerasan seksual anak memerlukan beberapa hal yang harus kita perhatikan (UNICEF-International Rescue Committee, 2012)


(36)

a. Kebutuhan psikologis. Anak akan memerlukan dukungan untuk merasa aman dan mempercayai orang dewasa kembali; memahami perasaannya setelah kekerasan seksual, dan untuk membantu membuat koping yang baik untuk tanda post traumatic stress disorder yang muncul (seperti terus mengingat kembali kejadian kekerasan seksual, obsessive thought of abuse dan masalah dengan penghargaan terhadap dirinya sendiri)

b. Kebutuhan sosial. Anak dan keluarga memerlukan bantuan untuk memulihkan dari dampak kekerasan seksual dalam keluarga dan hubungan keluarga, memastikan anak mampu kembali ke sekolah dan memastikan mereka mapu berpartisipasi kembali dalam masyarakat.

c. Rencana perawatan. Anak memerlukan tempat yang aman untuk pemulihan jika kekerasan terjadi di dalam rumah.

d. Kebutuhan hukum/ keadilan. Anak memiliki hak untuk memperoleh keadilan dan membutuhkan dukungan ketika dilakukan investigasi hukum dan ketika anak dan keluarga melakukan penuntutan terhadap kejadian yang telah terjadi.

3. Studi Fenomenologi

Riset fenomenologi didasarkan pada falsafah fenomenologi yang didukung oleh Edmen Husserl. Husserl menyatakan bahwa “makna” merupakan pengalaman pribadi yang dapat dibagikan atau disampaikan kepada orang lain secara objektif dan diambil intinya saja agar orang lain lebih dapat memahami. Seorang fenomenolog memiliki keyakinan bahwa kebenaran utama tentang


(37)

realitas didasarkan pada pengalaman hidup seseorang. Penelitian fenomenologi berusaha untuk memahami respon seluruh manusia terhadap suatu hal atau sejumlah situasi (Polit & Beck, 2012).

Fenomenologi adalah suatu ilmu yang memiliki tujuan untuk menjelaskan fenomena dalam bentuk pengalaman hidup. Penggunaan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi bertujuan untuk memperoleh data yang lebih komprehensif, mendalam, credible dan bermakna. Selain itu, pendekatan fenomenologi ini bertujuan untuk memahami respon seluruh manusia terhadap suatu atau sejumlah peristiwa dan memberikan gambaran terhadap makna sebuah pengalaman yang dialami beberapa individu dalam situasi yang dialami. Pendekatan fenomenologi digunakan ketika sedikit sekali definisi atau konsep terhadap suatu fenomena yang akan diteliti. Fenomenologi berfokus pada apa yang dialami oleh manusia pada beberapa fenomena dan bagaimana mereka menafsirkan pengalaman tersebut. Penelitian dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi tertentu. Tujuan penelitian fenomenologi sepenuhnya adalah untuk menggambarkan pengalaman hidup dan persepsi yang muncul (Polit & Beck, 2012).

Didalam studi fenomenologi, sumber data utama berasal dari perbincangan yang cukup dalam (in-depth interview) antara peneliti dan partisipan dimana peneliti membantu partisipan untuk menggambarkan pengalaman hidupnya tanpa adanya suatu diskusi. Melalui perbincangan yang cukup dalam peneliti berusaha untuk menggali informasi sebanyak mungkin dari partisipan (Polit & Beck, 2012).


(38)

Dalam studi fenomenologi, jumlah partisipan yang terlibat tidaklah banyak. Jumlah partisipan dari penelitian ini adalah 10 orang atau lebih sedikit. Partisipan yang terlibat dalam penelitian akan dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling. Dalam hal ini, partisipan harus memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti (Polit & Beck, 2012).

Hasil penelitian dalam studi fenomenologi diperoleh melalui proses analisis data. Fenomenologist dalam proses analisis data yang terkenal adalah Collaizi, Giorgi dan Van Kaam. Ketiga tokoh tersebut berpedoman pada filosofi Husserl yang mana fokus utamanya adalah mengetahui gambaran sebuah fenomena (Polit & Beck, 2012).

Colaizzi (1978, dalam Polit & Beck 2012) menyatakan bahwa ada tujuh langkah yang harus dilalui untuk menganalisa data. Proses analisa tersebut meliputi (a) membaca semua transkrip wawancara untuk mendapatkan perasaan mereka; (b) meninjau setiap transkrip dan menarik pernyataan yang signifikan; (c) menguraikan arti dari setiap pernyataan yang signifikan; (d) mengelompokkan makna-makna tersebut kedalam kelompok-kelompok tema; (e) mengintegrasikan hasil kedalam bentuk deskripsi; (f) memformulasikan deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai identifikasi pernyataan setegas mungkin; (g) memvalidasi apa yang telah ditemukan kepada partisipan sebagai tahap validasi akhir .

Menurut Lincoln & Guba (1985, dalam Polit & Beck 2012) untuk memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya (trustworthiness) maka data divalidasi dengan beberapa kriteria, yaitu:


(39)

1. Credibility merupakan kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan. Artinya, hasil penelitian harus dapat dipercaya oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informan. Credibility termasuk validitas internal. Cara memperoleh tingkat kepercayaan yaitu perpanjangan kehadiran peneliti/pengamat (prolonged engagement), ketekunan pengamatan (persistent observation), triangulasi (triangulation), diskusi teman sejawat (peer debriefing), analisis kasus negatif (negative case analysis), pengecekan atas kecukupan referensial (referencial adequacy checks), dan pengecekan anggota (member checking).

