Korean Wave di Industri Kultur Dunia

“Korean Wave” di Industri Kultur
Dunia
Priska Sabrina Luvita
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah
Globalisasi merupakan sebuah fenomena, atau era di mana kita hidup sekarang.
Istilah globalisasi itu sendiri sebenarnya banyak memperoleh perdebatan oleh para kaum
intelektual dunia, namun secara umum, Globalisasi banyak dicirikan dengan kemudahan
dan kecepatan memperoleh informasi, perputaran capital di dunia, semakin tidak
berartinya batas-batas tiap negara, dan lain sebagainya yang dapat membuat dunia
menjadi lebih sempit.
Globalisasi sesungguhnya juga memberikan kita kemudahan untuk mentransfer
kultur atau budaya beserta ide-ide kreatif masyarakat dunia secara cepat. Maraknya
fenomena ―K-Pop‖ atau ―Korean Wave‖ –dapat disebut juga ―Hallyu‖ dalam bahasa
Korea—merupakan salah satu dari budaya yang sedang sangat diminati masyarakat dunia
sekarang ini. Awal istilah ―Korean Wave‖ ini muncul sebenarnya untuk menunjukkan
maraknya produk-produk dari Korea Selatan di luar negerinya, namun pada
perkembangannya sekarang, istilah ini berkembang dan digunakan untuk menyebutkan
para selebritis-selebritis asal Korea Selatan yang berhasil mengepakkan sayapnya di

dunia internasional.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, ―Korean Wave‖ muncul dan mendominasi
kultur masyarakat dunia, mulai banyaknya minat untuk membeli banyak produk-produk
Korea Selatan (terutama yang diiklankan atau dipakai oleh selebritis ―Hallyu‖) seperti
CD, poster, dan pernak-pernik lainnya. Sepanjang tahun 2009 sampai 2011 pun selebritisselebritis asal Korea Selatan yang mengadakan ajang temu fans dan konser meningkat
drastis. Seringnya diputarkan lagu-lagu selebritis ―Hallyu‖ di televisi dan radio, bahkan

2
tempat penjualan DVD-DVD di Indonesia yang tadinya hanya memberikan satu slot kecil
untuk DVD-DVD Korea Selatan, bertambah tiga kali lipat di setiap konter DVD.
Fenomena ini juga membuat restoran makanan Korea dan penjualan baju-baju ala Korea
Selatan mulai banyak bermunculan di sekitar masyarakat, seperti masyarakat Indonesia.
Hal menarik lain adalah banyak bermunculannya artis boyband dan girlband di
Asia (bahkan Indonesia) dengan konsep yang sejenis dengan artis-artis ―Hallyu‖ dan
mulai aktif kembali boyband-boyband yang berasal dari Barat seperti New Kids On The
Block dan BackstreetBoys.
Fenomena ini sesungguhnya merupakan suatu hal yang menarik untuk dibahas,
terlebih karena fenomena ini merupakan fenomena baru dan tengah berkembang di
masyarakat dan industri kultur dunia. Serta karena masyarakat dunia sekarang ini
cenderung bersikap ―taken for granted‖ fenomena ―Korean Wave‖ ini tanpa mengkaji

apa yang sebenarnya terjadi dengan adanya fenomena ini di dunia sekarang ini.

I.2. Batasan Masalah
Penulis akan membatasi makalah ini pada periode waktu tahun 2005 sampai
dengan tahun 2011.

I.3. Perumusan Masalah
1. Bagaimana fenomena ―Korean Wave‖ ini berperan dalam industri kultur dunia
sekarang ini?

