Keterlibatan Militer Dalam Bisnis Tomy W

Keterlibatan Militer Dalam Bisnis Tomy Winata
Masyarakat Ekonomi

Defila Priana

15/379850/SP/26718

Dianrafi Alphatio

15/384263/SP/26975

M. Dimas Ponco Wirianto

15/384272/SP/26984

Maria Angelica Christy

15/384273/SP/26985

Miera Ludfia Islamy


15/384275/SP/26987

Rayu Anitawati

15/378703/SP/26657

Yolanda Mulat

15/378705/SP/26659

Departemen Politik dan Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
2016

Latar Belakang
Berbicara mengenai bisnis tentu tidak akan lepas dari peran aktor yang terlibat di
dalamnya. Yang selama ini kita ketahui, aktor ekonomi adalah pengusaha dan investor yang
memang bergerak dalam dunia bisnis serta negara yang mengawasi pergerakan kedua aktor
tersebut lewat regulasi. Namun setelah dianalisis lebih jauh lagi, ternyata pengalaman sejarah

Indonesia mengungkapkan bahwa masih terdapat aktor lain yang juga mempunyai power, yang
peran serta fungsinya cukup diperhitungkan untuk menciptakan suasana berbisnis yang nyaman.
Ya, siapa lagi kalau bukan militer?
Fenomena keterlibatan militer dalam bisnis perusahaan −di berbagai bentuk, level serta
bidang− merupakan hal yang mudah ditemui di Indonesia dan sudah menjadi rahasia umum di
kalangan publik. Masalahnya adalah ketika masyarakat umum masih menganggap bahwa
keterlibatan mereka adalah hal yang biasa dan dapat ditolerir. Padahal sudah jelas kalau aktivitas
tersebut bertentangan dengan fungsi dan tugas utama militer, seperti yang dimanifestasikan
dalam UU No. 34 tahun 2004 Bab II Pasal 2 tentang Jati Diri TNI, di mana ayat 4 berbunyi:
“tentara yang profesional adalah tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak
berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan
politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan
hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi.”
Sejarah keterlibatan militer Indonesia ke dalam dunia bisnis dimulai sejak awal tahun
1950an, di mana mereka melakukan aktivitas ekonomi untuk mencari tambahan pemasukan guna
membiayai berbagai operasi militer maupun untuk memupuk kekayaan pribadi. Mula-mula
aktivitas bisnis militer terbatas pada pengadaan barang ilegal berupa penyelundupan, namun
keterlibatan militer dalam bidang ekonomi semakin diperluas ketika tahun 1957 terjadi
pengambil-alihan perusahaan-perusahaan milik Belanda (nasionalisasi perusahaan) yang
dipimpin oleh militer. Inilah yang pada akhirnya menjadi pintu masuk bagi keterlibatan militer

dalam dunia bisnis skala besar. Tidak lama kemudian, banyak bermunculan para “jenderal
finansial” yang kebanyakan berasal dari TNI AD, misalnya saja Jend. Soedjono Hoemardhani
yang menjadi direktur grup bisnis militer terbesar yaitu PT. Tri Usaha Bhakti, Jend. Soerjo
sebagai direktur Yayasan Dharma Putra dan grup Hotel Indonesia, dan masih banyak contoh
yang lain. Menyikapi fenomena ini, akhirnya pada tahun 2004 pemerintah memulai proses

divestasi bisnis militer, baik melalui likuidasi perusahaan-perusahaan militer maupun
menyerahkannya kepada negara. Data resmi menunjukkan bahwa dari tahun 2007 setidaknya
militer memiliki 23 yayasan, sekitar 1.000 koperasi, dan 55 perusahaan, kemudian ada pula yang
menyewakan ribuan properti dan bangunan pemerintah yang apabila dikalkulasi mencapai Rp.
3,2 trilyun dan keuntungannya mencapai Rp. 268 milyar. Namun, perburuan ini mengalami jeda
sementara karena pada tahun 2009 militer dikatakan sudah tidak lagi terlibat bisnis secara
langsung. Hal tersebut tentu bukan berarti militer sudah menghentikan aktivitas bisnis mereka
sepenuhnya, karena masih banyak ditemukan kalau mereka menggunakan cara lain, misalkan
memberikan jasa penyewaan lahan kepada perusahaan swasta, menawarkan jasa keamanan pada
perusahaan, serta memiliki sejumlah saham di perusahaan secara tidak langsung lewat yayasan
maupun koperasi. Dan lewat yayasan maupun koperasi inilah militer menjalin hubungan
kerjasama dengan para konglomerat.
Salah satu contohnya adalah kerjasama dengan konglomerat kaya, Tomy Winata, salah
seorang pengusaha yang sukses mengembangkan Artha Graha Group dan setelah diselidiki