2. Transferability adalah kriteria yang digunakan untuk memenuhi bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam konteks tertentu dapat ditransfer ke subyek lain yang memiliki topologi yang sama. Transferability termasuk dalam validitas eksternal. Maksudnya adalah dimana hasil suatu penelitian dapat diaplikasikan dalam situasi lain.

3. Dependability mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan

data, membentuk dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan. Kriteria ini dapat digunakan untuk menilai apakah proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak. Teknik terbaik adalah dependability audit yaitu meminta dependen atau independen auditor untuk memeriksa aktifitas peneliti. Dependability menurut istilah konvensional disebut reliabilitas atau syarat bagi validitas.

4. Confirmability memfokuskan apakah hasil penelitian dapat dibuktikan


(40)

dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif. Confirmability merupakan kriteria untuk menilai kualitas hasil penelitian.


(41)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan penelitian kualitatif dengan desain fenomenologi. Fenomenologi adalah suatu penelitian yang pendekatannya tentang pengalaman hidup seseorang, fokus dari fenomenologi adalah apa yang seseorang alami dan bagaimana mereka menginterpretasikan pengalaman tersebut. Fenomenologi beranggapan bahwa pengalaman seseorang itu sangat bermakna dan menarik ( Polit & Beck, 2004). Sehingga dengan pendekatan fenomenologi ini peneliti dapat memperoleh pemahaman yang mendalam tentang pengalaman remaja putri korban kekerasan seksual di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan.

2. Partisipan

Partisipan pada penelitian ini dipilih menggunakan metode purposive sampling yaitu metode pemilihan partisipan dalam suatu penelitian dengan menentukan terlebih dahulu kriteria yang akan dimasukkan dalam penelitian(Polit & Beck, 2012). Jumlah partisipan pada penelitian ini berjumlah tiga orang. Penelitian ini hanya menggunakan partisipan sebanyak tiga orang dikarenakan sulitnya korban kekerasan seksual yang bersedia menjadi partisipan penelitian ini, keterbatasan waktu dikarenakan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membina hubungan saling percaya dan kesulitan mendapatkan partisipan yakni


(42)

dikarenakan peneliti menggunakan partisipan yang baru mengalami kekerasan seksual bukan korban yang sudah lama dan sudah diterapi karena dikhawatirkan akan membuat trauma berulang kepada anak sehingga anak yang baru saja mengalami kekerasan seksual masih sangat trauma dan akhirnya menjadi sangat sulit untuk menggali informasi dari anak.

Adapun kriteria partisipan yang akan dipilih adalah sebagai berikut : 1. Anak perempuan usia remaja yang pernah mengalami kekerasan seksual

yang ditangani oleh PKPA.

2. Orang yang telah dibagai pengalaman oleh korban kekerasan seksual. 3. Bersedia menjadi responden (partisipan) yang dinyatakan secara verbal

atau dengan menandatangani surat perjanjian penelitian 4. Komunikatif

3. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan, dan rumah partisipan. Alasan peneliti memilih lokasi tersebut karena (1) anak-anak korban kekerasan bahkan kekerasan seksual banyak yang melapor dan ditangani oleh PKPA (2) sesuai dengan fungsi PKPA sendiri selain untuk melakukan perlindungan juga melakukan pengkajian pada anak (3) Anak yang ditangani PKPA cenderung lebih stabil karena sudah mendapatkan bantuan terapi dari PKPA Medan (4) di rumah korban agar lebih mudah buat anak dan lebih


(43)

partisipan, di PKPA atau lokasi lain yang nyaman dan disetujui partisipan dan keluarga (taman bunga Siantar dan taman Psikologi USU)

3.2 Waktu Penelitian

Pengumpulan data dilakukan dari Februari 2015 sampai Juni 2015, yaitu mulai prolonged engagement, pengumpulan data sampai selesai pengumpulan data.

4. Pertimbangan Etik

Penelitian dilakukan setelah mandapatkan rekomendasi dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Dalam penelitian ini, telah diperoleh ethical clearance oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Setelah memperoleh persetujuan, selanjutnya peneliti mencari partisipan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Setelah terbina hubungan saling percaya antara peneliti dan partisipan, peneliti menjelaskan tujuan dari penelitian dan memberikan inform concern. Jika partisipan setuju maka partisipan akan menandatangani lembar persetujuan, namun jika partisipan tidak setuju, partisipan berhak untuk mengundurkan diri karena dalam penelitian ini partisipan bersifat sukarela dan tidak dipaksa. Peneliti juga tidak akan mencantumkan nama partisipan (anonymity). Selain itu, identitias partisipan juga akan dirahasiakan (confidentiality), hanya informasi yang diperlukan saja yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.


(44)

5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua bagian. Instrumen ini dibuat sendiri oleh peneliti yang akan divalidasi oleh salah satu dosen Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Pertama merupakan Kuesioner Data Demografi (KDD), (Lihat lampiran 3), yang berisi pernyataan mengenai data umum partisipan pada lembar pengumpulan data (kuesioner) berupa usia, agama, suku bangsa, tinggal dengan, anak ke- dari-, pendidikan terakhir, pelaku kekerasan dan jumlah pelaku. Kedua merupakan panduan wawancara berisi pertanyaan yang diajukan seputar pengalaman anak perempuan korban kekerasan seksual di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan.

6. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah mendapatkan izin dari bagian pendidikan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan memperoleh ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan, Fakultas Keperawatan Sumatera Utara, kemudian peneliti meminta izin PKPA Medan untuk melakukan penelitian. Selanjutnya peneliti melakukan pilot study. Pilot study dilakukan dengan cara mewawancarai seorang psikolog pendamping anak korban kekerasan seksual.