3
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. Kemunculan dan Dampak “Korean Wave” di era Globalisasi
Setelah dilacak awal mula meledaknya fenomena yang sekarang disebut ―Korean
Wave‖ ini, ternyata dimulai dari ekspor Drama Televisi Korea Selatan (mini-series atau

sejenis sinetron di Indonesia) ke China pada tahun 1990an.1 Kemudian muncul istilah
―Korean Wave‖ atau yang kerap disebut ―Hallyu‖ dalam bahasa Korea yang pertama kali
dimunculkan oleh seorang jurnalis China saat menuliskan maraknya minat akan Korea

Selatan beserta produk-produknya di China pada awal tahun 2000.2 Melihat dari awal
kemunculannya, budaya populer atau popular culture (disingkat menjadi pop culture) –
yang dalam hal ini merupakan budaya pop dari Korea Selatan—merupakan suatu
fenomena yang sangat kuat dan signifikan dalam mempengaruhi perkembangan
hubungan perekonomian antara Korea Selatan dan China pada awal tahun 2000. Lalu
berkembang pesat di Jepang pada tahun 2003-2005 dengan diputarnya drama Korea
―Winter Sonata ‖.3 Kemudian pada akhirnya mulai mendominasi Asia sekitar tahun 20072009.
Dan lebih dari segalanya, fenomena ini dapat terjadi karena adanya kesempatan
yang diberikan oleh globalisasi itu sendiri, sesuai dengan salah satu deskribsi dari
globalisasi sebagai berikut:
Globalization is an amorphous concept that describes a variety of different
economic,

social,

communication

and

and


cultural

processes.

transportation

….increasing

technologies,

speed

growing

of

trade

interdependence and capital mobility, shifts in processes of production that

bring multiple countries and regions into single supply chains, the erosion of
national borders through increased immigration, and the growth of global

1

Korean Culture and Information Service. The Korean Wave: A New Pop Culture Phenomenon . Korean
Culture and Information Service (Korea Selatan, 2011), 11.
2
http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2006/08/30/AR2006083002985.html diakses
pada hari Selasa, 20 Desember 2011, pukul 21.22 WIB.
3
Korean Culture and Information Service, Ibid., 23.

4
public goods problems relating to environmental degradation, transnational
crime, and transnational terrorism.4 (Penekanan ditambahkan sendiri)
Kemudian dengan cara yang sama, fenomena ―Korean Wave‖ terus merambah dunia
dengan ikut dalam arus globalisasi dan teknologi informasi yang ada.
―Korean Wave‖ lebih lanjut dalam era globalisasi dimanfaatkan –sengaja
disebarkan untuk menarik dan menumbuhkan minat konsumtif kepada segala produk

buatan Korea Selatan, gaya hidup orang Korea Selatan, menarik para turis untuk datang
dan berbelanja di Korea Selatan, dan bahkan merubah pandangan sentimen akan Korea
Selatan. Hal ini cukup secara eksplisit dijelaskan pada buku yang diterbitkan sendiri oleh
Korean Culture and Information Service (KOCIS) yang bergerak di bawah Kementerian

Budaya, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan berjudul The Korean Wave: A New Pop
Culture Phenomenon.5 Pada dasarnya dapat diambil kesimpulan bahwa ―Korean Wave‖

dimanfaatkan untuk mengubah dan mengatur pola pikir dan keinginan masyarakat dunia
agar pro-Korea (Selatan).
Keberhasilan ―Korean Wave‖, para agensi-agensi penghasil selebriti-selebriti
―Hallyu‖, para produser pencipta drama-drama Korea dan para selebriti-selebriti
―Hallyu‖ itu sendiri inilah yang dari periode sejak munculnya ―Korean Wave‖ yang
membuat maraknya industri hiburan serupa muncul dalam berbagai dimensi. Munculnya
banyak generasi muda yang ingin bercita-cita menjadi selebriti, banyaknya bermunculan
boyband dan girlband secara bertubi-tubi tiap tahunnya di Korea Selatan sendiri –tanpa

menampikkan bahwa telah muncul banyaknya agensi yang menciptakan boyband dan
girlband serupa di Asia Tenggara, seperti Indonesia6, Malaysia7, dan lain sebagainya.


II.2. “Korean Wave” dan Industri Kultur Dunia
Dari penjabaran singkat kemunculan dan sedikit dampak dari fenomena ―Korean
Wave‖ ini, fenomena ini sesungguhnya dapat dikategorikan dan dianalisa dengan konsep

―Culture Industry‖ yang dicetuskan Theodore W. Adorno dan Max Horkheimer pada

Daniel H. Nexon dan Iver B. Neumann. “Harry Potter and International Relations”. Rowman &
Littlefield Publihers, inc (Amerika Serikat, 2006), 81.
5
Korean Culture and Information Service, Ibid., 13-14
6
Seperti Cherrybelle, SM*SH, S9B, dan banyak lainnya.
7
Seperti boyband pertama Malaysia, MAX 247 yang muncul di awal tahun 2011 dan girlband Gula-Gula.