ternyata memiliki hubungan khusus dengan Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP) yang notabene
merupakan yayasan milik militer. Artha Graha pun menjadi grup bisnis sukses karena
koneksinya dengan para pejabat militer, sehingga dengan lancarnya grup bisnis ini sukses
mengembangkan usahanya ke dalam berbagai bidang, seperti properti, konstruksi, perdangangan,
perhotelan, perbankan hingga telekomunikasi. Salah satu perusahaan bisnis properti
terkemukanya adalah Agung Sedayu Group yang kini telah sukses mengusai banyak properti
strategis di Indonesia, khususnya Jabodetabek.
Kami melihat bahwa hubungan antara para pejabat militer dengan grup bisnis besutan
Tomy Winata ini menarik untuk dikaji lebih jauh. Tentang sejauh mana kedekatan hubungan
personal antara Tomy Winata dengan beberapa pejabat militer ini telah membawa beberapa
keuntungan baik bagi perkembangan imperium bisnis Agung Sedayu Group maupun keuntungan
bagi segelintir jenderal yang bermain di dalamnya. Tidak berhenti sampai disitu, kami juga ingin
melihat sejauh mana dampak yang ditimbulkan dari keterlibatan militer di dunia usaha,
khususnya dari segi perekonomian Indonesia, karena pada dasarnya keterlibatan militer di dalam
aktivitas bisnis ini tidak boleh dipandang sebagai hal biasa, mengingat keberadaannya hanya

akan menjadi parasit pada investasi multinasional dan menjadikannya tenaga pengaman serta
beking para kriminal bisnis.
Faktor Pendukung Keterlibatan Militer Dalam Aktivitas Bisnis di Indonesia
Tampaknya peran politik dan ekonomi yang dilakukan oleh militer cenderung lebih

dominan dibanding peran pertahanan dan keamanan yang menjadi tanggung jawab utama militer.
Bukan tanpa alasan, kemunculan militer sebagai entrepreneur politik dan ekonomi ini
dikarenakan posisinya yang sangat strategis saat pemerintahan Orde Baru berlangsung selama
hampir kurang lebih tiga puluh dua tahun lamanya. Dengan dibukanya akses yang seluas-luasnya
terhadap sumber daya oleh rezim Orde Baru itulah militer dapat dengan mudahnya
mengembangkan berbagai jaringan bisnisnya. Kedekatan Soeharto dengan para jenderal militer
dan kuasanya terhadap birokrasi bahkan politik Indonesia kala itu telah menimbulkan sebuah
mindset baru bahwa para pejabat militer sebisa mungkin harus tetap terjun dalam dunia
perbisnisan atas pertimbangan sejumlah keuntungan. Mulusnya bisnis yang dijalankan oleh
militer tersebut juga dikarenakan oleh beberapa strategi sebagai berikut: [CITATION Muf07 \l
1033 ]
1. Mendorong penempatan kalangan militer di tempat-tempat “basah” untuk
mendapatkan akses-akses politik dan pelibatan dalam setiap perencanaan pemerintah,
sehingga diharapkan lewat akses tersebut segala tender atau proyek pemerintah dapat
dikuasai.
2. Berusaha meyakinkan masyarakat umum bahwa pertumbuhan ekonomi akan berjalan
dengan baik apabila melibatkan militer di dalamnya. Hal ini kemudian tertanam
menjadi sebuah pola pikir dan kebiasaan bahwa segala proyek ekonomi strategis
harus selalu melibatkan militer, karena mereka dapat menguasai fasilitas dan
melakukan kontrol terhadap keamanan.

3. Keberadaan militer menjadi urgensi tersendiri dalam hal pemenuhan kebutuhan
perusahaan untuk memperoleh jasa keamanan. Terlebih jika terdapat kasus
penguasaan lahan publik atau tanah adat oleh investor, maka sudah dapat dipastikan
perusahaan akan menyewa beberapa personil militer untuk membantu mereka dalam
mengamankan lahan serta menyingkirkan warga.

4. Melemahkan persaingan pasar dengan cara mobilisasi kekuatan koersif pada militer.
Biasanya terdapat beberapa pihak yang memanfaatkan kekuatan koersif dari militer
untuk melemahkan atau menghancurkan rival bisnisnya dengan melakukan beberapa
tekanan bahkan melalui infiltrasi.
5. Biasanya pola berbisnis militer menyerupai pola patron-client. Militer sangat
bergantung pada patron ekonomi-politik yang telah mapan. Sangat jarang ditemukan
bisnis militer yang dibangun dari nol, kebanyakan dari mereka biasanya bekerjasama
dengan perusahaan yang telah mapan. Biasanya mereka menawarkan jasa beking dan
pengamanan dengan bekal senjata yang dimilikinya.

