Hubungan Hukum Internasional dengan Huku
Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seperti kebanyakan orang ketahui bahwa selain adanya hukum nasional yang mengatur
dan berlaku di suatu negara juga terdapat hukum lain yang lebih tinggi yang mengatur
hubungan antara negara-negara di dunia maupun subjek hukum lainnya. Adanya hukum
internasional dan hukum nasional ini juga menjadi pokok bahasan yang menarik untuk di
bahas yang mana dalam kaitan antar keduanya. Pertanyaan yang timbul tentang keberadaan
kedua hukum tersebut apakah keduanya terpisah dan dapat dikatakan berdiri sendiri-sendiri
atau keduanya merupakan bagian dari suatu sub sistem yang lebih besar yaitu tatanan sistem
hukum yang lebih besar lagi.
Hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional masih menarik, karena
selalu ada perkembangan saling mempengaruhi antara keduanya dan terkadang saling
bertentangan dalam beberapa kaedahnya. Ketika sebagian akademisi masih mempertanyakan
status hukum internasional dalam hukum nasional, di saat yang sama hukum internasional
telah benar-benar nyata dan mampu mempengaruhi tatanan hukum nasional dalam semua
aspek. Sebagaimana dibahas di atas bahwa dilihat dari pembentukannya ada perbedaan yang
jelas antara hukum internasional dengan hukum nasional (State Law/al Qonun al
Dakhily),yang tentunya skala penerapannya juga berbeda. Apakah hukum internasional
mempunyai kekuatan memaksa sebagaimana hukum nasional juga sudah dibahas secara
teoretis di atas. Namun, jika sebuah negara sebagai personalitas internasional mengakui
kaedah tertentu dalam hukum internasional dan berkehendak untuk menaatinya, apakah
dengan begitu secara serta merta kaedah internasional dapat diterapkan di dalam hukum
nasional?
Dengan adanya dua hukum yang berperan penting dalam pengatuan tatanan kehidupan
individu ataupun negara akan melahirkan suatu kombinasi hukum dalam penyelesaian
masalah-masalah baik masalah kenegaraan maupun individu atau subyek hukum yang lainya.
Munculnya suatu masalah atau fenomena yang menyulitkan hukum internasional ataupun
hukum nasional mengatasinya akan mempersulit untuk penegakan hukum dalam menentukan
hukum mana yang didahulukan mengingat berlakunya hukum internasional tersebut tidaklah
mutlak dan harus menyesuaikan dengan hukum nasional dalam suatu negara tertentu.
Persoalan tempat atau kedudukan hukum internasional dalam rangka hukum secara
keseluruhan didasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu jenis atau bidang hukum, hukum
internasional merupakan bagian dari pada hukum pada umumnya. Anggapan atau pendirian
demikian tidak dapat dielakkan apabila kita hendak melihat hukum internasional sebagai
suatu perangkat ketentuan-ketentuan dan azas-azas yang efektif yang benar-benar hidup di
dalam kenyataan dan karenanya mempunyai hubungan yang efektif pula dengan ketentuanketentuan atau bidang-bidang hukum lainnya, di antaranya yang paling penting adalah
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam masing-masing
lingkungan kebangsaannya yang dikenal dengan nama hukum nasional. Karena pentingnya
hukum nasional masing-masing negara dalam konstelasi politik dunia dewasa ini dengan
sendirinya pula persoalan bagaimanakah hubungan antar berbagai hukum nasional itu dengan
hukum internasional.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah, diantaranya :
1.2.1
Bagaimana hubungan hukum internasional dengan hukum nasional?
1.2.2
Bagaimana penerapan hukum internasional ditingkat nasional?
BAB III
PEMBAHASAN
2.1 Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional
Tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional terdapat dua teori yang
utama. Yakni teori monoisme dan dualisme. Teori monoisme menyatakan bahwa hukum
internasional dan hukum nasional masing – masing merupakan dua aspek dari satu sistem
hukum. Struktur hukum intern menetapkan bahwa hukum mengikat individu secara
perorangan dan secara kolektif. Hukum internasional mengikat individu secara kolektif
sedangkan hukum nasional mengikat individu secara perorangan. Teori dualisme menyatakan
bahwa hukum internasional dan hukum nasional masing – masing merupakan dua sistem
hukum yang berbeda secara intrinsik. Triepel menyatakan bahwa hukum internasional
berbeda dengan hukum nasional karena berbeda subyek dan sumbernya. (Sugeng Istanto,
1994 : 8)
Selain teori monoisme dan dualisme diatas terdapat juga teori koordinasi yang bisa
dikatakan sebagai kelompok moderat. Teori ini beranggapan apabila hukum internasional
memiliki lapangan berbeda sebagaimana hukum nasional, sehingga kedua sistem hukum
tersebut memiliki keutamaan di wilayah kerjanya masing – masing. Kelompok ini
beranggapan hukum internasional dengan hukum nasional tidak bisa dikatakan terdapat
masalah pengutamaan. Masing – masing berlaku dalam eranya sendiri. Oleh karena itu tidak
ada yang lebih tinggi atau lebih rendah diantara hukum internasional atau hukum nasional.
Anzilotti berpahaman bahwa hukum nasional ditujukan untuk ditaati sedangkan hukum
internasional dibentuk dengan dasar persetujuan yang dibuat antar Negara ditujukan untuk
dihormati. Pemahaman anzilotti ini pada saat ini sangat diragukan. Karena jika hukum
internasional hanya didasarkan pada persetujuan, sebagaimana tercermin dalam prinsip pacta
sunt servanda, maka persoalan – persoalan yang bersama dan mendesak seperti perlindungan
terhadap lingkungan dan HAM akan menemui jalan buntu. Dengan demikiann, perbedaan
antara hukum nasional dan hukum internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh
kelompok dualisme tersebut diatas untuk kurun waktu sekarang ini sudah tidak relevan lagi.
Hal ini disebatkan karena sudah terjadi perubahan dan perkembangan yang sangat mendasar
atas struktur masyarakat internasional maupun hukum internasional itu sendiri. (Jawahir
Thontowi, Pranoto Iskandar 2006 : 82)
Berbicara mengenai hal hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional
terdapat dua aspek yang perlu dibahas, yaitu yang pertama adalah aspek teoritis dan aspek
praktis. Pada aspek teoritis negara dapat menganut salah satu dari dua paham baik teori
dualisme atau monisme. pada hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional.
Paham dualisme adalah perpanjangan tangan dari positivisme klasik yang malandaskan
kaedah hukum internasional atas dasar kehendak mutlak negara sebagai personalitas
internasional. Dualisme memandang bahwa sistem hukum internasional sama sekali terpisah
dari sistem hukum nasional, keduanya mempunyai posisi yang berbeda. Ada dua perbedaan
fundamental dari kedua sistem hukum tersebut, yaitu; Subyek hukum, subyek hukum
nasional adalah individu-individu, sedangkan subyek hukum internasional adalah negaranegara. Sumber hukum, sumber hukum nasional adalah kehendak negara tersebut secara
mutlak yang dikeluarkan oleh badan legislatif negara dan harus ditaati, sedangkan sumber
hukum internasional adalah kehendak bersama dari negara-negara yang mempunyai kekuatan
menaati atau menolak yang sama, dan dilandaskan atas norma Pacta Sunt Servanda.
Lembaga peradilan negara tidak dapat menjadikan hukum internasional sebagai sumber
materil di pengadilan nasional, kecuali kaedah internasional tersebut telah melewati proses
transformasi, dan begitu juga sebaliknya. Walaupun terdapat perbedaan fundamental antara
kedua kaedah hukum, bukan berarti tidak ada sinkronisasi dalam tatanan praktis. Contoh,
aturan internasional tentang Warga Negara Asing yang terdapat pada perjanjian internasional
memerlukan instrumen nasional pada pelaksanaanya melalui aturan yang dikeluarkan oleh
badan legislatif negara.
Paham kedua, paham monisme. Penganut monisme menganggap semua hukum sebagai
suatu ketentuan tunggal yang tersusun dari kaedah-kaedah hukum mengikat, baik mengikat
negara-negara, individu-individu atau kesatuan lain yang juga merupakan personalitas
internasional. sebagai penganut monisme berpendapat bahwa kaedah hukum baik itu
internasional maupun nasional lahir melalui hipotesa-hipotesa yang saling berkaitan antara
satu dan lainnya, dan merupakan satu kesatuan walaupun hipotesa tersebut masih dalam
tatanan abstrak. Dari hipotesa tersebut akan muncul sebuah struktur hukum yang bersifat
universal, yang mengikat segenap individu baik itu sebagai hukum internasional maupun
sebagai hukum nasional.
Paham kesatuan kaedah antara hukum internasional dengan hukum nasional yang dianut
paham monisme menuntut adanya pembagian tingkat preferensi antara kedua sistem hukum
tersebut. Kelsen berpendapat bahwa masalah primat hukum harus terlebih dulu melewati
proses analisis struktural, suatu analisa yang dilakukan terhadap prinsip-prinsip dan kaedahkaedah yang pada akhirnya mencapai pada satu norma fundamental tertinggi yang bisa saja
terdapat pada hukum internasional atau pada hukum nasional. Sistem hukum yang
mengandung norma tertinggi itulah yang patut mendapat preferensi. Tetapi pada tatanan
praktisnya pendapat Kelsen ini dirasa terlalu abstrak dan tidak efisien. Primat hukum
internasional di atas hukum nasional: tingkat preferensi diberikan kepada kaedah hukum
internasional karena hukum internasional yang mengatur kewenangan negara-negara, dan
ketika Negara mengatur permasalahan internal saat itu hukum internasional sedang
memberikan mandat kepada negara untuk mengaturnya. Negara sebagai personalitas
internasional mengalami perubahan sistem hukum ketika terjadi perubahan konstitusi atau
revolusi, sedangkan hukum internasional tidak akan berubah sistem hukumnya walaupun
terjadi perubahan konstitusi dalam negeri. Hukum internasional mengikat negara-negara baru
dengan atau tanpa persetujuan dari negara bersangkutan, maka primat hukum dalam hal ini
harus diberikan kepada hukum internasional.
Sebagian berpendapat bahwa tidak secara keseluruhan preferensi diberikan kepada
hukum internasional, karena dilihat dari sejarahnya hukum internasional merupakan cabang
ilmu baru setelah adanya hukum nasional. Penganut primat hukum internasional mencoba
menjawab bahwa mata rantai yang menghubungkan hukum internasional dengan hukum
nasional bukan mata rantai sejarah, namun mata rantai teknis dan secara teknis hukum
internasional mempunyai kewenangan lebih tinggi dari pada hukum nasional. Primat hukum
nasional di atas hukum internasional: primat ini didukung oleh penganut paham monisme,
menurutnya hukum internasional tidak lain adalah hanya perpanjangan tangan dari hukum
nasional, karena hukum internasional terbentuk atas dasar kehendak negara, secara tidak
langsung hukum internasional tunduk kepada yang membentuknya, Negara. Hukum tertinggi
Negara adalah konstitusi maka, konstitusi mempunyai preferensi lebih dari pada hukum
internasional. Kritik yang ditujukan pada pandangan ini adalah, mengesampingkan kaedahkaedah hukum internasional yang tidak berasal perjanjian internasional melainkan dari
tatakrama internasional, yang membentuk opini publik internasional untuk taat terhadap
kaedah tertentu sebelum negara tersebut melahirkan kehendaknya. Bahkan, cukup berlebihan
jika hukum internasional harus menyesuaikan dengan kaedah hukum nasional. Dalam
beberapa kasus, pengadilan internasional telah memutuskan preferensi hukum internasional
atas hukum nasional. Mayoritas negara-negara dunia baik secara eksplisit maupun implisit
menganut paham monisme dengan primat hukum internasional di atas hukum nasional, ada
keterkaitan antara hukum internasional dengan hukum nasional dan kaedah hukum nasional
seyogyanya
selaras
dengan
kaedah
hukum
internasional.
(http://fsqcairo.blogspot.com/2010/03/prolog-pembahasan-tentang-hubungan.html).
