ALIA ADELINA DINA SORAYA G0008193

HUBUNGAN ANTARA TONSILITIS KRONIK DENGAN PENURUNAN KUALITAS HIDUP DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran ALIA ADELINA DINA SORAYA G0008193

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta

Tabel 1. Distribusi Sampel Berdasarkan Perlakuan.............................................. 33

Tabel 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin....................................... 34 Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Data dengan Shapiro-Wilk................................... 35 Tabel 4. Hasil Uji Homogenitas Levene’s Test.................................................... 36 Tabel 5. Hasil Uji t-independent........................................................................... 37

Gambar 1. Boxplots Kualitas Hidup.................................................................... 37

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran Lampiran 2. Surat Pengantar Penelitian dari RSUD dr. Moewardi

Lampiran 3. Informed Consent

Lampiran 4. Kuesioner PedsQL

Lampiran 5. Data Mentah Hasil Penelitian Lampiran 6. Distribusi Data

Lampiran 7. Hasil Uji Normalitas Data

Lampiran 8. Hasil Analisis Data Penelitian

Alia Adelina Dina Soraya, G.0008193, 2012. Hubungan antara Tonsilitis Kronik dengan Penurunan Kualitas Hidup di RSUD dr. Moewardi Surakarta. Skripsi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tonsilitis kronik dengan penurunan kualitas hidup manusia.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan case-control yang dilaksanakan di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorokan (THT) RSUD dr. Moewardi Surakarta. Subjek penelitian adalah orang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kualitas Hidup terkait kesehatan diukur menggunakan kuesioner Pediatric Quality of Life Inventory (PedsQL.) Pengambilan sampel secara Simple Random Sampling. Penelitian ini diperoleh 30 data dan dianalisis menggunakan Uji normalitas data Shapiro-Wilk dan Uji t-independent melalui program SPSS 17.0 for Windows. Signifikansi yang digunakan adalah p < 0,005.

Hasil Penelitian: Penelitian ini menunjukkan (1) rerata skor kualitas hidup pada penderita tonsilitis kronik sebesar 1.615,7 ± 325,6 dan untuk non tonsilitis kronik sebesar 2.532,3 ± 269,9 (2) hasil uji t-independent menunjukkan p = 0,000.

Simpulan Penelitian: Terdapat hubungan antara gejala klinis tonsilitis kronik dengan penurunan kualitas hidup. Kualitas hidup penderita tonsilitis kronik lebih rendah dari non tonsilitis kronik.

Kata Kunci: kualitas hidup, tonsilitis kronik

Alia Adelina Dina Soraya, G.0008193, 2012. The Correlation between Chronic Tonsillitis with Decrease Quality of Life in Moewardi Local General Hospital Surakarta. Script, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.

Objective: Find The Correlation between Chronic Tonsillitis with decrease Quality of Life

Method: This analytic qualityative observational study uses case-control method, was held in the Ear Nose Throat (ENT) Clinic of Moewardi Hospital Surakarta. Subjects in this study are people with inclusion and exclusion criteria. Health Related Quality of Life (HR-QoL) was assessed using Pediatric Quality of Life Inventory (PedsQL). The sample data collecting is done by using Simple Random Sampling. This study obtained 30 datas and analyzed using data normality test with Shapiro-Wilk and t-independent test through SPSS 17.00 for Widows. Significance was set at p < 0,005.

Result: This research shows (1) a significant mean difference of Quality of Life for patient of Chronic Tonsillitis is 1.615,7 ± 325,6 and for without Chronic Tonsillitis is 2.532,3 ± 269,9 (2) the result of t-independent test is p = 0,000

Conclusion: There are a correlation between clinical symptoms chronic tonsillitis with a decreased quality of life. Quality of life from patient with chronic tonsillitis is lower than without chronic tonsilitis

Keywords: Health Related Quality of Life (HR-QoL), chronic tonsillitis

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tonsilitis merupakan penyakit umum. Hampir semua anak di Amerika Serikat setidaknya mengalami satu episode tonsilitis. Antara 2,5% dan 10,9% anak merupakan carrier. Prevalensi rata-rata status anak sekolah carrier untuk Streptococcus group A, penyebab tonsilitis, adalah 15,9%. Anak-anak mencakup sekitar sepertiga dari 45.000 episode peritonsillar abses diperkirakan di Amerika Serikat pada tahun 1995. Tonsilitis yang kambuh dilaporkan pada 11,7% anak- anak Norwegia dalam satu penelitian dan diperkirakan dalam penelitian lain mempengaruhi 12,1% dari anak Turki. Riwayat keluarga atopi dan tonsilitis dapat memprediksi terjadinya tonsilitis pada anak-anak mereka (Shan, 2009).

Prevalensi tonsilitis di Amerika Serikat adalah 7 per 1000 penduduk dan rata-rata prevalensi masyarakat Amerika Serikat adalah 1 pada 42 penduduk atau 0,70% dari 1,9 juta penduduk (Paradise dan Bluestone, 1995). Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebesar 3,8%. Insiden tonsilitis kronik di RS dr. Kariadi Semarang 23,36% dan 47% di antaranya pada usia 6-15 tahun. Sedangkan di RSUP dr. Hasan Sadikin pada periode April 1997 sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien tonsilitis kronik atau 6,75% dari seluruh jumlah kunjungan ( Farokah, 2007).

atau nyeri telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan menurun, nyeri kepala dan badan terasa meriang (Soepardi et al., 2009).

Pada tonsilitis kronik hipertrofi dapat menyebabkan apnea obstruksi saat tidur; gejala yang umum pada anak adalah mendengkur, sering mengantuk, gelisah, perhatian berkurang dan prestasi belajar menurun (Lipton,2002).

Gangguan fungsi normal pada penderita tonsilitis kronik dan dampaknya terhadap kualitas hidup. Penderita tonsilitis kronik yang terganggu fungsi respirasi dan menelan dapak mengalami penurunan kualitas hidup (Hendradewi, 2006).

