HIPERTENSI SEBAGAI FAKTOR RISIKO RETINOPATI DIABETIK PADA PASIEN DIABETES MELITUS SKRIPSI Untuk Me me nuhi Pe rsyaratan Me mpe role h Ge lar Sarjana Ke dok te ran

DIABETIK PADA PASIEN DIABETES MELITUS

SKRIPSI Untuk Meme nuhi Persyaratan

Mempe role h Gelar Sarjana Kedok te ran

Medha Gitta Anindita

G000 5132

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 1 April 2010

Medha Gitta Anindita NIM G0005132

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Hipe rtensi Se bagai Fak to r Ris iko Re tinopati Diabe tik

Pada Pasie n Diabete s Melitus

Medha Gitta Anindita, G0005132/X, Tahun 2010

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada Hari Sabtu, Tanggal 22 April 2010

Pembimbing Utama

Prof. Dr. Admadi Soeroso, dr., Sp. M., MARS ............................. NIP 194612071976031001

Pembimbing Pe ndamping

Senyum Indrakila dr., Sp. M

NIP 197301022005011001

Penguji Utama

Moch. Djafar dr., Sp. M

NIP 19450621197612100

Anggota Pe nguji

Prof.Bhisma Murti, dr., MPH ., MSc., P hD

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

Sri Wahjono, dr., MKe s., DAFK Prof. Dr. A.A. Subijanto, dr., MS. NIP 194 508241973101001

NIP 194 811071973101003

ABSTRACT

Medha Gitta Anindita, G00 05 13 2, 2010, Hypertension as A Risk Factor of Diabetic Retinopathy in P atients With Diabetes Mellitus. Medical Faculty, Sebelas Maret University of Surakarta.

Diabetic retinopathy is damage to the retina which is not caused by inflamation in patients with diabetes mellitus. One of the risk factor of diabetic retinopathy is hypertension. This research is to determain the relationship between hypertension and the incidence of diabetic retinopathy.

This research is analytical in traits having cross sectional approach. The sample size is 83 patients in RSUD Dr. Moewardi Surakarta, which are selected using exhausted sampling. Data was collected by recording the patients’ medical record results and analyzed using linear regression analysis. The influence of hypertension is measured by Odd Ratio (OR) and CI 95% .

The result show that patients with hypertension have 11 times more possibility to have retinopathy diabetic then patients with no hypertension

(OR=11 ; CI 95% 2.7 to 46.6). This research concludes that hypertension will increase the incidence of diabetic retinopathy in patients with diabetes mellitus and it is statistically significant.

Ke y words : Diabetic retinopathy , Hypertension

ABSTRAK

Medha Gitta Anindita, G000 51 32 , 2010, Hipertensi Sebagai Faktor Risiko Retinopati Diabetik P ada P asien Diabetes Melitus, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Retinopati diabetik adalah kelainan pada retina yang tidak disebabkan oleh proses inflamasi, yang sering terjadi pada penderita diabetes melitus. Salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian retinopati diabetik adalah hipertensi. Penelitian ini bertujuan menguji dan mengestimasi hubungan antara hipertensi pada pasien diabetes melitus terhadap kejadian retinopati diabetik.

Penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan cross section al. Jumlah sampel sebanyak 83 orang pasien RSUD Dr. Moewardi Surakarta dipilih dengan tekniks exhau sted sa mp ling . Pengumpulan data dilakukan dengan cara mencatat hasil rekam medis pasien. Data dianalisa dengan model analisis uji chi kuadrat. Pengaruh hipertensi diukur dengan Odds Ratio (= OR) dan CI 95%

Hasil penelitian menunjukkan pasien dengan hipertensi memiliki risiko 11 kali lebih besar untuk mengalami retinopati diabetik daripada pasien tanpa hipertensi (OR=11 ; CI 95% 2.7 sampai dengan 46.6).

P enelitian ini menyimpulkan bahwa hipertensi akan meningkatkan kejadian retinopati diabetik pada pasien diabetes melitus yang secara statistik signifikan.

Kata k unci : Retinopati diabetik , Hipertensi

PRAKATA

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan bimbingan dan anugerahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Hipertensi Sebag ai Faktor Risiko Re tinopati

Diabetik Pada Pasien Diabe te s Melitus.

Penyusunan skripsi dimaksudkan untuk melengkapi tugas, guna memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk mencapai gelar Sarjana Kedokteran. P ada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. A. A. Subijanto, dr., MS selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Prof. Dr. Admadi Soeroso, dr., Sp. M., MARS selaku pembimbing utama.

4. Senyum Indrakila dr., Sp. M selaku pembimbing pendamping.

5. Moch. Djafar dr., Sp. M selaku penguji utama

6. Prof.Bhisma Murti, dr., MPH., MSc., PhD selaku anggota penguji

7. Dan segenap pihak-pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini. Akhir kata penulis memohon kritik dan saran apabila dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan.

Surakarta, 1 April 2010

Medha Gitta Anindita

BAB VI. SIMPU LAN DAN SARAN ..............................................................

A. Kesimpulan ................................................................................... 35

B. Saran ............................................................................................. 35 DAFTAR P USTAKA...................................................................................... 36 LAMPIRAN

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa.......................................21 Tabel 4.1 Karakteristik sampel menurut umur......................................................28 Tabel 4.2 Karakteristik sampel menurut jenis kelamin........................................ 28 Tabel 4.3Hasil analisis hipertensi sebagai faktor risiko retinopati pada

pasien diabetes melitus tipe II...............................................................29

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka berpikir tentang hipertensi sebagai faktor risiko retinopati diabetik.............................................................................23 Gambar 3.1Skema P enelitian tentang hipertensi sebagai faktor risiko retinopati diabetik.............................................................................. 25 Gambar 4.1.Perbedaan persentase retinopati antara pasien DM tipe 2 dengan

dan tanpa hipertensi…………..………………......………………....29

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Data mentah has il penelitian ....................................................

41 Lampiran B. Hasil analisis SP SS uji chi kuadrat ..........................................

44 Lampiran C. Surat izin penelitian di RSUD Dr.Moewardi Surakarta...........

xi

BAB I PENDA HULU AN

A. Latar Belakang Masalah

Kebutaan menurut Interna tio na l Co uncil of Optha lmolog y adalah suatu kondisi dimana persepsi visual seseorang berkurang baik karena faktor fisiologis ataupun faktor neurologis (Wikipedia, 2002).

