TOTAL SPLENEKTOMI MENURUNKAN KADAR IMMUNOGLOBULIN G, A, DAN M SERUM PADA PASIEN TRAUMA LIEN YANG DIRAWAT DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI TAHUN 2014-2015 TOTAL SPLENEKTOMI MENURUNKAN KADAR IMMUNOGLOBULIN G, A, DAN M SERUM PADA PASIEN TRAUMA LIEN YANG DIRAWAT

(1)

TESIS

TOTAL SPLENEKTOMI MENURUNKAN KADAR

IMMUNOGLOBULIN G, A, DAN M SERUM PADA

PASIEN TRAUMA LIEN YANG DIRAWAT DI RSUP

SANGLAH DENPASAR BALI TAHUN 2014-2015

I GEDE SURYA DINATA

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

TESIS

TOTAL SPLENEKTOMI MENURUNKAN KADAR

IMMUNOGLOBULIN G, A, DAN M SERUM PADA

PASIEN TRAUMA LIEN YANG DIRAWAT DI RSUP

SANGLAH DENPASAR BALI TAHUN 2014-2015

I GEDE SURYA DINATA NIM 1014028105

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

TOTAL SPLENEKTOMI MENURUNKAN KADAR

IMMUNOGLOBULIN G, A, DAN M SERUM PADA

PASIEN TRAUMA LIEN YANG DIRAWAT DI RSUP

SANGLAH DENPASAR BALI TAHUN 2014-2015

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Studi Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana

I GEDE SURYA DINATA NIM 1014028105

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

Lembar Persetujuan Pembimbing

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 18 JANUARI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

DR. dr. Ketut Sudartana, Sp.B-KBD DR. dr. Ketut Widiana, Sp.B(K)Onk

NIP. 196005151988021001 NIP. 195707031985111001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pasca Sarjana Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Universitas Udayana

Dr.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc,Sp.GK Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi,Sp.S(K) NIP.195805211985031002 NIP. 195902151985102001


(5)

Lembar Penetapan Panitia Penguji

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal 18 Januari 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,

Nomor : 497 / UN 14.4/ HK / 2016

Tertanggal : 19 Januari 2016

Ketua : DR. dr. Ketut Sudartana, Sp.B-KBD

Anggota :

1. DR.dr. Ketut Widiana, Sp.B (K) Onk

2. Prof. DR. dr. Sri Maliawan, Sp.BS (K)

3. Dr.dr. Anak Agung Gde Oka, SpU (K)


(6)

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada

Tuhan Yang Maha Esa atas semua berkat, rahmat dan anugerahNya sehingga

penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis sangat menyadari bahwa penulis

tidak mungkin dapat menyelesaikan tesis ini tanpa bantuan banyak pihak. Pada

kesempatan ini, perkenankanlah penulis menghaturkan rasa terima kasih yang

sebesar-besarnya dan penghargaan kepada Dr. dr. Ketut Sudartana, Sp.B-KBD

selaku pembimbing I dan Dr.dr. Ketut Widiana, SpB(K) Onk. selaku pembimbing

II. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala

Bagian/SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP

Sanglah Denpasar Periode 2014-2018, dan Ketua Program Studi Ilmu Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan

mengikuti program pendidikan spesialisasi, memberikan bimbingan, masukan dan

pengarahan selama menjalani pendidikan spesialisasi maupun dalam penyelesaian

tesis ini. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga dan

penghargaan kepada Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, SpBS(K), Dr. dr. A.A. Gde Oka,

Sp.U(K) dan dr. Gde Swedagatha, Sp.B(K)Trauma, selaku tim penguji yang telah

banyak sekali membantu penulis dengan memberikan bimbingan, dorongan,

semangat, masukan, saran dan koreksi dari awal pendidikan hingga selesainya

tesis ini. Selain itu penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD,

FINASIM dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr.


(8)

fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister

Pascasarjana dan Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas

Udayana.

2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A.

Raka Sudewi, SpS (K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk

menjadi mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana.

3. Dr. Dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.sc,Sp.GK selaku Ketua Program

Studi Ilmu Biomedik (Combined Degree) Program Pascasarjana

Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan mengikuti

program pendidikan Combined Degree.

4. Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Saraswati, M.Kes atas

kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di

Bagian Ilmu Bedah dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar.

5. Kepala Bagian/SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana/RSUP Sanglah, Prof.Dr.dr.Sri Maliawan, SpBS(K), yang telah

memberikan kesempatan penulis untuk mengikuti program pendidikan

dokter spesialis I di bagian/SMF Ilmu Bedah FK UNUD/RSUP Sanglah

dan telah memberikan dukungan, semangat serta masukan selama

pembuatan tesis ini.

6. Kepala SMF Bedah Umum FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar dr.I.B.

Darmaputra, SpB-KBD atas kesempatan yang telah diberikan dalam


(9)

7. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I)

Bagian/SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP

Sanglah, dr. I.Ketut Wiargitha, SpB(K) Trauma, yang telah memberikan

kesempatan, bimbingan dan dukungan sejak awal sampai akhir pendidikan

penulis.

8. Seluruh staf Bagian/SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana/RSUP Sanglah atas segala bimbingan dan dorongan saat

penyusunan tesis ini.

9. dr. A. A. Wiradewi, SpPK selaku kepala Laboratorium Patologi Klinik

RSUP Sanglah Denpasar, yang telah membantu dalam melakukan

pemeriksaan kadar immunoglobulin serum.

10.dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid yang telah membantu

penyusunan statistik tesis ini.

11.Rekan sejawat PPDS I Bagian/SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana/RSUP Sanglah, atas pengertian, bantuan dan

kerjasama yang baik selama masa penulisan tesis ini.

12.Rekan dr. Hendra Sucipta, dr. Thomas, dr. Kurniawan, dan dr. Ronal yang

telah membantu didalam pengumpulan data untuk penulisan tesis ini.

Penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila selama menjalankan

pendidikan spesialisasi dan selama proses penyelesaian tesis ini penulis banyak

membuat kesalahan yang membuat pembimbing, tim penguji dan seluruh staf


(10)

Rasa syukur, terima kasih yang sebesar-besarnya dan sujud penulis

persembahkan kepada orangtua tercinta, ibunda Made Suranadi, dan ayahanda

Made Bagiadnya, yang dari lahir hingga sekarang selalu merawat, memberikan

doa, perhatian, kasih sayang, bekal pendidikan serta semangat, dukungan dan

menjadi inspirasi yang luar biasa kepada penulis. Terima kasih pula atas doa dan

dukungannya kepada Made Krisna Harta (Alm) dan Mila Triana Sari yang telah

menemani perjalanan hidup penulis, dan selalu menjadi segalanya dan sumber

kebahagiaan sebagai adik-adik penulis. Akhirnya, penulis menyampaikan rasa

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada istri tercinta dr. Made Dewi Aryawati

Utami, dan anak-anakku tercinta Putu Ardianti Pramestya Dewi, Made Airina

Mahadewi atas doa, cinta kasih, semangat, dukungan, perhatian dan

pengertiannya kepada penulis setiap saat. Tak lupa penulis juga mengucapkan

terima kasih atas doa dan dukungannya kepada seluruh keluarga besar penulis dan

seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita

semua.

Denpasar,

Desember 2015


(11)

ABSTRAK

TOTAL SPLENEKTOMI MENURUNKAN KADAR IMMUNOGLOBULIN G, A, DAN M SERUM PADA PASIEN TRAUMA LIEN YANG DIRAWAT DI

RSUP SANGLAH TAHUN 2014-2015

Pasien trauma lien yang dilakukan pengangkatan seluruh organ lien (total splenektomi) berisiko untuk mendapatkan infeksi fulminant yang fatal, atau dikenal dengan istilah overwhelming post splenectomy infection (OPSI). Angka insiden OPSI walaupun jarang, namun memiliki angka mortalitas yang tinggi. Pemahaman mengenai pathogenesis OPSI pada kasus trauma lien belum banyak diapahami. Pengaruh total splenektomi terhadap terjadinya OPSI kemungkinan disebabkan oleh adanya penurunan antibody type-specific yang penting untuk melawan infeksi, khususnya IgM, IgG, dan IgA. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan memberikan bukti ilmiah terhadap pengaruh total splenektomi terhadap kadar IgG, A,dan M serum pada pasien trauma lien.