Kualitas hidup adalah konsep yang mencakup karakter fisik, mental, sosial dan emosional yang mencakup komplikasi dan efek terapi terhadap suatu penyakit. Kualitas hidup secara luas dapat menggambarkan kemampuan individu untuk berperan dalam lingkungannya dan memperoleh kepuasan dari yang dilakukan. Kualitas hidup berhubungan dengan kesehatan menggambarkan tingkat kesehatan seseorang yang mengalami suatu penyakit dan mendapatkan pengelolaan sesuai dengan penyakit tertentu (Loonen, 2001; Richadson,2001).

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara tonsilitis kronik dengan penurunan kualitas hidup.

B. Perumusan Masalah

Adakah hubungan tonsilitis kronik dengan penurunan kualitas hidup manusia?

Untuk mengetahui hubungan antara tonsilitis kronik dengan penurunan kualitas hidup manusia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat berupa :

1. Memberikan informasi tentang bahaya dari tonsilitis kronik.

2. Mendapat gambaran kualitas hidup tonsilitis kronik.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Tonsil

Tonsil adalah kelenjar getah bening di bagian belakang mulut dan tenggorok bagian atas. Mereka biasanya membantu menyaring bakteri dan kuman lain untuk mencegah infeksi pada tubuh (Kaneshiro, 2010). Massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan kriptus didalamnya (Soepardi et al., 2009).

Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsila faringal (adenoid), tonsila palatina dan tonsila lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsila tuba termasuk kelompok tonsila keempat terletak di muara tuba auditiva pada faring. Ciri khas tonsil adalah permukaan epitelnya yang tertekan dan dikelilingi kelompok limfonodus (Lesson, 1995; Soepardi et al ., 2009).

a. Macam –macam tonsil

1) Tonsila Palatina

Tonsil palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak pada fossa tonsilaris pada kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsil palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Pada bagian permukaan lateral ditutupi oleh

merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan median tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari arteri palatina major, arteri palatina asendens, cabang tonsil arteri maksila eksterna, arteri faring asenden dan arteri ligualis dorsal (Soepardi et al ., 2009).

2) Tonsila Lingual Tonsila lingual terletak didasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh

ligamentum glosoepoglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus. Tonsila lingualis mempunyai kripta kecil-kecil yang tidak terlalu berlekuk-lekuk atau bercabang dibandingkan dengan tonsila palatina (Soepardi et al., 2009; Lesson et al., 1995).

Tonsila faringea merupakan kumpulan jaringan limfoid di dinding belakang medial nasofaring. Jaringan limfoidnya sama seperti pada tonsil palatina epitel permukaan berlipat-lipat akan tetapi tidak sampai membentuk kriptus. Epitel tampak sangat disebuk oleh limfosit. Pembesaran tonsil faringea, yang berakibat menyumbat ke jalur hidung, sering kali terjadi, yang dikenal sebagai adenoid(Lesson et al., 1995).

4) Tonsila tuba Kadang-kadang tonsila tuba dianggap kelompok tonsila yang

tersendiri. Setiap tonsila tuba terletak di sekeliling muara faringeal tuba faringo-timpani (auditiva) dan membentuk perluasan tonsila faringea ke lateral. Tonsila tuba dilapisi epitel silindris berambut getar (Lesson et al., 1995).

b. Respon imun tonsil Sebagian besar tonsil adalah organ sel ß dengan ß limfosit yang terdiri dari 50% - 65% semua limfosit tonsil. Sel T limfosit terdiri dari sekitar 40% dari limfosit tonsil dan 3% adalah sel plasma matang. Tonsil terlibat dalam menginduksi kekebalan dan mengatur produksi sekresi imunoglobulin. Tonsil yang baik berfungsi untuk perlindungan kekebalan saluran aerodigestive. Selain itu, terdapat 10 - 30 kriptus dalam setiap tonsil yang ideal untuk mencegah benda asing dan membawanya ke folikel limfoid.

tonsil paling aktif antara usia 4 sampai 10 tahun. Involusi tonsil dimulai setelah pubertas, mengakibatkan penurunan populasi sel ß dan peningkatan relatif. Meskipun secara keseluruhan produksi imunoglobulin berkurang, tetapi masih cukup besar aktivitas sel ß jika dilihat dari kondisi klinis tonsil yang sehat. ( Campisi dan Tewfik, 2003).

Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian yaitu :

1) Respon imun tahap I

2) Respon imun tahap II

3) Migrasi limfosit. Pada respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barier imunologis.

Sel limfoid ditemukan dalam ruang epitel kripte tonsila palatina terutama tersusun atas limfosit B dan sel T helper (CD4+). Respon imun membutuhkan bantuan sitokin berbeda. Sitokin adalah peptida yang terlibat dalam regulasi proses imun dan dihasilkan secara dominan stimulasi antigen lokal oleh limfosit intraepitel, sel limfoid lain atau sel non limfoid. Sel T intraepitel menghasilkan berbagai sitokin antara lain IL –2, IL-4, IL-6, TNF- α, TNF-β / LT-α, INF γ, dan TGF-β.

Diperkirakan 50-90% limfosit intraepitel adalah sel B, sel B berupa mature memory cells B dengan potensial APC yang memungkinkan Diperkirakan 50-90% limfosit intraepitel adalah sel B, sel B berupa mature memory cells B dengan potensial APC yang memungkinkan

IgA merupakan komponen substansial sistem imun humoral tonsila palatina. Produksi J-chain oleh penghasil Ig sebagai faktor krusial dalam transpor epitel polimer Ig melalui komponen sekretoris transmembran. Distribusi J-chain itu sendiri tergantung dari lokasi sel (29% IgA dihasilkan di sentrum germinativum dan 59% IgA dihasilkan di regio ekstrafolikular). Ig terbentuk secara pasif ditranspot ke dalam kripte.

Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Pada daerah ekstrafolikular, IDC dan makrofag memproses antigen

dan menampakkan atigen terhadap CD4+ limfosit T. Sel T FH kemudian menstimuli limfosit B folikel sehingga berproliferasi dan bermigrasi dari

dark zone ke light zone, mengembangkan suatu antibodi melalui sel memori

B dan antibodi melalui sel plasma. Sel plasma tonsil juga menghasilkan lima kelas Ig (IgG 65%, IgA 20%, sisanya Ig M, IgD, IgE) yang membantu melawan dan mencegah infeksi. Lebih lanjut, kontak antigen dengan sel B memori dalam folikel limfoid berperan penting untuk menghasilkan respon imun sekunder. Meskipun jumlah sel T terbatas namun mampu menghasilkan beberapa sitokin (misal IL-4) yang menghambat apoptosis sel

B.

limfosit dari penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil melalui HEVdan kembali ke sirkulasi melaui limfe. Tonsil berperan tidak hanya sebagai pintu masuk tapi juga keluar limfosit, beberapa molekul adesi selectin), kemokin, dan sitokin. Kemokin yang dihasilkan kripte akan menarik sel B untuk berperan didalam kripte (Nave et al., 2001).

c. Fungsi tonsil Pembuluh darah memasok simpai dan septa tonsila, serta mendarahi jaringan limfoid. Tonsila tidak mempunyai pembuluh darah limfe aferen. Pleksus kapiler limfe terdapat di sekitar jaringan limfoid dan bermuara ke pembuluh darah limfe eferen. Tonsila yang mencapai perkembangan maksimum pada masa kanak-kanak dan kemudian menyusut, membentuk lingkaran jaringan limfosid yang terputus-puts di sekeliling faring. Tonsil turut serta dalam pembentukan limfosit dan membantu melindungi tubuh terhadap serangan bakteri, virus, dan protein asing lainnya. Seperti di dalam jaringan limfoid lainnya. Seperti di dalam jaringan limfoid lainnya, protein asing (antigen) merangsang pembentukan zat anti dalam sel plasma, yang berasal dari limfosit. Di samping itu, kerusakan epitel tampak memudahkan masuknya mikroorganisme dan sering kali tonsila diketahui sebagai tempat masuknya (pintu gerbang) infeksi (Lesson et al., 1995).

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/Gerlach’s tonsil). Radang tenggorok merupakan salah satu penyebab tonsilitis (Soepardi et al., 2009).

Tonsilitis memiliki efek jangka panjang sedikit, tonsilitis berulang menyebabkan morbiditas yang signifikan dan mengurangi waktu sekolah atau bekerja. Definisi berulang mungkin agak berbeda, tetapi kriteria yang digunakan baru-baru ini sebagai ukuran keparahan adalah 5 atau lebih dari episode yang cocok dari gejala tonsilitis per tahun, gejala berulang setidaknya satu tahun, dan episode yang menonaktifkan dan yang menghalangi fungsi normal ( Kvestad, 2011) .

Tonsil bisa menjadi sangat menghawatirkan oleh karena infeksi bakteri atau virus sehingga dapat membengkak dan menjadi radang, sehingga dapat menyebabkan tonsilitis. Infeksi terjadi di tenggorokan dan daerah sekitarnya, menyebabkan radang di faring (Kaneshiro, 2010).

Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak. Tonsilitis disebabkan oleh infeksi bakteri Streptococcus B hemolitikus, Streptococcus viridans dan Streptococcus pyrogen sebagai penyebab Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak. Tonsilitis disebabkan oleh infeksi bakteri Streptococcus B hemolitikus, Streptococcus viridans dan Streptococcus pyrogen sebagai penyebab

Tonsilitis dapat diklasifikasikan dalam komplikasi supuratif dan non supuratif. Komplikasi non supuratif termasuk demam berdarah, demam rematik akut, dan pasca-streptokokus glomerulonefritis. Komplikasi supuratif termasuk peritonsillar, retropharyngeal parapharyngeal dan pembentukan abses. Demam scarlet a dalah tonsilitis akut sekunder atau Streptococcus faringitis dengan produksi endotoksin oleh bakteri. Tanda-tanda klinis termasuk ruam eritematosa, limfadenopati parah, demam, takikardia, dan eksudat kuning diatas eritematosa tonsil. Demam reumatik akut adalah sindrom yang terdapat Streptococcus group A. Faringitis selama satu sampai empat minggu. Abses peritonsillar paling sering terjadi pada pasien dengan tonsillitis berulang atau tonsilitis kronik yang tidak diobati. Penyebaran infeksi dari superior pole dari tonsil dengan nanah antara dasar tonsil dan kapsul ( Campisi dan Tewfik, 2003).

a. Tonsilitis Akut

Tonsilitis bakterialis supuratif akut paling sering disebabkan oleh Streptococcus

B hemolitikus group A, meskipun Pneumococcus, Staphylococcus , dan Haemophilus influenzae juga virus patogen dapat dilibatkan(Adams et al., 1997). Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini B hemolitikus group A, meskipun Pneumococcus, Staphylococcus , dan Haemophilus influenzae juga virus patogen dapat dilibatkan(Adams et al., 1997). Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini

1) Peradangan biasa daerah tonsil saja

2) Pembentukan eksudat

3) Selulitis tonsila dan daerah sekitanya

4) Pembentukan abses peritonsilar

5) Nekrosis jaringan (Adams et al., 1997).

Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bentuk detritus ini juga melebar sehingga terbentuk semacam membran semu (pseudo membrane) yang menutupi tonsil. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus dan tampak sebagai bercak kuning (Soepardi et al., 2009).

Manisfestasi klinis. Suhu tubuh naik sampai 40 o

C. Rasa gatal/kering di tenggorok, lesu, nyeri sendi, odinofagia, anoreksia, dan otalgia. Bila laring terkena suara akan menjadi serak (Mansjoer et al., 2001).

