BAGAIMANA ESAI TERCIPTA Esai tentang Esa

BAGAIMANA ESAI TERCIPTA
Esai tentang Esai
Oleh: Suhariyadi
Penulis dan Penggiat Sastra di Tuban

Di kalangan sebagian ahli, esai dimasukkan sebagai salah
satu genre sastra. Artinya, esai telah memenuhi syarat untuk
disebut sastra. Dari sisi bahasa dan cara pengungkapan,
pendapat sebagian ahli tersebut ada benarnya. Tapi dari sisi apa
yang diungkapkan, terdapat perbedaan yang mencolok
dibanding genre sastra lain, seperti puisi, cerpen, novel, roman,
dan drama. Namun demikian, apapun pendapat orang, semua
akan setuju jika dikatakan bahwa lebih esai dekat dengan ragam
sastra dari pada ragam yang lain. Bahkan sangat jauh jarak yang
membedakan antara ragam yang digunakan dalam esei dengan
tulisan ilmiah.
Ibarat sebuah renungan, esei ditulis untuk mengungkapkan
apa yang direnungkan itu. Di sana terdapat bentuk-bentuk
proses kesadaran penulisnya, seperti: perasaan, pemikiran,
penghayatan,
pembayangan,

pengayalan,
dan
pengargumentasian. Di sana juga terdapat emosi, nafsu,
suasaana perasaan (mood), libidinal, dan memori bawah sadar.
Semuanya serba ada dalam proses penulisan esei. Kalau
kemudian esei dibaca, semua itu seperti anak katak berloncatan
dari balik semak-semak bernama esei. Bukankah pembaca itu
seperti orang yang menguak-uak, mengibas-ibas, dan menyibaknyibak kerimbunan tanaman di belantara bahasa? Ia ingin
mengetahui ada apa di dalam kerimbunan itu. Dan anak-anak
katak seperti terganggu olehnya dan berhamburan keluar dari
tempat persembunyiannya. Pembaca yang tak jijik pada katak, ia
akan melihatnya dengan takjub, senang, dan geli. Sebaliknya
yang jijik, ia akan marah, mengumpat, bahkan membanting apa
yang dibacanya. Sementara para perempuan yang biasa
berperasaan, merasakan sedih, prihatin, terharu, tersenyum,
penasaran, dan penuh rasa simpati dan empati.
Tapi esei juga seperti argumentasi seorang profesor senior
berambut botak dengan kaca mata kecil bundar menggantung
sedikit ke bawah matanya. Tak terbantahkan, lantaran ia berisi
proposisi-prosisi paradigmatis yang kebenarannya tak perlu diuji

lagi selain diterima begitu saja menjadi cara pandang tentang
hakikat realitas. Kalau hanya omongan seorang anggota dewan
saja, dilibas. Kalau hanya ceramah dosen di depan mahasiswa
saja, belum ada apa-apanya. Bahkan omongan presiden,

pengacara pokrol bambu, atau orator ulung sekalipun, esei tetap
berada di jajaran teratas. Ia kelak akan langgeng dikenang oleh
pembacanya. Bahkan sangat membekas menjadi sebuah tradisi
ilmiah yang tak ilmiah, karena memang esei bukan tulisan ilmiah.
Esei juga seperti ajaran kebijakan filosofis tentang hakikat
kehidupan. Ia hasil dari kontemplasi manusia tentang hakikat
kebenaran. Esei mempertanyakan segala hal ihwal yang ada dan
keadaannya. Yang ada, nampak, dan nyata, dipertanyakan dalam
renungan-renungan penuh makna. Tujuannya, agar esei dapat
membuka cakrawala pembaca tentang sesuatu yang masih
samar menjadi nyata; yang nampak menjadi terang, dalam
kenyataan atau ketidaknyataannya. Tujuannya, agar esei dapat
memberikan pencerahan dan penyucian terhadap nafsu-nafsu,
hasrat-hasrat, dan kehendak yang cenderung meledak-ledak
dalam diri manusia. Maka, esei membangun kualitasnya dengan

