Gambaran Tingkat Kesejahteraan Psikologis Penyandang Tunanetra Dewasa Muda

  Jurnal Mediapsi 2016, Vol. 2, No. 1, 1-10

  

1

Gambaran Tingkat Kesejahteraan Psikologis Penyandang Tunanetra

Dewasa Muda

  Alabanyo Brebahama, Ratih Arruum Listyandini Fakultas Psikologi Universitas YARSI Jakarta, Indonesia

  Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran

tingkat kesejahteraan psikologis pada tunanetra yang

berada pada usia dewasa muda, dengan melibatkan 36

orang tunanetra yang berusia antara 20 –40 tahun serta

berdomisili di DKI Jakarta. Pengukuran dilakukan

dengan menggunakan alat ukur hasil adaptasi dari

Psychological Well-being Scale yang dikembangkan

oleh Ryff. Setelah dilakukan uji validitas konstruk dan

reliabilitas melalui konsistensi internal diperoleh 31

item denga n α=0,93. Hasil penelitian memperlihatkan

bahwa 69% responden memiliki skor kesejahteraan

psikologis yang tergolong tinggi, sedangkan 31%

lainnya memiliki skor kesejahteraan psikologis yang

tergolong rendah. Dimensi kesejahteraan psikologis

yang paling tinggi adalah pada aspek personal growth,

sedangkan yang paling rendah adalah pada aspek

autonomy .

  Kata kunci: kesejahteraan psikologis, tunanetra, dewasa muda

  Dalam periode perkembangan manusia, masa dewasa merupakan saat di mana seorang individu sudah dianggap mampu untuk memikul tanggung jawab sepenuhnya sebagai orang dewasa. Pada tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan pun, individu yang sudah memasuki usia dewasa tidak dapat lagi diperlakukan sebagai anak-anak dan diharuskan untuk berperilaku sebagai orang dewasa pada umunya. Menurut Mappiare (1983), ketika seseorang sudah memasuki usia dewasa, ia diharuskan untuk mengikuti tatanan sosial yang berlaku di lingkungan masyarakatnya. Sebagai contoh, ia dituntut untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup dan mengurus dirinya secara mandiri, serta mulai membentuk sebuah keluarga (berumah tangga). Hal ini cukup sejalan dengan penjelasan Jahja (2011) yang menyebutkan bahwa masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Pada periode tersebut, individu dituntut untuk memulai kehidupannya dan memainkan peran gender (peran sebagai suami/istri) dan peran dalam dunia kerja (karir).

  Sehubungan dengan masa dewasa tersebut, Papalia, dkk. (2008) mengelompokkan periode perkembangan dewasa menjadi tiga tahapan, yakni masa dewasa muda (usia 20 hingga 40 tahun), masa dewasa madya (usia 40 hingga 60 tahun), dan masa dewasa lanjut (usia 60 tahun hingga akhir hayat). Dari ketiga tahapan tersebut, masa dewasa muda merupakan periode perkembangan yang dianggap kritis karena dalam waktu tersebutlah individu mengalami transisi dari masa remaja menuju kehidupan

  

GAMBARAN TINGKAT KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS

  dewasa yang sesungguhnya. King (2007) memberikan istilah sebagai fase tumbuh dewasa (emerging adulthood). Pada titik perkembangan tersebut, banyak individu yang mencari jalur karir yang mereka inginkan, identitas seperti apa yang mereka ingin miliki, dan gaya hidup seperti apa yang akan mereka anut. Mereka juga dihadapkan dengan serangkaian tugas perkembangan masa dewasa awal yang harus dipenuhi seperti: memiliki teman bergaul (sebagai calon suami atau istri), belajar hidup bersama dengan suami atau istri, mulai berkeluarga dan mengelola rumah tangga, mulai bekerja dalam suatu jabatan, mulai bertanggung jawab sebagai warga negara secara layak, dan memperoleh kelompok sosial yang seirama dengan nilai-nilai yang dianutnya (Havinghaust dalam Mappiare, 1983).

  Agar dapat tumbuh dan berkembang sepenuhnya sebagai orang dewasa, individu harus memenuhi berbagai tugas perkembangan. Apabila seorang dewasa tidak mampu melaksanakan harapan- harapan sosial, perilakunya dianggap kurang dari standar lingkungan sekitarnya, maka dirinya dianggap sebagai orang dewasa yang jauh dari sukses (Mappiare, 1983). Sementara itu, agar seseorang mampu memenuhi tugas perkembangannya secara optimal, tentunya ia membutuhkan dukungan berbagai aspek, mulai dari kondisi fisik yang prima, kesehatan mental, maupun dukungan dari lingkungan sosial di sekitarnya.

