Materi PKn SMA Kelas X (Penanganan pelanggaran HAM di Indonesia)
Materi PKn SMA Kelas X (Penanganan pelanggaran HAM di Indonesia)
A. Penanganan pelanggaran HAM di Indonesia
Berbagai kasus pelanggaran HAM pernah terjadi di Indonesia. Beberapa kasus sudah
dipersidangkan, namun ada pula yang belum tuntas bahkan luput dari perhatian. Berikut
beberapa contoh peristiwa atau kasus pelanggaran HAM di Indonesia serta upaya-upaya
penanganannya.
1) Kasus Tanjung Priok (1984)
Pada tanggal 12 September 1984 terjadi Kasus Tanjung Priok. Korban yang jatuh menurut
catatan media massa sebanyak 79 orang. Korban tersebut terdiri atas 24 orang meninggal dan 54
orang mengalami luka-luka. Dalam kasus Tanjung Priok menurut laporan Komnas HAM, telah
terjadi pelanggaran HAM berat berupa pembunuhan secara kilat, penangkapan dan penahanan
sewenang-wenang, penyiksaan, dan penghilangan orang secara paksa. Proses persidangan sudah
dilangsungkan, namun hingga kini para pelaku masih bebas.
2) Kasus Marsinah (1993)
Marsinah adalah karyawati PT CPS. la adalah seorang aktivis buruh. Tanggal 9 Mei 1993, mayat
Marsinah ditemukan di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Diduga keras, ia tewas dibunuh akibat keterlibatannya dalam demonstrasi buruh di PT CPS
tanggal 3 dan 4 Mei 1993. Dibentuk Tim Terpadu tanggal 30 September 1993 untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Dalam pembunuhan Marsinah, tim
tersebut menangkap, memeriksa, dan mengajukan 10 orang yang diduga terlibat. Persidangan
berlangsung sejak persidangan tingkat pertama, banding, dan kasasi. Semua terdakwa ternyata
dibebaskan dari segala dakwaan alias bebas murni dalam persidangan kasasi di Mahkamah
Agung. Putusan tersebut menimbulkan ketidakpuasan meluas di kalangan masyarakat.
3) Kasus Semanggi I dan II (1998)
Kasus ini diawali peristiwa meninggalnya empat orang mahasiswa yang sedang berunjuk rasa
menentang pelaksanaan Sidang Istimewa MPR 1998. Ribuan mahasiswa bersama masyarakat
menuju kompleks Gedung MPR/DPR pada 18 November 1998. Suasana makin tegang sejak
petang hari sampai malam karena aparat kepolisian dan militer berhadapan dengan mahasiswa.
Aksi keributan dan pertentangan pun terjadi di kawasan Semanggi. Dalam keributan tersebut,
empat orang mahasiswa tertembak.
4) Kasus kerusuhan Timor Timur pascajajak pendapat (referendum) 1999
Pada bulan Agustus 1999, Timor Leste (dahulu Timor Timur) akhirnya resmi berpisah dengan
Negara Kesatuan Republik lndonesia setelah hasil jajak pendapat dimenangkan oleh kelompok
yang menolak otonomi khusus. Hasil itu menimbulkan reaksi keras dari masyarakat yang
prointegrasi sehingga terjadi kerusuhan massal dan pembakaran besar-besaran di wilayah
tersebut.
Dalam kasus Timor Timur telah terjadi pelanggaran HAM berat meliputi penganiayaan dan
penyiksaan, pembunuhan massal dan sistematis, kekerasan berdasarkan gender, penghilangan
paksa, pemindahan penduduk secara paksa, dan pembumihangusan. Pengadilan HAM telah
menerima pengajuan sejumlah tersangka kasus Timor Timur, tetapi proses hukum dan hukuman
yang dijatuhkan teryata tidak mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat.
5) Kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay (2001)
Theys Hiyo Eluay adalah Ketua Umum Presidium Dewan Papua (PDP). Pada tanggal 11
November 2001 setelah menghadiri peringatan acara Sumpah Pemuda, Theys ditemukan
meninggal dalam mobil yang ditumpanginya. Sopir mobil itu dikabarkan melarikan diri. Saat itu,
Theys tengah menghadapi proses pengadilan sehubungan dengan tuduhan tindak pidana makar
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mendirikan Negara Papua Merdeka.
Meninggalnya Theys dikabarkan oleh berita-berita berkaitan dengan kegiatan politik yang
dilakukannya.
6) Kasus pembunuhan Munir (2004)
Munir (39 thn), seorang aktivis HAM pendiri Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan) dan Imparsial, meninggal di atas pesawat Garuda dengan nomor GA-974
ketika sedang menuju Amsterdam untuk melanjutkan kuliah pascasarjana (7 September 2004).