Penelitian ini merupakan suatu penelitian observasional analitik dengan desain kohort retrospektif untuk mengetahui pengaruh total splenektomi terhadap kadar IgG, A, dan M serum pada pasien trauma lien. Sampel penelitian adalah semua pasien dengan trauma lien yang datang ke RSUP Sanglah Denpasar sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi mulai dari bulan Januari 2014 sampai dengan September 2015. Seluruh sampel kemudian dilakukan pemeriksaan kadar Immunoglobulin G,A dan M serum untuk selanjutnya dibandingkan antara kelompok yang dilakukan total splenektomi dan terapi konservatif melalui analisis statistik.

Sembilan belas pasien dengan trauma lien dihubungi dan bersedia untuk ikut serta dalam penelitian. Dari seluruh sampel yang ada, dua belas pasien dilakukan total splenektomi, sedangkan tujuh pasien mendapatkan terapi konservatif. Rerata kadar IgM pada kelompok yang dilakukan total splenektomi lebih rendah bila dibandingkan dengan terapi konservatif (116 ± 68,5 vs. 211,9 ± 79,3 mg/dL). Kadar IgA pada kelompok total splenektomi juga memperlihatkan hasil yang sama (183,3 ± 67,6 vs. 236,3 ± 67,2). Begitu pula dengan rerata kadar IgG pada kelompok total splenektomi lebih rendah dibandingkan terapi konservatif (1010,2 ±343,3 vs. 1244,0 ± 427,5). Hasil independent t test dan analisis regresi linier menunjukkan perbedaan bermakna untuk penurunan kadar IgM pada kelompok yang dilakukan total splenektomi, namun tidak bermakna untuk IgA dan IgG.

Temuan ini menjadi dasar untuk dilakukannya teknik-teknik preservasi lien pada pasien trauma lien yang dilakukan tindakan operatif, dan pentingnya dilakukan edukasi dan vaksinasi pada pasien yang dilakukan total splenektomi untuk mencegah terjadinya OPSI yang berbahaya.


(12)

ABSTRACT

TOTAL SPLENECTOMY DECREASING THE SERUM CONCENTRATION LEVEL OF IMMUNOGLOBULIN G, A, AND M IN SPLENIC INJURY

PATIENT AT SANGLAH GENERAL HOSPITAL YEAR 2014-2015

Splenic injury patient which undergone total splenectomy is at higher risk of contracting fulminant fatal infection which is known as overwhelming post splenectomy infection (OPSI). Despite the incidence is relatively rare, but OPSI has a high mortality rate. The pathogenesis of OPSI in splenic injury is not fully understood. Effect of total splenectomy on OPSI is probably caused by decreasing level of type specific IgG, A, and M serum concentration. Therefore, this study hopefully can give scientific evidence whether total splenectomy has negative effect on immunoglobulin level.

Our study design is retrospective cohort aiming to know the effect of total splenectomy on serum level of IgG, A and M in splenic injury patients. We checked the serum concentration level of IgG, A, and M in all splenic injury patients, both of which had been done total splenectomy and conservative therapy, that fulfill our inclusion and exclusion criteria starting from January 2014 untill September 2015. We then compare and conducting statistical analysis of both serum level concentration to know the statistical difference.

Nineteen patient with blunt splenic injury were contacted, and consented for the study. Twelve patients were undergone splenectomy, and seven patients with conservative therapy. Mean IgM level in the splenectomy group was lower than conservative group (116 ± 68,5 vs. 211,9 ± 79,3 mg/dL). Mean IgA level measurement was also showed the same result, with level on the splenectomy group was lower than conservative group (183,3 ± 67,6 vs. 236,3 ± 67,2). The same result also found for mean IgG level (1010,2 ±343,3 vs. 1244,0 ± 427,5). Independent t test and linear regression analysis showed statistically significant difference only for the IgM level, but not for the IgA and IgG level.

Our findings support the justification for the effort to preserve the spleen in case of severe injury. And also make the importance of vaccination and education for the asplenic trauma patient to prevent fatal OPSI.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ……… i

PRASYARAT GELAR ………. ii

LEMBAR PERSETUJUAN ………... iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……….……..… iv

UCAPAN TERIMA KASIH ………... v

ABSTRAK ……… ix

ABSTRACT ……….... x

DAFTAR ISI ………... xi

DAFTAR GAMBAR ……….... xiv

DAFTAR TABEL ………... xv

DAFTAR SINGKATAN……….. xvi

BAB I. PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang ………. 1

1.2 Rumusan Masalah ………... 3

1.3 Tujuan Penelitian ………. 1.3.1. Tujuan Umum………. 1.3.2. Tujuan Khusus………

4

4

4

1.4 Manfaat Penelitian ………... 1.4.1. Manfaat Akademik……….. 1.4.2. Manfaat Praktis……….

4

4


(14)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ………...……… 5

2.1. Epidemiologi ………... 2.1.1. Splenektomi………. 2.1.2. Overwhelming Post Splenectomy Infection……… 2.2. Pathogenesis OPSI………... 5 5 7 9 2.3. Fungsi Immunologis Lien……….. 2.4. Respon Imun Humoral.……….. 10 17 2.5. Produksi Immunoglobulin…....……….. 20

BAB III. KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN………... 25

3.1. Kerangka Berpikir……….. 25

3.2 Kerangka Konsep Penelitian ……….. 26

3.3 Hipotesis Penelitian ………..………. 26

BAB IV. METODE PENELITIAN………... 28

4.1 Rancangan Penelitian.……… 28

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian……… 28

4.3. Penentuan Sumber Data………. 28

4.3.1. Populasi Target……..……….. 4.3.2. Populasi Terjangkau……… 4.3.3. Kriteria Sampel Penelitian………... 4.3.3.1. Kriteria Inklusi……….

4.3.3.2. Kriteria Eksklusi………... 28

28

29

29


(15)

4.3.4. Besar Sampel……… 29

4.3.5. Teknik Pengambilan Sampel….………... 30

4.4. Variabel Penelitian……….. 4.4.1. Variabel Bebas………. 4.4.2. Variabel Tergantung………... 4.4.3. Hubungan Antar Variabel……… 30 30 30 31 4.4.4. Definisi Operasional Variabel………. 31

4.5. Bahan dan Instrumen Penelitian ……… 32

4.6. Prosedur Penelitian ……… 33

4.7. Analisis Data ………. 35

BAB V HASIL PENELITIAN ... .... 39

5.1 Gambaran Karakteristik Subyek Penelitian ... .... 40

5.2 Perbandingan Kadar Immunoglobulin G, A, dan M Serum pada Kelompok Total Splenektomi dengan Terapi Konservatif………..…... 42

BAB VI PEMBAHASAN... 46

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN... ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 48


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Struktur, fungsi dan populasi sel dari tiga kompartemen

fungsional……….……… 11

Gambar 2.2. Aktivasi limfosit…… ………... 18

Gambar 2.3. Respon immune humoral diperantarai oleh molekul antibody yang disekresikan oleh sel plasma………. 19

Gambar 2.4. Struktur skematik dari molekul antibody…..……… 20

Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian……….. 26

Gambar 3.2. Hubungan antar variable……… 31


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Karakteristik tiap immunoglobulin dan rerata kadar dalam

serum…... 24

Tabel 5.1 Gambaran karakteristik subjek berdasarkan kelompok

penelitian...………..

40

Tabel 5.2 Perbandingan Trauma Penyerta Subjek Berdasarkan

Kelompok Penelitian………..

42

Tabel 5.3 Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Varian Variabel IgM,

IgG, IgA berdasarkan Kelompok Penelitian………..

43

Tabel 5.4 Hasil Analisis Perbandingan Rerata Variabel IgM, IgA, IgG

berdasarkan Kelompok Penelitian………. 43

Tabel 5.5 Hasil Analisis Multivariat Pengaruh Splenektomi terhadap Kadar IgM, IgA, dan IgG Serum pada Pasien Trauma Lien

yang Dirawat di RSUP Sanglah Denpasar……….