Buta menurut PERDAMI adalah keadaan dimana visus seseorang 3/60 setelah koreksi maksimal, dengan lapang pandang 10 0 .

Kategori buta antara lain : 1) Buta oftalmologis, ialah tajam penglihatan yang sudah 0 (nol), dimana penderita sudah tidak dapat melihat terangnya sinar lampu sama sekali ; 2) Buta sosial, ialah kondisi dimana ketajaman penglihatan kurang atau sama dengan 1/60 ; 3) Buta ekonomi, ialah suatu ketajaman penglihatan di antara 1/60 – 5/30 (sangat mengganggu aktivitas dan pekerjaan sehari-hari), tanpa gangguan lapang penglihatan (Soeroso, 1994).

Departemen kesehatan telah menetapkan batasan dari kebutaan, ialah golongan buta social, bila visusnya dengan fing er cou nting jarak satu meter adalah 1/60, dan buta optalmologis bila tidak ada persepsi sinar, visus = nol (Wilardjo, 2001).

Kebutaan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat menjalankan aktivitas yang memerlukan penglihatan sebagai hal yang esensial Kebutaan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat menjalankan aktivitas yang memerlukan penglihatan sebagai hal yang esensial

makula, kekeruhan kornea, retinopati diabetik, trakoma, dan kondisi mata pada anak-anak (misalnya disebabkan oleh kekurangan vitamin A). Kebutaan yang berkaitan dengan usia meningkat di seluruh dunia, seperti kebutaan akibat diabetes yang tak terkendali. Di sisi lain, kebutaan yang disebabkan oleh infeksi menurun, sebagai akibat dari tindakan kesehatan masyarakat. Tiga perempat dari semua kebutaan dapat dicegah atau diobati (WHO, 2009).

Hingga kini kebutaan masih menjadi masalah besar di dunia. WHO (2002) menyebutkan bahwa distribusi global kebutaan berdasarkan penduduk di masing-masing daerah adalah : Asia Tenggara 28%, P asifik Barat 26%, 16,6% Afrika, Mediterania Timur 10% , Amerika 9,6%, dan Eropa 9,6%.

WHO (2002) juga menyebutkan bahwa di banyak negara selama sepuluh tahun terakhir, katarak (47,9%) tetap menjadi penyebab utama gangguan penglihatan di seluruh wilayah di dunia, kecuali negara-negara maju. P enyebab utama lain gangguan penglihatan pada tahun 2002 adalah glaukoma (12,3%), degenerasi makula (8,7%), kekeruhan kornea (5,1%), retinopati diabetik (4,8%), trakoma (3,6% ), dan onkoseriasis (0,8%).

Angka kebutaan di Indonesia merupakan kategori tertinggi di dunia, mencapai 1,5% dari jumlah penduduk atau sekitar 3,5 juta orang. Sementara pertambahan angka kebutaan di Indonesia, setiap tahunnya mencapai 210.000 orang. Dari angka tersebut presentase penyebab kebutaan utama adalah : Angka kebutaan di Indonesia merupakan kategori tertinggi di dunia, mencapai 1,5% dari jumlah penduduk atau sekitar 3,5 juta orang. Sementara pertambahan angka kebutaan di Indonesia, setiap tahunnya mencapai 210.000 orang. Dari angka tersebut presentase penyebab kebutaan utama adalah :

1995, kelainan ini belum didefinisikan dan masih dimasukkan ke dalam ”kebutaan lain-lain” sebanyak 28%.

Ilyas (1997) menyebutkan dalam bukunya bahwa diketahui prevalensi kebutaan di Indonesia berkisar 1.2% dari jumlah penduduk di Indonesia. Dari angka tersebut presentase kebutaan utama ialah : katarak 0,70 %, kelainan kornea 0.13 % , penyakit glaukoma 0,10 %, kelainan refraksi 0.06 %, kelainan retina 0,03 %, kelainan nutrisi 0,02 %. Kelainan retina yang paling sering menyebabkan kebutaan adalah retinopati hipertensi dan retinopati diabetik.

Wong (2004) menyebutkan bahwa atas dasar grade fotografi, studi epidemiologi ini menunjukkan bahwa tanda-tanda retinopati hipertensi yang umum pada orang usia 40 tahun atau lebih, bahkan dalam sejarah mereka yang tanpa hipertensi. Tingkat prevalensi berkisar 2-15 persen untuk berbagai tanda-tanda retinopati di antara peserta yang menjalani pemeriksaa optalmoskopi dengan dilatasi. P revalensi retinopati yang lebih tinggi telah dilaporkan di antara orang-orang kulit hitam dari pada orang kulit putih, perbedaan ini dijelaskan dengan lebih tingginya tekanan darah pada orang kulit hitam. Baru sedikit studi yang mengkaji tentang insiden retinopati hipertensi. Dua penelitian menunjukkan bahwa kejadian berbagai tanda-tanda retinopati selama periode lima sampai tujuh tahun berkisar 6-10%.

Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes memiliki risiko 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan dibanding non-

diabetes. Risiko mengalami retinopati pada pasien diabetes meningkat seiring dengan lamanya diabetes (P andelaki, 2006).

Sovanni (1999) menyebutkan bahwa prevalensi retinopati diabetik berdasarkan data WHO adalah 5,2-30,8% dari populas i diabetes melitus. Sedangkan Ilyas (1999) menyebutkan bahwa di Amerika Serikat 5.000 orang pertahun menderita kebutaan akibat retinopati diabetik. Di Inggris retinopati diabetik menjadi penyebab kebutaan nomer 4 dari seluruh penyebab kebutaan.

Di Indonesia sendiri, Sovanni (1999) menyebutkan bahwa prevalensi retinopati diabetik adalah 10-32% dari seluruh popuasi diabetes melitus. Beberapa faktor yang mempengaruhi onset dan progresifitas retinopati diabetik antara lain lamanya pasien menderita diabetes melitus, kontrol glukosa, dan kontrol tekanan darah (Fong dkk, 2004).