Selanjutnya peneliti melakukan pendekatan dengan teknik prolonged engagement kepada partisipan dengan pertemuan 1-2 kali yang bertujuan untuk menumbuhkan hubungan saling percaya dan agar partisipan merasa nyaman, lebih


(45)

akrab dan mempercayai peneliti sehingga dapat menceritakan pengalamannya dengan leluasa. Setelah partisipan dan peneliti akrab dan partisipan sudah nyaman dengan peneliti maka peneliti mulai bertanya kepada partisipan tentang data demografi partisipan kemudian peneliti melakukan wawancara mendalam atau in-depth interview kepada partisipan, kemudian peneliti melakukan wawancara mendalam atau in-dept interview. In depth interview adalah salah satu cara pengumpulan data melalui percakapan dan proses tanya jawab antara peneliti dengan partisipan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektifitas yang dipahami oleh individu (Polit & Beck, 2012). Pada metode ini peneliti dan partisipan bertemu secara langsung untuk mendapatkan informasi secara jelas dengan tujuan mendapatkan data yang dapat menjelaskan permasalahan penelitian.

Dalam penelitian ini peneliti melakukan pengumpulan data dimulai dengan mendapat izin dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara setelah itu peneliti mendaftar di PKPA dan diberikan sejumlah nama anak korban kekerasan seksual, jika ada kronologis maka peneliti mempelajari kronologi kasus anak terlebih dahulu dalam hal ini 2 partisipan memiliki kronologis dan 1 partisipan peneliti memulai semuanya dari awal. Sebelum bertemu anak partisipan harus bertemu terlebih dahulu dengan psikolog pendamping anak dalam hal ini 2 partisipan dan 1 partisipan tanpa psikolog, setelah bertemu dengan psikolog maka peneliti mulai prolonged engagement dengan partisipan. Prolonged engagement yang dilakukan kepada masing-masing partisipan berbeda-beda yakni 2-3 kali


(46)

pertemuan. Setelah terbina hubungan saling percaya peneliti mulai melakukan wawancara kepada partisipan.

Wawancara dilakukan sekitar 60 menit. Pada penelitian ini 1 partisipan dilakukan satu kali wawancara, 1 partisipan selama 2-4 kali pertemuan dan partisipan menjawab pertanyaan yang terdapat pada lembar kuesioner data demografi sesuai dengan petunjuk masing-masing bagian. Setelah itu, peneliti memulai melakukan wawancara dan merekam hasil wawancara dengan menggunakan alat perekam.

Langkah selanjutnya adalah peneliti membuat transkrip hasil wawancara setiap setelah melakukan wawancara, dan jika ada hal-hal yang kurang jelas akan dilakukan wawancara ulang pada pertemuan selanjutnya. Kemudian peneliti menganalisa data yang ditemukan dan mengelompokkan data lalu menguraikan data ke dalam bentuk narasi dari semua tema, kelompok tema, dan kategori tema. Setelah itu, peneliti membahas hasil penelitian sesuai dengan analisa data yang telah dilakukan. Pengumpulan data ini dilakukan pada tiga partisipan.

7. Analisa Data

Analisa data kualitatif merupakan kegiatan yang aktif dan interaktif khususnya dalam menginterpretasikan data. Peneliti kualitatif harus membaca data yang masih berbentuk narasi berulang-ulang untuk menemukan makna dan pemahaman yang dalam Morse dan Field (1995, dalam Polit & Beck 2004). Proses analisis data dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data. Setiap selesai wawancara peneliti langsung membuat transkrip hasil wawancara


(47)

dilengkapi dengan catatan lapangan, kemudian transkrip tersebut dibaca berulangkali.

Peneliti akan menggunakan metode Collaizi 1978 (Polit & Beck, 2004) yang meliputi:

1. Membaca semua transkrip wawancara untuk mendapatkan perasaan mereka. Dalam hal ini peneliti membaca dan mendengar hasil rekaman untuk mengingat ekspresi dan perasaan partisipan atas setiap jawabannya. 2. Meninjau setiap transkrip dan menarik pernyataan yang signifikan. Pada

tahap ini peneliti membaca dan menandai mana yang menjadi pernyataan significant dari pengalaman remaja putri korban kekerasan seksual.

3. Menguraikan arti dari setiap pernyataan yang signifikan. Pada tahap ini peneliti mengambil makna dar setiap penyataan signifikan.

4. Mengelompokkan makna-makna tersebut ke dalam kelompok-kelompok tema. Pada tahap ini makna yang sudah didapat sebelunya dikelompokkan pada tema yang sama.

5. Mengintegrasikan hasil ke dalam bentuk deskripsi lengkap . pada tahap ini di integrasikan dalam bentuk sub tema dan tema.

6. Memformulasikan deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai identifikas pernyataan setegas mungkin.

7. Memvalidasi apa yang telah ditentukan kepada partisipan sebagai tahap validasi akhir. Pada tahap ini sebanyak dua partisipan divalidasi kembali mengenai hasil yang sudah didapatkan oleh peneliti.


