42 Tahun yang lalu Timor Leste memprokla

https://www.facebook.com/aboeprijadi.santoso/posts/101555135517
48884
November 27 at 9:00pm · Amsterdam ·

42 Tahun yang lalu Timor
Leste memproklamasikan
kemerdekaan

28 Nov. 1975 Timor Leste memproklamasikan
kemerdekaan.
Sembilan hari kemudian Indonesia menyerbu dan
menganeksasinya. Empatpuluhdua tahun kemudian publik
di Indonesia masih mengaku kita "kehilangan" wilayah kayak maling ayam mengaku kehilangan ayam curiannya;
bahkan menolak mengakui bhw kita pernah menjadi
negara penjajah. Sejak itu doktrin 'NKRI Harga Mati' jadi
hegemonik - meski pun konstitusi RI mengakui hak
kemerdekaan setiap bangsa.

“Saya bukan ragu-ragu, tapi mata saya memandang laut.
Dan telinga saya mengarah ke udara. (Siapa tahu) kalau
kalau tentara Indonesia datang menyerbu.” Demikian

Francisco Xavier do Amaral berkisah kepada Radio
Nederland (1995) ketika menceritakan momen-momen
saat dia, pada 28 November 1975 pukul 10 malam,
membacakan proklamasi kemerdekaan RDTL, Republik
Demokratik Timor-Leste.
http://archief.wereldomroep.nl/bahasa-indonesia/article/xavier-doamaral-sahabat-indonesia-tutup-usia

This is a Radio Netherlands Worldwide archive page. Click here for the current RNW
Media website.Dosir

Xavier do Amaral, Sahabat Indonesia, Tutup Usia
Diterbitkan : 7 Maret 2012 - 12:05pm | Oleh Aboeprijadi Santoso (Foto: Jörg Meier, Watch
Indonesia!)

Xavier do Amaral:
Presiden Sepuluh Hari Timor
Timur

Francisco Xavier do Amaral, presiden pertama
Timor Leste, kemarin tutup usia setelah mengidap

kanker di sebuah rumah sakit di Dili. Seorang
proklamator yang menjadi Kepala Negara hanya
untuk 10 hari. Catatan Aboeprijadi Santoso.
Xavier Amaral harus bergerilya karena negerinya diserbu
Indonesia. Dialah satu-satunya mantan proklamator di
dunia yang dijadikan tukang kebun oleh seorang jenderal
yang menduduki negerinya. Di negerinya sendiri,
namanya baru direhabilitasi pada tahun 2008.
Almarhum akan dimakamkan sebagai Pahlawan Nasional
di Taman Pahlawan Metinaro. Timor Leste berkabung
selama tiga hari.
“Saya bukan ragu-ragu, tapi mata saya memandang laut.
Dan telinga saya mengarah ke udara. (Siapa tahu) kalau
kalau tentara Indonesia datang menyerbu.” Demikian
Francisco Xavier do Amaral berkisah kepada Radio
Nederland ketika menceritakan momen-momen saat dia,
pada 28 November 1975 pukul 10 malam, membacakan
proklamasi kemerdekaan RDTL, Republik Demokratik
Timor-Leste.
Pahlawan

Amaral terlahir di Turiscal, distrik Manufahi pada 1937.
Perjalanan hidupnya menyimpan heroisme, ironi dan
tragik.
Heroik, karena dia berjuang bergerilya sejak menit menit
pertama bangsanya bertekad merdeka. Partainya, partai
sosial-demokrat ASDT-lah yang melahirkan Fretilin,
gerakan rakyat yang paling pahit getir memperjuangkan
kemerdekaan negerinya.
Ironis, karena proklamator ini tak pernah menjadi presiden
lebih dari 10 hari. Sewaktu pilpres Timor Leste, tahun
2002 dan 2007, dia kalah, dan ketika maju lagi untuk
Pilpres minggu depan, dia dijemput ajal.
Akhirnya, Xavier Amaral menjadi sebuah tragik. Perannya
sebagai proklamator dan pendiri RDTL untuk jangka waktu
lama – hingga tahun 2008 – nyaris terlupakan.

