PEMBERDAYAAN BURUH MIGRAN PEREMPUAN BERBASIS AGAMA DI KABUPATEN CILACAP

  

PEMBERDAYAAN BURUH MIGRAN PEREMPUAN

BERBASIS AGAMA DI KABUPATEN CILACAP

LAPORAN PENELITIAN

Oleh

  

Ahmad Muttaqin

DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

KABUPATEN CILACAP

KERJASAMA DENGAN

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO

2016

  

ABSTRAK

  Kabupaten Cilacap merupakan salah satu wilayah dengan tingkat buruh migran perempuan yang tinggi. Seiring dengan jumlah tersebut, kasus-kasus yang terkait dengan masalah hukum, kekerasan, dan sengketa hubungan kerja juga tinggi. Akar persoalannya lebih banyak berada di dalam negeri yang terbentang dari pusat hingga daerah (kabupaten dan desa). Masalah ini menjadi hal klasik dalam isu buruh migran dan belum terurai secara konprehensip. Sementara itu, kontribusi buruh migran terhadap negara dan daerah sangat signifikan.

  Di Kabupaten Cilacap, remitansi atau kiriman uang dari luar negeri mencapai angka lebih dari 500 M. Angka ini apabila diperbandingkan dengan APBD Kab. Cilacap mencapai 50 %. Namun demikian, apresiasi dari pemerintah daerah relatif rendah dengan indikator alokasi APBD yang secara khusus diperuntukkan untuk pemenuhan kebutuhan buruh migran perempuan minim. Dalam realitasnya, kapasitas buruh migran perempuan masih dikategorikan rendah. Hal ini dapat dilihat dari jenjang pendidikan yang rata-rata SMP dan kemampuan teknis pekerjaan yang bersifat informal. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya alokasi dari Pemerintah Daerah utuk program-program pemberdayaan. Situasi yang lain adalah komunitas buruh migran perempuan di Cilacap belum terkoneksikan secara organisatoris. Hal inilah yang ditengarai menjadi akar munculmnya masalah-masalah yang dihadapi buruh migran. Lebih ironis apabila maslah tersebut melibatkan pihak lain, buruh migran perempuan cenderung menjadi pihak yang dirugikan. Untuk menggali informasi dan menganalisis isu di atas, metode yang digunakan adalah kajian lapangan dengan analisis kualitatif deskriptif. Pendekatan yang dilakukan adalah sosiologi kritis yang mencoba mengungkap relasi kuasa antarburuh migran dan pihak-pihak terkat. Titik masuk kajian ini adalah peran agama dalam proses pemberdayaan buruh migran perempuan.

  Hasil kajian yang ditampilkan adalah bahwa buruh migran memiliki spirit keagamaan (religiusitas) yang tinggi. Spirit ini kemudian menjadi amunisi atau basis bagi proses pemberdayaan yang dilakukan. Persoalannya adalah kontruk religiusitas buruh migran bersifat tradisional-doktrin sehingga membentuk karakter yang naif. Kenaifan ini kemudian dirubah dengan spirit keagamaan kritis yang bersifat progresif-emansipatoris. Amunisi yang digunakan sama, yaitu religiusitas yang bersifat total. Agama berperan dalam proses penyadaran sosial yang kemudian menggugah semangat kritis dan produktif melalui tafsir ulang dan kajian-kajian kritis atas teks dan ajaran keagamaan.

  

Kata-Kata Kunci: buruh migran perempuan, pemberdayaan, sosiologi kritis,

progresif, emansipatoris.

  

DAFTAR ISI

ABSTRAK ................................................................................................................

  DAFTAR ISI ..............................................................................................................

  BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... BAB II KONSEP PEMBERDAYAAN DAN SIGNIFIKASI AGAMA ................... A. Konsep Pemberdayaan ................................................................................... B. Signifikansi Agama ........................................................................................ BAB III METODE PENELITIAN............................................................................. BAB IV HASIL PENELITIAN ................................................................................. A. Buruh Migran Cilacap .................................................................................... B. Penguatan Kapasitas Buruh Migran Perempuan Cilacap............................... C. Peran Agama dalam Pemberdayaan Buruh Migran ....................................... BAB IV KESIMPULAN............................................................................................ DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN Beragam kasus yang menimpa buruh migran Indonesia (BMI) yang

  secara khusus buruh migran perempuan (BMP) menunjukkan bahwa sistem perlindungan yang dibangun pemerintah tidak cukup protektif. Hal ini karena sistem yang dibagun tidak antisipatif terhadap persoalan-persoalan yang kemungkinan muncul pada seluruh proses penyelenggaraan kerja luar negeri. Kesan reaktif sangat terlihat terutama setelah kasus-kasus hukum yang menimpa BMI/BMP terpublikasi oleh media. Kasus Darsem misalnya, BMP asal Kabupaten Kuningan yang terancam hukuman pancung di Arab Saudi ini baru mendapat perhatian dari pemerintah setelah dilansir oleh media-media

  1 nasional.

  Secara nasional jumlah BMI mencapai angka 6 juta yang tersebar di 52 negara. Setiap tahunnya, BMI menyumbang remitansi sebesar 100 triliyun atau berkontribusi sebesar 2 % dari total GDP (Gross National Product) atau

  2

  pendapatan negara per tahun yang berjumlah 6.500 triliyun. Apabila dikontekstualkan dengan jumlah angkatan kerja yang mencapai 120 juta, maka buruh migran berkontribusi menyerap 5%. Angka ini sangat signifikan dalam mengurai persoalan pengangguran di Indonesia.