Penegakkan Regulasi Terhadap Bisnis Militer
Sudah cukup lama kita beranjak dari rezim otoriter Soeharto yang khas dengan ABRIBirokras-Glokar (ABG) di mana anggota militer memiliki kekuasaan politik dan ekonomi yang
sama dengan pejabat lainnya menuju sistem reformasi yang menghapus dwi fungsi ABRI. Pada
tahun 2004 telah disahkan UU tentang TNI yang menjadi sebuah manifestasi ketegasan

pemerintah reformasi untuk menegaskan tugas dan fungsi TNI, yaitu pertahanan dan keamanan
negara. Sayangnya, regulasi mengenai praktik bisnis yang dijalankan oleh kalangan militer
masih menjadi sebuah pertanyaan besar dalam masyarakat. Baik pemerintah maupun pihak TNI
seringkali menyangkal dan tidak memberlakukan tindakan tegas terhadap oknum militer yang
melakukan praktik bisnis di luar ketentuan yang telah diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004
tentang TNI. Sekali lagi, Bab II Pasal 2 menjelaskan tentang Jati Diri TNI yang menekankan
bahwa TNI tidak diperbolehkan untuk berpolitik praktis dan berbisnis. Tetapi, masih sedikit
sekali pengakuan dan penegakkan hukum secara adil terhadap penyimpangan yang dilakukan
anggota militer berdasarkan UU tersebut, karena sebenarnya di dalam UU ini pun masih terdapat
kerancuan mengenai ketentuan bisnis yang dimaksud.
Dalam ketentuan regulasi terhadap bisnis di kalangan militer, pemerintah telah
membentuk Tim Supervisi Transformasi Bisnis (TSTB) TNI yang ditugaskan untuk menertibkan
praktik bisnis di kalangan militer dan membuat batasan terkait aset-aset negara yang
berhubungan dengan unit-unit usaha. Di luar kategori tersebut, bisnis lainnya tidak termasuk

sehingga tidak wajib untuk dihilangkan. Pernyataan ini jelas menimbulkan kebingungan dan
kerancuan pada UU itu sendiri. Di dalam pasal 39 ayat 3 secara tegas melarang prajutir TNI
terlibat di dalam bisnis. Pasal 49 pun menyebutkan dan mengatur kewajiban negara untuk
memenuhi hak prajurit TNI terkait pendapatan layak berdasarkan APBN. Dalam pasal 76
berisikan aturan tentang pemerintah yang berkewajiban menertibkan dan menghapus praktik

bisnis TNI. Tetapi, berdasarkan pasal-pasal tersebut, tidak didefinisikan dengan jelas bisnis apa
boleh dan tidak boleh dilakukan TNI. Pasal ini selanjutnya menyebutkan bahwa pemerintah
harus mengambil alih segala bentuk aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI dalam
kurun waktu lima tahun. Tetapi, sama seperti pasal-pasal sebelumya, tidak ada kejelasan
mengenai kategori dan definisi bisnis seperti apa yang dilarang. Lembaga Indonesia Corruption
Watch mengategorikan segala kegiatan yang bertujuan mencari laba di luar fungsi TNI sebagai
alat pertahanan merupakan bisnis militer. ICW selanjutnya membagi kategori bentuk bisnis
militer ke dalam empat macam, yaitu bisnis yang dimiliki militer, bisnis kerja sama antara militer
dan swasta, militer yang terlibat dalam aktivitas kriminal, dan tindak KKN.
Persoalan lain terkait regulasi bisnis militer ini adalah bisnis di bawah koperasi atau
yayasan. Pada dasarnya, semua orang termasuk TNI berhak melakukan usaha demi
keberlangsungan kesejahteraan bersama. Sama halnya dengan yayasan, koperasi memiliki
ratusan unit usaha yang apabila ada anggota TNI −baik secara institusi dan perorangan−
berkecimpung di dalamnya, maka dapat dikatakan anggota tersebut turut mengambil peran dalam
bisnis tadi. Dalam UU No. 16 Tahun 2001 mengenai Yayasan justru melegitimasi hukum bagi
kalangan militer untuk melakukan bisnis. Dikatakan bahwa pembatasan bisnis yayasan maksimal
penyertaan 25% dari aset yayasan, dan ini lagi-lagi menjadi poin yang sangat ambigu dan
kontras dengan pasal 39 dan 76. UU ini, hemat kami, mengatakan bahwa bisnis militer di bawah
yayasan adalah sah dengan pemenuhan prasyarat tersebut, meskipun pernyataan ini bertolak
belakang dengan PP nomor 6 Tahun 1974 tentang pembatasan kegiatan pegawai negeri dalam

usaha swasta yang melarang kalangan militer untuk berbinis.