  Sehubungan dengan kondisi fisik dewasa muda, King (2007) menyebutkan bahwa individu yang berada pada usia dewasa muda mempunyai kondisi fisik dan kesehatan yang prima, bahkan sedang berada pada puncaknya. Papalia, dkk. (2008) juga menyebutkan bahwa kondisi tubuh individu pada periode dewasa muda sedang berada pada kondisi terbaik, sehingga mendukung mereka dalam memenuhi berbagai tuntutan peran sebagai orang dewasa. Sayangnya, tidak semua individu yang berada pada usia dewasa muda dikaruniai oleh kesehatan dan kesempurnaan fisik. Sebagian di antara mereka justru memiliki keterbatasan fisik, yang sering dikenal dengan penyandang disabilitas. Irwanto, dkk. (2010) menyebutkan bahwa masih banyak individu yang terhambat untuk melakukan aktivitas sosial, melaksanakan pekerjaan rumah tangga, melakukan aktivitas pekerjaan, maupun menekuni kegiatan sehari-hari akibat disabilitas yang mereka miliki. Jenis disabilitas tersebut meliputi gangguan penglihatan (tunanetra), gangguan pendengaran (tunarungu), keterbelakangan mental (retardasi mental), keterbatasan fisik (tunadaksa), dan penyakit kronis. Irwanto, dkk. (2010) juga menyebutkan bahwa penyandang disabilitas yang dalam kesehariannya disebut sebagai “orang cacat” sering dianggap sebagai warga masyarakat yang tidak produktif serta tidak mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sehingga cenderung diabaikan.

  Salah satu jenis dari disabilitas yang banyak ditemui di Indonesia adalah tunanetra. Menurut Hallahan, dkk. (2006), seseorang dinyatakan tunanetra jika setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan terhadap kemampuan visualnya, ternyata ketajaman visualnya tidak melebihi 20/200 atau setelah dilakukan segala upaya perbaikan terhadap kemampuan visualnya, ternyata luas pandangannya tidak melebihi 20 derajat. Berdasarkan definisi di atas, keterbatasan penglihatan dapat dilihat dalam dua hal, yakni ketajaman

  

BREBAHAMA & LISTYANDINI

  penglihatan (visual acuity) dan medan penglihatan (field of vision). Ketajaman penglihatan (visual acuity) dapat diukur dengan Snellen Chart yang terdiri dari berbagai ukuran huruf dengan indeks penglihatan (Hallahan, dkk., 2006). Jika indeks angka pada Snellen Chart menunjukkan angka 20/200, maka dapat dikatakan bahwa individu tersebut mampu melihat huruf dari jarak 20 kaki, sementara orang dengan penglihatan normal mampu membaca huruf tersebut dari jarak 200 kaki. Medan penglihatan merujuk pada luasnya daerah yang dapat kita lihat pada suatu saat tertentu yang umumnya dinyatakan dalam derajat. Individu dapat dinyatakan buta secara legal jika ketajaman penglihatannya kurang dari jarak 20 kaki, ataupun luas area penglihatannya kurang dari 20 derajat (Hallahan, dkk., 2006; Mangunsong, 2009).

  Imbas dari keterbatasan penglihatan tersebut tentunya sangat besar karena banyak sekali informasi yang diperoleh manusia bersumber dari stimulus visual. Berbagai hambatan yang timbul akibat gangguan pada penglihatan meliputi kesulitan orientasi dan mobilitas, sukar melihat objek yang ada di hadapan individu hingga ketidakmampuan membaca dan menulis, hambatan dalam melakukan interaksi sosial, hingga melaksanakan kegiatan sehari-hari. Mangunsong (2009) menyebutkan bahwa banyak di antara penyandang tunanetra yang sulit untuk menemukan pekerjaan akibat keterbatasan yang dimilikinya, serta pandangan negatif dari lingkungan masyarakat. Selain itu, kondisi sarana dan prasarana yang terbatas sering kali menyulitkan penyandang tunanetra untuk bepergian secara mandiri ke berbagai tempat, seperti banyaknya gorong-gorong yang terbuka di pinggir trotoar, pedagang kaki lima yang sering menggunakan bahu jalan sebagai tempat berjualan, dan sebagainya. Dalam interaksi sosial pun, penyandang tunanetra sering kali mengalami kesulitan untuk memahami dan menyesuaikan diri dengan ekspresi non verbal (Mangunsong, 2009). Ditambah pula oleh perasaan rendah diri karena keterbatasan fisik, serta stigma negatif yang melekat pada dirinya, penyandang tunanetra berpotensi mempunyai masalah dalam membina hubungan sosial dengan masyarakat di sekitarnya.

