Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Progam Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA TAHUN 1977 (Studi Tentang Fusi Partai Politik) SKRIPSI

Oleh: ARI WAHYUTI

X 4406016

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA TAHUN 1977 (Studi Tentang Fusi Partai Politik)

Oleh: ARI WAHYUTI X4406016

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Progam Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

ABSTRAK

Ari Wahyuti. PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA TAHUN 1977 (Studi Tentang Fusi Partai Politik). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2010.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) Latar belakang fusi partai politik (2) Perkembangan partai politik tahun 1973-1977 (3) Pengaruh fusi partai politik terhadap perolehan suara pemilu 1977 bagi partai yang berfusi.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam metode historis meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa sumber primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis dengan melakukan kritik ekstern dan intern.

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Fusi partai dilatar belakangi karena adanya kesadaran di kalangan pemerintah dan masyarakat umum bahwa pembaharuan struktur politik harus dilakukan dengan cara menyederhanakan sistem kepartaian. Tuntutan terhadap pembaharuan struktur politik semakin meningkat seiring dengan kritik yang keras terhadap peran partai-partai politik bahwa sistem banyak partai tidak menjamin stabilitas nasional. (2) Perkembangan partai politik tahun 1973-1977 ditandai dengan adanya berbagai masalah internal partai. Hal ini disebabkan rendahnya integrasi antara unsur-unsur partai yang ada. Pasca fusi PDI dan PPP belum dapat menyatukan unsur-unsur di dalamnya sehingga konflik mewarnai perjalanan partai. Sedangkan Pembinaan Golkar berjalan dengan pesat dan cukup lancar dibandingkan dengan partai-partai politik (3) Pengaruh fusi partai politik terhadap perolehan suara pemilu 1977, suara PPP naik diberbagai daerah, khususnya di DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Aceh PPP mengalahkan Golkar. Sedangkan perolehan kursi Golkar pada pemilu 1977 mengalami penurunan. Golkar memperoleh suara 62, 11 persen, perolehan kursi menjadi 232 atau kehilangan 4 kursi dibanding pemilu 1971 Dan Kekalahan PDI pada pemilu 1977 tampak pada merosotnya perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya.

ABSTRACT

Ari Wahyuti. X4406016. Indonesia General Election In 1977 (Study about fusion of political parties). Skripsi, Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education, Sebelas Maret University, July 2010.

The purpose of this study is: (1) Background fusion political parties. (2) The development of political parties in 1973 - 1977. (3) Effect fusion of political parties to voice for the party election in 1977 to political parties that fusion.

This research was conducted by using the historical method through heuristic, critical, interpretation and historiography steps. The source of data used in this research was the primary data and the secondary data. The technique of collecting data was done by library stud, while, the technique of analyzing data used in this research was the historical analysis technique by doing internal and external critics.

Based on the research results can be concluded: (1)Background fusion of parties because existence awareness in circle governments and the public that the renewal of political structure must be done by simplifying parties system because many of the parties system does not quaranted of national stabilities, (2) The development of political parties in 1973 – 1977 was marking by the existence of various problems internal parties. Pasca fusion, PDI and PPP not can unite the elements in that. Until the Conflict always in the their parties. And then structure of Golkar is good working and go on fast, (3) Effect fusion of political parties to voice for the party election in 1977 PPP voice acquirement is be gone up in many kinds of state country, exspecially in Jakarta and PPP defeat Golkar in Daerah Istimewa Aceh. And then Golkar seats acquirement is obtain redusing in election 1977. Golkar obtained 62,11 percent, become 232 or loss 4 seats in comparing election 1971. And defeat PDI in election 1977 appear in decline acquisition seats compared join seats parties that fusion before now.

MOTTO

Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak dihari kiamat ia akan menjadi penyesalan.

(HR. Al-Bukhari)

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada:

1. Bapak dan Ibu tercinta yang selalu memberikan

kasih sayang dan tak henti-hentinya berdoa untuk

kesuksesan dan cita-cataku.

2. Kang Wan’s dan adikku Ria yang telah memberikan dukungan dan semangat kepadaku.

3. Sahabat-sahabatku

4. Almamater

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah- Nya sehingga penulisan skripsi akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan.

Hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyelesaian penulisan skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah menyetujui atas permohonan skripsi ini.

3. Ketua Progam Pendidikan Sejarah yang telah memberikan pengarahan dan ijin atas penyusunan skripsi ini.

4. Drs.Tri Yuniyanto, M.Hum selaku dosen Pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Drs. Djono, M.Pd selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen Progam Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon maaf atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati.

7. Teman-teman Sejarah Angkatan 2006, terima kasih atas doa dan dukungannya.

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT membalas amal baik kepada semua pihak yang telah membantu di dalam penyelesaian skripsi ini dengan mendapatkan pahala yang setimpal. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, masih terdapat kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.

Surakarta, Juli 2010

Penulis

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Hasil pemilihan umum 1971 .....................................................................