  Namun demikian, kontribusi BMI yang sangat besar tersebut belum mendapat imbalan yang sebanding dari pemerintah sebagai pihak yang paling banyak memperoleh manfaat. Kewajiban-kewajiban pemerintah terutama dalam bidang perlindungan hukum masih jauh dari harapan. Pelanggaran hukum yang diterima BMI di negara tempat bekerja banyak yang tidak tercover oleh pemerintah. Rendahanya kontrol dan sistem perlindungan yang dijalankan pemerintah ditengarai sebagai sebab utama kelalaian tersebut.

  Salah satu daerah yang menjadi basis BMI adalah kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Berdasar data Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans), jumlah buruh migran asal Cilacap mencapai lebih dari 7.000. jumlah ini akan bertambah apabila digabung dengan burum migran asal Cilacap yang berangkat tidak melalui jalur formal atau legal. Jumlah yag besar ini berdampak secara langsung terhadap tingkat remitansi yag dalam 3 (tiga) tahun terakhir mengalami peningkatan signifikan. Tahun 2007, remitansi masih ada di bawah 300 M, pada tahun 2008 meningkat menjadi 324 M, tahun 2009 meningkat lagi menjadi 370 M, dan di tahun 2010 sebesar 570 M.

  Namun demikian, kontribusi besar terhadap daerah ini tidak dibarengi dengan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada BMI. Berdasar laporan Local Budget Index (LBI) Lakpesdam dan Fitra Indonesia tahun 2010, alokasi APBD yang diproyeksikan secara khusus bagi kelompok BMI hanya sebesar 250 juta untuk mata anggaran pendidikan latihan kerja luar negeri. Nilai ini sangat tidak sebanding dengan kontribusi BMI menggerakkan ekonomi daerah yang apabila diperbandingkan dengan APBD Cilacap tahun 2012 sebesar 1,2 1

  3

  triliyun mencapai 50%. Ketidakhadiran negara dalam situasi ini secara moral menggerakkan ormas keagamaan untuk memberikan tanggungjawabnya terhadap jama’ah-nya.

  Nahdlatul Ulama (NU) melalui lembaga di bawahnya yaitu Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) melakukan inisiatif pemberdayaan terhadap komunitas buruh migran terutama perempuan untuk lebih produktif dan kritis atas situasi yang melingkupinya. Sebagai ormas keagamaan, nilai-nilai yang menjadi basis pemberdayaan adalah ajaran agama dalam hal ini Islam.

  Agama sebagai basis nilai pemberdayaan dalam banyak sisi tidak secara langsung bisa operasional. Nilai agama membutuhkan proses transformasi dan interpretasi-interpretasi ideologis untuk mendukung gerakan progresif pemberdayaan. Persoalan kemudian adalah bahwa agama selama ini relatif masih dipahami secara naif sebagai sesuatu yang final mutlak, dan transenden sehingga tidak dikritik atau dikontekstualisasikan dengan situasi kekinian. Dengan demikian, proses pemberdayaan berbasis agama melalui 2 (dua) ahap sekaligus, yaitu transformasi nilai keagamaan dan operasionalisasi nilai agama dalam kegiatan-kegiatan produktif pemberdayaan.

3 Laporan penelitian Local Budget Index (LBI) Lakpesdam dan Fitra Indonesia di Cilacap.

  

LBI dilakukan di 47 daerah kabupaten/kota tahun 2009 dan 2010. Untuk sektor publik, salah

satunya alokasi untuk BMI nilainya sangat kecil, yaitu 250 juta. Nilai ini akan semakin kecil

apabila dianalisis secara detile dari sisi belanja yang secara langsung dimanfaatkan oleh BMI. Hal

ini karena setiap program memiliki alokasi untuk biaya operasional yang diambil dari alokasi dana

BAB II KONSEP PEMBERDAYAAN DAN SIGNIFIKASI AGAMA A. Konsep Pemberdayaan Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan

  ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan yang bersifat “people-centered, participatory,

  4 empowering, and sustainable Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata ”.

  memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safetynet).

  Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa konsepsi pembangunan alternatif (alternative development) yang menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender

  5 equality and intergenerational equity Konsep pemberdayaan tidak ”.

  mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, karena keduanya tidak harus diasumsikan sebagai “incompatible or antithetical”. Konsep ini mencoba melepaskan diri dari perangkap “zero-sum game” dan “trade off”. Ia bertitik tolak dari pandangan bahwa dengan pemerataan tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan dan yang akan menjamin pertumbuhan yang

  6 berkelanjutan.

  Lahirnya konsep pemberdayaan merupakan antitesa terhadap model pembangunan yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagai berikut : (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun dari pemusatan kekuasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan sistem ideologi yang manipulatif untuk memperkuat legitimasi; dan (4) pelaksanaan sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu

  7 masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya.

  Terminologi pemberdayaan dikenal dengan istilah empowerment yang berawal dari kata daya (power). Daya dalam arti kekuatan berasal dari dalam tetapi dapat diperkuat dengan unsur

  • –unsur penguatan yang diserap dari luar. Ia merupakan sebuah konsep untuk memotong lingkaran setan yang menghubungkan power dengan pembagian kesejahteraan. Keterbelakangan dan kemiskinan yang muncul dalam proses pembangunan disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada sumber
  • 4 –sumber power.