  Sementara itu, penyandang tunanetra yang berada pada tahapan perkembangan dewasa muda dituntut untuk memenuhi tugas perkembangan yang ada. Di sisi lain, mereka menghadapi tantangan yang besar dalam melaksanakan tugas perkembangannya tersebut. Kondisi demikian tentunya dapat memberikan pengaruh terhadap kondisi mental penyandang tunanetra seperti yang disebutkan oleh Mappiare (1983) bahwa orang dewasa yang penyesuaian dirinya terhadap lingkungan sosial sekitarnya kurang sempurna akan merasa janggal dan tidak seimbang yang pada akhirnya membawanya pada perasaan tidak bahagia. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Djikers (dalam Guerette dan Smedema, 2011) yang menyebutkan bahwa individu dengan disabilitas cenderung mempunyai kualitas hidup (quality of life) yang lebih rendah dibandingkan dengan individu non disabilitas akibat lebih rendahnya tingkat pendidikan, partisipasi kerja, dan penghasilan yang diperoleh individu penyandang disabilitas.

  Sebagai langkah awal untuk memperoleh gambaran awal mengenai kehidupan tunanetra beserta kondisi psikologis yang mereka alami akibat

  

GAMBARAN TINGKAT KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS

  dalam arti dapat memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan keinginannya (environmental mastery), 5) memiliki tujuan dalam hidup (purpose in life), serta 6) terus mengembangkan pribadinya (personal growth) (Ryff, 1995). Lebih lanjut, psychological well-being bukan hanya terkait kepuasan hidup dan keseimbangan antara afek positif dan afek negatif, namun juga melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan tantangan- tantangan selama hidup (Keyes, dkk., 2002).

  being pada pasien gagal ginjal di Rumah

  gempa di Yogyakarta dan penelitian Ulimuha (2015) yang berusaha memperoleh gambaran psychological well-

  psychological well-being pada korban

  misalnya, penelitian Amawidyati dan Utami (2007) yang berusaha melihat hubungan antara religiusitas dan

  psychological well-being . Sebagai contoh

  Hingga saat ini, memang sudah banyak dilakukan penelitian dengan tema

  Sebagai tokoh yang mengembangkan teori kesejahteraan psikologis (psychological well-being), Ryff (1995) sudah melakukan berbagai penelitian mengenai kesejahteraan psikologis dan mengatakan bahwa terdapat beragam faktor yang membedakan tingkat kesejahteraan psikologis, mulai dari jenis kelamin, usia, latar belakang budaya, dan sebagainya. Ryff dan Keyes (1995) juga menyebutkan bahwa kesejahteraan psikologis dapat bervariasi pada setiap golongan individu akibat dari pengalaman unik yang dimilikinya, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melibatkan berbagai karakteristik individu.

  others ), 4) dapat menguasai lingkungannya

  ketunanetraan yang dialaminya, peneliti mewawancarai lima orang tunanetra di Yayasan Mitra Netra yang berlokasi di Lebak Bulus, DKI Jakarta. Yayasan tersebut merupakan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang pelayanan tunanetra, mulai dari tunanetra berusia kanak-kanak awal (early

  mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain (positive relation with

  acceptance ), 2) mandiri (autonomy), 3)

  multidimensional. Terdapat beberapa dimensi dari kesejahteraan psikologis, yaitu: 1) individu dapat menerima segala kekurangan dan kelebihan dirinya (self-

  well-being ) merupakan sesuatu yang

  Berdasarkan gambaran tersebut, peneliti tertarik untuk melihat gambaran umum mengenai tingkat kesejahteraan psikologis tunanetra dewasa muda. Kesejahteraan psikologis (psychological well-being ) sendiri dapat didefinisikan sebagai realisasi dan pencapaian optimal dari potensi seseorang. Menurut Ryff (1995), kesejahteraan psikologis (psychological