Perbedaan antara hukum internasional dengan hukum nasional
Disamping memiliki hubungan satu sama lain hukum internasional dan hukum nasional
juga memiliki perbedaan. Terdapat perbedaan – perbedaan yang krusial antara hukum
nasional dengan hukum internasional, pertama adalah objek pengaturan dari kedua sistem
hukum itu sendiri terdapat perbedaan. Hukum internasional memiliki negra sebagai objek
utama dari pengaturan. Sedangkan hukum nasional lebih menekankan pada pengaturan
hubungan antar individu dengan individu dan Negara dalam wilayah jurisdiksi dari masing –
masing Negara. Akan tetapi, pengertian ini tidak menutup kemungkinan akan terjadinya
tumpang tindih mengingat pada perkembangan selanjutnya hukum internasional, sesuai
dengan hakikatnya, ‘supreme’ dibanding hukum HAM internasional. Dalam hukum HAM
internasional, Negara dibawah pengawasan organ – organ traktat missal the human rights
committee, sebagai organ dengan fungsi quasy-judicial dari konvensi internasional tentang
Hak-hak sipil dan politik, internasional Conenant Law Civil and Political Right ( ICCPR)
Cara pandang kedua adalah dengan membedakan model atau bentuk hukum yang sama
sekli berbeda. Apabila digunakan pengertian mengenai hukum dari sudut pandang hukum
nasional untuk menjelaskan hukum internasional, dapat berakhir pada peniadaan eksistensi
hukum internasional. Hukum internasional tidak memiliki badan-badan seperti legislative,
eksekutif dan yudikatif sebagaimna halnya dalam hukum nasional. Meskipun terdapat majelis
umum PBB yang sering berlaku sebagai badan legislative tidak dapat dianalogikan sebagai
parlement ataupun ICJ, dianalogikan sebagai lembagayudikaif,. ICJ hanya menangani kasus
yang
dserahkan
oleh
Negara
melalui
kesepakatan,
yang
tertuang
dalamcompromis, pernyataan para pihak bersengketa untuk mengakui kopetensi dari ICJ.
Oleh karena itu jelaslah bahwa kedua hukum tersebut memiliki perbedan yang substansial.
Dan terakhir, perbedaan yang sangat menonjol dapat dibuktikan melalui prinsif-prinsif
hukum internasional yang sangat mendasarkan pada prinsif persamaan subjek Negara sebagai
dasar terbentuknya hukum .( Jawahir dan Pranoto, 2006,78). Seperti yang dapayt dilihat
dalam proses pembentukan huku kebiasaan atau traktat, yang menuntut supaya terdapatnya
persetujuan dari Negara-negara atas dasar persamaan. Hal mana prinsif ini tidak begitu
menonjol dalam hukum nasional yang serba tersentralisir.
Oleh karena itu, Lauterpacht menegaskan hukum nasional yaitu suatu hukum yang
berdaulat atas subjek individu, sedangkan hukum bangsa-bangsa merupakan suatu hukum
yang berada di bawah, melainkan hukum yang berdaulat antara Negara-negara, dan oleh
karena itu hukum ini lebih lemah ( International Law is a law of sovereign over individual
subjected to his sway, the law of nation is a law not above, but between, sovereign, and is
therefore a weaker law) . ( Jawahir dan Pranoto, 2006, 79)
Pengutamaan Hukum Internasional Atau Hukum Nasional
Kelsen, dengan menggunakan doktrin hierarkinya menyatakan bahwa hukum
internasional harus diutamakan bila postulat fundamental yang bertentangan itu termasuk
hukum internasional. Sebaliknya apabila postulat fundamental hal yang bertentangan itu
termasuk hukum nasional maka hukum nasionalah yang harus diutamakan. Teori hierarkinya
kelsen menyatakan bahwa ketentuan hukum berlaku dan mengikat berdasarkan ketentuan
hukum atau prinsif hukum lain yang lebih tinggi yang akhirnya berdasarkan postulat
fundamental. Postulat fundamental ini dapat merupakan bagian dari hukum internasional atau
dapat pula merupakan bagian dari hukum nasional.
Starke, yang juga menganut monoisme, tidak menyetujuai pengutamaan hukum
nasional terhadap hukum internasional berdasrakan pada dua alasan yaitu : pemberian
pengutamaan kepada hukum nasional (negara) yang jumlahnya lebih dari 150 di dunia akan
menimbulkan anarkhi. Disamping itu, pengutamaan hukum nasional terhadap hukum
internasional akan mengakibatkan ketergantungan berlakunya hukum internasional pada
hukum nasional. Dengan kata lain, bila hukum nasional berubah hukum internasional akan
menjadi berubah pula. Pendapat itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Hukum
internasional berlaku tanpa tergantung pada hukum nasioanal. Konferensi London tahun 1831
menetapkan bahwa perjanjian internasional tetap berlaku bagi negara pihak meskipun terjadi
perubahan intern di negara tersebut. Strake berpendapat bahwa dalam hal terdapat
pertentangan hukum internasional dan hukum nasional, hukum internasional mendapat
pengutamaan. Starke membandingkan hubungan antara hukum internasional dengan hukum
nasional itu seperti halnya hubungan antara hukum negara federal dengan negara bagiaannya.
Dalam negara federal, negara bagian bebas menetapkan hukumnya sendiri tetapi dibatasi oleh
konstitusi federal. Demikian juga halnya dalam masyarakat internasional, negara berdaulat
menetapkan hukum negaranya, tetapi kedaulatannya dibatasi oleh hukum internasional.
Starke mengatakan bahwa tidak semua ketentuan hukum internasional harus diutamakan
terhadap hukum nasional. Hanya hukum konstitusi internasional yang mendapat
pengutamaan terhadap hukum nasional.
Sehubungan dengan hubungan pengutamaan antara hukum internasional dan hukum
nasional, dewasa ini dikenal juga konsep “concept of opposability”. Konsep ini menyatakan
bahwa ketentuan hukum nasional, yang sesuai dengan hukum internasional, secara sah dapat
digunakan untuk menolak ketentuan hukum internasional, yang digunakan negara lain
sebagai dasar tuntutan diperadilan internasional. Dengan demikian, hukum nasional suatu
negara dapat juga diutamakan berlakunya terhadap hukum internasional.
2.2 Penerapan hukum internasional ditingkat nasional
Kedudukan hukum internasional dalam peradilan nasional suatu Negara terkait
dengan doktrin ‘inkorporasi’ dan doktrin ‘transformasi’. Doktrin inkorporasi menyatakan
bahwa hukum internasional dapat langsung menjadi bagian dari hukum nasional. Dalam hal
suatu Negara menandatangani dan meratifikasi traktat, maka perjanjian tersebut dapat secara
langsung mengikat terhadap para warga Negara tanpa adanya sebuah legislasi terlebih
dahulu. Contoh seperti amerika serikat, inggris, kanada, Australia dan Negara – Negara
lainnya.
Sedangkan doktrin terakhir menyatakan sebaliknya tidak terdapat hukum
internasional dalam hukum nasional sebelum dilakukannya ‘transformasi’ yang berupa
pernyataan terlebih dahulu dari Negara yang bersangkutan. Dalam yang berupaya pernyataan
terlebih dahulu dari Negara yang bersangkutan. Dalam kata lain, traktat dapat digunakan
sebagai sumber hukum nasional di pengadilan sebelum dilakukannya ‘transformasi’ ke dalam
hukum nasional.
Doktrin inkorporasi beranggapan bahwa hukum internasional merupkan bagian yang
secara otomatis menyatu dengan hukum nasional. Dan doktrin ini lebih mendekati pada teori
monoisme yang tidak memisahkan antara kedua system hukum nasional dan system hukum
internasional. Sedangkan doktrin transformasi menuntut adanya tindakan positif dari Negara
yang bersangkutan. Sebagaimana doktrin ini juga dikembangkan oleh teori dualisme,
mendapatkan contohnya di Negara – Negara asia tenggara, termasuk juga di Indonesia.
Indonesia
Di Indonesia pemerintah secara terang – terangan mengakui akan pentingnya hukum
internasional. Sehingga tidak perlu kiranya untuk membahas mengenai alasan mengapa
hukum internasional dapat mengikat Negara – Negara baru, yang pada umumnya merupakan
akibat dari proses dekolonisasi.
1.
Hukum Kebiasaan Internasional
Berkenaan dengan hukum kebiasaan, praktek Indonesia belum menampakkan adanya
sikap yang tegas. Namun, untuk beberapa hal, Indonesia menerima hukum kebiasaan
internasional sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia. Misalnya, hukum kebiasaan
yang berlaku di laut, seperti tentang hak lintas damai bagi kapal – kapal asing di laut teritorial
Indonesia diakui dan diterapkan oleh Indonesia serta dihormati pula oleh kapal – kapal asing,
terutama sekali setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan.
Selain itu Indonesia juga pernah mengsampingkan kaedah hukum kebiasaan
internasional, dalam penerapan lebar laut territorial. Menurut hukum kebiasaan internasional
lama, lebar laut territorial Negara – Negara adalah sejauh 3 (tiga) mil, diukur dari garis
pangkal normal. Hukum kebiasaan internasional ini juga diterima sebagai bagian dari hukum
nasional Indonesia yaitu dalam Undang – Undang peninggalan jaman belanda yang terkenal
dengan sebutan teritoriale zee en maritieme kringen ordonantie (stb. 1939 Nomor 442). Ini
masih berlaku alam kemerdekaan Indonesia melalui pasal 2 aturan peralihan undang-undang
dasar 1945. Dalam stb tersebut diterapkan lebar laut territorial hindia belanda sejauh 3mil laut
diukur dari garis pangkal normal. Sampai disini dapat dikemukakan bahwa terdapat
kesesuaian antara kaedah hukum kebiasaan internasionl mengenal lebar laut territorial dengan
hukum atau undang-undang Indonesia mengenai hal yang sama.
Akan tetapi, pada tanggal 13 desember 1957 indonesia secara sepihak mengklaim
lebar leut territorial 12 mil laut berdasarkan penarikan garis pangkal lurus dari ujung ke
ujung. Konsekuensinya, Stb Tahun 1939 nomor 442 tersebut sepanjang menyangkut lebar
laut territorial dan system penarikan garis pangkal normal dinyatakan tidak berlaku. Tindakan
ini menunjukkan bahwa Indonesia lebih mengutamakan undang – undang atau hukum
nasionalnya walaupun undang – undang nasionalnya itu lahir belakangan dibandingkan
dengan hukum kebiasaan internasional tersebut.
2. Hukum Perjanjian Internasional
Beda halnya dengan sikap pemerintah Indonesia terhadap perjanjian internasional.
Dalam prakteknya, sikap Indonesia terhadap perjanjian internasional dipengaruhi oleh
beberapa sebab. Pertama,perubahan sistem pemerintahan yang pernah berlaku dalam sejarah
perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia praktek
Indonesia belumlah begitu jelas. Karena pada masa itu (antara tahun 1945-1950) Indonesia
masih dalam taraf mempertahankan diri dan eksistensinya, terhadap ancaman dan serangan
dari pihak luar maupuhn serangan dari dalam negeri. Dalam kondisi demikian, Indonesia
tidak mudah untuk menata kehidupan ketatanegaraan dan konstitusinya secara baik dan
normal.
Kedua, perubahan konstitusi Republik Indonesia Serikat ( 27 desember1949- 17
agustus 1950 dan pada masa berllakunya UUDS RI tahun 1950- 1959 praktek Indonesia
menunjukan kecenderungan yang ketat terhadap masuknya perjanjian internasional menjadi
hukum nasional Indonesia. Adapun pada masa berlakunya kembali UUD 1945, sebagai
landasan yuridis bagi berlakunya suatu perjanjian internasional didalam hukum nasional
Indonesia. Pada pasal 11 UUD 1945 setelah amandemen, yang berbunyi sebagai berikut, ‘
presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian denga Negara lain’. Dominasi kekuasaan eksekutif dalam
hubungan luar negeri, tampaknya jauh lebih terjamin dalam ketentuan pasal 11,12, UUD
1945 sbelum di amandemen.
Dalam hubungan ini yang paling penting untuk diketahui adalah yang berkenaan
dengan pembuatan perjanjian dengan Negara lain. Pembuatan perjanjian tersebut menyangkut
Indonesia dan Negara lain yang nantinya perjanjian itu akan mengikat bagi kedua pihak dan
akan menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Akan tetapi, hanya dengan membaca
pasal 11 itu saja, masalah yang menjadi pokok bahasan ini belumlah begitu jelas. Bahkan,
pasal 11 itu sendiri masih menimblkan berbagai masalah yang membutuhkan jawaban yang
tegas.
Pasal 11 UUD 1945 perubahan keempat menyatakan
(i)
presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
(ii)
Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainya yang menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara,
dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
(iii)
Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur oleh undang-undang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional terdapat dua teori
yang utama. Yakni teori monoisme dan dualisme. Teori monoisme menyatakan bahwa hukum
internasional dan hukum nasional masing – masing merupakan dua aspek dari satu sistem
hukum. Struktur hukum intern menetapkan bahwa hukum mengikat individu secara
perorangan dan secara kolektif. Hukum internasional mengikat individu secara kolektif
sedangkan hukum nasional mengikat individu secara perorangan. Teori dualisme menyatakan
bahwa hukum internasional dan hukum nasional masing – masing merupakan dua sistem
hukum yang berbeda secara intrinsik. Triepel menyatakan bahwa hukum internasional
berbeda dengan hukum nasional karena berbeda subyek dan sumbernya.
