PEDAGOGI KRITIS PAULO FREIRE DI QARYAH THAYYIBAH KALIBENING SALATIGA.

(1)

PEDAGOGI KRITIS PAULO FREIRE DI QARYAH THAYYIBAH KALIBENING SALATIGA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Sebagai Persyaratan guna Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh: Devi Fitriana NIM 12110241030

PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

“Depth rather than breadth“

(Frank Abraham)

“ Manusia adalah makhluk yang berada. Pendidik bukanlah subjek yang mengajar, siswa bukanlah objek yang diajar. Tugas pendidikan adalah mengantarkan manusia

dalam mencapai keutuhannya sebagai manusia“ (Penulis)

“Pendidikan yang riil adalah pendidikan yang mengaitkan antara tekstual dan kontekstual“


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirrobilalamin dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan apa yang saya butuhkan serta kenikmatan, anugerah dan ridho atas perjuangan saya dalam menyelesaikan karya ini. Karya ini saya persembahkan untuk:

1. Ayah dan Ibu tercinta yang selalu sabar dalam mendidik saya sampai saat ini. 2. Seluruh Civitas Akademik Ilmu Pendidikan Seluruh Indonesia.


(7)

vii

PEDAGOGI KRITIS PAULO FREIRE DI QARYAH THAYYIBAH KALIBENING SALATIGA

Oleh Devi Fitriana NIM 12110241030

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembelajaran pedagogi kritis Paulo Freire di Qaryah Thayyibah.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif naturalistik. Tempat penelitian ini adalah di Qaryah Thayyibah Kalibening Salatiga. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumen. Peneliti menggunakan uji triangulasi sumber dan teknik. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan model Miles dan Hubberman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) Tujuan Qaryah Thayyibah menerapkan Pedagogi Kritis Paulo Freire adalah untuk mengembangkan kesadaran kritis. 2) Alasan Qaryah Thayyibah menerapkan pedagogi kritis Paulo Freire karena adanya rasa keprihatinan pendiri Qaryah Thayyibah melihat pendidikan di sekolah lain yang tidak sesuai dengan yang seharusnya. 3) Proses pembelajaran yang dilakukan di Qaryah Thayyibah dilihat dari kurikulum yang dijalankan dibuat dan direncanakan oleh pendamping dan warga belajar berdasarkan kesepakatan bersama. Kegiatan pembelajaran terdiri dari upacara, pertemuan kelas, ide, tawasi, harkes (hari kesehatan), forum, Tugas Akhir (TA), Gelar Karya (GK), tafsir Alqur’an dan evaluasi. Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran menggunakan metode dialog dan hadap masalah. Pembentukan karakter kedisiplinan dan kesopanan di Qaryah Thayyibah menggunakan metode yang tidak menekan dan memaksa. 4) Hasil pembelajaran di Qaryah Thayyibah berupa hasil karya nyata dan pembentukan kepribadian.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta karunia-Nya kepada penulis, sehingga pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi yang berjudul “Pedagogi Kritis Paulo Freire di Qaryah Thayyibah Kalibening Salatiga” ini dengan sebaik-baiknya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin penelitian dan menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.

2. Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin penelitian dan saran kritik selama pra observasi penelitian.

3. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan Program Studi Kebijakan Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin penelitian dan kesempatan peneliti untuk memaparkan gagasan dalam bentuk skripsi.

4. Ibu L. Andriani P, M. Hum. dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan, dukungan dan nasehat selama proses perkuliahan.

5. Ibu Dr. Rukiyati, M. Hum. dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan waktunya untuk bimbingan sejak awal hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini dengan baik.

6. Seluruh dosen Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan Program Studi Kebijakan Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah banyak membantu dan memberikan ilmu selama masa studi.


(9)

ix

7. Pihak Qaryah Thayyibah yang telah memberikan ijin, informasi, kesempatan dan bantuannya selama penulis melakukan penelitian. Terkhusus untuk saudari Neneng (alumni Qaryah Thayyibah) yang telah memberikan ijin untuk bertempat tinggal di rumahnya dalam rangka penyelesaian penelitian skripsi. 8. Ayah dan Ibu tercinta serta keluarga yang selalu memberikan semangat,

perhatian dan dorongan baik dari segi moril, material maupun spiritual.

9. Teman-teman Organisasi HIMA KP 2013 yang selalu memberikan dorongan dan motivasi.

10.Teman-teman BEM FIP UNY 2014 dan BEM FIP UNY 2015 yang telah memberikan motivasi, dukungan, perhatian dan doa terbaik hingga terselesaikannya penulisan skripsi.

11.Teman-teman seperjuangan Prodi Kebijakan Pendidikan angkatan 2012.

12. Adik-adik Afi, Cahyani, Fitri, Wisnu, Fauzan, Rohim, yang selalu memberikan motivasi, doa, saran dan waktu untuk menghibur dan menemani perjalanan selama penelitian.

13.Keluarga besar kos Karangmalang Blok B 18C, mbak Ririn, Una, Rohmi, Putri, Uma, Septi, Surip, dan Galih yang selalu memberikan semangat dan dukungan dari awal penyusunan skripsi hingga terselesaikannya tugas akhir ini dengan baik.

14.Komunitas pendidikan Batara Learning Center (BLC) yang telah mendukung dan menerapkan pendekatan pedagogi kritis di salah satu daerah di Gunung Kidul.

15.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, baik langsung maupun tidak langsung yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.


(10)

(11)

xi DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN ii

HALAMAN PERNYATAAN iii

HALAMAN PENGESAHAN iv

HALAMAN MOTTO v

HALAMAN PERSEMBAHAN vi

ABSTRAK vii

KATA PENGANTAR viii

DAFTAR ISI xi

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang 1

B.Identifikasi Masalah 7

C.Fokus Penelitian 8

D.Perumusan Masalah 8

E. Tujuan Penelitian 8

F. Manfaat Penelitian 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A.Tinjauan Pedagogi 10

1. Pengertian Pedagogi 10

2. Faktor-Faktor Pendidikan 11

B.Tinjauan Pedagogi Kritis Paulo Freire 20

1. Pengertian Pedagogi Kritis 20

2. Konteks Sosial Histori Pedagogi Kritis 22


(12)

xii

4. Kurikulum dalam Pembelajaran 27

5. Hubungan Pendidik-Peserta Didik 31

6. Proses Penyadaran (Conscientizacao) sebagai Tujuan Pendidikan 33 7. Kekuatan dan Kelemahan Konsep Conscientizacao 38

C.Pengertian Pembelajaran 41

D.Kritik Pendidikan Gaya Bank 44

E. Metode Pendidikan Paulo Freire 48

1. Metode Hadap Masalah 48

2. Metode Dialogis 51

F. Penelitian yang Relevan 53

G.Kerangka Berpikir 58

H.Pertanyaan Penelitian 61

BAB III METODE PENELITIAN

A.Jenis Penelitian 62

B.Subjek Penelitian 62

C.Setting Penelitian 64

D.Prosedur Lapangan 64

E. Teknik Pengumpulan Data 65

F. Instrumen Penelitian 69

G.Teknik Analisis Data 70

H.Keabsahan Data 72

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Hasil Penelitian 74

1. Gambaran Umum Qaryah Thayyibah 74

2. Sejarah Berdirinya Qaryah Thayyibah 77

3. Visi-Misi Qaryah Thayyibah 81

4. Struktur Organisasi 82

5. Profil Pendiri Qaryah Thayyibah 82

6. Profil Pendamping Qaryah Thayyibah 84


(13)

xiii

B.Penerapan Pedagogi Kritis di Qaryah Thayyibah 89 1. Tujuan Qaryah Thayyibah Menerapkan Pedagogi Kritis Paulo Freire 89 2. Alasan Qaryah Thayyibah Menerapkan Pedagogi Kritis Paulo Freire 92 3. Proses Pembelajaran dalam Perspektif Pedagogi Kritis Paulo Freire 94 4. Hasil Belajar Warga Belajardalam perspektif Pedagogi Kritis Paulo Freire 132

C.Pembahasan 145

1. Tujuan Qaryah Thayyibah Menerapkan Pedagogi Kritis Paulo Freire 145 2. Alasan Qaryah Thayyibah Menerapkan Pedagogi Kritis Paulo Freire 147 3. Proses Pembelajaran dalam Perspektif Pedagogi Kritis Paulo Freire 149 4. Hasil Belajar Warga Belajar dalam perspektif Pedagogi Kritis Paulo Freire 160 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 164

B. Saran 165

DAFTAR PUSTAKA 167


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

hal Tabel 1. Jumlah Pendamping di Qaryah Thayyibah 85 Tabel 2. Jumlah Warga Belajar di Qaryah Thayyibah 88 Tabel 3. Kurikulum Fleksibel di Qaryah Thayyibah tahun 2016 95 Tabel 4. Contoh Kurikulum Mingguan Warga Belajar 99 Tabel 5. Jenjang Pendidikan di Qaryah Thayyibah Tahun 2016 108 Tabel 6. Jadwal Kegiatan Pembelajaran di Qaryah Thayyibah 116


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1. Penddikan Hadap Masalah 50

Gambar 2. Kerangka Berpikir 60

Gambar 3. Langkah Analisis Data Model Miles and Huberman 72

Gambar 4. Kurikulum Semester 98

Gambar 5. Pembuatan Ide 134

Gambar 6. Hasil Karya Warga Belajar Membuat Komik 136 Gambar 7. Hasil Karya Warga Belajar Membuat Desain Rumah 138


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Pedoman Observasi ... 171

Lampiran 2. Pedoman Dokumen... 172

Lampiran 3. Pedoman Wawancara ... 173

Lampiran 4. Kisi-kisi Pedoman Observasi... 179

Lampiran 5. Kisi-kisi Pedoman Wawancara ... 181

Lampiran 6. Contoh Analisis Triangulasi Sumber ... 182

Lampiran 7. Contoh Analisis Triangulasi Teknik ... 222

Lampiran 8. Analisis Contoh Pembelajaran Dialog-Hadap Masalah ... 240

Lampiran 9. Catatan Lapangan ... 246

Lampiran 10. Prestasi Lembaga Qaryah Thayyibah ... 258

Lampiran 11. Prestasi Warga Belajar... 259

Lampiran 12. Dokumentasi Foto Sarana Prasarana ... 260

Lampiran 13. Dokumentasi Foto Buku Report Warga Belajar ... 262

Lampiran 14. Proses Pembelajaran ... 263

Lampiran 15. Hasil Karya Warga Belajar ... 267


(17)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan proses mengembangkan potensi peserta didik. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah hal yang mutlak harus diberikan kepada manusia di setiap perkembangannya. Pendidikan merupakan sektor penting dalam pembangunan sumber daya manusia dan pembangunan nasional. Hal ini dapat dilihat bahwa dengan pendidikan, segala sektor pembangunan nasional di Indonesia dapat tercapai. Untuk memajukan pembangunan nasional diperlukan kesadaran masyarakat dalam meningkatkan kualitas pendidikannya. Seluruh masyarakat harus memprioritaskan pendidikan agar apa yang menjadi cita-cita pedidikan nasional dapat tercapai. Oleh karena itu, pendidikan harus dipersiapkan secara matang dan terencana, agar pendidikan dapat mencapai tujuan dari pendidikan tersebut.