(48)

8. Tingkat Kepercayaan Data

Untuk memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya maka data divalidasi dengan beberapa kriteria, yaitu credibility, transferability, dependability, dan confirmability (Lincoln & Guba, 1985). Kredibilitas pada tahap ini peneliti akan mempertahankan nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan melalui teknik prolonged engagement yaitu mengadakan pertemuan dengan partisipan 1-2 kali pertemuan, dan 2-3 kali pertemuan berikutnya untuk melakukan wawancara sehingga antara peneliti dan partisipan memiliki keterkaitan yang lama sehingga akan semakin akrab, semakin terbuka, dan saling mempercayai. Dengan demikian, informasi yang akan diperoleh akan lebih lengkap. Peneliti juga akan melakukan member checking yaitu melakukan pengecekan data yang peneliti peroleh kepada partisipan. Selain prolonged engagement dan member checking peneliti juga akan melakukan triangulation, yaitu pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data, dalam penelitian ini peneliti menggunakan orang tua partisipan 1 dan 3 sebagai triangulation.

Confirmability pada penelitian ini dilakukan dengan memeriksa seluruh transkrip wawancara dan tabel analisis tema kepada ahli di kualitatif. Dalam penelitian ini confirmability dilakukan dengan berkonsultasi dengan pakar kualitatif yang merupakan staff pengajar Psikologi Universitas Sumatera Utara/ Kemudian peneliti menentukan tema dari hasil penelitian dalam bentuk matriks tema.


(49)

Dependability merupakan kriteria yang digunakan untuk menilai kualitas dari proses yang peneliti lakukan. Dalam penelitian ini, beberapa catatan yang dapat digunakan untuk menilai kualitas dari proses penelitian adalah data mentah yang diperoleh melalui pengumpulan transkrip-transkrip wawancara, hasil analisa data, membuat koding-koding (pengkodean), dan draft hasil laporan penelitian untuk menunjukkan adanya kesimpulan yang ditarik pada akhir penelitian.


(50)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil

Pada bagian ini akan menjelaskan penelitian yang telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tentang pengalaman remaja putri korban kekerasan seksual. Hasil ini memunculkan empattema yang didapatkan dari analisa wawancara partisipan. Data yang dipaparkan merupakan hasil wawancara dan hasil field note.

1.1.Karakteristik Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 3 orang, yakni 2 orang remaja putri korban kekerasan seksual dan 1 orang psikolog pendamping korban. Psikolog pendamping menjawab pertanyaan pewawancara berdasarkan kasus dan keadaan yang dialami oleh anak yang ditangani oleh psikolog. Usia remaja putri korban kekerasan seksual berkisar 12-17 tahun. Ketiga remaja berstatus pelajar. Remaja tersebut satu orang beragama Islam dan dua orang beragama Kristen Protestan. Satu remaja bersuku Nias, satu bersuku Batak Toba dan satu merupakan Batak Mandailing. Ketiga remaja mengalami kekerasan seksual oleh orang yang mereka kenal dan kekerasan yang dialami lebih dari 1 kali. Ketiga remaja tinggal dengan orang tua. Data demografi remaja dapat dilihat pada tabel 4.1.


(51)

Tabel 4.1 Karakteeristik Partisipan

Kategori P1 P2 P3

Usia

(tahun) 14 12 17

Agama Kristen Protestan Kristen Protestan Islam

Suku Nias Batak Toba Batak Mandailing

Tinggal

dengan Orang tua Orang tua Orang tua

Anak

ke-dari 1 dari 4 1 dari 4 5 dari 6

Pendidikan

terakhir SD SD SMP

Pelaku

kekerasan Pacar Tetangga Teman

Jumlah

pelaku 2 1 1

1.2 Hasil Wawancara

Tema yang teridentifikasi dari hasil wawancara sebanyak empat tema yang memperlihatkan berbagai pengalaman remaja putri korban kekerasan seksual. Kelima tema tersebut adalah kronologis kekerasan seksual, faktor risiko kekerasan seksual, dampak kekerasan seksual, pemulihan kekerasan seksual.

2. Pengalaman remaja putri korban kekerasan seksual di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan.

1. Kronologi kekerasan seksual.

Wawancara yang telah dilakukan kepada masing-masing remaja korban kekerasan seksual dan juga psikolog pendamping maka diperoleh hasil kekerasan seksual yang dialami korban tersebut adalah pelaku kekerasan seksual, cara mendekati korban, jenis kekerasan seksual,


(52)

pengungkapan kekerasan seksual, alasan korban tidak melaporkan kekerasan seksual.

a. Pelaku kekerasan seksual

Remaja putri korban kekerasan seksual yang menjadi partisipan penelitian ini mengenal pelaku. Pelaku kekerasan seksual merupakan orang yang dikenal bahkan dekat dengan partisipan. Hasil wawancara ke tiga partisipan menyatakan bahwa korban mengenal pelaku kekerasan seksual yakni pacar, tetangga dan teman dari korban.

1. Pacar

Hasil penelitian mendapatkan pelaku kekerasan seksual pada partisipan pertama adalah pacar korban.

“Pertama itu kan si sp itu pacaran dengan si Joe” (Partisipan 1, Line 3)

2. Tetangga

Hasil penelitian menunjukkan pelaku kekerasan seksual merupakan orang yang sangat dekat dengan korban yakni tetangga korban.

“ternyata si pelaku itu adalah orang tua kan itu memang tetangganya kan, orang tua dari salah satu murid yang

sekolahnya sama dengan dia cuma beda kelas”


(53)

3. Teman

Wawancara pada partisipan ketiga mendapatkan hasil bahwa pelaku kekerasan seksual merupakan teman korban.

“Udah 4 bulan apa 3 bulan gitu lah kenal di HP sebelum jumpa itu.”

