19 BAB II ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT PAKPAK, DI DUSUN LAE SALAK, DESA LAE SIREME, KECAMATAN TIGALINGGA, KABUPATEN DAIRI, PROVINSI SUMATERA UTARA 2.1 Wilayah Budaya Pakpak
BAB II ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT PAKPAK, DI DUSUN LAE SALAK, DESA LAE SIREME, KECAMATAN TIGALINGGA, KABUPATEN DAIRI, PROVINSI SUMATERA UTARA
2.1 Wilayah Budaya Pakpak
Suku Pakpak adalah suku yang terdapat di Sumatera Utara yang tepatnya di Dairi, Perbatasan Aceh, Parlilitan dan Pakpak Bharat. Suku Pakpak merupakan salah satu bagian dari suku Batak. Masyarakat Pakpak adalah suatu kelompok suku bangsa
Gambar 2.1 Peta Lokasi Kecamatan Tigalingga, Kabupaten Dairi.Dokumentasi: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/0/04.svg Secara tradisional wilayah komunitasnya disebut tanoh. Tanoh pakpak terbagi atas 5 wilayah, yaitu :
1. Simsim, yaitu di daerah kabupaten Pakpak Bharat
2. Keppas, yaitu di daerah Kabupaten Dairi 3.
Pegagan, yaitu di daerah Kabupaten Dairi, khusus Kecamatan Sumbul 4. Kelasen, yaitu di daerah Tapanuli Utara, khusus Kecamatan Parlilitan dan Kabupaten
Tapanuli Tengah di Kecamatan Manduamas 5. Boang, daerah Aceh Singkil
3 Keterangan wilayah tanoh Pakpak yaitu: 1.
Kabupaten Dairi ibukota Sidikalang yang terdiri dari 15 Kecamatan dan 184 Desa.
Kelurahannya meliputi Suak Keppas dan Pegagan. Kabupaten Aceh Singkil ibukotana Singkil yang terdiri dari 15 Kecamatan dan 148 Desa. Kelurahannya meliputi seluruh daerah Suak Singkil Boang.
3. Kabupaten Pakpak Bharat ibukotanya Salak yang terdiri dari 8 kecamatan dan 59 Desa. Kelurahannya meliputi Suak Simsim dan sebagian daerah Keppas.
4. Kotamadya subbul sallam ibukotanya Salak yang terdiri dari 5 kecamatan dan (64) Desa/Kelurahan yang merupakan pemekaran dari Aceh Singkil dan masih termasuk Suak Singkil Boang.
5. Kabupaten tapanuli tengah ibukotanya Pandan yang terdiri dari 6 kecamatan dari daerah (wilayah) Kabupaten Tapanuli Tengah adalah hak ulayat Tanah Pakpak Suak Kelasen) yang terdiri dari Kecamatan Barus, Barus Utara, Sosar Godang, Andam Dewi, Manduamas dan Sirandorung dan 56 Desa/Kelurahan.
6. Kabupaten Humbang Hasundutan ibukotany Dolok Sanggul yang terdiri dari 3 Kecamatan, yaitu Kecamatan Pakkat, Parlilitan, dan Kecamatan Tara Bintang dan masih termasuk kedalam Suak Kelasen. Luas wilayah yang menjadi wilayah
3 Keterangan 1 sampai keterangan 6, saya kutip dari tulisan skripsi Erni Banjarnahor.
persebaran masyarakat Pakpak keseluruhan adalah 8.331,12 km2 yang terdiri dari 52 Kecamatan dan 471 Desa/Kelurahan.
Daerah yang penduduknya homogeny orang Pakpak hanyalah Kabupaten Pakpak Bharat. Namun secara geografi wilayah atau hak ulayat secara tradisonal yang disebut Tanoh Pakpak tersebut sebenarnya tidak terpisah satu sama lain, karena satu sama lain berbatasan langsung walaupun hanya bagian-bagian kecil dari wilayah kabupaten tertentu, kecuali Kabupaten Pakpak Bharat dan Dairi yang merupakan sentral utama orang Pakpak. Kesatuan komunitas terkecil yang umum dikenal hingga saat ini disebut Lebuh (Kampung halaman) dan Kuta (Kampung). Lebuh merupakan
lebuh-lebuh yang dihuni oleh suatu klen besar (marga) tertentu. Jadi setiap lebuh dan kuta dimiliki oleh klen atau marga tertentu dan dianggap sebagai penduduk asli,
sementara marga lain dikategorikan sebagai pendatang.
2.2 Lokasi Penelitian
Adapun yang menjadi lokasi penelitian penulis yaitu berlokasikan di Dusun Lae Salak, Desa Lae Sireme, Kecamatan Tigalingga Kabupaten Dairi, dimana daerah ini merupakan salah satu daerah atau wilayah bermukimnya suku Pakpak yang di sebut dengan Suak Keppas dan Pegagan. Daerah kabupaten Dairi mempunyai luas 191.625 Hektar yaitu sekitar 2,68 % dari luas Propinsi Sumatera Utara (7.160.000 Hektar) dimana Kabupaten Dairi terletak sebelah Barat Laut Propinsi Sumatera Utara.