4

5
buku yang mereka tulis bersama berjudul ― The Dialectic of Enlightenment‖8 karena
fenomena ini merupakan pengindustrian dan penyebaran budaya di era globalisasi oleh

kaum kapitalis. Fenomena yang merupakan sebuah skema penipuan di zaman kapitalisme
baru. Budaya, yang pernah bisa memungkinkan adanya unsur kebebasan dan kreativitas
individu, telah –melalui difusi massa film dan radio—menjadi ―industri kultur‖ lengkap
dengan ―cult of celebity‖ (pengkultusan selebriti, atau lebih lanjut dirumuskan dalam
konsep fetishme komoditas) yang memiliki mekanisme sosial tetap untuk menurunkan
derajat setiap orang.9
Mengapa menurunkan derajat manusia? Hal ini dikarenakan industri kultur
mengkontrol dan mengerahkan pikiran masyarakat, membuat suatu ―standarisasi‖ budaya
sesuai dengan budaya ―Korean Wave‖, dan membuat manusia –dalam hal ini selebritis
―Hallyu‖ beserta manusia lain yang menikmati ―Korean Wave‖—tidak lebih sebagai alat
dan komoditas dari kaum kapitalis. Yang seluruh hal tersebut dimanfaatkan kaum
kapitalis untuk menghasilkan profit.
Pertama , masalah industri kultur mengontrol dan mengerahkan pikiran

masyarakat. Seperti yang telah dijabarkan pada sub-bab selanjutnya, ―Korean Wave‖
beserta seperangkat hasil produksinya (termasuk produk dan selebritinya) mampu untuk
mempengaruhi keinginan masyarakat untuk membeli produk-produk yang bernuansa
Korea Selatan, berwisata ke Korea Selatan, menunggu kedatangan selebriti ―Hallyu‖ di
airport, dan merubah sentimen negatif terhadap Korea Selatan –terutama China dan


Jepang yang memiliki sejarah panjang ketegangan dengan Korea Selatan, yang kemudian
kedua negara ini menjadi sasaran pertama dari ―Korean Wave‖.
Yuko Ishii (53 tahun), seorang pekerja di Tokyo berkata, ―I used to rule out
Korean products, but now I have no problem with them. If my favorite star was
advertising a South Korean TV, I would definitely buy it. I want to feel closer to them by
buying the same products they use.‖10. Ishii di sini merupakan contoh kongkrit dari

kuatnya industri kultur untuk mengontrol pikiran dan kemauan masyarakat, bahkan
8

Pertama kali buku Dialectic of Enlightenment muncul dengan judul Philosophical Fragments pada tahun
1944 dan berganti dalam judul yang lebih umum dikenal pada tahun 1947. Lebih lanjut lihat di Jenny
Edkins dan Nick Vaughan Williams, ed., Critical Theorists and International Relations (Amerika Serikat:
Routledge, 2009).
9
Ibid., halaman 16.
10
http://www.bloomberg.com/news/2011-07-25/k-pop-stars-lure-japanese-consumers-to-buy-samsung-lggoods.html diakses pada hari Kamis, 5 Januari 2011, pukul 15.32 WIB.