(Partisipan 3, Line 31) b. Cara mendekati korban

Hasil penelitian ketiga korban pada penelitian ini mengatakan pada awalnya tidak tahu atau berfikiran bahwa pelaku akan melakukan kekerasan seksual pada diri korban. Pelaku kekerasan seksual pada penelitian ini mengatakan bahwa pelaku mendekati dengan cara mengajak untuk bertemu orang tua pelaku, mengulur waktu pulang dan menolong korban.

1. Mengajak untuk bertemu dengan orang tua pelaku.

Pada penelitian ini partisipan menceritakan bagaimana kekerasan seksual terjadi pada korban dan hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaku pada partisipan pertama yang merupakan pacar korban mengajak ke rumah pelaku untuk bertemu orang tua pelaku.

“pada tanggal 10 Oktober 2014 disitu dia mengajak aku kerumah orang tuanya, tapi aku nanyak sama dia”ngapain kita ke rumahmu?”, dia malah menjawab “Cuma main -main aja dek”, terus aku bilang sama dia “oh, emang orang tua abang ada dirumah?” katanya “ya adalah dek”.


(54)

Disitu kami pergi ke rumah orang tuanya, tapi waktu kami

sampai dirumahnya, rumahnya malah sepi”

(Partisipan 1, Line 223-230)

2. Mengulur waktu pulang

Salah satu korban lainnya dilakukan kekerasan seksual karena pelaku menggunakan satu cara untuk mendekati korban adalah dengan cara pelaku mengulur-ulur waktu agar korban lama pulang dan akhirnya korban tidak berani untuk pulang.

“Udah gitu dia bilang gini ayoklah minum dulu, ngapa-ngapain waktu dia. Terus E bilang udah sore loh udah setengah 3 ga biasa jam segini pulang. Jadi kan di bilangnya bentar aja, jadi kan udah minumlah kami kan. Udah ya pulang ku bilang, nantilah katanya minuman kita aja belum habis. Itu dia itu mesan mie lagi dianya mau ngulur-ngulur waktu.”

(Partisipan 3, Line 180-188)

3. Menolong

Pelaku pada partisipan ketiga awalnya ingin menolong korban dari teman pelaku yang ingin menjual korban ke tempat prostitusi dan akhirnya membawa korban pergi.

“Temannya aja jahat, temannya aja mau jual E. Si andrenya itu Dia ngajak ngomong-ngomong gitu, udah gitu pas tanggal 7 itu dialah nyuruh2 gitu. Katanya lima juta loh dek mau napa, daripada ga makan kita. Ahh ga mau lah aku kayak gitu2 ku bilang. E bilang ga mau ga mau


(55)

datang si beny nya itulah ayoklah kita pergi aja dari pada sama si andrenya jadi maulah E.”

(Partisipan 3, Line 233-261)

c. Jenis kekerasan seksual

Kekerasaan yang dialami remaja yang menjadi partisipan berupa kekerasan dengan sentuhan yaitu oral seks dan hubungan seksual. Dua remaja mengatakan dalam melakukan hubungan seksual pelaku memaksa korban untuk melakukan hubungan seksual.

1. Intercouse

Remaja yang menjadi partisipan pada penelitian ini mengatakan bahwa kekerasn seksual yang dialaminya adalah kekerasan seksual dengan penetrasi atau intercouse.

“Setelah itu dia berusaha untuk membuka semua pakaian aku, tapi aku berusaha untuk melepaskan tangannya dari pakaian aku. Tapi dia terus saja memaksa-maksa untuk membuka seluruh pakaian aku, karena dia telah membuka seluruh pakaian aku, disitulah dia telah mensetubuhi aku, disitu aku tidak bisa melakukan apa-apa aku tidak bisa meminta bantuan kepada orang karena rumah itu sepi”

(Partisipan 1, Line 248-254)

“Kawannya udah tidur aku dibanguni. Padahal E udah tidur baik-baiknya disitu tapi dibangunkannya. Udah E dorongnya dia, E bilang aku ga mau, aku ga ma kayak gini”


(56)

2. Oral seksual

Kekerasan seksual yang dialami korban bukan hanya intercourse tetapi juga oral seks. Partisipan pertama selain mengalami kekerasan seksual dengan intercourse juga mengalami kekerasan seksual oral seks oleh pelaku kedua.

“Tapi dia tidak melakukan hal itu lagi karena aku lagi ada halangan jadi dia hanya melampiaskan nafsunya ke leher dan sampai payudaraku.”

(Partisipan 1, Line 315-317)

Kekerasan seksual yang dialami oleh remaja bukan hanya terjadi satu kali, satu partisipan mengalami kekerasan seksual sebanyak dua kali sementara dua partisipan lainnya mengalami kekerasan seksual berulang-ulang.

“setelah itu beberapa kali mereka melakukan hubungan seksual eeee tapi si sp ini ga pernah ini ga pernah menolak tetap melakukannya”

(Partisipan 1, Line 9-10)

“Jadi waktu kejadian pertama dia tidak bilang, nah karena dia tidak bilang dan tidak ketahuan akhirnya kan si pelaku untuk kedua kalinya malah menjemput ke rumah...”

(Partisipan 2, Line 20-22)

“Iya setiap malam itu lah di datanginnya. Itu kan E kamar sendiri dikasih...”


(57)

d. Pengungkapan kekerasan seksual

Kekerasan seksual yang dialami remaja yang menjadi partisipan tidak diungkapkan secara langsung oleh korban, dua dari tiga korban kasusnya dapat terungkap karena perhatian dari orang sekitar yang melihat perubahan dari korban sehingga melaporkannya, sementara satu korban lainnya kekerasan seksual diungkapkan oleh pelaku sendiri dikarenakan kondisi pelaku telah membawa korban pergi dari rumah lebih dari 20 hari.