Pada pemeriksaan tonsil dalam keadaan dini menunjukkan pembesaran, hipervasikularisasi, dan sebagian tertutup oleh eksudat putih keabu-abuan yang mudah diangkat (Ballenger, 1994). Masa inkubasi 2-4 hari.

penisilin, eritromisin. Antipiretik dan obat kumur yang mengandung desinfektan (Soepardi et al., 2009).

Pada anak sering menimbulkan kompilkasi otitis media akut, sinusitis abses peritonsil, abses para faring, bronkitis, glomerulonefritis, miokardiatis, artritis serta septikemia akibat infeksi vena jugularis interna.

Akibat hipertrofi akan menyebabkan pasien bernafas melalui mulut, tidur mendengkur, gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) (Soepardi et al ., 2009).

b. Tonsilitis Kronik Tonsilitis kronik umumnya merupakan penyakit pada orang dewasa.

Mungkin terdapat atrofi fisiologis dari tonsil tanpa gejala (Ballenger,1994)

Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang menahun dari rokok, berbagai jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat (Soepardi et al., 2009).

Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut, terutama yang tidak mendapat terapi adekuat, mungkin serangan mereda tetapi kemudian dalam waktu pendek kambuh kembali dan menjadi laten.

merupakan faktor prediposisi timbulnya tonsilitis kronis yang merupakan infeksi fokal. Kuman penyebab tonsilitis kronik sama dengan tonsilitis

akut yaitu Streptococcus pneumonia , Haemophilus influenzae , Streptococcus B hemolitikus, Streptokokus viridans . Streptococcus B hemolitikus group A merupakan kuman patogen yang sering dijumpai dan berhubungan dengan risiko demam rematik dan glumerulonefritis. Insidensi dari tonsilitis oleh karena Streptococcus B hemolitikus group A paling tinggi pada umur 6-12 tahun (Shields dan Deskin, 2002; Amarudin dan Christanto, 2007).

Patologi terjadi karena proses peradangan berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula (Soepardi et al., 2009).

Gejala tonsilitis kronik mungkin tidak ada, namun jika ada biasanya tidak berat. Pasien akan mengekuh sakit yang menusuk saat menelan (Ballenger,1994). Tonsilitis kronik merupakan penyakit yang paling sering dari semua radang tenggorok. Gejala klinis : Gejala tonsilitis kronik mungkin tidak ada, namun jika ada biasanya tidak berat. Pasien akan mengekuh sakit yang menusuk saat menelan (Ballenger,1994). Tonsilitis kronik merupakan penyakit yang paling sering dari semua radang tenggorok. Gejala klinis :

2) Gejala sistematis, perasaan tidak enak di badan, malaise, sakit kepala, panas badan subfebris, sakit pada otot dan persendian.

3) Tanda klinis, tonsil dengan debris pada kriptenya tonsil udem atau hipertrofi atau tonsil fibrotik dan kecil, plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional (Soepardi et al ., 2009). Ukuran tonsil pada tonsilitis kronik dapat membesar (hipertrofi) atau

atrofi. Menurut Brodsky diklasifikasikan menggunakan perbandingan lebar tonsil dengan lebar orofaring sebagai berikut : (Shields dan Deskin, 2002).

1) Tonsil T1 : kurang dari 25% menempati orofaring

2) Tonsil T2 : 25-50%

3) Tonsil T3 : 50-75%

4) Tonsil T4 : lebih dari 75%

Menurut Mac Kenzy tonsil dapat dukualifikasikan sebagai berikut : (Prijanto, 1997)

1) Tonsil T1 : pembesaran ¼ jarak arkus anterior – uvula

2) Tonsil T2 : pembesaran ½ jarak arkus anterior – uvula

3) Tonsil T3 : pembesaran ¾ jarak arkus anterior – uvula

Jika gejala mengganggu pasien dan berulang dengan selang waktu

fokal infeksi di tonsil, untuk itu dapat dilakukan pengangkatan tonsil atau tonsilektomi (Ballenger,1994). Kriteria tonsilitis kronis yang memerlukan tindakan tonsilektomi, umumnya diambil berdasarkan frekuensi serangan tonsilitis akut dalam setahun yaitu tonsilitis akut berulang 3 kali atau lebih dalam setahun atau sakit tenggorok 4-6 kali setahun tanpa memperhatikan jumlah serangan tonsilitis akut (Hatmansjah, 1993). Penatalaksanan medis termasuk pemberian penisilin yang lama, irigasi tenggorok sehari-hari, dan usaha membersihkan kripta tonsilaris dengan alat irigasi gigi atau oral. Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi kronik atau berulang (Adams et al., 1997).

3. Tonsilektomi.

Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan tertua, berupa tindakan pengangkatan jaringan tonsila palatina. Tonsilektomi tindakan operasi yang sering dilakukan pada anak-anak (Shields dan Deskin, 2002). Tonsilektomi salah satu prosedur paling umum dilakukan pembedahan di Amerika Serikat. Tonsilektomi pada orang dewasa telah direkomendasikan untuk tonsilitis berulang, tonsilitis kronik, atau dengan keadaan Streptokokus carrier. Selain itu, berbagai kriteria untuk diagnosis tonsilitis kronik telah digunakan, tergantung pada frekuensi dan tingkat keparahan (Bhattacharyya et al., 2001). Tonsilektomi sudah sejak lama merupakan kontroversi di berbagai kalangan, Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan tertua, berupa tindakan pengangkatan jaringan tonsila palatina. Tonsilektomi tindakan operasi yang sering dilakukan pada anak-anak (Shields dan Deskin, 2002). Tonsilektomi salah satu prosedur paling umum dilakukan pembedahan di Amerika Serikat. Tonsilektomi pada orang dewasa telah direkomendasikan untuk tonsilitis berulang, tonsilitis kronik, atau dengan keadaan Streptokokus carrier. Selain itu, berbagai kriteria untuk diagnosis tonsilitis kronik telah digunakan, tergantung pada frekuensi dan tingkat keparahan (Bhattacharyya et al., 2001). Tonsilektomi sudah sejak lama merupakan kontroversi di berbagai kalangan,

