Kajian Historis Keterlibatan Militer Dalam Politik Indonesia

(1)

KAJ

JIAN HIS

Dos Dos

FAKUL

STORIS K

sen Pembim sen Pembac

DE

LTAS IL

UNIV

KETERL

IN

D DE mbing ca

PARTEM

MU-ILM

VERSITA

 

LIBATAN

NDONESI

Disusun Ole EDI VONIK 070906002

: Drs. H : Husnu

MEN ILM

MU SOSIA

AS SUMA

2013

N MILITE

IA

eh: KA 2 Heri Kusman ul Isa Harah

MU POLIT

AL DAN I

TERA UT

ER DALA

nto, MA, Ph hap, S.sos, M

TIK

ILMU PO

TARA

AM POLI

hD M.Si

OLITIK

ITIK


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

KAJIAN HISTORIS KETERLIBATAN MILITER DALAM POLITIK INDONESIA

Nama : Dedi Vonika

Nim : 070906002

Departemen : Ilmu Politik

Ketua Departemen

(Dra.T.Irmayani,M.Si) NIP. 19680630 199403 2 001

Dosen Pembimbing Dosen Pembaca

(Drs. Heri Kusmanto, MA, PhD) (Husnul Isa Harahap, S.Sos,

M.Si)

NIP. 19641006 199803 1 002 NIP. 19821231 201012 1 001

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(Prof. Badaruddin, M. Si) NIP. 1968 0525 1992 0310 02


(3)

 

Skripsi ini dipersembahkan kepada:


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat yang telah diberikan hingga detik ini, sehingga skripsi yang berjudul “Kajian Historis Keterlibatan Militer Dalam Politik Indonesia ” ini bisa terselesaikan dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan yang wajib dilaksanakan untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih yang sangat mendalam penulis ucapkan kepada Orang tua, Tante dan terutama kepada Almarhumah nenek tercinta atas segala do’a dan dukungan tanpa akhir yang penulis dapatkan sampai akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih. Dan untuk saat ini mungkin hanya terima kasihlah yang mampu penulis ungkapkan sebagai bentuk rasa syukur atas betapa beruntungnya penulis memiliki orang tua yang sangat luar biasa.

Penyelesaian penulisan skripsi ini tentunya tidak lepas dari berbagai bantuan yang datang dari berbagai pihak, baik berupa masukan, motivasi maupun pengorbanan waktu. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Badaruddin selaku Dekan FISIP USU.

2. Ibu Dra. T. Irmayani M.Si, selaku Ketua Departemen Ilmu Politik.

3. Bapak Drs. Heri Kusmanto, MA, PhD, selaku dosen pembimbing beserta Abang

Husnul Isa Harahap, S.Sos, M.Si, selaku dosen pembaca. Terima kasih untuk semua bimbingan, masukan, motivasi dan kesediaan waktunya selama pengerjaan skripsi ini.

4. Jajaran staf administrasi yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang telah

banyak membantu dalam proses pembuatan skripsi ini

5. Sahabat dan rekan-rekan seperjuangan, terima kasih atas motivasi dan

dukungannya.

6. Saudara-saudara tercinta yang telah banyak memberikan dorongan, semangat,

kasih sayang dan bantuan baik secara moril maupun materiil demi lancarnya penyusunan skripsi ini.

7. Nenek, Tante dan orang tua atas jasa-jasanya, kesabaran, do’a, dan tidak pernah

lelah dalam mendidik dan memberi cinta yang tulus dan ikhlas kepada penulis semenjak kecil.


(5)

 

9. Dan semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karenanya, diharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari semua pihak demi penyempurnaan skripsi ini untuk ke depannya.

Medan, 23 April 2014

Penulis


(6)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

DEDI VONIKA (070906002)

KAJIAN HISTORIS KETERLIBATAN MILITER DALAM POLITIK INDONESIA

ABSTRAK

Tujuan penelitian adalah: 1). Mendeskripsikan sejarah terbentuknya militer beserta kelembagaannya, 2). Mendeskripsikan keterlibatan militer dalam politik Indonesia, 3). Menganalisis sejarah awal keterlibatan militer dalam politik Indonesia.

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif, tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana sejarah awal keterlibatan militer dalam politik Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan 1). peran dan format politik tentara diaktualisasikan melalui upaya menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945, 2). Semenjak demokrasi terpimpin golongan militer telah mulai masuk ke dalam sistem politik Indonesia, 3). Kekuasaan militer menjadi semakin besar setelah dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.dan mencapai puncaknya pada masa Orde Baru.


(7)

  UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

DEDI VONIKA (070906030)

HISTORICAL REVIEW OF MILITARY INVOLVEMENT IN INDONESIAN POLITICS

ABSTRACT

The purpose of the study was: 1). Describing the history of the military establishment and institutions, 2). Describing the military involvement in Indonesian politics, 3). Analyzing the early history of military involvement in Indonesian politics.

This study is a descriptive qualitative research, purpose of the study was to determine how the early history of military involvement in Indonesian politics.

The results showed 1). political role of the army and the format is actualized through the effort to uphold and defend the independence 2). Since the guided democracy begun the military has entered into Indonesian politics. 3). Military power becomes greater after “supersemar” and reached its peak during the “orde baru” regim.


(8)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 6

1.3. Batasan Masalah ... 6

1.4. Tujuan Penelitian ... 7

1.5. Mamfaat Penelitian ... 7

1.6. Kerangka Teori ... 7

1.6.1. Batasan Militer ... 8

1.6.2 Orientasi militer ... 9

1.6.3 Batasan Sipil ... 14

1.6.4 Pola hubungan Sipil Militer ... 14

1.6.5 Kekuasaan ... 17

1.7. Metode penelitian... 19

1.7.1 Jenis penelitian ... 19

1.7.2 Teknik pengumpulan data ... 19

1.8. Sistematika penulisan ... 19


(9)

 

2.1. Sejarah lahirnya TNI ... 21

2.1.1. Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL) ... 21

2.1.2. Pembela Tanah Air (PETA) ... 24

2.1.3.Laskar Rakyat ... 28

2.2. Pembentukan tentara nasional ... 32

2.2.1.Badan Keamanan Rakyat (BKR) ... 33

2.2.2. Dari BKR ke TKR ... 43

2.2.3. TKR menjadi TRI ... 44

2.3. Tugas dan wewenang TNI ... 47

BAB III SEJARAH KETERLIBATAN MILITER DALAM POLITIK INDONESIA 3.1. Masa Demokrasi Liberal (1950-1959) ... 49

3.1.1. Undang-Undang Sementara 1950 (UUDS 1950) ... 50

3.1.2. Pengaruh UUDS 1950 terhadap kedudukan militer dalam politik Indonesia ... 55

3.1.3. Kabinet-kabinet pada masa demokrasi liberal ... 59

3.2. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ... 69

3. 2.1. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan kedudukan militer dalam politik ... 72

3.3. Politik “Jalan Tengah” Nasution ... 76

3. 4. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) ... 77


(10)

3. 4.2. NASAKOM dan keterlibatan PKI (Partai Komunis Indonesia) ... 81

3. 4.3. Peristiwa G 30S/PKI ... 84

3. 4.4. Kedudukan Militer pada masa Demokrasi Terpimpin ... 86

3. 5. Surat Perintah 11 Maret 1966 dan berakhirnya Demokrasi terpimpin ... 86

3.5.1. Surat Perintah 11 Maret 1966 sebagai legitimasi keterlibatan militer dalam politik Indonesia ... 90

BAB IV PENUTUP 4. 1. Kesimpulan ... 92

4. 2. Saran ... 97


(11)

  UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

DEDI VONIKA (070906002)

KAJIAN HISTORIS KETERLIBATAN MILITER DALAM POLITIK INDONESIA

ABSTRAK

Tujuan penelitian adalah: 1). Mendeskripsikan sejarah terbentuknya militer beserta kelembagaannya, 2). Mendeskripsikan keterlibatan militer dalam politik Indonesia, 3). Menganalisis sejarah awal keterlibatan militer dalam politik Indonesia.

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif, tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana sejarah awal keterlibatan militer dalam politik Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan 1). peran dan format politik tentara diaktualisasikan melalui upaya menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945, 2). Semenjak demokrasi terpimpin golongan militer telah mulai masuk ke dalam sistem politik Indonesia, 3). Kekuasaan militer menjadi semakin besar setelah dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.dan mencapai puncaknya pada masa Orde Baru.


(12)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

DEDI VONIKA (070906030)

HISTORICAL REVIEW OF MILITARY INVOLVEMENT IN INDONESIAN POLITICS

ABSTRACT

The purpose of the study was: 1). Describing the history of the military establishment and institutions, 2). Describing the military involvement in Indonesian politics, 3). Analyzing the early history of military involvement in Indonesian politics.

This study is a descriptive qualitative research, purpose of the study was to determine how the early history of military involvement in Indonesian politics.

The results showed 1). political role of the army and the format is actualized through the effort to uphold and defend the independence 2). Since the guided democracy begun the military has entered into Indonesian politics. 3). Military power becomes greater after “supersemar” and reached its peak during the “orde baru” regim.


(13)

  BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

Pembentukan angkatan bersenjata di sebuah negara ditujukan untuk melindungi dan mempertahankan kedaulatan negara tersebut. Namun pada kenyataannya, terdapat beberapa perluasan peran yang melekat pada angkatan bersenjata. Perluasan ini sangat terkait dengan ideografis dan perkembangan suatu negara. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengaruh militer dengan multi fungsinya dalam pemerintahan lebih disebabkan sejarah perjuangan bangsa dan negara yang bersangkutan.

Di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia Kerterlibatan militer dalam politik sudah menjadi sebuah gejala umum. disamping melakukan fungsi pertahanan, militer juga melakukan fungsi sosial politik, Keterlibatan militer dalam fungsi sosial politik berkaitan dengan kenyataan bahwa negara-negara dunia ketiga umumnya baru mendapatkan kemerdekaan atau dalam upaya membina diri sehingga belum memiliki sistem politik yang stabil dan pemerintahan yang mantap. Disamping itu, pencapaian kemerdekaan yang dilakukan dengan kekerasan senjata dalam melawan penjajah melibatkan unsur militer didalamnya. Dengan demikian, akibat belum stabilnya pemerintahan dan adanya andil militer dalam mencapai kemerdekaan, memungkinkan militer untuk masuk dalam wilayah politik,

yang sesungguhnya bukan wilayah militer tetapi wilayah sipil. 1

Namun fenomena campur tangan militer dalam politik ini tidak terjadi di negara-negara yang secara politik, ekonomi, dan sosial yang telah maju dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Di negara-negara maju, militer berada dibawah supremasi sipil.       

1 


(14)

Sistem plitik yang telah mapan, pendapatan perkapita yang cukup tinggi, tingkat industrialisasi yang tinggi, ditambah dengan kesadaran politik dan hukum rakyat yang sangat tinggi, telah mengurangi kemungkinan terjadinya intervensi militer.

Dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, hubungan sipil-militer yang harmonis merupakan hal yang sangat penting bagi suatu bangsa karena berpengaruh terhadap ketahanan nasionalnya, bahkan menjadi prasyarat utama yang menentukan maju mundurnya suatu negara. Militer memerlukan dukungan pemerintah dalam hal alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk membangun kekuatan angkatan perang dalam rangka mengatasi ancaman yang akan timbul. Begitu juga sipil membutuhkan militer sebagai perlindungan terhadap keamanan. Dalam konteks Indonesia, sejak proklamasi kemerdekaan, konstelasi politik dan maraknya peraturan politik tidak terlepas dari pengaruh keterlibatan

kelompok militer.2

Di Indonesia Keterlibatan militer dalam politik sedikit berbeda dengan negara-negara berkembang lainnya, dimana militer Indonesia tidak masuk kedunia politik melalui perebutan kekuasaan atau kudeta militer seperti yang lazim terjadi dinegara-negara amerika latin dan beberapa negara Asia, namun keterlibatan militer kedalam dunia politik sangat terkait dengan sejarah terbentuknya militer itu sendiri, pada awalnya militer Indonesia tidak terbentuk secara instan, melainkan membentuk dirinya sendiri melalui perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan Belanda ataupun Jepang. Perannya dalam mendapatkan kemerdekaan ini membuat militer melakukan kegiatan kesemestaan, tidak hanya bertempur secara fisik akan tetapi juga terlibat dalam penyusunan strategi pendirian bangsa Indonesia. Penggalan sejarah kemerdekaan ini kemudian menjadikan militer tidak hanya sebagai instrumen pertahanan

       2

 Arif, Yulianto. Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orde Baru: Ditengah Pusaran Demokrasi. Jakarta: Grafindo, 2002. Hlm 1


(15)

 

bangsa dari gangguan kekuatan luar, akan tetapi juga menjadi bagian penting dalam

pengambilan keputusan politik Indonesia.3

Namun selain dari itu, alasan lain yang menguatkan dwifungsi ABRI diantaranya adalah: pertama, argumentasi historis bahwa ABRI lahir dari rakyat, besar bersama rakyat dan berjuang bersama rakyat. mereka dibentuk tidak dalam kontrol pemerintah, ABRI terbentuk dari para pemuda yang berjuang untuk rakyat dan melakukan koordinasi sesuai dengan tujuan bersama, yaitu menyingkirkan penjajah. Kedua, yang dikemukakan untuk membenarkan dwifungsi ABRI adalah mengenai kegagalan pemerintahan sipil dalam mengemudikan roda pemerintahan Negara.

Ketiga, mengenai paham Negara integralistik atau Negara kekeluargaan yang menjelaskan bahwa setiap Negara adalah miniatur dari sebuah keluarga inti dimana setiap anggota keluarga mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Maka, mustahil memisahkan kedudukan ayah-ibu dan anak. Sehingga antara sipil dan militer hidup berdampingan tanpa perbedaan. Jika ada persinggungan antar keduanya merupakan hal yang sangat wajar.

alasan lain yang menyebabkan ABRI ingin berperan di arena politik yakni alasan ekonomi. Menurut Coen Husain Pontoh inilah alasan utama dwifungsi ABRI dalam politik, penguasan ekonomi. Terutama motivasi tersebut dapat membantu dalam pendanaan operasi militer. Jadi dari alasan tersebut bisa dikatakan logis ketika militer dijadikan sebagian dari rakyat, namun permasalahannya tidak terlepas dari militer sendiri bahwa mereka sangat anti demokrasi sehingga dalam bergaul dengan masyarakat sipil sifatnya sangat kaku. Dalam arena politik, konsep demokrasi yang mengedepankan kepentingan umum dan

mengedepankan hak asasi manusia tidak terdapat dalam pendidikan militer.4

      

3

Soebijono, Dwifungsi ABRI:Perkembangan dan Peranannya Dalam Kehidupan Politik Indonesia, (Jakarta: Gadjah Mada University Press,1992), Hlm .7.

4 


(16)

Pada awalnya militer di Indonesia lahir dan berkembangan sebagai militer yang revolusioner dengan konsep ABRI manunggal dengan rakyat, hal ini ditujukan bahwa doktrin Dwifungsi ABRI dapat setara dengan ideologi yang harus disadari oleh baik kalangan sipil maupun militer. Berdasarkan kelahiran doktrin itulah dua fungsi militer dalam sistem politik Indonesia dilaksanakan. Berdasarkan tataran empiris, konsepsi doktrin itu telah mengalami pergeseran terutama pada tingkat operasional. Dwifungsi yang tadinya menyangkut tugas pembelaan negara berubah menjadi multifungsi militer dalam orientasinya terhadap struktur dan fungsi sistem politik Indonesia.

Periode Rezim pemerintahan Orde Lama merupakan fondasi bagi perjuangan militer dalam panggung pertahanan dan politik. Pada periode awalnya ketika sistem pemerintahan parlementer mereka termarginalkan oleh elit pemerintahan sipil begitu pula dengan kepala negara, Soekarno. Akibatnya pada akhir periode ini terjadi pergeseran dari marginalisasi militer dalam politik memasuki era baru yaitu berkuasanya militer dalam sistem politik Indonesia. Penguatan kepentingan ini terjadi dengan tumbangnya politisi sipil terutama kehidupan partai politik dan keterpurukan ekonomi. Disamping itu juga bergesernya aliansi kepentingan presiden dengan parpol terutama PKI ke arah aliansi dengan militer terutama setelah jatuhnya PKI akibat Kudetanya yang gagal.

Periode ke dua adalah ketika rezim pemerintahan Orde Baru muncul pada tahun 1966. Periode inilah yang menjadi periode keemasan multifungsi ABRI dengan doktrin Dwifungsi ABRI tersebut. Hampir semua kelembagaan trias politica terkendali dan diduduki oleh militer. Peran aliansi diantara presiden Soeharto dengan militer sangat mendominasi sistem politik Indonesia ini selama kurun waktu 32 tahun.

Kehadiran Orde Baru ditopang eksistensi kalangan militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), khususnya Angkatan Darat (AD) dengan tokoh utamanya Soeharto yang melenggang ke tangga puncak kekuasaan setelah dirinya mengklaim Presiden


(17)

 

Soekarno telah memberikan mandat pemulihan keamanan, yang dikenal dengan Supersemar (Surat Perintah 11 Maret). Desain politik Orde Baru merupakan desain politik yang didalamnya memberikan peluang amat dominan bagi militer untuk intervensi ke segala sektor kehidupan, terutama sektor birokrasi dan politik. Militer masuk ke wilayah politik praktis secara terang-terangan lewat Golongan Karya (Golkar). sejarah Golkar dimulai dengan penugasan anggota-anggota ABRI, khususnya Angkatan Darat dalam lembaga pemerintahan

dan lembaga perwakilan.5

Pada masa Orde baru Dwifungsi hadir dalam dua wajah yaitu Dwifungsi teritorial dan struktural. Dwifungsi teritorial terwujud dalam bentuk struktur birokrasi sipil dan militer yang hirarkis dan pararel dari pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/ kota, kecamatan sampai kelurahan/ desa. Mendagri adalah pengendali hirarki birokrasi sipil yang bertanggungjawab kepada presiden. Pararel dengan hirarki birokrasi sipil adalah hirarki militer dari Dephankam/Mabes TNI, Kodam, Korem, Kodim, Koramil dan Babinsa. Menhankam dan Panglima TNI adalah pengendali utama hirarkhi militer yang bertanggungjawab pada presiden. Militer juga terlibat dalam pengendalian pemerintahan di tingkat kabupaten dengan tampil dalam Muspida yang terdiri dari Bupati, Dandim, Kapolres, Kajari, dan Kepala Pengadilan. Di kecamatan juga ada Muspika yang memberi ruang bagi Danramil dan Kapolsek untuk ikut mengontrol pemerintah dan rakyat.

Dwifungsi skruktural hadir dalam bentuk kekaryaan TNI/Polri atau keterlibatan mereka dalam jabatan sipil. Hampir semua jabatan sipil yang strategis dimasuki militer baikdi wilayah eksekutif (dari gubernur sampai dengan lurah/ kepala desa) maupun legislatif (MPR, DPR sampai DPRD II). Sebagai contoh dari Dwi Fungsi ABRI adalah pada jabatan Wakil Gubernur Timor-timur adalah Kolonel Infantri Suryo Prabowo, Bupati covalima Kolonel Infantri Herman Sediono. Dalam birokrasi sipil terdapat pula Ditjen Depdagri, Ditsospol dan       

5 


(18)

Kantor Sospol sebagai aparat intelejen sipil dan aparat ideologis untuk melakukan indoktrinasi kepada masyarakat dan regulasi terhadap aktivitas politik dan sosial. Dwifungsi ABRI tidak hanya merambah bidang politik dan kemasyarakatan, tapi juga sampai bidang ekonomi. Salah satu bentuk konkretnya berupa "premanisme". Dwifungsi menjadi ancaman serius bagi demokratisasi keamanan dan bahkan stabilitas sosial-politik. Kerangka analisis ini bertolak belakang dengan ideologisasi Dwifungsi ABRI yang justru mengandaikan ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator. Meski pada masa Orde Baru stabilitas nasional relatif mapan, tapi bersifat semu karena diikuti dengan matinya demokrasi, merajalelanya kekerasan, dan kuatnya supremasi militer, sementara elemen-elemen sipil dalam posisi

lemah.6

I.2. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang akan menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini adalah: “Bagaimana sejarah awal militer Indonesia bisa mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam politik Indonesia”.

I.3. Batasan masalah

Mengingat dalam suatu penelitian perlu adanya eksplorasi khusus agar penelitian yang dilakukan tidak mengambang dari materi, maka perlu adanya pembatasan masalah dalam penelitian. untuk itu peneliti akan membatasi masalah penelitiannya pada masa Demokrasi liberal dan Demokrasi terpimpin dari tahun 1950 sampai tahun 1966, karena masa ini merupakan tonggak sejarah penting keterlibatan militer dalam dunia politik, mulai dari masa demokrasi terpimpin (1950-1959), dimana pada masa ini militer memainkan peranannya dalam memadamkan gerakan-gerakan separatisme lokal sampai keluarnya doktrin dwifungsi ABRI pada tahun 1958 dan pada masa demokrasi liberal (1959-1966)

       6 


(19)

 

terjadi gerakan 30/S PKI dan keluarnya Supersemar dan lahirnya rezim Orde baru yang merupakan masa keemasan militer dalam kancah dunia politik.

I.4. Tujuan penelitian

Adapun tujuan penelitian ialah pernyataan mengenai apa yang hendak kita capai7.

Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, adalah:

1. Mendeskripsikan sejarah terbentuknya militer beserta kelembagaannya.

2. Mendeskripsikan keterlibatan militer dalam politik Indonesia.

3. Menganalisis sejarah awal militer Indonesia bisa mendapatkan kesempatan untuk

terlibat dalam politik Indonesia. I.5. Manfaat penelitian

1. Bagi masyarakat/praktisi, penelitian diharapkan mampu menambah pengetahuan

ataupun informasi tentang bagaimana sejarah awal militer Indonesia bisa mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam politik Indonesia.

2. Bagi Ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sebagai bahan

kajian dan sumbangan pemikiran terutama tentang keterlibatan militer dalam politik Indonesia

3. Bagi penulis, untuk mengembangkan kemampuan berfikir serta kemampuan

penulis untuk menulis karya ilmiah dan juga dapat menambah pengetahuan penulis mengenai masalah yang diteliti.

I.6. Kerangka teori

Teori adalah rangkaian asumsi, konsep, kontruksi, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Dalam suatu penelitian ilmiah, masalah yang akan diteliti biasanya bertolak       

7 


(20)

dari teori-teori yang sudah ada, kemudian penelitian sebaiknya dilakukan tahap demi tahap secara ilmiah agar nantinya dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang ilmiah. Salah satu unsur yang paling penting peranannya dalam observasi adalah menyusun kerangka teori. Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti akan menyoroti

masalah yang telah di pilih8. Kerangka teori yang menjadi landasan berfikir penulis dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut: I.6.1 Batasan Militer

Militer dapat diartikan sebagai kelompok yang memegang senjata dan merupakan organisasi kekerasan fisik yang sah untuk mengamankan negara dari ancaman luar negri maupun dalam negri. Dalam hal ini, militer berfungsi sebagai alat negara yang menjunjung tinggi supremasi sipil.