Pemerintah Belanda melakukan otopsi atas jenazah almarhum sesuai dengan hukum nasionalnya.
Informasi dari media Belanda diperoleh pihak keluarga almarhum bahwa hasil otopsi Munir oleh
Institut Forensik Belanda (NFI) membuktikan bahwa beliau meninggal akibat racun arsenik
dalam jumlah dosis yang fatal. Kasus yang diduga berkaitan dengan aktivitas Munir selama
hidupnya itu masih belum tuntas hingga sekarang.
B. Hambatan dan tantangan penegakan HAM di Indonesia
1) Hambatan
Banyak sekali hambatan dalam menegakkan pelaksanaan HAM di tanah air. Hambatanhambatan tersebut dapat datang dari luar atau dalam negeri.
a) Hambatan dari luar negeri
Paham atau ideologi politik yang berbeda-beda antara negara yang satu dengan yang lain
ternyata membawa dampak pada pemahaman tentang hak asasi manusia yang berbeda-beda pula.
Contohnya pada dua paham atau ideologi paling berseberangan di muka bumi berikut ini.
(1) Pandangan paham liberalisme terhadap HAM
Liberalisme berasal dari kata liberal yang berarti berpendirian bebas. Paham ini melihat manusia
sebagai makhluk bebas, artinya manusia memiliki kemauan bebas dan merdeka serta harus
diberikan kesempatan untuk memajukan diri sendiri dengan merdeka pula. Kaum liberal
menghendaki pembatasan hak negara dalam urusan ekonomi, kebudayaan, agama, dan
sebagainya. Tuntutan mereka meliputi hak kemerdekaan menulis, menyampaikan pikiran,
memeluk agama, menentang rasialisme, perdagangan bebas, dan persamaan hak bagi wanita.
Paham liberalisme dianut oleh negara-negara di Eropa Barat, Amerika Serikat, dan beberapa
negara di Asia. Paham ini menghendaki hal-hal berikut.
(a) Lebih mengutamakan pemungutan suara mayoritas dalam mengambil keputusan. Oleh karena
itu, pendapat kelompok kecil atau minoritas tidak akan dipertimbangkan dalam pengambilan
putusan. Sikap ini memberi dampak negatif dapat menimbulkan rasa frustrasi.
(b) Kekuasaan mutlak mayoritas atas minoritas sehingga dapat terjadi diktator.
Kebebasan individu atau partai sangat ditonjolkan dalam bidang politik sehingga dikenal adanya
partai oposisi dan mosi tidak percaya kepada pemerintah yang sedang berkuasa. Pemerintah yang
berkuasa akan jatuh apabila hak itu digunakan untuk memenuhi batas minimum pemerintah di
parlemen. Dampak negatifnya adalah pemerintahan menjadi tidak stabil dan program
pembangunan tidak berjalan sehingga upaya untuk meningkatkan kemakmuran rakyat akan
terhambat. Bagi Indonesia, paham liberalisme dapat membawa dampak-dampak berikut yang
juga berpengaruh pada pelaksanaan perlindungan HAM di dalam negeri.
(a) Di bidang ekonomi, persaingan bebas akan mematikan golongan ekonomi lemah. Akibatnya,
jurang pemisah akan semakin lebar. Paham liberal akan melahirkan manusia egois-individualis
yang jauh dari sifat kekeluargaan dan gotong royong.
(b) Kebebasan yang tidak terkendali, seperti pelaksanaan demonstrasi secara bebas di jalan-jalan
umum, dapat mengganggu jalannya pemerintahan dan aktivitas kehidupan masyarakat seharihari
(c) Golongan besar dan kuat akan dapat memaksakan kehendaknya kepada golongan minoritas.
(2) Pandangan paham komunisme terhadap HAM Komunisme berawal dari teori historis
materialism yang diajarkan oleh Karl Marx. Menurutnya, semenjak dunia berkembang,
masyarakat manusia merupakan perjuangan kelas melawan kelas.
Perjuangan kelas antara kaum borjuis (kaya) melawan kaum proletar (melarat) ini pada akhirnya
akan dimenangkan oleh kaum proletar. Ciri yang menonjol dalam ajaran komunisme sebagai
berikut.
(a) Di bidang politik, pemerintahan dipegang oleh kaum proletar yang menjalankan
pemerintahan secara diktator dalam rangka menuju masyarakat komunis yang sama rasa sama
rata sehingga disebut diktator proletariat. Atas nama kaum proletar, penguasa dapat bertindak apa
saja dan menyingkirkan siapa saja yang dianggap menghambat tercapainya tujuan. Hanya ada
satu partai
di dalam satu negara, yaitu partai komunis, sedangkan partai yang lain tidak dibenarkan hidup.