Indikasi absolut dari tonsilektomi adalah :

a. Timbulnya cor pulmunale

b. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur

c. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat badan

d. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan

e. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada jaringan sekitarnya

Indikasi relatif merupakan seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi. Indikasi yang paling sering adalah episode berulang dari infeksi Streptokokus

B hemolitikus grup A. Menurut The American Academy of Ortolaringology – Head and Neck Surgery Clinical indicators Compendium tahun 1995 :

a. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapat terapi adekuat a. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapat terapi adekuat

c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor pulmonale

d. Rinitis adn sinusitis yang kronik, peritonsilitis, abses peritonsil yang berhasil hilang dengan pengobatan.

e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan

f. Tonsilitis berulang yang di sebabkan streptokokus B hemolitikus grup A.

g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan

h. Otitis media efusa/otitis media supuratif (Soepardi et al., 1997). Tonsilektomi secara umum merupakan operasi yang aman, namun dokter bedah harus mengenali potensi komplikasi yang mungkin terjadi.

Komplikasi tonsilektomi :

a. Mortalitas. Pratt melaporkan bahwa mortalitas dari tonsilektomi, jika dilakukan ahli bedah dan anestesiolog yang berpengalaman adalah 0,006%. Penyebab kematian sama banyak di antara anestesi, henti jantung dan perdarahan.

b. Perdarahan. Pencegahan yang terbaik adalah memastikan pasien bahwa kompilkasi pernapasan dan kecenderungan perdarahan pada waktu operasi. Jika timbul perdarahan, biasanya di antara 2-4 jam b. Perdarahan. Pencegahan yang terbaik adalah memastikan pasien bahwa kompilkasi pernapasan dan kecenderungan perdarahan pada waktu operasi. Jika timbul perdarahan, biasanya di antara 2-4 jam

c. Abses paru merupakan komplikasi dari tonsilektomi yang jarang terjadi yang disebabkan oleh apirasi darah dan debris atau infeksi yang sudah ada sebelumnya dan manifestasi pasca operasi (Ballenger, 1994).

d. Komplikasi lainya adalah dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia. (Hermani et al., 2004).

4. Kualitas Hidup

Kualitas hidup seringkali diartikan sebagai komponen kebahagiaan dan kepuasan terhadap kehidupan. Akan tetapi pengertian kualitas hidup tersebut seringkali bermakna berbeda pada setiap orang karena mempunyai banyak sekali faktor yang mempengaruhinya seperti keuangan, keamanan, atau kesehatan. Untuk itulah di bidang kedokteran digunakan istilah kualitas hidup terkait kesehatan atau health-related quality of life (HRQoL) (Fayers and Machin, 2007).

Dalam kesehatan masyarakat dan kedokteran, konsep yang berhubungan dengan kualitas hidup terkait kesehatan mengacu pada orang atau kelompok dengan kesehatan fisik dan mental yang dinamis dari waktu ke waktu. Dokter sering melakukan penilaian kualitas hidup terkait kesehatan untuk mengukur

suatu penyakit terhadap kualitas hidup seseorang. Demikian pula, lembaga kesehatan masyarakat profesional, menggunakan kualitas hidup terkait kesehatan untuk mengukur efek dari berbagai gangguan, cacat jangka pendek dan jangka panjang, dan penyakit pada populasi yang berbeda. Pelacakan kualitas hidup terkait kesehatan di populasi yang berbeda dapat mengidentifikasi kelompok dengan kesehatan fisik atau mental untuk kemudian dapat membantu kebijakan panduan atau intervensi untuk meningkatkan kesehatan (CDC, 2010; Fallowfield, 2009).

Kualitas hidup merupakan suatu pengertian multidimensional yang sampai saat ini belum ada definisi yang secara universal diterima. Definisi kualitas hidup diambil dari definisi sehat menurut WHO. Sehat adalah keadaan baik atau sejahtera secara fisik, mental, sosial dan bukan semata- mata terbebas dari penyakit atau kecacatan. Sehat menurut Undang-undang Kesehatan no. 23 tahun 1992 adalah kesejahteraan baik badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi ( Depkes RI, 1992). Tidak hanya berarti tidak ada kelemahan atau penyakit, demikian juga mengenai kualitas hidup, kualitas hidup bukan berarti hanya tidak ada keluhan saja, akan tetapi masih ada hal-hal lain yang dirasakan oleh penderita, bagaimana perasaan penderita sebenarnya dan apa yang sebenarnya menjadi keinginannya (Silitonga, 2007).

Kualitas hidup terkait kesehatan berbeda dengan status fungsional. Kualitas hidup terkait kesehatan mencakup evaluasi subyektif tentang Kualitas hidup terkait kesehatan berbeda dengan status fungsional. Kualitas hidup terkait kesehatan mencakup evaluasi subyektif tentang

Secara umum terdapat 5 bidang (domains) yang dipakai untuk mengukur kualitas hidup terkait kesehatan berdasarkan kuesioner yang dikembangkan oleh World Health Organization (WHO), bidang tersebut adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologik, keleluasaan aktivitas, hubungan sosial dan lingkungan, sedangkan secara rinci bidang-bidang yang termasuk kualitas hidup adalah sebagai berikut :

a. Kesehatan fisik (physical health): kesehatan umum, nyeri, energi dan vitalitas, aktivitas seksual, tidur dan istirahat.

b. Kesehatan psikologis (psychological health): cara berpikir, belajar, memori dan konsentrasi.

c. Tingkat aktivitas (level of independence): mobilitas, aktivitas sehari-hari, komunikasi, kemampuan kerja.

d. Hubungan sosial (sosial relationship): hubungan sosial, dukungan sosial.

e. Lingkungan (environment), keamanan, lingkungan rumah, kepuasan kerja (Hermann, 1993).

