Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perspektif Nilai Individu, Hubungan Kerja dan Sistem Kerja Karyawan Generasi Y dan Generasi X di Indonesia T2 912014003 BAB I

(1)

1

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Dewasa ini dalam organisasi terdapat berbagai macam generasi (Gursoy, Chi, & Karadag, 2013). Generasi merupakan sebuah kelompok yang terdiri atas individu dengan kisaran umur yang sama yang telah mengalami peristiwa sejarah yang sama dalam periode waktu yang sama (Ryder, 1965). Setidaknya terdapat empat generasi berbeda yang bekerja dalam sebuah organisasi, yaitu silent generation atau traditionalists (1925- 1945), baby boomers (1946- 1964), generasi X (1965- 1981), dan millennials atau generasi Y (1982-1999) (Schoch, 2012; Hillman, 2013; Schullery, 2013).

Masing-masing generasi ternyata memiliki perspektif yang berbeda dan organisasi harus mengetahui apa perspektif yang dimiliki oleh setiap generasi (Keene & Handrich, 2015). Bila mengetahui apa perspektif yang dimiliki setiap generasi, organisasi dapat melakukan pengelolaan secara optimal, karena pengelolaan harus disesuaikan dengan perspektif masing-masing generasi (Clare, 2009; Costanza et al., 2012). Adapun secara umum perspektif yang dimiliki oleh setiap generasi adalah sebagai berikut:

Tabel 1.1. Perspektif Berbagai Generasi

Generasi Perspektif

Traditionalists (1925-1945)

Menyenangi pekerjaan tetap daripada wirausaha, berhati- hati, tidak imaginatif, tidak original, fasilitator atau senang membantu, dapat membuat keputusan namun bukan pemimpin, melakukan sesuatu tanpa alasan, tidak senang membuat kekacauan, fokus untuk internal pribadi, pekerja keras, menghormati kekuasaan, logis, disiplin, berdedikasi, berkorban, dan konservatif.

Baby Boomers (1946-1964)

Senang menggembar-gemborkan keinginan, namun sering gagal mencapai ekspektasi semula, puas dengan diri sendiri, asyik dengan diri sendiri, sombong secara intelektual, dewasa dalam


(2)

sosial, bijak dalam kultur, berpikir kritis, spiritual, beragama, memiliki semangat dari dalam diri, radikal, kontroversial, tidak senang membantah, percaya diri, dan penyabar, optimis, kepuasaan dan pertumbuhan personal, berdasarkan persetujuan umum, adil, ditekan waktu dan materialistis, bekerja lembur, pertemuan antar muka, menghargai nilai dan ingin dikenal. Generasi X

(1965-1981)

Sinis, mudah curiga membawa beban dunia, penakut, mudah kehilangan arah, menyia- nyiakan, sulit diperbaiki, in-your-face, hingar- bingar, mudah terkejut, tidak berpendidikan, dangkal, tidak dapat dibudayakan, memiliki kedewasaan, pragmatis, apatis, tidak peduli dengan politik, tidak terikat, percaya pada diri sendiri, fatalistis, mengejek, belum mencapai pencapaian, menerima keberagaman, melek teknologi, keseimbangan kehidupan dan kerja, informal, skeptis dan individualistis. Generasi Y

(1982-1999)

Idealistis, optimis, kooperatif, bekerja dalam tim, berkolaborasi, terus menerus berlatih, mentoring dan mengembangkan karir, percaya, menerima perintah, pengikut peraturan, pintar, bersifat kewarganegaraan, spesial, dilindungi, percaya diri, mengejar keberhasilan atau pencapaian tertentu, ditekan, konvensional, menerima keberagaman, egois, lebih menghargai reward baik intrinsik maupun ekstrinsik, sinis, narsis, melek teknologi, multitasking, menghargai posisi dan jabatan,

Keterangan. Diadopsi dari hasil penelitian oleh Kodatt, 2009; Kowske, Rasch, & Wiley, 2010; Hillman, 2013; Tremblay et al., 2013; Chen & Lian, 2015.