Kisah Klasik Tomy Winata dan Militer

Tomy Winata yang lahir dengan nama Oe Suat Hong dan akrab dipanggil TW adalah
seorang pemegang perusahaan Artha Graha Group yang dianggap sebagai salah satu pengusaha
paling berpengaruh terhadap perekonomian bahkan perpolitikan Indonesia. Hal ini terlihat dari
proyek-proyeknya yang sudah bermekaran di Indonesia, baik melalui anak perusahaan maupun
dari perusahaannya langsung. Hotel Borobudur adalah salah satu dari sekian banyak konstruksi
yang perusahaannya bangun melalui PT Jakarta Internasional Hotels and Development. TW juga
memegang Sudirman Central Business District (SCBD) sebagai kawasan bisnis terbesar di
Indonesia. Tak sedikit pula mega proyek miliknya yang masih sekedar wacana seperti Signature
Tower dan Jembatan Selat Sunda. Selain memegang perusahaan, TW juga mendirikan yayasan
bernama Artha Graha Group Foundation dan Artha Graha Peduli yang aktif membantu
permasalahan sosial dan lingkungan masyarakat. Keterlibatannya dalam berbagai aspek ini
membuat posisinya sebagai salah satu pengusaha terkaya dan berkuasa di Indonesia tidak
diragukan lagi, bahkan banyak rumor yang mengatakan bahwa beliau adalah salah satu dari
sembilan pengusaha yang kerap disebut dengan Sembilan Naga.
Artha Graha Group memiliki banyak anak perusahaan yang berkecimpung di berbagai
bidang, salah satunya bidang properti yang digaungi oleh Agung Sedayu Group. Agung Sedayu

Group ini dimiliki dan dipimpin oleh Sugianto Kusuma yang sering disebut sebagai “guru” dari
Tomy Winata sendiri. Agung Sedayu Group (ASG) merupakan perusahaan yang bergerak di
bidang properti. Didirikan pada tahun 1970, pada awalnya ASG hanyalah perusahaan kontraktor
kecil yang berkantor di rumah. Pengembangan proyek ASG tersebar di Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi. Pada tahun 1991, ASG berhasil membangun Harco Mangga Dua yang
merupakan mall elektronik pertama di Jakarta. Kesuksesan ASG membangun hunian-hunian dan
kompleks komersial seperti Taman Palem yang berdiri di atas tanah seluas 200 hektar. Pada
tahun 1998 ketika terjadi krisis moneter di Indonesia sehingga menyebabkan banyak pelaku
perusahaan properti jatuh dalam usahanya, hal tersebut tidak terjadi pada ASG. Dan setelah
melewati masa krisis moneter di Indonesia, ASG kembali membangun mega proyek di Jakarta,
seperti Mangga Dua Square dan Kelapa Gading Square. Dan di masa kini, sudah dapat kita tebak
bahwa ASG selanjutnya menjadi salah satu perusahaan yang terkemuka di Indonesia.
Kedua perusahan besar di atas tidak lepas dari satu tokoh kunci yaitu Tomy Winata.
Banyak pertanyaan yang terlintas di kepala kita ketika mendengar cerita perjalanan TW, namun

yang paling sering dipertanyakan adalah mengenai sumber modal TW sendiri. Selain ketekunan
dan kerja kerasnya, TW sejak muda sudah memiliki hubungan yang cukup kental dengan militer
negara ini. Hubungan TW dengan militer tak luput dari dunia bisnis, dikatakan demikian karena
TW muda-lah yang membangun tempat tinggal militer, sekolah militer, barak, hingga distribusi
barang-barang militer. Hal ini dapat dilakukan karena relasi beliau dengan beberapa tokoh dari