Kabupaten Dairi sebagian besar terdiri dari dataran tinggi dan berbukit-bukit yang terletak antara 98000'
- – 98030' dan 2015'-3000' LU. Sebagian besar tanahnya didapati gunung-gunung dan bukit-bukit dengan kemiringan bervariasi sehingga terjadi iklim
Tabel 2.1 Luas Kabupaten Dairi menurut Kecamatan-kecamatan
9 Kecamatan Siempat Nempu 60,30 Km
2 Pada umumnya Kabupaten Dairi berada pada ketinggian rata-rata 700 s/d
2 Jumlah 1.927,77 Km
15 Kecamatan Tanah Pinem 439,40 Km
2
14 Kecamatan Pegagan Hilir 155,33 Km
2
13 Kecamatan Gunung Sitember 75,20 Km
2
12 Kecamatan Tigalingga 201,87 Km
2
11 Kecamatan Siempat Nempu Hilir 104,50 Km
2
10 Kecamatan Siempat Nempu Hulu 93,60 Km
2
2
No Kecamatan Luas Wilayah
4 Kecamatan Parbuluan 227,00 Km
1 Kecamatan Sidikalang 86,84 Km
2
2 Kecamatan Berampu 31,65 Km
2
3 Kecamatan Sitinjo 39,48 Km
2
2
8 Kecamatan Lae Parira 42,72 Km
5 Kecamatan Sumbul 149,00 Km
2
6 Kecamatan Silahisabungan 119,20 Km
2
7 Kecamatan Silima Pungga-pungga 101,68 Km
2
1.250 m diatas permukaan laut. Sedangkan Kecamatan Tigalingga, terletak pada ketinggian antara 400 - 1.360 m diatas permukaan laut.
Adapun batas wilayah Kabupaten Dairi adalah sebagai berikut, Kabupaten Dairi yang terletak disebelah barat laut propinsi Sumatera Utara yang berbatasan dengan : Sebelah utara dengan Kabupaten Aceh Tenggara (Propinsi NAD) dan Kabupaten Tanah Karo Sebelah timur dengan kabupaten Toba Samosir Sebelah selatan dengan Kabupaten Pakpak Bharat Sebelah barat dengan Kabupaten Aceh Selatan (Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam)
2.3 Sistem Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat Pakpak khususnya yang berada di Kabupaten Dairi, yaitu sangat beragam dan tidak mempunyai batasan pada satu bidang profesi saja. Banyak warga Pakpak yang bekerja sebagai pedagang, petani, PNS (Pegawai Negri Sipil), guru, pegawai swasta, dan ada juga yang berburu, dalam hal ini sistem mata pencaharian yang paling banyak dikerjakan oleh masyarakat Pakpak di Kabupaten Dairi adalah sebagai petani dengan bercocok tanam. Adapun yang mereka tanam yaitu : jagung, padi, ubi, pisang, pepaya, coklat, kelapa, durian, duku dan langsat.
Saat penulis melakukan penelitian di daerah tersebut, penulis melihat banyak masyarakat seperti pedagang, pegawai negri sipil, guru dan beberapa profesi lainnya juga menekuni pekerjaan bercocok tanam selain dari pekerjaan utamanya tersebut. Dalam bercocok tanam tersebut sangat membantu dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat disekitar tersebut.
2.4 Sistem Kepercayaan dan Religi
Agama merupakan sistem kepercayaan yang dianut oleh komunitas atau sekelompok yang berguna sebagai sarana mediasi antara kelompok tersebut dengan Penciptanya (yang dipercayai sebagai nenek moyang). Pada zaman dahulu masyarakat Pakpak mengenal sistem kepercayaan animisme (kepercayaan kepada nenek moyang).
Sebelum masuknya agama (Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu), masyarakat Pakpak mengenal sistem kepercayaan yang disebut dengan Pambi. Kepercayaan ini merupakan suatu aliran kepercayaan Pakpak zaman dulu yang mengatur tentang kebudayaannya, dalam hal ini Pambi sangat berperan penting sebagai pengatur interaksi manusia dengan roh-roh nenek moyang. Dapat dikatakan bahwa Pambi disebut masyarakat Pambi. Namun karena adanya penyebaran agama yang dilakukan oleh misionaris ataupun pedagang-pedagang Arab maka sebagian besar masyarakat Pakpak kini sudah memeluk agama sekuler. Saat ini agama Pambi sudah mulai sedikit tergeser kedudukannya.
2.4.1 Kepercayaan terhadap dewa-dewa
Sebelum agama masuk dalam masyarakat Pakpak, masyarakat mempercayai kekuatan alam gaib dan percaya bahwa alam adalah sumber kehidupan. Masyarakat Pakpak percaya terhadap Debata Guru/Batara Guru yang dikatakan dalam bahasa Pakpak Sitempa/Sinembe nasa si lot yang artinya maha pencipta segala sesuatu yang ada di bumi ini yang diklasifikasikan atau diistilahkan sebagai berikut:
Debata Guru/ Batara Guru menjadikan wakilnya untuk menjaga dan melindungi,
yaitu : 1. Beraspati Tanoh.
Diberi simbol dengan menggambar cecak yang berfungsi melindungi segala tumbuh-tumbuhan. Jadi, jika seorang orang tua menebang pohon bambu, kayu atau tumbuhan lainnya, maka ia harus meminta izin kepada Beraspati Tanoh.
2. Tunggung Ni Kuta
Tunggung Ni Kuta diyakini memiliki peranan untuk menjaga dan melindungi
kampung atau desa serta manusia sebagai penghuninya. Oleh karena hal tersebut, maka tunggung ni kuta memberikan kepada manusia beberapa benda yaitu sebagai berikut :
Lapihen, terbuat dari kulit kayu yang didalamnya terdapat tulisan-tulisan yang berbentuk mantra atapun ramuan obat-obatan serta ramalan-ramalan.
b. naring, wadah yang berisi ramuan sebagai pelindung kampung. Apabila satu kampung akan mendapat ancaman, maka naring akan memberikan pertanda berupa suara gemuruh ataupun siulan.
c.