1. Orang lain.

Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa pengungkapan kekerasan seksual pada dua partisipan dilakukan oleh orang lain yang melihat perubahan pada korban.

“Sehingga bekas ciumannya itu tertinggal di leherku dan itu menjadi ketahuan sama guru les dan orang tua aku. Sehingga guru les menyampaikan permasalahan ini kepada komisi perlindungan anak ”

(Partisipan 1, Line 318-321)

“setelah kejadian kedua kali sebenarnya dia masih berusaha untuk bungkam tapi kan ketahuannya ketika memang dia buang air kecil dan merasa sakit dan kemudian yang kebetulan buang air besar bersama adiknya dan dari anusnya keluar darah, jadi yang ngasih tau itu adiknya.”


(58)

e. Alasan korban tidak melaporkan kekerasan seksual

Dua dari tiga korban menggungkapkan alasan mengapa tidak mengungkapkan kekerasan seksual yang dialami.

1. Ancaman

Hasil wawancara pada partisipan mendaptkan bahwa partisipan tidak melaporkan kekerasan seksual karena ancaman yang diberikan oleh pelaku.

“tapi karena dia diancam akan dibunuh dan ibunya

diancam akan dipukuli jadi dia tidak berani

mengatakannya.”

(Partisipan 2, Line 18-20)

2. Memberikan uang

Dua partisipan menyebutkan bahwa pelaku memberikan uang kepada partisipan setelah kejadian kekerasan seksual tersebut.

“si Kana setelah dari warnet dia ngasih duit ke sp. Lima ribu, untuk ongkos si sp pulang, si Kana ngasih 5.000 dan aku pulang.”

(Partisipan 1, Line 35)

“kejadian lagi dan dikasih uang 10 ribu dan 5 ribu untuk adeknya”


(59)

3. Dijanjikan akan menikah

Partisipan pada penelitian ini mengatakan bahwa alasan tidak melapor karena akan dinikahi oleh pelaku sehingga korban tidak mau melaporkan kekerasan seksual yang dialami oleh korban.

“Udah gitu kan pas besoknya mau apa, kayak udah mau dinikahkan gitu sama si beny. Udah dibelikan kebaya, sepatu, si beny nya pun udah beli jas soalnya si beny nya kan kristen.”

(Partisipan 3, Line 8-340)

Dia cuma bilang waktu pertama kali kejadian itu gini “aku sayang kali sama adek, aku ingin hubungan kita ini sampai adek tamat”

(Partisipan 1, Line 380-381)

2. Faktor resiko

Remaja putri korban kekerasan seksual yang menjadi partisipan penelitian ini sehari-hari tinggal dengan orang tua. Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan beberapa hal mengenai keluarga yang muncul ketika melakukan penelitian yakni pola asuh dan status sosial ekonomi. Hal ini menjadikan anak akan memiliki risiko lebih tinggi mengalami kekerasan seksual.

a. Pola Asuh

Hasil penelitian menunjukkan dua dari tiga partisipan menampilkan pola asuh orang tua. Pada bagian pola asuh data yang


(60)

didapatkan adalah orang tua yang memenuhi semua permintaan korban (permisif), pola asuh otoriter.

1. Permisif

Hasil penelitian menunjukkan orang tua dari dua partisipan selalu memenuhi permintaan korban bahkan sebelum kejadian kekerasan seksual yang dialami oleh korban.

“Nah mamanya kan semua apa yang dimintanya dikasih, bapak dan mamanya”

(Partisipan 1, Line 57-58)

Hasil penelitian satu partisipan menunjukkan bahwa orang tuanya kurang memberi perhatian kepada partisipan, hal yang sama juga dikatakan oleh ibu korban bahwa ia sibuk sekali terkadang pulang hingga pukul sepuluh malam dikarenakan kesibukan pekerjaan.

“Dia sama keluarganya emang kurang dekat sih karena orang tuanya kerja dari pagi sampai sore, setelah kejadian ini baru diperhatikan banget”

(Partisipan 1, Line 157-159)

2. Otoriter

Hasil penelitian menunjukkan satu keluarga partisipan menggunakan sikap otoriter dalam mendidik korban, sikap otoriter yang ditunjukkan kadang menggunakan hukuman fisik.


(61)

“Kalau dulu yah kadang tali pinggang kalau ga pakai bambu itu lah”

(Partisipan 1, Line 608)

“waktu malam tahun baru itu kan mau pergi sama kawan -kawan sama kakak kelas terus dibolehin terus pas udah mau pergi ga dikasih jadinya”

(Partisipan 3, Line 109-110)

“terus siap itu kata ayah. “jangan, sempat kau pergi ayah tampar kau”

(Partisipan 3, Line 114-115)

Dari hasil penelitian juga tampak bahwa orang tua menunjukkan sikap overcontrolling atau sikap orang tua yang terlalu mengontrol anak. Satu partisipan menunjukkan bahwa orang tuanya bersikap terlalu mengontrolnya bahkan ibu partisipan tersebut juga mengatakan jika setiap hari ia akan datang ke sekolah pukul 10.00 dan menunggu anaknya di gerbang sekolah sampai pulang, bahkan ibu partisipan tidak akan membiarkan anaknya keluar sendiri walaupun hanya ke simpang rumah.

