PERDIS – Hukum Melakukan Perkawinan, Larangan Perkawinan, Sistem Kekeluargaan

  HUKUM MELAKUKAN PERKAWINAN , LARANGAN PERKAWINAN, HUBUNGAN LARANGAN

  PERKAWINAN DENGAN SISTEM KEKELUARGAAN 

  OLEH HUKUM MELAKUKAN PERKAWINAN

PENDAPAT ULAMA

  

Daud Az-Zhahiri, Ibnu Hazm dan Imam

  • Ahmad berpendapat menikah itu hukumnya wajib.  Q.S. an-Nisa : 3 dan Q.S. An-Nur : 32. Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad
  • berpendapat, menikah hukumnya sunnah.  Q.S. An-Nisa (4) : 3.

PENDAPAT ULAMA

  • Pendapat sebagian ulama: asal hukum melakukan perkawinan: kebolehan atau ibahah

   dihubungkan dengan al-ahkam al-khamsah.

  • Dasar hukum:
  • Q.S. An-Nisa (4): 1, 3, dan 24.
  • Hadits-hadits Rasul itu antara lain:

1) Hadits riwayat Bukhari-Muslim.

  “Hai golongan pemuda, barangsiapa di antara kamu

PENDAPAT ULAMA

2) Hadits riwayat Bukhari-Muslim.

  

“Tetapi aku sembahyang, tidur, puasa,

berbuka dan kawin. Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku maka ia bukan umatku.”

  Kebolehan ini dapat berubah karena

  • berubahnya illah.

  Perubahan Illat 1.

  Hukum beralih menjadi sunnah: Seorang apabila dipandang dari segi pertumbuhan jasmaninya telah wajar dan cenderung untuk kawin serta sekedar biaya hidup telah ada.

  2. Hukumnya beralih menjadi wajib: Seseorang bila

  dipandang dari segi biaya kehidupan telah mencukupi dan dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya sudah sangat mendesak untuk kawin, sehingga kalau dia tidak kawin dia akan terjerumus kepada penyelewengan.

  3. Hukumnya beralih menjadi makruh: Seseorang yang

  LARANGAN

PERKAWINAN DALAM

  ISLAM

DASAR HUKUM

  

  ISLAM Al Qur’an

   Al-Baqarah: 221 (larangan mengawini orang musyrik)

   Al-Baqarah: 228 dan 234 (laki-laki dilarang menikahi perempuan yang sedang berada pada masa iddah)

   An-Nisa:22 (larangan mengawini ibu tiri);

DASAR HUKUM

  LARANGAN

PERKAWINAN DALAM

   An-Nisa:23 (larangan mengawini karena

  ISLAM hubungan darah, sepersusuan, anak tiri yang ba’da dukhul dengan ibunya, poligami 2 perempuan bersaudara kandung/seayah/ seibu

   An-Nisa:24 (larangan POLIANDRI);

   Al-Maidah: 5 (mengawini wanita ahlul-kitab)  lihat pula Al Mumtahanah: 10

DASAR HUKUM

  ISLAM

  UU Perkawinan Pasal 8 

  Kompilasi Hukum Islam Pasal 39-44 dan

  54 Larangan Perkawinan 1.

  Karena Hubungan Darah 2. Karena Hubungan Sesusuan 3. Karena Hubungan Semenda 4. Menikahi Perempuan Karena Kondisinya 5. Terkait dengan Putusnya Perkawinan 6. Laki-laki Dilarang Menikah Karena Kondisinya 7. Mengawini Pezina 8. Pernikahan Antara Laki-laki Muslim dengan Perempuan

  

1. Larangan Perkawinan

Karena Hubungan Darah

  KHI Pasal 39 ayat (1) 

  An Nisa ayat 23. Laki-laki dilarang menikahi: 

  Ibu

  

  Anak perempuan

  

  Saudara perempuan

  

  Saudara bapak yang perempuan

  

  Saudara ibu yang perempuan

2. Larangan Perkawinan

  Karena Hubungan Sesusuan

  KHI Pasal 39 ayat (3) 

  An Nisa ayat 23. Laki-laki dilarang menikah dengan: 

  Ibu yang menyusukan kamu

  

  Saudara perempuan sesusuan

   Syarat saudara sesusuan:

  

  Umur anak kurang dari 2 tahun

  

  Ukuran menyusui:

  ○ 5 kali menyusui penuh sampai kenyang (HR Muslim) (Syafi’i & Hanbali)

3. Larangan Perkawinan

  Karena Hubungan Semenda

  KHI Pasal 39 ayat (2) 

  An Nisa ayat 23. Laki-laki dilarang menikah dengan: 

  Ibu isteri (mertua perempuan)

  

  Anak isteri dari isteri yang telah dicampuri (jika isteri belum dicampuri dan telah bercerai, anak isteri boleh dinikahi)

  

  Isteri anak kandung

  

  Menikahi 2 orang perempuan bersaudara sekaligus

  Larangan Khusus dalam Poligami

  

  Larangan poligami dengan wanita yang mempunyai pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya (KHI Pasal 41 (1)): a. saudara kandung, seayah, atau seibu serta keturunannya  lihat An Nisa: 23

  b. bibinya atau kemenakannya  lihat HR Jamaah ○

  HR Jamaah dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Nabi saw. melarang seorang perempuan dinikah (secara poligami) bersama bibinya dari pihak ayah atau bibinya dari pihak ibu

  ○

  HR Jamaah kecuali Ibnu Majah dan Tirmidzi dan

  Larangan Khusus dalam Poligami

  Larangan tersebut tetap berlaku meskipun

isteri ditalak raj’i tapi masih ‘iddah (KHI

Pasal 41 ayat (2))