Militer juga dapat didefinisikan sebagai sebuah organisasi yang diberi wewenang oleh Negara untuk menggunakan kekuatan termasuk menggunakan senjata, dalam mempertahankan bangsanya ataupun untuk menyerang Negara lain. Militer biasanya terdiri atas para prajurit atau serdadu. Kata lain yang sangat erat dengan militer adalah militerisme, yang artinya kurang lebih perilaku tegas, kaku, agresif dan otoriter, walaupun pelakunya bisa saja seorang pemimpin sipil. Karena lingkungan tugasnya terutama di medan perang, militer memang dilatih dan dituntut untuk bersikap tegas dan disiplin. Dalam kehidupan militer dituntut adanya hirarki yang jelas dan para atasan harus mampu bertindak tegas dan berani

karena yang dipimpin adalah pasukan bersenjata.9

       8

 Hadari Nawawi, Metodologi Penelitian Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 1987, hlm.40  9 


(21)

 

Dalam studi hubungan sipil-militer, para peneliti dan pengamat militer sering berbeda pendapat mengenai siapa pihak militer itu. Amos Pelmutter membatasi konsep militer hanya kepada semua perwira yang duduk dalam jabatan yang menuntut kecakapan politik, aspirasi dan orientasi yang bersifat politik tidak memandang kapangkatan, apakah perwira tinggi,

menengah atau pertama10. Kemudian Cohan menyebutkan bahwa pihak militer dapat berupa

personal militer, lembaga militer, atau hanya perwira senior.11

Para pengamat hubungan sipil-militer dalam negeri seperti Letjen TNI (Purn)

Sayidiman Suryahardiprojo12 mendefenisikan militer berkaitan dengan kekuatan bersenjata

yaitu TNI sebagai organisasi kekuatan bersenjata yang bertugas menjaga kedaulatan negara. Sedangkan Hardito membatasi pihak militer ditekankan pada perwira professional.

Dari definisi-definisi yang dikemukakan diatas, dapat dikatan bahwa pengertian militer secara universal adalah institusi bukan sipil yang mempunyai tugas dalam bidang pertahanan dan keamanan, dalam hal ini militer merupakan suatu lembaga, bukan individu yang menduduki posisi dalam organisasi militer.

I.6.2 Orientasi militer

Tipe-tipe orientasi militer berbeda di setiap negara, tergantung bagaimana pihak militer dalam pemerintahan, selain itu juga tergantung sistem politik yang dianut negara tersebut. Setiap negara mempunyai karakteristik sendiri terhadap tipe-tipe orientasi militernya, menurut Amos Perlmutter ada tiga jenis orientasi militer yang timbul di negara       

10 

Amos Perlmutter, Militer dan Politik, Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2000, hal.25 11

Elliot A. Cohan. “Civil Millitary Relation in Contemporary World”, Dikutip oleh Susilo Bambang Yudhoyono, Pengaruh Internasional dalam Hubungan Sipil Militer, sebuah makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil Militer, Jakarta: FISIP UI, 1999

12 

Sayidiman Suryohadiprojo, Hubungan-Sipil Militer di Indonesia: Suatu Pembahasan, sebuah makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Militer, Jakarta: FISIP UI, 1999


(22)

modren, masing-masing bertindak sebagai reaksi terhadap jenis kekuasaan sipil yang di

lembagakan, yakni: 13

1. Militer profesional

Militer profesional adalah militer yang memegang teguh fungsi pertahanan-kemanan, mempunyai keahlian dalam menggunakan senjata, setia pada negara bukan pada pemerintah atau komandan, punya jiwa korsa yang kuat, dan punya etika militer yang kuat. Etika ini mementingkan ketertiban, hirarkhi dan pembagian tugas serta pengakuan atas nation-state sebagai bentuk tertinggi organisasi politik. Negara yang kuat jika ada kekuatan militer yang kuat, tetapi kekuatan militer ini adalah perangkat negara. Dalam tubuh militer tidak perlu ada demokrasi, misalnya dalam bentuk perdebatan terbuka antara komandan dan prajurit.

Seorang ilmuan politik Amerika, Samuel P. Huntington berpandangan bahwa perubahan korps perwira militer dari bentuk “penakluk” (warrior) menjadi kelompok profesional ditandai dengan bergesernya nilai dari “tentara pencari keuntungan” menjadi “tentara karena panggilan suci” contohnya pengabdian kepada Negara. Huntington memberikan elaborasi tentang tumbuhnya profesionalisme militer, menurutnya memiliki tiga

ciri sebagai berikut : 14

1. Keahlian, Suatu kekuatan militer memerlukan pengetahuan yang mendukung

untuk mampu mengorganisir, merencanakan, dan mengarahkan aktivitasnya baik dalam keadaan perang maupun damai.

2. Tanggung jawab sosial yang khusus, Seorang perwira militer disamping memiliki

nilai-nilai moral yang tinggi yang terpisah dari insentif ekonomi juga mempunyai       

13 Amos Perlmutter, Ibid, hal.141 14


(23)

 

tanggung jawab pokok kepada negara. Berbeda dengan masa sebelumnya, saat itu seorang perwira seolah-olah “milik pribadi” komandannya dan harus setia kepadanya. Pada masa profesionalisme seorang perwira berhak mengoreksi komandannya jika sang komandan bertentangan dengan kepentingan negara (national interest).

3. Karakter koorporasi (corporate character) yang melahirkan rasa esprit de corps

yang kuat, Berbeda dengan kelompok profesional yang lain, korps perwira militer merupakan suatu “birokrasi profesional” yang anggota-anggotanya mengabdi pada birokrasi negara, tapi sebagai suatu satuan dalam birokrasi negara korps perwira merupakan unit sosial yang otonom, yang memiliki kemandirian dalam birokrasi, lembaga pendidikan, jurnal, asosiasi, kebiasaan, dan tradisi.

Ketiga ciri tadi melahirkan yang Huntington sebut dengan “The Military Mind” yang menjadi dasar bagi hubungan militer dan negara. Inti The Military Mind adalah suatu ideologi yang berisi pengakuan militer profesional terhadap supremasi pemerintahan sipil. Huntington menganggap intervensi militer dalam politik sebagai tanda adanya pembusukan politik (political decay). Bagi Huntington, yang menekankan pembangunan politik melalui lembaga-lembaga politik, intervensi militer paling banyak dapat diterima jika merupakan suatu periode transisi dalam usaha menciptakan lembaga-lembaga politik yang kuat.

Selain itu Amos Perlmutter mengetengahkan bahwa disamping kondisi-kondisi yang telah dikemukakan oleh Huntington, ideologi, profesionalisme keterampilan, dan semangat koorporasi terdapat pula kondisi lain yang ikut mendukug kelanjutan tentara profesional, kondisi pertama adalah semakin kuatnya negara sekuler, yakni negara yang yang bebas dari dominasi agama , kelas, dan kasta sehingga rekruitmen perwira militer tidak mengalami stagnasi karena persaingan primordial. Sehubungan dengan kondisi pertama maka kondisi kedua adalah mutlak perlunya mobilitas sosial bagi perwira militer berdasarkan kemampuan


(24)

dan keterampilan tanpa disangkut pautkan dengan latar belakang primordialnya. Permutter melihat bahwa model tentara profesional lebih mungkin dicapai pada negara yang berkebudayaan homogen dan sekuler ketimbang negara yang majemuk dan tradisional.

2. Militer praetorian

Militer pretorian adalah militer yang lebih suka berpolitik atau menjalankan aktivitas ekonomi, ketimbang mengurusi pertahanan. Militer aktif yang jadi menteri, parlemen, kepala daerah, atau menjalankan bisnis adalah militer pretorian, alias militer yang tidak punya etika profesional. Sebagai contoh, seorang kolonel aktif yang jadi bupati akan mempunyai tanggungjawab ganda, yang satu ke publik dan yang lain ke jenderal yang lebih tinggi. Sehingga untuk memberhentikan bupati bermasalah, harus memperoleh izin dari panglima TNI. Seorang tentara tetap boleh menjadi pejabat politik, tetapi ia harus lepas identitas militernya sampai di titik nol atau sampai tidak lagi berhubungan dengan komando dan organisasi militer.

Samuel P. Huntington mengemukakan Militer pretorian yaitu militer melakukan politisasi di seluruh kekuatan-kekuatan sosial yang melingkupinya, bahkan akhir dari ujung politisasi yang dilakukannya menciptakan atau membangun masyarkat praetorianisme, sehingga lembaga-lembaga politik menjadi tidak efektif baik dalam mensikapi perubahan ataupun dalam upaya-upaya merumuskan kebijakan serta pada tindakan-tindakan politik. Pada aspek sistem politik, partai-partai politik yang terdapat tidak memiliki prosedural dan otoritas dalam pemecahan konflik-konflik, yang biasanya selalu memunculkan pragmentasi kekuasaan. Pragmentasi ini oleh Huntington dibagi ke dalam tiga jenis pragmentasi rezim pretorian yakni pretorian oligarkis, radikal dan bersifat massa.


(25)

 

Praetorian yang oligarkis adalah kaum militer bekerja sama dengan pemilik tanah yang luas dan pemimpin-pemimpin agama, dan di luar mereka hampir-hampir tidak ada organisasi yang diperbolehkan berkembang. Adapun mengenai pretorian radikal sering lahir dari pretorian yang oligarkis, pelopornya adalah perwira-perwira reformis dan nasionalistis yang berasal dari golongan menengah, yang mendambakan modernisasi dan pembangunan ekonomi. Aliansi kaum militer pretorian radikal dibangun dengan kelompok-kelompok profesi dan intelektual serta kadang dengan kaum buruh. Pretorian radikal ini yang melahirkan pemerintahan korporatis. Bentuk ketiga pretorian yang bersifat populis, umumnya didukung oleh buruh, mahasiswa dan kelompok menengah. Namun dalam bentuk ketiga, Huntington melihat suatu paradoks dimana kaum militer akan menjadi penjaga yang konservatif dari rezim populis untuk pada akhirnya menggulingkan dan merebut kekuasaannya.

3. Militer revolusioner professional

Militer revolusioner professional mempunyai pola intervensi illegal, namun tidak seperti tentara pretorian yang melalui kudeta militer atau melalui kerjasama dengan kelompok-kelompok lain sebelum dan selama proses intervensi. Intervensi tentara revolusioner merupakan suatu aktivitas kelompok militer yang illegal yang beroprasi secara sembunyi, dan dilancarkan untuk mendukung kelompok revolusioner yang sudah ada yang secara terang-terangan berusaha mengambil alih kekuasaan dengan bantuan dan dukungan kelembagaan secara besar-besaran.

Tentara revolusioner pretorian bukanlah hasil dari keahlian militer, melainkan pengabdian revolusi dan mendapatkan dukungan partai. Tentara revolusioner tidak mengenal adanya pendaftaran dan penerimaan perwira, melainkan kesadaran sendiri untuk ikut


(26)

bergabung membela kepentingan revolusi. Oleh karna itu tentara revolusi tidak ada pembatasan jumlah tentaranya.

I.6.3 Batasan Sipil

Istilah sipil dalam bahasa inggris ” civilian” yakni person not sarving with armed forces (seorang yang berkerja diluar profesi angkatan bersenjata). Cohan mendefenisikan pihak sipil dapat berupa masyarakat umum, lembaga pemerintah dan swasta, para politisi dan negarawan. Suhartono membatasi pihak sipil sebagai masyarakat politik yang diwakili partai politik. Sayidiman Suryahardiprojo memberikan batasan pengertian sipil sebagai semua

lapisan masyarakat.15

Dari berbagai pengertian diatas maka dibuat pengertian secara universal bahwa istilah sipil adalah semua orang baik individu atau institusi yang berada diluar organisasi militer. Dalam kajian pengertian sipil dibatasi pada masyarakat politik, dengan alasan bahwa orientasi analisis dalam kajian ini adalah praktek-praktek politik kedua belah pihak dalam memperebutkan kontrol efektif atas kekuasaan pemerintah. Masyarakat politik merupakan integrasi diantara masyarakat yang mempunyai tujuan untuk memeperoleh kekuasaan dalam suatu negara.

