4.1. Prospek Perkotaan di Pulau Jawa

4.1. Prospek Perkotaan di Pulau Jawa
Pulau Jawa adalah salah satu pulau utama di Indonesia. Jawa bukan pulau terbesar, tetapi
menjadi pusat pemerintahan, pusat perekonomian nasional, dan boleh dikatakan sebagai
pusat negeri ini. Dari dokumen Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional
(KSPPN) 2015-20501, diketahui bahwa saat ini, komposisi penduduk perkotaan di Indonesia
telah mencapai lebih dari 50 persen.
Sesuai data BPS tahun 2012 seperti dikutip Bappenas dalam dokumen KSSN itu, tingkat
pertumbuhan penduduk di perkotaan itu telah mencapai 2,75 persen per tahun yang melebihi
rata-rata penduduk nasional yaitu sebesar 1,17 presen per tahun. Tingkat urbaninasi dan
jumlah penduduk perkotaan akan meningkat tajam pada tahun-tahun mendatang yang
diperkirakan mencapai 67,7 persen pada tahun 2025 dan 85 persen pada tahun 2050. Pulau
Jawa pun diperkirakan tetap menjadi salah satu pusat pertumbuhan penduduk dan
perekonomian Indonesia hingga tahun 2050.

Sebaran jumlah penduduk di kawasan perkotaan di tingkat kabupaten/kota
Gambar diambil dari dokumen KSPPN-Bappenas 2015

Namun, kekuatan besar yang dimiliki Pulau Jawa tak hanya berdampak positif tetapi
juga negative, baik bagi kawasan ini sendiri maupun kawasan di luar Jawa. Tingkat
urbanisasi di Pulau Jawa amat tinggi. Terkait urbanisasi ini, dalam KSPPN, dinyatakan
bahwa tidak hanya karena perpindahan penduduk antardaerah di Jawa tetapi juga

akibat masuknya orang dari luar Pulau Jawa. Hal ini karena faktor penarik yang ada di
Jawa yaitu tempat berkumpulnya kegiatan ekonomi, kualitas kehidupan yang dinilai
lebih baik, ketersediaan prasarana dan sarana yang lebih lengkap dan berkualitas
1

Dokumen KSPPN 2015-2050, Direktorat Perkotaan dan Perdesaan, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi
Daerah, Bappenas/Kementerian PPN tahun 2015

dibandingkan sebagian daerah lain di luar Pulau Jawa, kehidupan yang lebih modern,
dan lapangan pekerjaan yang lebih banyak dan beragam. Faktor pendorong, antara lain,
kurang tersedianya lapangan pekerjaan di luar Jawa serta kehidupan di luar Jawa yang
dianggap kurang modern. Saat ini, tercatat, pertumbuhan pendapatan domestik
regional bruto (PDRB) terbesar masih di Pulau Jawa dan Bali, khususnya Jawa. Sesuai
data BPS tahun 2015 (Fajar, 2015), PDRB Pulau Jawa dan Bali berkontribusi terhadap
PDB sebesar 58,30 persen pada tahun 20152.
Dengan kekuatan ekonominya itu, kota-kota dan kawasan perkotaan di Jawa tumbuh pesat.

Persentase persebaran kota di Indonesia tahun 2012

Gambar diambil dari dokumen KSPPN-Bappenas 2015


Perkembangan kota menurut tipologinya di Indonesia tahun 2012
Gambar diambil dari dokumen KSPPN-Bappenas 2015

Kondisi di Pulau Jawa yang kini sesak dengan begitu banyaknya kota menyebabkan
ketimpangan-ketimpangan, berdampak negatif bagi kawasan perdesaan, kota kecil, dan
sedang. Ketimpangan yang terjadi,yaitu :
1. eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam di sekitar kota-kota utk
mendukung dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
2. terjadinya urban sprawl yang tidak terkendali dan secara terus menerus mengkonversi
lahan pertanian produktif menjadi kawasan terbangun

2

Fajar, Muhammad. 2015. Apakah Kemampuan Ekonomi Provinsi se-Pulau Jawa dan Bali Sama? BPS Waropen. Diakses dari
www.academia.edu

3. menurunnya kualitas lingkungan fisik perkotaan
4. menurunnya kualitas hidup masyarakat di perkotaan
5. tidak mandiri dan tidak terarahnya pembangunan kawasan-kawasan permukiman

sehingga menjadi tambahan beban bagi kota inti
6. terbentuknya kawasan megapolitan yang membutuhkan peningkatan kuantitas dan
kualitas infrastruktur.
7. rentan bencana alam, baik yang disebabkan kekuatan alam (gempa bumi karena
pergeseran lempeng bumi dan letusan gunung api) dan akibat kerusakan lingkungan
seperti banjir dan tanah longsor.