6

masyarakat yang sebelumnya memiliki sentimen negatif terhadap hal tersebut, saat Ia
merasakan perubahan cara pikir pun Ishii tidak merasa hal tersebut sebagai suatu hal
yang salah atau aneh saat ―Korean Wave‖ membuatnya berpikir dan bertindak seperti itu.
Ilusi bahwa dengan membeli produk yang ditawarkan oleh selebriti ―Hallyu‖ membuat
Ishii menjadi lebih dekat dengan selebriti tersebut juga menciptakan ―kebahagiaan palsu‖
yang diberikan industri kultur. Sesuai dengan pernyataan Adorno, “[T]he culture
industry forsakes the promise of happiness in the name of the degraded utopia of the
present. This is the ironic presentation of the present.‖11 Perubahan cara pikir dan sifat

konsumerisme dengan ilusi palsu inilah yang dimaksud Adorno sebagai salah satu
pendegradasian manusia, karena dominasi dan opresi tersebut tidak terlihat dan
tersembunyi.12
Seluruh aksi-aksi yang memerlukan pengorbanan waktu, tenaga pikiran, dan
materi masyarakat tersebut juga dilakukan dengan senang hati. Sesungguhnya
penyebaran fenomena ini sangatlah politis dan kuat, begitu kuatnya sehingga dapat
diterima dengan tangan terbuka. Hal yang patut disayangkan lagi, karena arus globalisasi,
segala macam komoditas –termasuk produk ―Korean Wave‖ dan selebritinya—menjadi
semakin mudah terjangkau dan oleh karenanya lebih mampu mendominasi kesadaran
seseorang.13
Kedua , industri kultur ―Korean Wave‖ membuat sebuah standarisasi budaya.


Pandangan industri kultur yang dikonsepsikan oleh Adorno mengenai standarisasi budaya
adalah bahwa sesungguhnya hasil produksi atau komoditas yang dihasilkan di industri
budaya tertentu akan sama satu dengan yang lainnya. Akan tetapi produksi budaya
tersebut juga menganugrahkan suatu rasa individualitas dalam artian bahwa setiap produk
―memiliki nuansa individual‖.14 Nuansa individual ini berfungsi untuk mengaburkan
standarisasi dan manipulasi kesadaran yang dipraktikkan oleh industri kultur, hal yang
disebut ‗individualisasi semu‘ oleh Adorno. Untuk beberapa orang yang mendukung
fenomena ―Korean Wave‖ dan yang memilih untuk mengabaikannya, mereka tidak akan
11

Theodore W. Adorno. The Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture (Amerika Serikat:
Routledge, 1999), 9
12
Ibid.
13
Dominic Strinati. Popular Culture: An Introduction to Theories of Popular Culture . Routledge (London,
1995), 105.
14
Ibid., 109

7
menganggap adanya standarisasi atas produk ―Korean Wave‖ dan berargumen bahwa
banyak perbedaan-perbedaan ―individualisasi‖ di tiap-tiap produk. Namun, pernahkah
Anda melihat girlband atau boyband ―Hallyu‖ dan berpikir bahwa mereka semua
―sama‖? Atau mendengar sederet lagu-lagu ―Hallyu‖ yang terdengar ―mirip‖ satu sama
lain? Atau menonton suatu film, drama, acara televisi dan berkata bahwa itu ―sangat
Korea‖?
Tanpa disadari, ―Korean Wave‖ menciptakan suatu standart baru untuk kultur di
dunia. Karena melihat minat, atau ―permintaan‖ dalam bahasa kapitalis, akan seluruh
komoditas bernuansa ―Korean Wave‖, maka diproduksilah komoditas serupa untuk
memenuhi permintaan masyarakat –tentunya dengan memberikan individualisasi semu.
Salah satu contoh dari standarisasi ―Korean Wave‖ dalam industri musik yang paling
sederhana adalah jumlah anggota dari boyband atau girlband yang muncul akhir-akhir
ini. Dulu, di saat industri musik boyband datang dari Barat, jumlah anggota sebuah
boyband berkisar antara 4-5 orang per grup.15 Sedangkan boyband dan girlband ―Korean
Wave‖ distandarisasikan berjumlah 6 orang atau lebih, karena pioneer boyband dan
girlband terdepan ―Korean Wave‖ terkenal dengan jumlah anggotanya yang banyak.16

Salah satu hal yang menjadi daya tarik mereka. Standart ini lah yang membuat fenomena
boyband dan girlband yang muncul di kawasan Asia Tenggara akhir-akhir ini mengikuti

standart ―Korean Wave‖, yaitu beranggotakan 6 orang atau lebih.17
Lebih lanjut, Youtube sebagai website terkenal dalam memberikan sarana videovideo berskala global membuat kategori K-Pop pada 15 Desember 201118 yang
merupakan pertama kalinya sebuah katagori musik suatu negara dijadikan genre musik
sendiri, bahkan J-Pop pun tidak. Hal ini lebih lanjut akan menumbuhkan ―kemiripan,
namun dengan tambahan individualisasi semu‖ pada musik-musik yang termasuk –atau
ingin masuk dalam kategori ini. Yang karenanya, lebih memungkinkan standarisasi
―Korean Wave‖ dapat dilihat dan dirasakan secara lebih eksplisit.