Rakyat hanya dijadikan objek politik belaka karena kebebasan politik tidak ada.
(b) Di bidang agama, negara yang menganut paham komunisme umumnya melarang rakyatnya
memeluk agama karena dianggap sebagai racun masyarakat yang dapat menghambat kemajuan.
(c) Di bidang ekonomi, secara totaliter negara memegang seluruh aktivitas ekonomi. Hak milik
perorangan terhadap alat produksi tidak diakui. Rakyat menjadi pasif atau tidak berekonomi
karena semuanya sudah ditentukan oleh pusat (sentralisasi). Akibatnya, kemakmuran rakyat sulit
ditingkatkan.
Oleh karena sifatnya yang demikian, ajaran komunis mempunyai minimal empat kecenderungan
dan dampak yang kurang kondusif bagi tegaknya hak asasi manusia.
(a) Awal terbentuknya masyarakat didahului oleh tegaknya sistem diktator proletariat sehingga
menciptakan sistem otoriter. Kekuasaan negara dapat jatuh ke tangan partai, bahkan ke tangan
pribadi. Rakyat menjalani kehidupan yang ketat dan tertutup yang pada hakikatnya merupakan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
(b) Timbulnya berbagai tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabat manusia di luar
batas kemanusiaan atau disebut dengan proses dehumanisasi. Penyebabnya adalah sikap
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang menjadi populer di lingkungan
masyarakat komunis.
(c) Gerakan komunis cenderung menciptakan berbagai konflik dan kontradiksi dalam kehidupan
masyarakat untuk tujuan merebut kekuasaan yang menyebabkan timbulnya suasana tegang dan
resah.
b) Hambatan dari dalam negeri
Ada empat macam faktor pendorong terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia
menurut Prof. Baharuddin Lopa, S.H., yaitu
(1) adanya kebiasaan dari pihak yang memiliki wewenang dan kekuasaan untuk
menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan tersebut;
(2) masih kentalnya budaya ewuh pekewuh yang membuka peluang terjadinya pelanggaran hak
asasi manusia sehingga penegakannya (enforcement) terganggu;
(3) law enforcement masih lemah dan seringkali bersifat diskriminatif;
(4) adanya kecenderungan pada pihak-pihak tertentu, terutama yang memiliki kewenangan dan
kekuasaan, tidak mampu saling mengekang.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut diperburuk oleh faktorfaktor perintang atau hambatan
dari dalam negeri berikut.
(1) Keadaan geografis Indonesia yang luas dan jumlah penduduknya yang banyak menimbulkan
kendala dalam komunikasi dan sosialisasi produk hukum dan perundang-undangan. Sosialisasi
dalam waktu yang relatif lama diperlukan oleh suatu produk hukum tertentu yang berskala
nasional.
(2) Budaya hukum dan hak asasi manusia yang belum terpadu. Dalam kasus hukum tertentu,
perbedaan persepsi masih sering mewarnai kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh
penyebaran tingkat kualitas pendidikan dan kemajuan sosial budaya di Indonesia sangat
bervariasi. Contohnya, perbedaan pandangan mengenai pengertian zina menurut KUHP dan
hukum Islam. Dalam KUHP, hukum atas perbuatan zina hanya dikenakan pada laki-laki dan
perempuan yang telah menikah yang melakukan perselingkuhan. Sementara, hukum Islam
menghendaki hukum yang sama berlaku pula pada pelaku, laki-laki dan perempuan, yang belum
menikah.
(3) Kualitas peraturan perundang-undangan belum sesuai dengan harapan masyarakat. Ini
disebabkan oleh sifat pemerintahan pada masa diberlakukannya undang-undang tertentu
(misalnya, pemberlakuan UU No. 11 PNPS/1963 tentang Subversi oleh pemerintahan masa Orde
Lama) dan sistem tata hukum nasional yang masih memberlakukan hukum peninggalan atau
warisan hukum kolonial.
(4) Penegakan hukum yang kurang atau tidak bijaksana karena bertentangan dengan aspirasi
masyarakat. Misalnya, hak atas penggunaan tanah yang kepemilikannya diatur dengan
undangundang dibuktikan dengan sertifikat kepemilikan tanah. Namun, hak yang semestinya
masih tetap berfungsi sosial ini digunakan untuk hal-hal yang tidak selaras dengan perasaan
hukum dan keadilan masyarakat.
(5) Rendahnya penguasaan hukum dari sebagian aparat penegak hukum, baik dalam teori
maupun pelaksanaan. Tingkat keseriusan dalam menangani perkara akan rendah apabila kualitas
aparat penegak hukumnya rendah dan cara yang dipakai sering bertentangan dengan hukum itu
sendiri. Contohnya, penangkapan aktivis keagamaan yang dilakukan dengan cara kasar dan tidak
menghargai hak asasi manusia, padahal bertentangan dengan aturan dan etika.