untaian kalimat persuasif dan ekspresif. Maka, esei membangun
substansinya dengan kebijakan-kebijakan hidup.
Berlebihankah, mengibaratkan esei seperti anak katak
berloncatan dari balik semak belantara bahasa? Seperti proposisi
seorang profesor senior? Atau, seperti ajaran filsuf yang
mempertanyakan hakikat hidup ini? Semuanya serba mungkin.
Semuanya bisa terjadi dalam sebuah esei. Tidak masalah esei
akan seperti apa. Yang penting, esei adalah bentuk ekspresi
berbahasa yang mengungkapkan manusia dan kemanusiaannya
dari perspektif subyektif dan obyektif berbaur menjadi satu.
Sebuah strategi pelisanan yang khas, yang berada di kedua
ujung wacana reflektif-subyektif dan argumentatif-obyektif. Mana
ada ragam tulisan seperti itu, selain esei?
Di ujung yang satu, esei merupakan tulisan reflektifsubyektif. Itulah kenapa sebagian ahli memasukkannya dalam
genre sastra. Dua aspek di dalamnya yang menjadikan esei lebih
dekat dengan sastra; bahkan dikatakan memang jenis sastra.
Pertama, esei ditulis dengan memperhatikan style bahasa. Kata,
frase, kalimat, dan paragraf, disusun tidak hanya untuk
menampung sebuah pengertian, tetapi juga mewadahi perasaan
penulisnya. Bahasa esei mengalir seperti alir sungai membawa

kesegaran bagi pembacanya. Bahasa esei juga menggelora
seperti gelegak gunung Merapi hendak memuntahkan sekian
kubik lava panas. Kesegaran dan kemurkaan, mengalir dalam
untaian bahasa yang digunakan esei. Karenanya, esei adalah
wacana khas dan individual seperti karya sastra. Ia berbeda
antara satu esei dengan esei yang lain dari penulis yang
berbeda. Tak ada satu pun gaya bahasa yang sama di antara
sekian juta penulis di dunia. Bahasa memiliki kekuatan dan
kekayaannya untuk digunakan, dimodivikasi, digarap, dan distyle-kan, meski tanpa mengorbankan makna tuturannya.

Kedua, esei mempunyai cara pengungkapan yang khas
pula. Tidak hanya bahasanya yang khas, tapi juga bagaimana
cara penulis mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan. Ada
daya ekspresi di dalam esei. Ekspresi itu berkaitan dengan sikap,
pandangan, dan wawasan yang dimiliki penulisnya. Esei ditulis
bukan sekedar untuk menampung sebuah fakta, seperti wacana
sejarah. Esei bukan sekedar menampung konsep, seperti wacana
pengetahuan. Esei juga bukan sekedar menampung aturanaturan untuk dipedomani, seperti wacana hukum. Tapi esei ingin
mengungkapkan sebuah persoalan yang direfleksikan dari
kehidupan dengan sudut pandang kemanusiaan. Itulah mengapa

ada sikap, pandangan, dan keyakinan di dalam esei, sebentuk
ideologi kewacanaan. Ideologi kewacanaan merupakan wujud
intelektualitas dan keyakinan akan suatu kebenaran hidup.
Bahasa
yang
khas
dan
cara
pengungkapan
mengindikatorkan adanya kreativitas dan imajinasi penulisnya.
Kreasi dan imajinasi adalah terminologi dalam jagad
kesusasteraan. Ketika keduanya masuk ke dalam ranah esei, ia
telah memenuhi syarat sebagai sebuah karya sastra. Di dalam
imajinasi itulah seseorang mengembara ke ruang kesadaran. Ia
mengarungi samudra yang luas tak bertepi dalam jiwanya.
Dalam pengembaraan itu akan ia jumpai kenangan, ingatan,
pengalaman, kilatan gambar-gambar, yang pernah masuk ke
dalam alam sadar dan bawah sadarnya. Bahasalah yang akan
mewadahinya melalui kata, frase, kalimat, paragraph, dan
wacana, yang kemudian disebut sastra. Demikian juga dalam

