STRUKTUR FUNDAMENTAL PEDAGOGI PAULO FREIRE DAN RELEVANSINYA UNTUK PENDIDIKAN INDONESIA.

(1)

STRUKTUR FUNDAMENTAL PEDAGOGI PAULO FREIRE

DAN RELEVANSINYA UNTUK PENDIDIKAN INDONESIA

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan

Program Studi Pendidikan Umum

Oleh

DHARMA KESUMA 0907863

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN UMUM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2012


(2)

STRUKTUR FUNDAMENTAL PEDAGOGI PAULO FREIRE

DAN RELEVANSINYA UNTUK PENDIDIKAN INDONESIA

DHARMA KESUMA 0907863

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PANITIA DISERTASI: Promotor Merangkap Ketua

Prof. Dr. A. Chaedar Alwasilah, MA.

NIP. 195303301980021000 Kopromotor Merangkap Sekretaris

Prof. Dr. Waini Rasyidin, M.Ed.

NIP. 130188256 Anggota

Dr. Y. Suyitno, M.Pd.

NIP. 195009081981011001 Mengetahui

Ketua Program Studi Pendidikan Umum

Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si.


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “STRUKTUR FUNDAMENTAL PEDAGOGI PAULO FREIRE DAN RELEVANSINYA UNTUK PENDIDIKAN INDONESIA” ini dan seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika ilmu yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan tersebut, saya siap menanggung risiko yang dijatuhkan kepada saya apabila dikemudian hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap karya saya.

Bandung, Januari 2013 Yang membuat pernyataan,

Dharma Kesuma NIM. 0907863


(4)

STRUKTUR FUNDAMENTAL PEDAGOGI PAULO FREIRE DAN RELEVANSINYA UNTUK PENDIDIKAN INDONESIA

Peneliti: Dharma Kesuma, NIM 0907863 Abstrak

Latar belakang penelitian ini adalah praktik-praktik Kegiatan Belajar-Mengajar (KBM) yang sering penulis jumpai sebagai dosen Jurusan Pedagogik, Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar FIP UPI, juga, beberapa pedoman pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP, lesson plan). Peneliti menyimpulkan, KBM persekolahan Indonesia dapat dinamai dengan „pengajaran‟ atau teaching atau instruction. Tujuan dan isi pembelajarannya, sebagaimana sering dijumpai pada banyak guru, bersifat kognitif, meskipun pada tataran Standar Isi (BSNP, 2006) terdapat tujuan-tujuan keyakinan/keimanan, kesadaran, dan kedirian. Terbirokratisasi pada kognitivisme, dan banyak terjadi dalam artiannya yang sempit karena tidak menerapkan keterampilan proses sains, dilatar belakangi oleh sejarah panjang pengaruh Kurikulum 1975 dengan PPSI-nya (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional). Karena itu, perlu adanya analisis struktur fundamental pedagogi untuk mengetahui relevansinya untuk pendidikan Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif non-interaktif, sumber datanya adalah dokumen, enam buah buku dari 62 karya Paulo Freire. Melalui rekonstruksi secara induktif peneliti berupaya mengungkap struktur fundamental pedagogi Freire. Di bagian akhir penelitian ini, struktur tersebut menjadi sebuah perspektif untuk menganalisis tujuan-tujuan pendidikan nasional Indonesia. Hasil penelitian ini adalah deskripsi sejumlah konsep yang merupakan struktur fundamental pedagogi Freire: metafisika, epistemologi, etika, tujuan pendidikan, proses pendidikan, dan isi pendidikan Freire. Ditambahi oleh deskripsi lingkungan strategis Freire dan analisis tujuan-tujuan pendidikan nasional Indonesia (TPNI) berdasarkan perspektif pedagogi Freire yang tergolong mazhab pendidikan kritis. Temuan-temuan penelitian ini (1) tujuan pendidikan yang sebenarnya adalah membangun manusia yang sesungguhnya, manusia dengan kedirian atau berdaulat, manusia transformator dan kreator kehidupannya atau dunianya; bukan manusia yang adaptif terhadap dunianya. (2) proses pendidikan Freireian bukan proses-proses adaptasi individu terhadap dunia, proses imposition, transfer/transmisi Iptek, penyampaian komunike, sloganisasi, pelatihan/training; tetapi adalah proses individu melakukan problematisasi, intervensi kritis, dan transformasi lingkungannya, dan proses kreasi dan re-kreasi pengetahuan (bukan konsumsi/memorisasi pengetahuan), dan proses conscientization/penyadaran diri/penemuan diri. Semua proses ini dilakukan melalui praksis dialogis. Proses pendidikan adalah etis atau politis, tidak netral (bebas nilai). Pendidik belajar bersama siswa ketika mengajar dan siswa mengajar ketika belajar bersama pendidik. (3) isi pendidikan tidak hanya Iptek, tetapi juga keterkaitannya dengan konteks sosial-budaya dan amanah diri (ontological vocation, the reason for being). Iptek tidak netral. Perspektif Freireian bersifat relevan untuk analisis TPNI. (4) Dengan ini ditemukan adanya tujuan kesadaran dan tujuan kedirian pada TPNI. Di samping hal ini, ternyata ada juga tujuan keyakinan/keimanan. Di dunia persekolahan Indonesia, tujuan kesadaran, kedirian, dan keyakinan/keimanan, pedoman pedagogisnya kurang tersedia.

Kata-kata kunci: riset kualitatif non-interaktif, teaching/instruction, transformator, kreator, problematisasi, conscientization, praksis dialogis, Iptek, konteks, kesadaran, kedirian.


(5)

FUNDAMENTAL STRUCTURE OF PAULO FREIRE’S PEDAGOGY AND ITS RELEVANCE TO PEDAGOGY OF INDONESIA

Researcher: Dharma Kesuma, NIM 0907863 Abstract

The rational of this research is practices of teaching and learning that the writer frequently finds as a lecturer of the Program of Studi of Primary Teacher Education at Department of Pedagogy at Education Faculty of Indonesia University of Education, and some guide books for lesson plan (RPP, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). The reseacher concludes, teaching and learning of Indonesian schooling can be named by “pengajaran” or “teaching” or “instruction”. Its goal and content is, as frequently found, cognitive one, despite at level of national curriculum, Standar ISI (BSNP, 2006) there are the goals of faith (keimanan), consciousness, and self. The teaching and learning have bureaucratised on cognitivism, and much happening in limited term due to not to apply the processes skills of science, and backgrounded by long history of influences of “Kurikulum 1975” through its PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional). There for, it‟s need to analyse fundamental structure of Freire pedagogy in order to know its relevance for Indonesia education. This research is a qualitative non interactive reasearch, its data sources are documents, six books of 62 works of Paulo Freire. Through reconstruction inductively, the researcher attempted to represent fundamental structure of Freire‟s pedagogy. At the end of this research report, this structure to be a perspective for analysing the goals of Indonesia national education (GINE). The results of this research are descriptions of some concepts of fundamental structure of Freire‟s pedagogy: ontology, epistemology, axiology, goal of education, educational process, and its content. Added by a description of Freire‟s strategic environment and an analysis of the educational goals of Indonesia based on Freire‟s pedagogy perspective. The findings of this research are (1) the true educational goal is to develop the true man, man with the self or the autonomy (berdaulat, bermartabat) or the consciousness, man of transformation and creation of their life or world; not the man of adaptation. (2) Educational processes of Freire are not adaptation of individuals to the world or life, process of imposition, transfer or transmission of knowledge, delivering of communique, sloganizing, training; but are the processes of problematization, to intervene critically and transform the environment, and process of creation and re-creation of knowledge (not to consume or memorize knowledge), and process of conscientization. All of these processes are performed through dialogical praxis. Educational process is ethic or political, not neutral. An educator is learning when he is teaching and the students are teaching when they are learning. (3) The content of education is not only knowledge, but also its interrelatedness with the socioculture context and the reason for being or ontological vocation of man. Knowledge is not neutral. Freireian perspective is relevant for analysing GINE. (4) So, by this is discovered there are goals of consciousness and self in GINE. Beside this, actually goal of faith (keimanan) has not yet treated particularly. In Indonesia schooling, goals of faith, self, and consciousness, their pedagogical guide books, which are different from the goals of cognitive, affective, and psychomotoric, are not available.

Key words: qualitative non interactive research, teaching or instruction, transformation, creation,conscientization, dialogical praxis, knowledge, context, consciousness, self.


(6)

DAFTAR ISI

PENGESAHAN ………..……… i

PERNYATAAN ……… ii

KATA PENGANTAR ……… iii

UCAPAN TERIMA KASIH ……… iv

ABSTRAK ……… vii

DAFTAR ISI ……….……… ix

DAFTAR TABEL ……… xi

DAFTAR GAMBAR ……….……… xii

DAFTAR LAMPIRAN ………. xiii

BAB I PENDAHULUAN ………..… 1

A. Latar Belakang ………. 1

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah Penelitian ……….. 1. Identifikasi Masalah ……… 2. Rumusan Masalah ……….. 5 5 8 C. Tujuan Penelitian ………. 8

D. Manfaat Penelitian ……… 9

E. Kerangka Pikir dan Premis Penelitian ……… 1. Kerangka Pikir ………. 2. Premis Penelitian ………. 9 9 11 BAB II STRUKTUR FUNDAMENTAL PEDAGOGI ……… 13

A. Pedagogi Amerika 1819-1929 ……… 13

B. Pedagogi sebagaimana disarankan Power ……….. 16

C. Pedagogi sebagaimana disarankan Brubacher ……… 23

D. Augustinian Pedagogy ……… 24

E. Pedagogi Banks dan Banks ………. 30

F. Pedagogi Watkins dan Mortimore ……….. 34

G. Struktur Umum Pedagogi ……… 48

H. Penelitian Terdahulu ………. 59

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……… 62

A. Pendekatan dan Metoda Penelitian ……… 1. Pendekatan ……….. 2. Metode ……….……… 62 62 62 B. Unit Analisis ………. 64

C. Langkah-Langkah Penelitian ………. 1. Orientasi ……….. 2. Eksplorasi ……… 3. Member Chek ………. 66 67 67 67 D. Pengolahan Data ……… 68


(7)

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 75

A. Biografi Singkat Paulo Freire ……… B. Hasil Penelitian …... 1. Lingkungan Strategis Freire …... 2. Pikiran Fundamental: Metafisika …... 3. Pikiran Fundamental: Epistimologi …... 4. Pikiran Fundamental: Etika ………. 5. Pikiran Fundamental: Tujuan Pendidikan …... 6. Pikiran Fundamental: Isi Pendidikan …... 7. Pikiran Fundamental: Proses Pendidikan ... 75 79 79 84 102 113 124 128 136 C. Pembahasan ……….. 166

1. Metafisika ……… 2. Epistimologi ……… 3. Etika ……… 4. Tujuan Pendidikan ………. 5. Isi Pendidikan ……….. 6. Proses Pendidikan ……….. 166 184 188 191 196 199 D. Rekonstruksi Fundamental Pikiran Freire ………. 218