15

Seperti contohnya Backstreet Boys, Blue, Westlife, dan lain sebagainya yang hanya memiliki 4-5 orang
anggota.
16
Seperti Super Junior (13 orang), Girls‘ Generation (9 orang), 2PM (6 orang), dan lain sebagainya.
17
Seperti SM*SH (6 orang), S9B (9 orang), 7Icons (7 orang), CherryBelle (9 orang), Gula-gula (6 orang),
MAX 247 (10 orang) dan lain-lain
18
http://kpopconcerts.com/kpop-news/k-pop-category-created-in-youtube/ diakses pada hari Kamis, 5
Januari 2012, pukul 15.59 WIB.

8
Terakhir , fenomena ―Korean Wave‖ ini sesungguhnya merupakan sebuah

fenomena di mana industri kultur diterapkan sesuai dengan industri komoditas-komoditas
lainnya di dalam logika kapitalisme. Manusia, selebritis-selebritis ―Hallyu‖ dan para
trainee atau orang-orang yang ingin menjadi selebriti ―Hallyu‖, hanya bernilai merupakan
means of production atau alat produksi bagi kaum kapitalis untuk mendapatkan profit.

Manusia dan budaya dinilai tidak lebih daripada benda mati lainnya yang dapat dibuang
dalam proses produksi. Maka dari itu kasus bunuh diri bukanlah suatu hal yang asing
dilakukan oleh selebritis ―Hallyu‖ yang kalah persaingan atau turun pamor. Dan manusia,
menjadi komoditas yang diperjual-belikan demi keuntungan pihak yang diuntungkan –
kaum kapitalis, jika mengikuti pandangan Adorno. Para penikmat fenomena ―Korean
Wave‖ juga dianggap tidak lebih dari suatu massa yang tidak berdaya, publik yang

―regresif‖, bergantung (pada candu budaya yang dihadirkan industri kultur), dan pasif.19
Tidak berharga jika tidak untuk memberikan keuntungan bagi kaum kapitalis.
II.3. Kaum Kapitalis, Industri Kultur, dan “Korean Wave”
Telah disinggung sebelumnya bahwa kaum kapitalis dalam pandangan Adorno
lah yang menjadi pihak pengeruk keuntungan dari fenomena industri budaya yang
semakin besar dampaknya setelah disebarkan melalui arus globalisasi ini. Namun, siapa
persisnya kaum kapitalis yang diuntungkan dalam fenomena ―Korean Wave‖ ini
sesungguhnya tidak dapat ditunjuk satu-per-satu secara jelas. Namun, setidaknya, pihak
yang mendapat keuntungan dari fenomena ini dan dengan sekuat tenaga menyebarkannya
tentu dapat diteliti secara perlahan, tanpa bermaksud menggugat pihak tersebut sebagai
―kaum kapitalis‖ tetapi bermaksud untuk mengidentifikasi tiga pihak –mungkin tidak
seluruhnya dari pihak— yang mendapat untung dan berusaha menyebarkan fenomena ini.
Pertama , pihak yang pasti mendapatkan keuntungan dari ―Korean Wave‖

tentunya merupakan para agensi-agensi besar di Korea Selatan yang pada awalnya
mengekspor hasil produksinya (berupa selebritis atau film). Atau yang dikenal sebagai
―The Big Three‖, yaitu SM Entertainment, YG Entertainment, dan JYP Entertainment.
Salah satunya, SM Entertainment, merupakan pelopor ―Korean Wave‖ dalam bidang