Selain teori monoisme dan dualisme diatas terdapat juga teori koordinasi yang bisa
dikatakan sebagai kelompok moderat. Teori ini beranggapan apabila hukum internasional
memiliki lapangan berbeda sebagaimana hukum nasional, sehingga kedua sistem hukum
tersebut memiliki keutamaan di wilayah kerjanya masing – masing. Kelompok ini
beranggapan hukum internasional dengan hukum nasional tidak bisa dikatakan terdapat
masalah pengutamaan. Masing – masing berlaku dalam eranya sendiri. Oleh karena itu tidak
ada yang lebih tinggi atau lebih rendah diantara hukum internasional atau hukum nasional.
Anzilotti berpahaman bahwa hukum nasional ditujukan untuk ditaati sedangkan hukum
internasional dibentuk dengan dasar persetujuan yang dibuat antar Negara ditujukan untuk
dihormati. Pemahaman anzilotti ini pada saat ini sangat diragukan. Karena jika hukum
internasional hanya didasarkan pada persetujuan, sebagaimana tercermin dalam prinsip pacta
sunt servanda, maka persoalan – persoalan yang bersama dan mendesak seperti perlindungan
terhadap lingkungan dan HAM akan menemui jalan buntu. Dengan demikiann, perbedaan
antara hukum nasional dan hukum internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh
kelompok dualisme tersebut diatas untuk kurun waktu sekarang ini sudah tidak relevan lagi.
Hal ini disebatkan karena sudah terjadi perubahan dan perkembangan yang sangat mendasar
atas struktur masyarakat internasional maupun hukum internasional itu sendiri.
Disamping memiliki hubungan satu sama lain hukum internasional dan hukum nasional
juga memiliki perbedaan. Terdapat perbedaan – perbedaan yang krusial antara hukum
nasional dengan hukum internasional, pertama adalah objek pengaturan dari kedua system
hukum itu sendiri terdapat perbedaan. Hukum internasional memiliki negra sebagai objek
utama dari pengaturan. Sedangkan hukum nasional lebih menekankan pada pengaturan
hubungan antar individu dengan individu dan Negara dalam wilayah jurisdiksi dari masing –
masing Negara.
Cara pandang kedua adalah dengan membedakan model atau bentuk hukum yang sama
sekli berbeda. Apabila digunakan pengertisn mengenai hukum dari sudut pandang hukum
nasional untuk menjelaskan hukum internasional, dapat berakhir pada peniadaan eksistensi
hukum internasional. Hukum internasional tidak memiliki badan-badan seperti legislative,
eksekutif dan yudikatif sebagaimna halnya dalam hukum nasional.
Kedudukan hukum internasional dalam peradilan nasional suatu Negara terkait dengan
doktrin ‘inkorporasi’ dan doktrin ‘transformasi’. Doktrin inkorporasi menyatakan bahwa
hukum internasional dapat langsung menjadi bagian dari hukum nasional.
Sedangkan doktrin terakhir menyatakan sebaliknya tidak terdapat hukum internasional
dalam hukum nasional sebelum dilakukannya ‘transformasi’ yang berupa pernyataan terlebih
dahulu dari Negara yang bersangkutan.
Doktrin inkorporasi beranggapan bahwa hukum internasional merupkan bagian yang
secara otomatis menyatu dengan hukum nasional. Dan doktrin ini lebih mendekati pada teori
monoisme yang tidak memisahkan antara kedua system hukum nasional dan system hukum
internasional. Sedangkan doktrin transformasi menuntut adanya tindakan positif dari Negara
yang bersangkutan. Sebagaimana doktrin ini juga dikembangkan oleh teori dualisme,
mendapatkan contohnya di Negara – Negara asia tenggara, termasuk juga di Indonesia.
Di Indonesia pemerintah secara terang – terangan mengakui akan pentingnya hukum
internasional. Sehingga tidak perlu kiranya untuk membahas mengenai alasan mengapa
hukum internasional dapat mengikat Negara – Negara baru, yang pada umumnya merupakan
akibat dari proses dekolonisasi.
Hukum Kebiasaan Internasional
Berkenaan dengan hukum kebiasaan, praktek Indonesia belum menampakkan adanya
sikap yang tegas. Namun, untuk beberapa hal, Indonesia menerima hukum kebiasaan
internasional sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia. Misalnya, hukum kebiasaan
yang berlaku di laut, seperti tentang hak lintas damai bagi kapal – kapal asing di laut teritorial
Indonesia diakui dan diterapkan oleh Indonesia serta dihormati pula oleh kapal – kapal asing,
terutama sekali setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan.
Hukum Perjanjian Internasional
Beda halnya dengan sikap pemerintah Indonesia terhadap perjanjian internasional.
Dalam prakteknya, sikap Indonesia terhadap perjanjian internasional dipengaruhi oleh
beberapa sebab. Pertama,perubahan sistem pemerintahan yang pernah berlaku dalam sejarah
perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia praktek
Indonesia belumlah begitu jelas. Karena pada masa itu (antara tahun 1945-1950) Indonesia
masih dalam taraf mempertahankan diri dan eksistensinya, terhadap ancaman dan serangan
dari pihak luar maupuhn serangan dari dalam negeri. Dalam kondisi demikian, Indonesia
tidak mudah untuk menata kehidupan ketatanegaraan dan konstitusinya secara baik dan
normal.
Kedua, perubahan konstitusi Republik Indonesia Serikat ( 27 desember1949- 17
agustus 1950 dan pada masa berllakunya UUDS RI tahun 1950- 1959 praktek Indonesia
menunjukan kecenderungan yang ketat terhadap masuknya perjanjian internasional menjadi
hukum nasional Indonesia. Adapun pada masa berlakunya kembali UUD 1945, sebagai
landasan yuridis bagi berlakunya suatu perjanjian internasional didalam hukum nasional
Indonesia. Pada pasal 11 UUD 1945 setelah amandemen, yang berbunyi sebagai berikut, ‘
presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian denga Negara lain’. Dominasi kekuasaan eksekutif dalam
hubungan luar negeri, tampaknya jauh lebih terjamin dalam ketentuan pasal 11,12, UUD
1945 sbelum di amandemen.
1.Perjanjian internasional (
international conventions
) , b a i k y a n g b e r s i f a t umum, maupun khusus;2 . K e b i a s a a n
internasional (
international custom
);3 . P r i n s i p - p r i n s i p h u k u m u m u m (
general principles of law
) y a n g d i a k u i o l e h negara-negara beradab;4 . K e p u t u s a n p e n g a d i l a n (
judicial decision
) dan pendapat para ahli yang
telahd i a k u i k e p a k a r a n n y a , y a n g m e r u p a k a n s u m b e r h u k u m i n t e r n a
s i o n a l tambahan.Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan
exa e q u o e t b o n o
, y a i t u d i d a s a r k a n p a d a k e a d i l a n d a n k e b a i k a n , d a n b u k a n berdasa
rkan hukum, namun hal ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar negaranegara yang bersengketa. Keputusan Mahkamah Internasional sifatnyaf i n a l , t i d a
k d a p a t b a n d i n g d a n h a n y a m e n g i k a t p a r a p i h a k . K e p u t u s a n j u g a diambil
atas dasar suara mayoritas. Yang dapat menjadi pihak hanyalah
negara,n a m u n s e m u a j e n i s s e n g k e t a d a p a t d i a j u k a n k e M a h k a m a h I
nternasional.Masalah pengajuan sengketa bisa dilakukan oleh sa
l a h s a t u p i h a k s e c a r a unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari
pihak yang lain.
Jikat i d a k a d a p e r s e t u j u a n , m a k a p e r k a r a a k a n d i h a p u s d a r i d a f t a r M a h k
amahInternasional, karena Mahkamah Internasional tidak akan memutus
p e r k a r a secara
in-absensia
(tidak hadirnya para pihak).
BAB IIIKESIMPULAN
Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional,
merupakandua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda.
Hukum internasional dan
hukumn a s i o n a l m e r u p a k a n d u a s i s t e m h u k u m y a n g t e r p i s a h , t i d a k
s a l i n g m e m p u n y a i hubungan superioritas atau subordinasi. Berlakunya
h u k u m i n t e r n a s i o n a l d a l a m lingkungan hukum nasional memerlukan ratifikasi
menjadi hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar keduanya, maka
yang diutamakan adalah hukum nasional suatunegara.Sedangkan
menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasionalsaling berkaitan
satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional ituadalah
lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar
negeri.Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan
hukuminternasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum
internasional.(Burhan Tsani, 1990; 26)Berangkat dari pentingnya hubungan
lintas negara disegala sektor kehidupanseperti politik, sosial, ekonomi dan lain
sebagainya, maka sangat diperlukan hukumyang diharap bisa menuntaskan segala
masalah yang timbul dari hubungan antar negara.Hukum Internasional ialah sekumpulan
kaedah hukum wajib yang mengatur hubunganantara person hukum internasional (Negara
dan Organisasi Internasional), menentukanhak dan kewajiban badan tersebut serta membatasi
hubungan yang terjadi antara personhukum tersebut dengan masyarakat sipil.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiwisastra Yudha Bhakti, 2003,
Hukum Internasional
, B u n g a R a m p a i , A l u m n i , Bandung.Burhantsani, Muhammad, 1990;
Hukum dan Hubungan Internasional
, Yo g y a k a r t a : Penerbit Liberty.Disarikan dari paparan ilmiah Abdul Hakim Garuda
Nusantara, dalam Dialog Interaktif,“
Arti Pengesahan Dua Kovenan HAM bagi Penegakan Hukum
, ” d i H o t e l Acacia, Jakarta, pada 9 Maret 2006, yang diselenggarakan oleh Komisi
Hukum Nasional RI.Hans Kelsen,
Te o r i U m u m Te n t a n g H u k u m d a n N e g a r a
(terj), (Bandung: Nuansa,2006), hal. 512-513.J.G. Starke,
Pengantar Hukum Internasional Buku 2
(terj), (Jakarta: Sinar Grafika,1992), hal. 98. Lihat juga Boer Mauna,
Hukum Internasional
, (Bandung:Alumni, 2000), hal. 12-13. Lebih lanjut mengenai pandangan Kelsen ini dapat
dilihat dalam beberapa tulisan Kelsen,
Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif
, hal. 353.
Teori Umum Tentang Hukum dan Negara
, hal. 511.
Ibid
, hal. 97.Kusamaatmadja Mochtar, 1999,
Pengantar Hukum Internasional
, Cetakan ke-9, PutraAbardin.Mauna Boer, 2003,
Hukum Internasional; Pengertian, Peran dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,
Cetakan ke-4, PT. Alumni, Bandung.P h a r t i a n a I Wa y a n , 2 0 0 3 ,
Pengantar Hukum Internasional
, P e n e r b i t M a n d a r m a j u , Bandung.S i t u n i F . A . W h i s n u , 1 9 8 9 ,
Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional
, Penerbit Mandar Maju, BandungSuryokusumo, Sumaryo,.(1995) Hukum Diplomatik Teori
dan Kasus, Bandung:Alumni.Soekanto, Soerjono,.(1993) Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata
Hukum, Bandung: CitraAditya.
Sabtu, 24 Mei 2014
Makalah BAB II Hubungan Hukum Internasional dan
Hukum Nasional PKN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum Internasional
Hukum Internasional adalah hukum yang berlaku di dua Negara atau lebih yang mengatur
tentang aktivitas berskala Internasional. Hukum Internasional merupakan hukum antar Negara atau
antar bangsa yang menunjukkan pada kompleks asas dan keedah yang mengatur hubungan
antar masyarakat bangsa-bangsa atau Negara.
2.1.1 Macam-macam Hukum Internasional
Terdapat 2 macam Hukum internasional diantaranya, yaitu:
1. Hukum Publik Internasional merupakan hukum internasional yang
mengatur antara negara yang satu dengan lainnya dalam hubungan
internasional (Hukum ini disebut hukum Antarnegara).
2. Hukum Perdata Internasional merupakan hukum internasional yang
mengatur antara warga negara pada suatu negara dengan warga negara
yang berasal dari negara lain (hukum ini disebut hukum antar bangsa).
Subjek hukum Internasional terdiri dari : Individu, Negara, Tahta Suci /
Vatican, Palang Merah Internasional, Organisasi Internasional.
2.1.2 Asas-asas Hukum Internasional
Berikut ini adalah asas-asas yang berlaku dalam hukum internasional:
1. Asas Teritorial: Negara menjalankan hukum untuk semua orang serta
barang yang ada di wilayahnya.
2. Asas Kebangsaan: setiap warganegara dimanapun keberadaanya tetap
memperoleh perlakuan hukum dari nearanya.