E. Relevansi Pedagogi Freire untuk Masalah Pedagogi Indonesia ……… 1. Pedagogi Indonesia sebagaimana Tujuan-Tujuan Pendidikannya ………. 2. Pedagogi Book Centered ………. 222 234 257 F. Temuan Penelitian ………. 268

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI ………….. 271

A. Simpulan ……… 271

B. Implikasi ……… 277

C. Rekomendasi ……… 280

DAFTAR PUSTAKA ……… 294


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel hal

1.1 Identifikasi Kesenjangan ……….. 7

2.1 Pedagogi Secara Historis Amerika ……… 17

2.2 Konsep Universal Pedagogi ………..……… 18

2.3 Pertanyaan-pertanyaan Fundamental Pedagogi ……….. 20

2.4 Pertanyaan-pertanyaan Fundamental dan Komponen-komponen Pendidikan ……….………. 20 2.5 Peranan-peranan Filsafat Pendidikan ……… 21

2.6 Kontribusi Filsafat Pendidikan ………. 22

2.7 Peranan-peranan Filsafat Pendidikan ……… 43

2.8 Struktur Pedagogi Umum ……….………. 48

4.1 Posisi Deis Freire ……….. 180

4.2 Penilaian Tradisional dan Otentik ………..………. 212

4.3 Rumusan Tujuan Mata Pelajaran SD/MI ……….. 232

4.4 Rumusan Standar Kompetensi Mata Pelajaran SD/MI ………….. 234

4.5 Rekapitulasi Tujuan Mata Pelajaran – Standar Kompetensi …….. 241

4.6 Standar Kompetensi Yang Jomplang dan Yang Konsisten ……… 242

4.7 Rumusan Tujuan Mata Pelajaran IPA, IPS, PKN SD/MI Yang Non-Kognitif ……….……… 243 4.8 KategorisasiKesadaran/Metakognisi - Praksis ………. 247


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar hal

2.1 Lingkup Pedagogi (Edward J. Power) ……….. 21

2.2 Elements in teaching activities (Watkints dan Mortimore, 1999: 5) 35 2.3 Praktik-praktik Pedagogi dan Hasil-hasil Studinya ……….. 47

3.1 Higher Order Activity ……… 65

3.2 Proses Analisis Induktif ………. 68

3.3 Pengembangan dan Pengorganisasian Data ……….. 71

3.4 Pencarian Pola (Tema/Konsep) ………. 72

3.5 Prosedur Analisis Data Penelitian Struktur FundamentalPedagogi Freire ………. 74

4.1 Perspektif Pendidikan Freire ………. 138

4.2 Hubungan Subjek-subjek ……….. 140

4.3 Input, Proses dan Output Humanisasi ……… 141

4.4 Aksi dan Refleksi ……….. 146

4.5 Dialog ……… 148

4.6 Anti-Dialog ……… 149

4.7 Pandangan Metafisika, Epistemologi dan Etika ……… 172

4.8 Kontinum Penialaian Tradisional dan Otentik ……….. 213

4.9 Konstruksi Pikiran Fundamental Freire ……… 219

4.10 Komparasi Pedagogi Kognitif – Pedagogi Transformatif …..…… 229

4.11 Bangsa Cerdas ……… 246

4.12 Hierarkhis Kemampuan-kemampuan Manusia Indonesia …….…. 257

4.13 Praksis Pengembangan Kemampuan ……….. 250

4.14 Praksis Humanisasi Religius untuk Pengembangan Kompetensi-Kompetensi ………. 253 4.15 Model Belajar Book Centered ……….………….. 258

4.16 Model Belajar Canggih Book Centered ……..……… 260

4.17 Patung Dehumanisasi ……….……… 263


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran hal

01 Curriculum Vitae ………. 288

02 SK Pembimbing ……….. 292

03 Karya Paulo Freire ……….. 294

04 Sumber Data ………. 302 05 Analisis Buku Pedagogy of the Oppressed ………... 1-36 06 Analisis Buku Make the Road by Walking, Conversations on

Education and Social Change ……….

1-30 07 Analisis Buku Education For Critical Consciousness ……….. 1-90 08 Analisis Buku Pedagogy of the Heart ………. 1-26 09 Analisis Buku A Pedagogy of Liberation Dialogues on

Transforming Education ………..

1-12 10 Analisis Buku Pedagogy of freedom : ethics, democracy, and

civic courageCritical perspectives series ………


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Penelitian

Di lapangan, di dunia persekolahan Indonesia, umum sifatnya berlangsung praktik „pengajaran‟. Orientasi sekolah yang kuat adalah pengetahuan. Ujian Nasional selama bertahun-tahun lebih bermaksud mengukur capaian kognitif-akademik. (Dan ini pun hasil-hasilnya kurang atau tidak memuaskan banyak pihak.) Pedoman-pedoman pengajaran di sekolah (Direktorat Pembinaan SMA, 2008 dan Supinah dkk., 2008), dari segi perilaku hasil belajar orientasinya Bloom. (Baru kemudian pada tahun 2010 Depdikbud RI menerbitkan pedoman untuk pendidikan afektif.) Dan orientasi kognitif lebih utama ketimbang orientasi afektif dan psikomotor. Kurikulumnya, yaitu Standar Isi (BSNP, 2006), barangkali dari segi isi sudah relatif komprehensif, tidak hanya membidik pengembangan kognitif. Tetapi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)-nya di baPendidikan)-nyak sekolah, mencerminkan organisasi dan manajemen kurikulum yang berorientasi kognitif-akademik. Langka adanya sekolah yang mengorganisasikan dan memanajameni kurikulum yang juga menangani masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang ada di samping masalah akademik, seakan hasil belajar seperti yang digariskan oleh taksonomi kognitif Bloom. Termasuk kurikulum muatan lokal merupakan kurikulum suplementer. Diduga kenyataan sepeti di atas, telah berlangsung lama dengan beberapa kali perubahan kurikulum, yaitu (1) kurikulum 1947 berisi rencana pelajaran dirinci secara terurai; (2) Kurikulum 1964 tentang Rencana Pendidikan Sekolah Dasar (3) kurikulum 1968 tentang Kurikulum Sekolah Dasar; (4) tahun 1973 Kurikulum PPSP; (5) tahun 1975 Pembakuan Kurikulum Sekolah Dasar; (6) Kurikulum 1984; (7) Kurikulum 1994; (8) tahun 1997 revisi kurikulum 1994; (9) tahun 2004 rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi; dan (10) tahun 2006 KTSP (Kemdikbud, 2013). Situasi ini menimbulkan pertanyaan, apakah pedagogi hanya seperti ini?.

Pedagogi sebagai sebuah praktik dalam sebuah kelompok sosial akan berbeda-beda dibandingkan dengan pedagogi dalam kelompok-kelompok sosial


(12)

lainnya. Perbedaan-perbedaan ini sehubungan dengan adanya komponen tujuan moral yang berbeda-beda dalam setiap tujuan global atau tujuan jangka panjang dari setiap sistem pendidikan dalam sebuah kelompok sosial atau bangsa. Perbedaan-perbedaan dimungkinkan juga berkenaan dengan tujuan-tujuan kontekstual pedagogi. Situasinya beraneka-ragam. Di samping itu, konseptualisasi pedagogi masih merupakan sebuah bidang yang langka. Keadaan ini menyulitkan orang yang ingin memahami pedagogi. Banyak akademisi di LPTK lebih memahami teaching atau instruction ketimbang pedagogi. Seharusnya terdapat naskah atau naskah-naskah pedagogi Indonesia, atau terdapat sebuah naskah yang mendapat konsensus luas masyarakat akademis dan pendidik Indonesia yang berjudul Pedagogi Indonesia. Ini diperlukan oleh para pengembang pendidikan dan pendidik Indonesia. Karena itu jalan ke arah ini harus dirintis.

Rintisan tersebut dilakukan dengan berupaya mengungkap model konseptual pedagogi dari Paulo Freire, pendidik dari Brazil yang mengasingkan diri ke Chile dan negara-negara lainnya. Ia adalah orang yang pertama menggunakan istilah pedagogi (pedagogy) di Amerika Serikat pada tahun 1960-an, setelah lama istilah ini tidak digunakan dalam dunia akademik AS karena diganti oleh istilah pendidikan (education). Ia juga yang membuat PLS (pendidikan luar sekolah) Amerika Serikat, Myles Horton, diakui sebagai gerakan pendidikan, bukan sebagai gerakan sosial belaka dan sebagai bootlegs (illegal) education. Ia seorang praktisi pedagogi atau pedagog, ia juga pemikir dan peneliti pedagogi. Pedagogi yang diusungnya menginspirasi banyak orang, dan banyak orang mengembangkan praktik dan teori pedagogi berdasarkan pedagogi Freire ini. Pedagogi Feire muncul di abad XX, diharapkan sebuah abad yang lebih kaya dan mendalam dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya dari segi pemikiran dan praktik. Buku-buku yang ditulis oleh Paulo Freire ada sebanyak 62 judul, dan tentang karya-karyanya yang ditulis orang lain ada sebanyak 32 judul. Ini terdapat dalam sebuah biografi singkat Paulo Freire (Provenzo & Eugene, 2011).

Pedagogi selama ini tumbuh di dunia Barat dengan mainstream pemikiran modernisme, yang ditandai oleh pemujaan terhadap sains dan teknologi dan di sambut oleh masyarakat yang umumnya mengadopsi ekonomi pasar bebas.


(13)

Pemikiran Freire sering dikaitkan dengan „ideologi kritis‟ berisi perubahan sosial, tetapi tumbuh pula di dunia Barat. Karena itu diduga pedagogi Freire bersifat lebih utuh atau komprehensif. Pedagogi Freire tidak semata-mata bersifat didaktis atau menjadi pengajaran yang orientasinya pengetahuan dan keterampilan belaka. Program literasi-(pemberantasan buta huruf)-nya tidak semata-mata membidik keterampilan membaca huruf-huruf, tetapi juga conscientization, yaitu belajar mempersepsi kontradiksi-kontradiksi atau kesenjangan sosial, politis, dan ekonomis—mengembangkan sebuah kesadaran kritis—hingga individu dapat mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur realitas yang menindas (Stevens, 2002). Dengan kata lain, pedagoginya ini juga mendidik manusia agar otonom atau sebagai subjek. Sebagai subjek, relasi antarmanusia menjadi setara, yaitu relasi subjek dengan subjek lainnya. Pendidikannya menghendaki individu menjadi "A deepened consciousness of their situation leads people to apprehend that situation as an historical reality susceptible of transformation" (Freire, 1985: 253). Ini lebih dari sekedar kapasitas kognisi seperti yang ditawarkan taksonomi Bloom.

Freire terkenal karena serangannya terhadap apa yang disebut pendidikan dengan konsep "banking", yang memandang siswa sebagai sebuah wadah kosong (tabularasa) untuk diisi oleh guru. Ia mengemukakan bahwa konsep banking ini "it transforms students into receiving objects. It attempts to control thinking and action, leads men and women to adjust to the world, and inhibits their creative power" (Freire, 1970: 77).