Gambar diambil dari KSPPN-Bappenas 2015

Gambar diambil dari KSPPN-Bappenas 2015

Manajemen urbanisasi, meratakan persebaran penduduk
Akibat ketimpangan yang terus terjadi, khususnya di Jabodetabek, amat terasa bahwa
penyebaran penduduk tidak merata. Dalam dokumen KSPPN disebutkan bahwa hal ini
menyebabkan tidak optimalnya fungsi ekonomi terutama di kota sedang dan kecil dalam
menarik investasi, tidak optimalnya peranan kota dalam memfasilitasi pengembangan
wilayah, dan tidak sinergisnya pengembangan peran dan fungsi kota-kota dalam mendukung
perwujudan sistem kota-kota nasional.
Secara khusus, urbanisasi juga berpengaruh secara fisik yang ditandai dengan peningkatan
stastus kota. Bappenas telah mendeteksi terjadinya pergeseran status pada 6 tahun terakhir

yaitu sepanjang tahun 2006-2011. Kota sedang cenderung cepat menjadi kota besar. Kota
kecil dan metropolitan cenderung tetap. Berdasarkan persebarannya di Indonesia, menurut
kabupaten/kota, kecenderungan aglomerasi kawasan perkotaan masih berada di Pulau Jawa
dan Sumatera. Berdasarkan data Podes 2011 seperti dikutip Bappenas dalam dokumen
KSPPN, ada asumsi bahwa dalam setiap kabupaten terdapat satu kawasan perkotaan, jml
penduduk kawasan perkotaan diasumsikan terpusat di satu titik yang membentuk satu
kawasan perkotaan.

Peta perkembangan konurbasi di Pulau Jawa
Gambar diambil dari bahan kuliah ke-7 Rudy P Tambunan, KPP UI, 2016

Penduduk perkotaan seperti yang sudah dinyatakan di depan, akan terus tumbuh. Dengan
kondisi perekonomiannya yang jauh lebih maju dibandingkan pulau-pulau lain di Indonesia,
jika dibiarkan secara alamiah maka akan banyak muncul kota metropolitan yang hanya terjadi

di Pulau Jawa. Oleh karena itu, butuh majamenen urbanisasi yang mampu menggerakkan
persebaran penduduk ke luar Pulau Jawa.
Saat ini, di Pulau Jawa ada satu kawasan perkotaan megapolitan dan empat kawasan
perkotaan metropolitan. Kawasan perkotaan megapolitan yaitu DKI Jakarta, Kota Bogor,
Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota

Tangerang, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bekasi atau Jabodetabek dengan jumlah total
penduduk 24.567.458. Kawasan ini status hukumnya berdasarkan Peraturan Presiden Nomor
54 tahun 2008.
Kawasan perkotaan metropolitan, yaitu cekungan Bandung (Kota Bandung, Kab Bandung, Kab
Bandung Barat, Kota Cimahi, Kab Majalengka, dan Kab Sumedang) dengan 6,2 juta penduduk,
Gerbang Kertosusila (Kota Surabaya, Kab Sidoarjo, Kab Gresik, Kab Mojokerto, Kota
Mojokerto, Kab Lamongan, dan Kab Bangkalan) 3,1 juta penduduk, Kedung Sepur (Kota
Semarang, Kab Semarang, Kab Kendal, Kota Salatiga, Kab Purwodadi, dan Kab Demak) 2,6 juta
penduduk, dan Yogyakarta (DI Yogyakarta, Kab Sleman, dan Kab Bantul) dengan 2 juta
penduduk.

