PERGERAKAN NA SIONAL PEMUD A ISLAM (Studi te ntang J ong Islamie te n Bo nd 192 5-19 42 )

SKRIPSI

Ole h:

Agustina Dwi Pramuji Astuti

K 440 60 02

FAKULTAS KEGURUAN DA N ILMU PEND IDIKA N UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURA KARTA

PERGERAKAN NASIONAL PEMUDA ISLAM (Studi tentang J ong Islamie te n Bo nd 192 5-19 42 )

Ole h: Agustina Dwi Pramuji Astuti K 440 60 02

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat me ndapatkan ge lar Sarjana

Pro gram Studi Pendidik an Sejarah Jurusan Pe ndidikan Ilmu Pengetahuan Sos ial FAKULTAS KEGURUAN DA N ILMU PEND IDIKA N UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURA KARTA

2 01 0

ABSTRAK

Agustina Dwi P ramuji Astuti. K4 40 60 02. PERGERAKAN NASION AL PEMUDA ISLAM (STUDI TENTANG J ONG ISLAMIETEN

BOND 19 25 -1 94 2). Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2010.

Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui latar belakang berdirinya Jong Islamieten Bond, (2) Untuk mengetahui perkembangan Jong Islamieten Bond dan (3) Untuk mengetahui peranan Jong Islamieten Bond sebagai bagian dari organisasi pemuda Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia tahun 1925-1942.

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode historis dengan langkah-langkah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa sumber sekunder. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis dengan melakukan kritik ekstern dan intern.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Latar belakang berdirinya Jon g Isla mieten Bon d (JIB) adalah adanya politik Islam Hindia- Belanda, diskriminasi dan sekularisasi dalam bidang pendidikan terhadap golongan Islam. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah Hindia- Belanda menyangkut masalah pendidikan telah menyebabkan tokoh-tokoh pribumi Islam yang menikmati pendidikan Barat justru semakin sadar akan kebangsaannya sekaligus keislamannya dan semakin bersemangat pula untuk menentang penjajahan. Hal tersebut mendorong munculnya kaum intelektual Muslim yang kemudian membentuk organisasi yang berasaskan Islam untuk mewadahi pergerakannya, yaitu dengan mendirikan Jong Islamieten Bond. (2) Jong Islamieten Bond didirikan pada tanggal 1 Januari 1925 atas prakarsa Sjamsoeridjal dan didukung H. Agus Salim. P ergerakan Jong Islamieten Bond didasarkan pada Islam dan nasionalisme Indonesia. Jong Islamieten Bond berkembang menjadi suatu wadah untuk mendidik kaum muda Islam hingga menjadi kader-kader yang mempunyai dasar keislaman yang kokoh dan Jong Islamieten Bond menjadi suatu organisasi yang secara politik sangat penting dalam pergerakan pemuda Islam dalam usaha untuk menumbangkan kekuasaan bangsa Belanda di Indonesia. (3) P eranan Jong Islamieten Bond sebagai bagian dari organisasi pemuda Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia tahun 1925-1942 antara lain (a) menggagas nasionalisme Indonesia, (b) mendirikan Nation ale Indo nesische Padvin derij (NATIP IJ) dan (c) meningkatkan derajat pendidikan.

ABSTRACT

Agustina Dwi Pramuji Astuti. K4 40 60 02 . THE NATIONAL

MOVEMENT OF ISLAM YOUTH (A STUDY AB OUT J ONG

ISLAMIETEN B OND 192 5-19 42 ). Skripsi. Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education. Sebelas Maret University. July 2010.

The aims of this research are: (1) To identify the background of Jong Islamieten Bond establishment, (2) To identify the development of Jong

Islamieten Bond and (3) To identify the role of Jong Islamieten Bond as the part of Islamic youth organization in the field of national movement in 1925 to 1942.

This research was conducted by using the historical method through heuristic, critical, interpretation and historiography steps. The source of data used in this research was the secondary data. The technique of collecting data was done by library study, while, the technique of analyzing data used in this research was the historical analysis technique by doing internal and external critics.

Based on the result of this research, it can be concluded that: (1) The background of Jon g Islamieten Bond (JIB) establishment was signified by the existence of Dutch East Indies Islamic politics, discrimination, and secularization towards Muslim community in the education field. The policies taken by the administrative capital of Du tch East Ind ies related to education matters had caused many indigenous Muslim figures that enjoyed studying Western education, in fact became more realized upon their religion and nationality as well and they also became more enthusiastic to war against imperialism. That case encouraged the emergence of intellectual Muslim groups that finally developed the Islamic based organization to facilitate their movement through establishing Jo ng Islamieten Bond (JIB). (2) Jong Islamieten Bond was established on 1 st January 1925, initiated by Sjamsoeridjal and supported by H. Agus Salim. The movement of Jong Islamieten Bond was based on Islam and Indonesian nationalism. Jong Islamieten Bond developed into a place specialized for educating the young Muslim generation to be the cadres of Islam that had strong basic of Islam. Jong Islamieten Bond also became an organization which was politically very important to the Islam youth movement in the efforts of falling down the domination of Dutch in Indonesia. (3) The role of Jong Islamieten Bond as the part of Islam youth organization in the field of movement in Indonesia from 1925 to 1942 are (a) initiating the Indonesian nationalism, (b) establishing the Nation ale Ind onesische Padvind erij (NATIPIJ) and (c) increasing the quality of education in Indonesia.

MOTTO

P elajaran dalam hidup itu adalah hikmah, belajar dari sejarah. "S esuatu yang hilang dari kaum muslimin adalah hikmah, ambillah di mana pun ia berada" (S abda R asulullah)

A gama I slam mendidik akal dan hati supaya jangan bergantung kepada keduniaan. A kan tetapi tidak dengan jalan menjauhkan diri daripada ikhtiar dan usaha.. A gama I slam adalah pedoman dan pandu (penunjuk jalan) yang

sempurna bagi manusia untuk kehidupannya di dunia, supaya siap ia

pada tiap-tiap waktu untuk menjalani jalan akhiratnya (H aji A gus S alim)

K alau pemimpin-pemimpin kita jatuh, kita tidak boleh berdiam diri berpangku tangan . K ita harus meneruskan pekerjaan mereka.

H anya satu obat saja yang dapat menyenangkan hati pemimpin-pemimpin yang menjadi korban pergerakan, yaitu melihat kawan-kawannya terus bergerak

(A ktivis P ergerakan N asional)

S etiap apa yang kita lakukan (baik/ buruk) pasti ada balasannya..

