Berbagai Argumen Keterlibatan Militer dalam Dunia Politik.

BERBAGAI ARGUMEN KETERLIBATAN MILITER DALAM DUNIA POLITIK
Oleh: GPB Suka Arjawa
Calon panglima TNI, Jenderal Moeldoko mengatakan bahwa dirinya menjamin
kenetralan TNI dalam pemilu mendatang. Apabila ada komandan yang menyediakan
fasilitas untuk partai tertentu dalam pemilu komandan bersangkutan akan dipecat.
Penegasan tersebut diungkapkannya saat mengikuti uji profit dan proper tes yang
dilakukan oleh DPR untuk menjadi Panglima TNI. Moeldoko adalah calon tunggal yang
diajukan presiden untuk menjadi panglima. Pernyataan ini tentu menarik bagi
masyarakat mengingat posisi panglima TNI akan sangat diperhatikan menjelang pemilu
tahun 2014. Pemilu nasional yang akan digelar berupa pemilu anggota legislatif dan
pemilu presiden, dua lembaga yang sangat menentukan arah perjalanan negara.
Kekeliruan dalam memilih pejabat-pejabat yang akan mengisi jabatan ini, akan
memberikan konsekuensi serius bagi pembangunan negara ke depan.
Pernyataan calon panglima TNI dan tanggapan dari DPR yang menyetujui secara bulat
pernyataan tersebut, membuktikan kepada masyarakat bahwa tentara mempunyai
pengaruh kuat dalam percaturan politik (dalam hal ini pemilu). Sebagai sebuah institusi
dan komunitas, tentara mempunyai kelebihan-kelebihan dibanding komunitas lain. Dan
ini berlaku di seluruh dunia. Kelebihan paling menonjol dari militer terletak pada disiplin,
profesional dan solidaritas korps. Tiga faktor inilah yang paling menentukan tentara
dalam percaturan di berbagai bidang. Disiplin, sesungguhnya lebih bermakna kepada
kemampuan dalam menjalankaan pemerintahan yang dalam hal ini memberikan

percontohan kepada rekanan yang akan diajak bekerja. Profesionalisme merupakaan
keahlian dalam menjalankan pekerjaan. Dengan profesionalisme, setiap segmen
pekerjaan tersebut akan mempunyai ahlinya sendiri-sendiri dan dengan demikian akan
memberikan hasil lebih baik dalam menjalankan roda organisasi. Disiplin dan sikap
profesional dalam politik, sesungguhnya lebih tepat dalam menjalankan pemerintahan,
baik dalam konteks negara maupun pemerintah daerah.
Akan tetapi, dalam hal pemilu yang paling ditakutkan oleh masyarakat sipil adalah
solidaritas korps dari tentara. Pemilihan umum secara dramaturgis mengandung pesan
tersembunyi di balik dari penampilan pemilihan umum tersebut. Artinya masyarakat
pemilih akan lebih banyak dipengaruhi oleh citra yang ada di balik penampilan (partai)
politik. Maka, apabila ada satu partai politik yang mendapat dukungan dari salah satu
komandan TNI, akan bisa membuat pencitraan. Solidaritas disini akan mampu bermain
dengan taktis. Pada pemilihan umum, keluarga-keluarga yang ada lingkungan TNI bukan
tidak mungkin akan memilih partai atau calon legislatif yang mendapat dukungan dari
kelompok tentara tersebut. Jumlah keluarga tentara di Indonesia mencapai ratusan ribu.
Jadi, jumlah pemilih akan mengikuti jumlah keluarga tersebut. Jika saja ada dua anggota
keluarga yang loyal dengan korps TNI, maka jumlah keluarga tersebut dikalikan dua.
Selama perjalanan pembaruan politik di Indonesia, tantangan paling besar pada tingkat
sosial adalah membentuk kemandirian politik masyarakat. Kemandirian politik ini bisa
diartikan sebagai kemampuan untuk menentukan pilihan politik, baik dalam bentuk