kalangan militer, seperti Jenderal Tiopan Bernard Silalahi (mantan Sekjen Departemen
Pertambangan dan Energi serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pada masa Kabinet
Pembangunan VI Soeharto), Yorrys Yawerayi (Ketua Pemuda Pancasila), bahkan Yayasan
Kartika Eka Paksi. Relasi ini mempermudah ekspansi bisnis TW ke dunia militer Indonesia
sehingga beliau dan anak-anak perusahaannya bisa mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh di
dunia militer.
Kisah sukses bisnisnya dimulai ketika beliau diperkenalkan dengan Komandan Rayon
Militer di Singkawang, Kalimantan Barat. Perkenalan inilah yang selanjutnya menjadi awal
hubungannya dengan militer. Hubungan ini berlanjut ketika akhirnya TW dipercaya membangun
kantor Koramil di sana dan sering diminta untuk mengerjakan proyek pembangunan barak
tentara, sekolah tentara, serta sebagai penyalur perlengkapan ke markas tentara di Irian Jaya,
Ambon, dan Ujung Pandang [ CITATION Tim12 \l 1057 ]. Selain itu, kepiawaiannya berkeja
sama dengan pihak militer dibuktikan dengan berdirinya PT. Danayasa Arthatama pada tahun
1989. Perusahaan ini bekerja sama dengan Yayasan Kartika Eka Paksi milik Angkatan Darat
untuk membangun proyek luar biasa Panglima Besar TKR/TNI dan SCBD yang menghabiskan
biaya hingga US$ 3,25 miliar. Tentu sebuah angka yang fantastis untuk proyek pembangunan.
Hasil dari kesuksesan kerja sama inilah yang membuat Artha Graha milik TW memiliki talian
yang erat dengan militer dalam hal bisnis barak militer di Indonesia dan kegiatan operasi militer
[ CITATION Tim11 \l 1057 ].
Dari penjelasan di atas dapatlah dilihat bahwa betapa hebatnya hubungan Tomy Winata
dengan pejabat-pejabat militer, bahkan juga dikatakan bahwa TW telah berhasil “mengantongi”
banyak jenderal di Indonesia. Melalui pemaparan di atas juga dapat dilihat bahwa hubungan TW
dan militer tidak sebatas urusan pengabdian terhadap negara, melaikan urusan uang, proyek, dan
penggunaan kekuasaan. Dan melalui kerja sama yang telah terbangun selama ini, tidak menutup
kemungkinan bahwa TW menggunakan militer dalam kelancaran bisnisnya.

Pada kesempatan yang lain perusahaan Artha Graha juga diuntungkan dengan bantuan
pihak militer. Misalnya saja saat Artha Graha berusaha ingin memperluas imperium bisnisnya
sampai ke Aceh, maka strategi yang dilakukan oleh TW adalah dengan menggunakan jasa land
clearing oleh tentara pasca tsunami Aceh, tentara pun juga disebar hampir sampai ke seluruh
daratan Aceh sebagai upaya mencegah rakyat Aceh agar tidak menolak ekspansi bisnis yang
akan atau tengah dilaksanakan. Tidak jarang juga kita temukan para mantan pejabat militer yang
kemudian mengisi posisi yang cukup strategis di perusahaan Artha Graha Group, misalnya saja
Letjend TNI (Purn) Kiki Syahnakri yang sejak tahun 2002 hingga Juli 2005 telah dipercaya
menjabat sebagai Komisaris Utama PT. Bank Artha Graha. Dilanjutkan pada bulan Juli 2005
hingga Juni 2012 menjabat sebagai Komisaris Utama PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk.
Dan kemudian semenjak Juni 2012 beliau merangkap jabatan sebagai Komisaris Independen PT.
Bank Artha Graha Internasional, Tbk. Hal ini menunjukkan bahwa kerja sama yang awalnya
hanya sebatas kerjasama pembangunan kantor Koramil, kini telah merembet ke hal-hal yang
lebih luas. Hal inilah yang menunjukkan bahwa bisnis-bisnis besar di Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari kerja sama pihak militer.

Dampak Penguasaan Ekonomi Terhadap Kondisi Ekonomi dan Sosial Indonesia
Selain Tomy Winata, kita tahu sederet nama pengusaha besar lain yang bisnisnya sudah
sangat meluas. Misalkan nama Hary Tanoe (HT) yang sukses di perusahaan media MNC, RCTI,
ditambah lagi Partai Perindo, kemudian ada juga Budi Hartono dan Michael Hartono bersaudara
pemilik Djarum Group yang dinobatkan majalah Forbes sebagai orang terkaya di Indonesia, dan
lain-lain. Investasi dari perusahaan-perusahaan besar inilah yang kemudian menguasai sebagian
besar aset dan perekonomian Indonesia. Pernyataan ini bisa dibuktikan dengan hasil dari
beberapa riset yang menunjukkan bahwa 70% aset negara dikuasai oleh etnis tertentu sedangkan
rakyat hanya bisa menikmati 30% sisanya. Persentase ini juga diprediksi akan meningkat di
tahun-tahun kedepannya sehingga Indonesia akan semakin dikuasai oleh pengusaha elit saja.
Jika dilihat dari segi positifnya, perusahaan elit seperti Artha Graha Group dan Agung
Sedayu Group turut menyumbang peningkatan ekonomi Indonesia, baik dari segi infrastruktur,
kegiatan sosial, sampai kegiatan agama tertentu. Kita tentunya sudah banyak mendengar tentang