  Berdasarkan wawancara awal dengan lima orang penyandang tunanetra yang berada pada kisaran usia 20 hingga 40 tahun di Yayasan Mitra Netra, banyak di antara mereka yang mengalami kecemasan mengenai kesulitan untuk menemukan lapangan kerja yang sesuai dan dapat memenuhi kebutuhan mereka, sukarnya untuk menemukan pasangan hidup, atau perlakuan diskriminatif dari orang “normal” yang ada di sekitarnya. Akibat hal tersebut, tidak jarang di antara mereka yang sulit menerima keadaan dirinya saat ini, dan cenderung berpandangan pesimis terhadap masa depannya nanti.

  (late adulthood). Semenjak berdiri pada tahun 1991, yayasan tersebut sudah memberikan layanan kepada kurang lebih tiga ribu orang tunanetra dengan beragam usia dan latar belakang budaya.

  childhood) hingga tunanetra lanjut usia

  Sakit Muhammadiyah, Bandung. Dari

  

BREBAHAMA & LISTYANDINI

  diikutsertakan dalam penelitian dipilih karena memiliki kriteria yang sudah ditetapkan oleh peneliti. Kriteria subjek penelitian adalah:

  yang terdiri dari 42 item yang mengukur keenam dimensi kesejahteraan psikologis.

  psychological well-being dari Ryff (1995),

  Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner untuk mengukur tingkat kesejahteraan psikologis tunanetra dewasa muda. Kuesioner merupakan adaptasi dari kuesioner

  Alat Ukur Penelitian

  penyandang tunanetra didasarkan pada surat keterangan dokter mata yang pernah diperoleh subjek penelitian ketika memeriksakan kondisi penglihatannya. Keterangan tersebut juga dapat diberikan oleh instansi terkait (seperti Yayasan Mitra Netra) yang memberikan penanganan untuk penyandang tunanetra; 3. Bertempat tinggal di DKI Jakarta; dan 4. Berjenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan.

  1. Berada pada tahapan perkembangan dewasa muda (usia 20 hingga 40 tahun); 2.

  purposive sampling . Individu yang

  berbagai penelitian yang sudah peneliti telusuri, kebanyakan berusaha melihat hubungan antara psychological well-being dengan variabel lain, ataupun memperoleh gambaran mengenai tingkat psychological

  Dengan mempertimbangkan keterbatasan data pemerintah mengenai identitas dan alamat penduduk yang menyandang tunanetra, maka peneliti bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat Yayasan Mitra Netra. Penetapan sampel dilakukan dengan metode non probability sampling, yaitu

  Partisipan

  Penelitian ini menggunakan desain non eksperimental, yaitu penelitian deskriptif kuantitatif. Pada desain ini, peneliti ingin mengukur kesejahteraan psikologis yang ada dalam diri setiap subjek penelitian, baik secara keseluruhan maupun tinjauan pada dimensi-dimensinya.

  Metode Desain Penelitian

  Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan mampu memperoleh data yang lebih objektif mengenai tingkat kesejahteraan psikologis tunanetra dewasa muda sebagai tindak lanjut dari penelitian kualitatif tersebut. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi data pelengkap data kualitatif yang banyak ditemui dalam pemeriksaan psikologis secara individual. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan gambaran dari setiap aspek kesejahteraan psikologis tunanetra. Dengan demikian, hal tersebut dapat menjadi dasar untuk melakukan suatu program peningkatan kesejahteraan psikologis, dimulai dari aspek yang paling buruk hingga aspek yang dinilai paling baik kondisinya.

  Namun sayangnya, peneliti masih belum banyak menemukan penelitian tentang kesejahteraan psikologis pada penyandang disabilitas, terutama pada tunanetra. Penelitian yang dilakukan oleh Mazidah (2012) memang berusaha untuk menggali gambaran kesejahteraan psikologis tunanetra dewasa muda. Akan tetapi, penelitian ini lebih bersifat kualitatif karena menggali informasi yang berupa pengalaman fenomenologis.

  well-being pada subjek dengan karakteristik tertentu.

Penyandang tuna netra. Penggolongan partisipan penelitian sebagai

  vision adalah sebanyak 52,4%.