I.6.4 Pola hubungan Sipil Militer

Militer yang masuk ke dalam dunia politik didasari oleh banyak faktor pendukung. Secara kultur yang dibangun dalam dunia milter memang menjadikan setiap perwira militer memiliki keunggulan yang dapat dikatakan melebihi kualitas sipil. Indoktrinasi yang dibangun dalam dunia militer juga memberikan semangat juang yang berbeda dibandingkan kalangan sipil. Faktor-faktor pendukung itu antara lain adalah networking yang dibangun oleh       

15 


(27)

 

setiap perwira cukup baik. Networking itu dibangun dari berbagai momen seperti latihan militer bersama, pendidikan militer bersama, atau hubungan antar pimpinan militer di negara yang berbeda. Perwira tinggi militer yang memiliki jaringan yang kuat dapat melakukan koordinasi bahkan bantuan dukungan jaringannya di negara lain. Selain networking, faktor pendukung lainnya adalah sistem kepemimpinan yang dibangun dalam dunia militer. Setiap perwira militer sudah dilatih kepemimpinannya dalam suatu entitas terkecil sampai memimpin satu angkatan secara keseluruhan. Kultur itu membuat pengalaman seorang perwira militer benar-benar terlatih sejak dini. Selain itu, ada faktor-faktor lain yang juga sangat mempengaruhi kualitas seorang perwira militer yang siap memimpin negara antara lain pendidikan berkualitas yang dididik dengan orang-orang berkualitas bahkan dari kalangan sipil yang memenuhi kriteria terbaik seperti Guru Besar.

Masuknya militer masuk dalam dunia politik membuat kalangan sipil memikirkan untuk melakukan pengontrolan terhadap militer agar tidak terjadi kudeta yang bisa mengancam kekuasaan sipil. Oleh karena itulah dibuat sebuah pemerintahan sipil yang bisa mengontrol militer dengan sebaik-baiknya.

Tiga model kontrol sipil (Eric Nordinger, Soldiers in Politics) antara lain:16

1. Model Tradisional

Merupakan model kontrol sipil di negara monarki. Bentuk pemerintahan sipil tradisional ini sangat berpengaruh dalam sistem pemerintahan kerajaan abad ke-17 dan abad ke-18 di Eropa. Hal itu terjadi karena golongan aristokrat Eropa merupakan elit sipil dan juga elit militer. Walaupun kedua golongan elit ini berbeda, akan tetapi dalam kepentingan dan pandangannya hampir sama karena keduanya berasal dari golongan aristokrat. Golongan       

16 


(28)

bangsawan tidak bisa memanfaatkan kedudukan militer mereka untuk menentang raja karena raja masih sangat dihormati sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Tindakan menentang raja justru akan melemahkan kedudukan politik, ekonomi, dan sosial mereka yang sangat bergantung kepada raja. Dalam model ini biasanya tidak terjadi konflik antara sipil dan militer. Ketika terjadi konflik, mereka lebih memilih untuk mempertahankan statusnya sebagai sipil atau bangsawan yang memiliki previlege. Dalam model ini, militer dianggap sebagai golongan amatir. Model ini mulai runtuh di Eropa Barat setelah tahun 1800-an ketika pendidikan dan kemahiran dijadikan parameter utama dibandingkan status dan kekayaan warisan.

2. Model Liberal

Model Liberal mendasarkan pada diferensiasi tugas dan wewenang sipil dan militer. Militer hanya bertugas menjaga keamanan dan pertahanan negara. Selain itu, militer diberikan kemampuan manajemen militer yang mumpuni. Seluruh kebutuhan militer dipenuhi dengan sebaik-baiknya oleh sipil. Singkat kata, model ini berupaya melakukan depolitisasi semaksimal mungkin terhadap militer. Semua hak militer yang diberikan untuk sipil bukan berarti memberikan kewenangan yang seenaknya kepada sipil untuk melakukan apapun terhadap militer. Dalam hal ini, sipil dituntut untuk memiliki civilian ethic. Ada beberapa etika sipil yang harus dilakukan, antara lain sipil harus menghormati kehormatan militer, keahlian, dan otonomi, serta harus menunjukkan sikap netral. Selain itu, sipil tidak boleh melakukan intervensi ke dalam profesi militer apalagi menyusupkan ide-ide politik bahkan menggunakan militer untuk kepentingan politik tertentu. Model liberal ini sebenarnya memiliki banyak kelebihan, tetapi segalanya bisa bermasalah ketika sipil tidak konsisten dalam setiap etika yang harus dipenuhi.


(29)

 

3. Model Panetrasi

merupakan suatu model kontrol sipil yang melakukan penebaran ide-ide politik terhadap perwira militer yang masuk dalam partai-partai politik. Dalam hal ini, sipil dan militer adalah satu perangkat ideologi. Model ini hanya bisa diterapkan di suatu negara yang menerapkan sistem partai tunggal. Kontrol sipil terhadap militer dilakukan melalui dua struktur yaitu struktur militer itu sendiri dan struktur partai politik. Militer yang masuk dalam partai politik harus melepaskan semua aturan militernya dan masuk dalam aturan partai politik sehingga semua tunduk dalam aturan partai. Hal ini membuat tidak dominannya peran militer. Kalaupun ada dominasi militer dalam partai hanya mungkin terjadi sebatas faksi. Model panetrasi ini biasanya diterapkan di negara komunis. Apabila model ini diterapkan, ia akan sangat memperlihatkan supremasi sipil. Akan tetapi dalam keadaan tertentu, pelaksanaan yang kurang baik akan menimbulkan resiko yang cukup tinggi. Sama seperti model liberal, dalam model panetrasi ini akan berakibat buruk ketika setiap aksi kelompok sipil mengganggu wilayah otonom militer.

I.6.5 Kekuasaan

Kekuasaan dapat diartikan sebagai sebuah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh ataupun kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari. Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi.

Dalam pembicaraan umum, kekuasaan dapat berarti kekuasaan golongan, kekuasaan raja, kekuasaan pejabat negara. Sehingga tidak salah bila dikatakan kekuasaan adalah


(30)

kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Robert Mac Iver mengatakan bahwa Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan jalan memberi perintah atau secara tidak langsung dengan jalan menggunakan semua alat dan cara yg tersedia. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, ada yg memerintah dan ada yg diperintah. Manusia berlaku sebagai subjek sekaligus objek dari kekuasaan. Kekuasaan adalah gejala

yang selalu ada dalam proses politik, Politik tanpa kekuasaan bagaikan agama tanpa moral.17

Sedangkan untuk menguraikan konsep kekuasaan politik kita perlu melihat pada kedua elemennya, yakni kekuasaan dari akar kata kuasa dan politik yang berasal dari bahasa Yunani Politeia (berarti kiat memimpin kota (polis). Sedangkan kuasa dan kekuasaan kerap dikaitkan dengan kemampuan untuk membuat gerak yang tanpa kehadiran kuasa (kekuasaan) tidak akan terjadi, misalnya, Bila seseorang, suatu organisasi, atau suatu partai politik bisa mengorganisasi sehingga berbagai badan negara yang relevan misalnya membuat aturan yang melarang atau mewajibkan suatu hal atau perkara maka mereka mempunyai kekuasaan politik.

Variasi yang dekat dari kekuasaan politik adalah kewenangan (authority), kemampuan untuk membuat orang lain melakukan suatu hal dengan dasar hukum atau mandat yang diperoleh dari suatu kuasa. Seorang polisi yang bisa menghentian mobil di jalan tidak berarti dia memiliki kekuasaan tetapi dia memiliki kewenangan yang diperolehnya dari UU Lalu Lintas, sehingga bila seorang pemegang kewenangan melaksankan kewenangannya tidak sesuai dengan mandat peraturan yang ia jalankan maka dia telah menyalahgunakan wewenangnya, dan untuk itu dia bisa dituntut dan dikenakan sanksi. Sedangkan kekuasaan politik tidak berdasar dari UU tetapi harus dilakukan dalam kerangka hukum yang berlaku sehingga bisa tetap menjadi kekuasaan yang konstitusional

       17


(31)

  I.7. Metode penelitian

I.7.1 Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif, metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai sebuah proses pemecahan suatu permasalahan yang diselidiki dengan menggambarkan maupun menerangkan keadaan sebuah objek ataupun subjek penelitian seseorang, lembaga, maupun masyarakat dengan berdasarkan fakta-fakta yang tampak

sebagaimana adanya.18

I.7.2 Teknik pengumpulan data

Adapun teknik pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode library research atau studi pustaka yaitu dengan cara menghimpun buku-buku, makalah-makalah dan dokumen-dokumen dari berbagai sumber dan tempat serta hal-hal lain yang menunjang dan juga melakukan berdiskusi dengan berbagai pihak.

I.8. Sistematika penulisan BAB I: PENDAHULUAN

BAB ini Dibagi atas 7 bagian, antara lain: Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan dan mamfaat penelitian, Kerangka teori, Metodologi penelitian, dan Sistematika penulisan.

BAB II : GAMBARAN UMUM MILITER INDONESIA

Bab ini akan menggambarkan secara umum tentang militer Indonesia, mulai dari sejarah awal berdiri sampai kelembagaannya.

BAB III: SEJARAH KETERLIBATAN MILITER DALAM POLITIK INDONESIA

       18 


(32)

Pada BAB ini berisikan tentang analisis data yang diperoleh, dimana tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana awalnya militer Indonesia bisa terlibat dalam politik Indonesia.

BAB IV: PENUTUP

BAB ini merupakan bagian akhir dari penelitian, adapun isi dari bab ini diantaranya: kesimpulan dan saran yang berdasarkan atas hasil analisis data yang telah dilakukan dalam penelitian.


(33)

  BAB II

GAMBARAN UMUM MILITER INDONESIA

II.1 Sejarah lahirnya TNI

Pada awal revolusi, Pemerintah Indonesia tidak membentuk tentara resmi. Elemen pembentukan BKR, TKR, TRI hingga TNI dibangun dengan tiga unsur utama yang masing-masing memiliki latar belakang yang berbeda yakni mantan anggota KNIL, mantan anggota

PETA, dan laskar rakyat. 19.

II.1.1 Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL)

Dalam masa sebelum revolusi, peranan kaum pribumi dalam dinas militer tidaklah terlalu menonjol, orang-orang indonesia masuk kedalam dinas ketentaraan kolonial tidak lebih sebagai prajurit atau perwira rendahan, ini dimungkinkan khususnya setelah Berakhirnya perang Jawa, dimana dengan cara licik perlawanan Pangeran Diponegoro diakhiri. Perang yang berlangsung dari 1825-1830 tersebut telah membuat Belanda menerima pelajaran penting, Hindia Belanda harus memiliki pasukan yang menjaga keamanan dan ketertiban Hindia Belanda. Gubernur Jenderal saat itu, Van Den Bosch segera membentuk pasukan bernama Oost Indische Leger (Tentara Hindia Timur), Belanda mengontrak orang mantan serdadu disersi dari eropa seperti Jerman, Belgia, Swiss, Perancis serta orang-orang Afrika barat (Ghana) untuk dijadikan serdadu yang handal di wilayah jajahan hindia

timur20. Pada tahun 1836, raja Willem I memberikan predikat koninklijk untuk kesatuan

tentara hindia timur ini, namun predikat tersebut tidak pernah digunakan selama satu abad. Kemudian pada tahun 1933 barulah nama pasukan tersebut diubah menjadi Koninklijk

       19

 Budi Susanto, SJ. ABRI, Siasat Kebudayaan 1945-1995, Yogyakarta, Kanisius, 1995, Hal.15  20 


(34)

Nederlandsche Indische Leger (KNIL) yang beranggotakan serdadu belanda, tentara bayaran dan sewaan dari negara lain serta warga pribumi (Indonesia) yang ditugaskan di wilayah

hindia timur (Indonesia) pada zaman VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)21. Orang

Indonesia menyebutnya tentara kompeni atau kumpeni. Agar pribumi tidak memiliki persatuan, maka Belanda membagi KNIL pribumi berdasarkan suku; Suku Jawa, Sunda, Ambon dan Manado. Selain itu bangsa pribumi juga tidak pernah menempati pangkat tertinggi, mereka selalu ditempatkan dalam pangkat terendah.

