TINGKAT PENGGUNAAN PAKAN DALAM SISTEM BIOFLOK DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN EFISIENSI PAKAN IKAN LELE SANGKURIANG (Clarias gariepinus).

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) merupakan ikan lele hasil

persilangan antara induk betina F2 dengan induk jantan F6 sehingga menghasilkan
F26. Induk jantan F26 selanjutnya dikawinkan dengan induk betina F2 dan
menghasilkan ikan lele yang unggul yang disebut dengan lele sangkuriang
(Suprapto

dan

Samtafsir

2013).

Ikan


ini

memiliki

keunggulan

yang

menguntungkan dibandingkan jenis ikan air tawar yang lainnya, yaitu
pertumbuhan yang cepat, mudah dipelihara, tahan terhadap kondisi air yang
buruk, memiliki nilai gizi dan ekonomis yang cukup tinggi (Bachtiar 2006).
Ketertarikan para pelaku budidaya untuk terus melakukan budidaya ikan
lele sangkuriang karena permintaan pasar akan kebutuhan ikan lele terus
berkembang dan juga untuk meningkatkan produksi. Sehingga banyak
pembudidaya lele sangkuriang yang melakukan usaha budidayanya dengan sistem
intensif. Budidaya dengan sistem intensif pada umumnya dicirikan dengan padat
penebaran yang tinggi. Padat penebaran yang tinggi membutuhkan pakan dalam
jumlah yang besar untuk dapat memenuhi nutrisi ikan yang dibudidayakan.
Namun demikian, terdapat kendala dalam melakukan budidaya sistem tersebut
karena harga pakan yang cukup tinggi. Selain itu, hal tersebut dapat berpengaruh

pada jumlah pakan yang tidak termanfaatkan serta sisa-sisa metabolisme dari ikan
tersebut yang berpotensi menghasilkan senyawa-senyawa yang beracun bagi ikan
dan dapat memperburuk kualitas air.
Menurut Tangendjaja (2008) biaya produksi yang paling besar (bisa
mencapai 70%) untuk menghasilkan ternak maupun ikan adalah pakan. Menurut
Crab et al. (2007) menyatakan bahwa ikan hanya menyerap sekitar 25% pakan
yang diberikan, sedangkan 75% sisanya menetap sebagai limbah di dalam air.
Sisa pakan dan feses berkadar protein tinggi yang dapat terurai menjadi senyawa
peptida, selanjutnya menjadi asam amino dan amonia (NH3) sebagai produk akhir.

1

2

Senyawa amonia merupakan senyawa beracun yang mengancam kelangsungan
hidup organisme air (Amri 2003).
Beranjak dari hal di atas, maka dibutuhkan sebuah inovasi dalam budidaya
agar tetap dapat melakukan budidaya dengan sistem intensif namun jumlah pakan
dapat dikurangi agar biaya produksi (pakan) dapat ditekan serta dibutuhkan juga
sebuah inovasi agar ikan dapat menyerap pakan lebih tinggi dari pakan yang

diberikan sehingga diharapkan pertumbuhan ikan dan efisiensi pakan menjadi
meningkat dan akumulasi limbah budidaya dalam sebuah media pemeliharaan
menjadi tidak berbahaya bagi ikan lele sangkuriang yang dipelihara.
Teknologi bioflok menjadi salah satu alternatif pemecahan masalah limbah
budidaya yang paling menguntungkan karena selain dapat menurunkan limbah
nitrogen anorganik, teknologi ini juga dapat menyediakan pakan tambahan
berprotein untuk kultivan sehingga dapat menaikan pertumbuhan dan efisiensi
pakan (Purnomo 2012).

Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian untuk

menentukan tingkat penggunaan pakan dalam sistem bioflok agar menghasilkan
pertumbuhan dan efisiensi pakan yang baik.

1.2

Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi seberapa

besar pengaruh tingkat penggunaan pakan dalam sistem bioflok terhadap

pertumbuhan dan efisiensi pakan ikan lele sangkuriang.

1.3

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui tingkat penggunaan

pakan yang paling tepat dalam sistem bioflok terhadap pertumbuhan dan efisiensi
pakan ikan lele sangkuriang.

3

1.4

Kegunaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang tepat

mengenai tingkat penggunaan pakan dalam sistem bioflok pada ikan lele
sangkuriang sehingga dapat digunakan untuk menentukan jumlah pakan yang
diberikan dalam budidaya lele sangkuriang dengan sistem bioflok.