(6) Kesadaran hukum yang masih rendah sebagai akibat rendahnya kualitas sumber daya
manusia. Masih rendahnya taraf pengetahuan dan kesadaran hukum sebagian warga masyarakat
menghasilkan ketidakpedulian dan berbagai bentuk pelanggaran terhadap hak asasi orang lain.
Contohnya, ketika terjadi kecelakaan lalu lintas di mana seorang pengendara sepeda kayuh
karena kurang waspada menabrak mobil yang sedang parkir di pinggir jalan. Sepedanya rusak
berat dan kondisi pengendara sepeda luka parah. Pemilik mobil selalu dianggap sebagai pihak
yang salah dalam pikiran orang awam sehingga wajib menyantuni korban, walau sesungguhnya
ia dalam posisi benar. Begitu pula perilaku main hakim sendiri (eigenrichting), dianggap suatu
perbuatan yang wajar dan semata-mata keroyok massa, bukan pelanggaran hukum apalagi hak
asasi manusia.
(7) Mekanisme lembaga penegak hukum yang fragmentaris sehingga sering menimbulkan
disparitas penegak hukum dalam kasus yang sama. Sistem penegakan hukum dan upaya mencari
keadilan di Indonesia mengenal tingkatan peradilan yang belum sepenuhnya dipahami
masyarakat. Misalnya, suatu perkara yang diputus dengan vonis hukuman berat di tingkat
pertama (pengadilan negeri) ternyata divonis dengan hukuman seringan-ringannya di tingkat
banding (pengadilan tinggi), bahkan mungkin dibebaskan. Masyarakat awam sangat sulit
memahami hal ini. Kenyataannya, hukum pidana material (KUHP) di Indonesia memberlakukan
sistem hukuman maksimal.
Oleh sebab itu, dalam perkara yang sama dimungkinkan terjadinya perbedaan bobot hukuman
oleh hakim dari tingkat peradilan yang berbeda.
2) Tantangan
Makin banyaknya kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi adalah tantangan penegakan
hak asasi manusia di Indonesia. Sebagian kasus pelanggaran hak asasi manusia telah
diselesaikan, sedangkan yang lainnya masih diusahakan. Meskipun banyak kasus pelanggaran
hak asasi manusia di Indonesia, bukan berarti masalah penegakan hak asasi manusia dikatakan
lemah atau tidak ada penegakan hukum. Akan tetapi, memang masih banyak persoalan yang
menjadi tantangan dalam pelaksanaan penegakan HAM di negeri ini. Tantangan-tantangan dalam
penegakan HAM di Indonesia meliputi:
a) rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada aparat pemerintah dan lembaga-lembaga
penegak hukum;
b) masih ada pihak-pihak yang berusaha menghidupkan kekerasan dan diskriminasi sistematis
terhadap kaum perempuan ataupun kelompok masyarakat yang dianggap minoritas;
c) budaya kekerasan seringkali masih menjadi pilihan berbagai kelompok masyarakat dalam
menyelesaikan persoalan yang ada di antara mereka;
d) belum adanya komitmen pemerintah yang kuat terhadap upaya penegakan HAM dan
kemampuan melaksanakan kebijakan HAM secara efektif sebagaimana diamanatkan oleh
konstitusi;
e) terjadinya komersialisasi media massa yang berakibat pada semakin minimnya keterlibatan
media massa dalam pemuatan laporan investigatif mengenai HAM dan pembentukan opini untuk
mempromosikan HAM;
f) masih lemahnya kekuatan masyarakat (civil society) yang mampu menekan pemerintah secara
demokratis sehingga bersedia bersikap lebih peduli dan serius dalam menjalankan agenda
penegakan HAM;
g) desentralisasi yang tidak diikuti dengan menguatnya profesionalitas birokrasi dan kontrol
masyarakat di daerah potensial memunculkan berbagai pelanggaran HAM pada tingkat lokal;
h) budaya feodal dan korupsi menyebabkan aparat penegak hukum tidak mampu bersikap tegas
dalam menindak berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pejabat atau tokoh
masyarakat;
i) dalam beberapa tahun terakhir, perhatian masyarakat dan media massa lebih terarah pada
persoalan korupsi, terorisme, dan pemulihan ekonomi daripada penanganan kasus-kasus HAM;
j) ada sebagian warga masyarakat dan aparat pemerintah yang masih berpandangan bahwa HAM
merupakan produk budaya Barat yang individualistik dan tidak sesuai dengan budaya Indonesia;
k) berbagai ketidakadilan pada masa lalu telah menyebabkan luka batin dan dendam
antarkelompok masyarakat tanpa terjadi rekonsiliasi sejati.