Pengulu balang, sejenis patung yang terbuat dari batu yang memiliki fungsi untuk memberikan sinyal atau tanda berupa gemuruh sebagai pertanda gangguan, bala, musuh, atau penyakit bagi masyarakat suatu desa.
d.
Sibiangsa, yaitu wadah berbentuk guci yang diisi ramuan yang ditanam di dalam tanah yang bertugas mengusir penjahat yang datang.
e.
Sembahen Ni Ladang, yaitu roh halus dan penguasa alam sekitarnya yang diyakini dapat menggangu kehidupan dan sekaligus dapat melindungi kehidupan manusia apabila diberi sesajen.
f.
Tali Solang, yaitu tali yang disimpul di ujungnya, mempunyai kepala ular yang digunakan untuk menjerat musuh. g.
Tongket Balekat, yaitu terbuat dari kayu dan hati ular yang berukuran lebih kurang satu meter yang diukir dengan ukiran Pakpak dan dipergunakan untuk menerangi jalan.
h.
Kahal-kahal, yaitu menyerupai telapak kaki manusia untuk melawan musuh. i.
Mbarla, yaitu roh yang berfungsi untuk menjaga ikan di laut, sungai dan danau. j. Sineang Naga Lae, yaitu roh yang menguasai laut, danau dan air.
2.4.2 Kepercayaan terhadap roh-roh
Kepercayaan terhadap roh-roh, yang meliputi : Sumangan, yaitu tendi (roh) orang yang sudah meniggal mempunyai kekuatan yang menentukan wujud dan hidup seseorang yang dikenang.
b.
Hiang, yaitu kekuatan gaib yang dibagikan kepada saudara secara turun-temurun.
c.
Begu Mate Mi Lae atau disebut juga dengan begu Sinambela, yaitu roh orang yang sudah meninggal diakibatkan karena hanyut di sungai.
d.
Begu Laus, yaitu sejenis roh yang menyakiti orang yang datang dari tempat lain serta dapat membuat orang menjadi sakit secara tiba-tiba.
Kepercayaan- kepercayaan diatas sudah jarang dilaksanakan oleh masyarakat Pakpak sejak masuknya agama sekunder di daerah tersebut.
2.4.3 Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa juga merupakan kepercayaan yang masyarakat Pakpak peluk sekarang ini, Di daerah tempat penelitian penulis, masyarakat di sekitarnya mayoritas memeluk agama Islam dan sebagian masyarakatnya menganut agama Kristen (kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa). Pada saat penulis melakukan penelitian, penulis melihat masjid (tempat ibadah agama islam) dan gereja GKPPD (Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi), tempat- tempat ibadah ini merupakan bukti bahwa masyarakat di sekitar daerah tempat penelitian penulis yaitu di Dusun lae salak, Desa Lae Sireme, Kecamatan Tigalingga, Kabupaten Dairi telah memeluk agama sekunder.
2.5 Sistem Kekerabatan
Seperti halnya etnik lain, Pakpak juga memiliki adat istiadat yang khas, sehingga dapat dibedakan dengan kelompok lainnya. Seperti ikatan yang mengatur tata krama dan sopan santun dalam kehidupan sehari-hari dalm masyarakat Pakpak kelompok kekerabatan yang dihitung berdasarkan satu garis (unilineal), baik melalui garis laki-laki (patrilineal) maupun perempuan (matrilineal). Marga pada masyarakat Pakpak bukan hanya sekedar sebutan atau konsep tetapi di dalamnya nilai budaya yang mencakup norma dan hukum yang berguna untuk mengatur kehidupan sosial.
Misalnya dengan adanya marga maka dikenal perkawinan eksogami marga, yakni adat yang mengharuskan seseorang kawin diluar marganya, bila terjadi perkawinan semarga maka orang tersebut diberi sanksi hukuman berupa pengucilan, cemoohan, dan pengusiran dari daerahnya tinggal, karena melanggar adat yang berlaku.
Marga-marga pada suku Pakpak dibagi berdasarkan wilayah komunitasnya yaitu :
a. :Berutu, Padang, Solin, Bancin, Sinamo, Manik, Sitakar, Pakpak Simsim Kabeaken, lembeng, Cibro, dll.
b. :Angkat, Ujung, Bintang, Capah, Kudadiri, Gajah Manik, Pakpak Keppas Sinamo (si pitu marga), Pasi, Berampu, Maha, dll.
c. : Lingga, Matanari, Manik Sikettang, Maibang, dll.
Pakpak Pegagan d. : Tumangger, Tinambunan, Kesogihen, Meka, Maharaja, Pakpak Kelasen Ceun, Mungkur, dll.
e. :Saraan, Sambo, Bancin, dll.
Pakpak Boang
2.5.1 Sulang silima
Struktur sosial yang dikenal dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Pakpak dikenal dengan sebutan Sulang Si lima. Sulang silima adalah lima kelompok kekerabatan yang terdiri dari kulakula, dengan sebeltek atau senina, serta anak berru. Seorang Pakpak dengan struktur sulang silima umumnya paham atau dapat berkaitan dengan pembagian sulang/jambar dari daging-daging tertentu dari seekor hewan seperti kerbau, lembu atau babi yang disembelih dalam konteks upacara adat masyarakat Pakpak. Pembagian jambar ini disesuaikan dengan hubungan kekerabatannya dengan pihak kesukuten atau yang melaksanakan upacara. Dalam adat masyarakat Pakpak, kelima kelompok tersebut masing-masing mempunyai tugas dan tanggung jawab yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam acara adat yaitu:
a. Kula-kula
Kula-kula merupakan salah satu unsur yang paling penting dalam sistem
kekerabatan masyarakat Pakpak. kula-kula adalah kelompok/pihak pemberi istri dalam sistem kekerabatan masyarakat Pakpak dan merupakan kelompok yang sangat dihormati dan dianggap sebagai pemberi berkat oleh masyarakat. Dengan demikian,
kula-kula juga disebut dengan istilah Debata Ni Idah (Tuhan yang dilihat). Oleh
karena itu, pihak kula-kula ini haruslah dihormati.Sikap menentang kula-kula sangat tidak dianjurkan dalam kebudayaan Pakpak. Dalam acara-acara adat, kelompok kula-kula diwajibkan untuk hadir, termasuk juga dalam adat kematian dan mendapat peran yang penting.
b.