Lamanya menderita diabetes melitus berpengaruh terhadap onset dan progresifitas retinopati diabetik. Pada waktu diagnosis diabetes tipe 1 ditegakkan, retinopati diabetik hanya ditemukan pada kurang dari 5% pasien. Setelah 10 tahun, prevalensi meningkat menjadi 40-50% dan sesudah 20 tahun lebih dari 90% pasien sudah menderita retinopati diabetik. Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis diabetes ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita retinopati diabetik nonproliferatif (back g ro un d retino ph aty ). Setelah 20 tahun, Lamanya menderita diabetes melitus berpengaruh terhadap onset dan progresifitas retinopati diabetik. Pada waktu diagnosis diabetes tipe 1 ditegakkan, retinopati diabetik hanya ditemukan pada kurang dari 5% pasien. Setelah 10 tahun, prevalensi meningkat menjadi 40-50% dan sesudah 20 tahun lebih dari 90% pasien sudah menderita retinopati diabetik. Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis diabetes ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita retinopati diabetik nonproliferatif (back g ro un d retino ph aty ). Setelah 20 tahun,

Kontrol glukosa darah secara intensif tidak dapat mencegah terjadinya retinopati secara sempurna, namun dapat mengurangi risiko timbulnya

retinopati diabetik dan memburuknya retinopati diabetik yang sudah ada. Secara klinik, kontrol glukosa yang baik dapat melindungi visus dan mengurangi risiko kemungkinan menjalani terapi fotokoagulasi dengan sinar laser (Pandelaki, 2006).

Hubungan antara hipertensi dengan onset dan progresivitas retinopati diabetik telah ditegakkan. Hoogwerf (2005) menyebutkan bahwa data prospektif terbaik datang dari UKPDS (United King do m Pro sp ective Dia betes Study ). Dimana pasien dengan kontrol tekanan darah ketat, dalam 7.5 tahun mengalami penurunan risiko progresifitas retinopati sebanyak 34%.

UKPDS juga mengadakan penelitian terhadap 1919 pasien dengan foto retina yang diambil pada saat diagnosa dan 6 tahun kemudian dengan data yang tersedia. Foto digolongan dengan memusatkan pada lesi retinopati diabetik mengunakan modifikasi akhir skala Early Treatmen t of Diab etic Retinop athy S tud y . Faktor risiko dinilai setelah 3 bulan diet sejak didiagnosa diabetes. P engukuran secara biokimia telah dilakukan oleh laboratorium pusat. Hasil pengukuran tentang angka kejadian dan perkembangan retinopati diabetik ditetapkan atas dua tahap akhir perubahan skala oleh Early Treatment o f Diab etic Retinopa thy Study (ETDRS ). Hasilnya, dari 1919 pasien, 1216 (63 %) yang tidak mempunyai retinopati diabetik pada saat UKPDS juga mengadakan penelitian terhadap 1919 pasien dengan foto retina yang diambil pada saat diagnosa dan 6 tahun kemudian dengan data yang tersedia. Foto digolongan dengan memusatkan pada lesi retinopati diabetik mengunakan modifikasi akhir skala Early Treatmen t of Diab etic Retinop athy S tud y . Faktor risiko dinilai setelah 3 bulan diet sejak didiagnosa diabetes. P engukuran secara biokimia telah dilakukan oleh laboratorium pusat. Hasil pengukuran tentang angka kejadian dan perkembangan retinopati diabetik ditetapkan atas dua tahap akhir perubahan skala oleh Early Treatment o f Diab etic Retinopa thy Study (ETDRS ). Hasilnya, dari 1919 pasien, 1216 (63 %) yang tidak mempunyai retinopati diabetik pada saat

dua derajat atau lebih. (Matthews dkk, 2001) Perkembangan derajat retinopati berhubungan dengan glikemia dasar, paparan glikemik selama 6 tahun, tekanan darah yang lebih tinggi dan pasien tanpa kebiasaan merokok. Dalam kasus ini, pasien yang sebelumnya telah menderita retinopati diabetik, perkembangannya berhubungan dengan usia yang lebih tua, jenis kelamin laki-laki, hiperglikemi (sebagaimana ditunjukan oleh tingginya HbA1c) dan pasien tanpa kebiasaan merokok. Hasilnya, penemuan kembali menekankan perlunya kontrol glikemik yang baik dan pengobatan hipertensi jika retinopati diabetik ingin diminimalkan (Matthews dkk, 2001).

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai pengaruh hipertensi terhadap onset retinopati diabetika pada pasien diabetes melitus di RS Dr. Moewardi, Surakarta.

B. Pe rumusan Masalah

Apakah hipertensi merupakan faktor risiko retinopati diabetika pada pasien diabetes melitus?

C. Tujuan Pe ne litian

Mengetahui pengaruh hipertensi terhadap onset retinopati diabetik pada pasien diabetes melitus.

D. Manfaat Pene litian

Penelitian ini diharapkan memiliki dua manfaat, yaitu :

1. Manfaat Teoritis Mengetahui lebih lanjut ada tidaknya pengaruh hipertensi terhadap onset retinopati diabetika, serta mencocokan kesesuaian antara teori empiris dan data yang ada.

2. Manfaat Aplikatif

a. Menambah pengalaman klinik bagi penulis untuk melakukan penelitian melalui pengumpulan data klinik tentang retinopati diabetik.

b. Sebagai dasar pertimbangan bagi profesi dokter dalam memberikan saran kepada pasien untuk pengendalian progresivitas retinopati diabetik, terutama dalam hal kontrol tekanan darah.