A llah yang paling berhak memberi balasannya. D an terkadang balasannya lebih dari apa yang kita lakukan sekarang. S erahkan semuanya kepada A llah

karena D ia-lah yang M aha A dil dan M aha B ijaksana.

B alasan-N ya itu pasti datang; cepat/ lambat, di dunia/ akherat.

D an kesabaran, keikhlasan, ketawakkalan serta keistiqomahanlah yang menjadi

kunci terbaik untuk menghadapi suatu ujian hidup dari-N ya (T een’S )

PERSEMBAH AN

Dengan ra sa syuk ur atas ra hmat ALLAH SWT, karya ini penulis p ersembahka n kepada:

Bapak dan Ib u tercin ta atas semua do ’a, p erhatian, kasih -sa yang, b imbingan

da n dukungannya sela ma ini Mbak Novita d an Mas Wir: Dedek Azza m Sa habat-sahabatku S eseora ng ya ng k elak menjadi ”Imam”-ku (b aik d unia-akherat menurut-Nya u ntuk ku. Amin) Almamater

KATA PEN GANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana

pendidikan. Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu, atas segala bentuk bantuannya, disampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi.

2. Drs. Saiful Bachri, M. P d., Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu P engetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu P endidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah menyetujui permohonan ijin penyusunan skripsi.

3. Drs. Djono, M.P d., Ketua P rogram P endidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu P endidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin demi kelancaran penyusunan skripsi.

4. Drs. Tri Yuniyanto, M. Hum., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan saran yang membangun kepada penulis.

5. Drs. Djono, M.P d., selaku Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan saran yang membangun kepada penulis.

6. Bapak dan Ibu Dosen P rogram P endidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini.

7. Teman-teman di P rodi Sejarah Angkatan 2006, keluarga besar; P erpus

Sejarah, P PL Diponegoro’ , P erbuner’S serta semua sahabat-sahabatku di Solo, terima kasih atas semua bantuan, doa dan dukungannya.

8. Keluarga besar di Ngawi dan teman-teman; Mayapada khususnya angkatan V, Armadha, Leorsa, Winny, Mbak Lina serta semua sahabat-sahabatku di Ngawi, terima kasih atas semua doa dan dukungannya selama ini.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.

Semoga Allah SWT membalas amal baik semua pihak yang telah membantu di dalam penyelesaian skrispsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan, tetapi diharapkan penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan mahasiswa Program Pendidikan Sejarah, khususnya.

Surakarta, Juli 2010

Agustin a Dwi Pra muji Astu ti

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Be lak ang Masalah

Kelemahan kerajaan-kerajaan di Indonesia menyebabkan tertanamnya kekuasaan asing VOC. Keruntuhan VOC dan kekalutan di bidang keuangan mendorong dilaksanakannya cultu ur stelsel. Sistem ini di satu pihak mendatangkan kesengsaraan bagi bangsa Indonesia tetapi di lain pihak membawa keuntungan besar bagi Belanda, sehingga kelas menengah Belanda bisa bangkit kembali. Hal ini menyebabkan liberalisme unggul di Nederland. Cultuur stelsel dihapuskan dan diganti dengan usaha bebas (co rp orate system). Modal swasta mengalir, banyak perusahaan perkebunan, pertambangan dan transport serta bank- bank berdiri. Untuk menjamin kelangsungan perusahaan-perusahaan, daerah- daerah perlu disatukan dan diamankan (G. Moedjanto. 1988: 27).

Keputusan pemerintah Belanda kembali menerapkan sistem perkebunan dengan tanam paksa (cultuu r stelsel) bertujuan untuk mendapatkan keuntungan

yang lebih banyak guna menutupi biaya perang yang luar biasa di Jawa dan perang dengan Belgia. Sistem ini mengenakan pajak pada tanaman tertentu dan sebagian dari hasilnya diolah oleh orang Indonesia di bawah pengawasan- pengawasan administratur-administratur Belanda sendiri dan di bawah penilikan yang sangat ketat dari pegawai-pegawai Eropa. Hasil bumi dari sistem yang diawasi ini harus diserahkan kepada pemerintah sebagai ganti pajak dalam bentuk uang (Robert Van Niel. 1994: 17). Cultuur stelsel yang diperkenalkan oleh Van den Bosch pada dasarnya memaksa rakyat untuk membayar pajak dengan hasil tanaman kepada pemerintah Belanda (Nico Thamiend R dan M. P . B. Manus. 2004: 30). Sistem perkebunan yang dilaksanakan di pulau Jawa, Menado dan Sumatra Barat dalam prakteknya telah menyengsarakan rakyat pribumi. Selain itu, adanya sistem rodi (kerja paksa tanpa dibayar) ditambah korupsi pegawai kumpeni pada waktu itu yang turut menghisap rakyat, pajak tanah dan pemerasan- pemerasan lain terhadap rakyat Indonesia maka mulai muncul kelaparan di berbagai daerah dan rakyat yang sudah miskin menjadi lebih miskin lagi.

Pelaksanaan sistem ini hanya menguntungkan pihak kolonial Belanda dan rakyat Indonesia hanya mendapatkan kesengsaraannya (Tim Museum Sumpah Pemuda. 2006: 6-8).

Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan cultuur stelsel tidak terlalu memberatkan rakyat bahkan Van den Bosch sendiri mengatakan

apabila seseorang mau menggantikan kewajiban pembayaran pajaknya dengan bekerja selama 66 hari dalam setahun, maka kewajiban membayar pajak dianggap lunas. Akan tetapi dalam pelaksanaannya sistem tersebut mengandung banyak penyimpangan yang sangat memberatkan rakyat. Di antara penyimpangan- penyimpangan itu misalnya luas tanah yang telah ditentukan dalam peraturan yaitu seperlima dapat dilebihkan hingga sepertiga, seperdua, bahkan tidak jarang seluruh desa tanahnya digunakan untuk menanam tanaman ekspor. Kegagalan panen juga sering dibebankan kepada rakyat. Kelebihan hasil panen yang seharusnya dibayarkan kembali kepada rakyat, ternyata bohong belaka. P ekerjaan di pabrik-pabrik gula ternyata jauh lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan di sawah. Banyak penduduk desa yang dikerahkan untuk kerja paksa di pabrik- pabrik, jalan-jalan raya, pembangunan jembatan, tanpa bayaran sedikit pun. Akibat langsung dari pelaksanaan cultuur stelsel ini antara lain kemiskinan dan kelaparan yang melanda beberapa daerah di pulau Jawa, seperti Cirebon, Demak, dan Grobogan. Di daerah-daerah ini ribuan orang mati karena kelaparan (Nico