3. Asa Kepentingan Umum: Negara bisa menyesuaikan diri terhadap seluruh
peristiwa atau keadaan yang ada sangkut pautnya dengan kepentingan
umum.
2.2 Pengertian Hukum Nasional
Hukum nasional adalah peraturan hukum yang berlaku di suatu Negara yang terdiri atas prinsipprinsip serta peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat pada suatu Negara.
Hukum Nasional merupakan sebuah sistem hukum yang dibentuk dari proses penemuan,
pengembangan, penyesuaian dari beberapa sistem hukum yang telah ada. Hukum Nasinonal di
Indonesia adalah hukum yang terdiri atas campuran dari sistem hukum agama, hukum eropa,
dan hukum adat. Hukum Agama, itu karena mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam,
maka syari’at Islam lebih mendominasi terutama pada bidang kekeluargaan, perkawinan, dan
warisan. Sistem Hukum Nasional yang diikuti sebagian besar berbasis pada hukum Eropa continental
baik itu hukum perdata maupn hukum pidana. Hukum Eropa yang di ikuti khususnya dari belanda itu
karena di masa lampau Indonesia merupakan Negara jajahan Belanda. Sistem Hukum adat juga
merupakan bagian dari hukum nasional, karena di Indonesia masih kental dengan aturan-aturan adat
setempat dari masyarakat serta budaya yang ada di wilayah Indonesia.
2.3 Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Persoalan tempat hukum internasional dalam rangka hukum secara keseluruhan didasarkan atas
anggapan bahwa sebagai suatu bidang hukum :
“ Hukum Internasional merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Hal ini tidak dapat
dielakan apanila kita hendak melihat hukum internasional sebagai perangkat ketentuan dan
asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam kenyataan, sehingga mempunyai hubungan
dengan hukum nasional”
Karena pentingnya hukum nasional masing-masing negara dalam konstelasi politik dunia dewasa
ini, dengan sendirinya penting pula persoalan bagaimanakah hubungan antara berbagai hukum
nasional itu dengan hukum internasional.
2.3.1 Beberapa pandangan mengenai Hukum Internasional dan Nasional
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa dalam teori ada dua pandangan tentang hukum internasional
yaitu:
-
Pandangan yang dinamakan “Voluntarisme” yang mendasarkan berlakunya hukum internasional ini
pada kemauan negara
-
Pandangan yang “obyektivitas” yang menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini pada
kemauan negara.
Dari pandangan yang berbeda di atas menimbulkan akibat yang berbeda yaitu:
-
Pandangan “Voluntarisme” mengakibatkan adanya hukum internasional dan hukum nasional
sebagai dua satuan perangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah
-
Pandangan obyektivitas menganggapnya dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum . hal ini
erat hubunganya dengan persoalan hubungan hierarki antara kedua perangkat hukum itu baik
masing-masing berdiri sendiri maupun dua perangkat hukum itu merupakan dari satu kesatuan dari
satu keseluruhan tata hukum yang sama.
a. Aliran Dualisme
Tokoh utama dari aliran ini ialah “Triepel” seorang pemuka aliran positivism dan “Anzilotti”pemuka
aliran positivisme dari italia.
Menurut paham dualism, “ daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara”, hukum
internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah satu dari yang
lainnya. Alasan terletak atau didasarkan pada kenyataan diantaranya, yaitu :
1.) Kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber
yang berlainan, hukum nasional bersumber pada “kemauan negara”, sedangkan hukum internasional
bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara.
2.) Berlaianan subyek hukumnya
Subyek hukum nasional dalah orang-perorangan, sedangkan subyek hukum dari hukum internasional
adalah negara.
3.) Perbedaan dalam strukturnya
Lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum dalam kenyataannya seperti, mahkamah dan
organ eksekutif hanya ada dalam hukum nasional.
4.) Daya laku atau keabsahan kaidah hukum nasional tidak terpengaruh oleh kenyataan bahwa hukum
nasional itu bertentangan dengan hukum internasional.
Akibat Pandangan Dualisme ini, antara lain :
1.) Kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada
perangkat hukum yang lain. (tidak ada persoalan hierarki)
2.) Tidak mungkin ada pertentangan antara kedua perangkat hukum tersebut.
3.) Ketentuan hukum internasional memerlukan tarnsformasi menjadi hukum nasional.
b. Paham Aliran Monisme
Paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup
manusia. Dengan demikian hukum internasional dan hukum nasional merupakan bagian dari satu
kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia.
Akibat pandangan ini:
Bahwa antara dua perangkat ketentuan hukum ini. mungkin ada hubungan
hierarki
Persoalan hierarki anatara dua perangkat hukum (hukum nasional dan hukum internasional) ini.
melahrkan beberapa sudut pandang yang berbeda dalam aliran monisme. Mengenai hukum manakah
yang utama. Ada pihak yang beranggapan bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan
hukum internasional yang utama adalah hukum nasional dan ada pandangan yang sebalinya yaitu
bahwa hukum iternasional yang pertama disebut “Paham monisme dengan primat hukum nasional “
dan pandangan yang kedua disebut “ Paham monisme dengan primat hukum internasional”
-
Pandangan monisme dengan primat hukum nasional
Menurut pandangan monisme dengan primat nasional ini, hukum internasional itu tidak lain dari atau
merupakan lanjutan hukum nasional atau tidak lain dari hukum nasional untuk urusan luar negeri atau
“Auszeres Staatsrecht”
Pandangan monisme dengan primat hukum nasional ini pada hakikatnya menganggpa bahwa hukum
internasional itu bersumber pada hukum nasional.
Alasan utama anggapan ini ialah ;
1.) Bahwa tidak ada satu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara di
dunia
2.) Dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional terletak dalam wewenang negara
untuk mengadakan perjanjian internasional
Kelemahan paham monisme ini, ialah :
1.) Terlalu memandang hukum itu sebagai hukum yang tertulis saja, sehingga sebagai hukum
internasional dianggap hanya hukum yang bersumberkan perjanjian internasional saja.
2.) Bahwa pada hakikatnya pendirian paham monisme dengan primat hukum nasional ini merupakan
penyangkalan terhadap adanya hukum internasional , sebab apabila terikatnya negara pada hukum
internasional digantungkan pada hukum nasional. Hal ini sama-sama saja menggantungkan
berlakunya hukum internasional itu pada kemauan negara.
-
Paham monisme dengan primat hukum internasional
1.) Hukum nasional itu bersumber pada hukum internasional karena hukum ini secara hierarkis lebih
tinggi dari hukum nasional
2.) Hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan pada hakikatnya kekeuatan mengikatnya
berdasarkan “ Pendelegasian wewenang “ dari hukum internasional
Kelemahan paham monisme ini :
1.) Pandangan bahwa hukum nasional, itu tergantung kepada hukum internasional (juga kekuatannya )
seolah-olah mendalilkan bahwa hukum internasional telah ada lebih dahulu dari hukum nasional.
2.) Tidak benar bahwa hukum nasional itu kekeuatan mengikatnya diperoleh dari hukum
internasional.
2.4 Proses ratifikasi Hukum Internasional menjadi hukum nasional
Ada beberapa cara agar hukum Internasional menjadi hukum nasional, yaitu :
2.4.1 Proses Ratifikasi menurut UUD 1945
Dasar Hukum Perjanjian Internasional dalam ketentuan UUD 1945 setelah mengalami
perubahan ialah Pasal 11 yang menyatakan:
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
(2) Presiden dalam membuat Perjanjian Internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukkan Undang-Undang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang Perjanjian Internasional diatur dengan
Undang-Undang.
Pasal 11 UUD tersebut satu-satunya Pasal dalam UUD 1945 yang menyebutkan didalamnya
adanya kata “Perjanjian Internasional”, oleh karena itu perlu dikaji lebih dahulu dalam konteks apa
UUD 1945 tersebut mengatur hal Perjanjian Internasional.
Pasal 11 termasuk dalam Bab III yang berjudul Kekuasaan Pemerintahan Negara yang di dalam
substansi pasal-pasalnya mengatur tentang Presiden dalam sistem UUD 1945. Bab III UUD ini
mengalami perubahan yang sangat banyak apabila dibandingkan dengan Bab III UUD sebelum
perubahan. Disamping perubahan isi pasal-pasal perubahan UUD juga menambahkan pasal-pasal
baru dalam Bab III ini yaitu : Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C.
“Pihak Negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat memastikan bahwa apa yang
dinyatakan oleh Presiden Indonesia tidak lain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang
artinya Negara lain tersebut tidak harus perlu berhubungan dengan lembaga Negara yang lain untuk
mengetahui maksud atau kehendak Negara Indonesia dalam membuat kesepakatan dengan
pihaknya.”Pasal 11 sebelum perubahan merupakan pasal tunggal tak berayat yang berbunyi:
“Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian
dan perjanjian dengan Negara lain”, dan setelah perubahan UUD ketentuan yang terdapat dalam
Pasal ini menjadi ayat (1) Pasal 11 tanpa dilakukan perubahan bunyi aslinya. Kedudukan Presiden
dalam UUD setelah perubahan berbeda dengan kedudukan Presiden sebelum perubahan, hal
tersebut dikarenakan adanya perubahan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD. Sebelum perubahan Pasal 5
ayat (1) menyatakan: “Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, sedangkan setelah perubahan Pasal tersebut menjadi
berbunyi: “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat”. Pasal 20 ayat (1) UUD setelah perubahan berbunyi: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Dari perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1)
tersebut terjadi pengalihan pembuatan Undang-Undang dari tangan Presiden ke DPR.
Perubahan demikian juga menyebabkan perubahan pada apa yang dimaksud sebagai
Kekuasaan Pemerintahan Negara oleh Bab III UUD. Sebelum perubahan UUD, Kekuasaan
Pemerintahan Negara yang berada di tangan Presiden meliputi:
(1) kekuasaan eksekutif (vide Pasal 4 ayat (1) UUD);
(2) kekuasaan membentuk Undang-Undang (vide Pasal 5 ayat (1) UUD
sebelum perubahan
(3) kekuasaan sebagai kepala Negara.
Setelah perubahan UUD, Kekuasaaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Bab III menjadi hanya
meliputi kekuasaan saja yaitu:
(1) kekuasaan eksekutif;
(2) kekuasaan sebagai kepala Negara.
Bab III UUD mengandung substansi yang berhubungan dengan lembaga Presiden dalam
sistem UUD 1945 dimana didalamnya termasuk kewenangan Presiden untuk menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Kedudukan Presiden dalam sistem
presidensiil menjalankan dua fungsi sekaligus yang melekat yaitu sebagai kepala eksekutif dan
sebagai kepala Negara. Dengan adanya Pasal 11 tersebut UUD 1945 menetapkan bahwa Presidenlah
yang mewakili Negara dalam melakukan hubungan dengan Negara lain dan bukan lembaga Negara
lainnya. Perjanjian perjanjian yang harus mendapatkan persetujuan DPR adalah perjanjian yang
mengandung materi sebagai berikut :
a. soal-soal politik atau soal-soal yang dapat memengaruhi haluan politik
negara seperti perjanjian-perjanjian persahabatan dan perjanjian-perjanjian
perubahan wilayah atau tapal batas.
b. ikatan-ikatan yang demikian rupa sifatnya sehingga dapat memengaruhi
haluan politik negara, perjanjian ekonomi atau pinjaman uang
c. soal-soal yang menurut UUD atau menurut sistem perundingan harus
diatur dengan undang undang seperti soal kewarganegaraan atau
kehakiman.
d. perjanjian lainnya diluar pihak tersebut, biasanya hanya berbentuk
agreement yang perlu diberitahukan kepada DPR
2.4.2 Proses Ratifikasi menurut UU No.24 tahun 2000
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama
tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara
tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
2. Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu
perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi
(accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan ( ap-prova/).
3. Surat Kepercayaan (Credentials) adalah surat yang dikeluarkan
olehPresiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau
beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menghadiri, merundingan,
dan/atau menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional
4. Organisasi Internasional adalah organisasi antar pemerintah yang diakui
Sebagai subjek hukum internasional dan mempunyai kapasitas untuk
membuat perjanjian internasional
5. Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah
langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian
internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal yang menyangkut
kepentingan publik.
6. Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian
internasional melalui cara-cara sebagai berikut :
a. Penandatangan;
b. pengesahan;
c. pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;
d. cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian
internasional.
7. Pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap penjajakan,
perundingan, perumusan naskah, penerimaan, dan penandatanganan.
8. Penandatanganan suatu perjanjian internasional merupakan persetujuan
atas naskah perjanjian internasional tersebut yang telah dihasilkan
dan/atau merupakan pernyataan untuk mengikatkan diri secara definitif
sesuai dengan kesepakatan para pihak.