Dapat kita lihat perspektif generasi secara umum melalui tabel di atas. Akan tetapi saat akan digunakan untuk menyesuaikan pengelolaan apa yang baik yang perlu organisasi lakukan, mengetahui perspektif setiap generasi secara umum tidaklah cukup. Organisasi perlu mengetahui perspektif dari setiap generasi secara lebih spesifik, yaitu bagaimana perspektif mereka terhadap nilai individu yang mereka miliki di organisasi, hubungan kerja dengan karyawan lain dan sistem kerja yang diterapkan oleh organisasi. Nilai individu yang dimaksud adalah kreatifitas, etika, adaptasi, kecepatan kerja, makna pekerjaan dan learning style yang karyawan tersebut miliki dalam dirinya saat di organisasi. Sedangkan hubungan kerja dapat dilihat dari teamwork, metode komunikasi, tipe kepemimpinan, dan loyalitas. Kemudian pada sistem kerja


(3)

dapat dilihat melalui pelatihan, feedback, promosi, rotasi kerja, kompensasi, instruksi pekerjaan yang perlu dilakukan, keterlibatan dalam pengambilan keputusan manajemen, work family balance dan fleksibilitas jam kerja.

Pertama ditinjau pada karyawan generasi tradisionalist, baby boomers dan generasi X yang akan diwakili oleh generasi X, karena generasi X memiliki perspektif yang tidak jauh berbeda dengan perspektif generasi traditionalist dan baby boomers (Welsh, 2010; Cogin, 2012; Schullery, 2013; Spears, 2015). Saat ditinjau lebih spesifik pada karyawan generasi X, mereka memilik perspektif terkait nilai individu bahwa mereka tidak kreatif karena jarang berinovasi, sehingga hanya bekerja dengan pola yang sudah ada (Nambiyar, 2014). Di samping itu mereka merasa bahwa mereka memiliki toleransi terhadap pelanggaran etika (Vanmeter et al., 2013). Mereka juga menganggap bahwa mereka tidak terlalu mudah beradaptasi dengan berbagai atribut yang ada (Nambiyar, 2014), tidak memiliki kecepatan kerja karena lebih mementingkan proses berpikir dan berefleksi terlebih dahulu dibandingkan langsung bertindah (Keegan, 2011). Kemudian bagi mereka, pekerjaan merupakan tantangan yang sulit dan merupakan sebuah kontrak, sehingga tidak terlalu menghayati apa makna pekerjaan yang mereka jalani (Young, 2009). Selain itu bagi karyawan generasi X, cara belajar yang diinginkan adalah cara belajar yang bertahap karena mereka tidak dapat menerima informasi yang besar dalam waktu singkat (Keegan, 2011) dan tidak mampu belajar dengan cepat (Nambiyar, 2014).

Kemudian, karyawan generasi X memiliki perspektif terkait hubungan kerja di organisasi bahwa bekerja lebih baik dilakukan sendiri daripada di dalam sebuah teamwork, karena mereka lebih mementingkan diri sendiri (Kodatt, 2009) dan tidak mudah bergaul dengan individu lain (Montana & Petit, 2008). Di samping itu, mereka juga lebih senang dengan metode komunikasi yang lebih konvensional seperti komunikasi tatap muka dan bila harus menggunakan teknologi seperti telepong genggam, mereka hanya ingin dihubungi saat


(4)

ditempat kerja atau pada jam kerja (Young, 2009). Saat ditinjau tentang tipe kepemimpinan yang diinginkan, mereka cenderung lebih senang dengan pemimpin yang otoritatif karena mereka memiliki kebutuhan akan kekuasaan yang besar (Mhatre & Conger, 2011). Kemudian mereka juga cenderung loyal pada organisasi, walaupun terkadang terdapat harapan yang belum tercapai di organisasi (Ertas, 2015).