46 Tabel 2: Perbandingan jumlah suara pada pemilu1971 ..........................................

49 Tabel 3 : Hasil pemilu 1977 ....................................................................................

80 Tabel 4 : Pergeseran jumlah suara pada pemilu 1971-1977 ...................................

83

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemikiran tentang demokrasi telah menjadi salah satu topik penting sejarah pemikiran politik di Indonesia. Para pendiri republik seperti Soekarno, Moh.Hatta, Soepomo dan Natsir telah merumuskan berbagai model demokrasi yang diperuntukkan bagi praktik politik di Indonesia (Eep Saefulloh Fatah, 1994: 32). Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah merdeka. Untuk mengisi kemerdekaan itu diperlukan suatu pemerintah negara yang akan mengatur seluruh tata kehidupan rakyat berdasarkan suatu peraturan dasar negara. Oleh karena itu pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Dalam pembukaan UUD 1945 ditegaskan, bahwa negara republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat atau negara demokrasi (demokrasi berarti kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat) (C. S. T. Kansil, 1974: 25).

Menurut Gwendolen M. Carter, John H. Herz dan Henry B. Mayo, demokrasi sebagai pemerintahan mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut : Pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok dengan jalan menyusun pergantian pimpinan secara berkala, tertib, damai, dan melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif, serta adanya pemilihan umum yang bebas dengan disertai adanya model perwakilan yang efektif, dan diberinya kebebasan berpartisipasi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan, masyarakat, perseorangan, serta prasarana pendapat umum semacam pers dan media massa (Eep Saefulloh Fattah, 2000: 8).

Perkembangan kehidupan politik, Indonesia pernah mengalami berbagai praktek demokrasi sebagai akibat berubahnya sistem pemerintahan dalam pemakaian Undang-Undang Dasar. Untuk itu dikenal berbagai macam praktek demokrasi sesuai dengan sistem pemerintahan yang sedang berlaku, misalnya demokrasi parlementer, demokrasi liberal, dan demokrasi terpimpin (Miriam Budiardjo, 1982: 69). Dalam suatu negara demokrasi yang pemerintahannya

berbentuk republik kehendak rakyatlah yang menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan negara dan tata kehidupan rakyat, kepentingan rakyat yang menjadi titik perhatian pemerintah. Kepentingan rakyat hanya dapat diperhatikan dengan sebaik-baiknya apabila rakyat mempunyai wakil-wakil yang duduk dalam pemerintahan dan badan perwakilan. Badan perwakilan dan pemerintah negara yang mencerminkan kehendak dan memperhatikan suara hati nurani rakyat diwujudkan dalam suatu pemilihan umum (C. S. T. Kansil, 1974: 29). Pemilihan umum merupakan sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya sesuai dengan azas yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Pemilihan umum itu sendiri pada dasarnya adalah suatu demokrasi yang memilih anggota-anggota perwakilan rakyat dalam MPR, DPR, dan DPRD yang pada gilirannya bertugas untuk bersama-sama dengan pemerintah menetapkan politik dan jalannya pemerintahan negara (Ali Moertopo, 1974: 61).

Sesuai dengan isi Tap. MPRS No. XI/MPRS/1966 dan No. XIII/MPRS/1968 tentang

pemilihan umum anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang diatur dalam Undang-Undang pemilihan umum ini, adalah didasarkan pada azas pemilihan yang bersifat umum, langsung, bebas dan rahasia. Berdasarkan Undang-Undang No. 15 tahun 1969 tujuan utama pemilihan umum adalah Memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan dan memilih wakil-wakil rakyat yang akan mempertahankan dasar falsafah negara republik Indonesia yaitu pancasila serta memilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar membawakan isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan mempertahankan dan mengembangkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (C. S. T. Kansil, 1974: 86).

Melalui pemilihan umum seleksi kepemimpinan dan perwakilan dapat dilakukan secara fair karena keterlibatan warga negara. Praktek demokrasi modern, yaitu melalui perwakilan dapat dilakukan sepenuhnya dalam pemilihan umum. Dengan pemilihan umum pula maka akan terjadi pergantian elit kekuasaan secara lebih adil karena warga negaralah yang langsung menentukan siapa yang masih dianggap memenuhi syarat sebagai elite dan siapa yang tidak. Dengan

terlibat dalam proses pelaksaaan pemilu, diharapkan bahwa warga negara akan mendapatkan pengalaman langsung bagaimana selayaknya seorang warga negara berkiprah dalam sistem demokrasi. Warga negara akan mengerti dan memahami posisinya sebagai pemegang kedaulatan yang sangat menentukan gerak serta perjalanan bangsa dan negaranya (Muhammad A. S. Hikam, 1999: 16). Disamping itu, dalam suatu negara demokrasi rakyat berhak untuk mengeluarkan pendapatnya, berhak menyatakan keinginannya dan cita-citanya tentang kenegaraan selaras dengan dasar dasar negara yang bersangkutan. Akan tetapi pada umumnya rakyat mempunyai pendirian yang berbeda-beda. Pendapat dan pendirian yang berbeda-beda tersebut menimbulkan berbagai aliran politik dalam masyarakat. Keinginan dan pendapat dari rakyat dalam suatu negara itu disalurkan dalam partai-partai politik. Melalui partai-partai poitik pendapat dan keinginan rakyat dapat dikemukakan, bahkan dapat menjadi suatu kenyataan dalam pemerintahan negara, apabila suatu partai mendapat kepercayaan rakyat untuk memegang pemerintahan (C.S.T. Kansil, 1979: 26) Dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, yang disusul dengan Maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945, kehidupan politik di Indonesia menganut sistim multi partai ( Ali Moertopo, 1974: 71).