Dengan sebeltek/Senina
Dengan sebeltek/senina adalah mereka yang mempunyai hubungan tali
persaudaraan yang mempunyai marga yang sama. Mereka adalah orang-orang yang satu kata dalam permusyawaratan adat. Selain itu, dalam sebuah upacara adat ada kelompok yang dianggap dekat dengan sebeltek, yaitu senina. Dalam sebuah acara adat, senina dan seluruh keluarganya akan ikut serta dan mendukung acara tersebut. pertalian darah, sesubklen/semarga, memiliki ibu yang bersaudara, memiliki istri yang bersaudara dan memiliki suami yang bersaudara.
c.
Anak berru
Anak beru adalah anak perempuan yang disebut dengan kelompok pengambil
anak dara dalam sebuah acara adat, anak berru yang bertanggung jawab atas acara adat tersebut. Tugas anak berru adalah sebagai pekerja, penanggung jawab dan pembawa acara pada sebuah acara adat.
Sedangkan situaan adalah anak yang paling tua, siditengah adalah anak tengah dan siampun-ampun adalah anak yang paling kecil. Mereka adalah pihak yang mempunyai ikatan persaudaraan yang terdapat dalam sebuah ikatan keluarga. Kelima kelompok diatas mempunyai pembagian sulang (jambar) yang berbeda, yaitu sebagai berikut :
1. Kula-kula (pihak pemberi istri dari keluarga yang berpesta) akan mendapat sulang
per-punca naidep . Situaan (orang tertua yang menjadi tuan rumah sebuah pesta akan
mendapat sulang per-isang-isang).2. Siditengah (keluarga besar dari keturunan anak tengah) akan mendapat sulang per- tulantengah .
3. Siampun-ampun (keturunan paling bungsu dalam satu keluarga) akan mendapat .
sulang per-ekur-ekur 4.
Anak beru (pihak yang mengambil anak gadis dari keluarga yang berpesta) akan mendapat sulang perbetekken atau takal peggu. Biasanya penerimaan perjambaren anak beru disertai dengan takal peggu. Yang artinya mempunyai tugas dan tanggung jawab yang besar terhadap berjalannya pesta. Anak beru lah yang bertugas menyiapkan makanan serta menghidangkan selama pesta berlangsung. nilai agar seseorang anggota kerabat dikategorikan beradat. Aturan dan nilai tersebut menjadi pengetahuan dan dijadikan pola dalam berinteraksi. Akibatnya ada interaksi yang harus bersikap sungkan dan tidak sungkan (akrab). Konsep atau pola yang digunakan sebagai acuan adat sopan santun adalah:
1. Ego adalah seorang individu yang dijadikan sebagai pusat orientasi atau perhatian dalam melihat istilah kekerabatan. Ego biasanya seseorang yang berkedudukan sebagai anak, ayah atau kakek. Dalam konteks kekerabatan Pakpak ego adalah seorang laki-laki, karena kelompok kerabat dihitung berdasarkan patrilineal.
2. Keluarga inti adalah kelompok kekerabatan terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum kawin.
3. Sinina adalah kelompok kekerabatan yang terdiri dari saudara sepupu, paman dan bibi pararel baik yang semarga (sebeltek) maupun yang tidak semarga (pemerre maupun
sebeltek inang ) 4.
Berru adalah kelompok kerabat pihak penerima gadis. Atau kelompok kerabat dari pihak saudara perempuan ego, atau kelompok kerabat dari anak perempuan ego.
5. Puang adalah kelompok kerabat pemberi gadis. Atau kelompok kerabat dari pihak nenek, ibu atau istri dan istri anak laki-laki ego.
Istilah Kekerabatan dari sudut pemakaiannya dapat dikategorikan pada dua system yaitu sebutan dan sapaan. Sebutan artinya bagaimana seseorang menyebut kerabatnya bila dipertanyakan pada pihak ketiga. Sedangkan sapaan, bagaimana seseorang menyapa anggota kerabatnya bila bertemu atau memanggilnya bila bertatap muka.
Tabel 2.2 sehari-hari.No Sebutan Sapaan Keterangan
1 Bapa Bapa Ayah
2 Inang Nang, nange Ibu
3 Kaka Nama, kaka Abang
4 Dedahen Nama, Adik (laki-laki atau
5 Turang Nama, turang perempuan)
6 Mpung, Poli Pung, poli Kakak (adik Perempuan) Kakek
Dalam system kekerabatan suku Pakpak, kedudukan anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Hal ini dapat ditinjau dari beberapa aspek.