A. Penanganan pelanggaran HAM di Indonesia
Berbagai kasus pelanggaran HAM pernah terjadi di Indonesia. Beberapa kasus sudah
dipersidangkan, namun ada pula yang belum tuntas bahkan luput dari perhatian. Berikut
beberapa contoh peristiwa atau kasus pelanggaran HAM di Indonesia serta upaya-upaya
penanganannya.
1) Kasus Tanjung Priok (1984)
Pada tanggal 12 September 1984 terjadi Kasus Tanjung Priok. Korban yang jatuh menurut
catatan media massa sebanyak 79 orang. Korban tersebut terdiri atas 24 orang meninggal dan 54
orang mengalami luka-luka. Dalam kasus Tanjung Priok menurut laporan Komnas HAM, telah
terjadi pelanggaran HAM berat berupa pembunuhan secara kilat, penangkapan dan penahanan
sewenang-wenang, penyiksaan, dan penghilangan orang secara paksa. Proses persidangan sudah
dilangsungkan, namun hingga kini para pelaku masih bebas.
2) Kasus Marsinah (1993)
Marsinah adalah karyawati PT CPS. la adalah seorang aktivis buruh. Tanggal 9 Mei 1993, mayat
Marsinah ditemukan di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Diduga keras, ia tewas dibunuh akibat keterlibatannya dalam demonstrasi buruh di PT CPS
tanggal 3 dan 4 Mei 1993. Dibentuk Tim Terpadu tanggal 30 September 1993 untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Dalam pembunuhan Marsinah, tim
tersebut menangkap, memeriksa, dan mengajukan 10 orang yang diduga terlibat. Persidangan
berlangsung sejak persidangan tingkat pertama, banding, dan kasasi. Semua terdakwa ternyata
dibebaskan dari segala dakwaan alias bebas murni dalam persidangan kasasi di Mahkamah
Agung. Putusan tersebut menimbulkan ketidakpuasan meluas di kalangan masyarakat.
3) Kasus Semanggi I dan II (1998)
Kasus ini diawali peristiwa meninggalnya empat orang mahasiswa yang sedang berunjuk rasa
menentang pelaksanaan Sidang Istimewa MPR 1998. Ribuan mahasiswa bersama masyarakat
menuju kompleks Gedung MPR/DPR pada 18 November 1998. Suasana makin tegang sejak
petang hari sampai malam karena aparat kepolisian dan militer berhadapan dengan mahasiswa.
Aksi keributan dan pertentangan pun terjadi di kawasan Semanggi. Dalam keributan tersebut,
empat orang mahasiswa tertembak.
4) Kasus kerusuhan Timor Timur pascajajak pendapat (referendum) 1999
Pada bulan Agustus 1999, Timor Leste (dahulu Timor Timur) akhirnya resmi berpisah dengan
Negara Kesatuan Republik lndonesia setelah hasil jajak pendapat dimenangkan oleh kelompok
yang menolak otonomi khusus. Hasil itu menimbulkan reaksi keras dari masyarakat yang
prointegrasi sehingga terjadi kerusuhan massal dan pembakaran besar-besaran di wilayah
tersebut.
Dalam kasus Timor Timur telah terjadi pelanggaran HAM berat meliputi penganiayaan dan
penyiksaan, pembunuhan massal dan sistematis, kekerasan berdasarkan gender, penghilangan
paksa, pemindahan penduduk secara paksa, dan pembumihangusan. Pengadilan HAM telah
menerima pengajuan sejumlah tersangka kasus Timor Timur, tetapi proses hukum dan hukuman
yang dijatuhkan teryata tidak mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat.
5) Kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay (2001)
Theys Hiyo Eluay adalah Ketua Umum Presidium Dewan Papua (PDP). Pada tanggal 11
November 2001 setelah menghadiri peringatan acara Sumpah Pemuda, Theys ditemukan
meninggal dalam mobil yang ditumpanginya. Sopir mobil itu dikabarkan melarikan diri. Saat itu,
Theys tengah menghadapi proses pengadilan sehubungan dengan tuduhan tindak pidana makar
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mendirikan Negara Papua Merdeka.
Meninggalnya Theys dikabarkan oleh berita-berita berkaitan dengan kegiatan politik yang
dilakukannya.
6) Kasus pembunuhan Munir (2004)
Munir (39 thn), seorang aktivis HAM pendiri Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan) dan Imparsial, meninggal di atas pesawat Garuda dengan nomor GA-974
ketika sedang menuju Amsterdam untuk melanjutkan kuliah pascasarjana (7 September 2004).
Pemerintah Belanda melakukan otopsi atas jenazah almarhum sesuai dengan hukum nasionalnya.