Republik Demokratik Timor Leste
Menjelang proklamasi RDTL, November tahun 1975,
wilayah yang kala itu disebut Timor-Portugis berada dalam
keadaan bahaya. Diplomasi Indonesia dengan Portugal

macet, Australia mulai beralih memihak Indonesia untuk
mengintegrasikan wilayah tersebut.
Sementara tentara Indonesia diam-diam mulai menyusup.
Pantas, Amaral dan kawan-kawan amat cemas di saat-saat
proklamasi. Fretilin saat itu sudah yakin Indonesia akan
mengambil alih Timor Timur dan sebagai tokoh tertua di
kalangan pemuda, Amaral dipilih membacakan proklamasi
yang mengejutkan Indonesia itu.
Esoknya, rombongan Opsus, termasuk sejumlah tokoh
Timor Timur yang anti-Fretilin bergegas menyiapkan
sebuah deklarasi integrasi. Namanya “Deklarasi Balibo”
meskipun sesungguhnya sudah ditandatangani di sebuah
hotel di Denpasar.
Dan di Jakarta, Presiden Soeharto, atas bujukan Ali
Moertopo dan Benny Moerdani, menyiapkan invasi dan
memberitahukannya kepada Presiden A.S. Gerard Ford
dan Menlu Henry Kissinger yang berkunjung ke Jakarta
hanya sehari sebelum invasi 7 Desember 1975.
Gerilya
Sejak itu, Amaral dan kawan-kawan harus bergerilya. Akhir

1970an, Fretilin terdesak ke gunung hingga terjadi
pengepungan kawasan Matebian, yang mengakibatkan
kelaparan, perang dan pembantaian yang menelan
ratusan ribu jiwa.
Kegundahan melihat penderitaan rakyat itulah yang
akhirnya membuat Xavier Amaral pada tahun 1978, turun
gunung.
Soal strategi apakah rakyat harus ikut berjuang di gunung,
atau turun menyerah, membuat Amaral bersengketa berat
dengan pimpinan Fretilin, bahkan sebagian Komite Sentral
mengeluarkan perintah agar dia dibunuh.

Akhirnya Amaral turun, tapi dia mengaku tidak pernah
menyerah pada tentara Indonesia. Dia ditangkap di
Viqueque oleh Batalyon 748 di bawah Kol. RPKAD Dading
Kalbuadi. Sejak 1983 menjadi tahanan-rumah, “merawat
kuda dan menjaga kebun” di rumah Dading hingga tahun
1995.
Di rumahnya terpampang sebuah lukisan yang
menggambarkan kegagahan Dading Kalbuadi dalam

seragam baret merah RPKAD.
Amaral seperti mengidap “Sindroma Stockholm” sindroma korban sandera yang berbalik bersimpati pada
penyanderanya. Tapi kepada Radio Nederland, Amaral
mengaku dirinya diperlakukan baik, yaitu sebagai
“pahlawan”, oleh Dading Kalbuadi, karena itu, dia “sangat
menghargai” perwira yang menawannya.
Pergi dari Timor Leste
Sepeninggal Dading menjelang referendum Timor Timur
Agustus 1999, dia merasa terancam oleh intel-intel
tentara. Maka sebelum mencoblos merdeka di sebuah
kathedral di Jakarta, dia menghubungi utusan Portugal,
Anna Gomes.
Sebenarnya Amaral sudah lama berniat meminta suaka di
Inggris, tapi entah mengapa, keinginan itu dibatalkannya.
Akhirnya, sejak memproklamasikan kemerdekaan, baru
pada tahun 2000-lah, Xavier Amaral kembali ke tanah
airnya.
Meski tersisih dari Fretilin, Xavier Amaral tetap hormat
pada Fretilin. Memang, Fretilin membuktikan bahwa Timor
Timur tidak bisa direbut “dalam sehari, sambil makan pagi

di Dili, makan siang di Baucau dan makan malam di Los
Palos”.
Itu cuma omong kosong jenderal Indonesia. Tanpa Fretilin,
tak ada perjuangan kemerdekaan Timor Leste. Dalam
wawancara terakhir dengan Radio Nederland, September
2009, Amaral mengakui perselisihannya dengan Fretilin
membuat dirinya baru pada tahun 2008 diakui resmi
sebagai proklamator dan pendiri RDTL.
Sahabat Indonesia

Indonesia mengenal baik Xanana Gusmao, pemimpin
gerilya yang kini Perdana Menteri Timor Leste, dan Jose
Ramos-Horta, yang malang melintang di rantau untuk
memperjuangkan negerinya dan kini menjabat Presiden.
Namun sebenarnya Xavier Amaral-lah tokoh depan Timor
Leste yang paling lama mengenal dan menjalin
persahabatan dengan Indonesia. Indonesia patut
menghargainya sebagai sahabat dan pahlawan.
Bagi Indonesia yang bertradisi anti kolonial, dan bagi
Timor Leste, Xavier Amaral adalah seorang pahlawan.