Peningkatan kualitas manusia dibutuhkan pendidikan yang dapat mengantarkan manusia untuk mencapai aktualisasinya. Pendidikan pada dasarnya bukan hanya memberikan ilmu untuk mempersiapkan masa depan saja, namun juga memberikan jawaban mengenai kebutuhan yang sekarang. Proses pendidikan mengalami perkembangan secara dinamis, hal ini disebabkan karena adanya kemajuan dan perubahan zaman. Pendidikan harus dapat menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Masyarakat siap atau tidak siap harus dapat menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Jika masyarakat adalah masyarakat yang terbuka, maka perubahan tersebut mudah diterima.


(18)

2

Semakin tinggi suatu cita-cita negara, maka semakin banyak tuntutan yang harus diperbaiki dan dievaluasi sistem pendidikan yang berlaku. Dalam penyelenggaraan pendidikan, dibutuhkan proses pembelajaran untuk memperlancar tujuan dari pendidikan tersebut. Telah disebutkan bahwa “pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara” (Undang-Undang Sisdiknas No 20 Th 2003).

Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa pada hakikatnya pendidikan sangat berkaitan dengan proses pembelajaran. Pembelajaran merupakan sebuah proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik, yang didalamnya terjadi proses transformasi ilmu yang dapat mengembangkan potensi peserta didik. Dalam hal ini, pendidikan dan pembelajaran merupakan hal yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.

Pembelajaran harus menciptakan suasana yang nyaman dan aktif bagi peserta didik. Pendidik sebagai orang yang mendidik harus dapat menyelaraskan antara proses pembelajaran dengan lingkungan, agar keduanya menyatu dan dapat membuat peserta didik nyaman berada di dalamnya. Dalam proses pembelajaran pendidik juga harus pintar dalam memilih strategi dan metode yang digunakan untuk belajar. Tugas pendidik tidak hanya


(19)

3

memberikan ilmu semata, namun juga memikirkan bagaimana cara agar anak dapat memahami setiap ilmu yang diberikan.

Kurang profesionalnya pendidik dalam mengajar, salah satu penyebab menurunnya kualitas pendidikan di Indonesia. Perubahan kebijakan pendidikan yang silih berganti seolah-olah hanya untuk memenuhi tuntutan birokrasi daripada pencerdasan kehidupan bangsa. Pergantian kurikulum yang tiada henti merupakan salah satu contoh akibat dari perubahan kebijakan pendidikan yang mengakibatkan guru kesulitan dalam menyesuaikan kebijakan yang diberikan. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Herry Widyastono (2012: 252) dengan judul “Kemampuan Guru dalam Menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan” menyimpulkan bahwa kemampuan guru dalam menyusun kurikulum masih sangat rendah. Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) tidak ada satupun responden yang menyempurnakan rumusan SK dan/atau KD, meskipun rumusan KD tidak sinkron dan /atau KD; 2) Materi pokok yang dirumuskan sebagian besar responden kurang tegas ruang lingkupnya; 3) Kegiatan pembelajaran yang dirumuskan sebagian besar responden tidak mencerminkan pembelajaran yang mengaktifkan peserta didik, melainkan guru yang aktif; 4) Indikator yang dirumuskan sebagian responden selain rumusannya tidak benar, karena tidak terukur juga kurang lengkap, serta tidak satupun yang mencerminkan nilai-nilai karakter, ekonomi kreatif dan kewirausahaan, dan/atau pendidikan antikorupsi; 5) Penilaian yang dirumuskan sebagian responden tidak mengukur aspek sikap dan


(20)

4

keterampilan, hanya mengukur aspek pengetahuan semata; 6) hanya sekitar 50% responden yang merencanakan aloasi waktu tatap muka didasarkan atas jumlah minggu efektif dan yang lainnya hanya perkiraan semata; 7) sebagian besar responden (90%) hanya mengandalkan buku teks pelajaran, dengan alasan cukup memadai, tidak memanfaatkan sumber belajar yang lebih menarik.

Selain itu, di negara kita terdapat praktik pendidikan di mana masih banyak pendidik yang menempatkan peserta didik sebagai objek pendidikan. Pernyataan tersebut kemudian diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Bajuka dkk (2014:2) dengan judul penelitian “Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Turnament dan Student Team Achievement Divisions Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Biosfer di SMA Negeri 1 Tibawa” menyimpulkan bahwa hasil observasi mengenai kondisi pembelajaran Geografi di SMA Negeri Tibawa masih berpusat pada guru. Artinya, guru masih mendominasi kegiatan pembelajaran di kelas. Metode yang digunakan berupa metode ceramah, sehingga siswa hanya mendengarkan dan mencatat apa yang disampaikan oleh guru, kemudian menerima evaluasi yang diberikan. Selain itu, kurangnya motivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran Geografi menyebabkan siswa terkadang merasa bosan dan mengantuk. Hal tersebut terlihat ketika pembelajaran Geografi berlangsung, beberapa siswa terlihat mengantuk dan bosan. Metode konvensional di SMA Negeri 1 Tibawa masih diterapkan dengan alasan metode ini mudah diterapkan, praktis, dan tidak banyak menyita waktu. Hal


(21)

5

tersebut kemudian menyebabkan siswa merasa kesulitan dalam menerima materi (http://eprints.ung.ac.id/). Dari hasil penelitian di atas, jika dilihat dari proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah kurang menekankan metode pembelajaran yang dapat mengaktifkan peserta didik serta tidak berorientasikan pada pemecahan masalah kehidupan riil masyarakat.

Berdasarkan hasil observasi di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah, Kalibening, Salatiga diperoleh informasi bahwa komunitas ini menerapkan konsep pembelajaran yang memerdekakan manusia. Qaryah Thayyibah berdiri atas dasar kesadaran masyarakat untuk membantu anak yang termarginal (yang terkendala biaya, tidak suka dengan sekolah formal, tidak diterima di sekolah ataupun dikeluarkan dari sekolah). Qaryah Thayyibah hanya terdiri atas tingkat pendidikan dasar (SMP) dan menengah (SMA) dengan penekanan pada pencarian jati diri dan kreativitas peserta didik, yang kemudian sekarang menjadi lembaga pendidikan kesetaraan paket A dan B.

Konsep pembelajaran di Qaryah Thayyibah ini adalah memberikan kebebasan pada peserta didik, agar dapat berkembang sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Peserta didik dibimbing dan didampingi untuk belajar membangun kesadaran kritis dan belajar sesuai apa yang mereka inginkan. Pendidik di Qaryah Thayyibah ini disebut sebagai pendamping karena tugas mereka hanya untuk mendampingi/fasilitator bagi peserta didik, sedangkan pesera didik di Qaryah Thayyibah disebut sebagai warga belajar. Kegiatan belajar mengajar dilakukan sesuai kebutuhan dan kesepakatan bersama antara


(22)

6

pendidik dan peserta didik. Kurikulum yang digunakan bersifat fleksibel dan tidak kaku.

Proses pembelajaran di Qaryah Thayyibah rencana pembelajaran dibuat secara langsung oleh warga belajar dan pendamping satu minggu sebelum pelaksanaan pembelajaran. Belajar yang dilakukan oleh peserta didik adalah belajar untuk mendiskusikan permasalahan yang ada di lingkungan masyarakat, misalnya dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan pembangunan desa. Anak diajak untuk berpikir secara terbuka untuk mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi. Hal ini sejalan dengan pemikiran pembelajaran Paulo Freire yang menawarkan pendidikan kritis dalam upaya memperbaiki konsep pendidikan “gaya bank“, di mana masih menempatkan peserta didik sebagai objek pendidikan.

Pandangan Freire mengenai pendidikan kritis dapat ditempuh dengan menggunakan metode hadap masalah. Metode hadap masalah ini dapat merangsang peserta didik untuk dapat berpikir kritis. Pendidikan hadap masalah memberikan kebebasan kepada anak untuk menerima, menganalisis dan memecahkan suatu masalah dengan jalan fikirannya sendiri. Harapannya, pendidikan ini dapat membiasakan masyarakat untuk mandiri dalam memecahkan masalah riil kehidupan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua pembina/pengelola dan pendamping di Qaryah Thayyibah, diperoleh informasi bahwa pendidikan yang ditekankan di lembaga ini adalah pendidikan kritis, yaitu pola berpikir yang menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik


(23)

7

ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada (Muhamad Karim, 2009: 151). Pedagogi kritis yang diterapkan di Qaryah Thayyibah adalah untuk mengembangkan kesadaran kritis, misalnya anak peka terhadap permasalahan yang ada di sekitarnya. Peran pendidik adalah memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk mengemukakan pendapatnya.

Berdasarkan uraian dan tanggapan dari beberapa pendamping di Qaryah Thayyibah, pembelajaran di sini tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Terdapat faktor yang dapat menjadi kendala dalam proses pelaksanaan pembelajaran. Salah satu faktor tersebut ialah kurangnya pemahaman warga belajar mengenai kebebasan yang ditekankan di Qaryah Thayyibah. Dengan pertimbangan tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai pembelajaran di Qaryah Thayyibah, agar dapat mendeskripsikan proses pembelajaran pedagogi kritis Paulo Freire di Qaryah Thayyibah.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan analisis masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan berikut antara lain:

1. Kurang profesionalnya guru dalam mengajar adalah salah satu penyebab menurunnya kualitas guru di Indonesia.

2. Masih banyak terdapat praktik pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai objek pendidikan.

3. Proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah kurang menekankan metode pembelajaran dengan berbasiskan pada pemecahan masalah dari kehidupan riil masyarakat.


(24)

8

4. Pembelajaran di Qaryah Thayyibah masih terdapat kendala, yakni kurangnya pemahaman warga belajar mengenai kebebasan yang ditekankan di Qaryah Thayyibah.

C. Fokus Penelitian

Agar permasalahan yang ditinjau tidak terlalu luas dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, maka peneliti memfokuskan permasalahan pada Pedagogi Kritis Paulo Freire di Qaryah Thayyibah, Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimana pembelajaran pedagogi kritis Paulo Freire di Qaryah Thayyibah?”

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat diketahui tujuan penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan pembelajaran pedagogi kritis Paulo Freire di Qaryah Thayyibah.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan berguna bagi pendidikan baik secara teoritis maupun praktis:

1. Teoretis, diharapkan dapat menambah pengetahuan dari praktik pendidikan pedagogi kritis di Indonesia, khususnya di Qaryah Thayyibah.