Informasi dari media Belanda diperoleh pihak keluarga almarhum bahwa hasil otopsi Munir oleh
Institut Forensik Belanda (NFI) membuktikan bahwa beliau meninggal akibat racun arsenik
dalam jumlah dosis yang fatal. Kasus yang diduga berkaitan dengan aktivitas Munir selama
hidupnya itu masih belum tuntas hingga sekarang.
B. Hambatan dan tantangan penegakan HAM di Indonesia
1) Hambatan
Banyak sekali hambatan dalam menegakkan pelaksanaan HAM di tanah air. Hambatanhambatan tersebut dapat datang dari luar atau dalam negeri.
a) Hambatan dari luar negeri
Paham atau ideologi politik yang berbeda-beda antara negara yang satu dengan yang lain
ternyata membawa dampak pada pemahaman tentang hak asasi manusia yang berbeda-beda pula.
Contohnya pada dua paham atau ideologi paling berseberangan di muka bumi berikut ini.
(1) Pandangan paham liberalisme terhadap HAM
Liberalisme berasal dari kata liberal yang berarti berpendirian bebas. Paham ini melihat manusia
sebagai makhluk bebas, artinya manusia memiliki kemauan bebas dan merdeka serta harus
diberikan kesempatan untuk memajukan diri sendiri dengan merdeka pula. Kaum liberal
menghendaki pembatasan hak negara dalam urusan ekonomi, kebudayaan, agama, dan
sebagainya. Tuntutan mereka meliputi hak kemerdekaan menulis, menyampaikan pikiran,
memeluk agama, menentang rasialisme, perdagangan bebas, dan persamaan hak bagi wanita.
Paham liberalisme dianut oleh negara-negara di Eropa Barat, Amerika Serikat, dan beberapa
negara di Asia. Paham ini menghendaki hal-hal berikut.
(a) Lebih mengutamakan pemungutan suara mayoritas dalam mengambil keputusan. Oleh karena
itu, pendapat kelompok kecil atau minoritas tidak akan dipertimbangkan dalam pengambilan
putusan. Sikap ini memberi dampak negatif dapat menimbulkan rasa frustrasi.
(b) Kekuasaan mutlak mayoritas atas minoritas sehingga dapat terjadi diktator.
Kebebasan individu atau partai sangat ditonjolkan dalam bidang politik sehingga dikenal adanya
partai oposisi dan mosi tidak percaya kepada pemerintah yang sedang berkuasa. Pemerintah yang
berkuasa akan jatuh apabila hak itu digunakan untuk memenuhi batas minimum pemerintah di
parlemen. Dampak negatifnya adalah pemerintahan menjadi tidak stabil dan program
pembangunan tidak berjalan sehingga upaya untuk meningkatkan kemakmuran rakyat akan
terhambat. Bagi Indonesia, paham liberalisme dapat membawa dampak-dampak berikut yang
juga berpengaruh pada pelaksanaan perlindungan HAM di dalam negeri.
(a) Di bidang ekonomi, persaingan bebas akan mematikan golongan ekonomi lemah. Akibatnya,
jurang pemisah akan semakin lebar. Paham liberal akan melahirkan manusia egois-individualis
yang jauh dari sifat kekeluargaan dan gotong royong.
(b) Kebebasan yang tidak terkendali, seperti pelaksanaan demonstrasi secara bebas di jalan-jalan
umum, dapat mengganggu jalannya pemerintahan dan aktivitas kehidupan masyarakat seharihari
(c) Golongan besar dan kuat akan dapat memaksakan kehendaknya kepada golongan minoritas.
(2) Pandangan paham komunisme terhadap HAM Komunisme berawal dari teori historis
materialism yang diajarkan oleh Karl Marx. Menurutnya, semenjak dunia berkembang,
masyarakat manusia merupakan perjuangan kelas melawan kelas.
Perjuangan kelas antara kaum borjuis (kaya) melawan kaum proletar (melarat) ini pada akhirnya
akan dimenangkan oleh kaum proletar. Ciri yang menonjol dalam ajaran komunisme sebagai
berikut.
(a) Di bidang politik, pemerintahan dipegang oleh kaum proletar yang menjalankan
pemerintahan secara diktator dalam rangka menuju masyarakat komunis yang sama rasa sama
rata sehingga disebut diktator proletariat. Atas nama kaum proletar, penguasa dapat bertindak apa
saja dan menyingkirkan siapa saja yang dianggap menghambat tercapainya tujuan. Hanya ada
satu partai
di dalam satu negara, yaitu partai komunis, sedangkan partai yang lain tidak dibenarkan hidup.
Rakyat hanya dijadikan objek politik belaka karena kebebasan politik tidak ada.