  4.500.000 > 4.600.000

  3

  7 19,4 52,8 8,4 19,4 Pendidikan S1

  D3 SMA SMP SD

  19

  2

  12

  1

  2 52,4 5,5 33,4 2,8 5,5

  Penghasilan < 1.500.000 1.600.000- 3.000.00 3.100.000-

  18

  7

  12

  5

  1

  50 33,4 13,8 2,8

  Golongan Tunanetra Totally blind Low vision

  17

  19 47,6

  52 Berdasarkan persebaran data yang

  ditampilkan pada Tabel 1, tampak bahwa sebagian besar responden tinggal di Jakarta Selatan (72,2%) dan berusia 25-30 tahun (52,8%). Sementara itu, jumlah responden pria dan wanita tampak berimbang. Selanjutnya, jika ditinjau dari tingkat pendidikan, sebagian besar responden memiliki latar belakang pendidikan sarjana (52,4%). Kemudian, dari segi penghasilan, sebagian besar mempunyai penghasilan di bawah upah minimum regional (saat penelitian ini dilakukan UMR ditetapkan sebesar Rp 2.700.000). Selanjutnya, berdasarkan penggolngan tunanetra, jumlah responden yang totally blind dengan low vision hampir setara. Tampak bahwa jumlah responden yang totally blind adalah sebesar 47,6% dan responden yang low

  19

  Usia 20 –24 tahun 25-30 tahun 31-35 tahun 36-40 tahun

  

GAMBARAN TINGKAT KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS

  Variabel Demografis Kategori Jumlah (Orang) (%) Jenis Kelamin

  corrected item total correlation

  (r) berkisar antara 0,2

  empat orang yang terdiri dari dua orang dosen Fakultas Psikologi Universitas YARSI dan dua orang praktisi di bidang pelayanan dan pengembangan tunanetra di Yayasan Mitra Netra.

  expert (expert judgement), yaitu sebanyak

  Sebelum digunakan, kuesioner dinilai oleh

  1 72,2 25 2,8

  Tabel 1. Persebaran Data Demografis Responden.

  Laki –laki Perempuan

  Pengisian kuesioner dilakukan secara individual melalui wawancara oleh tim peneliti. Adapun untuk menjawab kuesioner PWB, subjek hanya perlu menyebutkan pilihan skala Likert dari angka 1 hingga angka 6. Angka 1 mengartikan bahwa subjek sangat tidak setuju dengan pernyataan yang dibacakan. Sementara itu, angka 6 mengartikan bahwa subjek sangat setuju dengan pernyataan yang dibacakan.

  18

  18

  50

  50 Tempat Tinggal Jakarta Selatan Jakarta Timur

  Jakarta Barat

  26

  9

  Uji validitas menggunakan validitas konstruk dan reliabilitas menggunakan konsitensi internal. Hasil analisis menunjukkan bahwa kuesioner PWB yang digunakan valid dan reliabel dengan total 31 butir yang dapat dipakai. Koefisien reliabilitas adalah α = 0,93 dengan nilai

  • –0,6.

  Teknik Analisis Data

  Dengan jenis data yang bersifat kuantitatif dan tujuan penelitian yang bersifat deskriptif, maka analisis data menggunakan statistik deskriptif dengan bantuan SPSS.

  Hasil Profil Demografis Responden

  Dalam bagian ini akan dideskripsikan data-data yang terkait dengan hasil penelitian, mulai dari data mengenai persebaran jenis kelamin subjek penelitian, lokasi tempat tinggal subjek penelitian, persebaran usia, serta golongan tunanetra.

  

BREBAHAMA & LISTYANDINI

Gambaran Psychological Well-being pada Penyandang Tunanetra

  11

  Diskusi

  psikologis yang paling rendah adalah pada dimensi autonomy.

  growth , sedangkan dimensi kesejahteraan

  Berdasarkan data, tampak bahwa dimensi kesejahteraan psikologis yang paling baik adalah pada dimensi personal

  Gambar 1. Ilustrasi Tingkat Kesejahteraan Psikologis Setiap Dimensi.

  Berdasarkan kategorisasi pada Tabel 3, tampak bahwa sebagian besar responden memiliki kesejahteraan psikologis yang tergolong tinggi, yaitu sebanyak 25 orang atau sebesar 69%. Responden yang tergolong memiliki kesejahteraan psikologis rendah adalah sebanyak 11 orang atau sebesar 31%. Bila ditinjau berdasarkan dimensinya, berikut adalah profil gambaran kesejahteraan psikologis responden.