Gambar diambil dari KSPPN-Bappenas 2015

Dengan dinamika perkembangan kota dan kawasan perkotaan sangat tinggi mengikuti
tingginya tingkat urbanisasi, arahan pengelolaan kota di Jawa saat ini belum begitu baik.
Contoh buruk, antara lain, seperti di Jabodetabek dengan Badan Kerja Sama Pembangunan
(BKSP) yang belum bisa bekerja optimal. Dalam dokumen KSPPN, diulas masalah lintas daerah
terutama akibat munculnya kawasan perkotaan baru atas inisiasi swasta menyisakan
persoalan pengelolaan yang terkait dengan pemeliharaan kota. Mendesak adanya perbaikan
tata kelola dan kelembagaan pembangunan perkotaan

Begitu banyaknya tipologi kota juga menyebabkan munculnya perbedaan arah
pengembangan pengelolaan masing-masing kawasan perkotaan, termasuk di Pulau Jawa.
Namun, dalam pembahasan KSPPN juga diakui bahwa belum ada data dan informasi akurat
handal terkini yang bisa jadi bahan referensi perencanaan pembangunan perkotaan,
terutama data penyediaan sarana prasarana, kondisi lingkungan kota dan sosial budaya kota.
Di Pulau Jawa, dengan kawasan megapolitan dan metropolitannya, dinilai belum dapat
berperan mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kota sedang dan kecil begitu juga
keterkaitannya dengan desa. Padahal, peran kota sudah ditetapkan sebagai pusat
pertumbuhan. Ironis bila kota tidak dapat berpengaruh signifikan pada pertumbuhan
ekonomi regional dan nasional sesuai yang ditetapkan dalam RTRWN 2008-2028.
Akibatnya, daya saing perkotaan termasuk di dalamnya kota-kota di Pulau Jawa dalam lingkup
regional wilayah masih terbilang belum memuaskan.

Gambar diambil dari KSPPN-Bappenas 2015

Rendahnya daya saing, antara lain, karena terjadinya urban sprawl yang memicu masalah. Di
Jabodetabek, misalnya, sampai saat ini ada masalah akut terkait transportasi, pertumbuhan
ruas jalan tidak sebanding dengan luas jalan, juga hubungan kerjasama antar daerah belum
optimal. Perkembangan di Jabodetabek terlihat seperti di gambar ini :


Gambar diambil dari KSPPN-Bappenas 2015

Khusus dalam konteks terbentuknya kawasan megapolitan, KSPPN mengidentifikasi telah
berlangsungnya diseconomies of scale karena terlalu besarnya jumlah penduduk dan terlalu
luasnya wilayah yang harus dikelola. Saat ini, secara garis besar kondisi kota-kota di Jawa
memiliki beberapa permasalahan yang khas, yaitu :
1.
2.
3.
4.

belum memiliki standar pelayanan perkotaan (SPP)
berada di kawasan beriklim tropis
harus disadari bahwa Jawa adalah bagian dari gugusan besar kepulauan Nusantara
berada di jalur cincin api pasifik
dari poin 2,3, dan 4 - kota-kota di Pulau Jawa yang berada di pesisir rentan terhadap
dampak negatif dari perubahan iklim, antara lain, kenaikan muka air laut dan banjir;
rawan bencana alam seperti gunung meletus, gempa bumi, tsunami, dan tanah
longsor
5. menghadapi Asean Economic Community (AEC) mulai tahun 2015, juga AFTA dan

CAFTA, seperti halnya semua daerah di Indonesia, kota-kota di Pulau Jawa
menghadapi liberalisasi lima unsur, yaitu barang, jasa, investasi, tenaga kerja, dan
modal. Sementara, sama dengan kota-kota di Indonesia lain, kawasan perkotaan di
Jawa masih berkubang dalam persoalan rendahnya daya saing karena kurang
terolahnya produk unggulan lokal, rendahnya investasi, rendahnya SDM, dan
buruknya infrastruktur. Di era liberalisasi, globaliasi, dan perdagangan bebas ini,
meskipun kawasan perkotaan di Pulau Jawa lebih maju dibanding luar Jawa, kota-kota
di pulau yang dulu disebut Jawadwipa ini tetap butuh kesiapan dan daya saing.
6. Pengelola kota/perkotaan dituntut semakin tanggap, transparan, akuntabel, kreatif,
inovatif, mampu bekerjasama, berkomunikasi, dan berkolaborasi dengan semua
pelaku perkotaan

7. Kota-kota di Jawa perlu efektif menerapkan kebijakan pembangunan perkotaan
secara umum untuk jangka panjang sesuai RPJPN 2005-2050, yaitu penyeimbangan
pertumbuhan kota metropolitan-besar-sedang-kecil, pengendalian pertumbuhan
kota-kota besar dan metropolitan, percepatan pembangunan kotakota kecil dan
menengah terutama di luar pulau Jawa, dan peningkatan keterkaitan kegiatan
ekonomi di wilayah perkotaan-perdesaan.