“Biasanya kan kalau lama pulang dimarahi”


(62)

Hal lain yang menjadi faktor risiko adalah status sosial ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua partisipan berasal dari keluarga dengan ekonomi rendah, hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh satu korban yang ayahnya merupakan supir becak dan ibunya buruh cuci di rumah orang lain dan dari pengungkapan orang tua partisipan lainnya bahwa orang tua sehari-hari bekerja sebagai buruh pengupas ikan teri dimana mengupas 1 kantong ikan teri (15 kg) mendapatkan 30 ribu, sedang ayah buruh angkut di pasar dan peneliti melihat kondisi rumah yang cukup kecil untuk menampung 7 orang di dalam rumah.

“bapaknya tukang becak.”

(Partisipan 1, Line 69)

3. Dampak kekerasan seksual a. Dampak fisik

Kekerasan seksual yang dialami oleh remaja yang menjadi partisipan pada penelitian ini mengungkapkan adanya luka fisik yang ditimbulkan langsung karena stimulasi di organ seksual maupun dampak fisik yang ada setelah kejadian kekerasan seksual terjadi. Pada bagian ini akan dijelaskan secara terpisah dampak fisik yang diakibatkan oleh kekerasan seksual secara langsung dan dampak fisik setelahnya. Satu partisipan mengalami dampak fisik


(63)

akibat langsung dari kekerasan seksual sementara dua partisipan lain tidak ada mengeluhkan hal tersebut.

“luka pada organ intimnya dan sakit kan pas dia buang air kecil”

(Partisipan 2, Line 46)

Selain dampak fisik secara langsung yang dirasakan oleh korban ada juga masalah fisik tidak langsung yang dirasakan korban. Dua dari tiga partisipan mengalami masalah pada berat badan salah satu kelebihan dan yang lain mengalami kenaikan berat badan. Menurut orang tua partisipan 3 saat menemui korban sudah kurus dan setelah pulang nafsu makannya akhirnya berat badan korban naik secara drastis. Masalah penurunan berat badan ini bisa dihubungkan dengan masalah makan yang dialami korban setelah kejadian.

“Iya dari 48kg-44kg karena sakit itu”

(Partisipan 1, Line 538)

Pusing atau sakit kepala yang dirasakan korban diakibatkan karena kesulitan tidur yang dialami korban.

“Kadang suka pusing kepala”


(64)

Masalah gastrointestinal atau sakit maag yang diderita korban lebih disebabkan oleh masalah makan yang sudah dialami korban.

“Sakit maag kata bidan yang dekat rumah.”

(Partisipan 1, Line 515)

Dua partisipan mengalami dampak fisik berupa demam. Demam yang dialami oleh salah satu korban yakni ketika ditanyai kejadian yang dialami jadi hal tersebut berhubungan dengan kecemasan dan stres yang dialami korban.

“Kena dingin dikit aja kan langsung demam.”

(Partisipan 1, Line 628)

“kemudian keringat dingin apalagi kalau ditanya tentang kronologisnya kalau ditanya dia pasti diam terus tangan sama kakinya dingin, pusing kepalanya dan besoknya biasanya demam”


(65)

Korban juga mengeluhkan sering sakit, hal ini disebabkan oleh kumpulan sympthom yang dialami korban setelah kekerasan seksual yang dialaminya.

“Terus aku sering sakit kan sekarang makin sulitlah aku disekolah”

(Partisipan 1, Line 512-513)

b. Dampak psikologis

Dampak yang dirasakan korban bukan hanya dampak fisik tetapi juga dampak psikologis. Hasil wawancara menemukan beberapa dampak psikologis yang ditunjukkan oleh remaja putri yakni ketakutan, melamun, sedih, menangis, murung, masalah tidur, mimpi buruk, tidak mau menceritakan yang terjadi, selalu mengingat kejadian, cemas, ingin kembali pada pelaku, tidak mau bertemu orang.

1. Ketakutan

Dampak psikologis korban kekerasan seksual salah satunya adalah ketakutan. Ketiga korban yang menjadi partisipan ketiganya menyatakan mengalami ketakutan setelah kekerasan seksual yang dialaminya. Ketakuan yang dialami korban bervariasi tergantung individu sendiri tetapi ketiga korban menyebutkan takut akan pelaku bahkan takut


(66)

akan bayang-bayang pelaku. Hasil catatan field note ketiga korban mengalami ketakutan dengan orang yang baru dikenalnya dalam hal ini adalah peneliti.

“Aku takut kali kalau dia keluar dari penjara dia jadi ngejar-ngejar aku.”

(Partisipan 1, Line 375-376)

“Waktu dari kejadian pertama dia itu masih merasanya takut, takut ketahuan mamaknya takut kalau ketemu si pelaku.”

(Partisipan 2, Line 44-45)

“Ditanyanya kau pilih kami atau pilih mamamu? Yah ketakutan gitulah, udah gitu kalau sendirian ga berani kayak ngerasa dibelakang ada yang ngikuti makanya mama ga pernah ninggalin sendiri”

(Partisipan 3, Line 461-463)

2. Kecemasan

Dampak psikologis korban kekerasan seksual salah satunya adalah kecemasan. Psikolog partisipan 2 mengatakan korban sering terlihat cemas, sementara di dua partisipan lainnya hal tersebut tidak ditemukan.

“dia mengalami kecemasan”


(67)

3. Mimpi buruk

Dampak psikologis korban kekerasan seksual salah satunya adalah mimpi buruk. Mimpi buruk juga disebabkan karena korban cemas, cemas jika pelaku datang dan juga ketakutan. Dua partisipan mengalami mimpi buruk, mimpi buruk yang dialami korban membuat korban menjadi ketakutan. Mimpi buruk waktunya bervariasi ada 1 kali bahkan sampai 4 hari berturut-turut.