  25 31% 69%

  Jumlah Persentase Rendah (<Mean) Tinggi (>Mean)

  Tabel 2 menunjukkan hasil data deskriptif yang didapatkan dari analisis statistik, di mana jumlah partisipan (N) adalah 36 orang. Sementara itu, nilai minimum sebesar 67 adalah skor terkecil yang diperoleh subjek penelitian dalam pengisian kuesioner PWB. Kemudian, nilai maksimum sebesar 165 merupakan skor tertinggi yang diperoleh subjek penelitian dalam pengisian kuesioner PWB. Adapun nilai rata-rata yang diperoleh dari seluruh subjek adalah 140,4 dengan standar deviasi 21,3.

  Kategori Psychological Well-being

  Tabel 3. Pengelompokan Kategori Tingkat Kesejahteraan Psikologis.

  Selanjutnya, pada tabel 3 terdapat kategorisasi psychological well-being berdasarkan nilai rata-rata (mean) yang terdapat di Tabel 2.

  21,3

  36 67 (2,23) 165 (5,5) 140,4 (4,68)

  Nilai Maksimum Mean Standar Deviasi

  Data Deskriptif Nilai N (Jumlah) Nilai Minimum

  Tabel 2. Gambaran PWB Responden.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa 69% tunanetra memiliki skor kesejahteraan psikologis yang tergolong tinggi, sedangkan sisanya memiliki skor kesejahteraan psikologis yang tergolong rendah. Hal ini memperlihatkan bahwa tidak selamanya individu dewasa muda yang mengalami kondisi ketunanetraan memiliki kesejahteraan psikologis yang rendah. Ryff (1995) memang menyebutkan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan psikologis individu, seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan status sosial ekonomi. Namun, tampak bahwa tidak selamanya empat hal tersebut berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan psikologis tunanetra. Sebagai contoh, sebagian besar responden masih berpenghasilan di bawah upah minimum regional (Rp 2.700.000), namun

  

GAMBARAN TINGKAT KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS

  mereka ada yang tetap mempunyai skor kesejahteraan psikologis yang tinggi. Selain itu, banyak di antara mereka yang masih berdomisili (tinggal) bersama orang tuanya (terlihat pada butir mengenai kemampuan membangun tempat tinggal dan gaya hidup yang sesuai dengan selera sendiri), namun banyak di antaranya tetap sejahtera secara psikologis.

  Hal lain yang justru menjadi salah satu catatan penting adalah seluruh responden dalam penelitian ini pernah (dan masih) terlibat dalam organisasi ketunanetraan, serta terdaftar sebagai klien yang menerima layanan konseling maupun pendidikan di Yayasan Mitra Netra. Hal ini akhirnya memungkinkan mereka untuk bertemu dan berinteraksi dengan individu yang sama-sama mengalami ketunanetraan, serta saling berbagi cerita satu sama lain. Keterlibatan tersebut juga memungkinkan mereka untuk mendapatkan konseling (dari konselor yang juga penyandang tunanetra) dan berpartisipasi dalam kegiatan pengembangan keterampilan (seperti pendidikan Bahasa Inggris, program komputer untuk tunanetra, keterampilan orientasi mobilitas membaca dengan menggunakan huruf braille, memasak, dan berbagai jenis keterampilan lain).

  Walaupun penelitian ini tidak bermaksud untuk melihat hubungan antar variabel, seperti dukungan sosial dan partisipasi dalam kegiatan pengembangan diri dengan kesejahteraan psikologis, namun peneliti menduga bahwa faktor dukungan sosial dan keterlibatan dalam kegiatan sangat berperan terhadap tingginya kesejahteraan psikologis para tunanetra dalam penelitian ini. Hal tersebut tampak dari tingginya rata-rata skor dimensi personal growth dan positive

  relation with others . Sebab, dengan adanya

  keterlibatan peserta dalam program pendidikan di Yayasan Mitra Netra membuat mereka merasa memiliki pertumbuhan pribadi terutama pada aspek keterampilan. Selain itu, dari wawancara singkat terhadap seluruh responden selama penelitian ini berlangsung, mereka merasakan hubungan yang positif ketika berada dalam lingkungan sesama tunanetra.