19

Dominic Strinati. Ibid., 111

9
industri musik untuk memasuki pasar musik di Jepang.20 Namun ketiga agensi besar ini
mendapatkan profit yang terus meningkat seiring dengan kepemimpinannya mengekspor
selebritis ―Korean Wave‖ di industri kultur dunia.
Pandangan bahwa para selebritis ―Hallyu‖ juga mendapatkan keuntungan dengan
fenomena ―Korean Wave‖ di era globalisasi ini tidak sepenuhnya benar. Bahkan mereka
hidup dengan kontrak yang ketat, bahkan banyak kasus tuntutan untuk agensi-agensi di
Korea Selatan (terutama ―The Big Three‖)21 dari para selebritisnya dan isu-isu ―slave
contract‖ atau kontrak perbudakan. Kasus bunuh diri di kalangan selebritis ―Hallyu‖ juga

bukan hal yang aneh didengar, karena sesuai dengan logika kapitalis, jika tidak
dibutuhkan maka tidak akan ada nilainya, sekalipun itu jiwa manusia. Hal ini kembali
lagi pada kritik kepada industri kultur ―Korean Wave‖ pada sub-bab sebelumnya.
Kedua , para produsen produk-produk Korea Selatan, seperti LG, Samsung, dan

lain sebagainya yang memakai para selebritis ―Hallyu‖ untuk mempromosikan produk
mereka. Karena para selebritis ―Hallyu‖ yang diproduksi oleh industri kultur ―Korean
Wave‖ memiliki kekuatan untuk mengontrol masyarakat untuk membeli produk-produk

yang mereka tawarkan. Seperti Yuko Ishii di atas merupakan salah satu contohnya. Dan
oleh karena itu, para produsen produk-produk Korea Selatan tersebut ikut membantu
mempromosikan ―Korean Wave‖ dengan caranya sendiri, salah satunya memberikan
sponsor. Namun, LG Electronics bahkan membantu mempromosikan ―Korean Wave‖
dengan cara membuka fitur ―K-Pop Service‖.22
Terakhir , pihak yang jelas mendapat untung dan oleh karenanya berusaha sangat

keras untuk mempromosikan fenomena ―Korean Wave‖ adalah Pemerintah Korea
Selatan. Naiknya penjualan produk-produk Korea Selatan, berkembangnya sektor
pariwisata dan berubahnya sentiment masyarakat internasional kepada negara Korea
Selatan secara eksplisit dibanggakan oleh Pemerintah Korea Selatan.23 Pemerintah Korea
20

http://www.hancinema.net/the-big-3-of-korean-pop-music-and-entertainment-31783.html diakses pada
hari Kamis, 5 Januari 2012, pukul 20.54 WIB.
21
Seperti contoh, tuntutan salah satu anggota boyband Super Junior kepada agensinya, SM Entertainment
dengan alasan ―slave contract‖ dan lain sebagainya. Lebih lanjut lihat
http://www.soompi.com/news/hankyungs-reasons-for-filing-flawsuit-against-sm-entertainment diakses
pada hari Kamis, 5 Januari 2012, pukul 21.04 WIB.
22
http://www.lg.com/my/press-release/article/lgs-new-k-pop-service-to-bring-korean-wave-of-pop-cultureto-tvs-worldwide.jsp diakses pada hari Jumat, 6 Januari 2012, pukul 10.10 WIB.
23
Lebih lanjut baca The Korean Wave: A New Pop Culture Phenomenon yang diterbitkan dibawah
naungan Menteri Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan.

10
Selatan bahkan sejak awal ikut berperan aktif dalam pengeksportan indusri kultur
―Korean Wave‖. Bahkan secara politis menyebarkan industri ini ini dengan cara
menyebarkan kalender K-Pop ke 170 Kedutaan Besar di dunia pada tahun 2011.24 Dan di
dalam negerinya, Pemerintah Korea Selatan sengaja mengadakan seminar untuk
masyarakat untuk mengangkat derajat ―pekerjaan‖ para selebritis ―Hallyu‖ di mata
masyarakat dengan mengatakan bahwa, “Becoming a celebrity is harder than being
admitted to Seoul University.”.25 Hal yang pada akhirnya tentu akan mendorong
peningkatan generasi muda Korea Selatan untuk ingin mengambil profesi sebagai
selebritis, dan oleh karenanya, sources untuk memproduksi selebritis ―Korean Wave‖
akan terus bertambah, serta industri kultur ―Korean Wave‖ lalu tetap berjalan dan
mendominasi.