(18)

DAFTAR SINGKATAN

AAST : American Association for the Surgery of Trauma

ATLS : Advanced Trauma Life Support

APC : Antigen Presenting Cell

CT : Computed Tomography

DPL : Diagnostic Peritoneal Lavage

FAST : Focused abdominal sonography for trauma

IFN : Interferon

Ig : Immunoglobulin

IL : Interleukim

OPSI : Overwhelming Post Splenectomy Infection

LPS : Lipopolisakarida

PALS : Periarteriolar Lymphoid Sheath.

Th : T helper


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat Keterangan Kelaikan Etik……….. 61

Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian...………... 62

Lampiran 3. Surat Pernyataan Persetujuan Mengikuti Penelitian………... 63

Lampiran 4. Panduan Penggunaan Alat “Cobas Integra 400”……… 67

Lampiran 5. Daftar Sampel Penelitian……… 68

Lampiran 6. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Kadar Immunoglobulin….……… 69


(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Lien atau limpa adalah organ penting dalam sistem kekebalan tubuh dan

hematopoiesis. Pasien yang tidak memiliki lien (asplenia) oleh karena kongenital,

dan didapatkan pasca splenektomi karena trauma maupun penyakit hematologis,

memiliki risiko yang lebih tinggi mendapatkan infeksi dan berakibat fatal.

Kesadaran akan pentingnya lien dalam sistem imun, menjadi salah satu faktor

berkembangnya usaha-usaha untuk mempertahankan lien pada saat terjadi trauma

lien. Meningkatnya tren terapi konservatif pada trauma lien paling banyak

ditemukan pada populasi anak-anak. Pada orang dewasa dengan trauma lien yang

berat, dewasa ini banyak dipopulerkan teknik preservasi dengan splenorraphy,

partial splenectomy, maupun dengan tandur lien. Meski demikian, total

splenektomi seringkali tidak bisa dihindari pada trauma lien derajat berat, dan di

daerah-daerah dimana fasilitas SDM dan prasarana yang tidak menunjang untuk

dilakukannya usaha preservasi lien. Hal ini berakibat pada semakin tinggi jumlah

pasien-pasien asplenia yang berisiko mengalami infeksi pasca splenektomi atau

overwhelming post splenectomy infection (OPSI).

Walaupun insiden OPSI relatif jarang, namun memiliki tingkat mortalitas

yang tinggi jika tidak ditangani dengan adekuat. Di Indonesia pada umumnya dan

khususnya di Bali, belum ada data mengenai kejadian OPSI pasca splenektomi.


(21)

2

Padahal kasus traumatik splenektomi di Bali cukup banyak. Data di RSUP

Sanglah pada tahun 2014 menunjukkan terdapat 24 kasus dengan trauma lien dan

17 (70,8%) diantaranya dilakukan total splenektomi. Tentunya jumlah ini akan

bertambah besar bila kasus trauma lien di daerah lain juga dihitung. Meski jumlah

pasien asplenia di Bali mungkin cukup banyak, namun kejadian OPSI yang fatal

tidak pernah terlaporkan (Anonim, 2014).

Komplikasi infeksi pasca splenektomi atau dikenal dengan istilah

overwhelming post splenectomy infection (OPSI), adalah suatu infeksi sistemik

yang fulminan biasanya disebabkan oleh organisme berkapsul seperti

Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Neisseria meningitides.

Ini dikarenakan oleh hilangnya lien sebagai tempat utama pembentukan dini

immunoglobulin, dan reservoir makrofag serta limfosit untuk menghancurkan

pathogen. Tanpa lien, kemampuan untuk menyerang pathogen ini sangat jauh

berkurang (Sinwar, 2014).

Studi experimental pada binatang yang mengkonfirmasi peran aktif lien

dalam pembentukan antibodi telah ada sejak tahun 1891 oleh Bardoach dan

Deutsch pada tahun 1900, kemudian diikuti Ellis dan Smith pada tahun 1966 yang

menyimpulkan bahwa pada binatang dengan lien yang normal memproduksi

antibodi lebih cepat dan dalam konsentrasi yang lebih tinggi daripada binatang

yang displenektomi. Studi-studi berikutnya yang dilakukan pada binatang dan

manusia mengkonfirmasi hasil penelitian terdahulu dan menunjukkan bahwa IgM

merupakan antibody utama yang terlibat dalam respon awal lien terhadap infeksi


(22)

3

Walaupun data dari beberapa studi telah mengkonfirmasi bahwa asplenia

dan hiposplenisme merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya sepsis, masih

terdapat kontroversi tentang efektifitas teknik preservasi lien pada kasus trauma

dalam menurunkan kejadian infeksi pasca splenektomi. Selain itu pencegahan

terhadap terjadinya infeksi pada pasien traumatik asplenia masih kurang

diperhatikan, dikarenakan kurangnya pemahaman mengenai pengaruh

splenektomi terhadap sistem imun (Bisharat, et al. 2001, Gauer, et al. 2008,

Newland, et al. 2005).

Pengaruh splenektomi terhadap terjadinya infeksi berbahaya OPSI telah

banyak diteliti terutama untuk kasus-kasus hematologis. Namun untuk

splenektomi yang dilakukan pada kasus trauma lien masih belum banyak

diketahui (Rose, et al. 2000; McClusky, et al. 1999). Pathogenesis yang pasti dari

infeksi yang terjadi pada pasien pasca splenektomi, masih perlu diperjelas.

Penelitian kali ini, bertujuan untuk mengetahui pengaruh splenektomi terhadap

kadar Immunoglobulin G, A, dan M yang dapat membantu menjelaskan respon

imun yang menurun pada pasien pasca splenektomi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, maka diperlukan suatu data

yang menunjukkan gangguan imunitas yang terjadi pada pasien trauma lien yang

dilakukan total splenektomi. Sehingga disusunlah suatu rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Apakah kadar immunoglobulin G pada pasien trauma lien yang dilakukan


(23)

4

2. Apakah kadar immunoglobulin A pada pasien trauma lien yang dilakukan

total splenektomi lebih rendah dibandingkan terapi konservatif ?

3. Apakah kadar immunoglobulin M pada pasien trauma lien yang dilakukan

total splenektomi lebih rendah dibandingkan terapi konservatif ?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui adanya pengaruh total splenektomi terhadap produksi

immunoglobulin pada pasien dengan trauma lien.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui kadar IgG pada pasien trauma lien yang dilakukan total

splenektomi.

2. Mengetahui kadar IgA pada pasien trauma lien yang dilakukan total

splenektomi.

3. Mengetahui kadar IgM pada pasien trauma lien yang dilakukan total

splenektomi.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Akademik

Memberikan bukti ilmiah dan menambah pengetahuan tentang pengaruh

splenektomi terhadap sistem kekebalan tubuh. Hasil penelitian yang didapatkan

juga dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian berikutnya mengenai


(24)

5

1.4.2. Manfaat Praktis

Apabila penelitian ini dapat menunjukkan adanya penurunan kadar antibodi

IgG, IgA dan IgM secara bermakna pada pasien yang dilakukan total splenektomi,

maka manfaat dari hasil penelitian ini adalah:

1. Menjadi dasar untuk mencari cara pencegahan terjadinya infeksi pada

pasien yang dilakukan total splenektomi misalnya dengan vaksinasi dan

edukasi.