(b) Di bidang agama, negara yang menganut paham komunisme umumnya melarang rakyatnya
memeluk agama karena dianggap sebagai racun masyarakat yang dapat menghambat kemajuan.
(c) Di bidang ekonomi, secara totaliter negara memegang seluruh aktivitas ekonomi. Hak milik
perorangan terhadap alat produksi tidak diakui. Rakyat menjadi pasif atau tidak berekonomi
karena semuanya sudah ditentukan oleh pusat (sentralisasi). Akibatnya, kemakmuran rakyat sulit
ditingkatkan.
Oleh karena sifatnya yang demikian, ajaran komunis mempunyai minimal empat kecenderungan
dan dampak yang kurang kondusif bagi tegaknya hak asasi manusia.
(a) Awal terbentuknya masyarakat didahului oleh tegaknya sistem diktator proletariat sehingga
menciptakan sistem otoriter. Kekuasaan negara dapat jatuh ke tangan partai, bahkan ke tangan
pribadi. Rakyat menjalani kehidupan yang ketat dan tertutup yang pada hakikatnya merupakan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
(b) Timbulnya berbagai tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabat manusia di luar
batas kemanusiaan atau disebut dengan proses dehumanisasi. Penyebabnya adalah sikap
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang menjadi populer di lingkungan
masyarakat komunis.
(c) Gerakan komunis cenderung menciptakan berbagai konflik dan kontradiksi dalam kehidupan
masyarakat untuk tujuan merebut kekuasaan yang menyebabkan timbulnya suasana tegang dan
resah.
b) Hambatan dari dalam negeri
Ada empat macam faktor pendorong terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia
menurut Prof. Baharuddin Lopa, S.H., yaitu
(1) adanya kebiasaan dari pihak yang memiliki wewenang dan kekuasaan untuk
menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan tersebut;
(2) masih kentalnya budaya ewuh pekewuh yang membuka peluang terjadinya pelanggaran hak
asasi manusia sehingga penegakannya (enforcement) terganggu;
(3) law enforcement masih lemah dan seringkali bersifat diskriminatif;
(4) adanya kecenderungan pada pihak-pihak tertentu, terutama yang memiliki kewenangan dan
kekuasaan, tidak mampu saling mengekang.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut diperburuk oleh faktorfaktor perintang atau hambatan
dari dalam negeri berikut.
(1) Keadaan geografis Indonesia yang luas dan jumlah penduduknya yang banyak menimbulkan
kendala dalam komunikasi dan sosialisasi produk hukum dan perundang-undangan. Sosialisasi
dalam waktu yang relatif lama diperlukan oleh suatu produk hukum tertentu yang berskala
nasional.
(2) Budaya hukum dan hak asasi manusia yang belum terpadu. Dalam kasus hukum tertentu,
perbedaan persepsi masih sering mewarnai kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh
penyebaran tingkat kualitas pendidikan dan kemajuan sosial budaya di Indonesia sangat
bervariasi. Contohnya, perbedaan pandangan mengenai pengertian zina menurut KUHP dan
hukum Islam. Dalam KUHP, hukum atas perbuatan zina hanya dikenakan pada laki-laki dan
perempuan yang telah menikah yang melakukan perselingkuhan. Sementara, hukum Islam
menghendaki hukum yang sama berlaku pula pada pelaku, laki-laki dan perempuan, yang belum
menikah.
(3) Kualitas peraturan perundang-undangan belum sesuai dengan harapan masyarakat. Ini
disebabkan oleh sifat pemerintahan pada masa diberlakukannya undang-undang tertentu
(misalnya, pemberlakuan UU No. 11 PNPS/1963 tentang Subversi oleh pemerintahan masa Orde
Lama) dan sistem tata hukum nasional yang masih memberlakukan hukum peninggalan atau
warisan hukum kolonial.
(4) Penegakan hukum yang kurang atau tidak bijaksana karena bertentangan dengan aspirasi
masyarakat. Misalnya, hak atas penggunaan tanah yang kepemilikannya diatur dengan
undangundang dibuktikan dengan sertifikat kepemilikan tanah. Namun, hak yang semestinya
masih tetap berfungsi sosial ini digunakan untuk hal-hal yang tidak selaras dengan perasaan
hukum dan keadilan masyarakat.
(5) Rendahnya penguasaan hukum dari sebagian aparat penegak hukum, baik dalam teori
maupun pelaksanaan. Tingkat keseriusan dalam menangani perkara akan rendah apabila kualitas
aparat penegak hukumnya rendah dan cara yang dipakai sering bertentangan dengan hukum itu
sendiri. Contohnya, penangkapan aktivis keagamaan yang dilakukan dengan cara kasar dan tidak
menghargai hak asasi manusia, padahal bertentangan dengan aturan dan etika.