Pemilihan umum yang dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 bertujuan memilih anggota DPR dan Konstituante. Pemilihan umum pertama ini dilaksanakan diseluruh tanah air (kecuali Irian Barat) memperebutkan 257 kursi DPR. Dalam pemilihan umum ini muncul berbagai tuntutan dan harapan dari rakyat agar pemilu dapat mengatasi segala persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia, baik berupa kemelut politik yang berkepanjangan, kemerosotan ekonomi, maupun ancaman terhadap keamanan. Rakyat berharap pemilu itu dapat menciptakan suatu pemerintahan yang sah dan stabil sehingga dapat melaksanakan pembangunan nasional dalam segala bidang. Pemilu 1955 menghasilkan empat partai politik yang meraih kemenangan besar yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI) (Syamsuddin Haris dkk, 1998: 32). Hasil pemilu menunjukkan bahwa PNI memperoleh suara sebesar (8.434.653), Masyumi (7.903.886), NU

(6.955.141), PKI (6.176.914). Sementara jumlah kursi yang diperoleh PNI sebanyak 57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi, dan PKI 39 kursi (Herbert Feith, 1957: 58).

Pemilihan umum yang dilaksanakan juga tidak dapat membawa stabilitas politik yang sudah lama didambakan. Salah satu penyebabnya adalah sulitnya partai-partai politik untuk bekerja sama dan tidak adanya partai mayoritas yang keluar sebagai pemenang dalam pemilu 1955. Untuk keperluan itu setiap partai baru membentuk koalisi dengan partai-partai kecil. Akan tetapi tidak ada loyalitas pada koalisi. Beberapa kali suatu partai yang menyatakan tidak setuju dengan kebijakan kabinet menarik kembali dukungannya, sehingga kabinet jatuh karena kehilangan mayoritas dalam parlemen dan terjadi krisis kabinet. Hal ini menjadikan stabilitas politik sangat bergantung pada koalisi partai yang sering berubah (Miriam Budiardjo, 2008: 436).

Kondisi politik Indonesia yang tidak menentu pada tahun 1950-an karena konflik politik yang hebat merupakan bukti yang baik bagi pendapat Soekarno bahwa sistem Parlementer dan Multipartai tidak layak digunakan di Indonesia. Dalam peringatan sumpah pemuda 1957 presiden Soekarno menyatakan bahwa segala kesulitan yang dihadapi negara pada masa itu disebabkan terdapatnya banyak partai-partai politik, sehingga merusak persatuan negara. Karena itu ada baiknya partai-partai dibubarkan. Dengan alasan menyelamatkan negara, presiden Soekarno mengajukan suatu konsepsi yaitu demokrasi terpimpin (Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993: 224).

Cara yang ditempuh Soekarno dalam menangani konflik politik adalah mengadakan tindakan-tindakan reprsif terhadap pihak-pihak yang berbeda pendapat dengan pemerintah. Berbagai langkah politik juga dilakukan oleh presiden Soekarno yang memperkuat kedudukannya sebagai seorang presiden yang berkuasa mutlak. Partai-partai politik yang dianggap melawan kebijakannya, seperti Masyumi dan PSI pada tahun 1960 telah dibubarkan. Pada masa Demokrasi terpimpin ini partai-partai politik manjadi sangat tergantung kepada Cara yang ditempuh Soekarno dalam menangani konflik politik adalah mengadakan tindakan-tindakan reprsif terhadap pihak-pihak yang berbeda pendapat dengan pemerintah. Berbagai langkah politik juga dilakukan oleh presiden Soekarno yang memperkuat kedudukannya sebagai seorang presiden yang berkuasa mutlak. Partai-partai politik yang dianggap melawan kebijakannya, seperti Masyumi dan PSI pada tahun 1960 telah dibubarkan. Pada masa Demokrasi terpimpin ini partai-partai politik manjadi sangat tergantung kepada

Pengaruh Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin semakin besar dalam politik Indonesia. Hal ini disebabkan ketidakmampuan partai politik membendung percekcokkan antar sesama partai yang akhirnya menimbulkan ketidakstabilan politik. Penyebab lainnya adalah keinginan Soekarno untuk memainkan peranan yang lebih besar dan berarti dalam politik, bukan sekedar lambang seperti dikehendaki UUDS 1950. selain itu, karena keinginan tokoh militer untuk berperan di dalam politik yang disebabkan oleh semakin menurunnya kepercayaan militer terhadap partai politik atau politisi sipil dalam menjalankan roda pemerintahan (Alfian, 1980: 42)

Pada masa Demokrasi Terpimpin ditandai pula oleh adanya keinginan yang kuat kaum militer untuk tampil dalam gelanggang politik dan sejak itu pula muncul kesadaran untuk mengurangi jumlah partai politik, guna mengatasi berbagai gejolak politik. Dengan dikucilkannya PNI dan Masyumi oleh presiden Soekarno, memberikan angin segar bagi PKI untuk berkiprah lebih leluasa dalam arena politik. Dalam kurun waktu 1959-1965, tampak antara Soekarno, PKI dan TNI-AD saling bersaing, sedang partai lain kurang menunjukkan aset yang berarti dalam percaturan politik (Arifin Rahman, 1998: 98).