BAB II LANDASAN TEO RI

A. Tinjauan Pustaka

1. Diabe te s Me litus

a. De finisi

Diabetes melitus (DM) (dari kata Yunani διαβαίνειν,

d ia ba ín ein , "tembus" atau "pancuran air", dan kata Latin mellitus, "rasa manis") yang umum dikenal sebagai kencing manis adalah suatu sindrom kronik gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak akibat ketidakcukupan sekresi insulin atau resistensi insulin pada

jaringan yang dituju. [12] Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit

metabolik dengan karakteristik hipergikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. [13]

b. Klasifikasi

American Dia betes Associatio n

klasifikasi diabetes melitus berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis sindrom

(ADA) menjelaskan

diabetes dan gangguan toleransi glukosa. Klasifikasi ini telah disahkan oleh World Health Orga niza tio n (WHO) dan telah dipakai di seluruh dunia. Klasifikasi klinis gangguan toleransi glukosa tersebut antara lain: [14]

1) Diabetes melitus

a) Tipe 1 (IDDM – Insulin –dependent diabetes mellitus)

b) Tipe 2 (NIDDM – non- Insulin –dependent diabetes mellitus)

2) Diabetes melitus kehamilan (Gestasional Diabetes Mellitus - GDM)

3) Tipe spesifik lain

a) Cacat genetik fungsi sel beta : Mature Onset Diabetes of the Youn g (MODY)

b) Cacat genetik kerja insulin : sindrom resistensi insulin berat

c) Endokrinopati : sindrom Cushing, akromegali

d) Penyakit eksokrin pankreas

e) Obat atau diinduksi secara kimia

f) Infeksi

4) Gangguan toleransi glukosa (IGT)

5) Gangguan glukosa puasa (IFG)

c. Ge jala

Tiga gejala khas diabetes melitus berupa polidipsi, poliuri, dan polifagi. Gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah lemas, berat badan turun, kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. (Mansjoer dkk, 2001).

Gejala awal diabetes tipe 1 meliputi rasa lapar dan haus yang berlebihan, penurunan berat badan tanpa sebab, sering buang air kecil, penglihatan menjadi kabur, kelelahan dan infeksi kronis.P ada situasi Gejala awal diabetes tipe 1 meliputi rasa lapar dan haus yang berlebihan, penurunan berat badan tanpa sebab, sering buang air kecil, penglihatan menjadi kabur, kelelahan dan infeksi kronis.P ada situasi

Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala selama beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala yang berupa sering kencing dan haus. Jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat stres-misalnya infeksi atau obat- obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik

d. Diagnosis

Keluhan dan gejala yang khas, ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl atau glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Bila hasil pemeriksaan glukosa darah meragukan, pemeriksaan TTGO diperlukan untuk memastikan diagnosis diabetes melitus.

Untuk diagnosis diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis diabetes melitus pada hari yang lain atau TTGO yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia

dengan

dekompensasi

metabolik akut, seperti metabolik akut, seperti

e. Komplikasi

Dalam bukunya, Mansjoer dkk (2001) menyebutkan beberapa komplikasi diabetes melitus, antara lain :

1) Akut

a) Koma hipoglikemia

b) Ketoasidosis

c) Koma hiperosmolar nonketotik

2) Kronik

a) Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar : pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak.

b) Mikroangiopati, mengenai pembuluh darah kecil: retinopati

diabetik, nefropati diabetik, neuropati diabetik.

c) Rentan infeksi, seperti tuberkulosis paru, ginggivitis, dan infeksi saluran kemih

2. Retinopati Diabetik

a. De finisi

Retinopati adalah kelainan pada retina yang tidak disebabkan oleh radang. Kebanyakan adalah manifestasi dari penyakir sistemik (Ilyas, 2003).

Retinopati diabetik adalah penyakit mata yang tidak disebabkan oleh proses inflamasi, yang sering terjadi pada penderita diabetes (Ilyas, 2003).

b. Klasifikasi dan gejala

Klasifikasi dan tanda retinopati diabetik (Sovani, 1999) :

1) Retinopati diabetik non proliferatif (NPDR)

a) Retinopati diabetik non proliferatif, ringan – sedang

Tanda : (1) Mikroaneurisme. (2) Perdarahan intra retina, ringan – sedang kurang dari 4

kuadran. (3) Eksudat keras. (4) Edema makula. (5) Kelainan ”Fovea Avascular Zone” pada FFA

b) Retinopati diabetik non proliferatif, sedang – berat

Tanda : (1) Eksudat lunak. (2) Perdarahan intra retina, sedang – berat, pada 4 kuadran. (3) Dilatasi vena fokal (4) Intra retinal mikrovaskular abnormal (IRMA) Tanda : (1) Eksudat lunak. (2) Perdarahan intra retina, sedang – berat, pada 4 kuadran. (3) Dilatasi vena fokal (4) Intra retinal mikrovaskular abnormal (IRMA)

(2) Dilatasi vena fokal pada dua kuadran. (3) IRMA sedang – berat pada satu kuadran.

d) Retinopati diabetik non proliferatif, sangat berat

Tanda : dua dari gejala di bawah ini (1) Perdarahan intra retina hebat pada keempat kuadran. (2) Dilatasi vena fokal pada dua kuadran. (3) IRMA sedang – berat pada satu kuadran.

2) Retinopati Diabetik Proliferatif (PDR) Tanda : (a) Neovaskularisasi diskus optikus. (b) Neovaskularisasi retina (c) Perdarahan preretina. (d) Perdarahan vitreous. (e) Ablasio retina traksi. (f) Neovaskularisasi pada iris atau sudut bilik mata depan.

c. Etiologi dan patofosiologi

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa hiperglikemia kronis, hipertensi dan hiperlipidemia berkontribusi pada patogenesis retinopati diabetik. Kerusakan pembuluh darah retina dalam beberapa cara dan perkembangan retinopati diabetik umumnya terkait dengan Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa hiperglikemia kronis, hipertensi dan hiperlipidemia berkontribusi pada patogenesis retinopati diabetik. Kerusakan pembuluh darah retina dalam beberapa cara dan perkembangan retinopati diabetik umumnya terkait dengan

Namun, berbagai jalur biokimia telah diusulkan untuk menunjukkan

hiperglikemia dan komplikasi mikrovaskuler pada retinopati. Di antara jalur-jalur tersebut, meningkatnya aktivitas protein kinase C (P KC) dan protein kunci yang mengarah pada Advan ced Glycation End (AGEs) produk yang lebih penting daripada poliol akumulasi atau stres oksidatif (Shah, 2008).

korelasi

antara

1) Peran aktivasi PKC Kegiatan peningkatan isoform berbagai PKC memainkan peran penting dalam patogenesis retinopati diabetik. Aktivasi PKC menyebabkan perubahan sel, yang menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah retina, perubahan pada aliran darah retina, penebalan membran basal dan seluler oleh faktor pertumbuhan endotel vaskular (Vasculer End othel Gro wth Factors - VEGFs) mengarah pada neovaskularisasi okuler.