Kualitas hidup pada dasarnya bersifat subjektif, multidimensional dan dinamis. Subjektif karena pengukuranya yang terbaik adalah dilakukan oleh penderitanya, berarti berasal dari sudut pandang penderitanya. Bersifat Kualitas hidup pada dasarnya bersifat subjektif, multidimensional dan dinamis. Subjektif karena pengukuranya yang terbaik adalah dilakukan oleh penderitanya, berarti berasal dari sudut pandang penderitanya. Bersifat

Kualitas hidup anak secara umum dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain:

a. Kondisi global, berupa kebijakan pemerintah dan asas-asas dalam masyarakat yang memberikan perlindungan pada anak- anak.

b. Kondisi eksternal, meliputi tempat tinggal, status ekonomi keluarga, pelayanan kesehatan dan pendidikan orang tua.

c. Kondisi interpersonal, meliputi hubungan sosial dalam keluarga, teman sebaya

d. Kondisi personal, meliputi dimensi fisik, mental, dan spiritual pada diri anak sendiri, yaitu umur, jenis kelamin, status gizi, pendidikan anak.

Pediatric Quality of Life Inventory (PedsQL) merupakan salah satu instrument untuk mengukur kualitas hidup anak. PedsQL mempunyai 2 model: generik dan spesifik PedsQL generik didesain untuk digunakan pada berbagai penyakit anak, instrumen ini dapat membedakan kualitas hidup anak sehat dengan anak yang menderita suatu penyakit kronik. PedsQL spesifik dikembangkan untuk mengukur kualitas hidup secara spesifik suatu penyakit (Varni, 1999).

persepsi penderita terhadap dampak penyakit dan pengelolaan pada berbagai bidang penting kualitas hidup anak, terdiri dari 30 pertanyaan, yaitu : fisik (8 pertanyaan), emosi (5 pertanyaan), sosial (5 pertanyaan), sekolah (5 pertanyaan), kesehatan (6 pertanyaan) dan persepsi kesehatan secara menyeluruh (1 pertanyaan). Sedangkan konsep PedsQL spesifik terdiri atas

37 pertanyaan: fisik (5 pertanyaan), emosi (4 pertanyaan), sosial (3 pertanyaan), sekolah (3 pertanyaan) dan 22 pertanyaan pendek tentang spesifik penyakit (Varni, 1999).

Kehandalan masing-masing instrument ini ditunjukkan dengan konsistensi internal yang baik, dengan koefisien alpha secara umum antara 0,70 - 0,92. PedsQL genrik dan spesifik praktis digunakan pengisian pertanyaan memerlukan waktu 10 menit, rasio kesalahan data kira-kira 001, penilaian sangat mudah memberi nilai 0-4 pada setiap pertanyaan dan di konversikan dalam skala 0-100 untuk interprestasi standar (Varni, 1999).

5. Hubungan tonsilitis kronik dengan kualitas hidup

Pada tonsilitis kronik telah terjadi penurunan fungsi imunitas dari tonsil. Penurunan fungsi tonsil ditunjukkan melalui peningkatan deposit antigen persisten pada jaringan tonsil sehingga terjadi peningkatan regulasi sel-sel imunokompeten berakibat peningkatan insiden sel yang mengekspresikan IL-

1β, TNF-α, IL-6, IL-8, IL-2, INF-γ, IL-10, dan IL-4 (Agren et al., 1995).

Kualitas hidup pasien dewasa terhadap tonsilitis kronik adalah

tindakan operasi tersering dalam mengobati tonsilitis. Faktor penentu kualitas hidup pasien dengan tonsilitis kronik multidimensi terutama setelah hasil terapi bedah dari intervensi terapeutik merupakan faktor utama yang terkait dengan perubahan kualitas hidup dalam pasien. Tidak ada definisi standar kualitas hidup, tetapi pelayanan kesehatan sepakat bahwa kualitas hidup harus diukur dari perspektif pasien. Sebuah hasil yang positif untuk peningkatan kualitas hidup pasien terutama tergantung pada pengurangan jumlah dan frekuensi gejala, kunjungan dokter, penggunaan antibiotik dan juga, secara tidak langsung, pada penghematan keuangan jangka panjang (Skevas et al., 2010).

Di luar negeri penelitian kualitas hidup anak untuk tonsilitis kronik telah dipublikasikan antara lain oleh Howel et al.(2002), menganalisa 1190 orang tua yang anaknya menderita tonsilitis kronik, dengan hasil seorang anak yang menderita penyakit ini akan berdampak pada seluruh keluarganya. Anak yang mengalami gangguan tidur dan sekolah yang akhirnya memberikan dampak sosial, emosional dan keluarga. Status kesehatan dan kualitas hidup anak yang menderita tonsilitis kronik telah di teliti memakai Child Health Questionaire version PF 28, secara signifikan lebih buruk dibandingkan dengan anak sehat (Stewart et al., 2000). Kualitas hidup penderita adenotonsilitis kronik oleh karena Obstructive Sleep Disorder hampir 90% mengalami peningkatan 4 sampai 5 minggu setelah tonsilektomi (de Serres, 2000).

rangsangan bakteri yang terus-menerus terhadap tonsil menyebabkan imunitas tertekan karena menurunnya respon imunologis limfosit darah tepi dan perubahan epitel akan mengurangi reseptor antigen (Mubarika,1995). Gangguan fungsi normal pada pasien penderita tonsilitis kronik dan dampaknya terhadap kualitas hidup. Penderita tonsilitis kronik yang terganggu fungsi respirasi dan menelan dapat mengalami penurunan kualitas hidup, meningkatkan biaya perawatan dan kehilangan waktu belajar atau bekerja (Hendradewi, 2006).

C. Hipotesis

Terdapat hubungan antara gejala dari tonsilitis kronik dengan penurunan kualitas hidup.

