Dilema Anggaran Alutsista TNI.

o Senin
1
17

2
18

o Jan

3
19

0

Peb

4

-

.

20

0

0

Selasa

Mar

567
21

0

--

Apr

o Kamis


Rabu
22

0

Me;

8

9

23
-

--24

eJun

0


10

0

Jumat
11

25

0
12

13

26---- 27

Jul --0 Ags

0


0

Sabtu

Scp

Minggu
14

28
OOkt

~

15

29

30 ~,


O.Vov 0 Des

Dilema Anggaran Alutsista TNI
--"'

Oleh GALIH IMADUDDIN
UNGGUH tragis! Kiranya itulah kata yang tepat
.
untuk menggambarkan
kondisi alat utama sistem senjata (alutsista) yang dimilikiTentara Nasional Indonesia (TNI) saat
ini. Para pengambil kebijakan di
TNI dan Departemen Pertahanan tampaknya sedang kalap
menghadapi situasi terakhir ini.
Kecelakaan pesawat dan helikopter yang berdekatan waktunya membuat masyarakat bertanya-tanya mengenai perawatan
mesin-mesin perang milik TNI.
Wajar jika kemudian muncul
pertanyaan besar, apakah memang anggaran TNI sudah digunakan semestinya, dalam arti,
secara efektif dan efisien?
Minimnya anggaran pertahanan memang selalu menjadi

traditional excuse, kalau tidak
dikatakan klise. Semua pihak sudah mafhum bahwa anggaran
militer Indonesia selalu mengalami kekurangan untuk mencapai taraf kekuatan pokok minimal (minimum essentialforce),
yaitu tingkat kekuatan yang
mampu menjamin kepentingan
sbp.tegipertahanan yang mendesak yang dapat diandalkan. Pada
masa lampau, khususnya era Orde Barn, minimnya anggaran
militer ini sering kali ditutupi
oleh keterlibatan tentara dalam

S

bisnis. Namun, setelah bergulirnya masa reformasi, TNI dituntut menjalankan serangkaian
perbaikan dalam rangka reformasi sektor keamanan. Bisnis
militer, bersama dengan keberadaan organ-organ komando te:ritori~l TNI (AD), menjadi hal
yang paling disorot publik. Menutupi kekurangan anggaran dari hasil bisnisnya menjadi hal
yang amat dilematis bagi TNI.
Inti perumusan masalah dalam
hal ini, di satu sisi, negara, di dalam APBN-nya, tidak sanggup
memberikan alokasi anggaran

yang ideal bagi TNI. Di sisi lain,
keterlibatan prajurit dan perwira
TNI dalam bisnis telah membuat mereka semakin jauh dari
profil tentara profesional.
Dengan mempertimbangkan
perkembangan anggaran militer
di dalam APBN saat ini, publik
memang pantas khawatir. Pada
tahun anggaran 2009, TNI ~'hanya" memperoleh porsi anggaran Rp 33,6 triliun, sedikit turun
dari tahun sebelumnya yang Rp
36,4 triliun. Dilihat dari jJersentase terhadap pendapatan domestik bruto (PDB), besaran
angka itu terlihat memprihatinkan. Pada 2008, angkanya berkisar o,'t'Aj dari PDB, sedangkan
2009 menurun menjadi 0,6%
~dari PDB. Padahal,
----- idealnya, un-

Kllping

Hum as


Ur p.Jd

tuk membangun gugus kekuatan
yang efektifhingga memiliki efek
penggentaran (deterrence) di
mata musuh, anggaran militer
seyogianya 2% dari PDB.
Permasalahan rupanya tidak
berhenti sampai di situ. Dilihat
dari pengalokasiannya, dari dana
yang "hanya" Rp 36,4 triliun pada 2008, sebanyak J3;p16,31d)i~
un untuk belanja rutin pegawai,
Rp 7,3 triliun belanja barang dan
Rp 9,1 triliun belanja modal.
Fakta ini semakin dipertajam dengan pemyataan Kepala Staf
Angkatan Darat (KSAD)Jenderal Agustadi Sasongko Pumomo
beberapa waktu lalu yang mengatakan, dari total porsi anggaran'yang diterima TNI AD (yang
kurang lebih sekitar Rp 16 triliun), sebanyak Rp 14 triliun untuk membayar gaji prajurit dan
staf. Melihat itu, masih pantaskah apabila publik berharap TNI
akan mampu menjadi tentara

yang andal dan profesional menjaga kedaulatan Indonesia baik
di darat, laut, maupun udara?
Solusi anggaran
Masalah mendasar yang harus
dipahami dalam hal ini adalah
kenyataan, kekuatan TNI menurun karena dana yang didapat jauh'darijumlah ideal. tangankan
untuk membeli mesin-mesin perang yang barn, untuk menjaga
kekuatan yang ada saja tampaknya TNI sangat kewalahan. Hal

- - - ---

2009

- - -

ini secara tidak langsung memengaruhi bargaining position
(posisi tawar) Indonesia dengan

negara lain, khususnya pada saat menghadapi sengketa atas
suatu wilayah, seperti BlokAmbalat yang kembali menghangat.

Di dalam studi tentang politik
dunia, kererhasilan upaya diplomasi suatu negara tidak bisa ha- '~,i
hya mengandalkan kemampuan
berbicara dan beradu argumen.
Setiap negara harus menyertai
diplomatnya dengan "perbekalan" memadai untuk dipresentasikan di meja perundingan. Salah satu bekal paling penting
adalah kehadiran nyata kekuatan militernya secara fisik yang
akan membuat negara lain berpikir ulang dalCJ,mmenempuh
kebijakan luar negerinya. Contoh, Cina menempuh cara ini dalam menangani sengketa kepemilikan atas kepulauan Spratly
dan Paracel di Laut Cina Selatan.
Pelbagai kecelakaan pesawat
dan helikopter milik TNI dan
masalah sengketa Ambalat yang
kembali mengemuka ini seyogianya menjadi perhatian khusus
bagi pemerintah dan DPR untuk
terus meningkatkan kemampuan TNI. Pedoman utama yang
hams terus dipegang adalah
pembangunan alutsista TNI harus diarahkan pada tercapainya
minimum essentialforces.
Tidak ada jalan lain selain meningkatkan porsi anggaran un-


tuk TNI. Besarannya bisajadi dilematis karena akan bergantung

. kepada

kondisi

perekonomian

Indonesia secara keseluruhan.
Terlebih, bila dibenturkan dengan pembangunan bidang pendidikan dan pemulihan sektor
ekonomi, alokasi anggaran pertahanan memang sulit dijadikan

priori~ utama. Atas dasar itu,
Iangkah p;iling realistis bagi TNI
adalah dengan memfokuskan diri untuk memakai anggaran
yang ada seefisien mungkin. Setiap bentuk pemanfaatan anggaran TNI harus ditujukan kepada pos-pos paling krusial, utamanya menyangkut perawatan
alutsista utama' dalam rangka
menunjukkan keberadaan fisik
(physical existence) di hadapan
angkatan bersenjata negara lain.
Terakhir, untuk melihat sejauh mana keefektifan penggunaan anggarannya, akan sangat
baik apabila TNI bersedia diaudit secara terbuka, baik oleh auditor pemerintah maupun dari
lembaga independen di luar pemerintah. Jika memang terbukti
efektif, sudah sewajarnya pemerintah mempertimbangkan dengan serius untuk segera meningkatkan anggaran pertahanan sampai ke tingkat yang lebih
"memadai". ***
.
Pemdis, alumnus HI Unpad,
mahasiswa Program Magister
Ilmu Politik FISIP Unpad.
c:::--