(25)

9 2. Praktis:

a. Bagi Pemerintah

Dapat dipergunakan sebagai salah satu bahan informasi dan dapat dijadikan bahan pertimbangan kepada pihak pengambil keputusan terkait dengan konsep pembelajaran pedagogi kritis Paulo Freire.

b. Bagi Lembaga Pendidikan

Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan membuat kebijakan pedagogi dengan mengadopsi konsep pedagogi kritis Paulo Freire yang diterapkan di Qaryah Thayyibah.


(26)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A.Tinjauan Pedagogi

1. Pengertian Pedagogi

Manusia adalah makhluk yang memiliki akal, fikiran dan fitrah sejak lahir. Jika hal tersebut tidak diberikan wadah untuk mengaplikasikan daya kreatifnya, maka manusia akan menjadi makhluk yang tak memiliki tujuan hidup. Dengan pendidikanlah manusia dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Baik dan buruknya manusia dipengaruhi oleh bagaimana pendidikan yang diberikan. Jadi, dapat diketahui bahwa pendidikan sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia.

Istilah “pedagogi” secara literature dapat dipahami sebagai sebuah seni atau pengetahuan untuk mengajar anak-anak (the art or science of teaching children). Kata “pedagogik” berasal dari bahasa Yunani Kuno “paidagogos” yang terdiri atas kata “paidos” (child) dan “agagos” (lead). Maksudnya adalah, memimpin anak dalam belajar (Rakhmat Hidayat, 2013: 1).

Driyarkara mengatakan bahwa pendidikan merupakan upaya pemanusiaan manusia muda. Pengangkatan manusia ke taraf insani itulah yang disebut mendidik (Fuad Hasan, 2008: 4). Menurut Langeveld (Sutari Imam Barnadib, 2013: 17) mengatakan bahwa pendidikan adalah pemberian bimbingan dan bantuan rohani bagi yang masih memerlukan. Selanjutnya Dwi Siswoyo, dkk (2013: 49) mengatakan bahwa pendidikan adalah proses


(27)

11

sepanjang hayat dan upaya perwujudan pembentukan diri secara utuh dalam arti pengembangan segenap potensi dalam pemenuhan semua komitmen manusia sebagai individu, sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk Tuhan.

Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (Hasbullah, 2011: 4).

Berdasarkan pernyataan beberapa para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan pemberian bimbingan dan bantuan rohani dalam upaya pemanusiaan manusia untuk menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya serta dapat berdiri sendiri dalam pertanggungjawaban hidupnya sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk Tuhan.

2. Faktor-Faktor Pendidikan

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam mempengaruhi proses perkembangan manusia. Pendidikan tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor pendidikan tersebut meliputi:


(28)

12 a. Faktor Tujuan

M.J.Langeveld (Sutari Imam Barnadib, 2013: 38-40) membedakan 6 macam tujuan di dalam pendidikan sebagai berikut:

1) Tujuan Umum

Tujuan yang pada akhirnya akan dicapai oleh pendidik terhadap anak didik. Ialah membawa anak dengan sadar dan bertanggung jawab kearah kedewasaan jasmani dan rohani. Tujuan ini dapat disebut dengan tujuan akhir.

2) Tujuan Khusus

Tujuan ini merupakan penjelasan dari tujuan umum. Untuk menuju ke tujuan yang umum tersebut, tiap-tiap anak tentu mempunyai jalannya sendiri. Hal tersebut tergantung dari beberapa kejadian antara lain:

a) Tergantung dari bakat daripada anak didik.

b) Tergantung dari kemungkinan-kemungkinan yang ada di alam sekitar anak didik.

c) Tergantung daripada tujuan kemasyarakatan di lingkungan anak didik.

d) Tergantung pada kesanggupan yang ada pada pendidik. e) Tergantung pada tugas lembaga pendidikan.

3) Tujuan Insidental (tujuan seketika)

Merupakan tujuan tersendiri yang bersifat seketika (momentil). Contoh: pada suatu ketika pendidik memanggil


(29)

anak-13

anak untuk makan bersama, diusahakan sungguh-sungguh harus datang. Pendidik mempunyai tujuan supaya anak-anak dapat makan bersama dengan tertib dan sopan. Jadi mempunyai maksud supaya anak belajar makan yang teratur. Lain kali memanggil anak-anak untuk makan bersama, tetapi kali ini tidak mempunyai maksud apa-apa, yang penting adalah tugas lekas selesai dan semua lekas beres. Jadi kali ini tidak ada tujuan apa-apa yang mengandung pendidikan. Jadi ketika pendidik mempunyai maksud untuk mendidik disebut tujuan seketika.

4) Tujuan Sementara

Seolah-olah merupakan tempat berhenti atau tempat istirahat di dalam perjalanan menuju ke tujuan umum.

Misalnya: belajar berbicara, belajar berjalan, yang mempunyai hubungan erat dengan masa perkembangan anak.

5) Tujuan tidak Lengkap

Mempunyai hubungan dengan aspek kepribadian manusia, sebagai fungsi kerohanian pada bidang-bidang etika, keagamaan, estetika dn sikap sosial daripada orang itu.

6) Tujuan Perantara (intermediair)

Tujuan ini sama dengan tujuan sementara, tetapi khusus mengenai pelaksanaan teknis daripada tugas belajar. Misalnya: belajar membaca, belajar menulis.


(30)

14

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan terdiri dari tujuan umum, khusus, insidental, sementara, tidak lengkap dan perantara. Keenam tujuan tersebut diperlukan untuk menentukan tujuan dari setiap pedidikan yang diberikan. b. Pendidik

Sutari Imam Barnadib (2013: 50) mengatakan bahwa pendidik merupakan tiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai kedewasaan. Fuad Hasan (2008: 7) membedakan pendidik menjadi dua kategori yaitu pertama, pendidik menurut kodrat yaitu orang tua. Kedua, pendidik menurut jabatan yaitu guru. Orang tua sebagai pendidik menurut kodrat adalah pendidik pertama dan utama di lingkungan keluarga. Hubungan orang tua dengan anaknya dalam hubungan edukatif, mengandung dua unsur dasar, yaitu:

1) Unsur kasih sayang pendidik terhadap anak (afeksi).

2) Unsur kesadaran dan tanggung jawab dari pendidik untuk menuntun perkembangan anak hingga dewasa secara jasmani dan rohani.

Guru sebagai pendidik menurut jabatan menerima tanggung jawab dari tiga pihak yaitu orang tua, masyarakat dan negara. Tanggung jawab dari orang tua diterima guru atas dasar kepercayaan, bahwa guru mampu memberikan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan perkembangan peserta didik. Diharapkan guru mampu menjadi teladan bagi peserta didiknya dan memberikan sifat orang tua pada umumnya, antara lain:


(31)

15 1) Kasih sayang kepada peserta didik. 2) Tanggung jawab kepada tugas pendidik.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidik merupakan tiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai kedewasaan. Faktor ini terdiri dari dua unsur yaitu orang tua dan guru. Dalam hal ini keduanya harus bertanggung jawab terhadap perkembangan anak.

Tugas yang paling utama adalah peran orang tua dalam mendidik anak di rumah. Kehidupan anak akan dihabiskan di rumah, sehingga orang tua harus menciptakan lingkungan keluarga yang dapat mendidik anak. Orang tua dan guru harus kerjasama dalam mengawasi dan memberikan pendidikan kepada anak, agar anak dapat tumbuh sesuai dengan tahap usia perkembangannya.

c. Peserta Didik

Hasbullah (2011: 23) menyatakan bahwa anak didik merupakan setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan segala kegiatan. Sutari Imam Barnadib (2013: 67) mengatakan bahwa anak didik adalah seorang anak yang selalu mengalami perkembangan sejak terciptanya sampai meninggal dan perubahan-perubahan itu terjadi secara wajar.

Hal ini diperkuat oleh UU Sisdiknas No 20 Th 2003 mengatakan bahwa peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha


(32)

16

mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

Sutari Imam Barnadib (2013: 66) mengatakan bahwa dalam perkembangan anak terdapat lima asas perkembangan sebagai berikut: a. Tubuhnya selalu berkembang.

b. Anak dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya.

c. Anak membutuhkan pertolongan dan perlindungan untuk kesejahteraan.

d. Anak mempunyai daya berekplorasi.

e. Anak mempunyai dorongan untuk mencapai emansipasi.

Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa peserta didik merupakan orang yang menerima pengaruh dari seseorang/orang dewasa yang selalu mengalami perkembangan untuk mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu sejak terciptanya sampai meninggal.

d. Faktor Alat-alat

Hasbullah (2011: 26-27) menyatakan bahwa alat pendidikan merupakan suatu tindakan atau situasi yang sengaja diadakan untuk tercapainya suatu tujuan pendidikan tertentu. Sutari Imam Barnadib (2013: 84-85) mengatakan bahwa faktor alat-alat ialah segala sesuatu yang secara langsung membantu terlaksananya tujuan pendidikan. Alat pendidikan tidak hanya terbatas pada benda-benda konkrit saja seperti papan tulis, bangku sekolah, kapur, dan kurikulum, tetapi dapat juga


(33)

17

berupa nasihat, tuntunan. Sebagai contoh: hukuman, ancaman, perintah dan lain sebagainya.

Crow dan Crow (Sutari Imam Barnadib, 2013: 85) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan alat-alat ialah alat pengajaran. Alat-alat tersebut berupa:

a. Rencana Pelajaran b. Tempat Duduk Anak c. Ruangan Kelas

Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa alat pendidikan merupakan suatu tindakan yang sengaja untuk membantu terlaksananya tujuan pendidikan. Alat pendidikan tersebut terdiri dari semua alat pengajaran seperti bangku sekolah, rencana pelajaran, kurikulum dan lain sebagainya.

e. Faktor Alam Sekitar (Milieu)

Tak dapat dipungkiri bahwa lingkungan merupakan faktor yang tak dapat dihindari. Lingkungan sangat berpengaruh dalam proses pertumbuhan anak, baik lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Sutari Imam Barnadib (2013: 130-132) mengatakan bahwa faktor lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di keliling anak-anak yang terdiri dari :

a. Lingkungan Keluarga

Di dalam keluarga lah anak didik mulai mengenal hidupnya. Pengaruh keluarganya (lingkungan) besar sekali atas perkembangan


(34)

18

anak. Dasar-dasar kelakuan daripada anak didik tertanam sejak di dalam keluarga, juga sikap hidup serta kebiasaan-kebiasaannya. Suasana keluarga diliputi rasa cinta, simpati, tenteram dan suasana percaya-mempercayai.