pengusaha-pengusaha yang “terjun” dan “blusukan” ke daerah tertentu. Tomy Winata sendiri
mendirikan Yayasan Artha Graha Peduli di bawah naungan bank yang didirikannya. Yayasan ini
fokus pada kegiatan-kegiatan sosial masyarakat dengan lima pilar kepedulian, yaitu membantu
penanganan dini para korban bencana alam, kegiatan sosial kemanusiaan dalam ketahanan
pangan, pendidikan, kesehatan, kemudian kepedulian atas pelestarian lingkungan, bantuan
hukum dan rumah keadilan bagi masyarakat yang memerlukan [ CITATION kan13 \l 1033 ].
Aktivitas TW lainnya yaitu memberikan bantuan sembako di berbagai panti jompo dan panti
asuhan di daerah Jabodetabek. Selain itu, Yayasan Artha Graha ini juga beberapa kali terlibat
dalam penanganan bantuan bencana alam seperti gempa dan tsunami Aceh, Yogyakarta, Padang,
Papua, dan lain-lain [ CITATION Tim11 \l 1033 ]. Segala bantuan tersebut tentunya membuat
tokoh ini cenderung disukai masyarakat karena dianggap dekat dan sangat royal. Selain itu, basis
perusahaan elit di atas yang sudah multinasional secara langsung telah memperkenalkan
kompetensi Indonesia di kancah internasional.
Namun tentunya kita tidak secara naif menganggap bahwa pengaruh bisnis dari
perusahaan tersebut sangat membantu masyarakat, karena pada nyatanya mereka-lah yang
memarginalkan usaha-usaha kecil yang dibangun oleh rakyat menengah ke bawah. Usaha kecil
rakyat yang sangat lemah dari segi modal, kapasitas sumber daya manusia dan kualitas hasil
tentu tidak akan mampu bersaing dengan usaha raksasa bisnis tersebut. Belum lagi ditambah
dengan adanya perselingkuhan politik antara negara dan investor yang menyebabkan masyarakat
semakin tidak berdaya saja. Dan tidak heran kalau akhirnya yang terjadi adalah masyarakat tidak
berkembang dan akan terus menjadi kecil sedangkan usaha besar seperti kedua bisnis akan
semakin menguasai Indonesia. Apalagi dengan terlibatnya militer dengan perkembangan kedua
bisnis ini yang semakin membuat usaha-usaha kecil tidak bisa berkutik ketika bersaing dengan
usaha-usaha besar.
Imbas dari keterikatan ketiga aktor ini berimplikasi pada ruang-ruang sosial, politik,
lingkungan, dan budaya masyarakat. Masih segar di ingatan kita tentang kasus reklamasi Teluk
Benoa yang dikabarkan meraup dana hingga US$ 15 miliar. Singkatnya, mega proyek ini
digaungkan oleh Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) yang masih merupakan bagian dari
Artha Graha Group. Proyek Reklamasi Teluk Benoa ingin membangun sekitar 12 pulau baru
dengan lahan seluas 700 hektar untuk dijadikan resor, lengkap dengan fasilitas pertokoan dan

pertamanan. Untuk itu akan didatangkan 40 juta meter kubik pasir dari luar Teluk Benoa.
Wacana ini mendatangkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, sehingga masyarakat seakan
terbagi dua karena perbedaan pendapat ini. Reklamasi ini tentu akan menjadi bencana
lingkungan karena merusak terumbu karang yang seharusnya dilindungi sebagai daerah cagar
alam, kemudian dikhawatirkan akan terjadi banjir karena pembangunan reklamasi akan
berpengaruh pada lima sub daerah aliran sungai (sub-DAS), yaitu DAS Badung, DAS Mati, DAS
Tuban, DAS Bualu, dan DAS Sama. Pembangunan ini akan berpengaruh pada berkurangnya
wilayah tampungan air sehingga banjir di Bali Selatan tidak terelakkan [ CITATION Dim15 \l
1033 ]. Para aktivis lingkungan khawatir, nantinya sampah proyek dan resor baru itu akan
dibuang ke Teluk Benoa sehingga air bersih akan menjadi langka dan rencana pembangunan
yang memotong jalur muara tiga sungai itu bisa menyebabkan banjir di musim hujan
[ CITATION dwc16 \l 1033 ]. Selain lingkungan, proyek ini juga dinilai akan merusak tatanan
agama masyarakat Bali. Masyarakat khawatir akan menodai kawasan yang dianggap suci oleh
kaum Hindu dan jika kedepannya akses terhadap kegiatan keagamaan akan sulit karena Bali
akan semakin penuh sesak dengan turis. Belum lagi ditambah dengan fakta bahwa nelayan akan
kehilangan pekerjaannya. Hal ini menurut kami tidak bisa dibantahkan dengan penawaran TWBI
yang menyediakan ratusan ribu lowongan pekerjaan, karena naluri seseorang yang sudah sejak
lahir terbiasa dengan laut dan mencari ikan akan sangat sulit digantikan dengan pekerjaan
sebagai pegawai hotel, dan lain-lain.
Dari segi politik, ternyata perselingkuhan negara dengan investor dapat dibuktikan karena
tahun 2014, sebelum meninggalkan jabatannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengeluarkan Perpres No 51 Tahun 2014 yang mengubah status kawasan itu dari "wilayah
konservasi" menjadi "wilayah revitalisasi" [ CITATION dwc16 \l 1033 ]. Dan selanjutnya, bisa
ditebak kalau TWBI kemudian mengumumkan proyek reklamasi Teluk Benoa. Tidak sampai di
sini saja, pemerintah Bali pun tidak melakukan hal-hal pencegahan reklamasi karena sampai saat
ini proyek tersebut terus berjalan meskipun sudah banyak suara penolakan dari masyarakat dan
analisis mengenai dampak lingkungan yang akan terjadi. Bantuan dari polisi dan militer pun
tidak kalah penting untuk menahan perlawanan masyarakat. Polisi melakukan blunder dengan
cara menakut-nakuti aktivis yang mendukung penolakan terhadap reklamasi Teluk Benoa. Kabid
Humas Polda Bali, Komisaris Besar Anak Agung Made Sudana, seperti ditulis situs
nusantara.rmol.co, mengancam sejumlah orang yang bersuara menentang dan menolak reklamasi