2) Peran AGEs Peningkatan konsentrasi glukosa darah pada diabetes dapat menyebabkan pembentukan AGEs oleh non enzimatik glukosa mengikat protein rantai samping. Hewan penelitian telah menunjukkan

berkaitan dengan pembentukan mikroaneurisme dan hilangnya perisit hewan.

bahwa

akumulasi

AGEs

Sedangkan

inhibitor (aminoguanidin) menunjukkan penurunan kerusakan retina.

3) Peranan Akumulasi Poliol Percobaan penelitian telah menunjukkan bahwa akumulasi

poliol pada hewan dikaitkan dengan perubahan serupa yang terlihat pada retinopati diabetik pada manusia. Pada peningkatan konsentrasi

diabetes mengarah pada konsentrasi sorbitol intraseluler tinggi melalui aktivitas enzim aldosa

poliol,

hiperglikemia

konsentrasi sorbitol telah dihipotesiskan menyebabkan kerusakan osmotik pembuluh darah retina.

reduktase.

P eningkatan

4) Kerusakan Oksidatif Hiperglikemia pada diabetes dan jalur biokimia lainnya yang dijelaskan di atas dapat menyebabkan pembentukan spesies oksigen reaktif (radikal bebas) yang mengarah pada stres oksidatif dan kerusakan pembuluh darah retina. Lebih jauh, normalisasi glukosa akibat produksi superoksida telah ditunjukkan untuk memblokir setidaknya tiga jalur independen hiperglikemia akibat kerusakan pembuluh darah. Hewan dan studi manusia juga menyatakan bahwa antioksidan seperti vitamin E bisa mencegah beberapa disfungsi vaskular berkaitan dengan diabetes.

5) Peran Faktor Pertumbuhan

Pemahaman tentang jalur-jalur biokimia yang mendasari retinopati diabetik telah dengan jelas menunjukkan peran penting dari sejumlah faktor pertumbuhan (faktor pertumbuhan endotel

vaskular (VEGF), hormon pertumbuhan, PKC, mengubah faktor-β pertumbuhan dan

berasal faktor) dalam pengembangan perubahan struktural dalam pembuluh darah retina (peningkatan permeabilitas vaskular

pigmen epitel

retina, retinal iskemia, neovaskularisas i) dan perkembangan Retinopati diabetik.

d. Faktor risiko

Faktor risiko retinopati diabetik :

1) Lamanya menderita diabetes melitus Lamanya menderita diabetes melitus adalah prediktor terkuat onset dan progresifitas retinopati. P ada pasien diabetes dengan onset dini di WESDR (Wiscon sin Epidemiolog ica l S tu dy o f Diabetic Retino pa thy ), prevalensi retinopati diabetik pada tahun ke tiga adalah 8%, 25% pada tahun ke lima, 60% pada tahun ke sepuluh, dan 80% pada tahun ke lima belas. Prevalensi proliferatif diabtik retinopati adalah 0% pada tahun ketiga, dan bertambah sampai 25% pada tahun ke lima belas (Fong dkk, 2004).

2) Kontrol metabolik glukosa Meskipun kontrol glukosa darah secara intensif tidak dapat mencegah terjadinya retinopati secara sempurna, namun dapat mengurangi risiko timbulnya retinopati diabetik dan memburuknya 2) Kontrol metabolik glukosa Meskipun kontrol glukosa darah secara intensif tidak dapat mencegah terjadinya retinopati secara sempurna, namun dapat mengurangi risiko timbulnya retinopati diabetik dan memburuknya

(P andelaki, 2006).

3) Kontrol Tekanan darah Tingginya tekanan darah dapat mengganggu aspek dari retinopati diabetik. Pengendalian tekanan darah mengurangi risiko komplikasi penyakit mata pada pendrita diabetes (Matthews dkk, 2004).

Hipertensi adalah salah faktor risiko yang penting dalam perkembangan dan / atau memburuknya retinopati diabetik. Peningkatan tekanan darah menyebabkan stress endotel dengan pelepasan

mengubah autoregulasi retina, mengakibatkan peningkatan tekanan perfusi dan cedera. Hasil RCTs (Rand omized Clinical Trials) telah menunjukkan bahwa hipertensi adalah setiap tahap merugikan retinopati diabetik dan strategi pengendalian tekanan darah yang ketat dapat mengurangi risiko komplikasi dari diabetes mata (Shah, 2008).

VEGF yang

e. Diagnosis

Cara mendeteksi retinopati diabetik, meliputi:

1) Test ketajaman mata

Tes ini menggunakan diagram mata untuk mengukur seberapa baik seseorang melihat pada berbagai jarak (yaitu, ketajaman visual).

2) Dilatasi pupil Mata pasien ditetesi agar pupil melebar. Hal ini memungkinkan untuk melihat retina dan mencari tanda-tanda retinopati diabetik. Setelah pemeriksaan, penglihatan mungkin buram selama beberapa jam.

3) Optalmoskopi Ini adalah pemeriksaan retina pada Eye Care profesional:

a) Terlihat melalui alat dengan lensa pembesar khusus yang menyediakan pandangan sempit retina

b) Mengenakan headset dengan cahaya terang, terlihat melalui kaca pembesar khusus dan memperoleh pandangan yang luas retina.

4) Optical Coherence Tomography (OCT) OCT adalah modalitas pencitraan optik berdasarkan gangguan, dan analog dengan USG. OCT menghasilkan gambar

penampang retina (B-scan) yang dapat digunakan untuk mengukur ketebalan retina dan mengatasi lapisan utamanya, sehingga dapat

mengamati pembengkakan dan kebocoran.

5) Digital Retinal Screening Programs

Program sistematis untuk deteksi dini penyakit mata termasuk retinopati diabetik menjadi lebih umum, seperti di Inggris, di mana semua orang dengan diabetes mellitus diperiksa

retina setidaknya setiap tahun. Hal ini melibatkan pengambilan foto digital dan transmisi gambar ke pusat bacaan digital untuk evaluasi dan pengobatan rujukan.

6) Slit Lamp Biomicroscopy Retinal Screening Prog rams

Program sistemik untuk deteksi dini retinopati diabetik menggunakan S lit Lamp Biomicro scop y. Ini bisa digunakan sebagai skema mandiri atau sebagai bagian dari program digital (di atas) di mana foto digital dianggap kurang cukup jelas untuk mendeteksi dan / atau diagnosis kelainan retina apapun.