      Ginandjar Kartasasmita, Pembangunan untuk Rakyat,Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, 5 (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1996), hlm. 19.

      J. Friedmann, Empowerment: The Politics of Alternative Development, (Cambridge: Balckwell, 1992), hlm. 31. 6 Ginandjar Kartasasmita, Pembangunan untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan 7 (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1996), hlm. 21.

      A. M. W. Pranarka dan Vidhandika Moeljarto, “ Pemberdayaan (Empowerment)”, dalam

    Onny S. Prijono dan A.M.W Pranarka, 1996. Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan Proses historis yang panjang menyebabkan terjadinya power dis powerment, yaitu peniadaan power pada sebagian besar masyarakat, akibatnya masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap akses produktif yang umumnya dikuasai oleh mereka yang memiliki power. Pada gilirannya keterbelakangan secara ekonomi menyebabkan mereka makin jauh dari kekuasaan.

      Oleh karena itu, pemberdayaan bertujuan dua arah. Pertama, melepaskan belenggu kemiskinan, dan keterbelakangan. Kedua, memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur ekonomi dan kekuasaan. Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.

      Dalam konteks buruh migran, pemberdayaan diarahkan untuk mengurai persoalan-persoalan mendasar yang dihadapinya. Dari identifikasi persoalan tersebut, buruh migran diarahkan untuk mengenali dan mengoptimalkan potensinya agar bisa secara produktif mengurai persoalan- persoalan secara mandiri. Dari sisi persoalan dasar buruh migran, 3 (tiga) area utamanya adalah pra keberangkatan (persiapan), penempatan, dan kepulangan. Dari 3 fase tersebut, buruh migran relatif tidak mandiri dalam arti memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pihak-pihak lain.

      Selama ini, ketergantungan tersebut mengarah pada situasi ketidakberdayaan di mana buruh migran mengalami kteerbatasan mengatasi masalah-masalahnya. Situasi menjadi lebih memprihatinkan karena pihak- pihak lain tersebut justeru mengambil keuntungan-keuntungan tertentu. Situasi ketidakberdayaan menjadi peluang tersendiri bagi kelompok lain. Karena menguntungkan, kelompok lain relatif menjadikan situasi ini sebagai status

      quo .

    B. Signifikansi Agama

      Durkheim berpendapat agama merupakan perwujudan dari collective

      consciousness (kesadaran kolektif) sekalipun selalu ada perwujudaan-

      perwujudan lainnya. Tuhan dianggap sebagai simbol dari masyarakat itu sendiri yang sebagai collective consciouness kemudian menjelma ke dalam . Tuhan itu hanyalah idealisme dari masyarakat itu

      collective representation

      sendiri yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna. Tuhan adalah personifikasi masyarakat dan melebihi apa yang dimiliki oleh manusia. Dalam hal ini Durkheim mengemukakan dua hal pokok dalam agama yaitu kepercayaan dan ritus/ upacara-upacara. Keyakinan adalah pikiran dan ritus

      8 adalah tindakan.

      Agama merupakan lambang collective representation dalam bentuknya yang ideal. Agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama. Orang yang terlibat dalam upacara keagamaan maka kesadaran mereka tentang collective consciouness semakin bertambah kuat. Sesudah upacara keagamaan suasana keagamaaan dibawa dalam kehidupan 8 Hotman Siahaan, Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi, (Jakarta: Penerbit sehari-hari, kemudian lambat laun collective consciousness tersebut semakin lemah kembali. Jadi ritual-ritual keagamaan merupakan sarana yang dianggap berperan dalam menciptakan kesadaran kolektif di antara masyarakat, atau dengan kata lain ritual agama merupakan charge bagi manusia untuk mendekatkan diri kembali kepada Tuhannya.

      Sebagai collective representation, agama hadir sebagai hal yang sentral dalam kehidupan masyarakat. Orientasi dasarnya adalah membangun colektivitas dalam bentuk solidaritas dan keteraturan sosial (social order). Melalui solidaritas inilah manusia bisa mengembangkan dirinya secara manusiawi dan memberikan manfaat dan fungsinya bagi yang lain.

      Secara dikotomis, Durkheim membagi tipe solidaritas dalam 2 (dua)

      9

      bentuk, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif (collective consciousness) yang menunjuk pada totalitas kepercayaan dan sentimen bersama yang umumnya ada pada masyarakat homogen. Solidaritas model ini tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan pola normatif yang sama pula. Individualitas tidak berkembang karena terus-menerus dilumpuhkann oleh tekanan untuk mencapai konformitas. Namun demikian, individu-individu tersebut tidak mengalaminya sebagai tekanan karena mereka tidak memiliki kesadaran lain

      10 selain kolektivitas.

      Indikator paling umum dari solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan hukum yang bersifat menekan (repressive). Hukum ini mendefinisikan setiap perilaku sebagai sesuatu yang jahat, mengancam atau melanggar kesadaran kolektif yang sudah kuat. Hukuman tidak harus mencerminkan pertimbangan rasional mengenai jumlah kerugian secara obyektif yang menimpa suatu masyarakat. Hal ini karena hukuman merupakan ekspresi dan penyataan kemarahan kolektif atas pelanggaran atau ancaman yang muncul. Ciri lain yang khas dari solidaritas mekanik adalah tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan lainnya. Homogenitas hanya mungkin terjadi pada masyarakat yang pembagian kerjanya minim.