Dalam tubuh KNIL, kehidupan sosial tentara pribumi hidup lebih mirip sebagai orang belanda ketimbang bangsa pribumi, untuk wilayah jawa rekruitmen prajurit yang berasal dari wilayah pinggiran kekuasaan mengakibatkan lebih mudahnya para prajurit ini untuk memilih afiliasi kebudayaan kebelanda ketimbang sebagai pribumi, mareka juga tidak bisa menyamai status golongan priyayi karena tidak memiliki status askriptif sebagai priyayi. Persentuhan dengan masyarakat pribumi hampir tidak pernah terjadi karena kehidupan sosial sehari-harinya hanya berkisar diseputar barak. Dan dalam dinas ketentaraan, pergaulan antara

tentara eropa dan pribumi juga dipisahkan22.

Jumlah tentara pribumi dalam dinas KNIL tidaklah begitu besar. Hal ini bisa dilihat dalam tabel berikut yang memberikan gambaran keadaan KNIL tahun 1939 beberapa saat sebelum meletusnya perang dunia ke II.

Tabel 1

Keanggotaan KNIL pada akhir kolonialisme23

       21 

Paul Van’t Veer, Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, Jakarta: Grafiti Pers, 1985, hal 3  22

 Ibid. hal 5  23 


(35)

 

Keterangan Opsir Opsir rendah dan serdadu

Jumlah

a. Tentara sukarela

Departemen peperangan Persenjataan Dinas-dinas 83 989 273 54 35.774 1.755  137 6.763 2.028 

1.345 37.583 38.928

b. Opsir cadangan

Persenjataan Dinas-dinas 1.561 222 - - 1.561 222

1.783 1.783

c. Milisi

Yang dikenakan milisi - 13.263 13.263

d. Landstorm

Yang dikenakan dinas - 17.596 17.596

e. Korps Bumiputera 74 4.501 4.575

Jumlah seluruhnya 3.202 72.943 76.145

Sumber: Djajusman, Hancurnya Angkatan Perang Hindia Belanda (KNIL), Bandung: Angkasa, 1978, hlm. 33.

Jumlah tentara eropa selalu lebih banyak dibandingkan tentara pribumi, minimnya jumlah pribumi yang berada dalam dinas ketentaraan dapat dijelaskan sebagai berikut, Hanya 2,31% perwira pribumi yang berada di dinas ketentaraan. Di tingkat perwira rendahan dan serdadu jumlahnya 6,17%, sementara secara keseluruhan jumlah pribumi dalam dinas ketentaraan Hindia Belanda hanya sekitar 6%. orang pribumi yang masuk dinas kemiliteran umumnya adalah sekumpulan budak yang peranannya dalam ilmu kemiliteran sangat rendah atau hampir tidak ada. Perlu diketahui bahwa tentara pribumi yang mengabdi kepada penguasa pribumi sendiri ternyata sangat sedikit tercatat dalam sejarah. Dalam struktur kekuasaan pribumi tradisional sendiri tidak dikenal adanya suatu golongan sosial yang


(36)

semata-mata berfungsi sebagai tentara, melainkan orang-orang sipil yang bias memegang

jabatan militer sewaktu-waktu bila diperlukan24.

Kedudukan sebagai militer dalam arti tertentu memang dihormati, khususnya oleh kalangan eropa. Akan tetapi, penghormatan ini sepenuhnya atas keberanian mareka sebagai prajurit. Sementara secara social, kehadiran mareka ditolak dalam pergaulan masyarakat, hanya perwira-perwira tinggi yang mendapatkan status social yang cukup tinggi dan

mendapatkan kesempatan untuk kawin dengan sesama golongan eropa25. KNIL saat itu

dianggap rendah oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Mereka disebut Kompeni, sosok tentara bayaran yang rela mengkhianati bangsa sendiri. Tetapi orang-orang yang terdaftar sebagai anggota KNIL tak begitu ambil pusing, karena bayaran yang didapat oleh serdadu KNIL sangat besar artinya bagi mereka. Kelak keanggotaan mereka selama menjadi KNIL sangat bermanfaat terhadap proses berdirinya TNI. Tokoh-tokoh KNIL yang akhirnya mengukir sejarah dalam pembentukan TNI adalah A.H Nasution, Oerip Sumoharjo, dan Alex Kawilarang.

II.1.2 Pembela Tanah Air (PETA)

Kebijakan pemerintahan militer Jepang dalam memobilisasi penduduk pribumi untuk menunjang kepentingan perangnya telah menciptakan sendi-sendi yang memungkinkan bangkitnya satu golongan sosial dalam masyarakat, yaitu pemuda. Inilah bagian terbesar dari masa-rakyat yang paling militan. Pengertian pemuda adalah mareka yang berusia antara 14-19 tahun. Dalam status sosial lokal, usia ini adalah usia yang berada dalam batas ambang, usia yang belum mandiri(bekerja), dan relatif bebas. Di jawa pada tahun 1940 ada sekitar 5 juta orang pemuda yang sebagian besar dari mereka tidak berpendidikan, hanya 1789 pemuda

       24

 G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya Oleh Raja-raja Mataram,(Yogyakarta: Kanisius, 1987), hal.112 25 


(37)

 

yang tamat sekolah dengan taraf SLTA dan 637 mahasiswa. Para pemuda inilah yang menjadi sasaran pemerintah militer jepang untuk kepentingan memenangkan perang. Pemuda menjadi sebutan yang bermakna ketika itu, sehingga Ben Anderson seorang pengkaji politik Indonesia mengatakan,…”kata pemuda, yang dulu biasa saja dengan cepat memperoleh pancaran cahaya yang menakutkan dan kejam, pemuda tiba-tiba menjadi kekuatan

revolusioner pada saat-saat gawat itu”26

Ketika Jepang mulai menduduki wilayah nusantara pada tahun 1942. Jepang mendirikan Pembela Tanah Air (PETA) Untuk mempertahankan tanah jajahannya. Tentara Sukarela Pembela Tanah Air atau PETA adalah kesatuan militer yang dibentuk Jepang di Indonesia dalam masa pendudukan Jepang. Tentara Pembela Tanah Air dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 berdasarkan maklumat Osamu Seirei No 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara Ke-16.

Pembentukan PETA berawal dari surat Raden Gatot Mangkupradja kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) pada bulan September 1943 yang antara lain berisi permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di medan perang. Pada pembentukannya, banyak anggota Seinen Dojo (Barisan Pemuda) yang kemudian menjadi anggota senior dalam barisan PETA. hal ini merupakan strategi Jepang untuk membangkitkan semangat patriotisme dengan memberi kesan bahwa usul pembentukan PETA berasal dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri. sebagaimana berita yang dimuat pada koran “Asia Raya” pada tanggal 13 September 1943, yakni adanya usulan sepuluh ulama: K.H. Mas Mansyur, KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Guru H. Mansur, Guru H. Cholid. K.H. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar dan H. Mohammad Sadri, yang menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela       

26 

Ben Anderson, Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa Pada Tahun 1944-1946,(Jakarta: Sinar Harapan, 1988), hal.36


(38)

bukan wajib militer yang akan mempertahankan Pulau Jawa. Hal ini menunjukkan adanya peran golongan agama dalam rangka pembentukan milisi ini. Tujuan pengusulan oleh golongan agama ini dianggap untuk menanamkan paham kebangsaan dan cinta tanah air yang berdasarkan ajaran agama. Hal ini kemudian juga diperlihatkan dalam panji atau bendera tentara PETA yang berupa matahari terbit (lambang kekaisaran Jepang) dan lambang bulan sabit dan bintang (simbol kepercayaan Islam).

Pendirian PETA didasarkan pada maklumat Osamu Seirei Nomor 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara ke-16, Letnan Jenderal Kumakichi Harada. Osamu Seirei No 44, 3 Oktober 1943 berisikan mengenai Pembentukan Pasukan Sukarela untuk membela

Pulau Jawa dengan status27 :

1. Kesatu, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), terdiri dari warga negara yang asli

2. Kedua, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), dilatih oleh tentara Jepang

3. Ketiga, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), bukan milik organisasi manapun,

langsung dibawah Panglima Tentara Jepang

4. Keempat, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), sebagai tentara teritorial yang

berkewajiban mempertahankan wilayahnya (syuu)

5. Kelima, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), siap melawan sekutu

PETA memperoleh pendidikan dasar infanteri dan indoktrinisasi ala samurai untuk menanamkan semangat yang tinggi orang-orang Indonesia diangkat menjadi komandan pleton dan kompi, bahkan jabatan komandan batalyonpun diisi oleh orang-orang Indonesia dari golongan elit, komandan batalyon diangkat oleh pertama-tama tidak karena kualitas potensial mareka sebagai pemimpin militer melainkan berdasarkan pertimbangan politik.

       27 

Ahmad Mansyur Suryanegara, PETA; Pemberontakan Di Cileunca Pangalengan Bandung Selatan, Jakarta, Yayasan Wira Patria Mandiri, 1996, hal 21


(39)

 

Kebanyakan dari mareka adalah pimpinan politik yang berpengaruh, sehingga pengangkatan mareka ke posisi militer yang lebih tinggi diharapkan akan mendorong keinginan para

pemuda dari daerah asal mareka untuk menjadi anggota pasukan itu28.

Barangkali yang mendapat latihan hampir sama baiknya dengan PETA adalah HEIHO, yakni sebuah pasukan pembantu kecil yang dibentuk pada akhir 1942 dan terutama digunakan untuk tugas-tugas penjagaan, komandan-komandannya seluruhnya terdiri dari opsir-opsir jepang. Kaum nasionalis dibawah pimpinan soekarno dan masjumi memiliki pasukan para militer mareka masing-masing, yakni barisan pelopor dan hizbullah. Disamping itu terdapat sejumlah besar organisasi pemuda umumnya, seinendan (barisan pemuda) dan anggota-anggotanya semuanya berasal dari lapisan, atau gakutai yang terdiri dari murid-murid sekolah menengah saja. Pemuda-pemuda itu tidak hanya mendapat latihan militer, tetapi pada diri mareka juga ditanamkan perasaan yang sangat anti sekutu yang dengan cepat berkembang menjadi suatu nasionalisme radikal.

Tentara PETA memiliki peran besar dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh nasional yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Soeharto dan Jendral Besar Soedirman. Veteran-veteran tentara PETA telah menentukan perkembangan dan evolusi militer Indonesia, antara lain setelah menjadi bagian penting dari pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga akhirnya TNI.

II.1.3 Laskar Rakyat

Sebagian besar dari mareka yang berkecimpung dalam revolusi kemerdekaan adalah mareka yang dalam masa-masa sebelumnya memang merupakan “aktivis’ gerakan       

28Hendri F. Isnaeni, Kontroversi 


(40)

kemerdekaan pada saat revolusi kemerdekaan dicetuskan, mareka telah menjadi politisi profesional. Marekalah yang dianggak memiliki kemampuan untuk mengendalikan revolusi dan pada umumnya mareka pernah mendapatkan pendidikan belanda.