9. Peng
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seperti kebanyakan orang ketahui bahwa selain adanya hukum nasional yang mengatur
dan berlaku di suatu negara juga terdapat hukum lain yang lebih tinggi yang mengatur
hubungan antara negara-negara di dunia maupun subjek hukum lainnya. Adanya hukum
internasional dan hukum nasional ini juga menjadi pokok bahasan yang menarik untuk di
bahas yang mana dalam kaitan antar keduanya. Pertanyaan yang timbul tentang keberadaan
kedua hukum tersebut apakah keduanya terpisah dan dapat dikatakan berdiri sendiri-sendiri
atau keduanya merupakan bagian dari suatu sub sistem yang lebih besar yaitu tatanan sistem
hukum yang lebih besar lagi.
Hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional masih menarik, karena
selalu ada perkembangan saling mempengaruhi antara keduanya dan terkadang saling
bertentangan dalam beberapa kaedahnya. Ketika sebagian akademisi masih mempertanyakan
status hukum internasional dalam hukum nasional, di saat yang sama hukum internasional
telah benar-benar nyata dan mampu mempengaruhi tatanan hukum nasional dalam semua
aspek. Sebagaimana dibahas di atas bahwa dilihat dari pembentukannya ada perbedaan yang
jelas antara hukum internasional dengan hukum nasional (State Law/al Qonun al
Dakhily),yang tentunya skala penerapannya juga berbeda. Apakah hukum internasional
mempunyai kekuatan memaksa sebagaimana hukum nasional juga sudah dibahas secara
teoretis di atas. Namun, jika sebuah negara sebagai personalitas internasional mengakui
kaedah tertentu dalam hukum internasional dan berkehendak untuk menaatinya, apakah
dengan begitu secara serta merta kaedah internasional dapat diterapkan di dalam hukum
nasional?
Dengan adanya dua hukum yang berperan penting dalam pengatuan tatanan kehidupan
individu ataupun negara akan melahirkan suatu kombinasi hukum dalam penyelesaian
masalah-masalah baik masalah kenegaraan maupun individu atau subyek hukum yang lainya.
Munculnya suatu masalah atau fenomena yang menyulitkan hukum internasional ataupun
hukum nasional mengatasinya akan mempersulit untuk penegakan hukum dalam menentukan
hukum mana yang didahulukan mengingat berlakunya hukum internasional tersebut tidaklah
mutlak dan harus menyesuaikan dengan hukum nasional dalam suatu negara tertentu.
Persoalan tempat atau kedudukan hukum internasional dalam rangka hukum secara
keseluruhan didasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu jenis atau bidang hukum, hukum
internasional merupakan bagian dari pada hukum pada umumnya. Anggapan atau pendirian
demikian tidak dapat dielakkan apabila kita hendak melihat hukum internasional sebagai
suatu perangkat ketentuan-ketentuan dan azas-azas yang efektif yang benar-benar hidup di
dalam kenyataan dan karenanya mempunyai hubungan yang efektif pula dengan ketentuanketentuan atau bidang-bidang hukum lainnya, di antaranya yang paling penting adalah
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam masing-masing
lingkungan kebangsaannya yang dikenal dengan nama hukum nasional. Karena pentingnya
hukum nasional masing-masing negara dalam konstelasi politik dunia dewasa ini dengan
sendirinya pula persoalan bagaimanakah hubungan antar berbagai hukum nasional itu dengan
hukum internasional.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah, diantaranya :
1.2.1
Bagaimana hubungan hukum internasional dengan hukum nasional?
1.2.2
Bagaimana penerapan hukum internasional ditingkat nasional?
BAB III
PEMBAHASAN
2.1 Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional
Tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional terdapat dua teori yang
utama. Yakni teori monoisme dan dualisme. Teori monoisme menyatakan bahwa hukum
internasional dan hukum nasional masing – masing merupakan dua aspek dari satu sistem
hukum. Struktur hukum intern menetapkan bahwa hukum mengikat individu secara
perorangan dan secara kolektif. Hukum internasional mengikat individu secara kolektif
sedangkan hukum nasional mengikat individu secara perorangan. Teori dualisme menyatakan
bahwa hukum internasional dan hukum nasional masing – masing merupakan dua sistem
hukum yang berbeda secara intrinsik. Triepel menyatakan bahwa hukum internasional
berbeda dengan hukum nasional karena berbeda subyek dan sumbernya. (Sugeng Istanto,
1994 : 8)
Selain teori monoisme dan dualisme diatas terdapat juga teori koordinasi yang bisa
dikatakan sebagai kelompok moderat. Teori ini beranggapan apabila hukum internasional
memiliki lapangan berbeda sebagaimana hukum nasional, sehingga kedua sistem hukum
tersebut memiliki keutamaan di wilayah kerjanya masing – masing. Kelompok ini
beranggapan hukum internasional dengan hukum nasional tidak bisa dikatakan terdapat
masalah pengutamaan. Masing – masing berlaku dalam eranya sendiri. Oleh karena itu tidak
ada yang lebih tinggi atau lebih rendah diantara hukum internasional atau hukum nasional.
Anzilotti berpahaman bahwa hukum nasional ditujukan untuk ditaati sedangkan hukum
internasional dibentuk dengan dasar persetujuan yang dibuat antar Negara ditujukan untuk
dihormati. Pemahaman anzilotti ini pada saat ini sangat diragukan. Karena jika hukum
internasional hanya didasarkan pada persetujuan, sebagaimana tercermin dalam prinsip pacta
sunt servanda, maka persoalan – persoalan yang bersama dan mendesak seperti perlindungan
terhadap lingkungan dan HAM akan menemui jalan buntu. Dengan demikiann, perbedaan
antara hukum nasional dan hukum internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh
kelompok dualisme tersebut diatas untuk kurun waktu sekarang ini sudah tidak relevan lagi.
Hal ini disebatkan karena sudah terjadi perubahan dan perkembangan yang sangat mendasar
atas struktur masyarakat internasional maupun hukum internasional itu sendiri. (Jawahir
Thontowi, Pranoto Iskandar 2006 : 82)
Berbicara mengenai hal hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional
terdapat dua aspek yang perlu dibahas, yaitu yang pertama adalah aspek teoritis dan aspek
praktis. Pada aspek teoritis negara dapat menganut salah satu dari dua paham baik teori
dualisme atau monisme. pada hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional.
Paham dualisme adalah perpanjangan tangan dari positivisme klasik yang malandaskan
kaedah hukum internasional atas dasar kehendak mutlak negara sebagai personalitas
internasional. Dualisme memandang bahwa sistem hukum internasional sama sekali terpisah
dari sistem hukum nasional, keduanya mempunyai posisi yang berbeda. Ada dua perbedaan
fundamental dari kedua sistem hukum tersebut, yaitu; Subyek hukum, subyek hukum
nasional adalah individu-individu, sedangkan subyek hukum internasional adalah negaranegara. Sumber hukum, sumber hukum nasional adalah kehendak negara tersebut secara
mutlak yang dikeluarkan oleh badan legislatif negara dan harus ditaati, sedangkan sumber
hukum internasional adalah kehendak bersama dari negara-negara yang mempunyai kekuatan
menaati atau menolak yang sama, dan dilandaskan atas norma Pacta Sunt Servanda.
Lembaga peradilan negara tidak dapat menjadikan hukum internasional sebagai sumber
materil di pengadilan nasional, kecuali kaedah internasional tersebut telah melewati proses
transformasi, dan begitu juga sebaliknya. Walaupun terdapat perbedaan fundamental antara
kedua kaedah hukum, bukan berarti tidak ada sinkronisasi dalam tatanan praktis. Contoh,
aturan internasional tentang Warga Negara Asing yang terdapat pada perjanjian internasional
memerlukan instrumen nasional pada pelaksanaanya melalui aturan yang dikeluarkan oleh
badan legislatif negara.
Paham kedua, paham monisme. Penganut monisme menganggap semua hukum sebagai
suatu ketentuan tunggal yang tersusun dari kaedah-kaedah hukum mengikat, baik mengikat
negara-negara, individu-individu atau kesatuan lain yang juga merupakan personalitas
internasional. sebagai penganut monisme berpendapat bahwa kaedah hukum baik itu
internasional maupun nasional lahir melalui hipotesa-hipotesa yang saling berkaitan antara
satu dan lainnya, dan merupakan satu kesatuan walaupun hipotesa tersebut masih dalam
tatanan abstrak. Dari hipotesa tersebut akan muncul sebuah struktur hukum yang bersifat
universal, yang mengikat segenap individu baik itu sebagai hukum internasional maupun
sebagai hukum nasional.
Paham kesatuan kaedah antara hukum internasional dengan hukum nasional yang dianut
paham monisme menuntut adanya pembagian tingkat preferensi antara kedua sistem hukum
tersebut. Kelsen berpendapat bahwa masalah primat hukum harus terlebih dulu melewati
proses analisis struktural, suatu analisa yang dilakukan terhadap prinsip-prinsip dan kaedahkaedah yang pada akhirnya mencapai pada satu norma fundamental tertinggi yang bisa saja
terdapat pada hukum internasional atau pada hukum nasional. Sistem hukum yang
mengandung norma tertinggi itulah yang patut mendapat preferensi. Tetapi pada tatanan
praktisnya pendapat Kelsen ini dirasa terlalu abstrak dan tidak efisien. Primat hukum
internasional di atas hukum nasional: tingkat preferensi diberikan kepada kaedah hukum
internasional karena hukum internasional yang mengatur kewenangan negara-negara, dan
ketika Negara mengatur permasalahan internal saat itu hukum internasional sedang
memberikan mandat kepada negara untuk mengaturnya. Negara sebagai personalitas
internasional mengalami perubahan sistem hukum ketika terjadi perubahan konstitusi atau
revolusi, sedangkan hukum internasional tidak akan berubah sistem hukumnya walaupun
terjadi perubahan konstitusi dalam negeri. Hukum internasional mengikat negara-negara baru
dengan atau tanpa persetujuan dari negara bersangkutan, maka primat hukum dalam hal ini
harus diberikan kepada hukum internasional.
Sebagian berpendapat bahwa tidak secara keseluruhan preferensi diberikan kepada
hukum internasional, karena dilihat dari sejarahnya hukum internasional merupakan cabang
ilmu baru setelah adanya hukum nasional. Penganut primat hukum internasional mencoba
menjawab bahwa mata rantai yang menghubungkan hukum internasional dengan hukum
nasional bukan mata rantai sejarah, namun mata rantai teknis dan secara teknis hukum
internasional mempunyai kewenangan lebih tinggi dari pada hukum nasional. Primat hukum
nasional di atas hukum internasional: primat ini didukung oleh penganut paham monisme,
menurutnya hukum internasional tidak lain adalah hanya perpanjangan tangan dari hukum
nasional, karena hukum internasional terbentuk atas dasar kehendak negara, secara tidak
langsung hukum internasional tunduk kepada yang membentuknya, Negara. Hukum tertinggi
Negara adalah konstitusi maka, konstitusi mempunyai preferensi lebih dari pada hukum
internasional. Kritik yang ditujukan pada pandangan ini adalah, mengesampingkan kaedahkaedah hukum internasional yang tidak berasal perjanjian internasional melainkan dari
tatakrama internasional, yang membentuk opini publik internasional untuk taat terhadap
kaedah tertentu sebelum negara tersebut melahirkan kehendaknya. Bahkan, cukup berlebihan
jika hukum internasional harus menyesuaikan dengan kaedah hukum nasional. Dalam
beberapa kasus, pengadilan internasional telah memutuskan preferensi hukum internasional
atas hukum nasional. Mayoritas negara-negara dunia baik secara eksplisit maupun implisit
menganut paham monisme dengan primat hukum internasional di atas hukum nasional, ada
keterkaitan antara hukum internasional dengan hukum nasional dan kaedah hukum nasional
seyogyanya
selaras
dengan
kaedah
hukum
internasional.
(http://fsqcairo.blogspot.com/2010/03/prolog-pembahasan-tentang-hubungan.html).