Sifat kepemimpinan di dalam keluarga meliputi Otoriter, Liberal, dan Demokrasi. Perkembangan anak dapat berkembang dengan baik atau tidak bergantung bagaimana kepemimpinan diterapkan dalam keluarga tersebut. Jadi, pendidikan keluarga merupakan dasar pendidikan selanjutnya.

b. Lingkungan Sekolah

Sumbangan sekolah kepada pendidikan ialah sekolah membantu rumah (orang tua) mengajarkan kebiasaan-kebiasaan baik dan menanamkan budi pekerti yang baik, juga diberikan pendidikan untuk kehidupan di dalam masyarakat. Sekolah melatih anak memperoleh kecakapan membaca, menulis, berhitung dan sebagainya.

d. Lingkungan Masyarakat.

Cook dalam (Sutari Imam Barnadib, 2013: 123) mengatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan orang yang menempati suatu daerah, diikat oleh pengalaman-pengalaman yang sama, memiliki sejumlah persesuaian dan sadar akan kesatuannya dan dapat bertindak bersama untuk mencukupi krisis kehidupannya. Setiap


(35)

19

masyarakat dapat mempunyai dan mempengaruhi pendidikan dengan cita-citanya.

Tugas masyarakat ialah membiayai sekolah/pendidikan. Masyarakat mempunyai tujuan agar anak didik yang muda-muda itu kelak dapat membantu kepada masyarakat dan mengabdi kepada negara. Dari macam pengaruh lingkungan di atas, dapat diketahui bahwa ketiga lingkungan tersebut satu dengan yang lainnya tidak boleh dipisah-pisahkan, harus merupakan mata rantai yang tidak boleh diputuskan. Hal ini terjadi karena lingkungan sangat berpengaruh terhadap tingkatan perkembangan usia anak didik.

Hal tersebut ditekankan oleh Fuad Hasan (2008: 10), bahwa dalam pendidikan, situasi lingkungan mempengaruhi proses dan hasil pendidikan. Situasi lingkungan ini meliputi lingkungan fisik, lingkungan teknis dan lingkungan sosio-kultural.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa lingkungan sangat berpengaruh dalam proses perkembangan anak. Lingkungan tersebut terdiri dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Setiap lingkungan memiliki pengaruh yang berbeda-beda, sehingga lingkungan harus memberikan hal-hal yang positif agar tidak memberikan dampak yang negatif bagi perkembangan anak.


(36)

20 B.Tinjauan Pedagogi Kritis Paulo Freire

1. Pengertian Pedagogi Kritis

Dalam era modern, pendidikan membutuhkan bahan ajar yang memasukkan penyelesaian permasalahan sosial masyarakat secara kritis dan riil. Pendidikan yang masih konvensional belum dapat membongkar tatanan sistem pendidikan yang membelenggu peserta didik. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode pendidikan kritis untuk membelajarkan peserta didik menyelesaikan persoalan lapangan secara riil dalam kehidupan.

Rakhmat Hidayat (2013:6) menyebutkan bahwa pedagogi kritis dapat didefinisikan sebagai teori pendidikan dan praktik pembelajaran yang didesain, untuk membangun kesadaran kritis mengenai kondisi sosial yang menindas. Siti Murtiningsih, (2006:9) mengatakan bahwa pendidikan kritis tidak diperkenankan mengobjekkan peserta didik, karena hal tersebut bertentangan dengan panggilan ontologis manusia.

Hal tersebut ditekankan kembali oleh Mansour Fakih yang menyatakan bahwa pendidikan kritis harus mampu membuka wawasan dan cakrawala berpikir, baik pendidik maupun peserta didik, menciptakan ruang bagi peserta didik untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis diri struktur dunianya dalam rangka transformasi sosial (Muhammad Karim, 2009:151).

Rakhmat Hidayat (2013:7-8) mengatakan bahwa pedagogi kritis pada dasarnya dapat dipahami dalam dua makna sebagai berikut:


(37)

21

a) Pedagogi kritis sebagai paradigma berpikir. Dalam hal ini pedagogi kritis dibangun atas dasar critical thinking untuk selalu mempertanyakan dan mengkritisi pendidikan itu sendiri dalam hal-hal fundamental baik dalam tataran filosofis, teori, sistem, kebijakan maupun implementasi.

b) Pedagogi kritis sebagai gerakan sosial. Tujuan akhir pedagogi kritis adalah melahirkan praksis pendidikan yang egaliter, humanis, demokratis serta keadilan berbasiskan critical thinking di kalangan peserta didik. Gerakan sosial yang diusung pedagogi kritis adalah membongkar praktik pendidikan yang menindas dan dilakukan kalangan status quo. Dalam tataran filosofis, pedagogi kritis merupakan tantangan dan kritik atas kemapanan modernisme serta kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan yang bersifat oppressive. Pedagogi kritis diharapkan mampu menyadarkan masyarakat akan tekanan yang amat kuat pada pendidikan, sebagai praktik pembebasan manusia dan tatanan sosial ekonomi yang termanifestasikan dalam proses pendidikan.

Dalam hal ini, pengetahuan menjadi pintu masuk untuk mengubah dunia menjadi lebih adil dan humanis. Dari sudut pandang pedagogi kritis, dapat dipahami bahwa pengetahuan dan aksi/praksis saling berhubungan, sehingga tidak dapat dipisahkan. Dalam pandangan Freire, kekritisan membutuhkan praksis, baik refleksi dan tindakan, baik interpretasi dan perubahan (Rakhmat Hidayat, 2013:9).


(38)

22

Rakhmat Hidayat (2013:8), dijelaskan bahwa :

Dalam pandangan Freire, membangun kesadaran kritis dilakukan dengan cara mengembangkan kapasitas untuk membaca dalam mengembangkan kesadaran individu. Jika kesadaran individu dapat dibangun maka akan berpengaruh pada kesadaran dan kepercayaan kolektif. Pendekatan itu merupakan pengembangan rasa percaya diri dan keberhasilan, terutama dalam pemikiran kolektif dan tindakan. Dalam pendekatan itu tersebut ada keinginan untuk berubah, bukan hanya diri sendiri, tetapi situasi juga perubahan sosial di tingkat kelompok. Metode pedagogis yang dikembangkan Freire berupaya mempromosikan praksis dialog.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan kritis merupakan praktik pembelajaran, yang didesain untuk membangun kesadaran kritis yang mampu menciptakan ruang bagi peserta didik, untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis mengenai kondisi sosial yang menindas.

Pedagogi kritis harus dilakukan untuk membangun kesadaran kritis manusia, dengan pengetahuannya melalui membaca buku dan dilakukan secara kontuinitas hingga tindakan praksis secara konkrit. Hal ini dapat dilakukan oleh individu jika individu telah memiliki kepercayaan diri dan kesadaran kritis dalam membedah suatu pengetahuan.

2. Konteks Sosial Historis Pedagogi Kritis

Lahirnya pandangan mengenai pedagogi kritis pertama kali dipelopori oleh Paulo Freire. Paulo Freire merupakan seorang praktisi pendidikan dan seorang aktivis dari Brazil yang memberikan pendidikan bagi masyarakat buta aksara pada masanya. Ketertarikannya dalam dunia


(39)

23

pendidikan membawanya terus tekun mendalami permasalahan kehidupan masyarakat pada waktu itu.

Paulo Freire lahir pada tanggal 19 September 1921 di Recife, merupakan wilayah timur laut dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Freire berasal dari keluarga kelas menengah. Ayahnya, Joaquim Temistocles Freire adalah seorang polisi militer di Pernambuco. Ibunya, Edeltrus Neves Freire berasal dari Pernambuco beragama Katolik, baik, adil dan lembut. Kedua orang tua Freire lah yang mengajarkan Freire untuk menghargai dialog dan menghormati pendapat orang lain (Freire, 2013: x).

Pada tanggal 24 Oktober 1929 jatuhnya bursa saham di New York menyebabkan terjadinya krisis ekonomi di Amerika. Hal ini menyebabkan hancurnya tatanan ekonomi, baik negara industri maupun negara berkembang. Volume perdagangan internasional berkurang drastis, begitupula dengan pendapatan perseorangan, pendapatan pajak, harga dan keuntungan. Hal tersebut menyebabkan banyaknya pengangguran dan PHK akibat dari peristiwa itu (Rakhmat Hidayat, 2013: 2-3).

Dari peristiwa tersebut keluarga Freire juga mengalami kejatuhan finansial secara hebat. Namun, setelah situasi keluarganya membaik, Freire dapat melanjutkan pendidikan ke Universitas dengan mengambil fakultas hukum di Universitas Recife. Namun, ia lebih suka membaca tentang pendidikan daripada hukum. Dia juga belajar filsafat dan psikologi bahasa sambil menjadi guru dalam sepenggal waktunya (Freire, 2013: xi).


(40)

24

Freire (2013: xii) mengatakan, setelah lulus Freire bekerja menjadi Direktur dalam bidang Pendidikan dan Kebudayaan di negara bagian Pernambuco. Pengalamannya selama bekerja, membawa Freire pada kontak langsung dengan masyarakat miskin. Ia mendalami kehidupan sosial yang dirasakan masyarakat. Penelitian-penelitian yang ia lakukan juga mengembangkan metode dialogik dalam pendidikan. Keterlibatan di bidang pendidikan orang dewasa juga dimasukkan dalam seminar-seminar yang ia pimpin.

Di tahun 1960-an Brazil mengalami keresahan sosial. Banyak organisasi masyarakat yang muncul untuk tujuan politik. Freire terlibat aktif dalam gerakan pemberantasan buta huruf yang masih meliputi jutaan rakyat di negerinya. Lantaran ia juga memberikan pendidikan agar rakyat miskin Brasil jadi “melek politik” (Rukiyati&L.Andriani, 2015: 65).

Freire menyebutkan bahwa metode yang dipakai dalam memberikan pendidikan adalah Metode Paulo Freire, meskipun ia sendiri tidak mau menamakan demikian. Freire dan timnya berhasil menarik kaum tuna aksara untuk belajar membaca dan menulis. Apa yang dibangkitkan dalam proses kenal aksara, tidak hanya sebatas pada kemampuan mereka dalam bidang itu, tetapi sekaligus membawa pada kesadaran politik, masyarakat ikut berpartisipasi aktif dalam menentukan arah perkembangan bersama (Freire, 2013: xiii).

Berdasarkan uraian di atas, dapat simpulkan bahwa kemunculan pendidikan kritis oleh Freire, sarat dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya.


(41)

25

Adanya kehancuran sistem ekonomi di negaranya membuat ia bangkit dari keterpurukan. Lingkungan yang tidak mendukung sebagai tempat memperoleh pendidikan, membuat ia tidak bisa memperoleh pendidikan secara bebas.

Baginya, pendidikan adalah salah satu alat untuk memperjuangkan hak-hak hidup untuk dapat memperoleh kehidupan yang layak. Freire terlibat aktif dalam gerakan pemberantasan buta huruf untuk memberikan pendidikan pada masyarakat terbelakang. Melalui pengalaman-pengalamannya lah ia akhirnya memiliki pandangan mengenai pendidikan kritis sebagai proses transformasi sosial di masyarakat. Harapannya, paradigma ini dapat membangkitkan masyarakat dari keterpurukan sosial yang menindas.