Saat perspektif terkait sistem kerja yang diterapkan oleh organisasi ditinjau, karyawan generasi X ingin menjalani pelatihan yang lebih konvensional, seperti tatap muka, membaca bahan pelatihan, diskusi dan mentoring (Purwanti, Rizky, & Handriyanto, 2013). Di samping itu, saat ada feedback dari organisasi, mereka ingin segera mendapatkannya secara langsung dan cepat (Young et al., 2013). Mereka juga tidak ingin mendapatkan tantangan saat bekerja, sebab mereka ingin bekerja dengan lebih santai dan tidak ingin terlalu serius (Stanley, 2010), ingin mendapatkan promosi namun tidak terlalu berekspektasi terlalu besar (Young et al., 2013), menghindari rotasi kerja (Nambiyar, 2014), dan tidak puas dengan kompensasi yang ada, sehingga ingin meningkatkan kompensasi (Young et al., 2013). Kemudian generasi ini merasa bahwa walaupun mereka dapat melakukan pekerjaan multitasking (Young et al., 2013), lebih baik mereka diberikan instruksi yang eksplisit dan jelas pada satu jenis pekerjaan saja (Keegan, 2011). Karyawan generasi X juga tidak ingin terlalu terlibat dalam pengambilan keputusan manajemen, sebab mereka tidak ingin memberikan tekanan pada pekerjaan yang dilakukan (Stanley, 2010). Saat dilihat dari pandangan terhadap keseimbangan kehidupan di tempat kerja dengan keluarga (work-family balance), mereka beranggapan bahwa kehidupan bersama keluarga merupakan hal yang penting (Young, 2009), sehingga keseimbangan perlu ada. Dan walaupun mereka dapat bekerja dalam jangka waktu panjang, mereka juga ingin bekerja dengan jam kerja yang lebih fleksibel (Roebuck, 2013).


(5)

Kemudian beralih kepada karyawan generasi Y, dimana perspektif mereka turut penting diketahui. Walaupun mereka baru memasuki dunia kerja, perspektif yang mereka bawa ke dalam organisasi jauh berbeda dari perspektif generasi- generasi sebelumnya yang telah dikenal oleh organisasi (Welsh, 2010; Cogin, 2012; Schullery, 2013; Spears, 2015), seperti perbedaan nilai, ekspektasi, cara berpikir, bertindak atau berperilaku, dan cara belajar (Ng, Schweitzer, & Lyons, 2010; Idrus, Ng & Jee, 2014). Bahkan perbedaan perspektif yang dibawa generasi ini telah menimbulkan guncangan (Welsh & Brazina, 2010) dan membawa dampak besar bagi organisasi (Shih & Allen, 2006). Sebab generasi Y sebagai pemilik perspektif tersebut telah memasuki dunia kerja dalam jumlah yang sangat besar dalam kurun waktu singkat (Vanmeter et al., 2012).

Di samping itu, perbedaan ini dibawa oleh generasi yang paling berpengaruh dibanding generasi lainnya (Shih & Allen, 2006), sebab mereka akan menentukan bagaimana bisnis dijalankan, menetapkan perilaku yang dapat diterima organisasi (Borodin, Smith, & Bush, 2010; Ertas, 2015) dan akan menentukan kesuksesan organisasi di masa depan (Murphy, 2012). Bahkan lambat laun peran serta tanggung jawab mereka akan bertambah untuk mengisi posisi para generasi sebelumnya yang akan pensiun dari dunia kerja (Hillman, 2013; Ertas, 2015), sehingga organisasi dipaksa untuk membangun ulang strategi berdasarkan perspektif generasi Y agar dapat mengelola generasi Y dengan baik (Nambiyar, 2014). Oleh karena itu, Lai, Chang, dan Hsu (2011) menyatakan bahwa bila kita mengetahui perspektif para generasi Y tersebut, mereka dapat dikelola untuk menjadi individu yang berkualitas, terlebih untuk bersaing di tengah kompetisi yang semakin ketat, sehingga (Ng, Schweitzer, & Lyons, 2010) menyatakan bahwa organisasi penting untuk mengetahui perspektif karyawan generasi Y.