Kebijakan Strategi Perkotaan Jawa

Menghadapi problema berat yang dihadapi kawasan perkotaan di Jawa, tetapi dengan
mempertimbangkan besarnya potensi yang dimiliki, KSPPNN menegaskan bahwa Pulau Jawa
masih
menjadi tumpuan kehidupan dan perekonomian nasional. Hal ini diakui
menggambarkan bahwa selama ini telah terjadi bias dalam pembangunan nasional. Terlalu
banyak sumber daya diberikan ke Jawa dibanding sebaliknya. Di Jawa, perkembangan
perkotaan sangat cepat, pasar bekerja sangat kuat, pemerintah tidak cukup mampu
mengendalikannya. Terjadi eksternalitas berupa kerusakan lingkungan dan ketidakadilan
sosial.
Dari sisi tata ruang, lingkungan, dan sumber daya, Jawa makin kritis dan terancam. Tanah di
Jawa memang lebih subur dibanding pulau lain di Indonesia, tetapi lahan pertaniannya terus
berkurang. Di Jawa penyusutan lahan sawah 36.000 ha/tahun yang lalu beralih fungsi menjadi
areal industri dan perumahan. Proses alih fungsi ini kuat diintervensi swasta daripada di
bawah kendali pemerintah.
Agar bisa kembali ada keseimbangan secara nasional, maka KSPPN menegaskan harus ada :
1. pengendalian pembangunan perkotaan yang lebih ketat dan tegas untuk tidak
semakin menekan daya dukung pulau jawa bali, yaitu dengan
a. mengendalikan peran ekonomi megapolitan jabodetabekpunjur
b. mengontrol ketat perkembangan kota-kota metropolitan lain di Jawa
2. meningkatkan efisiensi jaringan sarana-prasarana untuk mendukung kelancara

kegiatan ekonomi dan sosial Jawa Bali
3. peningkatan efisiensi dan kualitas lingkungan kota-kota di Jawa bali sbg prasyarat
peningkatan kualitas kehidupan sebagain besar masy indonesia
4. peningkatan kerjasama antarakota dan wilayah-wilayah perkotaan
5. peningkatan kapasitas pengelola kota dan tata kelola kota
6. pengembangan kawasan perkotaan yang mempertimbangkan keseimbangan
hubungan antar kluster, klaster utara (kota-kota di pesisi utara), klaster tengah (kotakota di bagian tengah), dan klaster selatan (kota-kota di pesisir selatan)
7. mengoptimalkan peran kota-kota menengah dan kecil.

Diharapkan, jika KSPPN dilakukan, ditargetkan kota-kota di Indonesia, termasuk di Pulau Jawa
akan tercapai menjadi kota berkelanjutan di tahun 2050. KSPPN mengatur perencanaan
nasional dengan proses bertahap dan mekanisme prasyarat di mana tahapan ideal kota (kota
hijau dan layak huni – kota berdaya saing – kota berkelanjutan) tidak akan terwujud apabila
kota-kota tidak memenuhi standar pelayanan perkotaan di tahun 2025.

Masukan terkait pemberdayaan masyarakat
Terkait KSPPN dan pengelolaan kota serta kawasan perkotaan di Indonesia, ada masukan
menarik dari Rujak Center for Urban Studies3. Rujak menegaskan bahwa implementasi KSPPN
tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kebijakan pemerintah yang berakhir bertepatan dengan
dimulainya kebijakan KSPPN, yaitu MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan

Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2015). Ada dua kata kunci dalam skema MP3EI, yaitu
partisipasi maksimal dunia usaha dalam ragam investasi di seluruh penjuru Indonesia dan
pengurangan peran negara hanya menjadi sebatas fasilitator pergerakan modal di Indonesia
yang masih berdampak sampai saat ini4.
Dalam MP3EI, menurut Rujak, proyek-proyek infrastrukur didanai melalui anggaran
pemerintah, perusahaan-perusahaan negara, investasi sektor swasta, dan pendanaan donor
bilateral maupun multilateral. Pembiayaan dan pendanaan proyek-proyek pembangunan
infrastruktur oleh MP3EI didapat melalui 3 lajur; (1). Memangkas subsidi-subsidi untuk rakyat
yang dialihkan untu pembiayaan infrastruktur (2). Meningkatkan pendapatan Negara oleh
pajak dan (3) penambahan hutang. Dari sekian opsi tersebut, pemangkasan subsidi rakyat dan
penambahan hutang adalah jalur yang ditempuh pemerintah untuk membiayai
pembangunan infrastruktur. Selain itu, mekanisme yang diambil untuk membiayai
pembangunan infrastruktur adalah dengan mekanisme Public Private Partnership (PPP)5.
Rujak mengkritisi bahwa seolah dengan pendekatan PPP, beban keuangan negara melalui
APBN maupun APBD dalam pembangunan infrastruktur menjadi jauh berkurang. Namun,
dalam draft masukan RUU kota itu, dijelaskan bahwa apakah proyek MP3EI yang tercatat
senilai Rp. 4.934, 8 Triliun mencakup 4.632 proyek itu diperlukan? Sejak 2011 hingga Oktober
2013, penelusuran Rujak, investasi MP3EI telah mencapai Rp. 737,9 triliun mencakup 259
proyek, separuhnya adalah proyek infratruktur (155 proyek). Pulau Jawa memiliki jumlah
investasi terbesar (Rp. 276,8 Triliun). Dari 259 proyek tersebut, 24,6 persen dikerjakan oleh
BUMN, 34,5 persen oleh swasta, 11,9 persen oleh pemerintah, dan 29 persen investasi
campuran.
Begitu banyak uang yang dikucurkan di Indonesia, khususnya di Jawa, tetapi jika menelusuri
dokumen KSPPN ketimpangan masih terjadi. Intervensi swasta yang terlalu besar, misal di
3

Rujak Center for Urban Studies. Draft Naskah Masukan RUU Kota. September 2014
Op.Cit
5 Op.Cit

4

Jabodetabek telah memicu urban sprawl yang menelurkan banyak masalah besar lainnya.
Pemerataan pembangunan selama 2011-2015 belum terjadi dan ketimpangan masih tinggi.
Berdasarkan analisa itu, patut menjadi renungan bahwa KSPPN menjadi semacam solusi atas
kekacauan hasil kebijakan pembangunan sebelumnya.
Namun, cukupkah KSPPN dengan kebijakan strategi perkotaannya menjadi solusi atas
masalah perkotaan di Pulau Jawa? Lagi-lagi mencermati analisa Rujak menjadi amat menarik.
Berdasarkan studi di tiga kota, yaitu Surabaya, Semarang, dan Pontianak, Rujak menyatakan
bahwa partisipasi aktif masyarakat yang berarti masyarakat sebagai penentu pembangunan
apa yang terbaik bagi kotanya adalah syarat mutlak untuk bisa membangun kota
berkelanjutan seperti cita-cita KSPPN.
Untuk itu, Rujak mengimbau bahwa di samping kekuatan hukum untuk mengelola kota perlu
selalu ada evaluasi atas setiap pelaksanaan kebijakan. Evaluasi berdasarkan apa yang
dirasakan masyarakat dan seberapa besar aspirasi mereka terserap, serta seberapa kuat
posisi mereka sebagai penentu kebijakan. Beberapa poin yang dirangkum dari studi cita-cita
kota-kota di Indonesia berbasis kepentingan masyarakat yang bisa diselaraskan dengan
implementasi KSPPN6, yaitu :
1. Kota harus dilihat sebagai sebuah sistem, terutama dilihat dari sisi ekologi.
2. Kota dicita-citakan menjadi satu ruang berbagi.
3. Kota dikembangkan dengan memfasilitasi kekhasan kota yang bisa muncul dari aspek
sejarah, nilai-nilai lokal, budaya kampung, dan budaya kerja (everyday live).
4. Kota dikelola dengan beberapa prinsip sebagai berikut:
a. Perwujudan Prinsip Sengkuyung/ inklusivitas.
b. Kota dikelola dengan baik melalui komunikasi terbuka antara pemerintah dan
pemangku kepentingan di kota (khususnya warga).
c. Adanya pengelolaan bersama atau kerjasama antar pemerintah
d. Kota dikelola dengan keterlibatan warga
5. Kota mampu memenuhi kebutuhan dasar dan Infrastruktur dasar seperti air, sanitasi,
transportasi, listrik, udara, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, perumahan dan
jaringan internet.
6. Kota dan lingkungan sekitar sebagai tempat belajar (informal)
7. Kota dikembangkan dengan distribusi ekonomi yang lebih adil dan setara.
8. Target ekonomi kota tidak melulu mengejar pertumbuhan, tapi juga memastikan
distribusi ekonomi yang lebih adil dan setara. Target ekonomi yang berbasis pada
kebutuhan dan gerak ekonomi rakyat adalah transformasi ekonomi lokal melalui,
regulasi pasar dan perdagangan, pengolahan kearifan lokal yang memperhatikan
keberagaman dan integrasi untuk menghindari pembekuan (esensialisasi) karakter.
9. Kota dikembangka dengan konsep penataan ruang yang mengatur integrasi antara
kota dan pertanian serta menguatkan industri pariwisata lokal, aspek zonasi (dengan
6