2. Memberikan dasar untuk dilakukannya teknik-teknik preservasi lien pada

kasus-kasus trauma lien, misalnya dengan splenorraphy, partial


(25)

6

1. didapatkan koefisien beta yaitu perbedaan rerata antara dua

kelompok penelitian yang sudah memperhitungkan pengaruh

variable yang berpotensi sebagai perancu, yakni variable lamanya

waktu pasien mendapatkan trauma lien sampai dilakukannya


(26)

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi 2.1.1. Splenektomi

Dalam beberapa dekade terakhir, preservasi lien telah menjadi suatu

prinsip yang diterima secara luas dan banyak dilaporkan dalam penanganan

trauma. Penelitian yang dilakukan oleh Rose, et al. (2000), tentang epidemiologi

splenektomi yang dilakukan 10 tahun antara bulan Januari 1986 sampai Desember

1995. Didapatkan 896 pasien yang menjalani operasi splenektomi. Indikasi

splenektomi diklasifikasikan menjadi : 1) trauma, tumpul ataupun tajam; 2)

Keganasan hematologis, misalnya untuk terapi ataupun staging leukemia,

Hodgkin's lymphoma, atau non-Hodgkin's lymphoma; 3) sitopenia, yaitu untuk

pengobatan trombositopenia, anemia, atau leukopenia; 4) iatrogenik, oleh karena

trauma sewaktu dilakukan prosedur lainnya; 5) insidental, sewaktu dilakukan

reseksi organ-organ yang berdekatan; 6) hipertensi portal ; 7) diagnostik, misalnya

pada kasus untuk menyingkirkan keganasan hematologi.

Dalam periode ini, didapatkan traumatik splenektomi sebagai penyebab

terbanyak dari semua kasus splenektomi sebesar 41,5 persen, splenektomi karena

keganasan hematologis menyumbang 15,4 persen, sitopenia 15,6 persen,

insidental 12,3 persen, iatrogenik 8,1 persen, portal hipertensi 2,3 persen,

diagnostik 2 persen, dan lainnya 2,7 persen. Dengan membandingkan periode 5


(27)

2

tahun pertama dan kedua didapatkan adanya penurunan tahunan rata-rata insiden

splenektomi untuk semua sebab sebesar 36,9 persen; splenektomi karena trauma

sendiri menurun 32,9 persen. Ruptur lien oleh karena trauma masih menjadi

indikasi terbanyak dilakukannya splenektomi, namun angka insidennya telah

menurun secara dramatis dalam periode 10 tahun belakangan ini. Begitupun

angka insiden splenektomi untuk terapi keganasan hematologis dan sitopenia

(Rose, et al. 2000).

Frekuensi splenektomi juga berbeda untuk tingkatan rumah sakit. Pusat

rujukan tersier memiliki frekuensi splenektomi oleh karena penyakit hematologis,

immunologis, atau onkologis lebih tinggi daripada splenektomi karena trauma,

yakni 54% vs 16%. Rasio ini mungkin berbeda pada rumah sakit non-pendidikan

(Di Sabbatino, 2011).

2.1.2. Overwhelming Post Splenectomy Infection (OPSI)

Bakterial sepsis pasca splenektomi pada bayi dan anak, pertama kali di

jelaskan oleh temuan King dan Schumacher pada tahun 1952. Kondisi yang sama

muncul pada orang dewasa yang asplenia beberapa tahun setelahnya. Istilah OPSI

dipakai untuk mendefinisikan sepsis fulminan, meningitis, atau pneumonia yang

disebabkan terutama oleh organisme S. Pneumoniae, N. Meningitidis, dan H.

influenzae tipe B pada individu yang displenektomi maupun hiposplenik

(Okabayashi, 2008).

Insiden OPSI bervariasi tergantung organisme penyebab, dan insiden


(28)

3

seumur hidup pasien asplenia menderita OPSI adalah 5%. Angka mortalitas yang

paling impresif dari literatur disebutkan antara 38-70% meskipun dengan terapi

adekuat. Durasi antara splenektomi dan onset OPSI berkisar antara kurang dari 1

minggu sampai lebih dari 20 tahun. Mortalitas saat ini dapat dikurangi dengan

vaksinasi dan edukasi yang tepat serta pemberian segera antibiotika spektrum

luas. Prevalensi antara anak dan dewasa didapatkan tidak berbeda (3,2 vs 3,3%),

namun angka kematian pada anak lebih tinggi dibandingkan pasien dewasa (1,7 vs

1,3%) (Sinwar, 2014).

Risiko terjadinya sepsis dan kematian sangat berhubungan dengan alasan

dilakukannya splenektomi. Indikasi splenektomi yang paling sering dikaitkan

dengan risiko infeksi dan kematian adalah thalassemia major (8,2 % & 5,1%),

anemia sickle-cell (7,3% dan 4,8%), Limfoma Hodgkin (4,1% dan 1,9%),

spherocytosis (3,1 dan 1,3%), dan idiopathic thrombocytopenic purpura (2,1 dan

1,2%). Prevalensi OPSI dan angka kematian untuk kasus splenektomi karena

trauma adalah 2,3% dan 1,1%. Hasil penelitian ini mungkin lebih rendah dari

yang sebenarnya terjadi oleh karena durasi follow up yang singkat pada

kebanyakan studi. Pendapat bahwa OPSI terjadi beberapa tahun setelah operasi

tidak secara universal diterima. Risiko terjadinya sepsis pada kondisi asplenia

merupakan kondisi permanen. Beberapa kasus OPSI ditemukan terjadi 20-40


(29)

4

2.2. Pathogenesis OPSI

Di luar sirkulasi lien, antigen yang terdiri dari polisakarida sangat lemah

dalam membangkitkan respon imun, dibandingkan antigen protein. Ini

menyebabkan bakteri yang dilapisi polisakarida dapat menghindari respon imun

dan fagositosis. Untuk jenis bakteri semacam ini, maka mekanisme pertahanan

tubuh melawan bakteri sangat tergantung terhadap kekebalan humoral dan

produksi antibodi type-specific. Sementara organ liver dapat menghilangkan

sebagian besar bakteri yang teropsonisasi, organisme yang berkapsul dapat

menghindari ikatan dengan antibodi, dan oleh karenanya hanya dapat dihilangkan

dalam lien (Okabayashi dan Hanazaki, 2008).

Sepsis yang terjadi pada pasien asplenia dapat disebabkan oleh berbagai

macam organisme baik berupa bakteri, jamur, virus, atau protozoa. Meski

demikian, organisme berkapsul paling sering dikaitkan sebagai penyebab

terjadinya sepsis pada pasien yang displenektomi. Gejala klinis yang muncul pada

awalnya adalah ringan dan tidak spesifik. Pasien dapat menderita kelemahan,

penurunan berat badan, nyeri perut, diare, konstipasi mual dan sakit kepala.

Keluhan prodromal dapat diikuti dengan gejala pneumonia dan meningitis, dan

perjalanan klinis dapat dengan cepat berlanjut menjadi koma dan kematian dalam

24-48 jam, yang disebabkan oleh adanya syok, hipoglikemia, asidosis berat,

gangguan elektrolit, distress pernafasan, dan koagulasi intravaskular disseminata.

Angka kematian dapat mencapai 50-70% meskipun dengan terapi aggresif.

Perjalanan klinis berikutnya sering menyerupai sindroma


(30)

5

Kemungkinan mekanisme penyebab pada OPSI pada pasien yang displenektomi

adalah hilangnya fungsi fagositik lien, penurunan kadar immunoglobulin serum,

supresi dari sensitivitas limfosit, atau adanya perubahan dalam system opsonin

(Brigden, et al. 1999; Shatz, 2005)

Organisme berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae khususnya sangat

resisten terhadap fagositosis, namun dapat dengan cepat diatasi oleh adanya

antibodi type-specific, bahkan dalam jumlah kecil. Tanpa adanya lien, produksi

antibodi yang tepat dan cepat untuk melawan antigen yang baru menjadi

terganggu sehingga bakteri dapat dengan cepat berproliferasi. Oleh karenanya,

risiko untuk menderita penyakit infeksi karena pneumokokus menjadi 12-25 kali

lebih tinggi pada pasien yang displenektomi dibandingkan populasi pada

umumnya. Penyakit infeksi pada pasien asplenia yang disebabkan bakteri

berkapsul seperti Streptococcus pneumonia (50-90%), Neisseria meningitides,

Haemophilus influenzae, dan Streptococcus pyogens (25%), berujung pada

overgrowth bakteri yang tidak dapat dikontrol, disfungsi dan kegagalan organ

serta kematian (Davidson, et al. 2001).