24

http://www.allkpop.com/2011/12/korean-government-ships-out-k-pop-calendars-to-embassies-aroundthe-world diakses pada hari Kamis, 5 Januari 2012, pukul 13.36 WIB.
25
http://www.allkpop.com/2011/12/government-launches-seminar-programs-for-parents-of-idol-trainees
diakses pada hari Jumat, 6 Januari 2012, pukul 10.26 WIB.

11
BAB III
PENUTUP
Dapat disimpulkan bahwa fenomena ―Korean Wave‖ yang tengah marak disajikan
dalam globalisasi sekarang ini sesungguhnya tidaklah sebaik apa yang ada di permukaan.
Terlebih, fenomena ini dapat dikaji dan dikatagorikan ke dalam industri kultur yang
memiliki dampak mendegradasi manusia dan budaya menjadi tidak lebih untuk
mendatangkan keuntungan bagi oknum-oknum tertentu.
Budaya yang diproduksi melalui ―Korean Wave‖ akhirnya menjadi suatu
standarisasi budaya dengan tambahan individualisasi semu untuk menyembunyikan dan
menutupi standarisasi dan proses dominasi. Produk yang dihasilkan juga memberikan
ilusi kebahagiaan semu kepada manusia yang menikmati ―candu budaya‖ tersebut.
Dengan ini penulis berharap bahwa di masa depan kita akan dapat secara lebih
dalam mengkaji fenomena industri kultur yang disebarkan dalam arus globalisasi. Agar
masyarakat memiliki kesadaran akan apa yang tengah terjadi di sekitar mereka, yaitu
proses dominasi yang kuat dari industri kultur dunia.
Untuk di masa depan, mungkin industri kultur ―Korean Wave‖ akan digantikan
oleh industri kultur lain, tetapi industri kultur tersebut akan tetap memiliki tujuan yang
sama untuk mengontrol dan mendominasi masyarakat demi mengeruk keuntungan bagi
kaum kapitalis. Maka, kita harus waspada dan secara kritis menganalisa kejadiankejadian yang ada sekarang dan membuka dominasi yang ada di dalamnya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Adorno, Theodore W. The Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture (Amerika
Serikat: Routledge, 1999)
Edkins, Jenny dan Williams, Nick Vaughan, ed., Critical Theorists and International
Relations (Amerika Serikat: Routledge, 2009).

Korean Culture and Information Service (KOCIS). The Korean Wave: A New Pop
Culture Phenomenon. Korean Culture and Information Service (Korea Selatan,

2011)
Nexon, Daniel H. dan Neumann, Iver B. “Harry Potter and International Relations”.
Rowman & Littlefield Publihers, inc (Amerika Serikat, 2006)
Strinati, Dominic. Popular Culture: An Introduction to Theories of Popular Culture .
Routledge (London, 1995)

http://www.allkpop.com/2011/12/government-launches-seminar-programs-for-parentsof-idol-trainees
http://www.allkpop.com/2011/12/korean-government-ships-out-k-pop-calendars-toembassies-around-the-world
http://www.bloomberg.com/news/2011-07-25/k-pop-stars-lure-japanese-consumers-tobuy-samsung-lg-goods.html
http://www.hancinema.net/the-big-3-of-korean-pop-music-and-entertainment-31783.html
http://kpopconcerts.com/kpop-news/k-pop-category-created-in-youtube/
http://www.lg.com/my/press-release/article/lgs-new-k-pop-service-to-bring-korean-waveof-pop-culture-to-tvs-worldwide.jsp
http://www.soompi.com/news/hankyungs-reasons-for-filing-flawsuit-against-smentertainment
http://www.washingtonpost.com/wpdyn/content/article/2006/08/30/AR2006083002985.h
tml