Dalam kehidupan harian dunia persekolahan Indonesia, terbaca bahwa pedagogi Indonesia dewasa ini berorientasi akademik. Beberapa artifaknya yang berumur panjang antara lain: UN (Ujian Nasional), „tim sukses‟ UN di banyak sekolah, Bimbel, latihan soal-soal menjelang UN di jenjang kelas atas, doa bersama menjelang UN, KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Orientasi akademik artinya orientasi kepada pengetahuan dan keterampilan atau Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Orientasi lainnya, seperti relasi-relasi sosial, kultural, politis, dan kemanusiaan kurang terbaca pada pedagogi akademik tersebut. Lain halnya dengan pedagogi kritis sebagaimana dikemukakan oleh


(14)

Giroux (1994: 24), bahwa pedagogi kritis memancarkan sinyal-sinyal pertanyaan tentang sasaran belajar, pendapat, kekuasaan dan evaluasi secara aktif bekerja mengkonstruksi relasi-relasi antara guru-guru dan para siswa, institusi-institusi dan masyarakat, dan ruang-ruang kelas dan komunitas. Pedagogi dalam artian kritis mengiluminasi relasi-relasi antara pengetahuan, otoritas, dan kekuasaan.

Pedagogi Freire yang komprehensif harus dianalisis secara kritis melalui sebuah penelitian dalam bentuk sebuah analisis konseptual. Hasilnya akan sangat bermanfaat bagi mereka yang berkepentingan untuk melakukan konseptualisasi pedagogi, termasuk konseptualisasi pedagogi Indonesia.

Konseptualisasi pedagogi Freire. Konseptualisasi pedagogi adalah sehimpunan aktivitas yang termasuk kedalam second-order discipline atau higher-order activity. Produknya adalah konsep atau teori dengan berbagai karakteristiknya. Moore dalam bukunya Philosophy of Education, An Introduction (2010 [ed. baru]: 1-9) mengidentifikasi teori-teori tentang pedagogi ini sebagai berikut:

1. teori preskriptif terbatas: teori pedagogi atau teori pengajaran; 2. teori deskriptif umum: teori-teori sosial;

3. teori preskriptif umum: filsafat pendidikan; dan 4. teori filsafat analitik.

Dalam kaitan dengan penelitian ini, teori filsafat analitik, akan dimanfaatkan dalam penelitian ini sebagai metode penelitian. Filsafat analitik, dalam hal ini, memiliki tugas menganalisis konsep-konsep yang terdapat dalam dunia pedagogi baik yang praktis maupun yang teoritis. Ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam bagian tentang Studi Pustaka dan Metodologi Penelitian.

Adapun first-order discipline atau lower-order activity pedagogi adalah praktik-praktik pedagogi yang biasanya dan utamanya dilakukan oleh pendidik atau guru. Praktik-praktik pedagogi akan dilandasi oleh konsep dan teori, dan komunikasi profesional dari para praktisi ini akan menggunakan pula konsep dan teori tersebut. Dalam praktik-praktik pedagogi Freire kita, antara lain, akan menjumpai konsep-konsep: transformasi (antonim dari adaptasi), humanisasi, dehumanisasi, banking system, pendidikan versus massifikasi, Subjek, culture


(15)

circle, conscientization, culture of silence, dialogical method, pendidikan pembebasan, mystification, praksis, problem posing education (Freire, 1974; Stevens, 2002).

B.Identifikasi Dan Rumusan Masalah Penelitian 1. Identifikasi Masalah

Pendidikan kita adalah pendidikan yang berorientasi pada konsumsi pengetahuan kurang fokus pada bagaimana pengetahuan diproduksi. Data empirik yang menunjukkan bahwa pendidikan kita lebih banyak merupakan konsumsi pengetahuan, sebagai berikut:

a. Pendidikan berorientasi pada pengajaran

Sistem pendidikan yang ada saat ini tidak pernah lepas dari kritik. Abdurahman Wahid (1993) dalam sebuah seminar pendidikan di ITB Bandung mengatakan bahwa output pendidikan formal kita lebih berupa “mozaik” saja, konvergen dan miskin divergensi.

b. Verbalisme dalam pendidikan

Verbalisme telah lama terjadi di dalam dunia pendidikan di Indonesia (Hasil Komite Penilaian Pendidikan Nasional dalam Beeby, 1980), sejak diberlakukan kurikulum tahun 1975. Verbalisme dalam pembelajaran telah terjadi secara masif, siswa belajar mengenai pernyataan-pernyataan klise, kosong tanpa makna. Siswa tahu dan hafal tetapi tidak memahaminya, menerapkan, menganalisis apalagi men-sintesis-nya. Teks-teks dipelajari terlepas dari konteks. Inilah yang disebut Freire sebagai pengetahuan yang terbirokrasi. Begitu juga dalam pendidikan Pancasila, sejak masa Orde Baru malah menjadi birokrasi halus (soft bureaucracy) yang berkuasa, yang mengontrol warga negara (Sudarma, 2008) yang bersifat verbalis, deklaratis atau proklamatis. Indonesia butuh Pancasila praksis yang memberikan ruang untuk dikritisi dan ditransformasi dalam realita. c. Pengetahuan yang terbirokratisasi

Pengetahuan terbirokrasi adalah sejumlah paket-paket pengetahuan yang dikonsumsi oleh siswa dikontrol dibatasi dalam sekat-sekat


(16)

standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, materi pokok dan alokasi waktu secara sistematik. Proses pembelajaran menjadi cenderung delevering of information; bukan eksplorasi oleh para siswa karena paket-paket pengetahuan tersebut dipersepsi sebagai bersifat baku, siap-saji, siap-pakai..

d. Ruang refleksi terbatas

Pengetahuan menjadi tidak otentik ketika ruang refleksi terbatas. Ruang refleksi terbatas karena kurang terjadi dialog antara siswa dan guru. Selayaknya guru menempatkan siswa sebagai subyek yang mempunyai kebebasan untuk mengembangkan pertanyaan yang mengarah pada “kemengapaan” isi kajian (kurikulum: teks). Ruang refleksi terbatas tidak membantu kesadaran kritis siwa dalam mengkonsumsi dan memproduksi pengetahuan. Ini merupakan salah satu dampak dari class size dalam kisaran kurang lebih 30-40 orang per kelas.

Berdasarkan uraian tersebut, masalah yang teindentifikasi adalah proses pendidikan/pembelajaran masih menunjukkan (1) bahwa guru masih mempunyai peran sentral dalam pembelajaran, lebih teacher oriented; (2) siswa memperoleh pengetahuan dalam tingkatan memorisasi; dan (3) pemilikan pengetahuan lebih bersifat konsumtif daripada memproduksi pengetahuan, jauh dari upaya mengtransformasikan kehidupan individu maupun sosial. Pola di atas menjadi mainstream dalam pendidikan Indonesia sebagai akibat dari dominasi Pedagogi dunia Barat dengan pemikiran modernisme.

Terdapat optimisme, pada tataran tekstual terjadi perkembangan pendidikan Indonesia yang mengarah kepada harapan capaian pendidikan yang lebih berkualitas, tetapi kurang atau belum berkoherensi dengan praktek-prakteknya. Kemdikbud (2012) dalam bahan Uji Publik krikulum 2013 berharap banyak terjadi perubahan-perubahan signifikant setelah diimplementasikan kurikulum berbasis kompetensi tahun 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006, tetapi sampai tahun 2012 ini belum menunjukkan


(17)

perubahan yang signifikan pada tataran praktek atau implementatif. Dalam bahan uji publik kurikulum 2013 tersebut teridentifikasi kesenjangan sebagai berikut:

Tabel 1.1 Identifikasi Kesenjangan

Aspek Kondisi Saat Ini Kondisi Ideal Kompetensi Lulusan  Belum sepenuhnya

menekankan pendidikan karakter

 Belum menghasilkan Keterampilan sesuai kebutuhan

 Pengetahuan-pengetahuan lepas

 Berkarakter mulia

 Keterampilan yang relevan

 Pengetahuan-pengetahuan terkait Materi Pelajaran  Belum relevan

dengan kompetensi yang dibutuhkan

 Beban belajar terlalu berat

 Terlalu luas, kurang mendalam

 Relevan dengan kompetensi yang dibutuhkan

 Materi esensial

 Sesuai dengan tingkat perkembangan anak Proses Pembelajaran  Berpusat pada guru

(teacher centered

learning)

 Sifat pembelajaran yang berorientasi pada buku teks

 Buku teks hanya memuat materi bahasan

 Berpusat pada peserta didik (student centered active learning)

 Sifat pembelajaran yang kontekstual

 Buku teks memuat materi dan proses pembelajaran, sistem penilaian serta kompetensi yang diharapkan

Penilaian  Menekankan aspek kognitif

 Test menjadi cara penilaian yang dominan

 Menekankan aspek kognitif, afektif, psikomotorik secara proporsional

 Penilaian test dan portofolio saling melengkapi

Pendidikan dan Tenaga Kependidikan

 Memenuhi

kompetensi profesi saja

 Fokus pada ukuran kinerja PTK

 Memenuhi kompetensi profesi, pedagogi, sosial, dan personal

 Motivasi mengajar (Diadaptasi dari Bahan Uji Publik Kurikulum. 2013)

Kondisi ideal kritis yang perlu diperkuat melalui analisis Freire adalah (1) kompetensi lulusan yang berkarakter mulia dan pengetahuan dialektis antara teks dan konteks; (2) materi pelajaran berbasis kompetensi dan sesuai dengan


(18)

kebutuhan peserta didik bukan hanya kebutuhan psikologis, tetapi juga kebutuhan sosial, budaya dan politik; (3) proses pembelajaran berpusat pada peserta didik dengan proses kontekstual yang mengarah pada paragdigma konstruktivisme; (4) penilaian portofolio mengindikasikan pengakuan pentingnya penilaian proses (how to learn); dan (5) tenaga kependidikan yang menpunyai motivasi kuat, juga mengindikasikan pentingnya profesionalisme yang berbasis pada calling life. Kondisi ideal kritis tersebut perlu dianalisis berdasarkan perspektif pedagogi alternatif, yaitu pedagogi Freire untuk menemukan struktur fundamentalnya dan relevansi untuk pendidikan Indonesia.

2. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut diatas, maka untuk menemukan struktur fundamental pedagogi Freire dikemukakan dalam kalimat pertanyaan sebagai berikut:

a. Apa hakikat manusia dan kapasitas-kapasitasnya? b. Apa tujuan pendidikannya?

c. Apa isi pendidikan atau kurikulumnya? d. Apa metode atau proses pendidikan; juga:

e. Landasan filosofisnya: (1) bagaimana filsafat umum, dan/atau ; dan (2) filsafat pendidikannya?

f. Apa relevansi pedagogi Paulo Freire untuk pendidikan Indonesia

C.Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan memperoleh deskripsi: struktur fundamental pedagogi Paulo Freire dan relevansinya untuk pedagogi Indonesia. Adapun secara khusus penelitian ini ditujukan untuk memperoleh deskripsi konsep-konsep fundamental pedagogi Paulo Freire, mencakup:

komponen fundamental pedagogi: 1. hakikat manusia dan kapasitasnya, 2. tujuan pendidikan,


(19)

4. metode atau proses pendidikan; juga: landasan filosofisnya:

5. filsafat umum, dan/atau 6. filsafat pendidikan, dan

7. relevansi pedagogi Freire untuk pedagogi Indonesia.