Berkaca pada Demokrasi Terpimpin, para pemimpin Orde Baru mencanangkan usaha-usaha perbaikan dalam sistem politik Indonesia dan tetap berpandangan bahwa jumlah partai yang terlalu banyak tidak menjamin adanya stabilitas politik. Oleh karena itu, didengungkanlah slogan-slogan seperti melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap Orde Lama, sekaligus untuk menunjukkan kebulatan tekad Orde Baru untuk menegakkan demokrasi seperti yang dianut oleh UUD 1945. Yang tidak kalah pentingnya adalah usaha-usaha pemerintah untuk menyelenggarakan pemilu (Maswadi Rauf, 2001: 126-127)

Pemerintahan Orde Baru bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Strategi politik yang ditempuh melalui penyelenggaraan pemilu dan penyederhanaan partai. Pemilu dimaksudkan untuk Pemerintahan Orde Baru bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Strategi politik yang ditempuh melalui penyelenggaraan pemilu dan penyederhanaan partai. Pemilu dimaksudkan untuk

Pada tahun 1969, sebuah Undang-undang (UU) tentang pemilu telah berhasil diundangkan yang memberikan basis hukum yang jelas bagi penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Pada tahun 1970, presiden Soeharto telah mengemukakan sarannya agar dilakukan pengelompokan partai-partai sehingga organisasi politik yang ada dapat ciutkan hanya menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok nasionalis, kelompok spiritual, dan Golongan karya. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Nahdatul Ulama (NU) segera memberikan dukungan atas usul presiden tersebut, sedangkan partai Katolik dan Parkindo menolak bergabung dalam golongan spiritual. Atas saran ini, maka pada tanggal 14 Maret 1970 sembilan partai politik menggabungkan diri ke dalam dua golongan antara lain, golongan spiritual yang terdiri dari empat partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia dan Perti. Selain itu, golongan nasionalis yang terdiri dari : Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Golongan Karya (Golkar) (Moh. Mahfud, 2000: 90)

Menjelang pemilu 1971, mulai terlihat bahwa pemerintah Orde Baru menganut sikap yang sama dengan Soekarno dalam menghadapi konflik politik, yakni kekhawatiran yang berlebihan terhadap konflik. Elit politik Orde Baru selalu khawatir terhadap konflik politik karena akan mengganggu kestabilan politik, integrasi nasional, dan pembangunan nasional. Ketiga hal tersebut digunakan sebagai alasan untuk membatasi kebebasan disegala bidang. Dampak Menjelang pemilu 1971, mulai terlihat bahwa pemerintah Orde Baru menganut sikap yang sama dengan Soekarno dalam menghadapi konflik politik, yakni kekhawatiran yang berlebihan terhadap konflik. Elit politik Orde Baru selalu khawatir terhadap konflik politik karena akan mengganggu kestabilan politik, integrasi nasional, dan pembangunan nasional. Ketiga hal tersebut digunakan sebagai alasan untuk membatasi kebebasan disegala bidang. Dampak

Peserta dalam pemiihan umum 1971 meliputi sembilan partai politik antara lain: Partai Katholik Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Murba, Partai Ikatan pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Partai Nadhlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Muslimin Indonesia, Partai Islam Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti) dan Golongan Karya. (Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993: 517). Pemilihan umum 1971 dimaksudkan untuk menciptakan kemantapan dan stabilitas politik, perombakan struktur politik dengan pengakuan bagi Golongan Karya dan membangkitkan kesadaran demokrasi rakyat (Ali Moertopo, 1974: 67).

Pada pemilu 1971 ada dua macam kekhawatiran yang diperlihatkan penguasa yang membayanginya. Pertama adalah kekhawatiran yang diperlihatkan penguasa jika pemilu itu menghidupkan kembali pola tingkah laku politik dijaman Demokrasi Liberal, kedua adalah kekhawatiran kemungkinan munculnya kecenderungan untuk mematikan konflik atau perbedaan pendapat. Dengan demikian DPR hasil pemilu dikhawatirkan akan kurang mampu menyuarakan aspirasi dan kehendak yang sesungguhnya dari masyarakat (Mohtar Mas‟oed dan

Mac Andrews, Colin, 2006: 263). Hasil pemilu 1971 menunjukkan kemenangan Golkar, kemudian diikuti oleh Parmusi, Nadhlatul Ulama (NU), dan Partai Nasional Indonesia (PNI) menunjukkan kekuatan formal partai dilihat dari suara yang didapat dari pemilihan. Hal ini tidak lepas dari jasa ABRI dalam mensukseskan pemilu pertama dalam masa Orde Baru, yakni memberi peluang cukup leluasa bagi Golkar untuk berusaha sekuat tenaga dalam memenangkan pemilu dengan dibantu oleh pemerintah. Dengan kemenangan Golkar maka sangat mungkin melapangkan jalan untuk menyederhanakan kehidupan partai secara melembaga (Arifin Rahman, 1998: 99).

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dibentuk berdasarkan hasil pemilu 1971 berhasil diyakinkan untuk menggariskan perintah penyederhanaan partai politik dengan menegaskan bahwa dalam pemilihan umum 1977 hanya diikuti tiga kontestan. Penyederhanaan partai politik dalam bentuk dua partai politik dan satu Golongan Karya itu sendiri merupakan suatu perubahan struktur kepartaian yang baru pertama kali terjadi sejak diperkenalkannya sistem kepartaian dinegara Indonesia. Dengan jumlah relatif sedikit, diharapkan dapat menjadi landasan bagi terwujudnya suatu kehidupan kepartaian yang lebih sehat, efisien, serta mampu membawakan fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur aspirasi politik rakyat (Amir Machmud, 1987: 214). Selanjutnya, berdasarkan isi ketetapan MPR tersebut pada tahun 1973 semua partai politik resmi melakukan fusi, dimana golongan spiritual menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sedangkan golongan Nasionalis menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golkar tetap menjadi golongan tersendiri. Dengan demikian dalam pemilihan umum1977 diikutsertakan dua partai dan Golongan Karya (Golkar) (Miriam Budiardjo, 2008: 446 ).