individual maupun kelompok. Sampai saat ini, masyarakat Indonesia belum banyak yang
mampu mandiri pada bidang ini. Akibatnya, sering kali pemilihan umum itu
menghasilkan aktor-aktor pejabat yang aneh. Munculnya bupati yang sebelumnya tidak
pernah kelihatan di masyarakat, adalah contoh paling gamblang tentang
ketidakmampuan masyarakat dalam membentuk kemandirian berpolitik. Mudahnya
masyarakat menerima uang hasil serangan fajar, takutnya akan intimidasi serta seringnya
tergantung kepada atasan untuk menjatuhkan pilihan politik, merupakan indikasi ke arah
tersebut. Karena itu, apabila ada unsur-unsur komandan TNI yang ”nempel” pada salah
satu politik, dikhawatirkan akan memunculkan gelombang dukungan dari para anggota
keluarga TNI untuk mencoblos partai bersangkutan atau mencoblos kandidat yang
berasal dari partai dukungan tentara. Penegasan dari (calon) panglima TNI ini akan
sangat membantu memberikan wujud keadilan dalam pemilu yang akan datang. Di
tengah berbagai persaingan kandidat yang bertarung bebas (bahkan dengan rekannya
satu partai), keadilan ini penting agar raihan suara dari masing-masing kandidat benarbenar murni. Dengan demikian akan didapatkan kualitas sebenarnya dari anggota
legislatif bersangkutan.
Keterlibatan TNI dalam berpolitik praktis di Indonesia, mempunyai dua pandangan yang
memang masing-masing mempunyai argumentasi kuat. Pihak pertama, menolak
kehadiran tentara di panggung pemerintahan. Kelompok ini boleh dikatakan sebagai
pihak traumatis, pendukung pembaruan politik, tetapi cenderung konservatif. Mereka

mendukung pembaruan politik di Indonesia tetapi masih melihat trauma sejarah Orde
Baru, yang mana politik negara dikuasai oleh komponen-komponen angkata bersenjata.
Ini dipandang mempunyai efek negatif. Sebab, disamping menekan laju kelompok sipil
ke panggung politik, juga mendorong kolusi dan nepotisme. Dua hal terakhir ini akan
bisa terjadi pada kelompok satu komunitas. Pada jaman Orde Baru, fenomena ini cukup
kentara kelihatan. Akan tetapi cara pandang kelompok pertama ini juga mengandung
bias konservatif. Tidak seluruh anggota TNI mempunyai sikap seperti itu. Sikap
profesional dan disiplin yang dimiliki oleh TNI memungkinkan mereka untuk
menjalankan pemerintahan yang bersih dan baik. Masalahnya di Indonesia, seperti juga
yang terjadi pada kelompok sipil, mencari anggota TNI yang mempunyai kualifikasi
seperti itu, cukup sulit.
Kedua adalah kelompok yang memberikan kesempatan kepada anggota TNI bermain di
bidang politik sepanjang mereka mampu menghindari praktik-praktik negatif seperti yang
pernah terjadi di masa lalu. Kelompok ini jelas mendukung reformasi, dengan spektrum
yang lebih luas dan mempunyai pandangan internasionalis. Tidak semua negara
melarang kehadiran militer di panggung politik. Demokratisasi yang kini menjadi gema
di seluruh dunia sebenarnya juga mengkutsertakan demokratisasi bagi anggota tentara.
Helm tentara Amerika Serikat yang terpasangi kamera televisi memperlihatkan satu unsur
dari demokratisasi itu. Maksudnya, tentara di Amerika membuka dirinya dalam
melaksanakan tugas bagi rakyat yang ingin menyaksikan secara langsung pertempuran di

lapangan. Ke depan, kemungkinan seluruh topi helm tentara akan berisi kamera televisi.
Intinya, tentara pada tingkat yang paling rendah pun harus memahami bagaimana
keinginan rakyat. Maka, para jendral dan komando lapangan pun sesungguhnya bisa
”dipekerjakan” sebagai pembuat keputusan publik (politik).

Di Indonesia, jalan tengah untuk hal ini dilakukan dengan cara non aktif di bidang militer
atau telah pensiun di dunia militer untuk kemudian terjun ke dunia politik. Ini merupakan
pilihan paling rasional untuk menjembatani mereka-mereka yang menentang tentara
terjun ke politik. Dan Susilo Bambang Yudoyono adalah tentara yang telah pensiun,
memilih masuk jenjang akademik (doktor) sebelum terejun ke dunia politik (presiden).
Dengan demikian, netralitas militer itu tetap penting demi kejujuran dalam pemilu, untuk
menghasilkan politisi yang jujur. Akan tetapi, mereka yang mempunyai latar belakang
militer tetap dimungkinkan untuk masuk dunia politik. Tidak semua anggota militer
bersikap militeristik saat menjadi pejabat publik.****
Penulis adalah Staf Pengajar Sosiologi, Universitas Udayana.