Pertama, karena anak laki-laki berperan sebagai penerus keturunan marga atau klen (patrilineal). Kedua, laki-laki berperan sebagai penanggung jawab keluarga. Ketiga, laki-laki berperan sebagai ahli waris utama peninggalan harta pusaka. Keempat, laki- laki berperan sebagai pelaksana utama dalam setiap aktifitas adat. Anak perempuan walaupun memakai nama marga ayahnya, namun setelah kawin atau menikah dan ikut suami dan anak-anak yang dilahirkannya akan memakai marga sesuai dengan marga suaminya bukan marga ayah perempuan tersebut. Akibatnya keluarga yang belum memiliki anak laki-laki cenderung resah karena tidak ada yang meneruskan marganya (silsilahnya). Sehingga sering kali istri harus berkorban untuk terus melahirkan hingga memperoleh anak laki-laki demi menjaga keharmonisan rumah tangga dan dengan kelompok kerabat yang lebih luas.
Pada umumnya, bahasa yang dipakai oleh masyarakat di sekitar wilayah penelitian penulis yaitu di Dusun Lae Salak, Desa Lae Sireme, Kecamatan Tigalingga adalah bahasa Pakpak karena mayoritas penduduk disana adalah suku Pakpak. Terdapat juga sebagian kecil suku lain seperti suku Toba dan Karo yang menjadi pendatang dan tinggal atau menetap disana, masayarakat dari suku-suku di luar suku Pakpak tersebut akan mempelajari bahasa Pakpak tersebut agar dapat bersosialisasi dengan masyarakat disekitarnya. Selain bahasa Pakpak, bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari adalah bahasa Indonesia, bahasa Indonesia ini digunakan di tempat-tempat umum, seperti sekolah, puskesmas dan kantor-kantor.
Ada beberapa jenis gaya bahasa yang digunakan dalam kehidupan masyarakat Pakpak, yaitu :
1. Rana telangke yaitu kata-kata perantara atau kata-kata tertentu untuk menghubungkan maksud si pembicara terhadap objek si pembicara.
2. Rana tangis yaitu gaya bahasa yang dituturkan dengan cara menangis atau bahasa yang digunakan untuk menangisi sesuatu dengan teknik bernyanyi (narrative songs atau lamenta dalam istilah etnomusikologi) yang disebut tangis mangaliangi (bahasa tutur tangis).
3. Rana mertendung yaitu gaya bahasa yang digunakan dihutan.
4. Rana nggane yaitu bahasa terlarang, tidak boleh diucapkan di tengah-tengah kampung karena dianggap tidak sopan.
5. Rebun (rana tabas atau mangmang) yaitu bahasa pertapa datu atau bahasa mantera oleh guru (Naiborhu, 2002:51).
2.7 Kesenian
daerah tersebut, seperti halnya masyarakat Pakpak. Masyarakat Pakpak memiliki beberapa kesenian yaitu seni musik, seni suara, seni tari dan masyarakat Pakpak juga memiliki kesenian dalam bentuk kerajinan tangan.
2.7.1 Seni musik
Musik instrumen Pakpak dikenal dengan istilah oning-oningan dan genderang
sisibah . Dalam ensambel oning-oningan terdapat beberapa instrumen antara lain
kalondang , kecapi, balobat, gendrang sipitu sedangkan dalam ensambel genderang
sisibah instrumen yang digunakan yaitu sarune, balobat, kalondang, gendrang
sisibah (susunan 9 buah gendang) dan gong.2.7.1.1 Genderang sisibah
Gendrang sisibah biasa dimainkan pada saat acara ritual atau sering disebut
kerja njahat (upacara dukacita). Genderang sisibah dalam adat disebut si raja
gemeruhguh yaitu sesuai dengan suara yang dihasilkannya dan situasi yang diiringinya, yaitu situasi ramainya acara juga besarnya acara tersebut. Berikut adalah penjabaran tentang instrumen ensambel genderang dari ukuran terbesar hingga ukuran terkeci yaitu : a. Gendang I, Si Raja Gumeruhguh (suara bergemuruh) dengan pola ritmis menginang- inangi atau mengindungi (induk).
b. Gendang II, Si Raja Dumerendeng atau Si Raja Menjujuri dengan pola ritem menjujuri atau mendonggil-donggili (mengagungkan, mentakbiri, menghantarkan).
c.
Gendang III s/d VII, Si Raja Menak-menak dengan pola ritmis benna kayu sebagai pembawa ritmis melodi (menenangkan atau menentramkan).
Gendang VIII, Si Raja Kumerincing dengan pola ritmis menehtehi (menyeimbangkan).
e.
Gendang IX, Si Raja Mengapuh dengan pola ritmis menganak-anaki atau tabil sondat (menghalang-halangi). Namun terdapat juga nama lain dari instrumen ini dalam bentuk kelompok permainannya, yaitu untuk gendang I dan II disebut menginang-
inangi (induk), untuk gendang II sampai VII disebut benna kayu (pembawa lagu), dan
4 gendang VII sampai IX disebut manganaki (anak).
Dalam bentuk seperangkat, kesembilan gendang ini dimainkan bersama-sama dengan gung sada rabaan (seperangkat gung yang terdiri dari empat buah), yaitu
panggora (penyeru), poi (yang menyahut), tapudep (pemberi semangat) dan pong-
pong (yang menetapkan). Instrumen lain yang dipakai adalah sarune (double reed
oboe ) dan cilat-cilat (simbal concussion). Dalam penyajiannya, ansambel ini hanya
dipakai pada jenis upacara sukacita (kerja mbaik) saja pada tingkatan upacara terbesar atau tertinggi saja.