esei, penulis mengembara dalam kesadarannya untuk mengaisngais
memori,
pengalaman,
pemikiran,
penghayatan,
perenungan, bahkan khayalan, yang kemudian disebut imajinasi.
Melalui bahasa, hasil pengembaraan itu menjadi untaian kalimat
yang sarat dengan semua itu.
Di ujung yang lain, esei adalah tulisan argumentasiobyektif. Kebenaran dijunjung tinggi sebagai obyek yang ingin
diungkapkan. Semua hal yang ditulis dengan cara dan gaya
apapun, kebenaran menjadi tujuannya. Kalau ragam ilmiah
berlandaskan pada kerangka berpikir teoritis, maka esei
menggunakan jalan refleksi-subyektif untuk mengungkapkan
kebenaran itu. Kalau ragam ilmiah ingin menjelaskan dan
membuktikan sebuah kebenaran dengan kacamata keilmuan,
maka esei ingin mengritik, menilai, mendudah, mengungkap, dan
menunjukkan sebuah kebenaran dengan kacamata refleksi.
Kalau ragam ilmiah berangkat dari asumsi dan hipotesis, maka
esei berpijak pada sebuah keyakinan, kepercayaan, pandangan,
sikap, dan ideologi. Kalau dalam ragam ilmiah didukung oleh

bukti-bukti, maka dalam esei didukung oleh metafor, tamsil,
ibarat, adagium, keyakinan, peristiwa, dogma, dan aksiomaaksioma. Dengan demikian, esei menggunakan sudut pandang

pribadi untuk menjelaskan hakikat sebuah kebenaran. Dalam
esei ekspresi menjadi impresi, sedang dalam tulisan ilmiah
teoritisasi menjadi proposisi. Tapi keduanya dengan cara
berlainan, sama-sama ingin menjelaskan suatu kebenaran untuk
dapat digunakan dalam kehidupan ini. Kalau tulisan ilmiah akan
ditumbangkan oleh teori baru, maka esei akan ditenggelamkan
oleh perjalanan waktu.
Sampai di ujung pemikiran ini, marilah kita membahas
contoh esei berikut ini, agar apa yang dikemukakan di muka
menjadi konkrit dan jelas.
1
Marxisme, Posmodernisme,
Ketika Tak Ada lagi Revolusi
Oleh: Gunawan Muhamad
“Membentuk kembali hidup! Orang yang bisa bicara
begitu tak pernah paham sedikitpun apa itu hidup—
mereka

tak
pernah
merasakan
nafasnya,
jantungnya….”
—Dr. Zhivago
PADA awalnya 1917. Kemudian 1993. Dua peristiwa besar,
yang berhubungan dengan agenda “membentuk kembali
hidup”, telah mengubah permukaan dunia seperti dua
gelombang gempa yang ganjil, sebab ada yang hancur
setelah itu, dan ada yang terbentuk.
Yang pertama ialah sebuah revolusi atas nama Marxisme,
yang
berlangsung
sebagai
“sepuluh
hari
yang
mengguncangkan dunia”, seperti dilukiskan John Reid
tentang Revolusi Oktober yang bermula di St. Petersburg,