Thamiend R dan M. P . B. Manus. 2004: 31). Pada masa pemerintahan Letnan Gubernur Jendral Raffles, Indonesia mengalami sistem politik liberal untuk pertama kalinya. Raffles memperkenalkan sistem pemerintahan liberal yang mengusahakan adanya kepastian hukum dan kebebasan di bidang ekonomi serta berusaha menghilangkan rodi dan mengganti penyerahan wajib hasil bumi dengan sistem sewa tanah (lan d-rent). Di samping itu Raffles juga berusaha untuk mengganti sistem pemerintahan tidak langsung dengan sistem pemerintahan langsung agar pemerintah Eropa dapat langsung memerintah rakyat pribumi (Suhartoyo Hardjosatoto. 1980: 87-88).

Kaum liberal menentang dengan keras eksploitasi yang dijalankan oleh pemerintah Belanda dan ingin menggantinya dengan inisiatif swasta. Untuk itu

kondisi ekonomi perlu diciptakan, yaitu dengan memberikan kebebasan bekerja dan menggunakan tanah. Dengan dibukanya daerah jajahan sesudah tahun 1870 untuk perusahaan swasta, maka semakin banyak modal yang ditanam dan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada kaum modal, baik untuk berusaha maupun berdagang. Kaum borjuis liberal menjadi tulang punggung kapitalisme kolonial dan berpegang teguh pada sistem kebebasan berusaha tanpa campur tangan pihak pemerintah (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto. 1975: 17). Sehingga sejak tahun 1870-an sampai tahun 1900-an pengusaha swasta mulai mengadu keuntungan di pulau Jawa untuk mendapatkan kemakmuran yang besar dari usahanya tersebut. Kebanyakan perusahaan di pulau Jawa tersebut dimiliki atau diurus oleh kesatuan korporasi dan bank-bank di Eropa (Robert Van Niel. 1994: 18). Tetapi kondisi tersebut semakin memperburuk tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Karena kemakmuran dari keuntungan tersebut telah dikuasai para pengusaha kolonial dan rakyat Indonesia hanya dieksploitas i tanpa diperhatikan kesejahteraannya.

Keprihatinan pun muncul atas menurunnya tingkat kesejahteraan orang Jawa, baik di kalangan orang-orang yang menekankan kemanusiaan maupun demi kepentingan keuangan. Keprihatinan itu muncul disebabkan oleh ketidak sanggupan untuk memperbaiki ketidakadilan sosial-ekonomi dan yang terakhir, karena semakin bertambahnya kepentingan akan barang-barang konsumtif yang dihasilkan. Dengan ini dimulailah serangkaian tulisan yang menentang ekonomi liberal dan kekuasaan kolonial yang sedang berjalan dan mencapai titik puncaknya dengan munculnya tulisan C. T. van Deventer yang terkenal dengan “Hutang-Budi”. Tulisan ini menghimbau pemerintah Belanda untuk membuat perhitungan keuangan bagi tanah jajahan yang berkekurangan itu sebagai bagian ganti rugi akan laba yang sudah dikeruk dari Jawa melalui sistem tanam paksa itu. Sejak tahun 1974 negarawan konservatif (Partai Anti-Revolusioner), A. Kuyper, berbicara tentang kapitalisme yang berperikemanusiaan di Staten General yang ingin membayar hutang-budi kepada penduduk Hindia-Timur. Dorongan akan

orientasi baru yang sedang tumbuh dalam politik tidak hanya di tanah air, tetapi juga di kalangan orang Eropa dalam masyarakat Hindia-Timur (Robert Van Niel.

1994: 19-21). Dengan demikian liberalisme menghendaki dihapuskannya cultuure stelsel. Bagi kaum liberal ini adalah suatu prinsip. Selain golongan liberal terdapat juga golongan humanis yang juga menghendaki dihapuskannya cultuur stelsel. Para golongan liberal dan humanis tersebut melihat betapa menyedihkannya kehidupan rakyat Indonesia akibat diterapkannya cultur stelsel, di antaranya Baron van Hoevel, yang membela rakyat Indonesia dengan pidato-pidatonya di depan DPR Nederland. Berkat perjuangan golongan liberal dan golongan humanis, sedikit demi sedikit cultuur stelsel dihapuskan (G. Moedjanto: 19).

Dalam perkembangan selanjutnya muncul reaksi terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa, baik dilakukan di dalam parlemen maupun di luar parlemen dalam bentuk berbagai tulisan. Di antara para pengecam tersebut adalah de Wall, van Dedem, van Kol, van den Berg, Schaepman, Bool, van Nunen, van Deventer dan Douwes Dekker. Penentang sistem tanam paksa sebenarnya tidak hanya terdiri dari golongan pemilik modal saja, tetapi juga dilakukan oleh siapa saja yang mengetahui dan mendengar penderitaan petani Indonesia sehingga merasa iba. Golongan yang terakhir ini antara lain ialah Vitales, Bosch, dan van Hoevell (Suhartoyo Hardjosatoto. 1980: 90-91).

Politik Etis atau balas budi merupakan sebuah haluan politik yang di jalankan oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1900-1942. Politik itu didasarkan pada pertimbangan bahwa negara Belanda telah banyak berhutang

budi kepada rakyat Indonesia (pribumi) selama berabad-abad. Hal itu disebabkan sejak zaman VOC hingga masa kolonial liberal sebagian besar kekayaan bangsa Indonesia dikeruk dan dibawa ke negara Belanda. Dengan demikian, yang banyak menikmati keuntungan hasil bumi dan jerih payah bangsa Indonesia adalah bangsa Belanda. Untuk itu bangsa Belanda mempunyai kewajiban untuk membalas budi pada bangsa Indonesia dengan cara memikirkan nasib dan kesejahteraan rakyat Indonesia (pribumi) (Cahyo Budi Utomo. 1995: 41). Tetapi dalam prakteknya politik tersebut lebih cenderung untuk menguntungkan pihak Belanda. Bidang pendidikan (edu ka si) yang bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat penduduk pribumi dari kebodohan ternyata dalam prakteknya