4 Dikutip dari skripsi erni banjarnahor (wawancara dengan bapak Pandapotan Solin tahun 2011)
2.7.1.2 Genderang silima
Selanjutnya adalah ensambel genderang si lima yaitu seperangkatan gendang satu sisi berbentuk konis yang terdiri dari lima buah gendang. Kelima gendang ini berasal dari genderang sisibah dengan hanya menggunakan gendang pada bilangan ganjil saja diurut dari gendang terbesar, yaitu gendang I, III, V, VII dan IX. Adapun nama -nama gendang berdasarkan urutan dari gendang terbesar hingga gendang terkecil adalah sebagai berikut.
a.
Gendang I, Si Raja Gumeruhguh dengan pola ritmis menginang-inangi (induk yang bergemuruh).
Gendang III, Si Raja Dumerendeng dengan pola ritmis menjujuri atau mendonggil- donggili (menghantarkan atau meneruskan).
c.
Gendang V, Si Raja Menak-menak dengan pola ritmis mendua-duai (menentramkan).
d.
Gendang VII, Si Raja Kumerincing dengan pola ritmis mendua-duai (meramaikan).
e.
Gendang IX, Si Raja Mengampuh dengan pola ritmis menganaki (menyahuti, mengikuti).
Instrumen lainnya yang terdapat dalam ensambel genderang silima ini adalah
gung sada rabaan , sarune dan cilat-cilat sebagaimana yang terdapat dalam ensambel
genderang sisibah . Ansambel ini digunakan pada upacara dukacita (kerja njahat) saja,
seperti upacara kematian, mengokal tulan (menggali tulang-belulang) pada tingkatan upacara terbesar dan tertinggi secara adat pada masyarakat Pakpak.
2.7.1.3 Gendang sidua-dua
Selanjutnya terdapat ensambel gendang sidua-dua. Ansambel gendang ini terdiri dari sepasang gendang dua sisi berbentuk barrel (double head two barrel drums).
Kedua gendang ini terdiri dari gendang inangna (gendang induk, gendang ibu) yaitu gendang terbesar dan gendang anakna (gendang anak, jantan) yaitu gendang terkecil. Instrumen lain yang terdapat dalam ansambel ini adalah empat buah gong (gung sada
rabaan ) dan sepasang cilat-cilat (simbal). Ansambel gendang ini digunakan untuk
upacara ritual, seperti mengusir roh pengganggu di hutan sebelum diolah menjadi lahan pertanian atau ladang (mendegger uruk) dan hiburan saja seperti upacara penobatan raja atau untuk mengiringi tarian pencak.
2.7.1.4 Gerantung
Ada pula alat musik gerantung adalah nama yang diberikan kepada instrumen
gongs idiophones yang terdiri dari 4 atau 5 buah gerantung. Instrumen ini biasa
dimainkan bersama-sama dengan gung sada rabaan dan biasa dipakai pada acara peresmian bale (balai desa), bages jojong (rumah adat) dan pada peresmian perkawinan raja atau keturunannya. Instrumen ini juga digunakan sebagai landasan berpijak bagi kedua mempelai pada saat akan memasuki rumah adat. Menurut pandangan masyarakat Pakpak, instrumen ini merupakan simbol kekayaan dan kemakmuran yang hanya dimilki oleh orang tertentu saja.
2.7.1.5 Gong (mbotul)
Kemudian alat-alat musik mbotul yaitu seperangkat alat musik gong (idiophones) berpencu yang terdiri dari 5, 7 atau 9 buah gong. Disusun berbaris di atas sebuah rak seperti kenong pada tradisi gamelan Jawa. Dalam penggunaannya, instrumen ini berperan sebagai pembawa melodi dan secara ansambel dimainkan bersama -sama dengan gung sada rabaan.
2.7.1.6 Gung (sada rabaan)
Ada pula alat musik gung (gong idiophones) terdiri dari empat buah yang tidak dapat berdiri secara sendiri-sendiri yang artinya dalam penggunaannya harus sekaligus empat buah. Oleh karena itu, gong ini disebut sada rabaan (empat buah gong yang dimainkan secara bersamaan). Adapaun keempat gung ini diberikan nama sebagai berikut: a. Gung I (panggora), gung terbesar yang berperan sebagai penyeru atau yang memberikan seruan.
b.
Gung II (poi), gung terbesar kedua yang berperan sebagai penyahut atau yang c.
Gung III (tapudep), gung terbesar ketiga yang berperan sebagai menimpali, menengahi atau memberikan jawaban (aksentuasi ritmis) antara gong pertama dan gong kedua sekaligus pengontrol atas gung panggora dan poi.
d.
Gung III (pong-pong), gung terkecil yang berperan sebagai pemegang tempo (memong-pongi) atau pengatur kecepatan lagu sekaligus sebagai penjaga kestabilan dari lagu yang dimainkan.
2.7.1.7 Kalondang Kalondang (xylophones) adalah alat musik yang terbuat dari bilahan kayu
berjumlah sembilan buah. Dimainkan secara bersama-sama dengan pong-pong (gong kecil), cilat-cilat (simbal) dan lobat (bamboos recorder). Alat musik ini biasanya digunakan sebagai pengiring tarian (tatak) hiburan dengan membawakan lagu-lagu tertentu yang sifatnya gembira, seperti ende-ende muat kopi (nyanyian memetik kopi) yang menggambarkan kegembiraan pada saat memetik kopi.
2.7.2 Seni suara
Masyarakat Pakpak Masyarakat memiliki seni dalam bidang olah suara atau seni vokal yang di pertunjukkan ataupun hanya dapat di nikmati oleh pridadinya sendiri, masyarakat Pakpak memberi nama ende-ende (dibaca: nde-nde) untuk semua jenis musik vokalnya. Ada beberapa jenis musik vokal yang terdapat pada masyarakat pakpak yang dibedakan berdasarkan fungsi dan penggunaannya yaitu sebagai berikut: a.