1.5

Kerangka Pemikiran
Kandungan limbah budidaya ikan didominasi oleh bahan-bahan organik

yang dapat terurai, seperti protein, karbohidrat, dan lemak yang banyak
terkandung dalam sisa pakan yang tidak termakan dan feses ikan. Limbah
budidaya ikan merupakan bahan organik yang sangat potensial untuk
dimanfaatkan menjadi sumber nutrisi bagi bioflok oleh bakteri heterotrofik.
Sehingga nutrien-nutrien limbah organik dapat diubah menjadi biomassa bakteri
yang potensial sebagai bahan pakan ikan dan pengendalian kualitas air. Bioflok
merupakan campuran kompleks dari mikroorganisme, termasuk bakteri,
mikroalga, jamur, protozoa, metazoa, rotifer, dan nematoda (Tacon dkk 2002
dalam Kurniasari 2010). Flok yang terbentuk dalam badan perairan dapat
dimanfaatkan oleh spesies lain sebagai pakan tambahan dan berfungsi bagi
pemurni (purifikasi) air di kolam dengan fungsi sebagai pengoksidasi bahan
organik, melangsungkan nitrifikasi, dan pembatas pertumbuhan plankton
(Aiyushirota 2009).
Bioflok bekerja dengan saling ketergantungan organisme bakteri dengan

alga dan lingkungannya. Bakteri dan alga ini sudah terbentuk secara alami.
Bakteri yang berperan dalam teknologi bioflok ini adalah bakteri heterotroph yang
merupakan bakteri yang dapat mengkonversi NH3 menjadi biomassa bakteri
dengan cepat. NH3 ini merupakan toksik, namun jika dilihat dari sisi lain NH3
memberikan energi pada bakteri untuk proses hidupnya. Kemudian bakteri yang
bergabung dengan alga dapat menyaring air dari ammonia yang merupakan toksik
bagi ikan, dan juga membentuk agregat yang dapat menjadi pakan alami pada
ikan. Alga memberikan senyawa-senyawa yang dibutuhkan bagi bakteri, dan
bakteri merombak senyawa-senyawa yang dibutuhkan. Bakteri dan alga ini sudah

4

terbentuk secara alami dan akan berkembang. Teknologi bioflok ini ramah
lingkungan karena pencemaran air dapat ditekan, kemudian pemberian pakan
buatan yang harganya mahal diminimalisir karena telah terbuntuk pakan secara
alami (Anonim 2013).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aplikasi teknologi bioflok
berperan dalam perbaikan kualitas air, peningkatan biosekuriti, peningkatan
produktivitas, peningkatan efisiensi pakan serta penurunan biaya produksi melalui
penurunan biaya pakan. Secara teoritis maupun aplikasi, penerapan teknologi

bioflok dapat meningkatkan kualitas air melalui pengontrolan konsentrasi
ammonia dalam air dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan nutrien melalui
pemanfaatan bioflok sebagai sumber pakan bagi organisme yang dibudidayakan
(Ekasari 2009).
Azim dan Little (2008) menyatakan bahwa nilai FCR ikan yang dipelihara
pada media dengan aplikasi teknologi bioflok akan lebih baik. Menurut Widanarni
dkk. (2010), efisiensi pakan pada perlakuan dengan aplikasi teknologi bioflok
lebih tinggi karena adanya peningkatan biomassa mikroba bioflok sebagai sumber
nutrisi atau makanan tambahan untuk ikan. Hasil penelitian Riani (2012) udang
vaname yang diberi tingkat pengurangan pakan buatan 25% memiliki laju
pertumbuhan harian sebesar 3,1679% dengan kelangsungan hidup sebesar 92%
dan nilai rasio konversi pakan 0,73, dan hasil penelitian Rostika (2014)
pengurangan pakan sebesar 25% memberikan hasil pertambahan bobot yang sama
baiknya dengan udang vaname yang tidak dikurangi pakannya.
Hasil penelitian Rachmiwati (2008) menyimpulkan bahwa ikan nila dalam
sistem budidaya zero water exchange dapat memanfaatkan limbah budidaya ikan
lele melalui pengembangan bakteri heterotrof. Ikan nila yang dibudidayakan
dengan kepadatan 125 ekor/m2 mampu tumbuh lebih dari 100% per 40 hari dan
meningkatkan efisiensi pakan sebesar 12,07% dengan memanfaatkan bakteri
heterotrof dari limbah budidaya lele kepadatan 100 ekor/m2. Penambahan unsur C

(molase) pada budidaya lele menghasilkan tingkat kelangsungan hidup ikan lele
yang dipelihara selama 46 hari sebesar 94,625%, laju pertumbuhan spesifik ikan

5

lele tertinggi sebesar 7,16% dan nilai efisiensi pakan sebesar 85,8% (Gunandi
2009).
Teknologi bioflok mempunyai keunggulan karena teknik memadukan
penanganan buangan limbah untuk menjaga kualitas air dan memproduksi pakan
secara in situ. Hasil penelitian budidaya heterotrofik dengan pemanfaatan bioflok
menunjukan bahwa kepadatan lele 100 ekor/m2 dan nila 100 ekor/m2
menghasilkan laju pertumbuhan lele 2,51% dan nila 2,58% dengan produksi total
80,60 kg dengan kelangsungan hidup lele 94,4% dan nila 84,1%. Pada awal
penelitian rata-rata bobot individu lele berkisar antara 41,01 – 45,94 gram,
sedangkan pada akhir penelitian bobot rata-rata individu lele berkisar antara
113,73 – 125,51 gram (Kurniasari 2010).
1.6

Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas diduga bahwa tingkat penggunaan


pakan dalam sistem bioflok dengan pengurangan pakan sebesar 25% merupakan
jumlah pemberian pakan yang paling tepat terhadap pertumbuhan ikan lele
sangkuriang.