  Selanjutnya, penelitian ini juga tidak bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel dukungan sosial dan aspek kepribadian terhadap kesejahteraan psikologis. Akan tetapi, peneliti menduga adanya kontribusi kedua aspek tersebut terhadap kesejahteraan psikologis subjek penelitian ini. Sebagai gambaran, seluruh partisipan penelitian ini merupakan klien yang pernah mendapatkan penanganan di Yayasan Mitra Netra, dan sebagian besar di antaranya terlibat dalam kegiatan organisasi masyarakat yang bergerak di bidang ketunanetraan, seperti Persatuan Tunanetra Indonesia dan Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia. Dengan keterlibatan subjek penelitian sebagai klien di Yayasan Mitra Netra maupun pengurus organisasi kemasyarakatan di atas, mereka memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan tunanetra lain. Fenomena tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Guerette dan Smedema (2011) mengenai hubungan antara persepsi dukungan sosial terhadap kualitas hidup orang dewasa yang mengalami gangguan penglihatan. Penelitian tersebut menemukan bahwa orang yang merasa bahwa lingkungan di sekitarnya mampu memberikan dukungan positif terhadap dirinya cenderung mempunyai kualitas hidup yang lebih baik.

  Sementara itu, rendahnya aspek otonomi diduga lebih disebabkan oleh banyaknya tunanetra yang masih

  

BREBAHAMA & LISTYANDINI

  bergantung kepada orang-orang di sekitarnya. Dari data, diketahui bahwa 50% tunanetra berpenghasilan lebih rendah dari Rp 1.500.000. Seluruh tunanetra yang menjadi subjek dalam penelitian ini masih tinggal bersama dengan orang tua ataupun kerabatnya dan belum memiliki tempat tinggal sendiri. Hal inilah yang diduga berdampak terhadap rendahnya aspek otonomi tunanetra dalam kehidupan sehari-hari.

  Hal lain yang juga menjadi catatan penting bagi peneliti adalah keterbatasan jumlah subjek penelitian. Walaupun Yayasan Mitra Netra memberikan kontak 50 orang tunanetra dewasa muda, namun tidak semuanya mau berpartisipasi dalam penelitian ini. Hal tersebut berhubungan dengan rendahnya keterbukaan diri dari tunanetra yang masih menjalani konseling dan rehabilitasi. Selain itu, sebagian besar subjek penelitian ini berdomisili di Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan Jakarta Barat sehingga terlihat bahwa penelitian ini kurang mewakili tunanetra yang berdomisili di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Hal inilah yang menjadi kelemahan dari penelitian ini.

  Walaupun memiliki keterbatasan dalam jumlah subjek penelitian, maupun kurang proporsionalnya keterwakilan sampel di setiap kotamadya DKI Jakarta, penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya. Sebab, penelitian Psikologis dalam bidang disabilitas di Indonesia masih sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan penelitian dalam topik serupa di negara maju. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu dasar acuan lembaga penyedia layanan bagi tunanetra dalam menentukan program yang paling bermanfaat bagi tunanetra.

  Sebagai pertimbangan bagi penelitian selanjutnya, penting untuk melibatkan jumlah sampel yang lebih banyak dan proporsional. Selain itu, akan lebih menarik jika penelitian serupa diarahkan untuk melihat keterkaitan berbagai variabel lainnya dengan tingkat kesejahteraan psikologis (psychological

  well-being ), seperti persepsi dukungan

  sosial, resiliensi, penerimaan diri, dan sebagainya.

  Kemudian, mengingat masih jarangnya penelitian dengan tema kesejahteraan psikologis pada individu penyandang disabilitas, peneliti berniat untuk menggali lebih jauh kesejahteraan psikologis (psychological well-being ) pada penyandang disabilitas lain, seperti tunarungu, tunadaksa, learning disorder, maupun jenis disabilitas lain. Dengan demikian akan diperoleh sebuah penelitian komparatif yang mendeskripsikan tingkat

  psychological well-being pada setiap jenis ketunaan/disabilitas.

  Kesimpulan

  Berdasarkan hasil pengolahan data, dapat dilihat bahwa dari 36 responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini, 69% orang memiliki tingkat kesejahteraan psikologis (psychological well-being) yang tergolong tinggi. Sementara itu, tingkat kesejahteraan psikologis 31% orang lainnya masih tergolong rendah. Bila ditinjau dari dimensinya, tampak bahwa dimensi kesejahteraan psikologis yang paling tinggi adalah pada aspek personal

  growth , sedangkan aspek yang paling rendah adalah pada dimensi autonomy.