Rusia. Yang kedua ialah sebuah perubahan Yang tak kalah
mengguncangkannya, meskipun hampir tanpa letupan
bedil: Rusia (dan dalam batas tertentu juga Cina)
membatalkan banyak hal dalam agenda Marxisme,
sesuatu yang sebenarnya bermula di tahun 1989, ketika
Tembok Berlin bebas diruntuhkan orang ramai.
Dua perubahan, dua guncangan besar: Marxisme adalah
harapan dan keyakinan penting selama kurang satu
setengah abad, sesuatu yang demikian jelas, tegas,
memukau dan menularkan inspirasi.
Tapi Marxisme juga dalam bentuknya yang dicoba dalam
suatu transformasi sosial—ternyata dengan cepat
merapuh. Selama beberapa tahun terakhir ia telah
didiskreditkan secara luas, dan hampir di seluruh dunia

tidak terdengar lagi rencana Marxis untuk “mengubah
dunia”. Yang tersisa adalah “menerangkan dunia”—
terutama di jurnal-jurnal pemikiran dan seminar-seminar—
ketika politik sayap kiri merosot, atau mengalami
perubahan diri, di pelbagai penjuru.

Maka apa gerangan yang kita hadapi, dan bisa dilakukan?
Pertanyaan ini penting, juga di Indonesia: kita tahu di sini
pengaruh Marxisme, sisa-sisanya dalam pemikiran kita,
tak bisa diabaikan. Marxisme tidak sekadar membayang
dalam tulisan-tulisan Bung Karno sebelum kemerdekaan,
ia pernah dicoba—setidaknya sebagian unsurnya,
mungkin
juga
sebersit
semangatnya—dengan
mempraktikkan “sosialisme Indonesia” dan “ekonomi
terpimpin”. Ia pernah menjadi inti dari pemikiran Partai
Sosialis Indonesia dan Partai Komunis Indonesia, dan ia
pernah menjadi bagian sentral dalam bahan-bahan yang
diajarkan secara luas tentang “ideologi negara” di tahun
1960-an (yang disebut “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi”).
Di akhir tahun 1960-an paham ini dilarang—dan pada
gilirannya paham yang dilarang itu memikat banyak anak
muda dan cendekiawan Indonesia secara diam-diam,
hingga

sekarang,
sebagi
sejenis
pernyataan
pembangkangan, apalagi di sebuah masyarakat yang
mulai mengalami secara nyata gerak kapitalisme, dan
masih punya masalah distribusi pendapatan yang
menajam.
Sesudah itu sepi. Tak terdengar suara revolusi. Bukan
maksud saya untuk berbicara tentang “akhir sejarah”
sekarang, tetapi nampak suatu kecenderungan yang jelas,
terutama di dekat kita: setelah Marxisme tersingkir dan
digagalkan, yang menggantikan (di Rusia, di Eropa Timur,
di Cina) ialah sejenis sikap pragmatik, kerja yang tak
mengedepankan persoalan benar atau tidak menurut
suatu doktrin atau asas, baik atau tidak menurut satu
ajaran;
kriteria
legitimasinya
hampir
sepenuhnya
dikaitkan dengan hasil atau performativitas. Dalam
pelbagai variasinya sebenarnya yang terjadi sekarang
ialah semacam pemborjuisan (embourgoisement) dunia:
sebuah proses yang menampakkan ciri-ciri modernitas
yang dikenal dalam buku-buku sejarah ketika borjuasi
Eropa mengambil peran dan mengubah permukaan bumi
“sesuai dengan citranya”, untuk meminjam kata-kata
dalam Manifesto Komunis. Dengan kata lain, menjadi
semakin berperannya rasionalitas, dalam arti kebebasan
dari ilusi dan takhayul, dan meluasnya desakralisasi
lingkungan sosial dan alam, juga bangkitnya etos tentang
obyektivitas ilmiah.

Tulisan ini termuat dalam buku ”Setelah
Revolusi Tak Ada Lagi” (Edisi Revisi),
Pustaka Alvabet, Jakarta, september 2005.
Halaman, 169-192].