      Solidaritas organik didasarkan pada tingkat ketergantungan yang tinggi. Saling ketergatungan bertambah besar sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian kerja. Spesialisasi dan pembagian kerja ini berdampak pada perbedaan dalam individu. Perbedaan pada individu merombak kesadaran kolektif sebelumnya yang kemudian menempatkannya tidak terlalu penting sebagai dasar keteraturan sosial (social order). Kolektivitas dianggap tidak lebih penting dibanding dengan saling ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-individu yang memiliki spesialisasi. Pembagian kerja secara terus-menerus mengambil peran

      11 yang sebelumnya diisi oleh kesadaran kolektif. 9 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, alih bahasa MZ. Lawang, (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 181. 10 Ciri khas masyarakat bertipe solidaritas organik adalah keberadaan hukum yang bersifat memulihkan (restitutive). Hukum restitutif bertujuan mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu yang terspesialisasi dalam fungsi-fungsi yang berbeda. Karena itu hukuman yang diberikan kepada individu yang dianggap melanggar bertujuan memulihkan dan mengembalikan individu tersebut pada fungsi spesialisasinya.

      Posisi agama pada masyarakat dengan dua model solidaritas ini sangat berbeda. Walaupun secara prinsip agama tetap memiliki posisis sentral, tetapi dari sisi operasionalisasi dan manifestasi agama dalam masyarakat berbeda. Pada masyarakat bertipe solidaritas mekanik, agama dan atura-aturan yang didasarkannya dikuasai atau didominasi oleh seseorang atau sekelompok individu yang memerankan diri sebagai pemimpin. Tafsir dan pemahaman agama yang berlangsung adalah tafsir pemimpin masyarakat. Individu anggota masyarakat tidak memiliki otoritas yang legal uantuk memahami dan menafsirkan agama.

      Sebaliknya pada masyarakat bertipe solidaritas organik, partisipasi individu dalam masyarakat tinggi yang secara fungsional berkontribusi pada kontruksi pemahaman agama. Masing-masing individu yang memiliki spesialisasi memberikan kontribusinya terhadap konstruk umum secara fungsional yang diferentiatif.

      Melalui perspektif teoretis di atas, agama penting pada saat manusia menghadapi persoalan-persoalan yag tidak bisa diurai oleh pengetahuan dan sistem teknologinya. Semakin masyarakat berkembang ke arah situasi modern maka semakin kompleks pula kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Teknologi dan pengetahuan pada masyarakat modern sangat strategis, namun pada saat yang sama keduaya berpotensi mencapai pada titik nadir. Pada saat itulah manusia kembali pada suatu nilai transenden yang hanya dimiliki oleh agama.

      Berbeda dengan Durkheim, Karl Marx melakukan kritik terhadap eksistensi agama sebagai sumber alienasi. Namun demikian Marx tidak lantas memposisikan agama sebagai hal yang tidak penting. Kritik agama oleh Karl Marx dijadikan titik masuk (entry point) bagi kritik masyarakat secara menyeluruh. Pemanfaatan agama sebagai titik masuk ini mengindikasikan bahwa Karl Marx menempatkan agama sebagai entitas penting bagi proses

      12 sosial yang berlangsung di masyarakat.

      Melalui kritik agama inilah Karl Marx megembangkan analisis kritisnya terhadap masyarakat atas belenggu-belenggu yang membuatnya tidak produktif. Salah satu yang menjadi sebab tidak produktifnya masyarakat adalah tingkat pemahaman masyarakat yang cenderung menempatkan agama secara ideologis. Pada saat agama telah menjelma menjadi ideologi maka agama menjadi anti kritik. Pada posisi inilah agama berubah orientasinya dari instrumen transformatif menjadi status quo.

      Revitalisasi merupakan kunci agar agama terurai dari belenggu- belenggu ideologis. Salah satu caranya adalah menarik agama menjadi lebih 12 Malcolm Hamilton, Sociology of Religion,Teoretical dan Comparative Perspectives,

      13

      operasional melalui tindakan nyata atau praxis kehidupan. Agar bisa mentransformasikan diri sebagai instrumen praxis kehidupan, agama harus di-

      breakdown menjadi formula-formula praktis dalam kehidupan nyata yang oleh

      Karl Marx dideterminasi oleh persolan material. Agama bermetamorfosisis menjadi instrumen bagi masyarakat menguasai dan memiliki instrumen material sebagai basis kegiatan ekonomis.

      Dalam sejarahnya, secara sosiologis agama muncul untuk menjawab persoala-persoalan yang tidak bisa diselesaikan oleh pengetahuan dan sistem teknologi yang dimiliki manusia. Sebagai makhluk yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, manusia terus mencari jawaban atas persoalan-persoalan

      14 tersebut hingga ditemukan apa yang disebut dengan transendensi.

      Transendensi merupakan salah satu pendekatan teologi kontekstual yang melihat bahwa realitas bukan sebagai yang "ada di luar" dan lepas dari pengenalan manusia melainkan berada pada dinamika kesadaran diri. Model transendental bukan berpusat pada pewartaan kitab suci atau tradisi tetapi bertolak pada pengalaman religius dan pengalaman yang menyangkut diri sendiri.