Dalam pemilihan umum 1977 telah terjadi perbedaan yang tajam dalam isyu kampanye. Pada pemilihan umum 1971 isyu bekisar pada perbedaan yang tajam antara orientasi ideologi (terutama didominasi oleh kelompok partai politik) dan berhadapan dengan orientasi pembangunan (terutama didominasi oleh kelompok Golongan Karya). Dalam pemilihan umum 1977, terlihat bahwa isyu yang berkisar kepada seberapa jauh kemampuan dan keberhasilan pemerintah menjalankan pembangunan (Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993: 520). Ciri penting dari pemilihan umum 1977 adalah menurunnya jumlah Organisasi Peserta Pemilu (OPP) dari sepuluh OPP ditahun 1971 menjadi 3 OPP di tahun 1977 sebagai kelanjutan dari terjadinya fusi partai politik pada tahun 1973 (Riswandha Imawan, 1997: 9).

Tema ini menarik untuk diteliti sebab pemilihan umum 1977 penting dalam sejarah pertumbuhan politik Indonesia karena untuk pertama kalinya diselenggarakan dengan struktur partai politik yang disederhanakan (Sinar Harapan , 1977 )

Berdasarkan latar belakang tersebut, Penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai permasalahan di atas dalam sebuah karya ilmiah yang

berjudul “Pemilihan Umum Di Indonesia Tahun 1977 (Studi Tentang Fusi Partai Politik)”.

B. Perumusan Masalah

Suatu penelitian ilmiah bertujuan untuk memecahkan masalah melalui metode ilmiah. Dalam metode ilmiah, rumusan masalah merupakan langkah yang tidak dapat ditinggalkan, untuk memberikan arahan dalam penelitian, maka perlu dikemukakan beberapa pokok permasalahan, antara lain:

1. Mengapa diberlakukan fusi partai politik?

2. Bagaimana perkembangan partai politik tahun 1973-1977?

3. Bagaimana pengaruh fusi partai politik terhadap perolehan suara pemilu 1977 bagi partai yang berfusi ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini, untuk memperoleh jawaban atas masalah yang telah dirumuskan. Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan yang akan dicapai. Demikian pula dengan penelitian ini. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang diberlakukannya fusi partai politik.

2. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang perkembangan partai politik tahun 1973-1977.

3. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang pengaruh fusi partai politik terhadap perolehan suara pemilu 1977 bagi partai yang berfusi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi yang dapat memberi jawaban permasalahan penelitian baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang pemilihan umum di Indonesia tahun 1977 (fusi partai politik dalam pemilu 1977).

b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada setiap pembaca supaya dapat digunakan sebagai tambahan bacaan dan sumber data dalam penulisan sejarah.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Kependidikan Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Menambah wawasan bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.

BAB II KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Partai Politik

a. Pengertian Partai Politik

Miriam Budiardjo (1998: 16), berpendapat “Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir, yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan itu, melaksanakan kebijakan- kebijakan partai”. Sedangkan menurut Arifin Rahman (1998: 91), “partai politik sering diasosiasikan sebagai organisasi perjuangan tempat seseorang atau kelompok mencari dan memperjuangkan kedudukan politik dalam negara ”. Bentuk perjuangan yang dilakukan oleh setiap partai politik tidak harus menggunakan kekerasan atau kekuatan fisik, tetapi melalui berbagai konflik dan persaingan baik intern partai yang terjadi secara melembaga dalam partai politik pada umumnya.

Inu Kencana. S (2003 : 104), “Partai politik adalah sekelompok orang- orang yang mempunyai ideologi sama, berniat merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan tujuan untuk (yang menurut pendapat mereka paling pribadi paling idealis) memperjuangkan kebenaran, dalam suatu level (tingkat) negara”. Partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat

dengan masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan. Partai politik sering dianggap sebagai salah satu atribut negara demokrasi modern, karena partai politik sangat diperlukan kehadirannya bagi negara-negara yang berdaulat. Bagi negara-negara yang merdeka dan berdaulat eksistensi partai politik merupakan prasyarat baik sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat, juga terlibat langsung dalam proses penyelenggaraan negara melalui wakil- wakilnya yang duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat.

Sukarna (1990: 45) , berpendapat “Partai politik adalah sekumpulan orang-orang yang terorganisasikan dalam kelompok formal yang berusaha