“Aku pun pernah mimpi buruk sekali karena terus -terusan datang aja mamanya ke rumahku bagusan di berhentikan lah ku bilang sama mama jadi udahlah di hentikan mama.”

(Partisipan 1, Line 371-373)

“Yah tidur, duduk, diam aja gitu terus, mimpi buruk” (Partisipan 3, Line 452)

“mimpi dia udah berapa lama gitu udah menghilang dia kan udah biasa aja kan E kan, udah biasa aja udah ngomong2 rupanya balik lagi kan kayak gitu”

(Partisipan 3, Line 457-459)

4. Masalah tidur

Dampak psikologis korban kekerasan seksual salah satunya adalah masalah tidur. Masalah tidur ini juga disebabkan karena mimpi buruk yang dialami korban sehingga korban mengalami kesulitan tidur. Ketiga korban


(68)

mengalami masalah tidur yakni susah memulai tidur dan sulit mempertahankan tidur. Kesulitan tidur yang dialami korban juga mengganggu kegiatannya di sekolah

“Yah kadang kalau udah siap pr aku susah tidur terus kadang suka baca buku, ku cari buku yang bisa ku baca”

(Partisipan 1, Line 551-552)

“Nah kemudian setelah ketahuan kan ancamannya kalau dikasih tau siapa nanti dia akan dibunuh, karena itu sudah ketahuan dan dilaporkan ke polisi, si pelaku di tangkap nah dampaknya bertambah lagi jadi ga hanya merasa takut bertambah jadi dia sulit tidur iya”

dia sulit tidur kalau tidur itu dia suka tersentak, gampang bangun”

(Partisipan 2, Line 58-63)

5. Selalu mengingat kejadian

Dampak psikologis korban kekerasan seksual salah satunya adalah selalu mengingat kejadian kekerasan seksual yang dialaminya atau selalu mengingat pelaku kekerasan seksual.

“sering melamun, kemudian diajak ngomong sering gak nyambung, karena dia sering melamun kan teringat peristiwa itu”


(69)

“pas pertama kali pulang terus terus ingat dia gitu ga bisa dilupakan”

(Partisipan 3, Line 456-457)

6. Tidak mau menceritakan yang terjadi

Dampak psikologis korban kekerasan seksual salah satunya adalah tidak mau menceritakan yang terjadi. Dua orang psikolog yang merupakan psikolog partisipan 1 dan 2 menyebutkan bahwa korban tidak mau menceritakan apa yang telah terjadi sementara partisipan ke tiga memang sangat sulit bercerita ketika peneliti bertanya mengenai kejadian yang dialaminya. Sangat sulit bagi korban menceritakan kejadian yang dialaminya.

“dia gak mau bicara apa yang terjadi”

(Partisipan 1, Line 115-116)

“dia memang tidak akan cerita karena kalau dia cerita dia itu flashback dan ingat lagi kejadian traumatisnya itu, jadi dia ga mau menceritakan”

(Partisipan 2, Line 31-33)

7. Memiliki fikiran untuk bersama pelaku

Dampak psikologis korban kekerasan seksual salah satunya memiliki fikiran unuk bersama pelaku. Satu partisipan memiliki perasaan untuk bersama pelaku


(70)

dikarenakan pelaku mengatakan akan bertanggung jawab dan akan menikahinya. Partisipan juga berfikir bahwa karena sudah melakukan hubungan seksual dengan pelaku akhirnya korban mencintai pelaku.

“Soalnya pas udah dibawa pulang mama kan masih apa masih kayak orang linglung gitu masih mau sama dia sama dia”

(Partisipan 3, Line 389-391)

“Itu pas pulang dari rumah beny yah itu perasaan asik mau ke beny beny aja terus gitu ajalah terus.”

(Partisipan 3, Line 426-427)

8. Melamun

Dampak psikologis korban kekerasan seksual salah satunya adalah melamun. Dua partisipan menyatakan bahwa sering melamun, bahkan orang tua dari partisipan pertama juga menyatakan hal yang sama. Hasil field note partisipan ketiga kadang terlihat melamun saat sedang bersama peneliti.

Sering melamun lah aku, diam-diam aja.”

(Partisipan 1, Line 488)

“Yah tidur, duduk, diam aja gitu terus, mimpi buruk” (Partisipan 3, Line 452)


(1)

108

Lampiran 10

TAKSASI DANA PENELITIAN

1. Proposal

Penelurusan literatur dari internet Rp 100.000,- Pencetakan literatur dari internet Rp 50.000,-

Beli buku Rp 100.000,-

Pencetakan proposal Rp 30.000,-

Penggandaan dan penjilidan proposal Rp 50.000,- 2. Pengumpulan data

Transportasi Rp 200.000,-

3. Analisa data dan penyusunan laporan

Pencetakan skripsi Rp 60.000,-

Penggandaan dan penjilidian skripsi Rp 100.000,-

CD Rp 10.000,-

4. Konsumsi Rp 200.000,-

5. Souvenir untuk responden Rp 250.000,-

Jumlah Rp 1.150.000,-

Biaya tidak terduga 10% Rp 115.000,-


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/tanggal lahir : Medan/14 Agustus 1992 Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jalan Harmonika No. 88 A

No. HP : 0852 7521 1511

Nama Ayah : Ir. Japinder Samosir

Nama Ibu : Surya Christa Damayanti Hutabarat Pendidikan : SD Negeri 010212 Indrapura (1999-2005)

SMP Negeri 1 Koto Gasib (2005-2008)

SMA Katolik Budi Murni 1 Medan (2008-2011) S1 Ilmu Keperawatan USU Medan (2011-sekarang)