3. Orientasi Pedagogi kritis

Pedagogi kritis belum banyak digunakan dalam pendidikan di Indonesia. Sesungguhnya, pedagogi kritis mengkaji peran sekolah dalam menjaga stratifikasi sosial masyarakat dan kemungkinan terjadinya perubahan sosial. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa sekolah memiliki peran penting terjadinya perubahan sosial di masyarakat. Pedagogi kritis merupakan sebuah cara berpikir bernegoisasi tentang praksis relasi dalam pembelajaran di kelas, produksi pengetahuan dan berbagai struktur sosial yang berkorelasi dengan kehidupan material di masyarakat. Pedagogi kritis mengkaji bagaimana pendidikan dapat menyediakan alat bagi individu untuk mengembangkan potensinya dan memperkuat demokrasi, serta


(42)

26

mengembangkan sebuah masyarakat yang egaliter (Rakhmat Hidayat, 2013: 12-13).

Muhammad Karim (2009: 164-165) menyatakan bahwa dalam pendidikan yang membebaskan, tidak ada subjek yang membebaskan atau objek yang dibebaskan karena tidak ada dikotomi subjek dan objek. Kedua belah pihak merupakan pribadi yang bukan mengetahui segalanya, namun mencari suatu kebenaran dan solusi bersama. Pendidikan yang membebaskan bersifat dialogis dan merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan menjadi proses transformasi yang diuji dalam kehidupan nyata. Kebebasan dalam berdialog dapat dirasakan oleh semua orang. Tidak ada lagi peserta didik seperti bejana kosong.

Dalam pandangan Freire, pendidikan yang membebaskan merupakan proses ketika pendidik mengkondisikan peserta didik untuk mengenal dan mengungkap kehidupan yang senyatanya secara kritis. Pendidik dapat menghubungkan pengalaman-pengalaman yang diungkapkan oleh peserta didik dengan pembelajaran dalam kehidupan. Pendidikan dalam konsepsi Freire tersebut, memiliki implikasi dalam perilaku belajar sebagai proses integral dalam pendidikan. Dalam praksis pembelajaran, Freire melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni:

1. Pengajar 2. Peserta didik 3. Realitas dunia


(43)

27

Unsur yang pertama dan kedua adalah subjek yang sadar, sementara unsur yang ketiga adalah objek yang tersadari. Ketiga unsur tersebut harus ada dalam pedagogi kritis (Paulo Freire, 2002: x).

Freire mengatakan bahwa ketika kaum tertindas medapatkan humanisasi, mereka tidak hanya berjuang untuk mendapakan kebebasan dari kelaparan. Namun, mereka harus menciptakan, membangun, mempertanyakan dan mencoba-coba, sehingga menuntut merek untuk aktif dan bertanggung jawab. Hal ini sesuai apa yang dikatakan Freire berikut:

….kebebasan untuk menciptakan dan membangun, untuk mempertanyakan dan mencoba-coba. Kebebasan semacam ini menghendaki manusia yang aktif dan bertanggung jawab, bukan budak atau sekrup mati dalam mesin….. Tidak cukup sekedar bahwa manusia bukanlah budak; jika kondisi sosial mengarah kepada kehidpan otomaton, hasilnya bukan berupa cinta kehidupan, tetapi cinta kematian (Freire, 2013: 48).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa orientasi pedagogi kritis adalah untuk memberikan peran penting terjadinya perubahan sosial di masyarakat. Pedagogi kritis merupakan sebuah cara berpikir tentang praksis relasi dalam pembelajaran di kelas, produksi pengetahuan dan berbagai struktur sosial yang berkorelasi dengan kehidupan material di masyarakat. Dalam praksis pembelajaran, Freire melibatkan tiga unsur sekaligus yaitu pendidik, peserta didik dan realitas.

4. Kurikulum dalam Pembelajaran

Pencapaian suatu tujuan pendidikan tidak akan berhasil tanpa adanya kurikulum. Kurikulum sebagai pengarah dalam pelaksanaan


(44)

28

pendidikan sangat diperlukan, karena tanpanya segala kegiatan pendidikan akan menjadi tidak terarah. Ragan mengatakan bahwa secara tradisional, kurikulum dapat diartikan sebagai objek telaah atau materi pelajaran yang harus diajarkan dalam praktik belajar-mengajar (Siti Murtiningsih, 2006: 107). Kurikulum dalam pemahaman ini merupakan pelajaran di bangku sekolah yang hanya berisi sejumlah materi pelajaran yang terpisah-pisah. Hubungannya dengan realitas konkret yang dialami peserta didik pun sangat jauh.

Pernyataan tersebut juga dikemukakan oleh Nasution (2006: 5) bahwa kurikulum dipandang sebagai suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staff pengajarnya. Jadi, dapat dipahami bahwa kurikulum ini merupakan produk sekolah yang dibuat untuk memperlancar pembelajaran di sekolah.

Sementara itu, kurikulum dalam pengertian modern dipahami sebagai himpunan pengalaman konkret peserta didik yang menjadi objek pembahasan dalam praktik belajar mengajar. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Freire yang mengatakan bahwa objek kajian belajar peserta didik adalah realitas. Bentuk pengalaman kehidupan peserta didik perlu dimasukkan dalam kurikulum (Siti Murtiningsih, 2006: 108). Hal ini menganggap bahwa kurikulum harus bersumber dari kehidupan siswa agar mereka dapat mengenal mengenai apa yang ada di lingkungannya. Dengan


(45)

29

berdasarkan dengan apa yang ada di dekat peserta didik, pendidikan tidak menjauhkannya dari realitas dan peserta didik menjadi peka terhadap permasalahan sosial.

Kurikulum menurut pandangan Freire berpusat pada “problematisasi“ realitas konkret. Peserta didik bersama pendidiknya memaknai berbagai persoalan hidupnya dan berusaha memecahkannya. Sebagai mediator dan fasilitator, pendidik berfungsi menyakinkan akan realitas yang diketahui oleh peserta didik, kemudian secara bersama menganalisisnya dan peserta didik akan membangun pengetahuannya sendiri secara kritis. Peserta didik mencari arti pengetahuan yang telah dibangunnya melalui diskusi dengan pendidik maupun dengan kawan-kawannya. Pendidik bukanlah orang yang mengetahui segalanya, sehingga, pendidik juga harus aktif dalam mencari kejelasan, menanyakan kebenaran, dan mengevaluasi alternatif yang ada (Siti Murtiningsih, 2006: 109).

Bagi Freire, kurikulum yang berorientasi dari realitas konkret pengalaman siswa dan berprinsip dinamis, bukan pola-pola yang statis (seperti dalam pendidikan sistem bank), adalah mutlak bagi proses pendidikan yang sejati membebaskan. Membebaskan berarti sesuai apa yang diinginkan siswa. Apa yang dibutuhkan siswa dari kurikulum yang baik adalah muatan kurikulum yang mampu menumbuhkan kesadaram kritis (Siti Murtiningsih, 2006: 109). Artinya, kurikulum dapat


(46)

30

mengembangkan cara berfikir kritis dari pengalaman yang pernah siswa rasakan serta mengembangkan kemampuan refleksi.

Realitas kehidupan yang wajar dengan aspek-aspek persoalan hidup yang kompleks, menjadikan hal tersebut sebagai sumber utama sebuah kurikulum yang baik. Pijakan kurikulum berorientasi pada problematisasi pengalaman hidup dan dibuat sebagai perwujudan kehidupan yang wajar. Alasannya adalah bahwa dalam realitas kehidupan, problematisasi hidup yang dihadapi manusia selalu hadir saling kait mengkait. Pendidikan yang baik tidak saja menyiapkan pribadi bagi tujuan yang akan datang. Tetapi sekaligus membimbing siswa (perasaan, pikiran, dan maupun tindakan), agar mampu merombak hegemoni dalam lingkungannya dan menjadikannya orang yang dapat dewasa dan bijaksana dalam segala hal (Siti Murtiningsih, 2006: 110).

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kurikulum yang digunakan dalam pembelajaran Freire adalah berdasarkan dari realitas kehidupan. Peserta didik dibimbing untuk dapat memahami setiap permasalahan kehidupannya. Tak hanya itu, kurikulum ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan kritis dan refleksi diri. Peserta didik bersama-sama untuk merefleksi masalah pengalaman yang pernah mereka alami. Dengan berpijak pada problematis pengalaman peserta didik, ia akan dihadapkan pada suatu masalah yang riil kehidupan.


(47)

31

Dengan demikian, peserta didik akan belajar mendeskripsikan, menganalisis serta memecahkan masalah pengalaman nya secara nyata. 5. Hubungan Pendidik-Peserta Didik

Hubungan pendidik dengan peserta didik menurut Freire adalah hubungan sejajar antara subjek yang saling belajar dan diajar. Mereka belajar mengenai dunia yang bergerak secara dinamis. Pendidik bukanlah orang yang mengetahui kebenaran secara penuh, namun saling belajar. Pendidik bagi peserta didik adalah partner yang dalam memahami realitas tersebut. Pendidik mengemukakan persoalan agar dipertimbangkan oleh peserta didiknya. Sementara pertimbangan pendidik diuji kembali. Pengujian tersebut dapat berupa pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh peserta didik. Peran pendidik adalah ibarat timbangan yang harus menjadi jembatan dan penyeimbang antara pandangan yang satu dengan yang lainnya (Siti Murtiningsih, 2006: 84).

Hubungan antara pengajar dan peserta didik dalam perspektif pedagogi kritis memiliki hubungan dialektis yang sejajar. Keduanya saling belajar satu sama lain. Seorang pendidik berperan hanya sebagai fasilitator/pendamping bagi peserta didik. Dalam proses ini, pendidik mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh peserta didik dan pertimbangan sang guru diuji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbangan peserta didik. Jadi, hubungan keduanya menjadi subjek-subjek, bukan subjek-objek. Objek mereka adalah realitas. Dengan proses


(48)

32

tersebut, maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat inter-subjek untuk memahami suatu objek secara bersama (Paulo Freire, 2002: xv).

Dengan adanya ciri tersebut maka dapat terwujud: pertama, pendidik bersedia berinteraksi dengan peserta didiknya agar lebih memahami apa saja yang sudah diketahui oleh peserta didik mengenai materi yang akan dibahas. Pencapaian target yang dibuat pendidik dalam pembelajaran, sebaiknya dibicarakan bersama peserta didik agar mereka merasa terlibat. Kedua, dengan penuh kesadaran pendidik berpartisipasi sebagai peserta didik supaya memahami pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan peserta didiknya. Ketiga, bahwa pendapat pendidik bersifat fleksibel agar dapat mengerti dan menghargai pendapat peserta didiknya (Siti Murtiningsih, 2006: 86).