Op.Cit

penekanan pada aspek keterhubungan), kelestarian lingkungan dalam hal konservasi
tanah dan air, sistem irigasi, penguatan daya dukung lingkugan, pengelolaan sampah
dan limbah terpadu, serta pengendalian penambangan/ galian, juga penataan kota
dengan memperhatikan aspek kesiagaan bencana.
10. Kota dikembangan dengan mengelola potensi laut dan sungai.
11. Kota dikembangkan dengan orientasi pada proses dan tujuan jangka panjang.
12. Kota dengan sistem transportasi yang memfasilitasi keterhubungan dan membangun
pembuluh nadi kota yang sehat.
13. Adanya pendidikan tentang kehidupan berkota, yaitu pendidikan dan pengetahuan
(praktis) mengenai kehidupan kota agar anak-anak tidak asing dengan lingkungannya.
Rumah ilmu (ruang berbagi yang khusus untuk mengembangkan pendidikan dengan
cara yang kreatif) penting untuk dikembangkan di setiap kota.

Kesimpulan
Pulau Jawa dengan kota-kotanya yang terus berkembang menjadi kekuatan besar di
Indonesia sebagai pusat perekonomian yang seharusnya mampu menggerakkan
perekonomian negeri ini. Prospek kota-kota di Pulau Jawa ke depan, setidaknya hingga tahun
2050 juga dinilai masih bagus. Namun, Jawa terus dibelit masalah yang antara lain disebabkan
tingginya urbanisasi, pengendalian pembangunan yang lebih banyak di bawah swasta,
masalah fisik maupun sosial perkotaan yang akut, serta masih minimnya keterlibatan
masyarakat sebagai penentu dan actor/pelaku pembangunan kota. Jika tidak ada upaya untuk
mengatasi permasalahannya itu, Jawa akan terpuruk dan membawa serta 60 persen
penduduk Indonesia yang kini menghuninya turut terpuruk. Jika ini terjadi, kota-kota dan
kawasan lain di negeri ini pun menanggung dampak terburuk. Untuk itu, peran KSPPN dengan
kebijakannya yang mendorong penguatan pergerakan perekonomian, pembangunan dengan
mengutamakan pelestarian lingkungan dan merangkul aspirasi warga, juga target
mewujudkan kota berkelanjutan, amat vital dan harus bisa diimplementasikan. Agar tujuan
KSPPN tercapai, pemerintah pusat, pemerintah kota, swasta dan masyarakat tidak ada
salahnya merangkul masukan positif agar pengelolaan kota berjalan baik. Hal ini antara lain
diwujudkan dengan pembangunan kota yang bertujuan memenuhi kebutuhan warga
penghuni kota serta memberi peran warga sesuai porsinya sebagai pelaku pembangunan kota
dengan mengedepankan pelestarian lingkungan.

Daftar pustaka :
Dokumen Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional (KSPPN) 2015-2050,
Direktorat Perkotaan dan Perdesaan, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi
Daerah, Bappenas/Kementerian PPN.

Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Fajar, Muhammad. 2015. Apakah Kemampuan Ekonomi Provinsi se-Pulau Jawa dan Bali
Sama? BPS Waropen. Diakses dari www.academia.edu
Moersidik, Setyo. 2016. Handout mata kuliah Lingkungan Perkotaan, Kajian Pengembangan
Perkotaan, Universitas Indonesia, 2016
Mungkasa, Oswar. 2015. Substansi Penting Terkait Undang-undang Perkotaan di Indonesia
(Sumbangan Pemikiran). Diskusi Panel “Keberadaan UU Perkotaan di Indonesia” di
Universitas Tarumanegara, Jakarta, 21 Februari 2015
Rujak Center for Urban Studies. Draft Naskah Masukan RUU Kota. September 2014
Tambunan, Rudy P. Handout mata kuliah Lingkungan Perkotaan, Kajian Pengembangan
Perkotaan, Universitas Indonesia, 2016
Tanpa pengarang, 2014, Urban Demography. Kumpulan artikel, diterbitkan oleh Kemitraan
Agenda Habitat Indonesia. November 2014.
Tanpa pengarang, 2014. Rancangan Teknokratik, Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2015-2019. Buku 1, Agenda Pembangunan Nasional. Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.