2
PERTUNJUKAN TEATER NEGERI INI,
SEBUAH PERADABAN
Oleh: Suhariyadi
Kalau negeri ini dipandang sebagai panggung
teater, siapakah tokoh utama pengemban cerita untuk
diungkapkan di atas panggung itu? Mereka adalah
penguasa, pengusaha, dan media. Ketiga aktor inilah yang
akan memainkan perannya secara ekspresif agar
pertunjukkan
yang
dimainkan
meyakinkan
dan
menghanyutkan penontonnya. Siapakah penontonnya?
Mereka adalah rakyat yang tidak memiliki akses untuk
mendekati lingkaran ketiga aktor tersebut. Narasi apakah
yang akan dibangun dan diungkapkan dalam pertunjukkan
itu? Narasi itu adalah sebuah adaptasi dari intrik-intrik
zaman yang berasal dari kepentingan-kepentingan
kelompok dan tekanan-tekanan eksternal yang tidak bisa
dielakan oleh aktor-aktor tersebut. Agar kita dapat
mengapresiasi bagaimana pertunjukkan itu berlangsung,
sebaiknya kita urai pertunjukkan itu secara interpretatif.
Sebagai sebuah interpretatif, pemikiran ini jelas
mengambil perspektif subyektif dengan pisau analisis
rasional; bukan lantaran dengan perspektif subyektif itu
lantas tidak menggunakan rasional untuk memahami
persoalan ini. Dan sebagaimana layaknya mengapresiasi
sebuah pertunjukkan teater, tulisan ini harus bermula dari
narasi sebagai skenario yang akan dimainkan. Tetapi yang
perlu diingat, bahwa pertunjukkan ini bergenre modern,
meski naskah atau skenario tersebut tidak tertulis. Cukup
seperti dalam teater tradisional, narasi yang akan
dimainkan dipahami kemudian diimprovisasi oleh para
aktor di atas panggung.
Proses berperadaban yang terjadi hingga sekarang
ini, sesungguhnya sebuah narasi yang diciptakan dan
sekaligus menjadi pedoman bagi masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari. Foucault, seorang tokoh pencetus
postrukturalisme
dan
posmodernisme
Barat,
mengatakannya sebagai Diskursus. Namun demikian,
narasi itu adalah sebuah wacana kebudayaan yang tidak
cukup dipahami secara tekstual, melainkan terdapat
makna dibalik yang kasat mata itu, yaitu proses produksi
dan konteks yang melatarbelakanginya. Proses produksi
dalam konteks ini dapat dipahami sebagai proses sejarah
bagaimana narasi itu terbentuk dan siapakah yang

berperan dalam produksi narasi itu. Sedangkan konteks
yang melatarbelakanginya itu jelas adalah sosial, budaya,
politik, ideologi, ekonomi, dan sebagainya, dari
masyarakat di mana narasi itu diciptakan, dipedomani,
dan mengatur dirinya. Teks (baca: narasi) dan Konteks.
Kedua hal tersebut akan muncul ketika seseorang mau
mendudah dan mengurai hingga ke akar narasi itu. Kalau
perlu, hingga ke aspek filosofis yang mendasari
terbangunnya narasi itu.