Berdasarkan hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan peserta didik dan pendidik adalah hubungan yang mendalam antara subjek-subjek pendidikan. Keduanya saling belajar untuk memperoleh pengetahuan yang baru. Pendidik bertugas sebagai teman untuk membangkitkan kesadaran kritis peserta didik, tanpa mengguruinya. Metode yang digunakan pendidik adalah melalui dialog sebagai dasar untuk mendiskusikan segala permasalahan kehidupan. Seorang pendidik harus dapat memahami kemauan peserta didik yang satu dengan yang lainnya. Artinya, pemikiran pendidik bersifat fleksibel dan harus dapat menghargai pendapat dari setiap peserta didik. Tugas pendidik adalah


(49)

33

membimbing agar peserta didik tidak menyimpang dari nilai-nilai kebaikan hidup.

6. Proses Penyadaran (Conscientizacao) sebagai Tujuan Pendidikan Pencapaian kesadaran individu adalah hal terpenting dalam memaknai hidup sosial. Perlu adanya kesadaran kritis agar manusia tidak terjebak dalam sistem penindasan yang dapat membelenggu hidupnya. Kesadaran tersebut tidak hanya kesadaran mengenai bagaimana mendapatkan materi, namun juga kesadaran akan sistem kebijakan yang menindas. Dalam hal ini, Freire berusaha mengarahkan pendidikan sebagai usaha untuk humanisasi diri, yaitu melalui tindakan sadar untuk mengubah dunia. Dunia/realitas itu bukan hanya data-data objektif, tetapi fakta konkret yang terjadi di mana-mana terutama dalam dunia ketiga (Firdaus M. Yunus, 2004: 49).

Freire (Smith, 2001: 54) mendeskripsikan conscientizacao sebagai sebuah proses untuk menjadi manusia yang selengkapnya; proses perkembangan ini dapat dibagi menjadi tiga fase: kesadaran magis, naïf dan kritis. Setiap fase dibagi lagi menjadi tiga aspek berdasarkan tanggapan-tanggapan responden atas pertanyaan eksistensial berikut:

a) Apa masalah-masalah yang paling dehumanitatif dalam kehidupan kalian? (PENAMAAN)

b) Apa penyebab dan konsekuensi dari masalah-masalah tersebut? (BERPIKIR)


(50)

34

c) Apa yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut? (AKSI)

Freire membagi kesadaran manusia menjadi tiga tingkatan yakni:

a) Kesadaran magis atau semi-intransitif

Freire mengatakan bahwa orang-orang yang masih dalam tingkat kesadaran pertama terperangkap dalam “mitos inferioritas alamiah.” “Mereka mengetahui bahwa mereka melakukan sesuatu, apa yang tidak diketahui adalah tindakan untuk mengubah” (Smith, 2001: 60). Bukannya melawan atau mengubah realitas di mana mereka hidup, mereka justru menyesuaikan diri dengan realitas yang ada. Kesadaran magis dicirikan dengan fatalism, yang menyebabkan manusia membisu, menceburkan diri ke lembah kemustahilan untuk melawan kekuasaan (Smith, 2001: 61).

b) Kesadaran Naif atau Transitif

Perubahan dari kesadaran magis ke kesadaran naïf adalah perubahan dari menyesuaikan diri dengan fakta-fakta kehidupan yang tak terelakkan ke memperbaharui penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan individu-individu dalam sebuah sistem yang pada dasarnya keras. Kesadaran naïf ditandai dengan penyederhanaan masalah dengan cara menimpakan penyebabnya pada individu-individu bukan pada sistem itu sendiri. Argumentasi-argumentasi mereka rapuh ketika menjelaskan bahwa individu terpisah dari sistem di mana mereka


(51)

35

hidup dan pada puncaknya mengarah pada argumentasi yang larut dengan realitas (Smith, 2001: 69).

c) Kesadaran kritis atau transitif

Pada tahap ini, isu yang muncul adalah perubahan sistem yang tidak adil, bukannya pembaharuan atau pengahancuran individu-individu tertentu. Proses perubahan ini memiliki dua aspek: 1) penegasan diri dan penolakan untuk menjadi “inang bagi benalu”, dan 2) berusaha secara sadar dan empiris untuk mengganti sistem yang menindas dengan sistem yang adil dan bisa mereka kuasai. Pada kesadaran ini, invidu menunjukkan pemahaman yang benar atas dirinya sendiri dan sistem yang memaksa tertindas dan penindas berkolusi. Freire (Smith, 2001: 80) mengatakan bahwa :

kesadaran kritis ditandai dengan penafsiran yang mendalam atas berbagai masalah; digantikannya penjelasan magis dengan penjelasan kausalitas; dengan mencoba penemuan-penemuan yang dihasilkan seseorang; dan dengan keterbukaan untuk melakukan revisi; dengan usaha untuk menghindari distorsi ketika memahami masalah dan menghindari konsep-konsep yang telah diterima sebelumnya ketika menganalisis masalah; dengan menolak untuk mengubah tanggung jawab; dengan menolak sikap pasif; dengan mengemukakan pendapat; dengan mengedepankan dialog daripada polemic; dengan menerima pandangan baru tetapi bukan sekedar karena sifat kebaruannya dan dengan keinginan untuk tidak menolak pandangan kuno hanya karena sifat kekunoannya, yakni dengan menerima apa yang benar menurut pandangan kuno dan baru.

Tugas dan pelaksanaan pendidikan dalam perspektif pedagogi kritis memang dibutuhkan ketekunan dan kontinunitas, agar nilai-nilai yang dibangun tidak mudah menghilang. Paradigma kritis dalam pendidikan, yaitu melatih peserta didik untuk mampu mengidentifikasi


(52)

36

ketidakadilan dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis begaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana menstransformasikannya kedalam suatu aksi nyata. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan, agar peserta didik terlibat dalam proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan demokratis (Firdaus M. Yunus, 2004: 51).

Freire (2002: xviii) mengatakan jika seseorang sudah mampu mencapai tingkat kesadaran kritis terhadap realitas, maka mulai masuk ke dalam proses pengertian dan bukan proses menghafal semata-mata. Orang yang mengerti bukanlah orang yang menghafal, karena ia menyatakan diri atau sesuatu berdasarkan “kesadaran“, sedangkan orang yang menghafal hanya menyatakan diri atau sesuatu secara mekanis tanpa (perlu) sadar apa yang dikatakannya, dari mana ia telah menerima hafalan yang dinyatakannya itu, dan untuk apa ia menyatakannya kembali pada saat itu.

Freire mengatakan penyadaran pada umumnya dan conscientizacao pada khususnya, memperhatikan perubahan-perubahan hubungan antar manusia yang akan memperbaiki kesalahan manusia. Dalam hal ini penyadaran dapat dibangun ketika orang tersebut merasa memiliki adanya suatu masalah bersama. Conscientizacao bukanlah teknik atau transfer informasi, tetapi merupakan proses dialogis yang mengantarkan individu secara bersama-sama untuk memecahkan masalah-masalah mereka. Conscientizacao mengemban tugas pembebasan dan itu berarti penciptaan


(53)

37

norma, aturan, prosedur dan kebijakan baru. Sehingga proses penyadaran ini dilakukan melalui diskusi, yang akan melahirkan suatu pengetahuan baru (Firdaus M. Yunus, 2004:52).

Makna Conscientizacao adalah sebuah pencarian jawaban-jawaban secara kooperatif dan mendalam, atas masalah-masalah yang tak terpecahkan yang dihadapi oleh sekelompok orang. Dengan dimikian, tidak ada “ahli” yang mengetahui jawaban-jawaban tersebut. Setiap individu memiliki kebenaran yang sama, tetapi berbeda dalam hal cara melihat persoalan yang harus didefinisikan dan cara mecari jawabannya yang harus diformulasikan. Partisipasi bukanlah sebuah alat pendidikan yang tepat, tetapi merupakan inti dari proses pendidikan. Sehingga tujuan pendidikan adalah menjadikan Conscientizacao sebagai puncak kesadaran kaum tertindas (William A. Smith, 2001: 4).

Freire mengklaim bahwa tugas kemanusiaan kaum tertindas adalah membebaskan dirinya sendiri. Membebaskan dari belenggu struktur ketidakadilan. Tujuan pendidikan kaum tertindas adalah mengembalikan kemanusiaan yang hilang, akibat dari dehumanisasi yang dilakukan penguasa. Konsep penyadaran atau kesadaran kritis sangat mendasar dalam pendidikan radikal Freire. Freire mengaitkan refleksi dan aksi sebagai bagian proses tak terpisahkan, dalam pengenalan dan perubahan kontradiksi-kontradiksi politik, ekonomi, dan sosial. Sehingga terdapat refleksi dan pembedahan materi, serta pemecahan masalah yang dilakukan sebelum melakukan aksi (Firdaus M. Yunus, 2004: 54-55).


(54)

38

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa conscientizacao sebagai sebuah proses untuk menjadi manusia yang selengkapnya dapat dibagi menjadi tiga fase yakni: kesadaran magis, naïf dan kritis. Penyadaran dapat dibangun ketika orang tersebut merasa memiliki adanya suatu masalah bersama, dengan menggunakan proses dialogis yang mengantarkan individu secara bersama-sama untuk memecahkan masalah-masalah mereka. Konsep refleksi dan aksi merupkan bagian yang tak terpisahkan untuk pencapaian penyadaran kritis.

7. Kekuatan dan Kelemahan Konsep Conscientizacao

Dari beberapa uraian di atas telah disebutkan bahwa konsep pendidikan Freire adalah untuk memanusiakan manusia. Dengan pendidikanlah manusia dapat mengangkat harkat dan martabatnya untuk menjadi manusia yang sejati. Dalam pandangan Freire, pendidikan merupakan tempat, pertama, untuk mendiskusikan masalah-masalah politik dan kekuasaan secara mendasar, karena pendidikan menjadi ajang terjalinnya makna, hasrat, bahasa dan nilai-nilai kemanusiaan. Tanpa mengetahui masalah-masalah politik, maka butalah manusia terhadap dunia, karena segala aturan di dunia adalah atas dasar sistem politik yang dibuat manusia. Kedua, untuk mempertegas keyakinan secara lebih mendalam tentang apa sesungguhnya yang disebut manusia dan apa yang menjadi impiannya, dan ketiga, untuk merumuskan dan memperjuangkan masa depan yang adil dan demokratis ( Paulo Freire, 2002: 7).