Sebaliknya, bagian terbesar dari mareka yang terlibat dalam revolusi adalah para pemuda. Pemuda inilah yang kemudian mengorganisasikan diri menjadi cikal bakal tentara indonesia. Jurang sosial antara pemuda yang dilatih oleh jepang dengan golongan elit yang mendapatkan pendidikan belanda sangatlah besar. Semenjak tahun 1920-an dan tahun 1930-an pemimpin pemerintah1930-an y1930-ang telah terjun kedalam pergerak1930-an nasinal keb1930-anyak1930-an dat1930-ang dari kalangan urban yang merupakan kelompok elit yang mengenyam pendidikan belanda. Sedangkan para komandan tentara senior hanya mengenal dan dibesarkan dalam dalam lingkungan kebudayaan tradisional dan berpendidikan rendah dan hanya sedikit yang menguasai bahasa belanda. Maka tidak mengherankan pada masa-masa revolusi ada pertentangan diam-diam antara kaum tentara dengan politisi sipil. Pertentangan ini tidak ada ubahnya dengan perbadaan pendapat antara “rasionalisme” politik yang dipegang oleh para

politisi sipil dengan “spirit” perjuangan yang senantiasa ditiup-tiupkan oleh pihak militer29.

Namun para pemimpintentara sendiri juga menyadari bahwa mareka tidak siap untuk melancarkan suatu revolusi sosial bersenjata dalam skala yang luas. Kebanyakan dari mareka memilki kesadaran identitas yang tipis dengan masa-rakyat di desa-desa dan tidak berminat untuk mengerahkan revolusi melawan belanda menjadi revolusi sosial yang sesungguhnya. Pada umumnya mareka lebih tertarik pada kemungkinan-kemungkinan bahwa karir mareka akan memberikan mobilitas sosial daripada penggalangan potensi untuk melakukan perubahan sosial.

       29 


(41)

 

Tetara yang dibentuk dalam revolusi kemerdekaan Indonesia bukanlah tentara rakyat yang umum dikenal dalam studi-studi perbadingan militer. Tentara Indoesia sesungguhnya tidak berdiri dalam susunan ideologi yang cukup solid seperti yang tampak dalam gerilyawan rakyat pada umumnya dan juga tidak melibatkan massa dalam jumlah besar seperti masa petani atau buruh. Elemen-elemen penyusun tentarapun sangat majemuk, Tentara indonesia pada masa revolusi ini terdiri dari para eks-KNIL, anggota-anggota PETA yang mendapatkan pendidikan dari jepang dan laskar-laskar perjuangan lokal yang dibentuk baik atas dasar

agama maupun kesukuan30. Mengingat susunan yang tidak homogen ini maka kemudian

timbul gesekan-gesekan yang memunculkan konflik.

Para perwira eks-KNIL adalah mareka yang mendapatkan pendidikan militer secara professional dan banyak berhimpun di Markas Besar angkatan Bersenjata. Hal ini tentu saja menimbulkan keinginan yang kuat bagi mereka untuk mengorganisir tentara yang professional seperti yang pernah mareka dapatkan ketika masih tergabung didalam KNIL. dari segi usia mareka adalah orang-orang dewasa yang seumur dengan para elit politik sipil sehingga mareka sangat fasih berbahasa belanda dan memakai kebudayaan belanda dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya tentara PETA yang mendapatkan pendidikan jepang pada umumnya pangkat tertinggi yang pernah mareka capai adalah komandan pleton, sebagian besar dari mareka adalah para pemuda yang berpendidikan rendah dan hidup dalam lingkup kebudayaan tradisional, mareka berbeda dari para perwira eks-KNIL baik dalam jenjang kepangkatan, pendidikan, pengalaman militer dan kebudayaan.

Sementara itu, bagian terbesar yang mengisi tentara republik adalah laskar-laskar perjuangan. Mareka adalah para pemuda yang sama sekali tidak pernah mendapatkan pendidikan militer sebelumnya. laskar-laskar inipun didalamnya sangat majemuk, sebagian       

30 


(42)

dari mareka memiliki latar belakang keagamaan yang kuat dan atas dasar itu membentuk laskar perjuangan hizbullah, sementara di lain pihak ada yang mendasarkan diri pada ideology sosialis seperti Pesindo(Pemuda Sosialis Indonesia). Selain itu banyak organisasi yang beranggotakan pemuda-pemuda daerah walaupun identitas nasional mareka tidak diragukan.

Hisbullah Sabilillah

Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak bisa dilepaskan dari peran para pejuang muslim, atau lebih tepatnya kaum santri. Kurun 1943-1945 hampir semua pondok pesantren membentuk laskar-laskar, dan yang paling populer adalah Hizbullah-Sabilillah. Pada kurun waktu tersebut kegiatan Pondok Pesantren adalah berlatih perang dan olah fisik. Bahkan peristiwa-peristiwa perlawanan sosial politik terhadap penguasa kolonial, pada umumnya dipelopori oleh para kiai sebagai pemuka agama, para haji, dan guru-guru ngaji. Peran kiai dalam perang kemerdekaan tidak hanya dalam laskar Hizbullah-Sabilillah saja, tetapi banyak diantara mereka yang menjadi anggota tentara PETA (Pembela Tanah Air). Tercatat dari enam puluh bataliyon tentara PETA, hampir separuh komandannya adalah para kiai. Patut diketahui, Hizbullah dan Sabilillah adalah laskar rakyat paling kuat yang pernah hidup di bumi Indonesia. Meskipun dalam sejarah, keberadaan laskar tersebut disisihkan. Buktinya, perjuangan mereka tidak ditemukan dalam museum-museum. Dikarenakan para laskar ini seringkali berselisih paham dengan pemerintah Soekarno yang tidak bersikap tegas dalam menentang pendaratan pasukan Sekutu dan Belanda ketika itu.

Laskar Hizbullah sendiri dibentuk atas anjuran Masjoemi pada 21 Juli 1945. Selain

untuk dipertahanan Pulau Jawa, organisasi ini juga ditujukan untuk membela dan menyebarkan Islam. Pedoman llmu yang ditentukan oleh Masjoemi, sedang pimpinannya dipegang oleh ulama dan kiai. Sebagian besar anggotanya berasal dari pesantren dan


(43)

 

madrasah. Dalam kongres Masjoemi. pada 7 dan 8 November 1945, diputuskan untuk membentuk suatu badan perjuangan lain, Sabilillah. Pimpinannya terdiri dari K.H Masjkoer, Wondoamiseno, H. Hasjim dan Soelio Adikoesoemo. Pria di bawah usia 35 tahun menjadi anggota Hisbullah, sedang yang berumur di atasnya masuk Sabilillah. Organisasi untuk pemuda adalah GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia).

GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia)

GPII menempatkan diri sebagai organisasi yang bisa menerima pemuda dari semua kalangan Islam. Bahkan dalam perkembangannya karena sebelum ada GPII sudah ada organisasi pemuda Islam yang mengkhususkan diri dalam perjuangan kelasykaran, yaitu Hizbullah. maka pada tanggal 5 Oktober 1945 diadakan kesepakatan untuk menggandengkan penyebutan GPII dengan Hizbullah. GPII garis miring atau dalam kurung Hizbullah.

Dari saat berdirinya sampai dipaksa membubarkan diri oleh pemerintah yaitu pada tanggal 10 Juni 1963 Presiden Soekarno membubarkan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dengan KEPPRES RI NO. 139/1963 yang menyatakan organisasi GPII termasuk bagian-bagiannya/cabang-cabang/ranting-rantingnya diseluruh wilayah Indonesia sebagai organisasi terlarang dan diperintahkan untuk menyatakan pembubaran organisasi GPII dalam waktu 30 hari sejak tanggal tersebut. Sampai sekarang ini keppres tersebut belum pernah dicabut dan beberapa tokohnya ditangkap dan dipenjarakan oleh rezim orde lama tanpa ada proses pengadilan.

BPRI(Barisan Pemberontak Republik Indonesia)

BPRI berpusat di Surabaya sedang kegiatannya terutama bertumpu pada pemimpinnya, Bung Tomo. yang sangat populer berkat pidato-pidato radionya yang bersemangat dan membakar. Ideologi mereka yang ekstrim-revolusioner diterima oleh masyarakat luas termasuk pengikut Masjoemi. Pada kenyataannya, berkat agitasi massanya yang terus menerus, BPRI berhasil memainkan peranan sebagai pemersatu.


(44)

Perkembangannya yang cepat menimbulkan juga kekacauan organisasi seiring dengan kecondongan anarki mereka.

II.2. Pembentukan tentara nasional

Pada saat Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, negara Indonesia tidak mempunyai pemerintahan dan juga tentara. Segera sesudah proklamasi, pemerintah yang dibentuk Soekarno-Hatta menciptakan aparatur pemerintahan namun hampir tidak memperhatikan masalah pertahanan negara. Pada saat yang sama, jutaan pemuda yang telah dimobilisir selama periode pendudukan Jepang tidak sabar menunggu untuk turut serta berperan, Namun setelah mereka menyadari bahwa mereka tidak akan mendapatkan perintah atau mandat dari pemerintah yang sangat diharapkan, maka para pemuda itu mengambil prakarsa dan inisiatif sendiri untuk menciptakan alat pertahanan

bagi negara Republik Indonesia yang baru lahir31.

Dalam hal ini para pemuda turun tangan untuk mengisi kekosongan suatu alat pertahanan dengan cara membentuk organisasi-organisasi perjuangan yang bernama

“lasykar”32, namun mereka tidak mempunyai senjata, tidak terlatih, tidak berdisiplin dan

tidak memiliki pimpinan yang berpengalaman. Selain itu, mereka seringkali berselisih paham dengan pemerintahan Soekarno dan tidak mau menerima perintah dari pimpinan nasional yang tidak bersikap tegas dalam menentang pendaratan pasukan-pasukan Sekutu dan Belanda, kemudian yang berusaha menekan semangat mereka untuk bertindak. Oleh sebab itu, pemerintah harus menciptakan sebuah pasukan bersenjata yang dapat membantu menegakkan kekuasaannya di dalam negeri. Pada prinsipnya sudah diakui perlunya sebuah tentara : dalam kabinet ada portepel untuk pertahanan. Namun, karena ada kemungkinan       

31 

Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 : Menuju Dwi Fungsi ABRI. (LP3ES. 1986). hlm. 10  32 


(45)

 

bahwa tentara pendukung Jepang akan berkeberatan mengingat pihak Jepang secara resmi masih bertanggung jawab atas pemeliharaan ketertiban umum, maka Soekarno tidak mengangkat seorang Menteri Pertahanan.

II.2.1 Badan Keamanan Rakyat (BKR)

Pada tanggal 22 Agustus 1945 PPKI mengumumkan terbentuknya sebuah “Badan Penolong Keluarga Korban Perang” yang secara keorganisasian mencakup sebuah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Di dalam undang-undang pembentukannya, fungsi BKR secara samar-samar disebutkan sebagai “memelihara keamanan bersama-sama dengan rakyat dan

badan-badan negara yang bersangkutan”33.

Dalam pidatonya, Presiden Soekarno mengajak pemuda-pemuda mantan PETA, Heiho, dan pemuda lainnya untuk sementara waktu bergabung dan bekerja di dalam BKR dan bersiap-siap untuk dipanggil menjadi prajurit tentara kebangsaan jika telah datang

waktunya34. Tidak semua para pemuda setuju dengan pembentukan BKR. Golongan yang

menghendaki dibentuknya sebuah tentara kebangsaan, tidak bersedia memasuki BKR yang mereka anggap tidak dapat memenuhi aspirasi mereka. Golongan ini membentuk semacam badan perjuangan dengan nama yang beragam. Mereka pada umumnya berasal dari golongan yang sudah membentuk organisasi-organisasi pada zaman Jepang, baik legal maupun ilegal.