D.Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis. Hasil penelitian ini, sebuah Model Konseptual Pedagogi Freire, diharapkan dapat memperkaya pemahaman komunitas pendidikan Indonesia untuk dapat menganalisis konsep-konsep pendidikan nasional melalui perspektif alternatif yang disediakan pedagogi Freire (pedagogi kritis). Saran tentang manfaat yang demikian ini bersifat relevan karena dunia pemikiran pendidikan Indonesia lebih kaya oleh wacana yang berasal dari dunia neo-liberal

Manfaat praktis. Ketersediaan model konseptual pedagogi Freire, diharapkan turut memfasilitasi implementasi metode/pendekatan pembelajaran yang banyak dipraktikan saat ini oleh para guru yang relevan dengan cita-cita Freire (humanisasi) dan pendidikan nasional Indonesia.

E.Kerangka Pikiran dan Premis Penelitian 1. Kerangka Pikiran Penelitian

Penelitian mengenai stuktur fundamental dan filosfis Paulo Freire merupakan upaya analisis kritis terhadap pikiran-pikiran pedagogi Freire yang terdapat pada buku utamanya, yang terdiri dari:

a. Freire, Paulo (1967). Pedagogy of freedom : ethics, democracy, and civic courage. Critical perspectives series. Lanham: Rowman & Littlefield Publishers.

b. Freire, Paulo (1970) (30th anniversary edition, 1993). Pedagogy of the Oppressed. New York& London:Continuum.

c. Freire, Paulo (1974). Education for critical consciousness. A Continuum book. New York,: Seabury Press.


(20)

d. Shor, Ira & Freire, Paulo. (1987). A Pedagogy for Liberation. Dialogues on Transforming Education. Massachusetts: Bergin & Garvey Publishers, Inc.

e. Horton, Myles & Freire, Paulo (1990). We Make the Road by Walking. Philadelphia: Temple University Press.

f. Freire, Paulo, and Ana Maria Araújo Freire (1997). Pedagogy of the heart. New York: Continuum.

Kerangka pikir yang melandasi penelitian ini adalah analisis kritis terhadap pedagogiPaulo Freire, terdiri dari analisis epistemologi, metafisika, etika, lingkungan strategis, tujuan pedidikan, isi pendidikan dan proses pendidikan. Kerangka pikir tersebut tidak bersifat “predetermined”, tetapi bisa terjadi perubahan-perubahan pada saat penelitian ini dilakukan. Kerangka pikir tersebut dapat dijelaskan, sebagai berikut:

a. Espistemologi. Analisis kritis dilakukan terhadap epistemologi Freire, terkait dengan asal-usul, dasar, metoda dan batas-batas pengetahuan dengan cara mencari jawaban atas pertanyaan : mengapa sesuatu disebut ilmu? apa batas ilmu pengetahuan? dan bagaimanakah prosedur untuk memperoleh pengetahuan?

b. Metafisika. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah hakikat realitas? Apakah Tuhanitu? Apa tempat manusia di dalam semesta? c. Etika. Etika mempelajari nilai atau kualitas mengenai standar dan

penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti baik, buruk, dan tanggungjawab. Kebutuhan akan analisis etis atau tidak etis dalam dunia pendidikan diperlukan karena etika sering menjadi unsur utama tujuan pendidikan.

d. Tujuan Pendidikan. Upaya-upaya pendidikan terkait dengan tujuan pendidikan yang menjelaskan tentang manusia bagaimana yang secara terus menerus diupayakan proses pendidikan. Analisis terhadap tujuan pendidikan akan terkait dengan persoalan epistemologi, metafisika dan etika. Karena itu analisis korenpondensi dan koherensi epistimologi,


(21)

metafisika dan etika dengan tujuan pendidikan menjadi penting dalam penelitian ini.

e. Isi Pendidikan. Isi pendidikan merupakan sekumpulan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dirumuskan dalam bahan kajian (kurikulum). Isi pendidikan di Indonesia merupakan bagian dari standar pendidikan nasional yang terdiri dari sekumpulan kompetensi lulusan, standar kompetensi dan kompetensi dasar. Analisis kritis isi pendidikan menurut Freire merupakan upaya untuk menemukan dan mengkonstruksi isi pendidikan berdasarkan pikiran fundamental Freire. f. Proses Pendidikan. Proses pendidikan adalah serangkaian perhubungan

antara pendidik dengan terdidik dalam rangka mempelajari isi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Bagaimanakah Freire memandang isi pendidikan tersebut dan bagaimanakah relevansinya untuk proses pendidikan yang terjadi di Indonesia.

Penemuan terhadap struktur fundamental pikiran Freire mengenai epistemologi, metafisika, etika, tujuan pendidikan, isi pendidikan dan proses pendidikan membutuhkan proses kerja analisis kritis. Analisis kritis tersebut dilakukan dengan cara melaksanakan analisis induktif seperti yang dilakukan dalam penelitian kualitatif non-interaktif. Proses analisis kritis merupakan proses yang dimulai dengan membentuk sebuah pamahaman (understanding), kemudian mengurai fikiran-fikiran fundamental Freire dalam bentuk kategorisasi, konsep,dan pola serta memdeskripsikan dan atau menjelaskan kategorisasi tersebut dalam makna yang utuh.

Pemahaman struktur fundamental pikiran Freire membawa ke implikasi lebih lanjut mengenai relevansi untuk pendidikan di Indonesia. Dalam hal relevansi ini, peneliti dengan utamanya memanfaatkan perspektif Freireian memusatkan diri untuk menemukan kategori-kategori kondisi ideal pendidikan Indonesia. Kategori-kategori kompetensi ini tersurat dan tersirat dalam beberapa dokumen nasional tentang pendidikan.


(22)

Penelitian ini bertitik tolak dari premis sebagai berikut:

a. Pendidikan adalah realitas kemanusiaan yang jauh berbeda dengan realitas alam. Realitas alam sekalipun kompleks dan kaya makna sebagaimana temuan-temuan mutakhir memperlihatkannya sebagai demikian, berbeda dengan realitas kemanusiaan pendidikan yang jauh lebih kompleks lagi. Sehubungan dengan hal ini, riset pendidikan perlu dihampiri dengan berbagai perspekstif, tidak dapat hanya dihampiri dengan perspektif neo-positivisme belaka dengan riset kuantitatifnya. Riset ini mengasumsikan penghampiran filosofis dan ilmiah secara terpadu, karena objek risetnya adalah sebuah fenomena dan pemikiran pedagogi.

b. Sebuah fenomena pedagogi dan pemikiran teoritisnya sekalipun tumbuh dalam sebuah masyarakat yang berbeda, akan mengandung „benih-benih‟ yang dapat ditumbuhkan dalam masyarakat lainnya. Dikatakan sebagai benih karena ia harus ditumbuhkan di lahan yang berbeda dengan sejarah atau budaya yang berbeda. Benih tersebut mencerminkan universalisme temuan riset, sebuah generalisasi „terbatas‟.


(23)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan dan Metoda Penelitian 1. Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang non-interaktif. Pendekatan ini dipilih karena apa yang menjadi data adalah konsep-konsep atau teori, terdapat dalam karya tulis oleh Paulo Freire. Datanya lebih berbentuk dokumen, atau buku-buku. Dan Freire sendiri sudah meninggal dunia pada tahun 1997.

2. Metode

Metode penelitian ini adalah metode analisis konsep. Analisis konsep-konsep, menurut McMillan & Schumacher (2001: 506-507), dapat dilakukan dengan tiga strategi di bawah ini, dan strategi ke empatnya adalah tambahan dari Moore (2010):

a. Sebuah analisis generik untuk mengidentifikasi makna esensial dari suatu konsep. Analisis ini mengisolasi unsur-unsur yang membedakan suatu konsep dari kata-kata lainnya. Hasil analisis generik ini adalah kejelasan suatu konsep. Indikatornya adalah ketersediaan definisi dan argumentasi yang mendukung definisi tersebut.

b. Sebuah analisis diferensial untuk membedakan makna-makna dasariah dari suatu konsep dan menyediakan suatu ide yang lebih terang tentang ranah logis yang dicakup oleh suatu konsep. Analisis diferensial digunakan ketika sebuah konsep tampak memiliki lebih dari satu makna standar dan dasar untuk pembedaan makna-makna yang tidak-terang. Dengan demikian, ketika strategi analisis generik dianggap mencukupi, strategi analisis diferensial ini tidak perlu dilakukan.

c. Sebuah analisis kondisional untuk mengidentifikasi kondisi-kondisi yang niscaya untuk penggunaan suatu konsep secara sesuai. Pertanyaan utamanya adalah “Dalam konteks apa kondisi-kondisi dari


(24)

suatu konsep akan dianggap benar?” Analisis kondisi-kondisi dimulai dengan menyediakan sebuah contoh yang memenuhi kondisi-kondisi yang niscaya dari suatu konsep. Analisis kondisi ini dapat mendorong revisi atau penolakan suatu kondisi dan menggiring kepada kondisi-kondisi tambahan dengan contoh lainnya dan contoh-contohnya yang berlawanan. Tujuan analisis kondisional adalah menyediakan sehimpunan kondisi yang niscaya dan cukup untuk aplikasi secara tepat suatu konsep, dengan demikian memperjelas makna suatu konsep. Indikator capaian dari analisis kondisional ini adalah ketersediaan deskripsi kondisi yang niscaya dan cukup atas suatu konsep yang dianggap pokok.

d. Sebuah analisis koherensi. Langkah ini tidak diusulkan oleh McMillan dan Schumacher, tetapi diusulkan oleh Moore dalam sub-bagian Pedagogi dan aktivitas-aktivitasnya dalam bagian 5. Kerangka Konseptual Penelitian, yaitu tentang analisis konsep yang kedua, setelah analisis konsep itu sendiri, dilakukanlah analisis konsep dalam rangka menemukan koherensinya dengan konsep-konsep fundamental seperti hakikat manusia, nilai-nilai sosial, dan yang lainnya. Indikator capaian analisis koherensi ini adalah ketersediaan deskripsi koherensi antarkonsep yang dianggap pokok.

Analisis konsep dalam penelitian filsafat sering dikaitkan dengan filsafat analitik. Memang penelitian ini memanfaatkan pula metode filsafat analitik ini. Namun, sikap filsafat analitik yang empiristis, menuntut keberadaan substansi-substansi material-empiristis atas setiap konsep yang diakuinya sebagai konsep yang meaningful, tidak diadopsi dalam penelitian ini. Penelitian ini mengadopsi sikap terbuka terhadap berbagai prinsip metafisik selama prinsip-prinsip ini mengemansipasi kehidupan dan kemanusiaan. Ini adalah sebuah sikap umum pedagog.