untuk mengendalikan pemerintahan dengan cara menempatkan orang- orangnya baik dalam badan perwakilan politik maupun badan eksekutif, dan badan yudikatif secara legal menurut aturan-aturan hukum yang berlaku ataupun dengan cara illegal yaitu melalui cara coup d‟etat”. Menurut Haryanto (1982: 88 ) “Partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak telah terorganisir, dimana anggota-anggotanya (anggota-anggota dari kelompok yang telah terorganisir) memiliki cita-cita, tujuan-tujuan dan orientasi yang sama. Kelompok ini berusaha untuk merebut dukungan rakyat, sedangkan yang menjadi tujuannya adalah memperoleh dan mengendalikan kekuasaan politik atau pemerintahan, dan kemudian berusaha untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaannya (kebijaksanaan-kebijaksanaan kelompok) dengan jalan menempatkan anggota-anggotanya di dalam jabatan- jabatan politik ataupun pemerintahan. Cara-cara yang dipergunakan partai politik agar dapat memperoleh kekuasaan dan kemudian menduduki jabatan- jabatan politik ataupun pemerintahan adalah dengan melalui cara yang konstitusional, seperti ikut serta di dalam pemilihan umum, maupun melalui cara yang inskonstitusional, seperti mengadakan pemberontakan.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian atau batasan partai politik, dapat ditarik kesimpulan bahwa partai politik adalah suatu kelompok dari warga negara yang terorganisir, dimana anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama serta bertujuan untuk menguasai dan mempertahankan kekuasaan politik atau pemerintahan, baik melalui cara- cara yang konstitusional misalnya dengan turut serta dalam pemilihan umum, maupun melalui cara-cara inkonstitusional, misalnya denga cara perebutan kekuasaan.

b. Fungsi Partai Politik

Menurut Haryanto (1982: 89-95) partai politik mempunyai fungsi adalah sebagai berikut:

1) Partai sebagai Sarana Komunikasi Politik

Dalam hal ini partai politik bertindak sebagai penghubung, maksudnya menghubungkan antara pihak yang memerintah dengan pihak Dalam hal ini partai politik bertindak sebagai penghubung, maksudnya menghubungkan antara pihak yang memerintah dengan pihak

kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah disebarluaskan oleh partai politik kepada masyarakat. Dengan demikian terjadilah arus informasi bolak-balik dari pihak penguasa kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pihak penguasa.

Rencana-rencana

atau

2) Partai sebagai Sarana Sosialisasi Politik

Sosialisasi politik secara umum dapat dinyatakan sebagai cara untuk mewariskan atau mengajarkan patokan-patokan, keyakinan- keyakinan politik dari suatu generasi yang lebih tua kepada generasi berikutnya. Sehubungan dengan hal itu, partai politik juga memainkan peran sebagai sarana sosialisasi politik, disamping sarana-sarana yang lainnya seperti keluarga, sekolah dan sebagainya.

Partai politik disamping menanamkan ideologi partai kepada para pendukungnya, harus pula mengajarkan nilai-nilai, keyakinan-keyakinan politik yang berlaku di masyarakatnya atau di negaranya. Partai politik juga harus mendidik masyarakatnya agar supaya mempunyai kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi sebagai warga negara dan lebih mementingkan nasional daripada kepentingan sendiri atau golongannya. Dalam rangka proses sosialisasi politik, maka cara yang biasanya dipergunakan oleh partai politik adalah dengan cara memberikan kursus- kursus, ceramah-ceramah, maupun penataran-penataran tentang politik.

3) Partai sebagai Sarana Rekrutmen Politik

Partai politik dalam fungsinya sebagai sarana rekrutmen politik adalah dengan cara memberikan kesempatan kepada warga negara untuk menjadi anggota partai. Partai politik berusaha untuk menarik minat warga negara agar bersedia menjadi anggota partai. Sehubungan dengan hal itu berarti partai politik turut serta memperluas partisipasi warga negara dalam bidang politik.

Rekrutmen politik merupakan salah satu cara untuk menyeleksi anggota-anggota partai yang berbakat untuk dipersiapkan menjadi calon- calon pemimpin. Pada umumnya cara yang ditempuh oleh partai politik adalah dengan menarik golongan muda untuk dididik dijadikan kader, dan dari para kader ini akan nampak anggota-anggota yang mempunyai bakat yang pada gilirannya dapat diorbitkan menjai calon-calon pemimpin.

Rekrutmen politik juga dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan hidup partai politik yang bersangkutan. Dengan adanya anggota-anggota partai yang dipersiapkan menjadi pemimpin, maka berarti pula proses regenerasi di dalam tubuh partai yang bersangkutan akan dapat berjalan lancar, dan hal ini berarti bahwa kelangsungan hidup partai dari segi kepemimpinan partai sudah dapat terjamin.

4) Partai Politik sebagai Sarana Pembuatan Kebijaksanaan

Dapat dinyatakan bahwa partai politik sebagai sarana pembuatan kebijaksanaan apabila partai tersebut merupakan partai yang memegang tampuk pemerintahan dan menduduki badan perwakilan secara mayoritas mutlak. Apabila partai tersebut hanya berkedudukan sebagai partai oposisi, maka partai tersebut tidak merupakan sarana pembuatan kebijaksanaan akan tetapi sebagai pengkritik kebijaksanaan-kebijaksanaan pemeritah.

5) Partai Politik sebagai Sarana Pengatur Konflik

Perbedaan pendapat dan persaingan sudah merupakan suatu hal yang wajar terjadi di negara yang menganut faham demokratis. Di negara yang menganut faham-faham demokratis perbedaan pendapat dan persaingan diantara para warga negara atau golongan-golongan yang ada Perbedaan pendapat dan persaingan sudah merupakan suatu hal yang wajar terjadi di negara yang menganut faham demokratis. Di negara yang menganut faham-faham demokratis perbedaan pendapat dan persaingan diantara para warga negara atau golongan-golongan yang ada

c. Klasifikasi Partai

Klasifikasi partai dalam Miriam Budiarjo (1999: 166) dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dilihat dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya, secara umum dapat dibagi dalam dua jenis yaitu partai massa dan partai kader. Partai massa mengutamakan kekuataan berdasarkan keunggulan jumlah anggota. Oleh karena itu, biasanya terdiri dari pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat untuk bernaung dibawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan agak kabur. Partai kader mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya. Pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon anggotanya dan memecat anggota yang menyeleweng dari garis partai yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut Maurice duverger, partai dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Sistem Partai-Tunggal