      Spirit transendensi inilah yang kemudian dijadikan titik kritik Karl Marx atas kondisi masyarakat. Agama sesungguhnya memiliki semangat progresif untuk merubah dunia, namun karena manusia terjebak pada transendensi dalam arti melampaui rasionalitas (beyond rationality) perilaku- perilaku yang muncul bertolak belakang dengan kondisi sesungguhnya yang bersifat material. Sebaliknya Karl Mark menarik spirit transendensi untuk merubah situasi material masyarakat yang penuh dengan penindasan, eksploitasi, dan ketimpangan.

      Setiap agama memiliki pola transendensi yang secara moral dan ideologi mengikat para pemeluknya. Loyalitas pemeluk tidak bersandar pada otoritas pemimpin atau elite agama lainnya melainkan pada sumber moral yang dimiliki agama tertentu yang diyakini menjadi penjamin atau solusi atas persoalan-persoalan yang dihadapi. Melalui nilai transendensi ini, pemeluk agama dapat berkomunikasi langsung dengan Tuhan yang transenden dalam arti tak terbatas.

      Dalam konteks Islam, transendensi diterjemahkan menjadi hak-hak Tuhan yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Kekuatan transendental yang dimiliki Tuhan dapat merubah apapun terutama yang dianggap tidak masuk akal dari sisi pengetahuan dan sistem teknologi manusia. Kekuatan transendensi Tuhan dalam Islam terformula dalam 99 sifat baik Tuhan (asma

      al-husna ) yang mencakup seluruh kebutuhan dan kemungkinan-kemungkinan

      yang terjadi dalam kehidupan manusia di dunia. Melalui asma al-husna ini, 13 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, alih bahasa MZ. Lawang, (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 139-141. 14 Kata Transendental mengacu pada metode transendental yang diungkapkan oleh

    Immanuel Kant pada abad ke delapan belas. Kemudian pada abad ke dua puluh dikembangkan

      

    oleh beberapa pemikir seperti Pierre Rousselot, Joseph Marechal, Karl Rahner dan Bernard

    Lonergan. Mereka berusaha menterjemahkan "intelektual" yang asli menurut pemikiran Thomas

    Aquinas sebagai subjektifitas dan kesadaran historis. David Jary & Julia Jary, Collins Dictionary pemeluk Islam menyandarkan diri atas persoalan-persoalan yang dihadapinya baik yang bersifat material maupun non material.

      Spirit tak terbatas pada asma al-husna inilah yang menjadi modal sosial (social capital) bagi seorang muslim untuk terus-menerus mengupayakan perubahan dalam dirinya. Asma al-husna menjadi kekuatan trasformatif yang memberdayakaan secara detile potensi-potensi yang dimiliki seorang muslim merubah dan memperbaiki kehidupan material didunia.

    BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan studi lapangan yang bersifat kualitatif

      deskriptif, yaitu penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran). Penelitian kualitatif deskriptif ini secara umum digunakan untuk penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, aktivitas sosial, dan lain-lain.

      Penelitian berlokasi di 3 (tiga) kecamatan di Kabupaten Cilacap, yaitu Adipala Binangun, dan Nusawungu. Lokasi ini dipilih karena memiliki populasi buruh migran yang relatif tinggi di banding dengan kecamatan- kecamatan lain di Kabupaten Cilacap. Selain itu, jarak yang berdekatan memberi nuansa tersendiri bagi komunitas buruh migran di mana interaksi antarkomunitas terutama keluarga di daerah asal berlangsung intens. Interaksi ini memberi dinamika berbeda terutama dari sisi progres material sebagai indikator utama kesuksesan seorang uruh migran. Dinamika seperti ini tidak terjadi di kecamatan lain terutama karena intensitas komunikasi tidak berlangsung intensif sebagaimana terjadi di tiga kecamatan lokasi penelitian. Penelitian dilaksanakan bulan April – Juli 2012.

      Subjek penelitian ini adalah komunitas buruh migran perempuan di kecamatan Adipala, Binangun, dan Nusawungu Kabupaten Cilacap. Komunitas ini secara organisasi berbentuk forum yang memiliki keanggotaan eksklusif, yaitu keluarga buruh migran. Objek atau masalah yang akan diteliti adalah pola relasi agama dan masyarakat serta teknik-teknik pemberdayaan komunitas buruh migran yang mendasarkan pada nilai dan ajaran-ajaran agama.

    1. Metode Pengumpulan Data a.

      Observasi partisipatif; merujuk pada proses studi yang mensyaratkan interaksi sosial antara peneliti dengan subjek penelitian dalam

      15

      lingkungan subjek penelitiannya sendiri. Tekhnik ini dilakukan untuk memperoleh data secara sistematis. Data yang diharapkan terkumpul melalui teknik ini adalah pola-pola umum terkait dengan relasi agama dan aktivitas komunitas buruh perempuan, aktivitas pemberdayaan, dan pola interaksi antaranggota komunitas buruh migran perempuan.

      b.

      Deep Interview; merupakan teknik pengumpulan data melalui interaksi langsung antara peneliti dengan subjek penelitian dalam rangka memahami pandangan subjek mngenai hidupnya, pengalamannya, atau

      16

      situasi sosial yang diungkapkan dalam bahasanya sendiri. Suasana dalam deep interview cendeung informal, akrab, dan seimbang. Situasi informal ini memungkinkan subjek penelitian dapat mengekspresikan 15 informasi-informasi terkait secara terbuka dan sadar. Data yang ingin 16 Lexy J Moleong, Metode Penelitia Kualitatif, (Bandung: Rosdakarya, 1989), hlm. 14.