Perbedaan antara hukum internasional dengan hukum nasional
Disamping memiliki hubungan satu sama lain hukum internasional dan hukum nasional
juga memiliki perbedaan. Terdapat perbedaan – perbedaan yang krusial antara hukum
nasional dengan hukum internasional, pertama adalah objek pengaturan dari kedua sistem
hukum itu sendiri terdapat perbedaan. Hukum internasional memiliki negra sebagai objek
utama dari pengaturan. Sedangkan hukum nasional lebih menekankan pada pengaturan
hubungan antar individu dengan individu dan Negara dalam wilayah jurisdiksi dari masing –
masing Negara. Akan tetapi, pengertian ini tidak menutup kemungkinan akan terjadinya
tumpang tindih mengingat pada perkembangan selanjutnya hukum internasional, sesuai
dengan hakikatnya, ‘supreme’ dibanding hukum HAM internasional. Dalam hukum HAM
internasional, Negara dibawah pengawasan organ – organ traktat missal the human rights
committee, sebagai organ dengan fungsi quasy-judicial dari konvensi internasional tentang
Hak-hak sipil dan politik, internasional Conenant Law Civil and Political Right ( ICCPR)
Cara pandang kedua adalah dengan membedakan model atau bentuk hukum yang sama
sekli berbeda. Apabila digunakan pengertian mengenai hukum dari sudut pandang hukum
nasional untuk menjelaskan hukum internasional, dapat berakhir pada peniadaan eksistensi
hukum internasional. Hukum internasional tidak memiliki badan-badan seperti legislative,
eksekutif dan yudikatif sebagaimna halnya dalam hukum nasional. Meskipun terdapat majelis
umum PBB yang sering berlaku sebagai badan legislative tidak dapat dianalogikan sebagai
parlement ataupun ICJ, dianalogikan sebagai lembagayudikaif,. ICJ hanya menangani kasus
yang
dserahkan
oleh
Negara
melalui
kesepakatan,
yang
tertuang
dalamcompromis, pernyataan para pihak bersengketa untuk mengakui kopetensi dari ICJ.
Oleh karena itu jelaslah bahwa kedua hukum tersebut memiliki perbedan yang substansial.
Dan terakhir, perbedaan yang sangat menonjol dapat dibuktikan melalui prinsif-prinsif
hukum internasional yang sangat mendasarkan pada prinsif persamaan subjek Negara sebagai
dasar terbentuknya hukum .( Jawahir dan Pranoto, 2006,78). Seperti yang dapayt dilihat
dalam proses pembentukan huku kebiasaan atau traktat, yang menuntut supaya terdapatnya
persetujuan dari Negara-negara atas dasar persamaan. Hal mana prinsif ini tidak begitu
menonjol dalam hukum nasional yang serba tersentralisir.
Oleh karena itu, Lauterpacht menegaskan hukum nasional yaitu suatu hukum yang
berdaulat atas subjek individu, sedangkan hukum bangsa-bangsa merupakan suatu hukum
yang berada di bawah, melainkan hukum yang berdaulat antara Negara-negara, dan oleh
karena itu hukum ini lebih lemah ( International Law is a law of sovereign over individual
subjected to his sway, the law of nation is a law not above, but between, sovereign, and is
therefore a weaker law) . ( Jawahir dan Pranoto, 2006, 79)
Pengutamaan Hukum Internasional Atau Hukum Nasional
Kelsen, dengan menggunakan doktrin hierarkinya menyatakan bahwa hukum
internasional harus diutamakan bila postulat fundamental yang bertentangan itu termasuk
hukum internasional. Sebaliknya apabila postulat fundamental hal yang bertentangan itu
termasuk hukum nasional maka hukum nasionalah yang harus diutamakan. Teori hierarkinya
kelsen menyatakan bahwa ketentuan hukum berlaku dan mengikat berdasarkan ketentuan
hukum atau prinsif hukum lain yang lebih tinggi yang akhirnya berdasarkan postulat
fundamental. Postulat fundamental ini dapat merupakan bagian dari hukum internasional atau
dapat pula merupakan bagian dari hukum nasional.
Starke, yang juga menganut monoisme, tidak menyetujuai pengutamaan hukum
nasional terhadap hukum internasional berdasrakan pada dua alasan yaitu : pemberian
pengutamaan kepada hukum nasional (negara) yang jumlahnya lebih dari 150 di dunia akan
menimbulkan anarkhi. Disamping itu, pengutamaan hukum nasional terhadap hukum
internasional akan mengakibatkan ketergantungan berlakunya hukum internasional pada
hukum nasional. Dengan kata lain, bila hukum nasional berubah hukum internasional akan
menjadi berubah pula. Pendapat itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Hukum
internasional berlaku tanpa tergantung pada hukum nasioanal. Konferensi London tahun 1831
menetapkan bahwa perjanjian internasional tetap berlaku bagi negara pihak meskipun terjadi
perubahan intern di negara tersebut. Strake berpendapat bahwa dalam hal terdapat
pertentangan hukum internasional dan hukum nasional, hukum internasional mendapat
pengutamaan. Starke membandingkan hubungan antara hukum internasional dengan hukum
nasional itu seperti halnya hubungan antara hukum negara federal dengan negara bagiaannya.
Dalam negara federal, negara bagian bebas menetapkan hukumnya sendiri tetapi dibatasi oleh
konstitusi federal. Demikian juga halnya dalam masyarakat internasional, negara berdaulat
menetapkan hukum negaranya, tetapi kedaulatannya dibatasi oleh hukum internasional.
Starke mengatakan bahwa tidak semua ketentuan hukum internasional harus diutamakan
terhadap hukum nasional. Hanya hukum konstitusi internasional yang mendapat
pengutamaan terhadap hukum nasional.
Sehubungan dengan hubungan pengutamaan antara hukum internasional dan hukum
nasional, dewasa ini dikenal juga konsep “concept of opposability”. Konsep ini menyatakan
bahwa ketentuan hukum nasional, yang sesuai dengan hukum internasional, secara sah dapat
digunakan untuk menolak ketentuan hukum internasional, yang digunakan negara lain
sebagai dasar tuntutan diperadilan internasional. Dengan demikian, hukum nasional suatu
negara dapat juga diutamakan berlakunya terhadap hukum internasional.
2.2 Penerapan hukum internasional ditingkat nasional
Kedudukan hukum internasional dalam peradilan nasional suatu Negara terkait
dengan doktrin ‘inkorporasi’ dan doktrin ‘transformasi’. Doktrin inkorporasi menyatakan
bahwa hukum internasional dapat langsung menjadi bagian dari hukum nasional. Dalam hal
suatu Negara menandatangani dan meratifikasi traktat, maka perjanjian tersebut dapat secara
langsung mengikat terhadap para warga Negara tanpa adanya sebuah legislasi terlebih
dahulu. Contoh seperti amerika serikat, inggris, kanada, Australia dan Negara – Negara
lainnya.
Sedangkan doktrin terakhir menyatakan sebaliknya tidak terdapat hukum
internasional dalam hukum nasional sebelum dilakukannya ‘transformasi’ yang berupa
pernyataan terlebih dahulu dari Negara yang bersangkutan. Dalam yang berupaya pernyataan
terlebih dahulu dari Negara yang bersangkutan. Dalam kata lain, traktat dapat digunakan
sebagai sumber hukum nasional di pengadilan sebelum dilakukannya ‘transformasi’ ke dalam
hukum nasional.
Doktrin inkorporasi beranggapan bahwa hukum internasional merupkan bagian yang
secara otomatis menyatu dengan hukum nasional. Dan doktrin ini lebih mendekati pada teori
monoisme yang tidak memisahkan antara kedua system hukum nasional dan system hukum
internasional. Sedangkan doktrin transformasi menuntut adanya tindakan positif dari Negara
yang bersangkutan. Sebagaimana doktrin ini juga dikembangkan oleh teori dualisme,
mendapatkan contohnya di Negara – Negara asia tenggara, termasuk juga di Indonesia.
Indonesia
Di Indonesia pemerintah secara terang – terangan mengakui akan pentingnya hukum
internasional. Sehingga tidak perlu kiranya untuk membahas mengenai alasan mengapa
hukum internasional dapat mengikat Negara – Negara baru, yang pada umumnya merupakan
akibat dari proses dekolonisasi.
1.
Hukum Kebiasaan Internasional
Berkenaan dengan hukum kebiasaan, praktek Indonesia belum menampakkan adanya
sikap yang tegas. Namun, untuk beberapa hal, Indonesia menerima hukum kebiasaan
internasional sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia. Misalnya, hukum kebiasaan
yang berlaku di laut, seperti tentang hak lintas damai bagi kapal – kapal asing di laut teritorial
Indonesia diakui dan diterapkan oleh Indonesia serta dihormati pula oleh kapal – kapal asing,
terutama sekali setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan.
Selain itu Indonesia juga pernah mengsampingkan kaedah hukum kebiasaan
internasional, dalam penerapan lebar laut territorial. Menurut hukum kebiasaan internasional
lama, lebar laut territorial Negara – Negara adalah sejauh 3 (tiga) mil, diukur dari garis
pangkal normal. Hukum kebiasaan internasional ini juga diterima sebagai bagian dari hukum
nasional Indonesia yaitu dalam Undang – Undang peninggalan jaman belanda yang terkenal
dengan sebutan teritoriale zee en maritieme kringen ordonantie (stb. 1939 Nomor 442). Ini
masih berlaku alam kemerdekaan Indonesia melalui pasal 2 aturan peralihan undang-undang
dasar 1945. Dalam stb tersebut diterapkan lebar laut territorial hindia belanda sejauh 3mil laut
diukur dari garis pangkal normal. Sampai disini dapat dikemukakan bahwa terdapat
kesesuaian antara kaedah hukum kebiasaan internasionl mengenal lebar laut territorial dengan
hukum atau undang-undang Indonesia mengenai hal yang sama.
Akan tetapi, pada tanggal 13 desember 1957 indonesia secara sepihak mengklaim
lebar leut territorial 12 mil laut berdasarkan penarikan garis pangkal lurus dari ujung ke
ujung. Konsekuensinya, Stb Tahun 1939 nomor 442 tersebut sepanjang menyangkut lebar
laut territorial dan system penarikan garis pangkal normal dinyatakan tidak berlaku. Tindakan
ini menunjukkan bahwa Indonesia lebih mengutamakan undang – undang atau hukum
nasionalnya walaupun undang – undang nasionalnya itu lahir belakangan dibandingkan
dengan hukum kebiasaan internasional tersebut.
2. Hukum Perjanjian Internasional
Beda halnya dengan sikap pemerintah Indonesia terhadap perjanjian internasional.
Dalam prakteknya, sikap Indonesia terhadap perjanjian internasional dipengaruhi oleh
beberapa sebab. Pertama,perubahan sistem pemerintahan yang pernah berlaku dalam sejarah
perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia praktek
Indonesia belumlah begitu jelas. Karena pada masa itu (antara tahun 1945-1950) Indonesia
masih dalam taraf mempertahankan diri dan eksistensinya, terhadap ancaman dan serangan
dari pihak luar maupuhn serangan dari dalam negeri. Dalam kondisi demikian, Indonesia
tidak mudah untuk menata kehidupan ketatanegaraan dan konstitusinya secara baik dan
normal.
Kedua, perubahan konstitusi Republik Indonesia Serikat ( 27 desember1949- 17
agustus 1950 dan pada masa berllakunya UUDS RI tahun 1950- 1959 praktek Indonesia
menunjukan kecenderungan yang ketat terhadap masuknya perjanjian internasional menjadi
hukum nasional Indonesia. Adapun pada masa berlakunya kembali UUD 1945, sebagai
landasan yuridis bagi berlakunya suatu perjanjian internasional didalam hukum nasional
Indonesia. Pada pasal 11 UUD 1945 setelah amandemen, yang berbunyi sebagai berikut, ‘
presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian denga Negara lain’. Dominasi kekuasaan eksekutif dalam
hubungan luar negeri, tampaknya jauh lebih terjamin dalam ketentuan pasal 11,12, UUD
1945 sbelum di amandemen.
Dalam hubungan ini yang paling penting untuk diketahui adalah yang berkenaan
dengan pembuatan perjanjian dengan Negara lain. Pembuatan perjanjian tersebut menyangkut
Indonesia dan Negara lain yang nantinya perjanjian itu akan mengikat bagi kedua pihak dan
akan menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Akan tetapi, hanya dengan membaca
pasal 11 itu saja, masalah yang menjadi pokok bahasan ini belumlah begitu jelas. Bahkan,
pasal 11 itu sendiri masih menimblkan berbagai masalah yang membutuhkan jawaban yang
tegas.
Pasal 11 UUD 1945 perubahan keempat menyatakan
(i)
presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
(ii)
Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainya yang menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara,
dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
(iii)
Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur oleh undang-undang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional terdapat dua teori
yang utama. Yakni teori monoisme dan dualisme. Teori monoisme menyatakan bahwa hukum
internasional dan hukum nasional masing – masing merupakan dua aspek dari satu sistem
hukum. Struktur hukum intern menetapkan bahwa hukum mengikat individu secara
perorangan dan secara kolektif. Hukum internasional mengikat individu secara kolektif
sedangkan hukum nasional mengikat individu secara perorangan. Teori dualisme menyatakan
bahwa hukum internasional dan hukum nasional masing – masing merupakan dua sistem
hukum yang berbeda secara intrinsik. Triepel menyatakan bahwa hukum internasional
berbeda dengan hukum nasional karena berbeda subyek dan sumbernya.