2.3. Fungsi Immunologis Lien

Lien terdiri dari tiga kompartemen yang saling berhubungan, pulpa merah,

pulpa putih, dan zona marginal. Pulpa merah merupakan suatu struktur seperti

spon yang terisi oleh darah yang mengalir melalui sinus dan kordae. Pulpa putih

terdistribusi sepanjang arteriol sentral yang merupakan percabangan dari arteri


(31)

6

dan juga mengelilingi folikel sel limfosit B. Lapisan tipis ini dibentuk oleh zone

gelap di bagian luar, disebut zona mantle, yang mengandung sebagian besar

limfosit B, dan bagian tengah yang berwarna lebih cerah, zona germinal yang

merupakan daerah seleksi sel limfosit B. Zona marginal, yang mengandung sel

limfosit B memori, adalah daerah paling tepi dari pulpa putih yang berbatasan

langsung dengan daerah perifollicular, dimana makrofag dan fibroblas yang

memiliki molekul adhesi sel adressin mukosa tipe 1 berada (Mebius dan Kraal,

2005).

Gambar 2.1. Struktur, fungsi dan populasi sel dari tiga kompartemen fungsional (Di Sabbatino et al., 2011)

Lien berfungsi sebagai filter fagositik, yang menghilangkan sel-sel yang

sudah tua dan rusak, partikel-partikel padat dari sitoplasma eritrosit (pitting), dan

mikroorganisme yang terbawa oleh darah, dan juga memproduksi antibodi. Saat


(32)

7

menuju sinus vena, aliran darah melambat, yang membantu menghilangkan

eritrosit yang rusak dan bakteri oleh makrofag lien (Di Sabbatino, et al. 2011).

Pulpa putih lien merupakan suatu akumulasi terbesar dari jaringan limfoid

pada tubuh dan berfungsi sebagai tempat produksi dan aktivasi limfosit, dimana

kemudian sel limfosit akan bermigrasi menuju pulpa merah untuk mecapai lumen

sinusoid-sinusoid lien. Sel-sel dendritic dan makrofag yang ada di zona marginal,

terlibat dalam proses penangkapan, pengolahan dan presentasi dari antigen.

Makrofag lien khususnya, beradaptasi untuk dapat mengenali dan menghancurkan

bakteri yang telah teropsonisasi. Kedua sel dendritic dan limfosit T di dalam lien

menunjukkan aktivitas immunologis yang kuat (Katz et al., 2006).

Berdasarkan studi eksperimental, lokalisasi antigen di organ limfoid

tergantung dari beberapa faktor, contohnya adalah port d’ entry dari antigen, menentukan lokalisasi dari antigen di jaringan limfoid, khususnya untuk

partikel-partikel asing, protein dan makromolekul seperti lipopolisakarida (LPS). Lebih

jauh lagi, pemberian antigen secara intravena, berakibat terkumpulnya antigen ini

di lien, yang oleh karenanya disebutkan sebagai organ utama yang berespon

terhadap antigen yang terbawa darah (Jirillo, et al., 2003).

Antigen memasuki lien melalui arteriol sentral, yang berakhir di zona

marginal dan dari sini darah akan mengalir di dalam sinusoid vascular dari pulpa

merah. Di zona marginal dan pulpa merah, antigen akan diproses oleh makrofag,

dan fraksi dari antigen dapat ditemukan pada periarteriolar lymphoid sheath

(PALS), yang kaya akan sel-sel dendritic, dan limfosit T. Pada kasus antigen


(33)

8

marginal, kemudian dibawa menuju folikel-folikel limfoid dimana disini terjadi

produksi antibody. Di dalam folikel limfoid ini, antigen disimpan oleh sel

dendritic folikular selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Depot

antigen ini menghasilkan stimulus jangka panjang untuk sel limfosit B memori.

Pada individu yang telah terpapar antigen, reinokulasi dengan antigen yang sama

akan mengalami pembentukan kompleks imun yang lebih cepat, untuk kemudian

segera difagositosis dan dihancurkan (Katz, et al. 2006).

Beberapa bakteri dikenali secara langsung oleh makrofag, namun

kebanyakan terlebih dahulu memerlukan opsonisasi. Selama opsonisasi ini,

permukaan bakteri diliputi oleh komplemen atau molekul opsonisasi lien lainnya

seperti properdin dan tuftsin, yang kemudian berinteraksi dengan reseptor pada

fagosit. Bakteri-bakteri yang telah mengalami opsonisasi dapat secara efisien

dihilangkan oleh makrofag yang ada pada lien maupun hepar. Meski demikian,

bakteri yang sulit untuk diopsonisasi, seperti bakteri berkapsul, khususnya

Streptococcus pneumonia, memiliki kemampuan untuk mencegah terikatnya

komplemen atau menghambat komplemen yang ada pada kapsul untuk

berinteraksi dengan reseptor makrofag. Bakteri semacam ini hanya dapat

dihilangkan pada lien yang normal. Untuk menghancurkan bakteri berkapsul ini

pada saat infeksi awal, dibutuhkan antibodi alamiah berupa pentamerik

immunoglobulin M yang mampu memfasilitasi fagositosis baik secara langsung

ataupun melalui deposisi komplemen pada kapsul bakteri. Antibodi ini diproduksi

oleh suatu populasi sel B memori yang ada di zona marginal lien (Weller, et al.


(34)

9

Antigen yang memasuki aliran darah akan ditangkap oleh sel dendritic

yang bertindak sebagai antigen presenting cell (APC). Sel ini akan mengaktivasi

limfosit T yang ada di dalam PALS. Limfosit T yang telah aktif akan bermigrasi

ke zona marginal dan membentuk suatu kluster, dan dibuktikan dengan adanya

kluster sel limfosit yang memproduksi sitokin yang berdekatan dengan sel B. sel

limfosit B kemudian berespon terhadap antigen atas bantuan limfosit T helper

yang aktif di PALS. Pada langkah berikutnya, sel B yang telah diaktifkan akan

bermigrasi ke folikel-folikel limfoid dan mulai untuk berproliferasi dan

membentuk suatu struktur yang disebut dengan germinal centre (Di Sabatino et

al., 2006).

Setelah respon antibodi terbetuk, sel limfosit B akan mengekspresikan

reseptor immnuglobulin dengan afinitas yang lebih tinggi secara progresif

terhadap antigen. Sel B yang tidak mampu mengenali antigen akan mengalami

apoptosis. Akhirnya sel-sel limfosit ini akan meninggalkan germinal centre dan

menjadi sel-sel yang memproduksi antibody dengan kecepatan tinggi di lokasi

ekstra folikel, seperti misalnya di pulpa merah lien dan pada medulla dari

limfonodi. Di pusat germinal pula, ada beberapa sel limfosit B yang tidak

mensekresikan antibodi, namun dapat bertahan hidup untuk jangka waktu yang

lama walau tanpa stimulus dari antigen. Sel-sel ini akan bersirkulasi secara bebas

antara darah dan jaringan limfoid dan berespon secara cepat jika terjadi

reinokulasi dengan antigen yang sama. Sel ini adalah sel-sel memori, yang

dipertahankan oleh suatu antigenic stimulasi oleh sel dendritic folikular selama


(35)

10

Makrofag lien memainkan peran penting dalam proses penghancuran

bakteri dari darah. Contohnya polisakarida pneumokokal yang dapat dihilangkan

dengan cara yang sangat efektif di dalam lien, namun dalam keadaan telah

mengalami spenektomi, berakibat terakumulasinya polisakarida di limfonodi pada

percobaan terhadap tikus. Terdapat bukti bahwa makrofag zona germinal dapat

berperan sebagai APC terhadap polisakarida, dan mempresentasikannya kepada

sel limfosit B untuk menginduksi antibody Ig M spesifik anti polisakarida. Yang

cukup mengejutkan adalah, pada tikus yang displenektomi dan diberikan

immunisasi dengan polisakarida, sel yang mengandung antibody Ig A didapatkan

pada limfonodi mesenterika. Ini sangat mungkin menunjukkan sel klon limfosit B

yang diaktifkan oleh eksposur sebelumnya atau polisakarida kapsul alami atau

reaksi silang antigen, memproduksi IgA (Jirillo, et al. 2003).