      SJ Taylor dan R Bogdan, Introduction to Qualitative Research Methods, The Search diperoleh melalui teknik deep interview adalah persepsi subjek atas agama yang dianutnya. Perspesi ini mencakup pandangan-pandangan transendental (eskatologis), keterkaitan antara agama dan kehidupan sosial, dan ikatan-ikatan spiritual antara subjek dengan agama. Data persepsional bersifat kualitatif sehingga konklusi atas data berupa narasi-narasi.

      c.

      Dokumentasi; teknik pengumpulan data yang mendasarkan pada ketersediaan dokumen atau arsip terkait dengan fokus penelitian.

      Dalam konteks penelitian ini, data yang ingin diperoleh melalui metode dokumentasi adalah kebijakan publik tentang buruh migran baik pada level daerah maupun pusat, arsip dari kliping media massa, dan dokumen kependudukan berbasis pekerjaan di level desa dan kabupaten.

      d.

      Focus Group Discussion; merupakan teknik multistakeholders terkait dengan fokus penelitian. Melalui FGD ini, klarifikasi, penjelasan, hingga penarikan kesimpulan dilakukan secara bersama oleh peserta sehingga akurasi data terjamin dan dapat meminimalisasi kesalahpahaman penafsiran. Beberapa data yang ingin diperoleh melalui FGD adalah pemanfaatan nilai-nilai agama sebagai basis gerakan pemberdayaan, hubungan antara pemerintah dan komunitas buruh migran, dan posisi agama dalam komunitas.

      2. Pendekatan Pendekatan merupakan cara memperlakukan sesuatu (a way of

      dealing with something

      ). Pendekatan menempatkan obyek sebagai sesuatu yang bersifat aktif. Pendekatan membutuhkan sejumlah ilmu bantu untuk memahami obyek secara mnyeluruh. Dalam fokus masalah peran agama dalam pemberdayaan buruh migran, pendekatan yang akan digunakan adalah sosiologi kritis. Sosiologi memandang segala sesuatu sebagai fenomena atau gejala sosial yang memiliki 2 (dua) indikasi utama yaitu observable dan measurement. Pendekatan kritis berasumsi bahwa persoalan yang muncul karena pola relasi kuasa yang tidak seimbang. Pemberdayaan dalam perspektif kritis hanya bisa dilakukan dengan mengurai pola relasi tersebut dan diarahkan pada perubahan-perubahan pola relasi baru yang lebih seimbang.

      Pendekatan sosiologi kritis pada penelitian ini diaplikasikan dengan menempatkan agama dan persoalan buruh migran sebagai gejala sosial yang bisa dipahami berdasar kecenderungan yang ada. Dari kecenderungan tersebut kemudian bisa disimpulkan pola relasi yang berlangsung. Pola relasi ini yang kemudian dianalisis secara kritis untuk menemukan pola relasi baru yang lebih seimbang. Pendekatan kritis mengadaptasi teori strukturalisme konflik.

      3. Analisis Data Aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Ukuran kejenuhan data ditandai dengan tidak diperolehnya lagi data

      17

      reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dipahami sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan lapangan. proses ini berlangsung terus-menerus selama penelitian berlangsung bahkan sebelum data terkumpul sebagaimana yang terdesain dalam kerangka konseptual penelitian, permasalahan penelitian, dan pendekatan pengumpulan data yang dipilih peneliti.

      Proses reduksi yang akan dilakukan dalam proses analisis data penelitian ini meliputi meringkas data, menelusur tema dan membuat gugus-gugus analisis. Reduksi data dimaksudkan untuk menajamkan, mengklasifikasi, mengarahkan dan membuang data yang tidak relevan, serta mengorganisasikan data sehingga bisa ditarik kesimpulan yang memadai. Cara reduksi data dilakukan dengan seleksi ketat atas data, ringkasan atau uraian singkat, dan mengklasifikasi dalam pola yang berdasar rumusan masalah yang ditetapkan, yaitu fungsi agama dan kontribusinya bagi proses pemberdayaan masyarakat.

      Penyajian data merupakan kegiatan penyusunan informasi sehingga memberi kemungkinan bagi penarikan kesimpulan. Dalam penelitian ini, penyajian data dilakukan dalam dua bentuk, yaitu teks naratif dan tabel. Teks naratif merupakan catatan-catatan lapangan, sedang tabel merupakan klasifikasi data sesuai dengan gugs analisis yang dilakukan. Melalui teks naratif dan tabel ini dapat diketahui apakah kesimpulan sudah bisa dilakukan atau sebaliknya melakukan analisis kembali. Prosesnya dilakukan dengan cara menampilkan data, membuat hubungan 2 (dua) fenomena, yaitu pemahaman agama dan aktivitas pemberdayaan. Proses ini dimaksudkan untuk memaknai apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang perlu ditindaklanjuti untuk mencapi tujuan penelitian.

      Penarikan kesimpulan sesungguhnya sudah dilakukan selama proses penelitian di lapangan. Kesimpulan diverifikasi dengan cara memikir ulang selama penulisan dan tinjauan ulang catatan lapangan. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti buat yang mendukung tahap pengumpulan data berikutnya. Peneliti akan menyampaikan kesimpulan yang paling kredibel, yaitu kesimpulan yang didukung oleh bukti-bukti kuat dalam arti konsisten dengan kondisi yang ditemukan saat peneliti kembali ke lapangan untuk tahap ke-2 dan seterusnya.