Esei Gunawan Muhamad, kutipan pertama, jelas tidak
berpretensi untuk menjadi tulisan ilmiah, meskipun apa yang
diungkapkannya itu sering kali menjadi pembicaraan dan
penulisan dalam konteks ilmiah. Bahkan, meskipun dalam
eseinya itu Gunawan Muhamad banyak mengacu pemikiran dan
teori yang pernah ada dalam tradisi pemikiran dunia. Dengan
bahasanya yang cair dan dibumbui dengan pilihan kata bernilai
rasa tertentu dan metafor, juga bercampur kode secara
kebahasaan, esei tersebut ingin mengungkapkan perjalanan
rasionalitas manusia semenjak Weber, Marxis, hingga sekarang,
posmodern, khususnya di Indonesia. Meskipun apa yang
diungkapkan sangat berat bagi pembaca kalangan tertentu,
tetapi esei tersebut, dengan sasaran pembaca khusus, mampu
mewadahi suatu sikap, pandangan, dan keyakinan penulisnya.
Bahasa dan gaya pengungkapan Gunawan Muhamad sangat
khas, dengan sudut pandangnya yang reflektif subyektif
miliknya.
Gunawan Muhamad merupakan salah satu penulis
produktif di Indonesia yang menulis dengan bentuk esei. Catatan
Pinggir-nya yang termuat di majalah Tempo, dan juga telah
diterbitkan dalam buku, merupakan tulisan esei yang sangat
digemari pembaca darisemua kalangan. Sebagai sastrawan dan
mantan wartawan, Gunawan Muhamad tidak sulit untuk menulis
dengan gaya esei. Bahkan dapat dikatakan, dia merupakan
penulis spesialis esei. Memang ada semacam kecenderungan
bahwa esei kebanyakan ditulis oleh seorang sastrawan ataupun
orang yang terjun di bidang kesastraan. Sebut nama Emha Ainun
Najib, dia juga seorang penyair sekaligus piawai menulis esei.
Nirwan Dewanto, Budi Darma, Saut Situmorang, Zawawi Imron,
Jauh berbeda dengan kutipan kedua. Esei kedua juga
mengungkapkan persoalan yang sering juga menjadi topik
pembahasan di kalangan akademis. Perjalanan kebudayaan di

Indonesia selalu menjadi topik yang tak pernah akan habis
dibicarakan orang. Jika Gunawan Muhamad membicarakan
topiknya dengan mengupas sisi-sisi yang jarang disinggung
orang,
tetapi
dalam
esei
kedua,
penulis
mencoba
membahasakan topiknya dengan sebuah analog dalam
pertunjukan teater. Sebuah refleksi acap kali tak terkira dan tak
terduga orang lain. Dalam refleksi bukan apa yang ada di
permukaan yang utama, tetapi apa yang tersemunyi di
dalamnya. Refleksi dapat memunculkan gambaran sisi-sisi gelap,
samar di depan orang lain, menjadi terang. Ketika banyak orang
meributkan sesuatu sebagaimana yang tampak dan terjadi,
sebuah refleksi meliuk-liuk untuk memandang sesuatu itu pada
sisi yang lain.
Cara pengungkapan seperti itu bukan tanpa rasional dan
argumentasi. Sebuah kebenaran adalah ranah yang harus
dipikirkan, dianalisis, dan diabstraksi oleh logika umum. Karena
cara reflektif-subyektif dan pilihan gaya bahasa yang khas,
sebuah esei menjadi lain saat dibaca. Kebenaran dan sebuah
fakta dikupas pada sisi-sisi yang masih samar, tersembunyi, dan
penuh ketakterdugaan. Itulah gaya dalam tulisan esei.
Bandingkan dengan tulisan dengan bentuk yang lain berikut ini.

Semua penelitian pada hakekatnya merupakan
usaha mengungkap kebenaran. Kebenaran ini dapat
dibedakan dalam empat lapis. Lapis paling dasar
adalah kebenaran inderawi yang diperoleh melalui
pancaindera kita dan dapat dilakukan oleh siapa saja;
lapis di atasnya adalah kebenaran ilmiah yang
diperoleh melalui kegiatan sistematik, logis, dan etis
oleh mereka yang terpelajar. Pada lapis di atasnya
lagi adalah kebenaran falsafati yang diperoleh
melalui kontemplasi mendalam oleh orang yang
sangat terpelajar dan hasilnya diterima serta dipakai
sebagai rujukan oleh masyarakat luas. Sedangkan
pada lapis kebenaran tertinggi adalah kebenaran
religi yang diperoleh dari Yang Maha Pencipta melalui
wahyu kepada para nabi serta diikuti oleh mereka
yang meyakininya.
Kebenaran falsafati dan religi dianggap sebagi
kebenaran mutlak. Kepada kita hanya ada dua
pilihan: ambil atau tinggalkan (take it or leave it);
kalau kita mengambilnya atau menganutnya maka
kita harus mengerjakan semua perintah atau