banyak ditujukan untuk mencetak tenaga administrasi dan tenaga birokrasi bagi

pihak Belanda. Selain itu penduduk pribumi juga dipekerjakan sebagai buruh di perusahaan-perusahaan swasta asing. Segi positif dari adanya pilitik etis bagi rakyat Indonesia adalah dapat mendorong perubahan dan pertumbuhan sosial di kalangan penduduk pribumi. Hal tersebut terjadi karena banyak penduduk pribumi yang kemudian mengenyam pendidikan Barat yang pada akhirnya dapat mengubah pola pemikiran yang masih tradisional menuju pola pemikiran yang lebih modern agar dapat memasuki dunia birokrasi baru dalam tatanan masyarakat Hindia-Belanda (Robert Van Niel. 1994: 22). P ada sekitar tahun 1900-1925, pemerintah kolonial Belanda banyak membangun kantor-kantor dinas, seperti dinas pertanian, perikanan, kerajinan, kesehatan dan peternakan. Selain itu, dibangun pula bank, pasar, dan sejenisnya. Sehingga banyak lulusan bumi putera yang di tempatkan Belanda pada instansi-instansi tersebut sebagai pegawai rendahan.

Politik Etis secara resmi diproklamirkan sebagai politik kolonial baru, dalam pidato kenegaraan Ratu Willhemnina pada bulan September 1901. Dikatakannya bahwa politik etis perlu diterapkan di Hindia-Belanda, karena Nederland mempunyai kewajiban moral yang harus dipenuhi. Dalam usaha memenuhi tuntutan politik etis, pemerintah mulai membangun sejumlah sekolah disertai dengan pengadaan tenaga-tenaga guru. Sistem yang diterapkan disesuaikan dengan sistem pendidikan yang diterapkan di negara-negara Barat.

Hal ini dimaksudkan memberi kesempatan bagi siswa-siswa yang mampu untuk dapat melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, bahkan dapat melanjutkan ke negeri Belanda. Tingkat pendidikan saat itu terbagi atas dua kategori, yaitu Lag er Ond erwijs (pendidikan rendah) dan Midd elba r On derwijs (pendidikan menengah) (Nico Thamiend R dan M. P. B. Manus. 2004: 98-99).

Sistem pendidikan diarahkan untuk menciptakan tenaga kerja yang siap pakai, sebagai tenaga kerja rendahan dalam sistem pemerintahan Belanda. Fungsi pendidikan tidak lebih dari suatu pabrik pegawai dengan kurikulum yang tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat sehari-hari, sehingga tidak dapat dielakkan

lagi jika ada jurang antara sekolah dengan masyarakat. Tujuan pokok masuk sekolah hanya terbatas mendapatkan ijasah yang bisa membukakan jalan menuju

pekerjaan-pekerjaan di bidang pemerintahan (Selo Sumardjan. 1986: 43). Namun di pihak lain, sebagian penduduk bumi putera telah sadar bahwa pendidikan merupakan alat yang utama untuk mencapai kemajuan bangsa. Hal ini tampak pada hasrat penduduk bumi putera untuk menuntut pendidikan yang lebih tinggi, tidak hanya di sekolah menengah yang sudah diadakan pemerintah, namun ada juga di antaranya yang meneruskan pelajarannya di negeri Belanda. Kecerdasan mereka untuk mengidentifikasikan situasi kolonial memainkan peranan yang terarah pada masa depan. Diperkenalkannya berbagai macam ilmu di sekolah dan paham-paham baru memungkinkan mereka untuk mengkaji semua aspek dalam masyarakat dan membandingkan pengaruhnya antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kesimpulannya menunjukkan bahwa adanya persamaan nasib yang buruk dari daerah-daerah itu akibat penjajahan dan adanya tekad bersama untuk memperbaikinya (Ricklefs. 1991: 24).

Keturunan bangsawan atau kerabat raja yang memerintah suatu daerah pada umumnya terbagi lagi dalam beberapa tingkatan dengan gelar yang berbeda- beda sesuai dengan tingkat hubungannya dengan raja. Boleh dikatakan, sifatnya yang turun-menurun itu tidak pernah berubah sampai akhir abad ke-19. Karena itu para keturan atau kerabat raja tersebut sebagai elite, biasa disebut elite tradisional atau elite daerah. Yang disebut elite adalah suatu kelompok yang berpengaruh dalam sesuatu lingkungan atau masyarakat (Nugroho Notosusanto dan Yusmar

Basri. 1987: 23). Kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan struktur sosial dalam masyarakat.

Semakin luasnya daerah kekuasaan Belanda maka tidak memungkinkan bagi pihak Belanda untuk mengelola sendiri daerah-daerah kekuasaannya tersebut terutama dalam bidang pengelolaan administrasi pemerintahan. Rakyat daerah jajahan yang telah mendapatkan pendidikan Barat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan Belanda akan tenaga administrasi sehingga pegawai pemerintah mulai dipenuhi oleh penduduk pribumi yang berpendidikan. Kondisi itulah yang dapat mendorong terjadinya perubahan dan pertumbuhan sosial di kalangan penduduk pribumi. Rakyat pribumi tersebut ditempatkan dalam birokrasi pemerintahan

Belanda di daerah jajahan karena dianggap lebih memahami seluk-beluk daerah Belanda di daerah jajahan karena dianggap lebih memahami seluk-beluk daerah

Fakta akan adanya dominasi dan kesenjangan kelas semakin kentara dan tidak bisa ditutup-tutupi. Hal inilah yang menjadi latar belakang utama kemunculan gerakan-gerakan pembebasan yang pada akhirnya menjadi tonggak munculnya pergerakan nasional di Indonesia. Gerakan-gerakan ini banyak didominasi oleh kelompok muda intelektual atau elit modern yaitu mahasiswa sebagai akibat dari adanya politik etis yang diterapkan oleh bangsa kolonial di tanah jajahannya. Kelompok muda intelektual tersebut kemudian membentuk organisasi-organisasi pemuda sebagai wadah pergerakan nasional untuk mencapai cita-cita yang diinginkan (http://p miity08 .wordp ress.com diakses tanggal 4 Agustus 2009).