  

GAMBARAN TINGKAT KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS

Daftar Pustaka Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, D. th

  (2008). Human Development (10 Amawidyati, S. A. G. & Utami, M. S.

  edition). New York: McGraw-Hill.

  (2007). Religiusitas dan Ryff, C. D. (1995). Psychological Well- psychological well-being pada being in adult life. Current Direction korban gempa. Jurnal Psikologi

  in Psychological Science , 4(4).

  Ryff, C. D. & Keyes, C. L. M. (1995). The Guerette, A. R. & Smedema, S. M. (2011). structure of psychological well-being

  The relationship of perceived social revisited. Journal of Personality and support with well-being in adults Social Psychology , 69, 719-727. with visual impairment. Journal of

  Ulimuha, L. R. (2015). Psychological

  Visual Impairment and Blindness , Well-being Pada Pasian Gagal

  425-239.

  Ginjal Yang Menjalani Terapi

  Hallahan, D. P., Kauffman, J. M., &

  Hemodialisis di Rumah Sakit

  Pullen, P. C. (2009). Exceptional

  th Muhammadiyah Bandung. Bandung: Learners (11 edition). Boston:

  Universitas Islam Bandung. Pearson Education Inc.

  Irwanto, Kasim, R. E., Fransiska, A., Lusli, M., & Siradj, O. (2010).

  Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia . Depok:

  Pusat Kajian Disabilitas Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia.

  Jahja, Y. (2011). Psikologi Perkembangan.

  Jakarta: Prenada Metia Group. Keyes, C., Shmotkin, D., & Ryff, C. D.

  (2002). Optimizing well-being: The empirical encounter of two tradition. Journal of Personality

  and Social Psychology , 82(6), 1007 –1022.

  King, Laura. (2007). The Science of

  Psychology (The Appreciative View) . New York: McGraw-Hill.

  Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan

  Pendidikan Anak Berkebutuhan

  Depok: Khusus (Jilid Kesatu). Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

  Mappiare, A. (1983). Psikologi Orang Dewasa. Surabaya: Usaha Nasional. Mazidah, L. (2012). Kesejahteraan Psikologis Tunanetra Dewasa Dini.

  Yogyakarta: Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Dokumen yang terkait

Pola Mikroba Penyebab Diare pada Balita (1 bulan - 5 tahun) dan Perbedaan Tingkat Kesembuhan Di RSU.Dr.Saiful Anwar Malang (Periode Januari - Desember 2007)

0 76 21

Tingkat Stress pada Ibu Pengasuhan Anak dengan Retardasi Mental (Studi Pada Ibu – ibu kandung Anak Retardasi Mental Malang)

7 61 31

Efek Pemberian Ekstrak Daun Pepaya Muda (Carica papaya) Terhadap Jumlah Sel Makrofag Pada Gingiva Tikus Wistar Yang Diinduksi Porphyromonas gingivalis

10 64 5

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Integrated Food Therapy Minuman Fungsional Nutrafosin Pada Penyandang Diabetes Mellitus (Dm) Tipe 2 Dan Dislipidemia

5 149 3

Gambaran Persepsi Petugas Kesehatan dan Petugas Kantor Urusan Agama (KUA) Pada Pelaksanaan Program Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) pada Calon Pengantin Wanita di Kota Tangerang Selatan

0 24 95

Tingkat Pemahaman Fiqh Muamalat kontemporer Terhadap keputusan menjadi Nasab Bank Syariah (Studi Pada Mahasiswa Program Studi Muamalat Konsentrasi Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

1 34 126

Peranan Komunikasi Antar Pribadi Antara Pengajar Muda dan Peserta Didik Dalam Meningkatkan Motivasi Belajar ( Studi pada Program Lampung Mengajar di SDN 01 Pulau Legundi Kabupaten Pesawaran )

3 53 80

Kontrol Yuridis PTUN dalam Menyelesaikan Sengketa Tata UsahaNegara di Tingkat Daerah

0 0 25

Hubungan Pengorganisasian dan Komponen Program Terhadap Tingkat Partisipasi KSM di Dalam PNPM Mandiri Perkotaan

0 0 21