(55)

39

Pendidikan tidak hanya memenuhi kebutuhan saat ini namun juga untuk masa depan. Manusia sebagai makhluk pembaharu dan pembangunan nasional diharapkan mampu menjadi manusia yang dapat berdiri sendiri dan dapat menghadapi tantangan dunia. Maka dari itu peran pendidikan penting sebagai upaya untuk melakukan transformasi sosial melalui dialektika di sekolah. Konsep Freire yang kritis tentang pendidikan membuka wawasan baru bagi sejumlah pendidik di negara-negara di dunia ketiga. Namun, pendidikan kritis Freire tidak selamanya memiliki kekuatan dalam setiap kondisi suatau negara. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Siti Murtiningsih (2006: 111-114) sebagai berikut:

1. Kekuatan Konsep Konsientisasi

Pertama, secara konseptual Freire telah membangun suatu teori pendidikan yang dialektis, dimana teori dan praktik menyatu dan tidak terpisah. Sehingga konsep tersebut sangat seimbang untuk diterapkan dalam kehidupan, Kedua, Freire melontarkan kritik yang cukup tajam terhadap penindasan yang terjadi dalam dunia ketiga, terutama pada negara-negara jajahan. Penindasan ini disebabkan oleh sistem dan struktur yang tidak berkeadilan, membelenggu kaum miskin dan tak berdaya. Hal tersebut karena adanya sistem kapitalisme, modernisme dan liberalisme.

Ketiga, konsep Freire tentang konsientisasi bertolak dari kritiknya atas kondisi masyarakat dunia ketiga, di mana rakyat selalu dirugikan dalam pelbagai kebijakan penguasa. Keempat, kekuatan teori


(56)

40

pendidikan Freire, terutama konsientisasi dalam pendidikan, berada pada pendekatan yang radikal dan kritis terhadap praktik pendidikan tradisional. Sikap ini diharapkan menuntun mereka dalam mewujudkan transformasi dunia.

2. Kelemahan Konsep Konsientisasi

Kelemahan utama Freire ada pada metode konsientisasinya yang bersifat khusus dan historis. Artinya, pendekatan konsientisasinya pada dasarnya bersifat netral. Ia mengorientasikan pada pertumbuhan kesadaran kritis peserta didik, namun pertumbuhan kesadaran kritis ini menemukan relevansinya pada masyarakat yang mengalami penindasan secara massif, di mana kehidupan sosial dan budayanya hampir sama sekali stagnan tidak ada perubahan kemajuan yang lebih baik.

Jadi, perspektif pendidikan Freire memang tidak dimaksudkan bersifat universal, namun lebih partikular dan relevan bagi dunia ketiga yang mengalami sejarah penindasan. Selain itu, pemikiran dan konsep konsientisasi dalam pendidikan Freire itu hanyalah salah satu perspektif dari sekian filsafat pendidikan lainnya. Sehingga terdapat pertentangan dengan aliran lain yang bertolak filsafat berbeda.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep pendidikan kritis Paulo Freire memiliki kelebihan dan kelemahan. Meskipun tujuan pendidikan Freire adalah untuk memanusiakan manusia, namun tidak semua negara dapat menerapkan konsep Freire.


(57)

41

Hanya negara yang mengalami penindasan/dehumanisasi lah yang dapat menggunakan konsep tersebut, dalam rangka untuk membangkitkan humanisasi melalui sistem pendidikan.

C. Pengertian Pembelajaran

Pendidikan merupakan proses pengembangan potensi manusia. Dalam prosesnya, tidak terlepas dari pembelajaran yang dilakukan. Zainal Arifin Ahmad (2012: 2) mengatakan bahwa hakikat pembelajaran adalah segala upaya yang dilakukan seseorang untuk membuat orang lain (peserta didik) mengalami perubahan tingkah laku, yakni dari tingkah laku negatif ke positif. Sujarwo (2011: 3) menyatakan bahwa pembelajaran didefinisikan sebagai upaya membelajarkan peserta didik memahami diri dan lingkungannya agar lebih bermakna. Pembelajaran dimaknai sebagai kegiatan memilih, menetapkan dan mengembangkan pengelolaan, pengorganisasian dan penyampaian pesan pembelajaran untuk mencapai hasil yang ditetapkan.

Lebih lanjut Sujarwo (2011: 3) menyatakan bahwa pembelajaran dipandang sebagai suatu sistem, artinya suatu keseluruhan yang terdiri dari komponen-komponen yang saling berkaitan, berinteraksi, dan beinterdependensi antara satu dengan yang lainnya untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Secara garis besar pembelajaran terdiri dari :

1) Raw input (peserta didik). Unsur ini harus ada karena merupakan subyek yang menjalankan pembelajaran.


(58)

42

2) Instrumental input (sarana prasarana, kurikulum, media, sumber belajar, pendidik, alat evaluasi). Unsur ini merupakan pendukung dalam memperlancar kegiatan pembelajaran agar terarah dan terfasilitasi.

3) Environmental input (lingkungan fisik, sosial dan psikologis). Unsur ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak dalam pembelajaran, sehingga dibutuhkan lingkungan yang baik untuk menciptakan suasana yang nyaman.

4) Objectives (output dan outcomes) unsur yang terakhir ini adalah hasil dari pembelajaran. Apakah output dan outcomesnya baik/buruk tergantung proses pembelajarannya.

Berkaitan strategi pembelajaran, Daniel Muijs & David Reynolds dalam buku Zainal Arifin Ahmad (2012: 48) mengelompokkan model strategi pembelajaran sebagai berikut:

a. Pengajaran langsung. Pengajaran langsung adalah pola pembelajaran di mana pendidik terlibat aktif dalam mengusung isi pelajaran kepada peserta didik dengan mengajarkannya secara langsung di kelas.

b. Pengajaran interaktif. Pola pembelajaran ini menekankan pentingnya interaksi pendidik-peserta didik melalui tanya jawab dan diskusi. Dalam hal ini menekankan pada dialog.

c. Pengajaran melalui kerja kelompok kecil kolaboratif. Pembentukan 2 atau lebih untuk mendiskusikan dan memecahkan suatu persoalan bersama.


(59)

43

d. Pengajaran konstruktivis, menekankan pentingnya membantu dan memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk dapat mengonstruksikan pengetahuan yang dipelajari.

e. Pengajaran untuk maksud-maksud tertentu, seperti pengajaran keterampilan berpikir, keterampilan sosial, peningkatan self esteem, pengajaran untuk peserta didik yang mengalami kesulitan belajar dan lain lain.

f. Pengajaran untuk subjek tertentu, seperti pengajaran membaca, matematika, keterampilan ICT dan lain lain.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yaitu proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik dalam melakukan proses transfer ilmu pengetahuan, untuk mengembangkan peserta didik sehingga mengalami perubahan tingkah laku dari negatif ke positif agar ia lebih bermakna di lingkungannya. Pembelajaran dapat dilakukan di dalam ataupun luar ruangan. Biasanya pembelajaran dilakukan dengan berpedoman pada kurikulum sekolah yang telah ditentukan. Dengan demikian, proses pembelajaran menjadi terarah dan jelas tujuan yang ingin dicapai.

Pembelajaran sangat terikat antara komponen yang satu dengan yang lainnya. Komponen-komponen tersebut harus ada dan tidak dapat dipisahkan. Jika salah satu komponen tidak terpenuhi, maka tidak terjadi proses pembelajaran. Selain itu, dalam menerapkan pembelajaran guru harus menyiapkan strategi penyampain materi. Hal ini dimaksudkan agar


(60)

44

pembelajaran yang disampaikan dapat dipahami dan dimaknai oleh peserta didik.

D. Kritik Pendidikan Gaya Bank

Dalam sistem “gaya bank”, dapat diketahui bahwa pendidikan diisi dengan metode ceramah dan cerita. Anak didik hanya mendengarkan semua cerita guru dan guru menjadi objek yang seolah-olah mengetahui semua ilmu pengetahuan. Paulo Freire (2013: 51) mengatakan bahwa pola pembelajaran seperti itu, melibatkan seorang subjek yang bercerita (guru) dan objek-objek yang patuh dan mendengarkan (peserta didik). Isi pelajaran yang diceritakan, baik yang menyangkut nilai-nilai maupun segi-segi empiris dari realitas, dalam proses cerita cenderung menjadi kaku dan tidak hidup. Dengan demikian, pendidikan seperti ini pendidikan yang monoton dan tidak dinamis.

Freire mengkritsi bahwa pendidikan bercerita, dengan pendidik sebagai pencerita mengarahkan peserta didik untuk menghafal apa isi pelajaran yang diceritakan. Lebih buruk lagi, peserta didik diubahnya menjadi “bejana -bejana”, wadah-wadah kosong untuk diisi oleh pendidik. Ibarat semakin penuh dia mengisi wadah-wadah itu, semakin baik pula seorang pendidik. Semakin penuh wadah-wadah itu untuk diisi semakin baik pula mereka sebagai peserta didik (Paulo Freire, 2013: 51). Pendidikan seperti ini sangat mendehumanisasi manusia karena adanya suatu paksaan yang menuntut peserta didik membenarkan isi ceramah pendidik. Selain itu, pendidik tidak memberikan ruang diskusi untuk membicarakan permasalahan riil kehidupan.


(61)

45

Ibarat pendidikan menjadi sebuah kegiatan menabung, dimana para peserta didik adalah celengan dan pendidik adalah penabungnya. Dalam hal ini yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi pendidik menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi tabungan”, peserta didik menghafal dan mengulangi apa yang dikatakan guru. Inilah konsep “gaya bank”, dimana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan peserta didik hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan. Memang benar mereka mempunyai kesempatan untuk menjadi pengumpul dan pencatat barang-barang simpanan. Namun, pada akhirnya manusia sendirilah yang disimpan karena miskinnya daya cipta, daya ubah, dan pengetahuan. Sehingga tidak mencetak manusia yang aktif dan kreatif (Paulo Freire, 2013: 52).

Pendidikan “gaya bank” merupakan pendidikan yang dikritik Freire karena sistemnya yang mendehumanisasi. Paulo Freire (2013: 53) mengatakan bahwa dalam konsep pendidikan “gaya bank”, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Menganggap bodoh secara mutlak pada orang lain, sebuah ciri dari ideologi penindasan, karena mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian dan pemaknaan. Dalam hal ini guru menempatkan dirinya sebagai orang yang mengetahui segala hal, dengan menganggap peserta didiknya mutlak tidak tahu apa-apa, maka dia mengukuhkan keberadaan dirinya sendiri.


(62)

46

Dalam mempertajam pendidikan “gaya bank”, Paulo Freire (2013: 54) menekankan bahwa terdapat ciri-ciri yang mencerminkan kebiasaan pada pendidikan “gaya bank”, yaitu sebagai berikut:

1. Guru mengajar, siswa diajar.

2. Guru mengetahui segala sesuatu, siswa tidak tahu apa-apa. 3. Guru berpikir, siswa dipikirkan.

4. Guru bercerita, siswa patuh mendengarkan. 5. Guru menentukan peraturan, siswa diatur.

6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, siswa menyetujui. 7. Guru berbuat, siswa membayangkan dirinya berbuat melalui

perbuatan gurunya.

8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, siswa (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.

9. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan siswa.