Studi eksperimental lainnya menunjukkan bahwa tikus yang asplenia,

memiliki aktivitas bakterisidal dan fagositik dari makrofag alveolar yang

menurun, yang juga didukung dengan adanya bukti dari limfonodi pulmonal yang

terisi oleh bakteri hidup. Temuan ini menunjukkan bahwa lien dapat

memproduksi sitokin, mis. Interleukin (IL)-1 dan granulocyte colony stimulating

factor, yang dapat meningkatkan fungsi makrofag alveolar (Hebert, et al. 1994).

Peran kunci lien dalam memulai respon imun terhadap bakteri berkapsul,

diindikasikan oleh berkurangnya secara signifikan jumlah sel B memori IgM ini

setelah pengangkatan lien (Di Sabatino, 2011). Hal ini mungkin disebabkan oleh

adanya penurunan kadar interferon (IFN)- gamma dan IL-4 pada pasien-pasien


(36)

11

berbahaya bagi host oleh karena baik respon imun seluler dan humoral menurun.

Faktanya, ketiadaan dari produksi IFN gamma dapat membantu masuknya bakteri

intrasel dan/atau virus oleh karena defisiensi aktivasi dari makrofag dan/atau sel T

sitotoksik. Di lain pihak, berkurangnya pembentukan IL-4 dapat mempengaruhi

produksi antibody dalam hal pertukaran kelas isotipe dan survival limfosit B pada

lien, yang ditunjukkan pada berbagai eksperimen pada murine (Erb, 2007).

Sel limfosit B memori IgM ini memerlukan organ lien untuk kelangsungan

hidup dan regenerasinya. Jaringan limfoid perifer termasuk lien, bekerja dengan

prinsip yang sama, menangkap antigen dari lokasi infeksi dan membawanya untuk

ditunjukkan kepada limfosit, sehingga menginduksi respon imun adaptif. Lien

juga mengeleluarkan sinyal kepada limfosit yang tidak bertemu dengan antigen

spesifiknya. Hal ini penting untuk mempertahankan jumlah limfosit T dan B yang

cukup dan memastikan hanya limfosit dengan potensi untuk berespon terhadap

antigen asing, yang dipertahankan. Sel limfosit B ini memiliki kemampuan unik

yang dapat memproduksi antibodi alamiah yang diperlukan untuk menghadapi S.

pneumoniae, Neisseria meningitidis, dan Haemophilus influenzae type B, dan

dapat mengawali respon imun independen sel T terhadap adanya infeksi ataupun

vaksinasi dengan antigen kapsul polisakarida. Penurunan jumlah sel B memori

IgM ini telah dilaporkan pada anak-anak berusia kurang dari 2 tahun oleh karena

immaturitas zona marginal, pasien dengan immunodefisiensi, pasca splenektomi

dan individu dengan asplenia kongenital atau hiposplenisme, dan pasien usia


(37)

12

2.4.Respon Imun Humoral

Berbagai macam bakteri penyebab infeksi pada manusia berkembang biak

pada ruang ekstraseluler dari tubuh, dan kebanyakan pathogen intrasel menyebar

dengan bergerak dari sel ke sel melalui cairan ekstrasel. Ruang ekstrasel

dilindungi oleh respon imun seluler, dimana antibodi yang diproduksi oleh sel

limfosit B menyebabkan penghancuran mikroorganisme ekstrasel dan mencegah

penyebaran infeksi intraselular. Aktivasi sel limfosit B dan differensiasinya

menjadi sel plasma yang menseksresikan antibodi, dipicu oleh antigen dan

biasanya memerlukan sel T helper. istilah sel T helper sering digunakan untuk sel

T CD4 kelas TH2, namun suatu subset sel CD4 TH1 juga membantu aktivasi sel

limfosit B (Janeway, 2001).

Limfosit T dan B yang telah mengalami maturasi di sumsum tulang dan

thymus namun belum bertemu dengan antigen, dinamakan sebagai limfosit naïve.

Sel-sel ini bersirkulasi secara kontinyu dari darah menuju jaringan limfoid perifer

dengan cara melewati celah diantara sel-sel dinding kapiler. Sel-sel ini kemudian

kembali masuk ke aliran darah melalui pembuluh limfe, atau pada lien secara

langsung masuk pembuluh darah. Jika terjadi suatu infeksi di organ perifer,

sejumlah besar antigen akan dibawa oleh sel-sel dendritic yang kemudian berjalan

dari tempat infeksi menuju pembuluh limfa afferent ke limfonodi. Di limfonodi,

sel dendritic ini akan menunjukkan antigen pada sel limfosit T, dan sekaligus

mengaktifkannya. Sel limfosit B yang bertemu dengan antigen ketika sedang

bermigrasi melalui limfonodi juga ditahan dan mengalami aktivasi, dengan


(38)

13

tertahan di lien, dimana kemudian mereka berproliferasi dan berdifferensiasi,

Limfosit T akan berproliferasi menjadi sel-sel efektor antigen spesifik yang

mampu untuk melawan infeksi, sedangkan limfosit B akan berproliferasi dan

berdifferensiasi menjadi sel penghasil antibody (Janeway, 2001).

Gambar 2.2. Aktivasi limfosit (Janeway, 2001)

Antibodi adalah produk spesifik pertama dari respon imun adaptive yang

dapat ditemui. Antibody ditemukan pada komponen cairan dari darah, atau

plasma, dan cairan ekstrasel. Oleh karena cairan tubuh dahulu dikenal dengan

nama humors, maka immunitas yang diperantarai oleh antibody dikenal sebagai

immunitas humoral.

Mekanisme yang paling sederhana dan langsung bagi antibody untuk

melindungi tubuh dari pathogen atau produk toksiknya adalah dengan cara

berikatan dengan mereka, dan oleh karenanya menghambat akses pathogen untuk

menyerang sel-sel tubuh. Cara seperti ini disebut dengan neutralisasi, dan penting

untuk perlindungan terhadap toxin-toxin bakteri dan melawan pathogen seperti

virus, yang kemudian dapat dicegah memasuki sel dan berreplikasi. Pengikatan

Proliferasi dan differensiasi Pengikatan antigen-reseptor

dan ko-stimulasi sel T

Pengikatan antigen-reseptor dan stimulasi sel B oleh T


(39)

14

pathogen oleh antibody ini, tidak cukup untuk menahan replikasi dari bakteri yang

berkembang di luar sel. Untuk kasus seperti ini, peran antibody adalah untuk

memungkinkan sel fagosit untuk mencerna dan menghancurkan bakteri.

Mekanisme seperti ini penting bagi berbagai bakteri yang memiliki kemampuan

untuk menghindari pengenalan langsung oleh fagosit, dimana fagosit mengenali

daerah konstan dari antibody yang telah berikatan dengan bakteri. Proses

penyelimutan pathogen dan partikel asing seperti ini dikenal dengan nama

opsonisasi (Janeway, 2001).

Gambar 2.3. Respon immune humoral diperantarai oleh molekul antibody yang disekresikan oleh sel plasma (Janeway, 2001).

Aktivasi sel B

Sekresi antibodi


(40)

15

2.5. Produksi Immunoglobulin

Antibodi merupakan suatu bentuk dari reseptor antigen yang disekresikan

sel limfosit B. Antibody ini diproduksi dalam jumlah yang sangat besar dalam

respon terhadap antigen. Struktur antibodi yang dikenal saat ini terdiri dari dua

region yang berbeda. Satu bagian adalah daerah yang konstan yang hanya dapat

menerima satu dari empat atau lima bentuk yang dapat dibedakan secara

biokimiawi, satu bagian lagi adalah daerah variabel yang dapat menerima

berbagai bentuk sehingga memungkinkan berikatan secara spesifik terhadap

berbagai jenis antigen berbeda. Antibodi merupakan molekul berbentuk Y,

memiliki daerah variable (V region) yang identik pada satu molekul antibodi, dan

menentukan spesifitas pengikatan antigen dari antibodi ini, dan daerah konstan (C

region) menentukan bagaimana antibodi mengatur pathogen setelah berikatan

(Liu, 1991).