Ada yang berpendapat bahwa istilah sistem partai tunggal merupakan istilah yang menyangkal diri sendiri (Conditio in terminis) sebab menurut pandangan ini suatu sistem selalu mengandung lebih dari satu unsur. Namun demikian istilah ini telah tersebar luas dikalangan masyarakat dan para sarjana. Istilah ini dipakai untuk partai yang benar- benar merupakan satu-satunya partai dalam negara, ataupun untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan diantara beberapa partai lainnya. Pola partai tunggal terdapat dibeberapa negara : Afrika, China, dan kuba. Suasana kepartaian dinamakan non-kompetitif karena semua partai harus menerima pimpinan dari partai yang dominan, dan tidak dibenarkan bersaing dengannya.

Kecenderungan untuk mengambil pola sistem partai tunggal disebabkan di negara-negara baru pimpinan sering dihadapkan dengan masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah serta suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan hidupnya. Dikhawatirkan bahwa bila keanekaragaman sosial dan budaya ini dibiarkan, besar kemungkinan akan terjadi gejolak-gejolak sosial politik yang menghambat usaha-usaha pembangunan. Fungsi partai adalah meyakinkan atau memaksa masyarakat untuk menerima persepsi pimpinan partai mengenai kebutuhan utama dari masyarakat seluruhnya. Di Indonesia pada tahun 1945 ada usaha mendirikan partai-tunggal sesuai dengan pemikiran pada saat itu banyak dianut di negara-negara yang baru melepaskan diri dari rezim kolonial. Diharapkan partai itu akan menjadi motor perjuangan akan tetapi sesudah beberapa bulan usaha itu dihentikan sebelum terbentuk secara konkret. Penolakan ini antara lain disebabkan karena dianggap berbau fasis.

2) Sistem Dwi-Partai

Dalam kepustakaan ilmu politik pengertian sistem dwi partai biasanya diartikan adanya dua partai atau adanya beberapa partai tetapi dengan peranan dominan dari dua partai. Beberapa negara yang mempunyai ciri-ciri system dwi-partai, yaitu Inggris, Amerika Serikat, Filipina, Kanada, dan Selandia Baru. Dalam sistem ini, partai-partai dengan jelas dibagi dalam partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilihan umum) dan partai oposisi (karena kalah dalam pemilihan umum) dengan demikian jelaslah dimana letaknya tanggung jawab mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi. Dalam sistem ini partai yang kalah berperan sebagai pengecam utama yang setia (loyal opposition) terhadap kebijaksanaan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian bahwa peranan ini sewaktu-waktu dapat bertukar tangan. Dalam persaingan memenangkan pemilihan umum kedua partai berusaha untuk merebut dukungan orang-orang yang ada ditengah dua partai dan sering dinamakan pemilih terapung (floating vote).

Sistem dwi- partai pernah disebut “a convenient system for contented people” dan memang kenyataannya bahwa sistem dwi-partai

dapat berjalan baik apabila terpenuhi tiga syarat, yaitu komposisi masyarakat adalah homogen (social homogenity), konsesus dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial yang pokok (political consesus) adalah kuat, dan adanya kontinuitas sejarah (historical continuity). Sistem dwi-partai umumnya diperkuat dengan digunakannya sistem pemilihan single-member constitueney (sistem distrik) dimana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu wakil saja. Sistem pemilihan ini cenderung menghambat pertumbuhan partai kecil, sehingga dengan demikian memperkokoh sistem dwi-partai. Di Indonesia pada tahun 1968 ada usaha untuk mengganti multi-partai yang telah berjalan lama dengan sistem dwi-parti, agar sistem ini dapat membatasi pengaruh partai-partai yang telah lama mendominasi kehidupan politik. Beberapa akses dirasakan menghalangi badan eksekutif untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik. Akan tetapi eksperimen dwi-partai ini, sesudah diperkenalkan dibeberapa wilayah, ternyata mendapat tantangan dari partai-partai yang merasa terancam eksistensinya. Akhirnya gerakan ini dihentikan pada tahun 1969.

3) Sistem Multi-Partai

Keanekaragaman budaya politik suatu masyarakat mendorong pilihan ke arah sistem multi-partai. Sistem multi partai ditemukan antara lain di Indonesia, Malaysia, Nederland, Australia, Prancis, Swedia, dan federasi Rusia. Perancis mempunyai jumlah partai yang berkisar antara 17 sampai 28, sedangkan di Federasi Rusia sesudah jatuhnya partai komunis jumlah partai mencapai 43. sistem multi-partai jika dihubungkan dengan sistem pemerintahan parlementer, mempunyai kecenderungan untuk menitikberatkan kekuasaan pada badan legislative, sehingga peran badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini sering disebabkan karena tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan partai- Keanekaragaman budaya politik suatu masyarakat mendorong pilihan ke arah sistem multi-partai. Sistem multi partai ditemukan antara lain di Indonesia, Malaysia, Nederland, Australia, Prancis, Swedia, dan federasi Rusia. Perancis mempunyai jumlah partai yang berkisar antara 17 sampai 28, sedangkan di Federasi Rusia sesudah jatuhnya partai komunis jumlah partai mencapai 43. sistem multi-partai jika dihubungkan dengan sistem pemerintahan parlementer, mempunyai kecenderungan untuk menitikberatkan kekuasaan pada badan legislative, sehingga peran badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini sering disebabkan karena tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan partai-