Praktek-praktek kolonialisme telah mengakibatkan bangsa Indonesia kehilangan kemerdekaan politiknya karena adanya dominasi politik asing, dalam lapangan sosial ekonomi timbul pengkotak-kotakan masyarakat, kemelaratan dan

kesengsaraan (Cahyo Budi Utomo. 1995: 32). Proses pencarian bentuk dari pergerakan nasional Indonesia, sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang lahir akibat politik kolonial, yaitu dengan ditetapkannya politik etis. Pelaksanaan politik itu secara tidak langsung telah mendorong munculnya elit baru berpendidikan Barat yang sadar akan nasib bangsanya akibat adanya praktek- praktek kolonialisme (M. C. Ricklefs. 1991: 25). Elite baru adalah pribadi labil dan ditandai oleh kesanggupannya yang tinggi untuk mengidentifikasikan dirinya dengan aspek baru dari lingkungannya yang kemudian mencita-citakan lenyapnya segala bentuk diskriminasi ras, perbedaan sosial, ekonomi, dan politik. Kesadaran itu telah mendorong elite baru untuk mendirikan organisasi sebagai alat kesengsaraan (Cahyo Budi Utomo. 1995: 32). Proses pencarian bentuk dari pergerakan nasional Indonesia, sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang lahir akibat politik kolonial, yaitu dengan ditetapkannya politik etis. Pelaksanaan politik itu secara tidak langsung telah mendorong munculnya elit baru berpendidikan Barat yang sadar akan nasib bangsanya akibat adanya praktek- praktek kolonialisme (M. C. Ricklefs. 1991: 25). Elite baru adalah pribadi labil dan ditandai oleh kesanggupannya yang tinggi untuk mengidentifikasikan dirinya dengan aspek baru dari lingkungannya yang kemudian mencita-citakan lenyapnya segala bentuk diskriminasi ras, perbedaan sosial, ekonomi, dan politik. Kesadaran itu telah mendorong elite baru untuk mendirikan organisasi sebagai alat

Bentuk kerjasama dalam perkumpulan organisasi modern itulah yang mengantarkan bangsa Indonesia dalam suatu ikatan persatuan dan kesatuan. Hal ini telah menimbulkan rasa khawatir, takut dan curiga dari pemerintah kolonial.

Belanda menyadari akibat tidak langsung dari pelaksanaan politik etis yakni semakin mengkristalnya rasa dendam bangsa Indonesia terhadap penguasa. Sebagai langkah lebih jauh, Belanda menerapkan pengawasan ketat terhadap semua organisasi yang ada pada masa itu.

Di Indonesia gerakan mahasiswa mendapat suatu legitimasi sejarah atas keturutsertaannya terlibat dalam gerakan kemerdekaan dan semenjak berdirinya negara menjadi bagian yang diakui dari sistem politik. Jika ditelusuri, misalnya perjuangan kemerdekaan nasional yang didorong oleh Soekarno lewat kelompok- kelompok studinya, Hatta lewat Perhimpunan Indonesia-nya, ternyata efektif dan mampu secara luas membangkitkan perasaan untuk sesegera mungkin lepas dari belenggu kolonialisme. Kelompok yang dulunya disebut ”pemuda pelajar” ini menjadi semacam ”martil kelompok terdidik” yang membawa angin perubahan untuk

akan kemerdekaan (h ttp://pmiity0 8.wo rd press.com diakses tanggal 4 Agustus 2009). Peran pemuda dalam kehidupan bangsa sudah sangat jelas kiranya,

apabila kita lihat dari perspektif historis. Bahwa pemuda merupakan elemen strategis dalam perjuangan mencapai maupun mengisi kemerdekaan. Pemuda, dalam konteks ini biasanya terwadahi dalam organisasi-organisasi sosial- kemasyakatan pemuda, maupun partai-partai politik. P ada masa pergerakan nasional yang dimulai sejak tahun 1908, para pemuda terpelajar mengawalinya dengan pendekatan organisatoris tersebut, ditandai dengan hadirnya Boedi Oetomo. Sejak itu, pada masa-masa selanjutnya, organisasi kepemudaan hadir dan mewarnai dinamika pergerakan nasional antara lain SD I/SI, PNI, IP, Ind ische Vereenig ing , Jong Ja va , Jong Borneo, Jo ng Sumatra, Jo ng Celebes, Jong Amb on , Jo ng Islamieten Bon d, Jon g Celebes, Perhimp una n Indo nesia dan sebagainya

(h ttp://sman sa ga ra nten.sch.id diakses tanggal 4 Agustus 2009).

Kelahiran organisasi pergerakan kebangsaan tersebut merupakan reaksi terhadap kondisi yang telah diciptakan penjajah. Akibat penerapan-penerapan sistem politik sejak VOC sampai diterapkannya cultuure stelsel, dilanjutkan sistem liberal dengan masuknya modal-modal swasta asing secara bebas, telah berakibat negatif terhadap perekonomian rakyat Indonesia pada masa itu. Rakyat hidup miskin, tidak dapat menikmati kesempatan pendidikan dan tidak mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki nasibnya, baik dalam bidang material maupun spiritual. Tumbuh dan berkembangnya pergerakan kebangsaan Indonesia sangat dipengaruhi oleh suasana kesengsaraan dan kemelaratan rakyat serta kebodohan rakyat. Tetapi justru kemiskinan lahir batin yang luar biasa itulah yang menjadi jiwa dan pendorong para pelajar pada waktu itu untuk segera mendirikan suatu organisasi pergerakan kebangsaan (Cahyo Budi Utomo. 1995: 44-45).

Organisasi-organisasi yang muncul dalam pergerakan kebangsaan Indonesia dengan demikian mempunyai fungsi lebih jelas yang dapat dijadikan sebagai suatu alat untuk menciptakan kekuatan sosial dengan tujuan akhirnya untuk menumbangkan atau menghapus strata sosial yang tidak menguntungkan yang diciptakan oleh pemerintah penjajah. Organisasi pergerakan telah berfungsi sebagai media penyalur rasa ketidakpuasan sosial masyarakat (Cahyo Budi Utomo. 1995: 34). Selain organisasi-organisasi yang mendasarkan diri pada ikatan

teritorial, kultural dan etnisitas, pada awal abad ke-20 di Hindia-Belanda juga muncul organisasi pemuda yang bernafaskan keagamaan. Yang paling besar adalah Jo ng Isla mieten Bo nd (JIB) (Cahyo Budi Utomo. 1995: 123).