Selain teori monoisme dan dualisme diatas terdapat juga teori koordinasi yang bisa
dikatakan sebagai kelompok moderat. Teori ini beranggapan apabila hukum internasional
memiliki lapangan berbeda sebagaimana hukum nasional, sehingga kedua sistem hukum
tersebut memiliki keutamaan di wilayah kerjanya masing – masing. Kelompok ini
beranggapan hukum internasional dengan hukum nasional tidak bisa dikatakan terdapat
masalah pengutamaan. Masing – masing berlaku dalam eranya sendiri. Oleh karena itu tidak
ada yang lebih tinggi atau lebih rendah diantara hukum internasional atau hukum nasional.
Anzilotti berpahaman bahwa hukum nasional ditujukan untuk ditaati sedangkan hukum
internasional dibentuk dengan dasar persetujuan yang dibuat antar Negara ditujukan untuk
dihormati. Pemahaman anzilotti ini pada saat ini sangat diragukan. Karena jika hukum
internasional hanya didasarkan pada persetujuan, sebagaimana tercermin dalam prinsip pacta
sunt servanda, maka persoalan – persoalan yang bersama dan mendesak seperti perlindungan
terhadap lingkungan dan HAM akan menemui jalan buntu. Dengan demikiann, perbedaan
antara hukum nasional dan hukum internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh
kelompok dualisme tersebut diatas untuk kurun waktu sekarang ini sudah tidak relevan lagi.
Hal ini disebatkan karena sudah terjadi perubahan dan perkembangan yang sangat mendasar
atas struktur masyarakat internasional maupun hukum internasional itu sendiri.
Disamping memiliki hubungan satu sama lain hukum internasional dan hukum nasional
juga memiliki perbedaan. Terdapat perbedaan – perbedaan yang krusial antara hukum
nasional dengan hukum internasional, pertama adalah objek pengaturan dari kedua system
hukum itu sendiri terdapat perbedaan. Hukum internasional memiliki negra sebagai objek
utama dari pengaturan. Sedangkan hukum nasional lebih menekankan pada pengaturan
hubungan antar individu dengan individu dan Negara dalam wilayah jurisdiksi dari masing –
masing Negara.
Cara pandang kedua adalah dengan membedakan model atau bentuk hukum yang sama
sekli berbeda. Apabila digunakan pengertisn mengenai hukum dari sudut pandang hukum
nasional untuk menjelaskan hukum internasional, dapat berakhir pada peniadaan eksistensi
hukum internasional. Hukum internasional tidak memiliki badan-badan seperti legislative,
eksekutif dan yudikatif sebagaimna halnya dalam hukum nasional.
Kedudukan hukum internasional dalam peradilan nasional suatu Negara terkait dengan
doktrin ‘inkorporasi’ dan doktrin ‘transformasi’. Doktrin inkorporasi menyatakan bahwa
hukum internasional dapat langsung menjadi bagian dari hukum nasional.
Sedangkan doktrin terakhir menyatakan sebaliknya tidak terdapat hukum internasional
dalam hukum nasional sebelum dilakukannya ‘transformasi’ yang berupa pernyataan terlebih
dahulu dari Negara yang bersangkutan.
Doktrin inkorporasi beranggapan bahwa hukum internasional merupkan bagian yang
secara otomatis menyatu dengan hukum nasional. Dan doktrin ini lebih mendekati pada teori
monoisme yang tidak memisahkan antara kedua system hukum nasional dan system hukum
internasional. Sedangkan doktrin transformasi menuntut adanya tindakan positif dari Negara
yang bersangkutan. Sebagaimana doktrin ini juga dikembangkan oleh teori dualisme,
mendapatkan contohnya di Negara – Negara asia tenggara, termasuk juga di Indonesia.
Di Indonesia pemerintah secara terang – terangan mengakui akan pentingnya hukum
internasional. Sehingga tidak perlu kiranya untuk membahas mengenai alasan mengapa
hukum internasional dapat mengikat Negara – Negara baru, yang pada umumnya merupakan
akibat dari proses dekolonisasi.
Hukum Kebiasaan Internasional
Berkenaan dengan hukum kebiasaan, praktek Indonesia belum menampakkan adanya
sikap yang tegas. Namun, untuk beberapa hal, Indonesia menerima hukum kebiasaan
internasional sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia. Misalnya, hukum kebiasaan
yang berlaku di laut, seperti tentang hak lintas damai bagi kapal – kapal asing di laut teritorial
Indonesia diakui dan diterapkan oleh Indonesia serta dihormati pula oleh kapal – kapal asing,
terutama sekali setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan.
Hukum Perjanjian Internasional
Beda halnya dengan sikap pemerintah Indonesia terhadap perjanjian internasional.
Dalam prakteknya, sikap Indonesia terhadap perjanjian internasional dipengaruhi oleh
beberapa sebab. Pertama,perubahan sistem pemerintahan yang pernah berlaku dalam sejarah
perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia praktek
Indonesia belumlah begitu jelas. Karena pada masa itu (antara tahun 1945-1950) Indonesia
masih dalam taraf mempertahankan diri dan eksistensinya, terhadap ancaman dan serangan
dari pihak luar maupuhn serangan dari dalam negeri. Dalam kondisi demikian, Indonesia
tidak mudah untuk menata kehidupan ketatanegaraan dan konstitusinya secara baik dan
normal.
Kedua, perubahan konstitusi Republik Indonesia Serikat ( 27 desember1949- 17
agustus 1950 dan pada masa berllakunya UUDS RI tahun 1950- 1959 praktek Indonesia
menunjukan kecenderungan yang ketat terhadap masuknya perjanjian internasional menjadi
hukum nasional Indonesia. Adapun pada masa berlakunya kembali UUD 1945, sebagai
landasan yuridis bagi berlakunya suatu perjanjian internasional didalam hukum nasional
Indonesia. Pada pasal 11 UUD 1945 setelah amandemen, yang berbunyi sebagai berikut, ‘
presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian denga Negara lain’. Dominasi kekuasaan eksekutif dalam
hubungan luar negeri, tampaknya jauh lebih terjamin dalam ketentuan pasal 11,12, UUD
1945 sbelum di amandemen.
1.Perjanjian internasional (
international conventions
) , b a i k y a n g b e r s i f a t umum, maupun khusus;2 . K e b i a s a a n
internasional (
international custom
);3 . P r i n s i p - p r i n s i p h u k u m u m u m (
general principles of law
) y a n g d i a k u i o l e h negara-negara beradab;4 . K e p u t u s a n p e n g a d i l a n (
judicial decision
) dan pendapat para ahli yang
telahd i a k u i k e p a k a r a n n y a , y a n g m e r u p a k a n s u m b e r h u k u m i n t e r n a
s i o n a l tambahan.Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan
exa e q u o e t b o n o
, y a i t u d i d a s a r k a n p a d a k e a d i l a n d a n k e b a i k a n , d a n b u k a n berdasa
rkan hukum, namun hal ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar negaranegara yang bersengketa. Keputusan Mahkamah Internasional sifatnyaf i n a l , t i d a
k d a p a t b a n d i n g d a n h a n y a m e n g i k a t p a r a p i h a k . K e p u t u s a n j u g a diambil
atas dasar suara mayoritas. Yang dapat menjadi pihak hanyalah
negara,n a m u n s e m u a j e n i s s e n g k e t a d a p a t d i a j u k a n k e M a h k a m a h I
nternasional.Masalah pengajuan sengketa bisa dilakukan oleh sa
l a h s a t u p i h a k s e c a r a unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari
pihak yang lain.
Jikat i d a k a d a p e r s e t u j u a n , m a k a p e r k a r a a k a n d i h a p u s d a r i d a f t a r M a h k
amahInternasional, karena Mahkamah Internasional tidak akan memutus
p e r k a r a secara
in-absensia
(tidak hadirnya para pihak).
BAB IIIKESIMPULAN
Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional,
merupakandua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda.
Hukum internasional dan
hukumn a s i o n a l m e r u p a k a n d u a s i s t e m h u k u m y a n g t e r p i s a h , t i d a k
s a l i n g m e m p u n y a i hubungan superioritas atau subordinasi. Berlakunya
h u k u m i n t e r n a s i o n a l d a l a m lingkungan hukum nasional memerlukan ratifikasi
menjadi hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar keduanya, maka
yang diutamakan adalah hukum nasional suatunegara.Sedangkan
menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasionalsaling berkaitan
satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional ituadalah
lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar
negeri.Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan
hukuminternasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum
internasional.(Burhan Tsani, 1990; 26)Berangkat dari pentingnya hubungan
lintas negara disegala sektor kehidupanseperti politik, sosial, ekonomi dan lain
sebagainya, maka sangat diperlukan hukumyang diharap bisa menuntaskan segala
masalah yang timbul dari hubungan antar negara.Hukum Internasional ialah sekumpulan
kaedah hukum wajib yang mengatur hubunganantara person hukum internasional (Negara
dan Organisasi Internasional), menentukanhak dan kewajiban badan tersebut serta membatasi
hubungan yang terjadi antara personhukum tersebut dengan masyarakat sipil.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiwisastra Yudha Bhakti, 2003,
Hukum Internasional
, B u n g a R a m p a i , A l u m n i , Bandung.Burhantsani, Muhammad, 1990;
Hukum dan Hubungan Internasional
, Yo g y a k a r t a : Penerbit Liberty.Disarikan dari paparan ilmiah Abdul Hakim Garuda
Nusantara, dalam Dialog Interaktif,“
Arti Pengesahan Dua Kovenan HAM bagi Penegakan Hukum
, ” d i H o t e l Acacia, Jakarta, pada 9 Maret 2006, yang diselenggarakan oleh Komisi
Hukum Nasional RI.Hans Kelsen,
Te o r i U m u m Te n t a n g H u k u m d a n N e g a r a
(terj), (Bandung: Nuansa,2006), hal. 512-513.J.G. Starke,
Pengantar Hukum Internasional Buku 2
(terj), (Jakarta: Sinar Grafika,1992), hal. 98. Lihat juga Boer Mauna,
Hukum Internasional
, (Bandung:Alumni, 2000), hal. 12-13. Lebih lanjut mengenai pandangan Kelsen ini dapat
dilihat dalam beberapa tulisan Kelsen,
Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif
, hal. 353.
Teori Umum Tentang Hukum dan Negara
, hal. 511.
Ibid
, hal. 97.Kusamaatmadja Mochtar, 1999,
Pengantar Hukum Internasional
, Cetakan ke-9, PutraAbardin.Mauna Boer, 2003,
Hukum Internasional; Pengertian, Peran dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,
Cetakan ke-4, PT. Alumni, Bandung.P h a r t i a n a I Wa y a n , 2 0 0 3 ,
Pengantar Hukum Internasional
, P e n e r b i t M a n d a r m a j u , Bandung.S i t u n i F . A . W h i s n u , 1 9 8 9 ,
Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional
, Penerbit Mandar Maju, BandungSuryokusumo, Sumaryo,.(1995) Hukum Diplomatik Teori
dan Kasus, Bandung:Alumni.Soekanto, Soerjono,.(1993) Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata
Hukum, Bandung: CitraAditya.
Sabtu, 24 Mei 2014
Makalah BAB II Hubungan Hukum Internasional dan
Hukum Nasional PKN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum Internasional
Hukum Internasional adalah hukum yang berlaku di dua Negara atau lebih yang mengatur
tentang aktivitas berskala Internasional. Hukum Internasional merupakan hukum antar Negara atau
antar bangsa yang menunjukkan pada kompleks asas dan keedah yang mengatur hubungan
antar masyarakat bangsa-bangsa atau Negara.
2.1.1 Macam-macam Hukum Internasional
Terdapat 2 macam Hukum internasional diantaranya, yaitu:
1. Hukum Publik Internasional merupakan hukum internasional yang
mengatur antara negara yang satu dengan lainnya dalam hubungan
internasional (Hukum ini disebut hukum Antarnegara).
2. Hukum Perdata Internasional merupakan hukum internasional yang
mengatur antara warga negara pada suatu negara dengan warga negara
yang berasal dari negara lain (hukum ini disebut hukum antar bangsa).
Subjek hukum Internasional terdiri dari : Individu, Negara, Tahta Suci /
Vatican, Palang Merah Internasional, Organisasi Internasional.
2.1.2 Asas-asas Hukum Internasional
Berikut ini adalah asas-asas yang berlaku dalam hukum internasional:
1. Asas Teritorial: Negara menjalankan hukum untuk semua orang serta
barang yang ada di wilayahnya.
2. Asas Kebangsaan: setiap warganegara dimanapun keberadaanya tetap
memperoleh perlakuan hukum dari nearanya.