Tonsilitis kronik

Terapi

Penyebab tonslitis

Gejala dan tanda

Komplikasi

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Rancangan cross sectional adalah suatu rancangan penelitian di bidang kedokteran dan kesehatan yang paling sering digunakan karena secara metodelogik paling mudah dilakukan dan hanya diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Taufiqurrahman, 2004).

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Poliklinik THT RSUD dr. Moewardi Surakarta

C. Subjek Penelitian

1. Populasi Sumber Pasien yang berobat di Poliklinik THT RSUD dr. Moewardi Surakarta.

2. Besar Sampel Penentuan jumlah sampel pada penelitian ini menggunakan patokan umum rule of thumb. Yaitu digunakan ukuran sampel sebanyak minimum

30 pasien setelah dilakukan restriksi dengan kriteria yang telah ditentukan. Selanjutnya 30 sampel tersebut akan dibagi menurut jumlah kelompok penelitian, sehingga masing-masing kelompok terdiri atas 15 sampel (Murti, 2010).

a. Penderita tonsilitis kronik umur 5-15 tahun.

b. Memenuhi diagnosis tonsilitis kronik.

1) Gejala lokal : rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit

sampai sakit menelan.

2) Gejala sistemik : perasaan tidak enak badan, malaise, sakit kepala,

panas subfebris.

3) Tanda klinis : tonsil hipertropi atau atrofi, pembengkakan kelenjar limfe regional, kriptus membesar dan terisi detritus, hiperemis.

c. Bersedia mengikuti penelitian.

4. Kriteria eksklusi Penderita mempunyai penyakit sinusitis kronik, rhinitis alergi dan otitis media kronik.

5. Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah berdasarkan peluang (Simple Random Sampling). Dengan cara mengurutkan data berdasarkan urutan registrasi. Kemudian diambil sebanyak 30.

6. Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian cross sectional bersifat analitis dilakukan dengan menggunakan kuesioner/angket. Angket adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain yang bersedia memberikan respon sesuai dengan permintaan pengguna dengan tujuan mencari informasi yang lengkap mengenai suatu maslah dari responden tanpa merasa 6. Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian cross sectional bersifat analitis dilakukan dengan menggunakan kuesioner/angket. Angket adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain yang bersedia memberikan respon sesuai dengan permintaan pengguna dengan tujuan mencari informasi yang lengkap mengenai suatu maslah dari responden tanpa merasa

7. Rancangan Penelitian

Tonsilitis kronik ( + )

kualitas hidup

Analisis data

Tonsilitis kronik ( - )

kualitas hidup

Populasi

Sampel

Kriteria inklusi

Kriteria eksklusi

1. Variabel bebas: Frekuensi penderita tonsilitis kronik

2. Variabel terikat: Kualitas hidup

3. Variabel luar:

a. Dapat dikendalikan : usia

b. Tidak dapat dikendalikan dan tidak diteliti : ekonomi orang tua

E. Definisi Operasional Variabel

1. Tonsilitis kronik adalah infeksi pada tonsila palatina yang berlangsung setidaknya 3 bulan dengan gejala klinik adalah keluhan yang dirasakan penderita antara lain rasa tidak enak ditenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan, tidak enak badan, malaise, sakit kepala, pembesaran kelenjar leher di submandibula yang menetap dan sakit.

2. Kualitas hidup untuk mengukur kualitas hidup penderita. Menggunakan PedsQL generik terdiri dari 30 pertanyaan, yaitu : fisik (8 pertanyaan), emosi (5 pertanyaan), sosial (5 pertanyaan), sekolah (5 pertanyaan), kesehatan (6 pertanyaan) dan persepsi kesehatan secara menyeluruh (1 pertanyaan). Penilaian :

a. 0 : tidak ada masalah

b. 1 : hampir tidak ada masalah

c. 2 : kadang-kadang ada masalah

d. 3 : sering ada masalah

e. 4 : selalu ada masalah

Nilai total dihitung dengan menjumlahkan nilai pertanyaan yang mendapat jawaban dibagi dengan jumlah pertanyaan pada semua bidang. Untuk menyamakan persepsi ditentukan:

a. Hampir selalu

: lebih dari 3 kali dalam seminggu

b. Sering

: 1 kali dalam seminggu

c. Kadang-kadang

: 1 kali dalam 2 minggu

d. Hampir tidak pernah : 1 kali dalam 3 minggu

e. Tidak pernah

: dalam satu bulan terakhir tidak pernah

Skala yang digunakan adalah variabel berskala numerik.

F. Instrumen Penelitian

Alat dan bahan

1. Lembar persetujuan mengikuti penelitian.

2. Peralatan.

3. Kuesioner PedsQL Generic Core Scale versi 4.0 Kuesioner ini digunakan untuk anak umur 2-4, 5–7, 8–12 dan 13– 3. Kuesioner PedsQL Generic Core Scale versi 4.0 Kuesioner ini digunakan untuk anak umur 2-4, 5–7, 8–12 dan 13–

4. Kuesioner gejala tonsilitis kronik pada anak.

G. Cara Kerja

1. Mendata penderita umur 5-15 tahun

2. Memilih subjek berdasarkan kriteria inklusi dan eklusi melakukan random untuk mendapatkan sampel selama bulan Mei-Juni.

3. Melakukan informed consent kepada subjek yang akan diteliti, menjelaskan tentang tata laksana penelitian dan meminta izin.

4. Meminta orang tua penderita menjawab kuesioner PedsQL generik dan kuesioner karakteristik umum untuk mencari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas hidup

5. Menganalisis data.

H. Teknik Analisis Data Statistik

Data yang diperoleh dalam penelitian ini kemudian dianalisis dengan teknik analisis statistik dengan uji t-independent.

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Sampel

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2011 di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorokan (THT) RSUD dr. Moewardi Surakarta. Subjek penelitian adalah pasien yang menderita tonsilitis kronik umur 5-15 tahun, bersedia menjadi responden penelitian kriteria kasus.