Perkembangan pendidikan Islam pada abad XIII sejalan dengan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang bertujuan untuk menyebarkan agama Islam. P erkembangan pendidikan Islam di Indonesia berkaitan erat dengan perkembangan perdagangan internasional. Para pedagang Arab, P ersia, dan Gujarat selain berdagang juga mengembangkan ajaran Islam. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh di Nusantara dengan menyebarluaskan

ajaran Islam di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan di tempat-tempat lain. Sejak saat itu mulai berdirilah pesantren, madrasah, masjid,

partai-partai Islam serta sarana lain yang bertujuan menyebarkan Islam. Di samping elite tradisional yang berdasarkan keturunan itu muncul juga ulama kharismatik. Di sini kedudukan para ulama kharismatik yang berada di lapisan atas sukar untuk diturunkan pada anak cucunya. Hal ini dapat jumpai pada pemuka-pemuka agama, sebagai pemimpin rohani, seperti ulama-ulama dan kyai yang sangat berpengaruh tidak hanya di daerahnya tetapi jauh melampaui batas- batas daerahnya. Keadaan ini menyebabkan kadang-kadang pengaruh dan peranannya melebihi pengaruh raja atau golongan bangsawan. P erlawanan- perlawanan daerah, terutama yang terjadi pada abad yang lalu, baik yang ditujukan kepada kolonialis dan kapitalis asing maupun kepada elite tradisional, dipimpin oleh elite agama. Pengaruhnya tidak diikat melalui lembaga pemerintahan (kerajaan), melainkan melalui perguruan yang didirikannya baik berupa pesantren maupun surau (Nugroho Notosusanto dan Yusmar Basri. 1987: 23-24).

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa kehidupan pesantren berpusat pada kyainya. Tidak jarang terjadi bahwa sebuah pesantren yang tersohor mengalami kemunduran dalam pergerakannya karena meninggalnya kyai yang bersangkutan. Hal ini terutama terjadi apabila pengganti kyai itu tidak sama keahlian dan kepopulerannya dengan kyai yang digantikan. Pengaruh kyai atau guru mengaji pada masa itu tidaklah terbatas hanya dalam pesantren atau suraunya saja, tetapi juga terasa ke seluruh desa. Kyai yang bersangkutan dimuliakan oleh segenap penduduk desa sehingga biasanya para kyai tersebut tidak ditinggalkan orang sekampung dalam hal-hal penting yang terjadi atau yang dibicarakan di kampung itu. Dalam soal sehari-hari pun pendapat dan nasihatnya sering diminta dan dijadikan sebagai panutan oleh orang-orang di kampungnya (Deliar Noer. 1990: 18).

Pemikiran kolonial Belanda tehadap Islam Indonesia, pada awalnya dilandasi oleh pandangan yang keliru. Islam dibayangkan sebagai sebuah agama yang diorganisasikan secara ketat. P andangan tersebut berdasarkan pada

hubungan antara umat Islam Indonesia dengan para Sultan Islam di luar negeri, hubungan tersebut dipandang seperti hubungan antara umat Katholik dengan P aus hubungan antara umat Islam Indonesia dengan para Sultan Islam di luar negeri, hubungan tersebut dipandang seperti hubungan antara umat Katholik dengan P aus

Pemerintah Hindia-Belanda yang berkuasa di Indonesia pada masa itu dihadapkan dengan kenyataan bahwa sebagian besar penduduk yang dijajah adalah beragama Islam. Kurangnya pengetahuan tentang Islam membuat pemerintah Hindia-Belanda tidak berani mencampuri agama Islam secara langsung (Darmansyah, dkk. 2006: 1). Sebelum Snouck Hurgonje, politik pemerintah Belanda terhadap Islam memang didasarkan pada perasaan takut dan sikap tidak mau mencampuri. Hasrat untuk menjauhkan diri dari campur tangan terhadap Islam, misalnya menyangkut masalah pembangunan masjid-masjid. Untuk pembangunan masjid-masjid tidak atau jarang sekali diberikan bantuan keuangan oleh pihak pemerintah. P emerintah menyatakan, ”Negara, dengan sendirinya, tidak semestinya campur tangan dengan pembangunan atau dengan perbaikan bangunan-bangunan suci agama Islam” (G. F. P ijper. 1987: 239). Tetapi, kebijakan untuk tidak mencampuri Islam dianggap tidak konsisten karena tidak adanya garis yang tegas. Hal tersebut terbukti dalam penanganan masalah haji, pemerintah Hindia-Belanda ternyata tidak bisa menahan diri untuk tidak campur tangan, justru para haji sering dicurigai, dianggap fanatik dan pemberontak. Bahkan pada tahun 1859, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda dibenarkan mencampuri masalah agama bahkan bila perlu demi kepentingan negara setiap gerak-gerik para ulama harus diawasi (Aqib Suminto. 1985: 11).

Bangkitnya kesadaran agama Islam tanpa dapat dibantah disebabkan sebagian besar oleh tersedianya kebudayaan Barat yang semakin meningkat.

Dasar-dasar kebijaksanaan pemerintah, pemeliharaan kebebasan beragama dan menjauhkan diri dari campur tangan urusan agama, telah menyebabkan perluasan Dasar-dasar kebijaksanaan pemerintah, pemeliharaan kebebasan beragama dan menjauhkan diri dari campur tangan urusan agama, telah menyebabkan perluasan

Di kalangan umat Islam Indonesia timbul pula kesadaran untuk berorganisasi. Rasa persatuan di kalangan umat Islam mulai terpupuk hingga

melahirkan suatu pergerakan yang sangat penting artinya bagi nasionalisme Indonesia. Di jaman VOC ulama sangat keras melawan Belanda dan pemerintah Belanda juga bertindak keras karena pengaruh Islam pada waktu itu dirasa sangat mengkhawatirkan pemerintah jajahan. Tetapi sebaliknya bagi bangsa Indonesia, pengaruh agama Islam yang besar itu telah menciptakan nasonalisme di kalangan rakyat Indonesia (C. S. T. Kansil dan Julianto. 1983: 24-25).