(6)

Saat ditinjau lebih spesifik tentang perspektif terhadap nilai individu yang mereka miliki, karyawan generasi Y merasa bahwa mereka adalah karyawan yang kreatif, sehingga senang mencapai tujuan melalui metode atau caranya sendiri (Cates, 2014) dan memiliki inovasi (Nambiyar, 2014). Mereka juga menjunjung nilai etika dan memiliki toleransi rendah terhadap pelanggaran etika (Vanmeter et al., 2013), dapat dengan mudah beradaptasi pada berbagai atribut yang ada (Nambiyar, 2014), perubahan yang terjadi (Gardner, 2006) dan terbuka untuk berubah (Welsh, 2010). Kecepatan kerja yang mereka miliki juga baik, sebab mereka merasa lebih penting bertindak cepat daripada menghabiskan waktu untuk berpikir (Keegan, 2011).

Mereka juga tidak senang dengan prosedur dan proses yang tidak perlu sebelum melakukan tindakan, sehingga bekerja pintar dan cepat akan sangat diandalkan (Nambiyar, 2014). Kemudian bagi mereka makna pekerjaan adalah suatu hal yang penting, sehingga mereka akan mencari pekerjaan yang bermakna untuk memperoleh kepuasan (Ng & Schweitzer, 2010). Selain itu saat belajar mereka lebih memilih untuk belajar dalam jumlah besar, sebab mereka adalah pelajar aktif (Gardner, 2006) yan memiliki kemampuan belajar yang cepat (Nambiyar, 2014) dan dapat menerima informasi yang beragam dalam jumlah besar pada waktu singkat (Keegan, 2011).

Kemudian saat ditinjau perspektifnya pada hubungan kerja, mereka ingin bekerja dalam teamwork (Welsh, 2010; Vanmeter et al., 2013, Nambiyar, 2014). Metode komunikasi yang mereka senangi merupakan metode komunikasi yang menggunakan media komunikasi yang memanfaatkan kemajuan teknologi, seperti Internet, telepon, mobile phone, media digital (Welsh, 2010; Cates, 2014; Nambiyar, 2014). Mereka juga bersedia dihubungi pada jam kapanpun, walaupun diluar jam kerja (Young, 2009). Sebab mereka merupakan karyawan yang partisipatif dan interaktif (Kodatt, 2009). Saat ditinjau tipe kepemimpinan yang diinginkan, mereka ingin memiliki tipe kepemimpinan yang partisipatif


(7)

(Young, 2009) karena mereka senang berkolaboratif (Mhatre & Conger, 2011). Mereka juga merupakan karyawan yang cenderung kurang loyal terhadap organisasi, terlebih bila harapannya tidak tercapai (Reed, 2011; Minter, 2013; Jackson, 2014), sehingga mereka mudah berganti-ganti pekerjaan (Roebuck, Smith, & Haddaoui, 2013).

Ketika dilihat bagaimana perspektifnya terhadap sistem kerja, karyawan generasi Y cenderung menyukai metode pelatihan yang modern, dimana terdapat penggunaan media seperti media belajar audio visual yang memanfaatkan kemajuan teknologi dibanding hanya secara konvensional (Young et al., 2013). Mereka juga meminta feedback dengan segeram namun lebih senang diberikan dalam bentuk pujian secara berkala (Nambiyar, 2014) dan sulit menerimanya dalam bentuk kritikan (Welsh, 2010). Saat berada di organisasi, karyawan generasi ini ingin mendapatkan tantangan yang menantang kemampuan dirinya (Nambiyar, 2014), sehingga akan menerima tantangan mengerjakan pekerjaan yang lebih sulit dan penting (Ng & Schweitzer, 2010).