Ende-ende mendedah
yaitu sejenis nyanyian (lullaby) yang dipakai oleh pengasuh (pendedah) baik itu pria digendong dan kemudian dinina bobokkan dengan nyanyian yang liriknya berisikan tentang nasehat, harapan, cita-cita, atau pun curahan kasih sayang untuk anak tersebut oleh sipendedah. Jenisnya terdiri dari orih-orih, oah-oa, dan cido-cido. Ketiga jenis nyanyian ini menggunakan teks yang selalu berubah-ubah dengan melodi yang diulang-ulang (repetitif).
b. Ende-ende tangis milangi
Ende -ende tangis milangi adalah jenis Nyanyian ratapan (lamenta) yang disajikan
dengan tangisan atau menangis. Disebut tangis milangi karena hal-hal mengharukan yang terdapat di dalam hati penyajinya akan dituturkan (dalam Pakpak: ibilang- bilangken, milangi) dengan gaya menangis yang terdiri atas tangis beru si jahe, tangis
anak melumang yaitu nyanyian ratapan seorang anak ketika terkenang atau teringat
pada salah satu atau pun kedua orang tuanya yang telah meninggal, dan tangis simate yaitu nyanyian ratapan kaum wanita ketika salah seorang anggota keluarga meninggal dunia.
Tangis si jahe
Tangis si jahe adalah jenis nyanyian yang disajikan oleh gadis (female song)
menjelang pernikahannya. Teksnya berisi tentang ungkapan kesedihan karena harus berpisah dengan anggota keluarganya. Gadis tersebut tentunya akan meninggalkan keluarganya untuk bergabung dengan keluarga suaminya. Selain itu, tek nyanyian ini juga berisi tentang semua hal menyedihkan yang mungkin akan dialaminya di lingkungan keluarga suaminya. Walaupun dinyanyikan dengan gaya menangis, namun maksud utama dari tangis ini adalah agar orang yang ditangisi merasa terharu, selanjutnya akan diberikan petuah-petuah atau nasehat dan berupa materi kepada si gadis yang akan menikah tersebut. Nasehat yang diberikan umumnya adalah tentang petunjuk hidup berumah tangga dan semua hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bersuami-istri. Nyanyian ini disajikan dengan menggunakan melodi yang berulang- ulang (repetitif) dengan teks yang berubah-ubah. Tangis anak melumang
Tangis anak melumang , tangis ini disajikan oleh pria maupun wanita dari semua
tingkat usia. Isi teksnya adalah ungkapan kesedihan ketika terkenang kepada orang tua yang sudah meninggal dunia. Perpisahan akibat kematian dan penderitaan yang dialami si anak atas sepeninggal orangtua tersebut adalah isi dari teks nyanyian ini. Biasanya nyanyian ini disajikan pada saat-saat tertentu, seperti ketika berada di hutan, di ladang, di sawah atau tempat-tempat sepi lainnya. Nyanyian ini juga lebih mengutamakan teks daripada melodi. Teksnya berubah-ubah dengan pengulangan- pengulangan melodi yang sama.
Tangis simate
Tangis simate adalah nyanyian ratapan (lamenta) kaum wanita ketika salah
seorang anggota keluarga meninggal dunia. Disajikan pada saat si mati tersebut masih berada di hadapan orang yang menangis sebelum dimakamkan atau dikebumikan. Teksnya berisi tentang hal-hal atau perilaku yang paling berkesan dari si mati semasa hidupnya, kebaikan dan kelebihan-kelebihannya serta kemungkinan kesukaran hidup yang akan dihadapi keluarga atas sepeninggal orang yang meninggal tersebut. Melalui tangis ini pula orang-orang yang melayat dapat lebih mengetahui dan mengenal sifat- sifat dari orang yang meninggal tersebut dan yang lebih utama lagi adalah bahwa melalui nyanyian ini para pelayat akan di bawa ke dalam suasana duka yang mendalam melalui gaya tangis simate tersebut sehingga dengan demikian yang melayat akan tergerak bersatu ke dalam suatu perasaan sepenanggung-sependeritaan. yang disajikan berubah-ubah dengan pengulangan-pengulangan melodi yang sama.
c.
Ende-ende Mardembas
Ende-ende merdembas adalah bentuk nyanyian permainan di kalangan anak-anak usia
sekolah yang dipertunjukkan pada malam hari di halaman rumah pada saat terang bulan purnama. Mereka menari membentuk lingkaran, membuat lompatan-lompatan kecil secara bersama-sama sambil bergandengan tangan dan melantunkan lagu-lagu secara chorus (koor) maupun solo chorus (nyanyian solo yang disambut oleh koor).
d.
Ende-ende Memuro Rohi
Ende-ende memuro rohi adalah nyanyian yang termasuk ke dalam jenis work song,
yaitu nyanyian yang disajikan pada saat bekerja. Biasanya dinyanyikan ketika berada di ladang atau di sawah untuk mengusir burung-burung agar tidak memakan padi yang ada di ladang atau di sawah tersebut. Kegiatan muro (menjaga padi) ini biasanya menggunakan alat yang disebut dengan ketter dan gumpar yang dilambai-lambaikan ke tengah ladang padi sambil menyanyikan ende-ende memuro rohi.