10. Guru adalah subjek dalam proses belajar, siswa adalah objek belaka.

Dalam pandangan Freire, tentu pendidikan “gaya bank” terdapat kepentingan tertentu yang dilakukan oleh penguasa untuk menindas kebodohan manusia. Kemampuan pendidikan “gaya bank” dimaksudkan untuk mengurangi atau menghapuskan daya kreasi para peserta didik, serta menumbuhkan sikap mudah percaya. Kaum penindas memanfaatkan “humanitarianisme” mereka untuk melindungi situasi menguntungkan bagi diri mereka sendiri. Artinya, manusia yang tertindas ini hanya dijadikan manusia robot yang dapat mendukung tercapainya apa yang diinginkan para penguasa (Paulo Freire, 2013: 54).

Dari pemahaman mengenai “gaya bank”, dapat diketahui bahwa peranan pendidik adalah mengatur cara dunia “masuk ke dalam” diri para peserta didik. Tugasnya adalah mengatur proses pencarian pengetahuan yang


(63)

47

berlangsung secara spontan, dengan “mengisi” informasi yang ia anggap sebagai pengetahuan yang sebenarnya. Manusia “menerima” dunia secara pasif, maka pendidikan akan membuat mereka lebih pasif lagi. Kehidupan manusia menjadi stagnan, tidak ada kemajuan dalam menghadapi dunia yang selalu dinamis (Paulo Freire, 2013: 58-59). Dalam hal ini pengetahuan hanya dihasilkan dari satu subjek (guru) dan bukan dari hasil refleksi antara pendidik dan peserta didik.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep pendidikan “gaya bank” adalah berusaha untuk menyembunyikan masalah realitas. Pendidikan “gaya bank” menolak dengan metode dialog. Pendidikan “gaya bank” memperlakukan peserta didik sebagai objek yang tidak tahu apa-apa, guru menjadi subjek ilmu pengetahuan, serta pendidikan “gaya bank” menghambat kreativitas peserta didik.

Pendidikan “gaya bank”, sebagai kekuatan yang membelenggu dan menekan, tidak mampu menampilkan manusia sebagai makhluk menyejarah. Dengan adanya konsep “gaya bank”, maka seorang pendidik telah mendehumanisasi manusia. Artinya, hal tersebut bertentangan dengan tujuan pendidikan yang seharusnya meninggikan harkat dan martabat manusia serta menjadikan manusia yang seutuhnya. Hak-hak anak dalam partisipasi dan pembelajaran demokrasi menjadi abu-abu. Sehingga anak akan menjadi manusia yang penurut dan pasif.


(64)

48 E. Metode Pendidikan Paulo Freire

Berbicara mengenai kehidupan manusia, berarti menanyakan keberadaanya, bagaimana dan mengapa ia dapat menjalani kehidupan. Manusia hidup selalu berhadapan dengan persoalan hidup dan kehidupan di dunia ini, tentu saja akan behadapan dengan beragam masalah, baik itu permasalahan dalam dunia pendidikan, ekonomi, politik atau permasalahan kebudayaan sehari-hari. Untuk itu, pengintegrasian realitas sosial dalam pendidikan merupakan salah satu upaya dalam membebaskan diri dari masalah-masalah (Firdaus M.Yunus, 2004: 42). Freire menekankan dua metode dalam penyadaran manusia di pendidikan yaitu sebagai berikut:

1. Metode Hadap Masalah

Pendidikan hadap masalah adalah metode pendidikan yang menjawab panggilan manusia untuk menjadi subjek, di mana muatan pendidikan harus dapat disesuaikan dengan permasalahan-permasalahan yang muncul (Firdaus M.Yunus, 2004: 43). Artinya, metode hadap masalah ini menekankan dialog pendidik kepada peserta didik dengan berbasis permasalahan kehidupan. Permasalahan ini dapat muncul dari pengalaman-pengalaman pendidik maupun peserta didik. Keduanya dapat saling belajar untuk memecahkan masalah kehidupan.

Peran pendidik adalah memaparkan masalah tentang situasi eksistensial yang telah dikodifikasi untuk membantu peserta didik agar memiliki pandangan yang lebih kritis terhadap realitas. Objek realitas tersebut dapat diperoleh dari pengalaman peserta didik mengeni konteks


(65)

49

sehari-hari, sehingga mudah dipahami. Dalam hal ini tanggung jawab pendidik yang menempatkan diri sebagai teman dialog peserta didik lebih besar, daripada guru yang hanya memindahkan informasi yang harus diingat oleh peserta didik (Freire, 2002 : 103).

Bagi Freire (2013: xxi), ” problem posing education " atau yang disebut dengan pendidikan hadap masalah memungkinan proses konsientisasi (conscientizacao). Dialog merupakan unsur yang sangat penting dalam pendidikan. Dalan konsientisasi, guru dan murid bersama-sama menjadi subjek dan disatukan oleh objek yang bersama-sama. Guru dan murid secara serempak menjadi murid dan guru. Guru menjadi rekan murid yang melibatkan diri dan merangsang daya pemikiran kritis para murid. Dengan demikian, kedua belah pihak bersama-sama mengembangkan kemampuan untuk mengerti secara kritis dirinya sendiri dan dunia tempat mereka berada. Mereka akan melihat bahwa dunia bukan merupakan realitas yang statis, melainkan suatu proses "menjadi". Sistem pendidikan tersebut dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:


(66)

50

dunia, pengetahuan, situasi, problem

objek

subjek bersama-sama

guru murid

subjek objek refleksi, dialog, observasi

tantangan perubahan

(Sumber:Paulo Freire, 2013: xxi)

Gambar 1.

Pendidikan Hadap Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode hadap masalah merupakan metode pendidikan yang menjawab panggilan manusia untuk menjadi subjek, dalam pemecahan masalah kehidupan. dalam pendidikan hadap masalah, dialog merupakan unsur yang sangat penting. Guru dan murid bersama-sama menjadi subjek dan disatukan oleh objek yang sama. Guru menjadi rekan murid yang melibatkan diri dan merangsang daya pemikiran kritis para murid. Dengan metode pendidikan hadap masalah, dapat menumbuhkan interaksi manusia dengan dunianya, karena tugas pendidikan hadap masalah adalah menyadarkan manusia bahwa ia menjadi bagian dari realitas tersebut untuk melakukan perubahan.


(67)

51 2. Metode Dialogis

Dengan adanya pendidikan tradisional yang masih menggunakan sistem “Gaya Bank“ yang memutlakkan pendidikan sebagai bentuk penindasan pendidik terhadap peserta didik, Freire memecahkan kontradiksi yang terjadi tersebut dengan metode dialog. Di mana pendidik dan peserta didik harus berdialog dalam memecahkan segala persoalan, bukan membuat jarak antara pendidik dengan peserta didik yang berupaya untuk penindasan secara lebar. Oleh karena itu, satu-satunya alat paling efektif dalam sebuah pendidikan pemanusiaan adalah adanya hubungan timbal balik permanen berbentuk dialog. Dengan demikian, segala persoalan terpecahkan menjadi lebih jelas dan terbuka (Firdaus M. Yunus, 2004: 45-46).

Dialog merupakan metode yang tepat untuk mendapatkan pengetahuan, subjek harus memakai pendekatan ilmiah dalam berdialektika dengan dunia sehingga dapat menjelaskan realitas secara benar. Sesungguhnya mengetahui itu tidak sama dengan mengingat. Mengetahui merupakan proses berdialektika dan tidak terpisah dengan aksi refleksi manusia, sedangkan mengingat hanyalah sekedar menerima dari informan dan mungkin saja akan terlupakan makna yang terkandung (Freire, 2002: 105).

Freire menegaskan bahwa dialog merupakan hal yang esensial pada proses penyadaran. Manusia hidup tanpa dialog, kesadaran


(68)

52

seseorang untuk memaknai dunia, dan mendorong transformasi sosial serta pembebasan. Freire tanpa malu-malu memegang teguh nilai-nilai seperti cinta sebagai esensi dari dialog yaitu:

Jika aku tidak mencintai dunia, jika aku tidak mencintai hidup, jika aku tidak mencintai manusia, aku tidak dapat terlibat dalam dialog. Menurut Freire, dialog mengandung arti bersikap kritis tentang rasio d’etre (sebab mengapa ada) objek-objek dan subjek-subjek dialog. Dengan demikian dialog harus berjalan bebas, efektif, dan harapan (Firdaus M. Yunus, 2004: 47).

Inilah sebabnya mengapa dialog sebagai bagian fundamental dari struktur pengetahuan harus selalu terbuka. Kelas bukanlah kelas dalam arti tradisional, melainkan tempat pertemuan dimana pengetahuan dicari bersama. Pendidik harus dapat menempatkan perannya sebagai teman, fasilitator dan penengah dalam meluruskan pengetahuan, serta tidak mengesampingkan nilai-nilai demokratis untuk membangun daya kreativitas anak. Pendidik tidak boleh melembagakan keterangan-keterangan hafalan, mekanistis, karena bila seseorang terdidik mengajukan pertanyaan, para pendidik haruslah menyusun kembali seluruh usaha kognitif sebelumnya (Paulo Freire, 1969: 118).

Tugas pendidik adalah mengetengahkan isi pelajaran, bukannya mengulasnya sendiri, memberikannya kepada terdidik, seakan-akan isi pelajaran itu sesuatu yang siap, jadi, lengkap dan selesai. Dalam mengetengahkan masalah kepada para terdidik, pendidik juga ikut merasakan masalah yang dihadapi. Pendidik berlaku sebagai pengamat dan membiarkan para terdidik menangkap sendiri, menganalisa dan kemudian memahami problem tersebut. Pendidik harus dapat menghargai setiap


(1)

264 Kegiatan harkes (hari kesehatan) yang dilakukan hari jumat di lapangan sepak bola dengan diisi permainan bentengan

Kegiatan tawasi yang dilakukan di musholla

Kegiatan forum teater yang dilakukan pada malam hari


(2)

265 Kegiatan forum film dalam take film di Qaryah Thayyibah

Kegiatan Tugas Akhir (TA) dari forum sanggar yang dilakukan di Taman Tingkir, Salatiga

Kegiatan Tugas Akhir (TA) dari forum

freedom writers (FW) yang dilakukan di Taman Tingkir, Salatiga

Kegiatan Tugas Akhir (TA) dari forum film yang dilakukan di Taman Tingkir, Salatiga


(3)

266 Kegiatan Tugas Akhir (TA) dari forum musik yang dilakukan di Taman Tingkir, Salatiga

Kegiatan evaluasi yang dilakukan setiap kelas


(4)

267 Lampiran 15. Hasil Karya warga belajar

Hasil Karya warga belajar di Qaryah Thayyibah

Hasil karya warga belajar yang mendesain rumah


(5)

268 Karya warga belajar yang membuat dompet dan accessories kerudung

Karya warga belajar dalam membuat tas dari baju bekas

Buku Let Go merupakan hasil karya warga belajar Qaryah Thayyibah yang berisi kumpulan cerpen dan puisi


(6)

269 Lampiran 16. Surat Ijin Penelitian