Analisis konsep filsafat menurut Moore (2010 [ed. baru]: 8) dapat dilakukan dengan dua cara, historis dan ahistoris. Analisis historis dilakukan dengan komparasi konsep-konsep yang diteliti dengan konsep-konsep yang terdapat


(25)

dalam sejarah filsafat, dapat dimulai dari Plato, Bacon, hingga Dewey dan seterusnya. Analisis ahistoris dilakukan dengan langsung memusatkan diri pada konsep-konsep yang diteliti. Pemilahan cara historis dan ahistoris ini bukanlah suatu pemilahan yang discrete, karena suatu ide filsafat di masa lalu sering bertahan lama hingga ke abad sekarang ini. Dengan demikian pemilahan ini sekedar menunjukkan penekanan yang dilakukan dalam penelitian ini.

Analisi konsep juga dilakukan melalui metoda hermeneutik yang bertujuan untuk mengungkapkan maknanya. Restituta Driyanti (2011) menggunakan metoda hermeneutik dari Paul Ricoeur dalam penelitiannya tentang makna simbolik dari Tato Manusia Dayak yang cara kerjanya hampir sama sebagaimana yang dilakukan oleh peneliti dalam mengungkap makna teks karya Freire, yaitu melakukan kegiatan dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi. Dekontekstualisasi dilakukan peneliti untuk menjaga otonomi teks (teks sebagaimana adanya) sedangkan rekontekstualisasi dilakukan peneliti untuk melihat latar belakang terjadinya teks Freire. Dekontekstualisasi maupun rekontekstualisasi dilakukan secara ulang-alik dengan cara mengungkapkan intensi atau maksud teks, situasi kultural dan kondisi sosial teks serta untuk siapa teks itu dimaksudkan. Langkah dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi terhadap teks Freire erat hubungannya dengan upaya melakukan interpretasi baik semantik, reflektif, maupun interpretasi esensial.

Sebelum dilakukan analisis konsep-konsep pedagogi Freire, akan dilakukan analisis konsep dalam rangka penentuan atau pendefinisian kerangka umum pedagogi, yang diperlukan untuk menjaring konsep-konsep pedagogi Freire. Pendefinisian kerangka umum pedagogi ini bersumber dari beberapa buku filsafat pendidikan dan pedagogi.

B. Unit Analisis

Unit analisis pada penelitian ini yaitu sejumlah konsep yang tersedia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian seperti yang telah dikemukakan pada BAB I. Kumpulan konsep tersebut terdapat pada sumber data, yaitu dokumen yang adalah catatan peristiwa masa lalu. Ini dapat berbentuk tertulis atau


(26)

material tercetak yang dapat bersifat resmi atau tidak resmi, publik atau pribadi, diterbitkan atau tidak diterbitkan, dipersiapkan untuk menjaga suatu catatan sejarah atau dipersiapkan untuk berfungsi untuk tujuan praktik segera.

Secara rinci ruang lingkup data adalah setiap konsep yang termasuk kedalam higher order activity yang relevan dengan pertanyaan penelitian ini. Ini dapat digambarkan melalui diagram berikut:

Gambar 3.1 Higher Order Activity

Sumber data dari higher-order activity pedagogi dari Freire ini adalah buku-buku yang ditulis oleh Paulo Freire. Sebuah situs komersial interaktif, karena itu memiliki komunitas pembaca tersendiri, memiliki buku-buku yang merupakan karya Paulo Freire sebanyak 63 buah buku, tertulis terbitan tahun 1967 hingga 2012. Tidak semua buku ini dijadikan sumber data dari penelitian ini. Atas sumber data ini dilakukan seleksi, dengan berbagai alasan, terutama alasan praktis. Pertama untuk menghemat waktu penelitian, ditetapkan sebagai sumber data adalah buku-buku yang memiliki rating tinggi, yaitu buku-buku yang termasuk memiliki rating bintang 4- 5 (lihat lampiran 01), sebanyak: 30 buku. Rating tinggi mengisyaratkan keterbacaan. Seleksi kedua berdasarkan penguasaan bahasa asing penulis (bahasa Inggris). Buku-buku yang berbahasa non-Inggris tidak dijadikan sumber data, maka terdapat: 22 buku yang dapat dijadikan sumber data.

Dari 22 buku tersebut, penulis berhasil memperoleh sebanyak enam buah buku. Ternyata keenam buku ini menyediakan material riset (data) secara utuh

Higher-order

activity

pedagogi dari

Freire

 Hakikat manusia dan

kapasitas-kapasitasnya

 Tujuan pendidikan

 Isi pendidikan

 Metode atau prosespendidikan

 Filsafat umum dan/atau filsafat pendidikan


(27)

bagi kerangka penelitian penulis, struktur fundamental pedagogi, maka penulis memutuskan untuk tidak lagi menambah sumber data. Adapun keenam buku tersebut adalah sebagaimana berikut ini:

Sumber Data: Daftar Buku Paulo Freire

Freire, Paulo (1967). Pedagogy of freedom : ethics, democracy, and civic courage Critical perspectives series. Lanham: Rowman & Littlefield Publishers.

Freire, Paulo (1970) (30th anniversary edition, 1993). Pedagogy of the oppressed. New York& London:Continuum.

Freire, Paulo (1974). Education for critical consciousness. A Continuum book. New York,: Seabury Press.

Shor, Ira & Freire, Paulo (1987). A Pedagogy for Liberation.

Dialogues on Transforming Education.

Massachusetts: Bergin & Garvey Publishers, Inc.

Freire, Paulo, and Ana Maria Araújo Freire (1997). Pedagogy of the heart. New York: Continuum.

Horton, Myles & Freire, Paulo (1990). We Make the Road by Walking. Philadelphia: Temple University Press.

C. Langkah-langkah Penelitian

Langkah-langkah pada penelitian ini merupakan langkah umum yang biasa dilaksanakan pada penelitian dengan pendekatan kualitatif. Nasution (1992:85) mengemukakan bahwa penelitian pada dasarnya terdiri dari tiga tahapan, yaitu (1)


(28)

tahap orientasi; (2) tahap eksplorasi; (3) tahap member-check. Tahapan tersebut dilakukan sebagai berikut:

1. Tahap orientasi.

Kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini peneliti melakukan orientasi atau pengenalan terhadap struktur masalah yang diteliti berserta aspek dan dimensinya. Hasil kegiatan orientasi ini diketahuinya struktur masalah pada penelitian ini, yaitu struktur fundamental pedagogi Freire yang terdiri dari dimensi-dimensi metafisika, filsafat manusia, epistemologi, etika, tujuan pendidikan, proses pendidikan, manajemen pendidikan, guru, siswa, evaluasi dan lingkungan strategis Freire. Dalam kegiatan pada tahap ini, peneliti banyak melakukan kajian konsep Freire sehingga dapat mengidentifikasi struktur masalah yang akan diteliti beserta sub strukturnya. Untuk melengkapi orientasi masalah, peneliti menelaah dan mengkaji berbagai dokumen dan studi kepustakaan serta berbagai data tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian.

2. Tahap eksplorasi

Pada tahapan ini peneliti mulai mempersiapkan diri untuk melakukan penelitian secara intens: berupaya memperoleh data dengan sikap yang lebih selektif, mencari informasi yang relevan. Dengan demikian, peneliti lebih terfokus pada masalah dan dimensi-dimensi yang merupakan sub struktur masalah. Di samping menggunakan berbagai teknik analisis konsep, diskusi-diskusi peneliti dengan pembimbing dan rekan-rekan sejawad, juga melalui beberapa seminar, banyak memberikan kejelasan tentang struktur masalah. Tahap eksplorasi ini sebetulnya bagian tak terpisahkan dengan kegiatan induksi dalam pengolahan data.

3. Tahap member check

Tujuan utama dari tahapan ini, antara lain: melakukan konfirmasi terhadap data yang diperoleh dengan mengecek kebenaran data oleh sumber data untuk memberikan tanggapan dan komentar sebagai re-check; melakukan kegiatan yang bersifat triangulasi, yakni menuntaskan kebenaran data dengan meminta tanggapan mengenai kebenaran data yang diperoleh kepada fihak yang relevan dan diyakini dapat memberikan informasi. Tahapan ini tidak dapat dilakukan


(29)

karena penelitian ini bersifat non-interaktif dan sumber datanya sudah meninggal dunia.

D. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan analisis induktif seperti yang dipaparkan oleh Mc Millan dan Sally (2001). Analisis induktif merupakan proses yang terus menerus, membentuk siklus dan sistematik yang terdiri dari kegiatan seleksi, kategorisasi, komparasi, sintesis, dan interpretasi untuk menghasilkan eksplanasi mengenai satu fenomena yang diteliti. Yang dimaksud dengan fenomena pada penelitian ini adalah catatan historis Freire yang terdokumentasikan secara baik. Proses tersebut dikemukakan pada bagan sebagai berikut:

Gambar 3.2 Proses Analisis Induktif Struktur Naratif

Pola (Rekonstruksi

tema/konsep)

Kategori konsep: konstruksi sesuai dengan

fokus penelitian

Representasi visual

Topik yang teridentfikasi

Tulisan: Catatan hasil bacaan

DOKUMEN

(Discovery dan Pencatatan) Tahap-1

Tahap-4

Tahap-3


(30)

Proses analisis induktif tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut

1. Analisis selama pengumpulan data

Beberapa strategi analisis selama pengumpulan data dilakukan, sebagaimana berikut ini:

a. Menulis komentar untuk mengidentifikasi tema, menginterpretasi dan membuat pertanyaan-pertanyaan. Komentar tersebut dipisahkan dari data. Karena pengumpulan data merupakan aktivitas deskriptif sedangkan komentar peneliti merupakan aktivitas reflektif. Pada penelitian ini komentar merupakan cacatan hasil bacaan peneliti mengenai pikiran fundamental Freire.

b. Menulis ringkasan untuk melakukan sintesa dan memfokuskan studi. Ringkasan hasil studi dokumentasi tersebut merupakan langkah maju dari aktivitas deskripsi (pengumpulan data). Ringkasan hasil studi didokumentasi pada tabel-tabel analisis dokumen Freire (lampiran-1 sampai 6)

c. Mengembangkan gagasan (proses intuitif) untuk mengembangkan kategori-kategori. Mengembangkan ketagorisasi sekaligus ketika melakukan sintesis dan memfokuskan studi.

d. Mulailah melakukan kajian literatur untuk membantu hasil analisis konsep. Kajian literatur diperlukan dengan tujuan untuk melakukan pembahasan terhadap kategorisasi dari konsep. Kajian ini dinyatakan dalam bentuk Pembahasan Hasil Penelitian.

Proses pengumpulan data bermaksud mengidentifikasi kategori yang berkembang yang bersifat sementara. Interim analysis merupakan aktivitas yang terus menerus berlangsung selama analisis konsep. Beberapa strategi yang digunakan dalam analisis interim, daintaranya:

a. Scanning semua konsep untuk memperoleh perspektif global

b. Mencari pemahaman baru yang mungkin menjadi tema atau pola utama.


(31)

2. Kodifikasi Topik dan kategori

Dalam analisis kualitatif, organisasi, analisis dan interpretasi data disebut analisis data. Dalam mengorganisasi data, peneliti membuat klasifikasi berdasarkan:

a. Pertanyaan penelitian atau sub pertanyaannya atau kategori yang digunakan peneliti.

b. Pengetahuan peneliti sebelumnya c. Data itu sendiri.