(41)

16

Setiap molekul antibody memiliki dua rangkap aksis simetris dan terdiri

dari dua rantai berat dan dua rantai ringan yang identic. Rantai ringan dan berat ,

keduanya memiliki daerah variable dan konstan. Lengan variable dari rantai

ringan dan berat, bersatu untuk membentuk tempat pengikatan antigen, sehingga

kedua rantai berkontribusi terhadap spesifitas pengikatan antigen dari molekul

antibody. Batang dari molekul Y ini, akan menentukan kelas (isotype) dari

antibody dan menentukan sifat-sifat fungsionalnya, mengambil satu dari lima

bentuk utama atau isotype yakni immunoglobulin G, A, M, D, dan E. Tiap-tiap

kelas dari antibody, menentukan mekanisme efektor yang berbeda untuk

menghilangkan antigen setelah dikenali (Liu, 1991).

Antibodi diproduksi oleh limfosit B yang telah teraktivasi. Limfosit B

naïve yang mengenali antigen spesifiknya, akan berhenti untuk bermigrasi dan

kemudian membesar. Kromatin dalam nukleus menjadi kurang padat, nucleoli

muncul, terjadi peningkatan volume nucleus dan sitoplasma, dan terjadi sintesis

RNA dan protein baru. Dalam beberapa jam, sel akan terlihat sangat berbeda dan

dikenal sebagai limfoblast. Limfoblast kemudian mulai membelah diri, secara

normal menduplikasi dirinya 2-4 kali tiap 24 jam selama 3-5 hari, sehingga

sebuah limfosit naive akan menghasilkan sekitar 1000 sel klon dengan spesifitas

yang identik. Sel-sel klon ini akan berdifferensiasi menjadi sel plasma yang

mensekresikan antibody. Sel limfosit B hasil klon ini hanya memiliki usia yang

terbatas, dan setelah antigen dihilangkan, sebagian besar sel-sel yang dihasilkan

dari ekspansi klonal ini mengalami apoptosis. Meski demikian, beberapa dari sel


(42)

17

dikenal dengan nama sel memori, yang menjadi dasar memori immunologi yang

memastikan respon yang lebih cepat dan efektif pada saat antigen yang sama dari

pathogen memasuki tubuh dan oleh karenanya memberikan kekebalan yang

bertahan lama (Janeway, 2001).

Jaringan limfoid perifer termasuk lien, merupakan jaringan yang khusus

tidak hanya untuk menangkap sel fagosit yang membawa antigen, namun juga

untuk meningkatkan interaksinya dengan limfosit yang dibutuhkan untuk memulai

respon imun adaptif. Lien dan limfonodi adalah organ yang sangat terorganisir

untuk fungsi ini. Semua limfosit yang merespon antigen, tidak hanya memerlukan

sinyal yang dihasilkan pengikatan antigen terhadap reseptornya, namun juga

memerlukan sinyal kedua yang diberikan oleh sel lainnya. Sel limfosit B yang

menghasilkan antibody, memperoleh sinyal dari sel efektor limfosit T (Rajewsky,

1996).

Pathogen paling sering memasuki tubuh melalui barrier mukosa yang

melapisi traktus respirasi, digestif, dan urogenital, atau melalui kulit yang rusak,

sehingga menyebabkan terjadinya infeksi pada jaringan tersebut. Cara lain yang

lebih jarang adalah melalui luka tusukan atau gigitan binatang yang membawa

mikroorganisme langsung ke aliran darah. Seluruh permukaan mukosa dari tubuh,

jaringan dan darah dilindungi oleh antibody dari infeksi seperti ini. Antibody ini

berperan untuk menetralisir pathogen atau mempromosikan eliminasinya.

Antibody dari isotipe yang berbeda beradaptasi untuk berfungsi pada

kompartemen berbeda dari tubuh. Karena daerah variable dari suatu antibody


(43)

18

isotipe, maka seluruh turunan dari sel limfosit B tunggal dapat memproduksi

antibody, yang seluruhnya spesifik terhadap antigen pencetus yang sama,

sehingga menyediakan seluruh fungsi perlindungan yang sesuai untuk tiap-tiap

kompartemen tubuh (Janeway, 2001).

IgM adalah antibody pertama yang dihasilkan dari respon imun humoral

dan selalu menjadi yang pertama karena IgM dapat diekspresikan langsung tanpa

melalui pengalihan isotipe. IgM awal yang dihasilkan ini diproduksi sebelum sel

B mengalami hipermutasi somatic dan karenanya memiliki afinitas rendah.

Molekul IgM, bagaimanapun juga dapat membentuk pentamer dimana 10 lokasi

pengikatan antigennya dapat berikatan secara simultan dengan antigen multivalent

seperti misalnya polisakarida dari kapsul bakteri. Hal ini mengkompensasi

rendahnya secara relative, afinitas IgM monomer. Sebagai akibat dari ukuran

pentamer yang besar, IgM terutama ditemukan di darah dan sebagian pada cairan

limfe. Struktur pentamer dari IgM membuatnya secara khusus efektif dalam

mengaktifkan system komplemen. Infeksi pada aliran darah memiliki konsekuensi

serius, kecuali dapat dikontrol dengan cepat, dan produksi yang cepat dari IgM

dan aktivasi komplemen yang efisien merupakan hal yang sangat penting dalam

infeksi semacam ini. Beberapa IgM juga dihasilkan pada respon sekunder dan

lanjutan, dan setelah hipermutasi somatic, meski isotipe lain mendominasi fase

berikutnya dari respon antibody (Janeway, 2001).

Antibodi dari isotipe lainnya, IgG dan IgA memiliki ukuran yang lebih

kecil dan dapat berdifusi dengan mudah keluar dari aliran darah menuju jaringan.


(44)

19

Affinitas dari tiap-tiap lokasi pengikatan antigen oleh karenanya lebih tinggi dari

antibody tipe ini, dan kebanyakan dari sel limfosit B penghasil antibody ini

mengekspresikan isotipe yang telah dipilih untuk memiliki daya ikat yang lebih

tinggi untuk antigen yang spesifik di pusat germinal.

IgG merupakan isotipe utama pada darah dan cairan ekstrasel. IgG secara

efisien dapat mengopsonisasi pathogen untuk dapat dicerna oleh fagosit dan

mengaktivasi system komplemen.

IgA sendiri paling banyak ditemukan di sekresi tubuh, dimana yang paling

penting adalah dari epitel saluran cerna dan pernafasan. Daya aktivasi komplemen

dan opsonisasi IgA lebih rendah dibandingkan IgG, karena memang tempat kerja

IgA terutama pada permukaan epitel dimana komplemen dan sel fagosit

normalnya tidak ada, dan oleh karenanya fungsi utamanya adalah sebagai

antibody penetral (neutralizing antibody) (Janeway, 2001).

Tabel 2.1. Karakteristik tiap immunoglobulin dan rata-rata kadar dalam serum (Janeway, 2001)

Aktifitas fungsional

Distribusi

Transpor epitel

Melewati plasenta

Difusi ekstravaskular Mean serum mg/ml

Netralisasi Aktifitas fungsional

Opsonisasi

Aktifasi komplemen Sensitisasi oleh NK Sensitisasi oleh sel Mast


(1)

pathogen oleh antibody ini, tidak cukup untuk menahan replikasi dari bakteri yang berkembang di luar sel. Untuk kasus seperti ini, peran antibody adalah untuk memungkinkan sel fagosit untuk mencerna dan menghancurkan bakteri. Mekanisme seperti ini penting bagi berbagai bakteri yang memiliki kemampuan untuk menghindari pengenalan langsung oleh fagosit, dimana fagosit mengenali daerah konstan dari antibody yang telah berikatan dengan bakteri. Proses penyelimutan pathogen dan partikel asing seperti ini dikenal dengan nama opsonisasi (Janeway, 2001).

Gambar 2.3. Respon immune humoral diperantarai oleh molekul antibody

yang disekresikan oleh sel plasma (Janeway, 2001).