Teluk Benoa dan mendukung gerakan ForBali. Salah satu yang diancam adalah Sudana, yang
merupakan aktivis dan seniman, dan Hadi Joban. Hadi, menurut Sudana memposting status di
facebook, “Merdeka dari NKRI Harga Mati.” Joban, oleh polisi dianggap mendukung gerakan
separatis, memisahkan Bali dari Indonesia. Padahal jelas-jelas pernyataan Joban itu merupakan
ekspresi kekesalan terhadap pemerintahan Jokowi yang nampak pro taipan dalam reklamasi
Teluk Benoa dan reklamasi di Teluk Jakarta. Sejumlah advokat kebebasan berekspresi juga
mempertanyakan sikap polisi itu. Pengetahuan polisi yang minim tentang UU ITE, dan tindak
pidana makar, sehingga bicara seenaknya tanpa dasar. Mereka menduga polisi ikut membekingi
taipan rakus yang mereklamasi Teluk Benoa [ CITATION kab16 \l 1033 ].
Kesimpulan
Perselingkuhan politik antara pebisnis dan militer ini tidak boleh dibiarkan menjadi hal
yang lumrah. Negara sebagai sang empunya otoritas harus bertindak tegas dan bertanggung
jawab atas UU No. 34 Tahun 2004 yang telah disahkan terlebih dahulu, bukannya justru
berkecimpung untuk menyukseskan perzinahan ini. Militer harus dibatasi kewenangannya, yaitu
hanya untuk menjaga pertahanan negara. Oleh karena itu, negara harus bertanggung jawab penuh
untuk menyejahterakan warganya, termasuk pemenuhan kesejahteraan bagi keluarga anggota
TNI agar mereka tidak lagi mencari sumber dana lain dan akhirnya terlibat pada transaksi
ekonomi dan politik dengan para investor. Di sisi yang lain, masyarakat pun harus terus
melakukan fungsi pengawasan. Media dan LSM tidak boleh lengah dan terlena dengan profitprofit yang ditawarkan, karena sejatinya pihak yang dirugikan adalah selalu masyarakat. Maka
dari itu, sinergisitas antar aktor sangat diperlukan untuk terus mengawal jalannya sirkulasi
ekonomi dan kekuasaan negara, sehingga pembangunanisme tidak hanya dijalankan atas
simbiosis mutualisme negara, modal dan militer saja, tetapi juga mengkonsolidasi keterlibatan
politik, ekonomi dan sosial masyarakat.
Pada akhirnya, kita semua wajib mengawal terus kasus ini supaya tidak ada lagi
pengusaha-pengusaha lain yang terinspirasi dari persahabatan yang dimiliki TW dan militer,
sementara ambiguitas posisi negara malah menjadi bumerang dan instrumen kekuasaan untuk
menindas rakyat. Bahwa hakikat demokrasi yang berbunyi pemerintahan dari, oleh, dan untuk
rakyat harus selalu kita upayakan supaya sokongan dana dari investor, kekuasaan yang dimiliki
negara dan kekuatan dari militer tidak lagi dapat melumpuhkan masyarakat untuk bergerak,

sehingga jargon demokrasi yang digaungkan oleh Abraham Lincoln ini bukan hanya berlaku bagi
mereka yang punya kekuasaan.