Peranan kodifikasi dan kategori adalah membantu peneliti melakukan analisis data, dengan mengembangkan sistem klasifikasi dengan tiga strategi, yaitu:

a. Segmentasi data ke dalam unit-unit tertentu yang biasanya disebut kategori

b. Dimulai dengan membuat kategori kemudian dirinci ke dalam sub kategori

c. Kombinasi dari kedua hal di atas.

Strategi di atas merupakan langkah awal mengembangkan sistem organisasi data yang dimulai dari proses induktif, generatif dan konstruktif yaitu proses data ditransformasikan dalam bentuk kategori dan sub kategori. Langkah-langkah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. kembangkan “sense” (makna) keseluruhan.

Baca seperangkat data secara hati-hati kemudian tuliskan gagasan yang berkaitan dengan data tersebut. Gagasan merupakan pikiran yang melingkupi data tersebut.

b. Kembangkan data tersebut menjadi kategori. Kategori merupakan nama suatu subyek yang dikemukakan secara deskriptif.

c. Bandingkan data yang duplikasi atau tumpang tindih. d. Ujicoba sistem klasifikasi sementara.

Ujicoba dimaksudkan untuk memperoleh sistem klasifikasi yang cocok dengan fokus studi.


(32)

Upaya ini dilakukan untuk memperoleh konstruksi data menjadi kategori dan sub kategori sebagai upaya final pengembangan sistem organisasi data.

Pengembangan dan pengorganisasian sistem data tersebut digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.3 Pengembangan dan Pengorganisasian Data Identikasi Kategori

Deskriptif-3 Makna apa yang akan

dikembangkan dari seperangkat data yang tersedia ? (make sense of

the whole)

Perangkat data

Deskriptif-1 Deskriptif-2

A

B

B

C

C

D

B A

C


(33)

Proses pengembangan dan pengorganisasian sistem data tersebut merupakan proses induktif dan mengikuti siklus mulai dari data-kategorisasi-makna.

Segmentasi data ke kategori memerlukan strategi-strategi tertentu. Strategi (1) menganalisis dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dasar (apa, mengapa, dimana, kapan dan bagaimana); (2) menganalisis kalimat, phrase; (3) membandingkan kesamaan data; (4) dan mengidentifikasi hal-hal yang penting dari setiap data. Strategi tersebut menggambarkan bagaimana analisis kritis dan logik peneliti.Peneliti mengembangkan kategori secara “predetermined”, yaitu sumber pengembangan kategori seperti itu berasal dari pertanyaan penelitian, pengalaman personal yang relevan, dan kategori yang ditemukan pada literatur. Atau kategori tersebut juga dapat dikembangkan dari kategori emic dan etic. Kategori emic adalah sumber kategori berasal dari data sumber asli dokumen Freire. Sedangkan kategori etic adalah sumber kategori sebagai hasil pemaknaan peneliti terhadap data berdasarkan kerangka konseptualnya.

3. Pencarian Pola (tema atau konsep)

Tujuan akhir dari penelitian ini adalah membuat pernyataan umum mengenai saling kait-mengkaitnya kategori yang ditemukan dari data. Dengan kata lain ini adalah analisis koherensi atau konsistensi, sebagaimana sudah disampaikan dalam teknik analisis data. Hubungan antara kategori tersebut disebut pola (tema/konsep). Dalam mengembangkan pola-pola tesebut, peneliti merekonstruksi data ke dalam kategori, kemudian menemukan pola-polanya, seperti pada bagan sebagai berikut:

Gambar 3.4 Pencarian Pola (Tema/Konsep)

Data Data Data Data Data Data Data Data Kategori Kategori Kategori


(34)

Berdasarkan gambar di atas maka dapat dikemukakan bahwa kategori yang bersumber dari satu atau lebih data membentuk pola (hubungan antara kategori). Proses pencarian pola tersebut biasanya berlangsung dalam siklus data— kategori---pola.

Dalam rangka mengembangkan validasi pola tersebut, peneliti mengembangkan teknik (1) tingkat kepercayaan data; (2) triangulasi; (3) mencari bukti yang berlawanan; (4) teknis menyusun dan sorting kategori; (5) presentasi visual; dan (6) analisis silang-logik.

Teknik tingkat kepercayaan data adalah memilah-memilah siklus data-kategori berdasarkan tingkat kepercayaan sumber datanya. Pada penelitian ini, tingkat kepercayaan data adalah konsistensi substantif antara dokumen yang satu dengan yang lainnya (buku satu dengan yang lainnya).

Teknik triangulasi adalah melakukan validasi silang yang berkaitan dengan sumber, strategi, priode ketersediaan data dan skema konseptual yang berbeda.Ini dilakukan pada waktu melakukan pembahasan hasil penelitian, misalnya kategori metafisikasi Freire dengan Hegel dan Karl Marx.

Teknik mencari bukti yang berlawanan adalah untuk membandingkan kesenjangan pola yang dikembangkan dengan pola yang berlawanan.(Teknik ini tidak dilaksanakan pada penelitian ini)

Teknik menyusun dan pemilahan adalah membuat pola secara hirarkhis mulai dari data—topik—kategori.

Teknik silang-logik. Disamping teknik-teknik tersebut di atas juga penting pola tersebut mengandung eksplanasi logik yang berkaitan dengan masalah penelitian.

Aplikasi analisis data tersebut pada penelitian ini dapat dikemukakan pada gambar sebagai berikut:


(35)

Gambar 3.5

Prosedur Analisis Data Penelitian Struktur Fundamental Pedagogi Freire

Berdasarkan gambar di atas tampak bahwa analisis data dilakukan dengan cara analisis induktif mulai dari data, yaitu bacaan pada 6 buku/dokumen Freire, melakukan segmentasi ke dalam kategorisari (kategori dan sub kategori), dan mengembangkan keterkaitan antara kategori tersebut sebagai konstruksi fundamental pedagogi Freire.

Pola dan Tema

Pertama: Analisis selama pengumpulan

data Kedua: Kodifikasi

Data (Terlampir)

DATA BERUPA KONSEP DARI BUKU/DOKUMEN: a. Freire, Paulo (1970) (30th anniversary edition, 1993). Pedagogy

of the oppressed. New York& London:Continuum.

b. Shor, Ira & Freire, Paulo (1987). A Pedagogy for Liberation.

Dialogues on Transforming Education. Massachusetts: Bergin

& Garvey Publishers, Inc.

c. Freire, Paulo, and Ana Maria Araújo Freire. Pedagogy of the

heart. New York: Continuum, 1997.

d. Horton, Myles & Freire, Paulo (1990). We Make the Road by Walking. Philadelphia: Temple University Press.

e. Freire, Paulo (1967). Pedagogy of freedom : ethics, democracy,

and civic courage Critical perspectives series. Lanham:

Rowman & Littlefield Publishers.(Buku 06)

f. Freire, Paulo (1974). Education for critical consciousness. A Continuum book. New York,: Seabury Press.

kategori dalam rangka penemuan pola pikiran fundamental Freire

Segmentasi data ke kategori-kategori

Scanning semua konsep Menemukan pemahaman Refocusing study Metafisikasi Epistemologi Etika Tujuan Pend. Isi Pend. Proses Pen. (Didalam kategori tersebut terdapat sub kategori. ) Konstruksi: Penemuan keterkaitan kategori dalam rangka penemuan pemahaman utuh pikiran Freire


(36)

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

A. Simpulan

1. Ontologi, epistimologi dan aksiologi

Dunia (budaya), realitas, adalah kemungkinan-kemungkinan. Tidak ada ‘hukum besi’, misalnya hukum evolusi Darwinian, yang mengatur perkembangan atau perubahan realitas. Sejarah belum berakhir (berbeda dengan neoliberalis: sejarah sudah berakhir); sejarah berakhir ketika manusia berakhir kehidupannya. Realitas atau sejarah diciptakan manusia bersama manusia-manusia lainnya; dan kemudian sejarah mengkondisikan, bukan men-determinasi, kehidupan manusia. Realitas adalah wujud yang belum selesai.

Manusia yang berada bersama dunia, adalah unfinished beings, inconclusive beings. Secara demikian ontological vocation-nya adalah menjadi manusia, subjek. Sebagai subjek, ia tidak boleh menjadi objek. Di tengah dunia, juga di tengah alam semesta, ia harus mentransendensi diri, bukan tenggelam di tengah dunia. Dengan demikian manusia jelas adanya sebagai makhluk bebas.

Kebebasan manusia dibatasi oleh kebebasan orang-orang lainnya. Batas kebebasan adalah humanisasi. Kebebasan siapa pun harus menghargai dan patuh pada humanisasi yang berlaku bagi siapapun di muka bumi.Karena ontological vocation-nya yang demikian, manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas nasibnya, atas sejarahnya, atas masa depannya. Perjalanan sejarah bukan ditentukan Tuhan. Tuhan hanya menciptakan alam (hewan dan tumbuhan) dan manusia.

Ontological vocation manusia, sekalipun ia makhluk terbatas tetapi ia suatu subjek, adalah menciptakan atau menciptakan-ulang (to create, to re-create) dunianya. Ini dilakukannya secara transendental, melalui penciptaan makna, melalui eksistensi, bukan sekedar ekstensi dari life-support-nya sebagaimana yanag dilakukan hewan. Perilaku hewan hampir tidak ada jarak dengan life-support-nya. Manusia menciptakan dunia (budaya) yang terpisah dari dirinya. Karena itu, dapat menjadi beraneka-ragam antarkelompok sosial.


(37)

Freire menegaskan peranan manusia atau subjek adalah to create dan to re-create dunia, dengan cara problematisasi, intervensi kritis, iluminasi, transendensi, transformasi, bereksistensi, conscientization. Berbeda dengan hewan, tugasnya menerima apa yang sudah disediakan, beradaptasi terhadap lingkungannya.

Dunia, budaya, setelah diciptakan, memiliki perilaku dan kuasa tersendiri, dapat menenggelamkan subjek di dalamnya hingga terjadi apa yang disebut objektivikasi atau massifikasi. Dunia dengan temporalitasnya, memuat tema-tema zaman yang pada salah satu sisinya dapat menjadi limit-situations, situasi pembatas, mendominasi kesadaran atau menenggelamkannya. Contoh-contoh tema zaman dewasa ini adalah globalisasi, pasar bebas, neoliberalisme, Westernisasi; atau apapun yang mendominasi kesadaran banyak orang, hingga kesadaran tenggelam. Terhadap limit-situations, manusia harus mengumumkan dirinya sebagai subjek dengan melakukan limit-acts, tindakan-tindakan mengatasi atau keluar dari limit-situations. Inilah yang disebut conscientization, penyadaran diri, afirmasi-diri, penegakan posisi diri sebagai subjek bersama dunia dan bersama subjek-subjek lainnya; atau humanisasi.

Tuhan maha agung, Penguasa tertinggi dengan ‘kelapangan dada’ yang tak terhingga menganugrahi manusia dengan kemampuan menciptakan dunia dan memeliharanya. Tuhan yang menjadikan manusia sebagai subjek yang bebas dan bertanggung jawab penuh untuk penciptaan dunia dan pelanjutannya tanpa intevensi Tuhan. Inilah Tuhan seorang deis, maha bijak dan menyediakan hari akhir.