Sampel penelitian berjumlah 30 responden yang terdiri dari 15 responden dari kelompok pasien yang menderita tonsilitis kronik dan 15 responden dari kelompok yang tidak menderita tonsillitis kronik.

Setelah melalui proses berdasarkan kriteria inklusi dan esklusi, didapatkan

30 responden. Selanjutnya dilakukan simple random sampling pada kelompok tonsilitis kronik dan non tonsilitis kronik.

Tabel 1. Distribusi Sampel Berdasarkan Perlakuan

Tonsilitis Kronik Non Tonsilitis Kronik Total

Sumber : Data primer, 2011

No

Kelompok

Jenis Kelamin

Tonsilitis Kronik Non Tonsilitis Kronik

Sumber : Data primer, 2011 Tabel di atas menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki pada penderita tonsilitis kronik memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan dengan

perempuan, sedangkan non tonsilitis kronik jenis kelamin perempuan memiliki presentase lebih besar dari pada laki-laki. Kelompok tonsilitis kronik memiliki jumlah sampel laki-laki sebanyak 8 anak (53,3%) dari 15 anak. Pada kelompok non tonsiliitis kronik memiliki jumlah sampel perempuan sebanyak 8 anak (53,3%) dari 15 anak.

B. Analisis Statistika

Data penelitian yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan uji t- independent yang merupakan uji parametrik dengan program SPSS 17.00. Uji

ini digunakan bila skor kedua kelompok tidak berhubungan satu sama lain. Adapun syarat uji t-independent adalah data berskala numerik, terdistribusi secara normal, dan variansi kedua kelompok dapat sama atau berbeda (untuk 2 kelompok). Untuk mengetahui bahwa data terdistribusi normal atau tidak, maka dilakukan uji normalitas. Suatu data dikatakan mempunyai sebaran ini digunakan bila skor kedua kelompok tidak berhubungan satu sama lain. Adapun syarat uji t-independent adalah data berskala numerik, terdistribusi secara normal, dan variansi kedua kelompok dapat sama atau berbeda (untuk 2 kelompok). Untuk mengetahui bahwa data terdistribusi normal atau tidak, maka dilakukan uji normalitas. Suatu data dikatakan mempunyai sebaran

Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Data dengan Shapiro-Wilk

Data

Nilai p

Keterangan

Tonsilitis Kronik

Distribusi normal Non Tonsilitis Kronik

Distribusi normal

Sumber : Data primer, 2011 Tabel di atas menunjukkan sebaran data yang di uji normalitas datanya

dilakukan dengan Shapiro-Wilk Test, dengan ketentuan bila signifikan hitung > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut terdistribusi secara normal, demikian sebaliknya bila nilai signifikan hitung < 0,05 maka data tidak terdistribusi secara normal. Karena nilai p untuk nilai tonsilitis kronik adalah 0,595 (p > 0,05) dan non tonsilitis kronik adalah 0,348 (p > 0,05) maka sebaran data kelompok tonsilitis kronik dan non tonsilitis kronik tersebut normal.

Data

Uji Homogenitas Levene’s Test

Keterangan

Tonsilitis Kronik

0,802

0,378

Data homogeny

Sumber: Data primer 2011 Hasil uji homogenitas dengan Levene’s Test dengan ketentuan bila signifikan hitung > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut diasumsikan homogen, demikian sebaliknya bila signifikan < 0,05 data diasumsikan tidak homogen atau mempunyai perbedaan varians.

Berdasarkan uji tersebut dapat diketahui bahwa F = 0,802 (p = 0,108). Karena p > 0,05 maka dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan varians antara skor kualitas hidup antara penderita tonsilitis kronik dan non tonsilitis kronik. Gambar di bawah ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata kualitas hidup penderita tonsilitis kronik dan non tonsilitis kronik.

Gambar 1. Boxplots Skor Kualitas Hidup

Berdasarkan gambar tersebut diketahui bahwa rerata kualitas hidup tonsilitis kronik adalah 1.615,7 ± 325,6, sedangkan pada non tonsilitis kronik

adalah 2.532,3 ± 269,9. Tabel 5. Hasil Uji t-independent

Sumber: Data primer 2011

Kelompok

Mean Skor Kualitas Hidup

STD

Analisis Uji t- independent

Tonsilitis Kronik Non Tonsilitis Kronik

p = 0,000 p = 0,000

PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tonsilitis kronik dengan penurunana kualitas hidup. Tonsilitis kronik adalah infeksi pada tonsila palatina yang berlangsung setidaknya 3 bulan dengan gejala klinik adalah keluhan yang dirasakan penderita antara lain rasa tidak enak ditenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan, tidak enak badan, malaise, sakit kepala. Berdasarkan data hasil penelitian pada Tabel 1 diketahui jumlah sampel yang dapat dianalisis dalam penelitian ini adalah 30 anak. Didapatkan dari anak usia antara 5-15 tahun yang terdiri dari 15 anak penderita tonsilitis kronik dan 15 anak non tonsilitis kronik. Penentuan batas usia antara 5-15 tahun dikarenakan periode tersering pada anak yang mengalami tonilitis kronik, selain itu anak juga mengalami masa pertumbuhan sehingga kondisi fisik, emosi dan psikologi secara umum hampir sama, rntang umur cukup lebar ini tidak mempengaruhi kualitas hidup.

Pada tabel 2 menunjukkan distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin, . Tabel tersebut menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki pada penderita tonsilitis kronik memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan, sedangkan non tonsilitis kronik jenis kelamin perempuan memiliki presentase lebih besar dari pada laki-laki. Kelompok tonsilitis kronik memiliki jumlah sampel laki-laki sebanyak 8 (53,3%) anak dan perempuan sebanyak 7 anak (46,7%) anak dari 15 anak. Pada kelompok non tonsiliitis kronik memiliki jumlah sampel laki-laki sebanyak 7 anak (46,7%) anak dan perempuan sebanyak 8