Tanda-tanda awal penyakit, seperti: (1) bocor pembuluh darah, (2) retina bengkak, seperti edema makula, (3) pucat, lemak pada retina (eksudat) - tanda-tanda kebocoran pembuluh darah, (4) kerusakan jaringan saraf (neuropati), dan (5) setiap perubahan dalam pembuluh darah.

Jika dokter mencurigai makula edema, maka dilakukan tes menggunakan angiografi fluoresen. Dalam tes ini, cairan khusus disuntikkan ke lengannya. Gambar tersebut kemudian diambil sebagai pewarna melewati pembuluh darah di retina. Tes ini memungkinkan dokter untuk menemukan pembuluh darah bocor.

f. Penatalaksanaan

Ada tiga perawatan untuk retinopati, yang sangat efektif dalam mengurangi hilangnya penglihatan. Pada kenyataannya, pasien dengan retinopati diabetik memiliki 90 % kesempatan untuk menjaga penglihatan mereka ketika mereka mendapatkan perawatan sebelum terjadi kerusakan retina yang lebih parah. Ketiga perawatan tersebut adalah bedah laser, injeksi triamsinolon ke dalam mata dan vitrektomi (Anonim, 2009).

Walaupun pengobatan ini sukses, tetapi tidak menyembuhkan retinopati diabetik. Harap berhati-hati dalam perawatan dengan pembedahan laser karena dapat menyebabkan hilangnya jaringan retina. Lebih berhati-hati lagi dalam menyuntikkan triamsinolon. P ada beberapa pasien hasil ditandai dengan peningkatan penglihatan, terutama jika ada edema makula (Anonim, 2009).

Hindarilah merokok dan koreksi yang terkait terapi hipertensi, serta

langkah-langkah dalam manajemen retinopati diabetik (Anonim, 2006).

Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah kondisi medis di mana terjadi peningkatan tekanan darah arterial. Berbagai criteria batasannya telah diajukan. Berkisar dari sistol 140 mmHg dan diastol 90 mmHg hingga setinggi sistol 200 mmHg dan diastol 100 mmHg. Hipertensi dapat Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah kondisi medis di mana terjadi peningkatan tekanan darah arterial. Berbagai criteria batasannya telah diajukan. Berkisar dari sistol 140 mmHg dan diastol 90 mmHg hingga setinggi sistol 200 mmHg dan diastol 100 mmHg. Hipertensi dapat

Pada pemeriksaan tekanan darah akan didapat dua angka. Angka yang lebih tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sisto lik ), angka

yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung berelaksasi (diastolik ). Tekanan darah kurang dari 120/80 mmHg didefinisikan sebagai "normal". Pada tekanan darah tinggi, biasanya terjadi kenaikan tekanan sistolik dan diastolik. Hipertensi biasanya terjadi pada tekanan darah 140/90 mmHg atau ke atas, diukur di kedua lengan tiga kali dalam jangka beberapa minggu (Wikipedia, 2009).

Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah P ada Orang Dewasa

Katego ri Tek anan Darah Sisto lik Tek anan Darah Diasto lik

Normotensi

(dan) < 80 mmHg Pre - hipertensi

< 120 mmHg

(atau) 80-89 mmHg Stadium 1 Hipertensi

120-139 mmHg

(atau) 90-99 mmHg Stadium 2 Hipertensi

140-159 mmHg

(atau) ≥ 100 mmHg (Bickley, 2008) Pada hipertensi sistolik terisolasi, tekanan sistolik mencapai 140

≥ 160 mmHg

mmHg atau lebih, tetapi tekanan diastolik kurang dari 90 mmHg dan tekanan diastolik masih dalam kisaran normal. Hipertensi ini sering

ditemukan pada usia lanjut. Sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah, tekanan sistolik terus ditemukan pada usia lanjut. Sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah, tekanan sistolik terus

Dalam pasien dengan diabetes mellitus atau penyakit ginjal, penelitian telah menunjukkan bahwa tekanan darah di atas 130/80 mmHg harus dianggap sebagai faktor risiko dan sebaiknya diberikan perawatan. (Chobanian dkk, 2003)

Hipertensi pada pasien diabetes prevalensinya berkisar dari 20% sampai 60%. Hipertensi juga menambah risiko insufisiensi renal, retinopati, dan neuropati diabetik. Karena itu, pada pasien diabetes harus diusahakan kontrol tekanan darah yang ketat bila ada hipertensi. (Chobanian dkk, 2003)

B. Kerangka Pemikiran

Diabetes Melitus

Hiperglikem ia

Diasilgliserol, PKC, AGEs Hipertensi

Aktivitas PKC, VEGFs dan Stes Endotel

faktor pertumbuhan lainnya di retina dan endotel meningkat

VEGFs

Peningkatan permeabilitas

Penebalan membrane

pembuluh darah retina

basal dan seluler

Kebocoran Mikrovaskuler Sumbatan pembuluh darah

Eksudat, perdarahan

Iskemik

Neovaskularisasi okuler

Retinopati Diabetik

Gambar 2 .1 . Kerangka Berpikir Tentang Hipertensi Sebagai Faktor Risiko

Retinopati Diabetik

C. Hipote sis

Hipertensi merupakan faktor risiko retinopati diabetik pada pasien diabetes melitus.

BAB III METODE PENELITIAN

A. J enis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cro ss section al.

B. Lo kasi Pe ne litian Penelitian ini dilakukan di RS Dr. Moewardi Surakarta.

C. Subjek Penelitian

1. Populasi sasaran P asien diabetes mellitus dengan hipertensi.

2. Populasi sumber Pasien diabetes melitus dengan hipertensi di RS Moewardi pada bulan Februari sampai Juli tahun 2008.

3. Besar Sampel Sampel berjumlah 83 orang pasien diabetes mellitus dengan dan tanpa hipertensi.

D. Te knik Sampling

Teknik sampling yang digunakan adalah exhau sted sa mp ling.