      Langkah verifikasi yang dilakukan peneliti bersifat terbuka untuk menerima masukan data, walaupun data tersebut adalah data yang tergolong tidak bermakna. Namun demikian peneliti pada tahap ini sudah memutuskan antara data yang mempunyai makna dengan data yang tidak diperlukan atau tidak bermakna. Data yang dapat diproses dalam analisis 17 lebih lanjut adalah data dalam kategori absah, berbobot, dan kuat. Sedang

      MB Miler dan AM Huberman, Qualitative Data Analysis; A Sourcebook of New data lain yang tidak menunjang, lemah, dan menyimpang jauh dari kebiasaan dipisahkan.

      Verifikasi data dilakukan dengan cara: mengecek representativeness atau keterwakilan data, mengecek data dari pengaruh peneliti, mengecek melalui triangulasi, melakukan pembobotan bukti dari sumber data-data yang dapat dipercaya, dan membuat perbandingan atau mengkontraskan data.

      Dengan mengkonfirmasi makna setiap data yang diperoleh dengan menggunakan satu cara atau lebih, diharapkan peneliti memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk mendukung tercapainya tujuan penelitian. Penggunaan lebih dari satu cara dalam menemukan makna pada setiap data berfungsi untuk menarik kesimpulan pada kontruksi yang paling dekat dengan kenyataan lapangan. Kekurangan teknik suatu cara akan tertutup dengan kelebihan teknik yang lain.

    BAB IV HASIL PENELITIAN A. Buruh Migran Cilacap Kabupaten Cilacap merupakan daerah terluas di Propinsi Jawa Tengah. Dengan luas 234.522 Ha, kab Cilacap terbagai dalam 24 kecamatan, 269 desa

      18

      dan 15 kelurahan. Pada tahun 2010 jumlah penduduk Cilacap adalah 2.094.095 (1.040.684 berjenis kelamin perempuan). Kabupaten Cilacap

      19

      mer upaan salah satu daerah industri yang sedang berkembang. Dari sisi kesejahteraan masyarakat, progresnya dari tahunn ke tahun mengalami peningkatan. Indikator untuk mengukur kesejahteraan adalah Indek

    20 Pembangunan Manusia (IPM). Pencapaian IPM Kabupaten Cilacap tahun

      2008 sebesar 70,81, tahun 2009 mengalami peningkatan menjaadi 71,39, dan tahun 2010 sebesar 71,73 dengan rincian pencapaian Angka Harapan Hidup (AHH) sebesar 70,51 tahun, rata-rata lama sekolah sebesar 6,72 tahun, angka melek huruf penduduk dewasa sebesar 90,28 % dan paitas daya beli sebesar

      21 Rp. 634.500,/orang/bulan.

      Tahun 2009, jumlah kepala keluarga miskin (KKM) sebanyak 150.707 atau 32,31% dari total penduduk, menurun dari tahun 2008 yang berjumlah 156.936 atau 35,56%. Artinya selama satu tahun berkurang sebanyak 6,229

      22 KKM atau sebesar 3,97%.

      Dari sisi ketenagakerjaan, berdasar RKPD Kabupaten Cilacap tahun 2013, jumlah tenaga kerja Kabupaten Cilacap tahun 2010 sebanyak 47.445 orang, terdiri dari 41.144 laki-laki dan 6.301 perempuan. Jumlah tenaga kerja tersebut apabila dikategorisasi berdasar pendidikan adalah SD sebnyak 911 orang, SMP sebanyak 7.030 orang, SMA sebanyak 9.490 orang, D1/D2 sebanyak 334 orang, D3 sebanyak 1.314 orang, dan sarjana sebanyak 2.513 orang.

      Kabupaten Cilacap merupakan daerah pemasok buruh migrant terbesar di jawa Tengah. Menurut data di Dinsosnakertrans Cilacap tahun 2011 terdapat lebih dari 7.000 buruh migrant yang masih aktif bekerja di luar 18 20 19 BPS tahun 2005 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI) adalah

      

    pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk

    semua negara seluruh dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara

    adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur

    pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. IPM mengukur pencapaian rata-rata

    sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia: (1) hidup yang sehat dan panjang

    umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran, (2) Pengetahuan yang diukur dengan

    angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan

    dasar , menengah , atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga), (3) standard kehidupan yang

    layak diukur dengan logaritma natural dari produk domestik bruto per kapita dalam paritasi daya

    beli. Setiap tahun Daftar negara menurut IPM diumumkan berdasarkan penilaian diatas.

    Pengukuran alternatif lain adalah Indeks Kemiskinan Manusia yang lebih berfokus kepada kemiskinan. 21 negeri. Jumlah tersebut adalah jumlah buruh migrant yang berangkat melalui prosedur legal. Di Kabupaten Cilacap, buruh migran yang berangkat dari jalur tidak legal terindikasi cukup banyak. Indikasi lain Kabupaten Cilacap sebagai pemasok buruh migran adalah keberadaan lembaga/organisasi yang bergerak di bidang jasa penempatan tenaga kerja ke luar negeri. Tahun 2010 tercatat secara resmi oleh Dinsosnakertrans sebanyak 71 perusahaan.