BKR dapat dikatakan tidak pernah digunakan sebagai alat untuk menghentikan berbagai kegiatan kaum pemuda yang tidak disetujui oleh pemerintah. Bahkan seandainya BKR diperintahkan untuk menumpas organisasi-organisasi yang tidak mau diatur, maka hal itu akan menimbulkan protes umum dari kelompok generasi muda kaum nasionalis. Hambatan paling besar bagi BKR untuk mencapai tingkat efisiensi militer yang lebih tinggi       

33

 T.B. Simatupang, Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai, (Jajasan Pustaka Militer, 1954), hlm. 55. 34 


(46)

adalah tidak adanya sebuah komando terpusat yang dapat mengangkat anggota-anggota korps perwira. Seringkali kesatuan-kesatuan memilih komandan mereka sendiri sehingga akibatnya kedudukan komandan itu tidak lebih dari sebagai primus inter pares (yang pertama di antara

sesama)35.

Walaupun secara resmi BKR adalah aparat untuk menjaga keamanan setempat, namun karena desakan situasi pada waktu itu, maka BKR mempelopori usaha

perebutan-perebutan senjata dari tangan tentara Jepang36. Badan-badan perjuangan di luar BKR pun

juga melakukan hal yang sama. Karena itu sebelum tentara resmi dalam bentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dilahirkan, kedua organisasi tersebut sesungguhnya telah mulai melakukan tugas militer bagi Negara Republik Indonesia dalam rangka usaha menegakkan kedaulatannya.

II.2.1.1. Pembubaran Tentara PETA dan Hubungannya Dengan Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR)

Tentara PETA lahir pada masa pendudukan Jepang dengan bantuann dari pihak Jepang. Para pemimpin Republik Indonesia ketika itu mengkhawatirkan bahwa PETA dapat dicap atau dijuluki sebagai satuan tentara Jepang, sehingga pemerintah Republik Indonesia lebih memilih kebijakan membubarkan PETA terlebih dahulu untuk kemudian pada 23 Agustus 1945 mengundang kembali mantan prajurit PETA bersama golongan pemuda

lainnya dalam menyusun suatu Badan Keamanan Rakyat37.

PETA pada hakikatnya merupakan suatu organisasi ketentaraan yang lengkap dan komplit yang dipersiapkan pada masa damai maupun untuk masa perang. Susunan       

35 

Ulf Sundhaussen. Ibid, hlm. 12.  36 

Amrin Imran dkk, Sedjarah Perkembangan Angkatan Darat (Jakarta : Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, 1971), hlm. 3.

37 


(47)

 

kesatuannya baik dari bawah sampai dengan level komandan batalyon adalah murni terdiri dari suku bangsa Indonesia asli yang pada waktu itu status formell di bawah pemerintahan

Jepang38.

Mental keprajuritan dan mental kebangsaannya tidak perlu diragukan lagi karena mereka pada umumnya sebagian besar terdiri dari orang-orang pilihan pada daerahnya berdasarkan aspek intelektualitas dan juga pengaruh terhadap masyarakat daerahnya masing-masing. Setelah Jepang kalah dalam Perang Pasifik melawan pihak Sekutu tanggal 15 Agustus 1945, secara formeel wet begrip, maka status hukumnya organisasi PETA tidak lagi terikat dengan Jepang. Prajurit PETA yang dibubarkan tanggal 19 Agustus 1945 langsung dipulangkan ke daerahnya masing-masing, padahal mereka itu merupakan tenaga militan

yang terlatih dan memiliki semangat kebangsaan yang sangat tinggi39.

Berdasarkan dikeluarkannya Dekrit Presiden RI tanggal 22 Agustus 1945 sebagai narasumber hukum berdirinya BKR, maka hal itu langsung digunakan untuk membentuk wadah organisasi perjuangan dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan yang telah dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945. Sekalipun sistem komunikasi dan koordinasi pada waktu itu masih sangat kuno (terbatas) dan juga sulit tetapi karena korps geest sangat tinggi, maka segala keputusan-keputusan penting yang perlu diambil tidak terjadi

penyimpangan dari pertimbangan pada umumnya40.

Keputusan pemimpin nasional untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan bukannya suatu tentara yang sungguh-sungguh dipengaruhi oleh kekhawatiran bahwa Sekutu akan melakukan penghancuran terhadap Republik. Hal ini berdasarkan atas perkiraan bahwa pada saat itu mereka belum mempunyai cukup tenaga yang berketerampilan militer       

38

 Ibid, hlm. 213.  39

Purbo S. Suwondo, PETA : Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa dan Sumatra 1942-1945, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. 155.

40 


(48)

untuk mengadakan perlawanan.

Para pemimpin nasional memutuskan memakai strategi yang didasarkan atas diplomasi dan bukan konfrontasi. Mereka mempertimbangkan dengan mengambil sikap low profile, maka pihak Sekutu tidak akan terprovokasi oleh eksistensi Republik dan tidak akan bertindak represif. Gagasan low profile ini meliputi kebijakan untuk tidak membentuk tentara, melainkan hanya sebuah Badan Keamanan Rakyat (BKR).

II.2.1.2. Faktor-faktor Strategi dan Kebijakan tentang Pembentukan BKR41:

1. Kendala Tantangan Dalam Negeri

a. Sikap Jepang

Pada 18 Agustus 1945, tentara Jepang menerima telegram resmi yang memerintahkan perlawanan dan permusuhan, dan pada 24 Agustus 1945, para komandan pasukan berkumpul di Jakarta. Pada pertemuan itu dibacakan Proklamasi Kerajaan untuk menghentikan permusuhan dan diadakan penjelasan tentang kebijakan yang berhubungan dengan perkembangan keadaan. Kebijakan tersebut meliputi :

1. Mentaati hasil Proklamasi Kerajaan

2. Menghormati Sekutu

3. Persahabatan dengan bangsa Indonesia

4. Keadaan Pasukan Jepang

Perang Pasifik telah berakhir, tentara Jepang di seluruh Indonesia yang berjumlah 340.000 prajurit ditugaskan Sekutu untuk menjaga keamanan sampai Sekutu datang dan mendarat ke Indonesia. Keadaan moral prajurit dan perwiranya menurun akibat kekalahan       

41


(49)

 

dalam Perang Pasifik, namun rasa disiplin mereka masih tinggi. Kemudian organisasi dan persenjataan juga masih lengkap.

b. Pertimbangan Politis-Psikologis

Para pemimpin Indonesia ingin menunjukkan pada dunia internasional bahwa apabila di kemudian hari sebuah organisasi ketentaraan akan didirikan, maka tentara itu bukanlah penerus organisasi paramiliter seperti PETA dan Heiho yang dibentuk Jepang untuk melawan Sekutu. Namun merupakan suatu organisasi tentara yang berasal dari para prajurit-prajurit Indonesia yang pernah mendapat pendidikan dan pelatihan saat menjadi anggota PETA atau pun anggota Heiho.

2. Tantangan Luar Negeri

a. Mendapatkan pengakuan dari Sekutu terhadap keberadaan Indonesia sebagai Negara

yang Merdeka dan Berdaulat Hal ini dimaksudkan jangan sampai kemerdekaan Indonesia itu ditentang oleh pihak Sekutu.

b. Mengakhiri secara Sah Kekuasaan Belanda atas Indonesia yang secara hukum

Internasional masih diakui Sekutu sebagai wilayah jajahan Belanda Persoalan ini timbul terutama karena proklamasi terjadi sesudah Jepang menyerah kepada Sekutu, sehingga semua wilayah yang dikuasai Jepang harus dikembalikan kepada Sekutu untuk selanjutnya dikembalikan kepada “yang berhak”.

c. Menjadikan Dunia Internasional Sebagai Sumber Bagi Kemakmuran Bangsa Indonesia

yang Merdeka Pemikiran ini dilandasi keyakinan bahwa kemerdekaan hanyalah suatu awal bagi kehidupan bangsa yang adil dan makmur karena setelah proklamasi haruslah dirancang pola dasar kebijakan ekonomi luar negeri Indonesia.


(50)

II.2.1.3 Proses Lahirnya BKR

Pada 19 Agustus 1945, dua orang anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yaitu Abikusno Tjokrosujoso dan Otto Iskandardinata, dalam sidang pada hari itu mengusulkan pembentukan sebuah badan pembelaan negara. Usul tersebut ditolak dengan alasan memancing bentrokan dengan tentara pendudukan Jepang yang masih bersenjata lengkap dan adanya ancaman intervensi Tentara Sekutu yang bertugas melucuti persenjataan tentara Jepang dan memulangkan mereka ke negerinya. Demikian usul untuk membentuk suatu tentara kebangsaan yang terdiri dari mantan prajurit PETA, Heiho, dan Angkatan Laut ditangguhkan.

Pada 20 Agustus 1945, dibentuklah Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). BPKKP semula bernama Badan Pembantu Prajurit dan kemudian berubah menjadi Badan Pembantu Pembelaan yang keduanya disingkat BPP. Pembentukan BPP sudah ada dalam zaman Jepang dan bertugas memelihara kesejahteraan anggota tentara PETA dan Heiho.[16] Setelah PETA dan Heiho dibubarkan oleh Jepang tanggal 18 Agustus 1945, maka tugas untuk menampung mantan anggota PETA dan Heiho ditangani oleh Badan Penolong

Keluarga Korban Perang (BPKKP) 42.

Seiring dengan itu didirikan pula Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan bagian dari BPKKP. Berita tentang pembentukan BPKKP dan BKR segera dimuat untuk dikomunikasikan dalam harian surat kabar Soeara Asia yang terbit pada 25 Agustus 1945. Di wilayah Jawa dan Sumatera, sebagai jawaban atas proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia maka muncullah berbagai badan perjuangan yang menamakan diri mereka barisan, pasukan, atau pemuda.

       42 

Amrin Imran dkk, Sedjarah Perkembangan Angkatan Darat (Jakarta : Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, 1971), hlm. 5.


(51)

 

Dalam sidang tanggal 22 Agustus 1945 yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta, PPKI

menetapkan43:

a. Badan Keamanan Rakyat memiliki tugas pemeliharaan keamanan berama-sama

dengan rakyat dan jawatan-jawatan negeri yang bersangkutan.

b. BKR merupakan suatu bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang.

Didirikan dari pusat sampai ke daerah-daerah.

c. Pekerjaannya harus dilakukan dengan sukarela.

Semula BKR dimaksudkan sebagai suatu bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). Hal ini terlihat aneh, tetapi memang demikian kenyataannya. Adapun tugas dari BPKKP itu secara resmi berbunyi : “menjamin kepada rakyat yang menderita akibat peperangan berupa pertolongan dan bantuan dengan memelihara

keselamatan dan keamanan”44.

Pembentukan BKR adalah sebagai penampungan organisasi-organisasi pembelaan negara dalam wadah nasional. Nama sementara yang digunakan adalah BKR, suatu badan perjuangan tetapi akan ditingkatkan ke arah ketentaraan. Hal ini jelas tercermin dalam pidato Soekarno tanggal 23 Agustus 1945 yang berbunyi : “Kami telah memutuskan untuk mendirikan dengan segera di mana-mana BKR, untuk membantu penjagaan keamanan. Banyak sekali tenaga yang tepat untuk melaksanakan pekerjaan ini. Mantan prajurit PETA, Heiho, Pelaut, pemuda-pemuda yang penuh semangat pembangunan, mereka semua adalah tenaga yang baik untuk pekerjaan ini. Karena itu saya mengharapkan kepada kamu sekalian, hai mantan prajurit-prajurit PETA, Heiho, Pelaut beserta pemuda-pemuda lain untuk sementara waktu masuklah dan bekerjalah dalam BKR. Percayalah, nanti akan datang       

43

Pamoe Rahardjo, op. cit., hlm. 67. 44


(52)

saatnya kamu dipanggil untuk menjadi prajurit dalam Tentara Kebangsaan Indonesia!!” Isi amanat tersebut di atas merupakan narasumber hukum lahirnya / terbentuknya Badan Keamanan Rakyat.