2.7.3 Seni tari
Tari dalam Bahasa Pakpak disebut tatak. Tarian tradisional Pakpak sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, misalnya Tatak Memuat/Menapu Kopi, , Tatak Renggisa, Tatak Balang Cikua, Tatak Garo-Garo, Tatak
Tatak Mendedah
Tirismo Lae Bangkuang , Tatak Mersulangat, Tatak Menerser Page, Tatak Muat
Page , Tatak Adat, Tatak Mendedohi Takal-Takal. Selain itu, dikenal juga seni bela
diri misalnya moccak dan tabbus.Berikut penjelasan dari tatak yang tertulis diatas: Tatak Memuat kopi
yang dilaksanakan oleh para petani di daerah Pakpak.
Tatak manabi page merupakan jenis tarian muda-mudi yang menggambarkan suasana
Tatak manabi page
kegembiraan pada saat memanen padi. Dahulu masyarakat Pakapak pada saat memanen padilah dapat saling mengenal satu dengan yang lainnya.
Gambar 2.2
Tatak manabi page
Dokumentasi oleh: Sanggar Nina Nola
Tatak mendedah ini menggambarkan tentang bagaimana seorang ibu yang mengasuh
bayinya. Tatak ini hanya dilakukan oleh para perempuan saja.Tatak Mendedah
Tatak renggisa ini menggambarkan tentang sepasang muda-mudi yang sedang
kasmaran, saling menyukai atau sedang jatuh cinta satu sama lain.Tatak Renggisa
Gambar 2.3
Tatak renggisa
Dokumentasi oleh: Sanggar Nina Nola Tintoa Seser
Tatak ini menggambarkan tentang bagaimana masyarakat Pakpak bercocok tanam,
mulai dari membuka lahan sampai mengambil hasil tanamannya.Gambar 2.4
Tintoa serser
Dokumentasi oleh: Sanggar Nina Nola
Tatak garo-garo ini adalah tarian yang mengambarkan tentang kegembiraan muda-
Tatak Garo-garo
mudi dalam masa panen. Tatak ini memiliki kemiripan dengan tatak menabi pange, namun dalam tatak garo-garo, hal yang digambarkan tidak hanya dalam memanen padi, melainkan mulai dari proses menanam sampai memanen padi tersebut.
Gambar 2.5
Tatak garo-garo
Dokumentasi oleh: Sanggar Nina Nola Berikut jenis-jenis gerakan yang di pakai dalam tatak tersebut: o
Mangera-era Gerakan ini digunakan oleh kaum Beru (perempuan) untuk menyambut Kula-kula ataupun gerakan yang digunakan oleh anak terakhir kepada anak tertua ataupun yang muda kepada yang lebih tua. o
Suyuk Gerakan ini digunakan untuk menyambah ataupun menghormati. Memasu-masu Gerakan ini digunakan oleh kula-kula kepada beru (perempuan) yang menyimbolkan pemberian berkat. o Mengembur
Gerakan ini digunakan untuk menyembah atau pemberian hormat oleh beru (perempuan) kepada kula-kula. o
Mengeleap Gerakan ini digunakan untuk menunjukkan bahwa kegiatan kerja sudah berhasil dilaksnankan.
2.7.4 kesesian kerajinan tangan
Dalam masyarakat Pakpak kerajinan tangan masyarakat Pakpak sudah dikenal
Batu (sejenis patung yang terbuat dari batu) yang terdapat hampir disetiap kuta
(kampung). Selain itu ada juga “membayu” yaitu menganyam tikar, bakul, kirang (keranjang) dan beberapa kerajinan tangan lainnya yang terbuat dari sejenis rumput yang tumbuh di sawah. Selain itu kerajinan rotan dan bambu juga banyak dikembangkan misalnya kursi, sangkar burung, bubu, tampi, juga keranjang. Kerajinan lainnya yaitu terutama di daerah Kelasen yaitu “meneppa” meneppa adalah orang pandai besi terutama menempa golok (pisau dan parang), pedang, kujur (tombak), cangkul, cuncun dan lain-lain, dapat kita lihat dari pakaian adat masyarakat Pakpak, seperti: Pakaian adat Pakpak Laki-laki o
Oles o bulang-bulang o golok ucang o borgot o tali abak o kujur sinane Pakaian adat Pakpak Perempuan o baju merapi-api o oles o saomg o cimata leppa-leppa o rabi munduk o ucang
Dapat kita lihat dari pakaian adat masyarakat Pakpak yang terdapat pada pakaian terbuat dari besi dan pastinya dikerjakan atau hasil dari seorang meneppa dari daerah
Kelasen (daerah Tapanuli Utara, khusus kecamatan Parlilitan dan Kabupaten Tapanuli
Tengah di kecamatan Manduamas).Jenis-jenis kesenian di atas, baik seni musik, seni dalam vokal, seni tari dan kerajinan tangan sudah jarang ditemukan, dikarenakan perkembangan zaman. contoh, Seni musik tradisional sudah digantikan dengan musik keyboard dalam upacara - upacara adat, baik upacara perkawinan maupun upacara kematian. Begitu juga dengan musik vokal yang sudah sangat jarang ditemukan, namum masih ada beberapa orang
5
tua dari masyarakat Pakpak tersebut masih menyimpan harta karun tersebut seperti, musik vokal yang masih ditemukan seperti tangis simate dan tangis anak melumang.
5
. Harta karun dalam tulisan ini adalah kata lain dari peninggalan-peninggalan yang
mempunyai kearifan lokal yang sangat penting bagi masyarakat yang mempunyainya, sepertimasyarakat Pakpak yang memiliki jenis-jenis alat musik tradisional, nyanyian-nyanyian yang memiliki
makna atau arti-arti tersendiri dan banyak lagi, itu semua harusnya dilestarikan agar ada peninggalan bagi orang-orang berikutnya.