(6) Kesadaran hukum yang masih rendah sebagai akibat rendahnya kualitas sumber daya
manusia. Masih rendahnya taraf pengetahuan dan kesadaran hukum sebagian warga masyarakat
menghasilkan ketidakpedulian dan berbagai bentuk pelanggaran terhadap hak asasi orang lain.
Contohnya, ketika terjadi kecelakaan lalu lintas di mana seorang pengendara sepeda kayuh
karena kurang waspada menabrak mobil yang sedang parkir di pinggir jalan. Sepedanya rusak
berat dan kondisi pengendara sepeda luka parah. Pemilik mobil selalu dianggap sebagai pihak
yang salah dalam pikiran orang awam sehingga wajib menyantuni korban, walau sesungguhnya
ia dalam posisi benar. Begitu pula perilaku main hakim sendiri (eigenrichting), dianggap suatu
perbuatan yang wajar dan semata-mata keroyok massa, bukan pelanggaran hukum apalagi hak
asasi manusia.
(7) Mekanisme lembaga penegak hukum yang fragmentaris sehingga sering menimbulkan
disparitas penegak hukum dalam kasus yang sama. Sistem penegakan hukum dan upaya mencari
keadilan di Indonesia mengenal tingkatan peradilan yang belum sepenuhnya dipahami
masyarakat. Misalnya, suatu perkara yang diputus dengan vonis hukuman berat di tingkat
pertama (pengadilan negeri) ternyata divonis dengan hukuman seringan-ringannya di tingkat
banding (pengadilan tinggi), bahkan mungkin dibebaskan. Masyarakat awam sangat sulit
memahami hal ini. Kenyataannya, hukum pidana material (KUHP) di Indonesia memberlakukan
sistem hukuman maksimal.
Oleh sebab itu, dalam perkara yang sama dimungkinkan terjadinya perbedaan bobot hukuman
oleh hakim dari tingkat peradilan yang berbeda.
2) Tantangan
Makin banyaknya kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi adalah tantangan penegakan
hak asasi manusia di Indonesia. Sebagian kasus pelanggaran hak asasi manusia telah
diselesaikan, sedangkan yang lainnya masih diusahakan. Meskipun banyak kasus pelanggaran
hak asasi manusia di Indonesia, bukan berarti masalah penegakan hak asasi manusia dikatakan
lemah atau tidak ada penegakan hukum. Akan tetapi, memang masih banyak persoalan yang
menjadi tantangan dalam pelaksanaan penegakan HAM di negeri ini. Tantangan-tantangan dalam
penegakan HAM di Indonesia meliputi:
a) rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada aparat pemerintah dan lembaga-lembaga
penegak hukum;
b) masih ada pihak-pihak yang berusaha menghidupkan kekerasan dan diskriminasi sistematis
terhadap kaum perempuan ataupun kelompok masyarakat yang dianggap minoritas;
c) budaya kekerasan seringkali masih menjadi pilihan berbagai kelompok masyarakat dalam
menyelesaikan persoalan yang ada di antara mereka;
d) belum adanya komitmen pemerintah yang kuat terhadap upaya penegakan HAM dan
kemampuan melaksanakan kebijakan HAM secara efektif sebagaimana diamanatkan oleh
konstitusi;
e) terjadinya komersialisasi media massa yang berakibat pada semakin minimnya keterlibatan
media massa dalam pemuatan laporan investigatif mengenai HAM dan pembentukan opini untuk
mempromosikan HAM;
f) masih lemahnya kekuatan masyarakat (civil society) yang mampu menekan pemerintah secara
demokratis sehingga bersedia bersikap lebih peduli dan serius dalam menjalankan agenda
penegakan HAM;
g) desentralisasi yang tidak diikuti dengan menguatnya profesionalitas birokrasi dan kontrol
masyarakat di daerah potensial memunculkan berbagai pelanggaran HAM pada tingkat lokal;
h) budaya feodal dan korupsi menyebabkan aparat penegak hukum tidak mampu bersikap tegas
dalam menindak berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pejabat atau tokoh
masyarakat;
i) dalam beberapa tahun terakhir, perhatian masyarakat dan media massa lebih terarah pada
persoalan korupsi, terorisme, dan pemulihan ekonomi daripada penanganan kasus-kasus HAM;
j) ada sebagian warga masyarakat dan aparat pemerintah yang masih berpandangan bahwa HAM
merupakan produk budaya Barat yang individualistik dan tidak sesuai dengan budaya Indonesia;
k) berbagai ketidakadilan pada masa lalu telah menyebabkan luka batin dan dendam
antarkelompok masyarakat tanpa terjadi rekonsiliasi sejati.