Nilai-nilai yang tertinggi adalah humanisasi. Humanisasi bersifat universal, berlaku bagi semua orang, tidak bisa bersifat eksklusif bagi segelintir orang; karena itu penindasan bukan hanya dehumanisasi untuk si tertindas tetapi juga untuk si penindas. Humanisasi mempersyaratkan kecintaan kepada kehidupan, kepada semua orang (biophily bukan necrophily); solidaritas dengan sesama manusia, kepercayaan kepada manusia lain, rendah hati, keterbukaan.

Pengetahuan adalah sebuah bagian dari dunia, diciptakan manusia. Pengetahuan tidak netral, karena tidak berada dalam vacuum, berada dalam masyarakat dengan nilai-nilai tertentu. Di dalamnya terkandung aspirasi, cita-cita


(38)

masyarakatnya, mengekspresikan kemanfaatannya sebagaimana dipersepsi oleh masyarakatnya. Pengetahuan dewasa ini dominan produk masyarakat maju, masyarakat kapitalis. Pengetahuan yang dihargai tinggi yang tercakup dalam Iptek dan menjadi isi-isi pendidikan lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh masyarakat industrial tersebut.

Pengetahuan sebagai sebuah bagian dari dunia bersifat sama sebagai makhluk yang unfinished yang diproduksi oleh manusia yang unfinished juga; karena itu pengetahuan tidak absolut melainkan berkembang.

Tradisi idealisme dan rasionalisme Barat selama ini menumbuhkan kepercayaan bahwa pengetahuan diperoleh dengan berpikir abstrak. Hal ini didukung oleh keberhasilan ilmu-ilmu kealaman dengan abstraksi simbolis-matematisnya atas hasil-hasil observasinya. Kemudian hal ini mendominasi ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Untuk pedagogi, Freire menempuh jalan lain, yaitu praksis. Buku saja tidak cukup untuk membangun sebuah pedagogi. Pedagogi harus dibangun melalui praktik-praktik dan refleksi-refleksi atas praktik-praktik ini. Freire bahkan memadukannya dengan dialog sebagai sebuah filsafat dan praktik: pedagogi harus dibangun bersama si terdidik (kaum tertndas), bukan dibangun oleh si pendidik untuk si terdidik. Freire menolak preskripsi sebagai praktik mendidik.

2. Tujuan pendidikan

Tujuan pendidikan adalah humanisasi. Humanisasi merupakan titik tolak, arah tindakan dan titik tuju pendidikan. Nilai-nilai humanisasi bersifat universal, tetapi on going. Humanisasi sebagai titik tolak pendidikan karena harus diasumsikan sejak pendidikan dimulai. Memulainya tanpa manusia, seperti dalam kasus pendidikan sebagai transfer Iptek, pelatihan, mmorisasi, dan indoktrinasi, adalah bukan pendidikan.Manusia membangun sejarah untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaannya tetapi pada titik tertentu sejarah yang dibangun menjadi mendominasi manusia. Karena itu, humanisasi selalu diperjuangkan, ditegakkan dan dikritisi. Humanisasi sebagai arah tindakan merupakan basis nilai untuk being bangkit dari nothingneess kemudian menuju being better. Humanisasi


(39)

sebagai titik tuju pendidikan adalah penciptaan/transformasi sejarah perabadan kemanusiaan yang lebih baik merupakan tujuan pendidikan.

3. Isi Pendidikan

Isi pendidikan adalah dialektika antara teks dan konteks. Teks adalah Iptek, sedangkan konteks adalah lingkungan sosial-budaya, juga yang bersumber dari tema-tema zaman (globalisasi, demokratisasi, neoliberalisme, pasar bebas). Kesadaran akan konteks mesti berkaitan dengan amanah diri: posisi diri di tengah konteks. Kompetensi yang selayaknya dikembangkan adalah kesadaran kritis dan transformatif terhadap tema-teman zaman yang mendominisasi dengan cara mengembangkan berpikir kritis, refleksi otentik, pengetahuan yang hidup/iluminatif, dan menangkap reason for being. Dengan demikian isi pendidikan melampaui dari sekedar kemampuan kognitif, yaitu metakognitif.

4. Proses Pendidikan

Proses pendidikan melibatkan conscientization, dalam rangka menamai dunia, penciptaan dunia yang lebih baik, dengan mengintervensi kritis dunia, melalui perhubungan dialogis antara terdidik dan pendidik. Kesadaran terdidik harus berkembang dari kesadaran naif ke kesadaran kritis, dan kesadaran transformatif/politis dengan cara problematisasi isipendidikan/dunia. Pendekatan pembelajarannya adalah pendidikan hadap-masalah, pendidikan tematik, pendidikan kritis, pembebasan, praksis dan transformatif/radikal. Perhubungan dialogis ditandai dengan syarat-syarat perhubungan yaitu dengan adanya cinta, kerendahan hati, kritis, kepercayaan yang dalam, dan optimistik. Peranan pendidik adalah belajar, mempelajari objek bersama terdidik, menghargai manusia, mentransfomasi sosial, keteladanan, mengajar terpadu dengan refleksinya, mengajar menciptakan kemungkinan belajar, mengajar melalui ceramah dan diskusi, mengajar dengan kata yang benar (praksis) dan mengajarberpikir kritis.

5. Relevansi Pikiran Fundamental Freire untuk Pendidikan di Indonesia

Relevansi pikiran fundamental Freire untuk pendidikan Indonesia berkenaan dengan filsafat manusia Indonesia, rumusan manusia ideal Indonesia, sebagaimana terekspresikan dalam rumusan kompetensi-kompetensi ideal. Terdapat enam kategori kompetensi manusia ideal Indonesia. Kelimanya


(40)

terekspresikan dalam rumusan manusia (bangsa) ideal Indonesia dalam:(1) Alinea keempat Pembukaan UUD 1945, tentang cita-cita nasional di bidang pendidikan; (2) Pasal 31 ayat (3) UUD 1945, mengenai amanat pendidikan untuk pemerintah; (3) Pasal 3 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang fungsi pendidikan nasional; (4) Pasal 3 dan Penjelasan atas UU RI No. 20 tahun 2003 tentang tujuan pendidikan nasional; (5) Pasal 1 ayat 2 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang definisi pendidikan nasional; dan (6)Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang R.I. No. 20 Tahun 2003, masih tentang definisi pendidikan nasional.

Keenam kompetensi tersebut juga terekspresikan dalam rumusan Tujuan Mata Pelajaran IPA, IPS, dan PKN SD/MI dan rumusan Standar Isinya. Keenam kompetensi tersebut: kompetensi keyakinan/ketuhanan, kompetensi kesadaran, kompetensi sebagai diri, kompetensi kognitif, kompetensi afektif, dan kompetensi psikomotor. Masing-masing kompetensi ini mengisyaratkan pedagogi yang berbeda-beda. Kompetensi kesadaran terpilih menjadi payung untuk semua kompetensi lainnya. Inilah relevansi pemikiran Freire. Alasan pertama, kesadaran Freireian memiliki beberapa dimensi yang penting: perilaku kritis, kedirian, dan praksis. Dimensi praksis dari kesadaran membuatnya mampu menjadi payung, menyediakan kejelasan tentang pengalaman belajar untuk setiap kompetensi yang ada. Karena itu pengalaman belajar untuk masing-masing kompetensi adalah: praksis (1) keimanan/ketuhanan, (2) praksis kesadaran (itu sendiri), yang berkaitan erat dengan (3) praksis kedirian, (4) praksis kognisi, (5) praksis afeksi, dan (6) praksis psikomotor.

Praksis, bukan cogito ergo sum (Descartes), adalah sebuah universalia kehidupan manusia dan bangsa apapun, dan apapun filsafat/ideologi/keyakinan yang dianutnya. Mereka semua meningkatkan/transformasi (atau merusak) kehidupannya dengan praksis: aksi-refleksi.

Alasan kedua, dimensi kedirian: manusia (dan bangsa) dengan kemampuan dan watak serta peradaban yang bermartabat agar kehidupannya cerdas, karakteristik esensialnya adalah berdaulat dan berkompetensi menyeluruh/komprehensif (enam kompetensi). Berdaulat artinya memiliki diri, bersama diri-diri lain yang juga berdaulat, menentukan jalannya sejarah


(41)

(transformatif), bukan terseret tidak berdaya dalam arus sejarah karena tidak mampu membaca (menyadari) sejarah, tenggelam dalam sejarah (submerged consciousness). Membaca sejarah adalah kemampuan memahami hubungan sejarah dengan diri.

Indikasi ketenggelaman kesadaran secara massif adalah stagnansi perkembangan sejarah, salah satunya karena penyakit masyarakat yang massif, misalnya korupsi Indonesia.

Alasan ketiga, dimensi perilaku kritis dari kesadaran. Kritis adalah milik kompetensi kesadaran, bukan kompetensi yang lainnya. Sebuah contoh sederhana, mengingat adalah mengingat sebuah hal. Tetapi kemudian dapat terjadi orang menjadi menyadari bahwa ia telah mengingat secara keliru. Inilah metamemori, salah satu kemampuan dari kesadaran, nama lainnya metakognisi. Melalui kesadaran seseorang melampaui (to transcend) kompetensi-kompetensi yang ada, dan menangkap dialektika, interrelatedness (bukan visi focalist yang tumbuh karena spesialisasi).

Saat ini riset-riset metakognisi untuk pendidikan sedang marak di Barat. Riset-riset ini menemukan sejumlah mekanisme/strategi/operasi/metode dari metakognisi. (Tetapi para pendidik Indonesia jangan terbirokratisasi, melalui memorisasi, oleh metode-metode yang ada. Dalam kasus seperti ini, sesuai anjuran Freire, yang harus kita lakukan adalah me-re-kreasi metode-metode, jika bukan meng-kreasi-nya.) Ilmuwan pendidikan Indonesia sebaiknya turut melakukan riset ini, karena kesadaran atau metakognisi adalah amanat pendidikan nasional.

Pedagogi yang sudah populer di kalangan guru adalah pedagogi kognitif, dan psikomotor, untuk pedagogi afektif atau karakter baru dimulai tahun 2010. Pedagogi untuk keyakinan, kesadaran, dan diri di Indonesia dapat dikatakan belum tersedia, sekalipun ideologi bangsanya demikian adanya.

Disertasi ini menyimpulkan bahwa pedagogi yang lebih sesuai dengan filsafat bangsa Indonesia adalah praksis humanisasi religius (PHR), sekaligus PHR ini dapat mengatasi kekosongan teori pedagogi untuk pengembangan


(42)

keyakinan/keimanan, kesadaran, dan diri. Dan untuk pedagogi kognitif, PHR turut memperkuatnya, sebagaimana banyak ditemukan melalui penelitian di Barat.