ajarannya. Namun justru karena perkembangan
dalam falsafah dan agama itu sendiri, serta
perkembangan budaya dan akal manusia, maka kita
mulai mempertanyakan apakah memang kebenaran
mutlak
itu
mengharuskan
adanya
kesatuan
pengertian dalam segala hal mengenai hidup,
kehidupan, dan bahkan alam semesta ini seragam?
Mulailah berkembang berbagai mazhab atau aliran
dalam bidang falsafah
dan agama
dengan
memberikan penafsiran terhadap apa yang telah
diperintahkan secara tertulis.
Kalau kebenaran falsafati dan religi saja
memungkinkan adanya tafsir yang menimbulkan
mazhab atau aliran tersendiri, apalagi dalam
memperoleh kebenaran ilmiah. Kita semua dilahirkan
aebagai mahluk yang unik, masingmasing di antara
kita berbeda. Kalau penampakan kita saja dapat
dibedabedakan, seperti misalnya sidik jari dan DNA,
apalagi yang kasatmata yang ada dalam otak dan
hati kita masing-masing. Suatu gejala atau peristiwa
yang sama, dapat diberi arti yang lain oleh orang
yang berlainan.
Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, M.Sc., Landasan
Berpikir
dan
Pengembangan
Teori
dalam
Penelitian Kualitatif, dalam Jurnal Pendidikan
Penabur, No.05/Th.IV/ Desember 2005.

Jargon
paradigma
dalam
ilmu
sosial
didefinisikan sebagai keyakinan dasar peneliti secara
ontologi, metodologi, dan epistemologi. Pemahaman
mengenai paradigma adalah hal yang sangat
fundamental. Paradigma juga memegang peranan
penting bagaimana nantinya peneliti melakukan
risetnya, bagaimana ia memandang fenomena, tolak
ukuran kepekaannya dan daya analisisnya, termasuk
melalui pendekatan analisis wacana.
Menurut Patton dalam Kristi (2001) paradigma
mengacu
pada
serangkaian
proposisi
yang
menerangkan bagaimana dunia dan kehidupan
dipersepsikan. Paradigma mengandung pandangan
tentang
dunia,
cara
pandang
untuk
menyederhanakan
kompleksitas
dunia
nyata.
Paradigma memberi gambaran pada kita mengenai
apa yang penting, apa yang dianggap mungkin dan
sah untuk dilakukan, apa yang dapat diterima akal
sehat.

Disadari atau tidak, peneliti sesungguhnya
berjalan dan bersinggungan dalam kerangka
epistemologis, ontologis dan metodologi yang
memang diyakininya dalam penelitian. Epistemologis
menjelaskan bagaimana hubungan antara peneliti—
yang mencari tahu—dengan orang-orang atau
fenomena yang diteliti. Sedangkan ontologi adalah
interpretasi manusia apa itu realitas dan bagaimana
cara mengetahuinya. Sedangkan metodologi adalah
cara-cara, teknik atau metode untuk meneliti.
Pada dasarnya, Ada tiga paradigma dalam analisis
wacana, yaitu positivis-empiris (lazim juga disebut
positivisme), konstruktivisme, dan kritis. (Hikam, A.S.,
dalam, Latif, Y. dan Ibrahim, I.S. [ed.], [1996]).
Pertama, positivis-empiris. Salah satu cirinya adalah
pemisahan antara pemikiran dan realitas. Inti
bahasannya, apakah suatu pernyataan disampaikan
secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik.
Dengan demikian analisis wacana dimaksudkan
untuk menggambarkan tata aturan ayat, bahasa, dan
pengertian bersama.
Amir Purba, Menyelami Analisis Wacana Melalui
Paradigma Kritis, Majalah Kajian Media Dictum on
line.http://dictum4magz.wordpress.com,
download 3 April 2010