Ketika ditinjau perspektifnya terkait promosi, rotasi kerja dan kompensasi, karyawan generasi Y ingin mendapatkan promosi dalam rentan waktu yang singkat, menjalankan rotasi kerja (Nambiyar, 2014), dan mendapatkan kompensasi dalam jumlah besar dengan cepat atau dalam waktu singkat (Ng & Schweitzer, 2010). Dalam mendapatkan instruksi pekerjaan yang perlu dilakukan, mereka ingin mendapatkan insturksi yang jelas (Hillman, 2013) dan dapat melaksanakan pekerjaan multitasking atau berbagai macam pekerjaan dalam waktu hampir bersamaan (Ng & Schweitzer, 2010). Kemudian mereka juga memiliki perspektif bahwa dalam bekerja perlu ada keseimbangan antara waktu bekerja dan waktu bersama keluarga (Welsh, 2010), serta perlu ada jam kerja yang lebih fleksibel, sebab jam kerja yang kaku dapat menghambat kesenangan menjalani kehidupan bermakna di luar dunia kerja (Ng & Schweitzer, 2010; Roebuck, 2013).


(8)

Dari penjabaran di atas dapat dilihat perspektif terhadap nilai individu saat berada di organisasi, hubungan kerja dengan karyawan lain dan sistem kerja yang dibentuk organisasi (Ng, Schweitzer, & Lyons, 2010; Idrus, Ng & Jee, 2014) dari karyawan generasi X dan Y. Berbagai perspektif di atas merupakan hasil penelitian yang dilakukan di berbagai negara, seperti Australia (Cogin, 2012), Canada (Tremblay et al., 2013), China (Chen & Lian, 2015), New Zealand (Haynes, Vowles, & Boxall, 2005), dan United States (Kowske, Rasch, & Wiley, 2010; Dai & Goodrum, 2012; Hillman, 2013; Dimitriou & Blum, 2015; Keene & Handrich, 2015). Namun sayangnya penelitian serupa sangat jarang dilakukan di negara- negara Asia Tenggara, seperti Indonesia (Idrus, Ng, & Jee, 2014). Padahal generasi X dan Y tumbuh dan berkembang di Indonesia yang memiliki sejarah, situasi, kondisi dan budaya setiap negara berbeda, sehingga terdapat kemungkinan bahwa mereka memiliki perpsektif yang berbeda dengan karyawan generasi X dan Y di luar negeri (Kowske, Rasch, & Wiley, 2010). Oleh karena itu penelitian ini akan mendeskripsikan perspektif karyawan generasi X dan Y di Indonesia serta perbandingan diantara karyawan generasi X dan Y di Indonesia.

1.2.Rumusan Persoalan

Berdasarkan penjabaran di atas, maka penelitian ini akan difokuskan pada persoalan:

1. Apa perspektif karyawan generasi X di Indonesia? 2. Apa perpsektif karyawan generasi Y di Indonesia?

3. Apa perbedaan perspektif karyawan generasi X dan generasi Y di Indonesia?


(9)

1.3.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan persoalan di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan untuk:

1. Mendeskripsikan perspektif karyawan generasi Y di Indonesia. 2. Mendeskripsikan perspektif karyawan generasi X di Indonesia. 3. Mendeskripsikan perspektif karyawan generasi Y dan X di Indonesia. 1.4.Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Dengan diketahuinya perpsektif karyawan generasi X dan Y di Indonesia, diharapkan wawasan ilmu pengetahuan mengenai karyawan generasi X dan Y dan perbandingan di antara keduanya.

1.4.2. Manfaat Praktis

1. Melalui penelitian ini diharapkan organisasi dapat lebih mengenal perspektif karyawan generasi Y di Indonesia yang berada di dalam organsiasi terkait.

2. Organisasi dapat mengetahui perbedaan perspektif generasi Y dengan generasi sebelumnya, yaitu generasi X.

3. Penelitian ini juga dapat menjadi salah satu acuan yang dapat membantu organisasi dalam menentukan bagaimana cara mengelola generasi Y sesuai dengan perspektifnya.


(1)

ditempat kerja atau pada jam kerja (Young, 2009). Saat ditinjau tentang tipe kepemimpinan yang diinginkan, mereka cenderung lebih senang dengan pemimpin yang otoritatif karena mereka memiliki kebutuhan akan kekuasaan yang besar (Mhatre & Conger, 2011). Kemudian mereka juga cenderung loyal pada organisasi, walaupun terkadang terdapat harapan yang belum tercapai di organisasi (Ertas, 2015).