Aktivasi sel B

Sekresi antibodi


(2)

2.5. Produksi Immunoglobulin

Antibodi merupakan suatu bentuk dari reseptor antigen yang disekresikan sel limfosit B. Antibody ini diproduksi dalam jumlah yang sangat besar dalam respon terhadap antigen. Struktur antibodi yang dikenal saat ini terdiri dari dua region yang berbeda. Satu bagian adalah daerah yang konstan yang hanya dapat menerima satu dari empat atau lima bentuk yang dapat dibedakan secara biokimiawi, satu bagian lagi adalah daerah variabel yang dapat menerima berbagai bentuk sehingga memungkinkan berikatan secara spesifik terhadap berbagai jenis antigen berbeda. Antibodi merupakan molekul berbentuk Y, memiliki daerah variable (V region) yang identik pada satu molekul antibodi, dan menentukan spesifitas pengikatan antigen dari antibodi ini, dan daerah konstan (C region) menentukan bagaimana antibodi mengatur pathogen setelah berikatan (Liu, 1991).


(3)

Setiap molekul antibody memiliki dua rangkap aksis simetris dan terdiri dari dua rantai berat dan dua rantai ringan yang identic. Rantai ringan dan berat , keduanya memiliki daerah variable dan konstan. Lengan variable dari rantai ringan dan berat, bersatu untuk membentuk tempat pengikatan antigen, sehingga kedua rantai berkontribusi terhadap spesifitas pengikatan antigen dari molekul antibody. Batang dari molekul Y ini, akan menentukan kelas (isotype) dari antibody dan menentukan sifat-sifat fungsionalnya, mengambil satu dari lima bentuk utama atau isotype yakni immunoglobulin G, A, M, D, dan E. Tiap-tiap kelas dari antibody, menentukan mekanisme efektor yang berbeda untuk menghilangkan antigen setelah dikenali (Liu, 1991).

Antibodi diproduksi oleh limfosit B yang telah teraktivasi. Limfosit B naïve yang mengenali antigen spesifiknya, akan berhenti untuk bermigrasi dan kemudian membesar. Kromatin dalam nukleus menjadi kurang padat, nucleoli muncul, terjadi peningkatan volume nucleus dan sitoplasma, dan terjadi sintesis RNA dan protein baru. Dalam beberapa jam, sel akan terlihat sangat berbeda dan dikenal sebagai limfoblast. Limfoblast kemudian mulai membelah diri, secara normal menduplikasi dirinya 2-4 kali tiap 24 jam selama 3-5 hari, sehingga sebuah limfosit naive akan menghasilkan sekitar 1000 sel klon dengan spesifitas yang identik. Sel-sel klon ini akan berdifferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresikan antibody. Sel limfosit B hasil klon ini hanya memiliki usia yang terbatas, dan setelah antigen dihilangkan, sebagian besar sel-sel yang dihasilkan dari ekspansi klonal ini mengalami apoptosis. Meski demikian, beberapa dari sel klon ini tetap bertahan setelah antigen dieliminasi. Sel-sel yang bertahan ini


(4)

dikenal dengan nama sel memori, yang menjadi dasar memori immunologi yang memastikan respon yang lebih cepat dan efektif pada saat antigen yang sama dari pathogen memasuki tubuh dan oleh karenanya memberikan kekebalan yang bertahan lama (Janeway, 2001).

Jaringan limfoid perifer termasuk lien, merupakan jaringan yang khusus tidak hanya untuk menangkap sel fagosit yang membawa antigen, namun juga untuk meningkatkan interaksinya dengan limfosit yang dibutuhkan untuk memulai respon imun adaptif. Lien dan limfonodi adalah organ yang sangat terorganisir untuk fungsi ini. Semua limfosit yang merespon antigen, tidak hanya memerlukan sinyal yang dihasilkan pengikatan antigen terhadap reseptornya, namun juga memerlukan sinyal kedua yang diberikan oleh sel lainnya. Sel limfosit B yang menghasilkan antibody, memperoleh sinyal dari sel efektor limfosit T (Rajewsky, 1996).

Pathogen paling sering memasuki tubuh melalui barrier mukosa yang melapisi traktus respirasi, digestif, dan urogenital, atau melalui kulit yang rusak, sehingga menyebabkan terjadinya infeksi pada jaringan tersebut. Cara lain yang lebih jarang adalah melalui luka tusukan atau gigitan binatang yang membawa mikroorganisme langsung ke aliran darah. Seluruh permukaan mukosa dari tubuh, jaringan dan darah dilindungi oleh antibody dari infeksi seperti ini. Antibody ini berperan untuk menetralisir pathogen atau mempromosikan eliminasinya. Antibody dari isotipe yang berbeda beradaptasi untuk berfungsi pada kompartemen berbeda dari tubuh. Karena daerah variable dari suatu antibody dapat berhubungan dengan berbagai macam daerah konstan melalui pengalihan


(5)

isotipe, maka seluruh turunan dari sel limfosit B tunggal dapat memproduksi antibody, yang seluruhnya spesifik terhadap antigen pencetus yang sama, sehingga menyediakan seluruh fungsi perlindungan yang sesuai untuk tiap-tiap kompartemen tubuh (Janeway, 2001).

IgM adalah antibody pertama yang dihasilkan dari respon imun humoral dan selalu menjadi yang pertama karena IgM dapat diekspresikan langsung tanpa melalui pengalihan isotipe. IgM awal yang dihasilkan ini diproduksi sebelum sel B mengalami hipermutasi somatic dan karenanya memiliki afinitas rendah. Molekul IgM, bagaimanapun juga dapat membentuk pentamer dimana 10 lokasi pengikatan antigennya dapat berikatan secara simultan dengan antigen multivalent seperti misalnya polisakarida dari kapsul bakteri. Hal ini mengkompensasi rendahnya secara relative, afinitas IgM monomer. Sebagai akibat dari ukuran pentamer yang besar, IgM terutama ditemukan di darah dan sebagian pada cairan limfe. Struktur pentamer dari IgM membuatnya secara khusus efektif dalam mengaktifkan system komplemen. Infeksi pada aliran darah memiliki konsekuensi serius, kecuali dapat dikontrol dengan cepat, dan produksi yang cepat dari IgM dan aktivasi komplemen yang efisien merupakan hal yang sangat penting dalam infeksi semacam ini. Beberapa IgM juga dihasilkan pada respon sekunder dan lanjutan, dan setelah hipermutasi somatic, meski isotipe lain mendominasi fase berikutnya dari respon antibody (Janeway, 2001).

Antibodi dari isotipe lainnya, IgG dan IgA memiliki ukuran yang lebih kecil dan dapat berdifusi dengan mudah keluar dari aliran darah menuju jaringan. IgA dapat membentuk dimer, sedangkan IgG selalu dalam bentuk monomer.


(6)

Affinitas dari tiap-tiap lokasi pengikatan antigen oleh karenanya lebih tinggi dari antibody tipe ini, dan kebanyakan dari sel limfosit B penghasil antibody ini mengekspresikan isotipe yang telah dipilih untuk memiliki daya ikat yang lebih tinggi untuk antigen yang spesifik di pusat germinal.

IgG merupakan isotipe utama pada darah dan cairan ekstrasel. IgG secara efisien dapat mengopsonisasi pathogen untuk dapat dicerna oleh fagosit dan mengaktivasi system komplemen.

IgA sendiri paling banyak ditemukan di sekresi tubuh, dimana yang paling penting adalah dari epitel saluran cerna dan pernafasan. Daya aktivasi komplemen dan opsonisasi IgA lebih rendah dibandingkan IgG, karena memang tempat kerja IgA terutama pada permukaan epitel dimana komplemen dan sel fagosit normalnya tidak ada, dan oleh karenanya fungsi utamanya adalah sebagai antibody penetral (neutralizing antibody) (Janeway, 2001).

Tabel 2.1. Karakteristik tiap immunoglobulin dan rata-rata kadar dalam serum (Janeway, 2001)

Aktifitas fungsional

Distribusi

Transpor epitel

Melewati plasenta

Difusi ekstravaskular

Mean serum mg/ml Netralisasi Aktifitas fungsional

Opsonisasi

Aktifasi komplemen Sensitisasi oleh NK