Suatu faktor penting yang menimbulkan nasionalisme yang kental adalah persamaan agama, yakni 90 % penduduk Indonesia beragama Islam. Apabila gerakan nasionalisme yang berawal di Jawa itu meluas ke daerah-daerah di luar Jawa, maka akan memudarkan semangat-semangat kedaerahan yang sempit yang dimiliki oleh penduduk di tiap-tiap daerah itu karena kemudian muncul suatu perpaduan yang ditimbulkan oleh semangat agama yang sama yaitu Islam. Dalam hal ini agama Islam tidak hanya sebagai rantai pengikat dari semangat patriotisme kedaerahan ke dalam nasionalisme Indonesia, tetapi

sesungguhnya juga menjadi semacam lambang persaudaraan terhadap suatu pengacau asing dan penindas sebuah agama asing. Menurut Wertheim yang dikutip oleh Cahyo Budi Utomo (1995: 46),

Hal itu sangat aneh karena perkembangan agama Islam di Indonesia justru disebabkan oleh bangsa-bangsa Barat. Kedatangan bangsa

Portugis di kawasan Indonesia telah mendorong semakin banyaknya para penguasa pribumi memeluk agama Islam sebagai satu gerakan politik untuk melawan masuknya agama Nasrani. Kehadiran kekuasaan Belanda di Indonesia semakin mempercepat proses islamisasi itu.

Lahirnya JIB sangat berkaitan dengan pergerakan organisasi Jong Java. Hal itu disebabkan karena pada kongres Jong Java yang dilaksanakan pada tahun 1922 diputuskan bahwa Jong Java tidak bergerak dalam bidang politik dan Lahirnya JIB sangat berkaitan dengan pergerakan organisasi Jong Java. Hal itu disebabkan karena pada kongres Jong Java yang dilaksanakan pada tahun 1922 diputuskan bahwa Jong Java tidak bergerak dalam bidang politik dan

Ajaran agama Islam oleh JIB dijadikan sebagai sumber pengikat persatuan di kalangan pemuda-pemuda di Indonesia. Sebenarnya JIB sudah melangkah ke arah perjuangan politik, karena anggota-anggotanya sudah lebih dewasa dan bertujuan untuk persatuan berdasarkan Islam seperti yang diperjuangkan oleh P artai Sarekat Islam. Kemunculannya di tengah kancah pergerakan nasional sebagai wujud keprihatinannya terhadap kondisi para pemuda yang masih bersifat kedaerahan serta kurangnya pemahaman pemuda pelajar Islam terhadap agamanya sendiri akibat dari adanya Politik Islam Hindia-Belanda.

Politik Islam pemerintah Hindia-Belanda berubah setelah kedatangan Snouck Hurgronje. Hurgonje menilai bahwa musuh pemerintah Hindia-Belanda bukanlah Islam sebagai agama tetapi Islam sebagai doktrin politik yang berbahaya bagi kelangsungan kekuasaan Belanda di Indonesia (Darmansyah, dkk. 2006: 27).

Dalam kenyataannya Islam memang berfungsi sebagai titik pusat identitas yang melambangkan perlawanan terhadap penjajah (Aqib Suminto. 1986: 16). Sehubungan dengan politik tersebut, Snouck Hurgronje membagi Islam menjadi tiga bagian, yaitu ibadah, sosial-kemasyarakatan dan politik. Pemerintah memberikan kebebasan dalam masalah ibadah dan sosial-kemasyarakatan, tetapi tidak dalam hal politik. Kebijakan P emerintah Hindia-Belanda dalam menghadapi Dalam kenyataannya Islam memang berfungsi sebagai titik pusat identitas yang melambangkan perlawanan terhadap penjajah (Aqib Suminto. 1986: 16). Sehubungan dengan politik tersebut, Snouck Hurgronje membagi Islam menjadi tiga bagian, yaitu ibadah, sosial-kemasyarakatan dan politik. Pemerintah memberikan kebebasan dalam masalah ibadah dan sosial-kemasyarakatan, tetapi tidak dalam hal politik. Kebijakan P emerintah Hindia-Belanda dalam menghadapi

Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia-Belanda dari jenjang terendah sampai jenjang tertinggi tidak memberikan pelajaran agama Islam kepada pelajar-pelajar yang beragama Islam. Akibat dari adanya sistem

pendidikan ini maka pelajar Islam yang tidak mempunyai kesempatan belajar sendiri di luar sekolah menjadi kurang pemahamannya terhadap agama Islam. Padahal agama Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Hindia-Belanda pada masa itu, suatu masyarakat yang kelak akan menjadikan kaum intelektualnya sebegai pemimpin. Dalam organiasi ini, semua suku diperlakukan sama (Darmansyah, dkk. 2006: 31). Keanggotaan JIB terbuka untuk pemuda Islam yang berumur 14-30 tahun dan yang berumur lebih dari 18 tahun boleh berpolitik. JIB pada tanggal 29 Desember 1925 mengadakan kongres I dan menetapkan anggaran dasarnya (Drs. Sutarto. 2005: 53).

Generasi intelektual Muslim Indonesia pada umumnya pernah mengenyam pendidikan Barat dan sekaligus mendalami Islam secara khusus seperti halnya para pendiri JIB (Darmansyah, dkk. 2006: 3). Kelahirannya juga merupakan reaksi sekelompok pelajar terhadap kalangan pelajar Muslim lainnya yang bersikap acuh tak acuh terhadap agama Islam. Atas dasar keinginan untuk mengembalikan Islam sebagai ajarannya, sebagian pelajar Muslim yang tidak ingin terhanyut dalam pola kehidupan Barat akhirnya mendirikan JIB (h ttp://ah mad fathu lb ari.multip ly.com diakses tanggal 7 Agustus 2009).

JIB didirikan oleh Sjam bekas ketua Jong Java yang keluar pada tahun 1924. Sjam menjadi ketua JIB dan H. Agus Salim diangkat sebagai penasehat. Pendirian JIB ternyata mendapat dukungan yang sangat luas dari masyarakat pemuda Islam dan sangat penting artinya dalam pergerakan pemuda Indonesia pada waktu itu (Tim Museum Sumpah Pemuda. 2006: 35). Sebagai sebuah organisasi pemuda pelajar Islam, JIB berusaha menghimpun seluruh pemuda pelajar Islam dalam organisasinya. Dalam usahanya tersebut JIB mengalami proses dari organisasi pelajar yang kecil menjadi organisasi pelajar yang besar

(Darmansyah, dkk. 2006: 67). Organisasi ini semakin berkembang pesat sehingga (Darmansyah, dkk. 2006: 67). Organisasi ini semakin berkembang pesat sehingga

Sejalan dengan perkembangannya tersebut JIB juga telah ikut berperanserta dalam Kongres P emuda P ertama yang diselenggarakan tanggal 30 April-2 Mei 1926. Selain itu, JIB juga turut mengikuti kongres lanjutannya

(Kongres P emuda Kedua) yang menghasilkan Sumpah Pemuda sebagai wujud munculnya nasionalisme di kalangan para pemuda Indonesia. JIB juga berperan dalam meningkatkan derajat pendidikan, menggagas nasionalisme Indonesia dan sebagainya yang sangat berpengaruh positif terhadap pergerakan nasional pemuda Indonesia dalam menghadapi kolonialisme bangsa Belanda (Darmansyah, dkk. 2006: 38).