Saat perspektif terkait sistem kerja yang diterapkan oleh organisasi ditinjau, karyawan generasi X ingin menjalani pelatihan yang lebih konvensional, seperti tatap muka, membaca bahan pelatihan, diskusi dan mentoring (Purwanti, Rizky, & Handriyanto, 2013). Di samping itu, saat ada feedback dari organisasi, mereka ingin segera mendapatkannya secara langsung dan cepat (Young et al., 2013). Mereka juga tidak ingin mendapatkan tantangan saat bekerja, sebab mereka ingin bekerja dengan lebih santai dan tidak ingin terlalu serius (Stanley, 2010), ingin mendapatkan promosi namun tidak terlalu berekspektasi terlalu besar (Young et al., 2013), menghindari rotasi kerja (Nambiyar, 2014), dan tidak puas dengan kompensasi yang ada, sehingga ingin meningkatkan kompensasi (Young et al., 2013). Kemudian generasi ini merasa bahwa walaupun mereka dapat melakukan pekerjaan multitasking (Young et al., 2013), lebih baik mereka diberikan instruksi yang eksplisit dan jelas pada satu jenis pekerjaan saja (Keegan, 2011). Karyawan generasi X juga tidak ingin terlalu terlibat dalam pengambilan keputusan manajemen, sebab mereka tidak ingin memberikan tekanan pada pekerjaan yang dilakukan (Stanley, 2010). Saat dilihat dari pandangan terhadap keseimbangan kehidupan di tempat kerja dengan keluarga (work-family balance), mereka beranggapan bahwa kehidupan bersama keluarga merupakan hal yang penting (Young, 2009), sehingga keseimbangan perlu ada. Dan walaupun mereka dapat bekerja dalam jangka waktu panjang, mereka juga ingin bekerja dengan jam kerja yang lebih fleksibel (Roebuck, 2013).


(2)

Kemudian beralih kepada karyawan generasi Y, dimana perspektif mereka turut penting diketahui. Walaupun mereka baru memasuki dunia kerja, perspektif yang mereka bawa ke dalam organisasi jauh berbeda dari perspektif generasi- generasi sebelumnya yang telah dikenal oleh organisasi (Welsh, 2010; Cogin, 2012; Schullery, 2013; Spears, 2015), seperti perbedaan nilai, ekspektasi, cara berpikir, bertindak atau berperilaku, dan cara belajar (Ng, Schweitzer, & Lyons, 2010; Idrus, Ng & Jee, 2014). Bahkan perbedaan perspektif yang dibawa generasi ini telah menimbulkan guncangan (Welsh & Brazina, 2010) dan membawa dampak besar bagi organisasi (Shih & Allen, 2006). Sebab generasi Y sebagai pemilik perspektif tersebut telah memasuki dunia kerja dalam jumlah yang sangat besar dalam kurun waktu singkat (Vanmeter et al., 2012).

Di samping itu, perbedaan ini dibawa oleh generasi yang paling berpengaruh dibanding generasi lainnya (Shih & Allen, 2006), sebab mereka akan menentukan bagaimana bisnis dijalankan, menetapkan perilaku yang dapat diterima organisasi (Borodin, Smith, & Bush, 2010; Ertas, 2015) dan akan menentukan kesuksesan organisasi di masa depan (Murphy, 2012). Bahkan lambat laun peran serta tanggung jawab mereka akan bertambah untuk mengisi posisi para generasi sebelumnya yang akan pensiun dari dunia kerja (Hillman, 2013; Ertas, 2015), sehingga organisasi dipaksa untuk membangun ulang strategi berdasarkan perspektif generasi Y agar dapat mengelola generasi Y dengan baik (Nambiyar, 2014). Oleh karena itu, Lai, Chang, dan Hsu (2011) menyatakan bahwa bila kita mengetahui perspektif para generasi Y tersebut, mereka dapat dikelola untuk menjadi individu yang berkualitas, terlebih untuk bersaing di tengah kompetisi yang semakin ketat, sehingga (Ng, Schweitzer, & Lyons, 2010) menyatakan bahwa organisasi penting untuk mengetahui perspektif karyawan generasi Y.