B. Implikasi

1. Pancasila adalah dasar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai a way of life bangsa Indonesia, sebagai ideologi bangsa Indonesia. Dengan predikat-predikat yang demikian, Pancasila adalah sebuah ideologi terbuka sekaligus sebagai jati diri bangsa. Pancasila harus terbuka demi pengayaan maknanya yang dibutuhkan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa dengan peradaban yang bermatabat demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Pancasila sebagai jati diri bangsa harus dijaga dan dipelihara sebagai persyaratan kesatuan bangsa. Pancasila sebagai jati diri bangsa mengimplikasikan ia bersifat fixed, sekurang-kurangnya secara praktis sebab pengubahannya dengan jati diri yang lain akan mengubah bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lain dari dirinya sendiri. Ini akan ditolak oleh sebagian komponen bangsa Indonesia, kalau bukan oleh seluruh bangsa Indonesia. Sekalipun demikian, sekalipun bersifat fixed, sebuah jati diri tidak boleh statik, harus dikembangkan sambil tetap menjaga unsur-unsur dasariahnya demi kesatuan bangsa. Bagaimanapun, Pancasila adalah sebuah bagian dari dunia yang kita ciptakan bersama, makhluk yang unfinished juga adanya. Dengan demikian, Pancasila sebagai ideologi terbuka dan sebagai jati diri bangsa harus dikembangkan, diperdalam, dan diperkaya.

2. Pemikiran filsafat dan pedagogi Freire menawari kita untuk dapat memperkaya pemikiran kita tentang Pancasila yang mencita-citakan bangsa dengan peradaban yang bermartabat demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Freire menyediakan sebuah definisi filosofis yang praktis yang dapat mengisi pemahaman kita tentang apa bangsa yang bermartabat yang mencerdaskan kehidupannya. Bangsa yang demikian selalu men-denounce (mengeritik keras dan terbuka) penjajahan (apapun bentuknya) harus dihapuskan dari muka bumi. Bangsa yang demikian


(1)

282

merupakan hubungan kesetaraan, subjek-subjek, bukan hubungan pemerintah dan pelaksana perintah; hubungan manusia dengan dirinya sendiri, harus merupakan pemosisian diri sebagai subjek, a conscious body, yang tidak hanya melakukan kognisi, tetapi juga bermetakognisi (karena itu taksonomi Bloom tidak cukup sebagai acuan untuk pembelajaran); hubungan manusia-Tuhan, manusia harus mempersepsi Tuhan sebagai sumber kekuatan untuk berjuang menentukan perjalanan sejarahnya, bukan Tuhan yang mengizinkan fatalisme manusia.

4. Perlu pengkajian lebih lanjut filsafat manusia Indonesia dan elaborasinya menjadi kompetensi-kompetensi yang menjadi tanggung jawab dunia pendidikan untuk merealisasinya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Lorin W.; Krathwohl, David R.; Airasian, Peter W.; Cruikshank, Kathleen A.; Mayer, Richard E.; Pintrich, Paul R.; Raths, James; dan Wittrock, Merlin C. (ed.) (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing. A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. Abridged Edition. New York: Longman Inc.

Arrow, Kenneth (2004). Art (dalam The Blackwell Dictionary of Western Philosophy. 2004. Nicholas Bunnin and Jiyuan Yu). UK: Blackwell Publishing.

Badan Standar Nasional Pendidikan (2006). Standar Isi.

Banks, Cherry A. McGee dan Banks, James A. (1995). Equity Pedagogy: An Essential Component of Multicultural Education. Source: Theory into Practice, Vol. 34, No. 3, Culturally Relevant Teaching (Summer, 1995), pp. 152-158 Published by: Lawrence Erlbaum Associates (Taylor & Francis Group) Stable URL: http://www.jstor.org/stable/1476634 Accessed: 07/01/2010 16:48

Beeby, C.E. (1980). Pendidikan Indonesia. Jakarta: LP3S

Beiser, Frederick R. (2006). Cambridge Companion to Hegel: Hegel and the Problem of Metaphysics. USA: Cambridge University Press

Berlyne, D. E. (1950). Novelty and curiosity as determinants of exploratory behavior. British Journal of Psychology, 41:68-80.

Berlyne, D. E. (1954). A theory of human curiosity. British Journal of Psychology, 45:180-191.

Berlyne, D. E. (1960). Conflict, Arousal, and Curiosity. New York: McGraw Hill.

Brubacher, John S. (1981). Modern Philosophiesof Education. New York: McGraw-Hill, Inc.

Collins III, John W. and O'Brien, Nancy Patricia (ed.) (2003). Art. (dalam The Greenwood dictionary of education). Westport: Greenwood Publishing Group, Inc.

Collins III, John W. and O'Brien, Nancy Patricia (ed.) (2003). Craft. (dalam The Greenwood dictionary of education). Westport: Greenwood Publishing Group, Inc.


(3)

284

Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas (2008). Panduan Umum Pengembangan Silabus. Jakarta: Kemdiknas. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2012). Bahan Uji Publik Kurikulum

2013. Jakarta: Kemdikbud.

Ernest, P. (1995). The one and the many. In L. Steffe & J. Gale (Eds.).

Constructivism in education (pp.459-486). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates,Inc.

Fortaliza,FC (2007). “Paulo Freire: In His Views On Education”. KINAADMAN

An Interdisciplinary Research Holy Name University, 18,5-6.

Foster, Michael (2006). Cambridge Companion to Hegel: Hegel’s Dialectical

Method. USA: Cambridge University Press

Fowler, H. (1965). Curiosity and Exploratory Behavior. New York: Macmillan. Freire, Paulo. (2007). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.

Freire, Paulo. (1985). The Politics of Education : culture, power, and liberation. South Hadley, Mass.: Bergin & Garvey.

Freire, Paulo (1974). Education for Critical Consiousness. ed. baru: 2004. Translated and edited by Myra Bergman Ramos. London: Continuum Gibson, R (1994). The Promethean Literacy: Paulo Freire's Pedagogy of Reading,

Praxis and Liberation. Dissertation The Pennsylvania State University. Giroux, H. A. (1994). Disturbing Pleasures: Learning Popular Culture.

Routledge: New York.

Guignon, Charles B. (1998). Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1.0, Routledge: London and New York

Gonzalez, E. R et.al (2007). “Participatory Action Research For Environmental Health: Encountering Freire In The Urban Barrio”. Journal of Urban Affairs, 29,77–100.

Hasbullah. (2005). Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta. Penerbit: PT RajaGrasindo Persada

Jurnal Nasional “MATEMATIKA, Jurnal Matematika atau Pembelajarannya”, Tahun VIII. ISSN: 0852-7792, Universitas Negeri MalangKonferensi Nasional Matematika XI, 22-25 Juli 2002


(4)

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (2006). Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006 Standar Isi. Jakarta: Kemendikbud RI.

Langevin, R. (1971). Is curiosity a unitary construct? Canadian Journal of Psychology, (25) 360-374.

Loewenstein, G. (1994). The Psychology of curiosity: A review and reinterpretation. Psychological Bulletin, 116(1):75-98.

Lohithakshan, P.M. (2002). Dictionary of Education A Practical Approach. New Delhi: Kanishka Publisher.

--- (2000). Merriam-Webster’s Unabridge Dictionary.

Losee, John. (1972). A Historical Introduction to the Philosophy of Science.

London: Oxford University Press.

McCloskey O.S.A., Gary N. (2005). Threads to be Woven: Characteristics of Augustinian Pedagogy (Presented at The O.S.A. Educators International Congress, Rome, Italy, July 2005). Massachusetts: the Saint Augustinus Institute for Learning and Teaching, Merrimack College, North Andover.

McMillan, James H. & Schumacher, Sally. (2001). Research In Education, A Conceptual Approach (Fifth ed.). New York: Addison Wesley Longman, Inc.

Moore T.W. (2010). Philosophy of education: an introduction. London: the Taylor & Francis e-Library.

Morphy, Howard (2010). Art (dalam The Routledge Encyclopedia of Social and Cultural Anthropology. Second edition Edited by Alan Barnard and Jonathan Spencer). Oxon, USA, & Canada: Routledge.

Nurul, Zainab, (2012). Paradigma Pendidikan Kritis (Studi Komparasi Pemikiran Paulo Freire dan Murtadha Muthahhari). Tesis, Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Power, Edwar J. (1982). Philosophy of Education, Studies in Philosophies, Schooling, and Educational Policies. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Provenzo, Jr.,Eugene F.Paulo Freire (1921-1997). [Online]. Available at:


(5)

286

education.miami.edu/ep/contemporaryed/Paulo_Freire/paulo_freire.html (May 1, 2011)

Rowe, William L. (1998). Routledge Encyclopedia of PhilosophyVersion 1.0:

Deism. London and New York: Routledge

Runes, Dagobert D. (----). The Dictionary of Philosophy. New York: Philosophical Library, Inc.

Salvatori, Mariolina Rizzi (ed.). (1995). Pedagogy. Disturbing History 1819-1929. USA: University of Pittsburgh Press.

Syaripudin, Tatang & Kurniasih (2009). Landasan Filosofis Pendidikan (dalam Landasan Pendidikan). Buku Ajar. Sub Koordinator MKDP Landasan Pendidikan, FIP, UPI: Bandung.

Schatzki, T. (2005). Bordieu, Pirre. The Edinburgh Dictionary of Continental Philosophy. Edited by John Protevi. Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd.

Sekretariat Balitbang Kemendiknas (2010). Kajian Relevansi Lulusan Pendidikan Nasional (Power Points). Jakarta: Sekretariat Balitbang Kemendiknas RI. Sorabji, Richard (1998).Aristotle (384-322 BC), dalamRoutledge Encyclopedia of

Philosophy, Version 1.0, London and New York: Routledge

Stevens, C. (2002).Critical Pedagogy on the Web. [Online]. Available at: http://mingo.info-science.uiowa.edu/~stevens/critped/similar.htm[25 Mei 2011].

Simatupang dkk. (2012). Prinsip dan Pedoman PPSI. [online]. Tersedia: http://www.slideshare.net/vanterdebataraja/prinsip-dan-prosedur-bg-ucok [25 November 2012].

Sudarma, Momon. (2008). Nasionalisasi Nasionalis (me). Kompas [online]. Tersedia:

http://nasional.kompas.com/read/2008/06/02/18530855/nasionalisasi.nasi onalisme [2 Juni 2008].

Supinah; Markaban; Sasongko, Hanan Windro; Hidayat, Fajar Noer (2008).

Penyusunan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Matematika SD dalam Rangka Pengembangan KTSP. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Susilana, Rudi. (____). Model PPSI (Model Prosedur Pengembangan

Instruksional). [online]. Tersedia:


(6)

DIDIKAN/196610191991021-RUDI_SUSILANA/KP10c1-Model_PPSI-Kemp.pdf [25 November 2012].

Vygotsky, LS (1978). Mind and society: The development of higher mental processes. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Watkins, Chris dan Mortimore (1999). Pedagogy: What Do We Know ? dalam: Mortimore, (ed.) (1999). Understanding Pedagogy and its Impact on Learning. London: SAGE Publications Company.

Whitehead, Alfred North (1964, 14th print.). The Aims Of Education. England: William and Norgate, Ltd.

... (2000). Merriam-Webster Unabridge’s Dictionary. Version 2.5. Merriam-Webster Inc.

...(2009). Encarta Dictionary. Microsoft® Encarta® 2009. Microsoft Corporation.