Hingga akhir hayatnya, “Presiden Sepuluh Hari” itu tetap
seorang patriot dan pejuang.
Sumber: Historia.co.id. 8 Maret 2012
link: http://historia.co.id/?d=965
Cf. http://archief.wereldomroep.nl/…/xavier-do-amaralsahabat-i…
https://www.academia.edu/2926962/Xavier_do_Amaral_For
gotten_Founder_of_Independent_Timor_Leste_2012_
https://www.facebook.com/notes/aboeprijadisantoso/obituary-xavier-do-amaral-forgotten- founder-ofindependent-timor-leste/10150717535394400
Obituary: Xavier do Amaral

Forgotten Founder of Independent TimorLeste
by Aboeprijadi Santoso on Monday, March 12, 2012 at
8:28pm ·
A version of this has been published in
http://historia.co.id/artikel/9/965/MajalahHistoria/Presiden_Sepuluh_Hari
Shorterversion: http://www.thejakartapost.com/news/2012/
03/12/xavier-do-amaral-forgotten-founder-independenttimor-leste.html

Indonesia may have colonized East Timor for decades, but
the names we are mostfamiliar with – strangely, perhaps -number just two: Key Rala 'Xanana' Gusmao,the

charismatic former guerilla leader, now Prime Minister,
and Jose Manuel Ramos-Horta, the resistance diplomat,
now President of his country. The first spent most of his
struggle in the mountain and the second jet-setting
around the world.
Meanwhile we have for long time ignored the man who
was the founder of thehistoric Democratic Republic of
Timor Leste (RDTL) despite the fact that he
spentconsiderable part of his life in Indonesia: Francisco
Xavier do Amaral.
Xavier do Amaral died in Dili on March 6, 2012, aged 74,
because of cancer. He wasan amiable man, a fighter,
tough politician, and statesman all rolled into one. I
methim in Jakarta in 1995, 1998 and in Dili in 2009. His
story, life and struggle thoughwas heroic, ironic and tragic.
It's heroic, because it was his political party, the social
democratic ASDT, founded byhimself, Ramos-Horta and
Nicolau do Reis Lobato, which laid the foundation of
theRDTL and the liberation movement Fretilin.
It's ironic, because Amaral proclaimed the independence

in the late-1975, only toserve as head of state for ten
days. He never won the presidential elections
inindependent Timor Leste (2002 & 2007).
Above all, it's tragic because shortly after proclaiming
his country's independence, Amaral became a war
prisoner-turned-house detainee for some twenty years
inJakarta (1978-2000). And, as he went home in the early2000, it was far fromobvious whether he would be
recognized and welcomed as a founding father.
Nonetheless, Xavier do Amaral was a great patriot who
played an important role forhis nation. Even during his
exile, being the primus inter pares, he performed afatherly

role as protector of the East Timorese community in
Jakarta.
Photo
Source: Nugraha
Katjasungkana,https://www.facebook.com/photo.php?
fbid=3057412107599&set=a.3057423867893.2139904.1
032251268&type=3&theater
In any case, the Timor Leste government has decided to

officially acknowledge hisdedication and service. He will
be buried at the Metinaro Hero Cemetery and thenation
will mourn for three days.
“I was never in doubt, but I kept my eyes looking toward
the sea and my ears toward the air (because) who know,
the Indonesian army might came and attack us,” Amaral
told Radio Netherlands in 1995 as he described the moments
onNovember 28, 1975 at 10 pm, when he read the text of
the proclamation of theRDTL.
By then, Fretilin knew Indonesia would sooner or later take
over the country. But itsunilateral independence
declaration came as a great shock for Jakarta. It forced
the Army's intelligence unit Opsus in Bali to hastily
prepare a pro-integration declaration

Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Pengangguran, Kemiskinan dan Fasilitas Kesehatan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Jember Tahun 2004-2013

21 388 5

PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN GANGGUAN JIWA (SKIZOFRENIA) Di Wilayah Puskesmas Kedung Kandang Malang Tahun 2015

28 256 11

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan manajemen mutu terpadu pada Galih Bakery,Ciledug,Tangerang,Banten

6 163 90

Efek ekstrak biji jintan hitam (nigella sativa) terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diinduksi gentamisin

2 59 75

Pengaruh kualitas aktiva produktif dan non performing financing terhadap return on asset perbankan syariah (Studi Pada 3 Bank Umum Syariah Tahun 2011 – 2014)

6 101 0