(3)

Saat ditinjau lebih spesifik tentang perspektif terhadap nilai individu yang mereka miliki, karyawan generasi Y merasa bahwa mereka adalah karyawan yang kreatif, sehingga senang mencapai tujuan melalui metode atau caranya sendiri (Cates, 2014) dan memiliki inovasi (Nambiyar, 2014). Mereka juga menjunjung nilai etika dan memiliki toleransi rendah terhadap pelanggaran etika (Vanmeter et al., 2013), dapat dengan mudah beradaptasi pada berbagai atribut yang ada (Nambiyar, 2014), perubahan yang terjadi (Gardner, 2006) dan terbuka untuk berubah (Welsh, 2010). Kecepatan kerja yang mereka miliki juga baik, sebab mereka merasa lebih penting bertindak cepat daripada menghabiskan waktu untuk berpikir (Keegan, 2011).

Mereka juga tidak senang dengan prosedur dan proses yang tidak perlu sebelum melakukan tindakan, sehingga bekerja pintar dan cepat akan sangat diandalkan (Nambiyar, 2014). Kemudian bagi mereka makna pekerjaan adalah suatu hal yang penting, sehingga mereka akan mencari pekerjaan yang bermakna untuk memperoleh kepuasan (Ng & Schweitzer, 2010). Selain itu saat belajar mereka lebih memilih untuk belajar dalam jumlah besar, sebab mereka adalah pelajar aktif (Gardner, 2006) yan memiliki kemampuan belajar yang cepat (Nambiyar, 2014) dan dapat menerima informasi yang beragam dalam jumlah besar pada waktu singkat (Keegan, 2011).

Kemudian saat ditinjau perspektifnya pada hubungan kerja, mereka ingin bekerja dalam teamwork (Welsh, 2010; Vanmeter et al., 2013, Nambiyar, 2014). Metode komunikasi yang mereka senangi merupakan metode komunikasi yang menggunakan media komunikasi yang memanfaatkan kemajuan teknologi, seperti Internet, telepon, mobile phone, media digital (Welsh, 2010; Cates, 2014; Nambiyar, 2014). Mereka juga bersedia dihubungi pada jam kapanpun, walaupun diluar jam kerja (Young, 2009). Sebab mereka merupakan karyawan yang partisipatif dan interaktif (Kodatt, 2009). Saat ditinjau tipe kepemimpinan yang diinginkan, mereka ingin memiliki tipe kepemimpinan yang partisipatif


(4)

(Young, 2009) karena mereka senang berkolaboratif (Mhatre & Conger, 2011). Mereka juga merupakan karyawan yang cenderung kurang loyal terhadap organisasi, terlebih bila harapannya tidak tercapai (Reed, 2011; Minter, 2013; Jackson, 2014), sehingga mereka mudah berganti-ganti pekerjaan (Roebuck, Smith, & Haddaoui, 2013).

Ketika dilihat bagaimana perspektifnya terhadap sistem kerja, karyawan generasi Y cenderung menyukai metode pelatihan yang modern, dimana terdapat penggunaan media seperti media belajar audio visual yang memanfaatkan kemajuan teknologi dibanding hanya secara konvensional (Young et al., 2013). Mereka juga meminta feedback dengan segeram namun lebih senang diberikan dalam bentuk pujian secara berkala (Nambiyar, 2014) dan sulit menerimanya dalam bentuk kritikan (Welsh, 2010). Saat berada di organisasi, karyawan generasi ini ingin mendapatkan tantangan yang menantang kemampuan dirinya (Nambiyar, 2014), sehingga akan menerima tantangan mengerjakan pekerjaan yang lebih sulit dan penting (Ng & Schweitzer, 2010).