II.2.1.4 Pembentukan BKR Di Daerah-Daerah45

1. Jakarta, Para pemuda dan mantan prajurit PETA di Jakarta berkumpul dan

menentukan struktur BKR sesuai dengan struktur teritorial zaman pendudukan Jepang. Mereka yang menyatakan diri sebagai pengurus pusat terdiri dari Kaprawi, Latief Hendraningrat, Arifin Abdurrahman, Machmud, dan Zulkifli Lubis. BKR Jakarta dibentuk pada bulan Agustus 1945 dipimpin oleh Moefreni Moekmin yang beranggotakan beberapa orang antara lain Daan Mogot, Latief Hendraningrat, Soeroto Koento, dan Sujono.

2. Bogor, BKR di Bogor terbentuk pada bulan Oktober 1945. Beberapa pengurus antara

lain Husein Sastranegara, Toha, dan Dulle Abdullah. Belum sempat mempersenjatai diri dengan kuat, BKR Bogor telah menghadapi penyerbuan tentara Inggris pada 22 Oktober 1945. Dalam perundingan dengan Inggris yang berlangsung di Jakarta, beberapa pimpinan BKR ditangkap pihak Inggris dan diasingkan ke Pulau Onrust.

3. Jawa Tengah dan Jawa Timur, Pembentukan BKR di daerah Jawa Tengah dan Jawa

Timur memiliki pola yang sama dengan proses pembentukan BKR di Jakarta dan Jawa Barat. Pada mulanya terdapat inti mantan-mantan prajurit PETA kemudian menjadi pasukan dalam jumlah besar karena ikut sertanya para pemuda dari golongan lain seperti Keibodan, Heiho, dan Seinendan.

      

45

Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer Dalam Politik Di Indonesia 1945-1966, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1982). hlm. 22.


(1)

BAB IV

PENUTUP

IV.1. Kesimpulan

Peran dan posisi militer dalam percaturan dan sistem politik Indonesia tidak lepas dari sejarah kelahirannya yang berperan aktif dalam kehidupan politik bangsa dan merupakan salah satu kekuatan dalam perjuangan bangsa. Dalam periode pra kemerdekaan, peran politik tentara diwujudkan melalui kegiatan politik para laskar pejuang, yang karena kesadarannya mengangkat senjata berupaya untuk mengusir penjajah dan memerdekakan bangsa Indonesia. Pada periode berikutnya, peran dan format politik tentara diaktualisasikan melalui upaya menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Pada akhir tahun 1949 terjadi perubahan konstitusional Republik Indonesia Serikat dan Undang-undang Sementara 1950 (UUDS 1950) yang berazazkan Demokrasi Liberal.Perubahan konstitusi ini berdampak pada menurunnya peran politik militer bahkan menghendaki militer tidak boleh ikut campur dalam bidang politik.Kepemimpinan militer diambil oleh sekelompok kecil Teknokrat Militer, kebanyakan mereka lulusan akademi militer Belanda di zaman sebelum perang serta memiliki kemampuan teknis yang menjadikan mereka perwira-perwira terlatih. Beberapa perwira dari kalangan teknokrat ini mengambil sikap untuk tidak terlibat langsung dalam politik dan memusatkan perhatian untuk membina tentara sebagai kekuatan yang stabil dan efektif.

Di awal tahun 1950-an hingga menjelang berakhirnya dekade 1950-an, kehidupan politik bangsa Indonesia diwarnai pelaksanaan demokrasi liberal dengan sistem multi-partai. Kondisi kehidupan politik saat itu melahirkan ketidakstabilan pemerintahan, pemerintahan jatuh-bangun dan hanya bertahan hingga beberapa bulan, karena masing-masing partai lebih


(2)

cenderung memperjuangkan kepentingan ideologi partainya daripada kepentingan bangsa secara utuh. Dalam dekade 1950-an ini peran sosial-politik tentara mulai tampak kepermukaan, yaitu dengan menjadi pelopor untuk menyarankan kembali ketatanan kehidupan politik berdasarkan UUD 1945 yang berlanjut dengan adanya peristiwa 17 Oktober 1952. Peran sosial-politik TNI/ABRI secara formal dalam periode ini adalah sejak TNI mendapatkan kesempatan untuk menjadi Dewan Nasional yang dibentuk oleh Presiden Soekarno.

Semenjak demokrasi terpimpin golongan militer telah mulai masuk ke dalam sistem politik Indonesia, Golongan militer tidak hanya aktif dalam dunia politik, administrasi, dan lingkungan diplomatik, mereka juga memainkan peran penting dalam perekonomian Negara Sejak 1957 dimana perusahaan-perusahaan milik Belanda telah di nasionalisasikan, para agen militer ditunjuk untuk mengelola usaha-usaha tersebut seperti pertanahan, perhotelan, sarana transportasi, dan perusahaan dagang. Ini merupakan suatu yang disebut sebagai jalan tengah atau The Army’s Middle way dimana ABRI selain merupakan kekuatan militer juga merupakan kekuatan sosial politik bahu membahu membantu perjuangan masyarakat. Ditambah lagi dengan keberhasilan TNI memberantas PRRI yang membuat kekuatan dan wibawa TNI khususnya Angkatan Darat secara politis meningkat. kemudian hal itu diperkuat dengan adanya keadaan darurat perang ketika itu (SOB) dan konsepsi dwifungsi ABRI yang dicanangkan oleh Jenderal Nasution di tahun 1958 yang menyatakan bahwa golongan militer tidak hanya berfungsi sebagai alat pertahanan negara tetapi juga berfungsi dalam kehidupan sipil (fungsi pemerintahan).

Pecahnya peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (G.30S/PKI/1965) berdampak pula terhadap meningkatnya kekuasaan militer (TNI-AD khususnya) dalam peta perpolitikan bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan karena setelah terjadinya G.30S/PKI/1965


(3)

ini dua kekuasaan besar saat itu, yaitu kekuasaan Presiden Soekarno dan PKI menjadi lemah dan hancur. Kekuasaan militer (TNI-AD) menjadi semakin besar setelah dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 untuk .Perjalanan politik tentara mencapai puncaknya pada masa Orde Baru (Seharto) yaitu dengan mengebiri partai-partai politik yang aspirasi ideologisnya digabungkan ke dalam dua partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai-partai politik ini tidak lagi memiliki basis ideologi spesifik sebagaimana pada masa orde lama, pertentangan antar faksi dalam partai politik tersebut tidak dapat terelakkan dan berakibat pada lemahnya dua partai itu. Berbeda dengan Golongan Karya yang didukung oleh Birokrasi dan ABRI kelompok ini menjadi penguasa dalam menjalankan visi misi Orde Baru, serta menguasai parelemen dan pemerintahan yang dikenal dengan istilah (ABRI, Birokrasi, dan Golkar/ABG).

Sejak Pemerintahan Orde Baru, keterlibatan militer dalam berbagai keidupan non militer merupakan sebuah keniscayaan. Baik melalui doktrin peran sosial politik ABRI maupun ketentuan perundangan yang mendasarinya, sampai ke implementasi strukturalnya, kehadiran ABRI dalam berbagai kehidupan telah menjadi tak terpisahkan dari perjalanan Republik ini. pelembagaan Dwifungsi ABRI di era Soeharto merupakan bagian dari pelembagaan Piramida Orde Baru yang mencakup seorang Presiden dengan kekuasaan yang sangat dominan, angkatan bersenjata yang sangat aktif berpolitik, serta proses pengambilan keputusan yang berpusat pada birokrasi, Fenomena tersebut kemudian menimbulkan keraguan masyarakat akan efektivitas konsep Dwifungsi ABRI.

IV.2. Saran

Telah menjadi kepentingan kita semua bahwa peran politik ABRI dimasa mendatang bagaimanapun harus dihilangkan. Dalam konteks politik Indonesia menurut Harold Crouch,


(4)

merupakan faktor kunci untuk demokratisasi terlebih bila tiap kubu menjalin aliansi dengan kelompok - kelompok masyarakat. Namun perjuangan kearah demokratisasi dan penguatan civil society tidak dapat mengharapkan dari konflik antar elite ataupun political will dari penguasa, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan dari generasi ke generasi. Optimalisasi partisipasi politik rakyat serta lembaga - lembaga politik menjadi agenda terpenting dalam mendorong proses demokratisasi untuk meminimalisir peran politik militer. idealnya lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif memiliki kekuasaan seimbang tanpa mengikutsertakan militer didalamnya sebagai kekuatan politik. Alhasil, dengan kekuatan dan mekanisme sedemikian tersebut diharapkan akan dapat menjamin bagi terwujudnya suatu pemerintahan yang merefleksikan kemauan dan berorientasi pada kepentingan rakyat.


(5)

Daftar Pustaka Buku:

Baskara, T Wardaya. Bung Karno Menggugat ‘Marhaen, CIA, Pembantaian massal 65,

Sehingga G 30 S’. Yogyakarta: Galang Press. 2006.

Beise, Kerstin. Apakah Soeharto Terlibat G 30 S. Yogyakarta: Ombak. 2004.

Cerbin ,Juliet, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, tata langkah dan teknik-teknik teorosasi data, Yokyakarta, Pustaka Pelajar, 2003.

Djarot, Eros, dkk. Siapa Sebenarnya Soeharto ‘fakta dan kesaksian para pelaku sejarah G 30

S / PKI’. Jakarta: Media kita. 2006.

Ejang, Odih, Sukadi. Sejarah (Nasional dan Umum) kelas III: Kurikulum 1994. Bandung: Ganeca Exact. 1997.

Gaffur, Abdul. Pak Harto, Pandangan dan Harapannya, Jakarta Pustaka Kartini, 1987. Hamid ,Syarwan. Dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1999 Hardito, A Bagus. Faktor Militer dalamTransisi Demokrasi di Indonesia. Jakarta: CSIS,

1999

Joeniarto. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2001.

Karim, Muhammad Rusli, Peranan ABRI dalam Politik dan Pengaruhnya Terhadap

pendidikan Politik di Indonesia (1965-1979), CV Haji Masagung, Jakarta, 1989.

Kartasasmita, Ginanjar dkk. 30 Tahun Indonesia Merdeka 1965-1973. Jakarta: P.T. Gita Karya, 1985.

Nasution, A.H, Kekaryaan ABRI, Jakarta: Seruling Masa, 1977.

Nawawi, Hadari. Metodologi Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992.


(6)

Erlangga, 2001

Park, C Robert . “menguak keuasaan dalam politik di dunia ketiga”, Erlangga: 1999 R.L.L Tobing, Demokrasi dan Teori Kemakmuran, Gelora Aksara Pratama, Jakarta, 1998. Said, Salim, Tumbuh dan Berkembangnnya Dwi Fungsi, Yojakarta : Askara Kurnia, 2002. Santoso, Budi, A, Made budisupriatna, ABRI Siasat Kebudayaan 1945-1995, Kanisius dan

Lembaga Studi Realino, Yogyakarta, 1995.

Singh, Bilver. Dwi Fungsi ABRI, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Soebijono. Dwifungsi ABRI:Perkembangan dan Peranannya Dalam Kehidupan Politik

Indonesia. Jakarta: Gadjah Mada University Press,1992

Sundhauseen,Ulf. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI. Jakarta:LP3ES, 1988

Sutrisno, Slamet. Kontraversi Dan Rekonstruksi Sejarah. Media Pressindo. 2006. Syamdani. Kontraversi Sejarah Di Indonesia. Jakarta: Gramedia Widia Sarana. 2001.

Yulianto, Arif. Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orde Baru: Ditengah Pusaran Demokrasi. Jakarta: Grafindo, 2002

Sumber Lain:

Wikipedia.com

http://id.wikisource.org/wiki/Konstitusi_Republik_Indonesia_Serikat