E. Rancangan Pe nelitian

Pasien Diabetes Melitus

Dengan Hipertensi

Tanpa Hipertensi

Retinopati

Tanpa Retinopati Diabetik

Tanpa Retinopati

Uji Chi Kuadrat dan Odds Ratio

Gambar 3.1. Skema Penelitian Tentang Hipertensi Sebagai Faktor Risiko

Retinopati Diabetik

F. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas : Hipertensi

2. Variabel terikat : Retinopati diabetik

3. Variabel luar : Lamanya pasien menderita diabetes melitus, kontrol

metabolik glukosa.

G. De finisi Operasional Variabel

1. Hipertensi Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah kondisi medis di

mana terjadi peningkatan tekanan darah secara kronis (dalam jangka waktu lama). Penderita yang mempunyai sekurang-kurangnya tiga kali pengukuran tekanan darah yang melebihi 140/90 mmHg saat istirahat mana terjadi peningkatan tekanan darah secara kronis (dalam jangka waktu lama). Penderita yang mempunyai sekurang-kurangnya tiga kali pengukuran tekanan darah yang melebihi 140/90 mmHg saat istirahat

Variabel skala : kategorikal

2. Retinopati Diabetik Retinopati diabetik adalah penyakit mata yang sering terjadi pada penderita diabetes. Variabel skala : kategorikal

3. Lamanya menderita diabetes melitus, kontrol metabolik glukosa. Lamanya menderita diabetes melitus adalah waktu sejak pasien didiagnosa menderita diabetes melitus sampai saat data diambil. Kontrol metabolik glukosa adalah kondisi dimana kadar glukosa pasien diabetes melitus dikontrol agar tetap stabil.

H. Analisis data

1. Tabel kontingensi ukuran 2 x 2 Retinopati Diabetik

- Hipertensi

2. Uji Chi Kuadrat Kemaknaan statistic o dd s ra tio tersebut diuji dengan uji chi

kuadrat.

2 N(ad − = b c)

( a + b)( c + d)( a + c)( b + d )

3. Odds Ratio Faktor risiko hipertensi dinilai dengan menggunakan odd s ra tio

dan CI95%.

95% =

1 − 2 / √2

BAB IV HASIL PEN ELITIAN

Tabel 4.1. Karakteristik sampel menurut umur Variabel

√D Umur (tahun)

Mean

Dari tabel 4.1 diketahui bahwa jumlah sampel adalah 83 orang, dengan rata-rata umur 59 tahun dan standar deviasi 12.4

Tabel 4.2. Karakteristik sampel menurut jenis kelamin Variabel

% Jenis kelamin :

Dari tabel 4.2 diketahui bahwa laki-laki yang mengalami retinopati sebanyak 39 orang (47%) dan perempuan yang mengalami retinopati sebanyak 44 orang (53%).

Tabel 4.3. Hasil analisis hipertensi sebagai faktor risiko retinopati pada pasien diabetes melitus tipe II Retinopati

CI 95% Variabel 2 OR X

Tidak Retinopati

Total

Bawah Atas Hipertensi

24 (100) 11.2 14.5 2.7 46.6 Tidak Hipertensi

n = 83 observasi

Dari tabel 4.3 diketahui pasien diabetes melitus dengan hipertensi memiliki risiko untuk mengalami retinopati sebelas kali lebih besar daripada tanpa hipertensi dan peningkatan risiko tersebut secara statistik signifikan (OR =

11.2 ; CI 95% 2.7 sampai dengan 46.6).

Gambar 4.1.

Perbedaan persentase retinopati antara pasien DM tipe 2 dengan dan tanpa hipertensi

BAB V PEMBAHASAN

Penelitian dilaksanakan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan sampel penelitian pasien diabetes melitus dengan hipertensi dan tanpa hipertensi. Dilakukan dengan cara pengumpulan rekam medik pasien diabetes melitus dari bulan Februari sampai Juli 2008. Kemudian dilakukan uji statistik uji chi kuadrat dengan menggunakan program SPSS 17.0.

Dari penelitian diperoleh hasil (Tabel 4.3) yang sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa hipertensi merupakan faktor risiko retinopati diabetik.

Dimana pasien dengan hipertensi memiliki risiko mengalami retinopati 11 kali lebih besar daripada pasien tanpa hipertensi.

Hipertensi sebagai faktor risiko retinopati diabetik juga telah diteliti UKPDS dengan menekankan pada pengaruh hipertensi terhadap progresivitas

retinopati diabetik. Penelitian dilakukan di 19 rumah sakit di Inggris, Skotlandia, dan Irlandia. 1148 pasien diabetes melitus tipe 2 dengan rata-rata menderita diabetes 2.6 tahun, rata-rata umur 56 tahun dan rata-rata tekanan darah 160/94 mmHg dibagi menjadi 2 kelompok secara random. 758 pasien mendapat pengawasan kontrol tekanan darah yang ketat (<150/85) dengan terapi angiotensin inhibitor atau beta bloker dan 390 pasien tidak mendapat pengawasan kontrol tekanan darah yang ketat (<180/105). Tingkat keparahan retinopati diukur dengan skala Early Treatment of Diabetic Retinopathy Stud y (ETDRS). Juga dilihat adanya mikroaneurisme, perdarahan pada vitreus, katarak, serta lesi-lesi spesifik

kontrol tekanan darah ketat 23.3% terdapat lebih dari 5 mikroaneurisme. Sedangkan kelompok dengan kontrol tekanan darah kurang ketat sejumlah 33.5%. Efek berlanjut setelah 7.5 tahun. Eksudat keras bertambah dari 11.2% menjadi 18.3% dengan lesi yang lebih sedikit pada kelompok dengan kontrol tekanan darah ketat. Cotton-wool spots juga bertambah dengan jumlah yang lebih sedikit pada kelompok dengan kontrol tekanan darah ketat. 9 tahun pengamatan, pasien dengan kontrol tekanan darah ketat mengalami pengurangan progresivitas retinopati diabetik 34% dibandingkan yang tidak mendapat pengawasan ketat (Shah, 2008).