3. Asa Kepentingan Umum: Negara bisa menyesuaikan diri terhadap seluruh
peristiwa atau keadaan yang ada sangkut pautnya dengan kepentingan
umum.
2.2 Pengertian Hukum Nasional
Hukum nasional adalah peraturan hukum yang berlaku di suatu Negara yang terdiri atas prinsipprinsip serta peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat pada suatu Negara.
Hukum Nasional merupakan sebuah sistem hukum yang dibentuk dari proses penemuan,
pengembangan, penyesuaian dari beberapa sistem hukum yang telah ada. Hukum Nasinonal di
Indonesia adalah hukum yang terdiri atas campuran dari sistem hukum agama, hukum eropa,
dan hukum adat. Hukum Agama, itu karena mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam,
maka syari’at Islam lebih mendominasi terutama pada bidang kekeluargaan, perkawinan, dan
warisan. Sistem Hukum Nasional yang diikuti sebagian besar berbasis pada hukum Eropa continental
baik itu hukum perdata maupn hukum pidana. Hukum Eropa yang di ikuti khususnya dari belanda itu
karena di masa lampau Indonesia merupakan Negara jajahan Belanda. Sistem Hukum adat juga
merupakan bagian dari hukum nasional, karena di Indonesia masih kental dengan aturan-aturan adat
setempat dari masyarakat serta budaya yang ada di wilayah Indonesia.
2.3 Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Persoalan tempat hukum internasional dalam rangka hukum secara keseluruhan didasarkan atas
anggapan bahwa sebagai suatu bidang hukum :
“ Hukum Internasional merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Hal ini tidak dapat
dielakan apanila kita hendak melihat hukum internasional sebagai perangkat ketentuan dan
asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam kenyataan, sehingga mempunyai hubungan
dengan hukum nasional”
Karena pentingnya hukum nasional masing-masing negara dalam konstelasi politik dunia dewasa
ini, dengan sendirinya penting pula persoalan bagaimanakah hubungan antara berbagai hukum
nasional itu dengan hukum internasional.
2.3.1 Beberapa pandangan mengenai Hukum Internasional dan Nasional
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa dalam teori ada dua pandangan tentang hukum internasional
yaitu:
-
Pandangan yang dinamakan “Voluntarisme” yang mendasarkan berlakunya hukum internasional ini
pada kemauan negara
-
Pandangan yang “obyektivitas” yang menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini pada
kemauan negara.
Dari pandangan yang berbeda di atas menimbulkan akibat yang berbeda yaitu:
-
Pandangan “Voluntarisme” mengakibatkan adanya hukum internasional dan hukum nasional
sebagai dua satuan perangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah
-
Pandangan obyektivitas menganggapnya dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum . hal ini
erat hubunganya dengan persoalan hubungan hierarki antara kedua perangkat hukum itu baik
masing-masing berdiri sendiri maupun dua perangkat hukum itu merupakan dari satu kesatuan dari
satu keseluruhan tata hukum yang sama.
a. Aliran Dualisme
Tokoh utama dari aliran ini ialah “Triepel” seorang pemuka aliran positivism dan “Anzilotti”pemuka
aliran positivisme dari italia.
Menurut paham dualism, “ daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara”, hukum
internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah satu dari yang
lainnya. Alasan terletak atau didasarkan pada kenyataan diantaranya, yaitu :
1.) Kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber
yang berlainan, hukum nasional bersumber pada “kemauan negara”, sedangkan hukum internasional
bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara.
2.) Berlaianan subyek hukumnya
Subyek hukum nasional dalah orang-perorangan, sedangkan subyek hukum dari hukum internasional
adalah negara.
3.) Perbedaan dalam strukturnya
Lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum dalam kenyataannya seperti, mahkamah dan
organ eksekutif hanya ada dalam hukum nasional.
4.) Daya laku atau keabsahan kaidah hukum nasional tidak terpengaruh oleh kenyataan bahwa hukum
nasional itu bertentangan dengan hukum internasional.
Akibat Pandangan Dualisme ini, antara lain :
1.) Kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada
perangkat hukum yang lain. (tidak ada persoalan hierarki)
2.) Tidak mungkin ada pertentangan antara kedua perangkat hukum tersebut.
3.) Ketentuan hukum internasional memerlukan tarnsformasi menjadi hukum nasional.
b. Paham Aliran Monisme
Paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup
manusia. Dengan demikian hukum internasional dan hukum nasional merupakan bagian dari satu
kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia.
Akibat pandangan ini:
Bahwa antara dua perangkat ketentuan hukum ini. mungkin ada hubungan
hierarki
Persoalan hierarki anatara dua perangkat hukum (hukum nasional dan hukum internasional) ini.
melahrkan beberapa sudut pandang yang berbeda dalam aliran monisme. Mengenai hukum manakah
yang utama. Ada pihak yang beranggapan bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan
hukum internasional yang utama adalah hukum nasional dan ada pandangan yang sebalinya yaitu
bahwa hukum iternasional yang pertama disebut “Paham monisme dengan primat hukum nasional “
dan pandangan yang kedua disebut “ Paham monisme dengan primat hukum internasional”
-
Pandangan monisme dengan primat hukum nasional
Menurut pandangan monisme dengan primat nasional ini, hukum internasional itu tidak lain dari atau
merupakan lanjutan hukum nasional atau tidak lain dari hukum nasional untuk urusan luar negeri atau
“Auszeres Staatsrecht”
Pandangan monisme dengan primat hukum nasional ini pada hakikatnya menganggpa bahwa hukum
internasional itu bersumber pada hukum nasional.
Alasan utama anggapan ini ialah ;
1.) Bahwa tidak ada satu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara di
dunia
2.) Dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional terletak dalam wewenang negara
untuk mengadakan perjanjian internasional
Kelemahan paham monisme ini, ialah :
1.) Terlalu memandang hukum itu sebagai hukum yang tertulis saja, sehingga sebagai hukum
internasional dianggap hanya hukum yang bersumberkan perjanjian internasional saja.
2.) Bahwa pada hakikatnya pendirian paham monisme dengan primat hukum nasional ini merupakan
penyangkalan terhadap adanya hukum internasional , sebab apabila terikatnya negara pada hukum
internasional digantungkan pada hukum nasional. Hal ini sama-sama saja menggantungkan
berlakunya hukum internasional itu pada kemauan negara.
-
Paham monisme dengan primat hukum internasional
1.) Hukum nasional itu bersumber pada hukum internasional karena hukum ini secara hierarkis lebih
tinggi dari hukum nasional
2.) Hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan pada hakikatnya kekeuatan mengikatnya
berdasarkan “ Pendelegasian wewenang “ dari hukum internasional
Kelemahan paham monisme ini :
1.) Pandangan bahwa hukum nasional, itu tergantung kepada hukum internasional (juga kekuatannya )
seolah-olah mendalilkan bahwa hukum internasional telah ada lebih dahulu dari hukum nasional.
2.) Tidak benar bahwa hukum nasional itu kekeuatan mengikatnya diperoleh dari hukum
internasional.
2.4 Proses ratifikasi Hukum Internasional menjadi hukum nasional
Ada beberapa cara agar hukum Internasional menjadi hukum nasional, yaitu :
2.4.1 Proses Ratifikasi menurut UUD 1945
Dasar Hukum Perjanjian Internasional dalam ketentuan UUD 1945 setelah mengalami
perubahan ialah Pasal 11 yang menyatakan:
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
(2) Presiden dalam membuat Perjanjian Internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukkan Undang-Undang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang Perjanjian Internasional diatur dengan
Undang-Undang.
Pasal 11 UUD tersebut satu-satunya Pasal dalam UUD 1945 yang menyebutkan didalamnya
adanya kata “Perjanjian Internasional”, oleh karena itu perlu dikaji lebih dahulu dalam konteks apa
UUD 1945 tersebut mengatur hal Perjanjian Internasional.
Pasal 11 termasuk dalam Bab III yang berjudul Kekuasaan Pemerintahan Negara yang di dalam
substansi pasal-pasalnya mengatur tentang Presiden dalam sistem UUD 1945. Bab III UUD ini
mengalami perubahan yang sangat banyak apabila dibandingkan dengan Bab III UUD sebelum
perubahan. Disamping perubahan isi pasal-pasal perubahan UUD juga menambahkan pasal-pasal
baru dalam Bab III ini yaitu : Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C.
“Pihak Negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat memastikan bahwa apa yang
dinyatakan oleh Presiden Indonesia tidak lain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang
artinya Negara lain tersebut tidak harus perlu berhubungan dengan lembaga Negara yang lain untuk
mengetahui maksud atau kehendak Negara Indonesia dalam membuat kesepakatan dengan
pihaknya.”Pasal 11 sebelum perubahan merupakan pasal tunggal tak berayat yang berbunyi:
“Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian
dan perjanjian dengan Negara lain”, dan setelah perubahan UUD ketentuan yang terdapat dalam
Pasal ini menjadi ayat (1) Pasal 11 tanpa dilakukan perubahan bunyi aslinya. Kedudukan Presiden
dalam UUD setelah perubahan berbeda dengan kedudukan Presiden sebelum perubahan, hal
tersebut dikarenakan adanya perubahan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD. Sebelum perubahan Pasal 5
ayat (1) menyatakan: “Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, sedangkan setelah perubahan Pasal tersebut menjadi
berbunyi: “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat”. Pasal 20 ayat (1) UUD setelah perubahan berbunyi: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Dari perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1)
tersebut terjadi pengalihan pembuatan Undang-Undang dari tangan Presiden ke DPR.
Perubahan demikian juga menyebabkan perubahan pada apa yang dimaksud sebagai
Kekuasaan Pemerintahan Negara oleh Bab III UUD. Sebelum perubahan UUD, Kekuasaan
Pemerintahan Negara yang berada di tangan Presiden meliputi:
(1) kekuasaan eksekutif (vide Pasal 4 ayat (1) UUD);
(2) kekuasaan membentuk Undang-Undang (vide Pasal 5 ayat (1) UUD
sebelum perubahan
(3) kekuasaan sebagai kepala Negara.
Setelah perubahan UUD, Kekuasaaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Bab III menjadi hanya
meliputi kekuasaan saja yaitu:
(1) kekuasaan eksekutif;
(2) kekuasaan sebagai kepala Negara.
Bab III UUD mengandung substansi yang berhubungan dengan lembaga Presiden dalam
sistem UUD 1945 dimana didalamnya termasuk kewenangan Presiden untuk menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Kedudukan Presiden dalam sistem
presidensiil menjalankan dua fungsi sekaligus yang melekat yaitu sebagai kepala eksekutif dan
sebagai kepala Negara. Dengan adanya Pasal 11 tersebut UUD 1945 menetapkan bahwa Presidenlah
yang mewakili Negara dalam melakukan hubungan dengan Negara lain dan bukan lembaga Negara
lainnya. Perjanjian perjanjian yang harus mendapatkan persetujuan DPR adalah perjanjian yang
mengandung materi sebagai berikut :
a. soal-soal politik atau soal-soal yang dapat memengaruhi haluan politik
negara seperti perjanjian-perjanjian persahabatan dan perjanjian-perjanjian
perubahan wilayah atau tapal batas.
b. ikatan-ikatan yang demikian rupa sifatnya sehingga dapat memengaruhi
haluan politik negara, perjanjian ekonomi atau pinjaman uang
c. soal-soal yang menurut UUD atau menurut sistem perundingan harus
diatur dengan undang undang seperti soal kewarganegaraan atau
kehakiman.
d. perjanjian lainnya diluar pihak tersebut, biasanya hanya berbentuk
agreement yang perlu diberitahukan kepada DPR
2.4.2 Proses Ratifikasi menurut UU No.24 tahun 2000
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama
tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara
tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
2. Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu
perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi
(accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan ( ap-prova/).
3. Surat Kepercayaan (Credentials) adalah surat yang dikeluarkan
olehPresiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau
beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menghadiri, merundingan,
dan/atau menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional
4. Organisasi Internasional adalah organisasi antar pemerintah yang diakui
Sebagai subjek hukum internasional dan mempunyai kapasitas untuk
membuat perjanjian internasional
5. Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah
langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian
internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal yang menyangkut
kepentingan publik.
6. Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian
internasional melalui cara-cara sebagai berikut :
a. Penandatangan;
b. pengesahan;
c. pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;
d. cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian
internasional.
7. Pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap penjajakan,
perundingan, perumusan naskah, penerimaan, dan penandatanganan.
8. Penandatanganan suatu perjanjian internasional merupakan persetujuan
atas naskah perjanjian internasional tersebut yang telah dihasilkan
dan/atau merupakan pernyataan untuk mengikatkan diri secara definitif
sesuai dengan kesepakatan para pihak.
9. Peng