Ketika ditinjau perspektifnya terkait promosi, rotasi kerja dan kompensasi, karyawan generasi Y ingin mendapatkan promosi dalam rentan waktu yang singkat, menjalankan rotasi kerja (Nambiyar, 2014), dan mendapatkan kompensasi dalam jumlah besar dengan cepat atau dalam waktu singkat (Ng & Schweitzer, 2010). Dalam mendapatkan instruksi pekerjaan yang perlu dilakukan, mereka ingin mendapatkan insturksi yang jelas (Hillman, 2013) dan dapat melaksanakan pekerjaan multitasking atau berbagai macam pekerjaan dalam waktu hampir bersamaan (Ng & Schweitzer, 2010). Kemudian mereka juga memiliki perspektif bahwa dalam bekerja perlu ada keseimbangan antara waktu bekerja dan waktu bersama keluarga (Welsh, 2010), serta perlu ada jam kerja yang lebih fleksibel, sebab jam kerja yang kaku dapat menghambat kesenangan menjalani kehidupan bermakna di luar dunia kerja (Ng & Schweitzer, 2010; Roebuck, 2013).


(5)

Dari penjabaran di atas dapat dilihat perspektif terhadap nilai individu saat berada di organisasi, hubungan kerja dengan karyawan lain dan sistem kerja yang dibentuk organisasi (Ng, Schweitzer, & Lyons, 2010; Idrus, Ng & Jee, 2014) dari karyawan generasi X dan Y. Berbagai perspektif di atas merupakan hasil penelitian yang dilakukan di berbagai negara, seperti Australia (Cogin, 2012), Canada (Tremblay et al., 2013), China (Chen & Lian, 2015), New Zealand (Haynes, Vowles, & Boxall, 2005), dan United States (Kowske, Rasch, & Wiley, 2010; Dai & Goodrum, 2012; Hillman, 2013; Dimitriou & Blum, 2015; Keene & Handrich, 2015). Namun sayangnya penelitian serupa sangat jarang dilakukan di negara- negara Asia Tenggara, seperti Indonesia (Idrus, Ng, & Jee, 2014). Padahal generasi X dan Y tumbuh dan berkembang di Indonesia yang memiliki sejarah, situasi, kondisi dan budaya setiap negara berbeda, sehingga terdapat kemungkinan bahwa mereka memiliki perpsektif yang berbeda dengan karyawan generasi X dan Y di luar negeri (Kowske, Rasch, & Wiley, 2010). Oleh karena itu penelitian ini akan mendeskripsikan perspektif karyawan generasi X dan Y di Indonesia serta perbandingan diantara karyawan generasi X dan Y di Indonesia.

1.2.Rumusan Persoalan

Berdasarkan penjabaran di atas, maka penelitian ini akan difokuskan pada persoalan:

1. Apa perspektif karyawan generasi X di Indonesia? 2. Apa perpsektif karyawan generasi Y di Indonesia?

3. Apa perbedaan perspektif karyawan generasi X dan generasi Y di Indonesia?


(6)

1.3.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan persoalan di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan untuk:

1. Mendeskripsikan perspektif karyawan generasi Y di Indonesia. 2. Mendeskripsikan perspektif karyawan generasi X di Indonesia. 3. Mendeskripsikan perspektif karyawan generasi Y dan X di Indonesia. 1.4.Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Dengan diketahuinya perpsektif karyawan generasi X dan Y di Indonesia, diharapkan wawasan ilmu pengetahuan mengenai karyawan generasi X dan Y dan perbandingan di antara keduanya.

1.4.2. Manfaat Praktis

1. Melalui penelitian ini diharapkan organisasi dapat lebih mengenal perspektif karyawan generasi Y di Indonesia yang berada di dalam organsiasi terkait.

2. Organisasi dapat mengetahui perbedaan perspektif generasi Y dengan generasi sebelumnya, yaitu generasi X.

3. Penelitian ini juga dapat menjadi salah satu acuan yang dapat membantu organisasi dalam menentukan bagaimana cara mengelola generasi Y sesuai dengan perspektifnya.