      Tren remitensi atau kiriman uang dari luar negeri ke Cilacap terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan di tahun 2010 peningkatan tersebut mencapai 54% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2007 remitensi buruh migran Cilacap masih ada di bawah 300 M, pada tahun 2008 sebesar 324 M dan pada tahun 2009 sebesar 372 M dan di tahun 2010 sebesar 577 M.

      23 peningkatan remitensi rata-rata tiap tahun sebesar 34,97%.

      Secara rinci, penempatan angkatan kerja antarnegara (luar negeri) Kabupaten Cilacap dari tahun 2006

    • – 2010 adalah sebagai berikut:

      Angkatan Kerja Luar Negeri No Tahun

      Laki-Laki Perempuan 1 2006 1.793 12.272 2 2007 1.000 8.239 3 2008 869 9.798 4 2009 831 6.562 5 2010 1.542 5.789

      Sumber: BPS Kab. Cilacap Posisi buruh migran terhadap stakeholders lain dalam penyelenggaraan kerja luar negeri relatif tersubordinasi. Artinya bahwa buruh migran secara politik berada pada posisi yag lemah dan kurang memiliki daya tawar yang proporsional dengan unsur dan lembaga terkait. Kondisi ini menyebabkan buruh migran asal Cilacap seringkali menjadi kelompok yang dirugikan baik secara material maupun kerugian lainnya.

      Secara umum, mayoritas persoalan buruh migran berada di dalam negeri mulai dari sumber informasi yang kurang valid, tidak transparansinya biaya penempatan, pendidikan untuk buruh migran yang tidak memadai, serta merebaknyanya calo-calo perekrut para pekerja migran yang semakin tidak terkontrol.

      Berkaitan dengan masalah pertama, sumber informasi yang diperoleh oleh buruh migran, hasil penelitian Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) tahun 2009 menunjukkan bahwa penyebab sebagian besar buruh migran bermasalah salah satunya adalah karena sumber informasi yang dijadikan acuan tidak memadai. Informasi yang didapatkan para buruh migran untuk bisa bekerja di luar negeri umumnya berasal dari calo, yaitu sekitar 53%. Selanjutnya, 30 % buruh migran mendapatkan informasi dari teman-teman mereka yang sebelumnya sudah mempunyai pengalaman sebagai pekerja migran dan kemudian pulang ke kampung halaman. Sedangkan buruh migran yang mendapatkan informasi dari pemerintah hanya sekitar 2 %.

      Calo-calo perekrut ketika memberikan informasi pada buruh migran, umumnya hanya menyampaikan sisi bagus bekerja di luar negeri saja bahkan cenderung dilebih-lebihkan, tapi aspek resiko yang mungkin terjadi tidak diinformasikan. Dari data yang ada menunjukkan bahwa peran pemerintah dalam penyampaian informasi kepada pekerja migran masih sangatlah kurang. Padahal informasi mengenai gambaran bekerja di luar negeri sangatlah penting dimana iklim, budaya, dan aturan yang berlaku berbeda jauh dari Indonesia dan sangat asing bagi para buruh migran. Terlebih kebanyakan buruh migran berasal dari daerah pinggiran yang mungkin masih belum terbiasa dengan kehidupan kota.

      Undang-undang No 39 tahun 2004 mengatur dengan jelas bahwa pemerintah dan PJTKI ketika akan melakukan perekrutan, wajib memberikan informasi melalui dinas-dinas. Pemerintah daerah wajib memberikan informasi kepada calon-calon TKI secara langsung. Namun karena pemerintah daerah kurang optimal dalam menyampaikan informasi, peran tersebut kemudian diambil-alih oleh para calo. Dalam penyampaiannya, para calo lebih berorientasi agar calon buruh migran yakin bahwa informasinya adalah benar. Dengan demikian, calon buruh migran tersebut memastikan berangkat ke luar negeri. Dari sinilah keuntungan diperoleh oleh calo berupa fee atau uang komisi lainnya. Pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak untuk memberantas calo-calo, dikarenakan Undang-undang No 39 Tahun 2004 bersifat sentralistik, sehingga kewenangan ada di pemerintah pusat yang membatasi kewenangan pemerintah daerah.

      , persoalan yang dihadapi buruh migran adalah transparansinya

      Kedua cost structure (biaya penempatan). Cost Structure ini diatur oleh Dirjen Bina

      Penta, isinya mengenai pengaturan biaya yang harus dikeluarkan TKI untuk bisa bekerja di luar negeri. Padahal, jika dikaji lagi, biaya yang harus dikeluarkan oleh para calon buruh migran tentunya berbeda-beda, antara satu negara tujuan dengan neagra tujuan yang lainnya. Akan tetapi peraturan yang ada memberlakukan nilai cost structure yang sama antara negara satu dengan

      24 lainnya.

      Ketiga , penegakan hukum di dalam negeri masih lemah. Pemerintah

      daerah tidak serius memberantas calo. Meskipun kebijakan mengenai TKI bersifat sentralistik, seharusnya tidak menutup kemungkinan bagi pemerintah daerah untuk mengeluarkan Perda yang mengatur bagaimana tata cara penempatan buruh migran di daerah asalnya. Pada Undang-undang no 39 tahun 2004, tergambar bahwa peran PJTKI lebih besar daripada peran 24 Pemerintahan SBY mengeluarkan kebijakan KUR (Kredit Usaha Rakyat) untuk