Partai-partai oposisi pun kurang memainkan peranan yang jelas karena sewaktu-waktu masing-masing partai dapat diajak untuk duduk dalam pemerintahan koalisi baru. Hal semacam ini menyebabkan sering terjadinya siasat yang berubah-ubah menurut kegentingan situasi yang dihadapi partai masing-masing. Disamping itu, partai-partai oposisi kurang mampu menyusun suatu program alternatif bagi pemerintah. Dalam situasi di mana terdapat satu partai yang dominan, stabilitas politik lebih dapat dijamin. India di masa lampau sering dikemukakan sebagai negara yang didominasi satu partai (one-party dominance) akan tetapi suasana kompetitif, pola didominasi setiap waktu dapat berubah. Hal ini dapat dilihat pada pasang surutnya kedudukan partai Kongres. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa pemerintahan koalisi selalu lemah. Belanda, Norwegia, dan Swedia merupakan contoh dari pemerintah yang dapat mempertahankan stabilitas dan kontinuitas dalam kebijakan publiknya.

Pola multi-partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan Perwakilan Berimbang (Proportional Representation) yang memberi kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai dan golongan-golongan baru. melalui sistem pemilihan Perwakilan Berimbang partai-partai kecil dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang diperolehnya disuatu daerah pemilihan dapat ditarik ke daerah pemilihan lain untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna memenangkan satu kursi. Dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, yang disusul dengan Maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945, kehidupan politik di Indonesia menganut sistim multi partai. Antara tahun 1945 hingga tahun 1950 telah berdiri sebanyak 25 partai, sedangkan menjelang pemilihan umum tahun

1955 yang berdasarkan demokrasi liberal tidak kurang dari 70 partai maupun perorangan telah mengambil bagian dalam pemilihan umum tersebut.

Kondisi politik Indonesia yang tidak menentu pada tahun 1950-an karena konflik politik yang hebat merupakan bukti yang baik bagi pendapat Soekarno bahwa sitem Parlementer dan Multipartai tidak layak digunakan di Indonesia, maka mulai saat itu dilaksanakan penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia. Pada tahun 1970, presiden Soeharto telah mengemukakan sarannya agar dilakukan pengelompokan partai sehingga organisasi politik yang ada dapat disederhanakan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok Nasionalis, kelompok Spiritual, dan Golongan Karya. Pada pemilu 1971 pemerintah berhasil menentukan persyaratan kontestan peserta pemilu yang hanya dapat menjaring sembilan parpol ditambah satu golongan karya, sehingga dalam pemilu 1971 hanya ada sepuluh kontestan. Selanjutnya pada tahun 1973 semua partai politik resmi melakukan fusi, dimana golongan spiritual menjadi Partai persatuan Pembangunan (PPP) sedangkan golongan Nasionalis menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dengan demikian, pada pemilihan umum 1977 hanya diikuti dua partai politik yaitu PPP, PDI, dan Golongan Karya (Golkar).

2. Pemilu

a. Pengertian Pemilu

Ali Moertopo (1974: 61), berpendapat “ Pemilihan umum adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya sesuai dengan azas yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945”. Pemilihan umum itu sendiri pada dasarnya adalah suatu demokrasi yang memilih anggota- anggota perwakilan rakyat dalam MPR, DPR, dan DPRD yang pada gilirannya bertugas untuk bersama-sama dengan pemerintah menetapkan politik dan jalannya pemerintahan negara.

Arifin Rahman (1998: 194), “Pemilihan umum merupakan cara dan sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk dalam Badan-badan Perwakilan Rakyat guna menjalankan kedaulatan rakyat”. Sedangkan Menurut Muhammad A.S. Hikam (1999: 17), “Pemilihan umum adalah sebuah alat untuk melakukan pendidikan politik bagi warga negara agar m ereka memahami hak dan kewajibannya”.

Syamsuddin Haris (1998: 7), secara universal “pemilihan umum adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative government) yang menurut Dahl, merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi dizaman modern”. Menurut C. S. T. Kansil (1974: 17), “Pemilihan umum adalah tindakan melakukan pemilihan anggota-anggota Badan Perwakilan Rakyat dalam waktu tertentu dan menurut cara tertentu ”.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pemilu merupakan perwujudan dari suatu pemerintahan yang demokratis yang diletakkan pada kekuasaan rakyat.

b. Fungsi Pemilu

Menurut Syamsuddin Haris (1998: 7-8) Pemilu mempuyai beberapa fungsi, antara lain:

1) Sebagai sarana legitimasi politik

Fungsi legitimasi ini terutama menjadi kebutuhan pemerintah dan sistem politik yang mewadahi format pemilu yang berlaku. Melalui pemilu, keabsahan pemerintahan yang berkuasa dapat ditegakkan, begitu pula program dan kebijakan yang dihasilkannya. Dengan begitu, pemerintah berdasarkan hukum yang disepakati bersama tidak hanya memiliki otoritas untuk berkuasa, melainkan juga memberikan sanksi berupa hukuman dan ganjaran bagi siapa pun yang melanggarnya.

2) Sebagai perwakilan politik