Referensi
Sumber buku
M. Najib Azca, Ahmad Muzakki Noor, Haris Azhar, Muhammad Islah, Mufti Makarim Al-Akhlaq, 2004.
Ketika Moncong Sejata Ikut Berniaga. Jakarta: KontraS.
Victor Silaen, Jerry Rudolf Sirait, Yanedi Jagau, Abraham Simatupang, dkk, 2006. Dr. Johannes Leimena
Negarawan Sejati dan Politisi Berhati Nurani. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Sumber online
agungsedayu, n.d. Agung Sedayu Group. [Online]
Available at: http://www.agungsedayu.com/?page_id=87
[Accessed 26 November 2016].
Amarullah, A., 2009. VIVAnews. [Online]
Available at: http://m.news.viva.co.id/news/read/25317-kini-hidupnya-dihabiskan-untuk-orang-miskin
[Accessed 27 November 2016].
Anneharia, 2015. Agung Sedayu Group dan Jejak Bisnisnya. [Online]
Available at: http://www.anneahira.com/agung-sedayu-group.htm
[Accessed 26 11 2016].
Anon., 2011. Bisnis Militer pada Masa Orde Baru (1970-1998). [Online]
Available at: http://macheda.blog.uns.ac.id/2011/07/19/bisnis-militer-pada-masa-orde-baru-1970-1998/
[Accessed 23 November 2016].
Banten, T. J., 2012. Kerajaan Bisnis Tomy Winata Makin Menggurita. [Online]
Available at: http://jabarbanten.com/tokoh/kontraktor-dan-real-estate/206-tokoh/kontraktor-realestate/319-kerajaan-bisnis-tommy-winata-makin-menggurita
[Accessed 28 11 2016].
Bayu, D. J., 2015. kompas.com properti. [Online]
Available at:
http://properti.kompas.com/read/2015/02/27/200014121/Ekologi.Bali.Selatan.Terancam.Rusak.karena.
Reklamasi
[Accessed 30 November 2016].

Bisnishack, T., 2011. Kisah Perjalanan Bisnis Tomy Winata. [Online]
Available at: http://www.bisnishack.com/2014/08/kisah-perjalanan-bisnis-tommy-winata.html
[Accessed 28 11 2016].
dw.com, 2016. DW Made for minds. [Online]
Available at: http://www.dw.com/id/kisruh-di-pulau-dewata-sebagian-warga-bali-tolak-reklamasi-telukbenoa/a-19502209
[Accessed 30 November 2016].
Hakim, H., 2003. Politik Indonesia. [Online]
Available at: http://www.politikindonesia.com/m/index.php?ctn=1&k=politik&i=1418-Gus-Dur,Judi-danTomy
[Accessed 25 November 2016].
icw, n.d. Indonesia Corruption Watch. [Online]
Available at: www.antikorupsi.org/en/content/penertiban-bisnis-tni-upaya-hapus-tentara-nyambi
[Accessed 26 November 2016].
IndonesianReview.com, 2015. IndonesianReview.com Leading The Future. [Online]
Available at: http://indonesianreview.com/alfi-rahmadi/indonesia-dalam-lilitan-mafia
[Accessed 25 November 2016].
Indonesia, P. R., n.d. Penjelasan Atas UU RI Nomor 16 Tahun 2001. [Online]
Available at: http://jdih.risetdikti.go.id/?q=system/files/perundangan/207323289.pdf
[Accessed 26 November 2016].
kabarin.co, 2016. kabarin.co. [Online]
Available at: https://www.kabarin.co/aktivis-hadi-joban-gua-pasti-lawan-penindasan/
[Accessed 30 November 2016].
kanalsatu, 2013. kanalsatu.com. [Online]
Available at: http://kanalsatu.com/id/post/5015/tomy-winata--sosok-pelestari-lingkungan
[Accessed 29 November 2016].
Makarim, M., 2007. Pelanggaran HAM; Warisan (Maut)Keterlibatan Militer Dalam Bisnis. [Online]
Available at: https://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/pelanggaran-ham-warisanmautketerlibatan-militer-dalam-bisnis/
[Accessed 28 November 2016].
merdeka.com, n.d. merdeka.com. [Online]
Available at: http://profil.merdeka.com/indonesia/t/tommy-winata/
[Accessed 27 November 2016].
Ratya, M. P., 2016. detikcom. [Online]
Available at: m.detik.com/news/berita/3179405/profil-aguan-bos-agung-sedayu-group-yang-dicegah-

kpk-ke-luar-negeri
[Accessed 26 November 2016].
Setiawan, B., 2016. Reformasi Militer Di Bidang Bisnis, Kapan Dituntaskan?. [Online]
Available at: http://indoprogress.com/2016/10/reformasi-militer-di-bidang-bisnis-kapan-dituntaskan/
[Accessed 23 November 2016].
Wardhani, M. K., n.d. Biografi Tommy Winata. [Online]
Available at: http://profil.merdeka.com/indonesia/t/tommy-winata/
[Accessed 2016 November 29].