Di Indonesia memang peran pemuda Islam selalu menonjol, misalnya JIB dalam pergerakan nasional mempunyai cabang-cabang yang tersebar di seluruh Indonesia (http://ta rb iya hislam.wordp ress.com diakses tanggal 4 Agustus 2009). JIB didirikan dengan keyakinan bahwa hanya Islam yang mampu menjadi dasar untuk bersatu dalam mengusir Belanda. Selama masa penjajahan Belanda, umat Islam terus melakukan perlawanan baik dalam skala besar seperti Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol dan lainnya maupun skala kecil-kecilan seperti Perlawanan P etani Banten 1988, perlawanan di Cimareme dan lainnya (Darmansyah, dkk. 2006: x).

Dalam konteks kaderisasi, JIB dapat dilihat sebagai tempat persemaian para pemimpin Islam berpendidikan modern Belanda. Dapat disebutkan beberapa nama tokoh nasional yang menjadi alumni JIB yaitu Agus Salim, Sjamsoeridjal, Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem, Mohammad Natsir. Mereka kemudian memegang peranan penting setelah Indonesia merdeka (Darmansyah, dkk. 2006: x-xi). Namun di balik kemajuan dari JIB tersebut, menjelang masa surutnya ternyata banyak menyimpan benih-benih konflik. Hal tersebut terjadi karena munculnya pemikiran baru dari sebagian kalangan di JIB bahwa agama tidak dapat dijadikan sebagai sandaran untuk mencapai cita-cita (politik kemerdekaan) dan

dalam organisasi (Darmansyah, dkk. 2006: 72). Dengan demikian sampai tahun 1930 pergerakan

adanya persaingan

memperebutkan

kedudukan kedudukan

Mengingat perkembangan dan peran besar JIB dalam sejarah pergerakan nasional pemuda Islam Indonesia, maka penulis mengangkat judul ” Perg erak an

Nasional Pemuda Isla m (Studi tentang Jong Islamieten Bond 1 92 5-19 42)”

sebagai obyek penelitian.

B. Pe rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah latar belakang berdirinya Jong Islamieten Bond?

2. Bagaimanakah perkembangan Jong Islamieten Bond?

3. Bagaimanakah peranan Jong Islamieten Bond sebagai bagian dari organisasi pemuda Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia tahun 1925-1942?

C. Tujuan Pe ne litian

Berdasarkan permasalahan diatas, tujuan yang ingin dicapai dari penulisa n ini adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang berdirinya Jong Islamieten Bond.

2. Untuk mengetahui perkembangan Jong Islamieten Bond.

3. Untuk mengetahui peranan Jong Islamieten Bond sebagai bagian dari organisasi pemuda Islam di kancah pergerakan nasional Indonesia tahun 1925- 1942.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini bermanfaat:

a. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna dalam rangka pengembangan ilmu sejarah.

b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya mengenai sejarah pergerakan nasional Indonesia, khususnya mengenai Jong Islamieten Bond sebagai bagian dari pergerakan nasional pemuda Islam tahun 1925- 1942.

c. Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan literatur dalam bidang sejarah pertumbuhan dan perkembangan organisasi Islam, terutama Jong Islamieten Bond yang berkembang pada masa pergerakan

nasional Indones ia tahun 1925-1942.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini bermanfaat:

a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Kependidikan Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Dapat memberikan dorongan dan acuan bagi penelitian selanjutnya mengenai pergerakan nasional Indonesia, khususnya tentang pergerakan Jong Islamieten Bond.

c. Menambah bahan bacaan di Perpustakaan P rogram Studi Pendidikan Sejarah maupun di Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu P endidikan.

BAB II KAJIAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Kolonialisme

Menjelang akhir abad XIX masyarakat Indonesia merupakan masyarakat kolonial yang serba terbelakang. Tanah jajahan merupakan obyek eksploitasi untuk diambil keuntungan sebesar-besarnya bagi penjajah. Berbagai cara telah ditempuh untuk megusir kaum penjajah sejak awal, tetapi tidak juga membawa

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP KINERJA KEUANGAN pada PERUSAHAAN yang MELAKUKAN SEO (Studi pada Perusahaan Manufaktur di BEJ 2000-2006)

0 1 96

Analisis marjin pemasaran ubi kayu (Manihot utilissim ) (studi kasus di Kecamatan Slogohimo Kabupaten Wonogiri)

0 2 85

A translation analysis of taboo expressions in a film entitled “knocked up” and their indonesian subtitles

0 1 119

FRONT UMAT ISLAM DAN PERANANNYA DALAM KEGIATAN SOSIAL KEAGAMAAN DI KABUPATEN KLATEN 2002-2007

0 0 100

HUBUNGAN PELAYANAN RESTORAN SIAP SAJI, TINGKAT KEPUASAN PELANGGAN DENGAN TINDAKAN RASIONAL PELANGGAN (Studi Tentang Hubungan Pelayanan Restoran Siap Saji, Tingkat Kepuasan Pelanggan dengan Tindakan Rasional Pelanggan Di McDonalds Jalan Dr.Radjiman No.136

1 1 119

AZEFEK ANALGESIK AIR PERASAN DAUN SELEDRI ( Apium graveolens L. ) PADA MENCIT SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 50

PERANCANGAN ALAT PENYARING TAHU BERDASARKAN PRINSIP ERGONOMI (Studi Kasus Industri Tahu Sari Murni Surakarta)

0 2 89

1 ANALISIS PROFITABILITAS SEBELUM DAN SESUDAH PERISTIWA STOCK SPLIT (Studi Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di BEI)

0 0 89

Pengaruh air perasan herba seledri ( Apium graveolens L) terhadap kadar kolesterol total darah tikus putih ( Rattus norvegicus ) SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

2 5 45

EFEK ANTIPIRETIK EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimi sancti folium ) PADA TIKUS PUTIH SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 4 50