Pada penelitian lain yang dilakukan UKPDS menggunakan fotografi retina, 1919 pasien diamati selama 6 tahun. Fotograf difokuskan pada lesi retinopati diabetik yang dinilai menggunakan skala Early Treatment of Diabetic Retino pa thy Study Fin al . Faktor risiko dinilai setelah 3 bulan diet setelah pasien didiagnosa diabetes. Pasien diperiksa setiap 3 bulan. Hasil penelitian menyatakan, 1919 pasien, 1216 (63 %) yang tidak menderita retinopati diabetik pada diagnosa awal, selama 6 tahun, 22% telah berkembang menjadi retinopati dengan mikroaneurisme pada kedua mata, bahkan lebih buruk. 703 (37 %) pasien dengan retinopati pada saat diagnose awal, 29 % menjadi lebih parah. Onset dan progresivitas ini erat hubungannya dengan indeks glikemik, paparan glikemik selama 6 tahun, tingginya tekanan darah, dan kebiasaan merokok. Untuk pasien Pada penelitian lain yang dilakukan UKPDS menggunakan fotografi retina, 1919 pasien diamati selama 6 tahun. Fotograf difokuskan pada lesi retinopati diabetik yang dinilai menggunakan skala Early Treatment of Diabetic Retino pa thy Study Fin al . Faktor risiko dinilai setelah 3 bulan diet setelah pasien didiagnosa diabetes. Pasien diperiksa setiap 3 bulan. Hasil penelitian menyatakan, 1919 pasien, 1216 (63 %) yang tidak menderita retinopati diabetik pada diagnosa awal, selama 6 tahun, 22% telah berkembang menjadi retinopati dengan mikroaneurisme pada kedua mata, bahkan lebih buruk. 703 (37 %) pasien dengan retinopati pada saat diagnose awal, 29 % menjadi lebih parah. Onset dan progresivitas ini erat hubungannya dengan indeks glikemik, paparan glikemik selama 6 tahun, tingginya tekanan darah, dan kebiasaan merokok. Untuk pasien

Penelitian juga dilakukan oleh Mehler dkk (2002). Beberapa penelitian sebelumnya meneliti tentang hipertensi pada pasien diabetes melitus tipe 2. Tidak diketahui apakah tekanan darah yang lebih rendah pada normotensi (Tekanan darah < 140 / 90 mmHg) pada pasien menawarkan beberapa manfaat pada komplikasi vaskuler. Mehler dkk mengevaluasi efek kontrol tekanan darah yang intensif dan moderat terhadap komplikasi diabetik vaskuler pada 480 pasien diabetes melitus tipe 2 dengan tensi normal. Penelitian ini bersifat prospektif,

dengan randomized controlled trial . Subjek dibagi dalam kelompok intensif (10 mmHg dibawah Diastolic Blood Preasure - DBP ) dan kelompok moderat (80-89

mmHg) kontol DBP . Pasien pada kelompok terapi moderat diberi placebo, sedangkan kelompok terapi intensif diberi obat anti hipertensi. Lalu dinilai proresifitas retinopati dan neuropati serta insidensi penyakit kardiovaskuler. Setelah 5.3 tahun, dilihat rata-rata tekanan darah pasien. Kelompok intensif memiliki tekanan darah rata-rata 75 ± 0.3 / 128 ± 0.8 mmHg. Kelompok moderat memiliki tekanan darah rata-rata 81 ± 0.3 / 137 ± 0.7 mmHg .Kelompok intensif juga memperlihatkan progresivitas retinopati diabetic dan insidensi stroke yang lebih rendah.

Namun, ada penelitian yang menyatakan bahwa kontrol tekanan darah tidak berpengaruh terhadap progresivitas retinopati diabetic. Hasil penelitian App ro priate Bloo d Pressure Con tro l in Dia betes (ABCD) pada tahun 2000 dengan jumlah sampel 470 menyatakan bahwa tidak ada perbedaan progresivitas Namun, ada penelitian yang menyatakan bahwa kontrol tekanan darah tidak berpengaruh terhadap progresivitas retinopati diabetic. Hasil penelitian App ro priate Bloo d Pressure Con tro l in Dia betes (ABCD) pada tahun 2000 dengan jumlah sampel 470 menyatakan bahwa tidak ada perbedaan progresivitas

75 mmHg) dan kelompok dengan kontrol tekanan darah tidak ketat (diastol antara 80-89 mmHg) selama 5.3 tahun (Shah, 2008). Meningkatnya risiko mengalami retinopati diabetik pada pasien diabetes

melitus dengan hipertensi belum diketahui secara pasti mekanismenya. Kemungkina hal ini berkaitan dengan pemicuan ganda pada aktivitas biokimia yang berkaitan dengan endotel vaskuler, terutama VGEFs.

Pasien diabetes melitus mengalami hiperglikemia, dimana hiperglikemia memicu diasilgliserol, PKC dan AGEs meningkatkan aktivitas PKC, VGEFs dan faktor pertumbuhan lainnya di retina dan endotel. Hipertensi sendiri menyebabkan stres endotel yang memicu peningkatan aktivitas VEGFs. Pasien diabetes melitus dengan hipertensi, mengalami

peningkatan aktivitas VEGFs berlebih dibandingkan pasien diabetes melitus tanpa hipertensi sehingga efek VEGFs, seperti peningkatan permeabilitas pembuluh darah retina dan penebalan membran basal dan seluler yang akhirnya menyebabkan kebocoran mikrovaskuler (eksudat, perdarahan), sumbatan pembuluh darah (iskemik, neovaskularisasi okuler) yang merupakan gejala retinopati, menjadi berkali lipat dan menimbulkan efek yang lebih parah. Oleh karena itu, kemungkinan pasien diabetes melitus dengan hipertensi untuk mengalami retinopati lebih besar dibanding tanpa hipertensi.

Klasifikasi dan tanda retinopati yang dapat menunjukan tingkat progresivitas penyakit tersebut, oleh Sovani (1999) dibagi atas :

1. Retinopati diabetik non proliferatif (NPDR)

a. Retinopati diabetik non proliferatif, ringan – sedang a. Retinopati diabetik non proliferatif, ringan – sedang

c. Retinopati diabetik non proliferatif, berat

d. Retinopati diabetik non proliferatif, sangat berat

2. Retinopati Diabetik Proliferatif (PDR) Pada setiap tahap, terdapat ciri-ciri tertentu yang menunjukan tingkat keparahan kerusakan pada retina dan jaringan mata. Ciri-ciri yang khas tersebut dapat digunakan untuk menilai progresivitas dari retinopati diabetik.