  Menghimpun Anak Tiri dan Ibu Tiri

  Dari Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya ia pernah

memadu (menghimpun) antara janda seorang

laki-laki dengan anak perempuan laki-laki itu dari isteri yang lain setelah isteri (yang pertama) ditalak dua kali dan sekali talak khul’i

   Sahabat Rasulullah, Jabalah, memadu (menghimpun) antara janda seorang laki-laki dan

anak perempuan laki-laki itu dari isterinya yang

  Larangan & Kebolehan Perkawinan Karena Hubungan Semenda

   Ibnu Taimiyah:

   Boleh menikah dengan ANAK PEREMPUAN

dari IBU TIRI; ANAK PEREMPUAN dari

ISTERI ANAK (CUCU TIRI)

   Dilarang menikah dengan: isteri-isteri AYAH; isteri-isteri Anak Kandung; keturunan dari Anak Tiri

4. Larangan Menikahi

  Perempuan Karena Kondisinya

  An Nisa ayat 24 dan KHI Pasal 40 huruf

  a. Laki-laki dilarang menikahi perempuan yang sedang bersuami (poliandri)

   Al Baqarah ayat 228 dan 234 dan KHI

  Pasal 40 huruf b. Laki-laki dilarang menikahi perempuan yang sedang

5. Larangan Perkawinan

  Terkait dengan Putusnya Perkawinan

  KHI Pasal 43 ayat (1) dan (2)

  Talak ba’in kubra. Laki-laki dilarang menikahi bekas isterinya apabila telah melakukan talak bai’in kubra, kecuali ada muhallil

   Li’an. Suami atau isteri yang menuduh pasangannya berbuat zina mengajukan alat

6. Laki-laki Dilarang

  Menikah Karena Kondisinya

  KHI Pasal 42: Telah memiliki 4 isteri, baik keempat-empatnya masih terikat dalam perkawinan atau salah seorang masih dalam iddah talak raj’i

   KHI Pasal 44: Tidak beragama Islam apabila ingin menikahi perempuan muslimah

7. Larangan Mengawini Pezina

  

  HR Ahmad dan Abu Daud

  Dari Abu Hurairah ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda

“Pezina laki-laki yang pernah didera hendaklah tidak kawin

melainkan kepada perempuan sepertinya”

  

  HR Abu Daud, Nasai, dan Tirmidzi

   Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari datuknya, sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad al-Ghunawi pernah membawa beberapa tawanan ke Makkah, sedang di Makkah (pada waktu itu) ada

seorang pelacur bernama ‘Anaq dan ‘Anaq ini adalah teman

Martsad. Martsad berkata: Kemudian aku menghadap Nabi saw, lalu aku bertanya, Ya Rasulullah, bagaimana kalau aku mengawini ‘Anaq? Martsad berkata; Maka Nabi pun diam; Lalu turunlah ayat “Dan perempuan pezina itu tidak (pantas) dikawini

  

Pernikahan antara Zani

dan Zaniyah

  Ibnu Taimiyyah dan mazhab Imam Ahmad berpendapat bahwa seorang perempuan pezina dilarang untuk dinikahi kecuali ia telah bertobat dan habis masa iddahnya

   Umar bin Khattab dalam ijtihadnya membolehkan laki-laki menikahi

8. Pernikahan Antara Laki-laki

  

Muslim dengan Perempuan Non-

Muslimat (Ahlul Kitab)

  

Al Maidah: 5. Dihalalkan menikahi wanita ahlul kitab

  Pendapat Hazairin 

  

KHI Pasal 40 huruf c  wanita non-muslim dilarang

dinikahi oleh laki-laki muslim 

  Umar bin Khattab melarang (membenci) laki-laki muslim yang menikahi perempuan non-muslim,

meskipun tidak dilarang dalam al Qur’an. Alasannya

adalah:

   Anak-anak yang lahir dalam rumah tangga tersebut akan dirusak akidahnya dari Islam

  

Komunitas perempuan muslim yang belum menikah

9. Perkawinan Dalam Masa Ihram

   KHI Pasal 54 (1): Selama masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh bertindak sebagai wali nikah.

   (2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram, maka perkawinannya tidak sah.

10. Kawin Mut’ah

  

  Kebolehan melakukan Kawin Mut’ah:

   HR Muslim dari Saburah Al Juhani: “Bahwa ia ikut berperang bersama Rasulullah saw pada saat penaklukan kota Mekah. Nabi saw memberi izin kepada mereka (yang ikut berperang) melakukan nikah mut’ah”

  

  Larangan melakukan Kawin Mut’ah:

   HR Ibnu Majah: “Bahwa Rasulullah saw mengharamkan

mut’ah.” Lalu Rasulullah bersabda: “Wahai sekalian manusia, aku telah membolehkan kalian melakukan nikah mut’ah; ketahuilah! Sekarang Allah swt telah mengharamkannya sampai hari kiamat nanti.” Cont’d 

  

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar ra ia berkata: Ketika Umar ra menjadi khalifah, beliau berpidato di depan khalayak “Sesungguhnya Rasulullah saw mengizinkan kita tiga macam mut’ah, kemudian setelah itu beliau mengharamkannya.

Demi Allah, kalau ada seseorang melakukan kawin mut’ah, sedangkan ia telah beristeri, pasti ia akan saya hukum rajam dengan batu, kecuali kalau ia

bisa mendatangkan 4 orang saksi kepadaku yang semuanya menyatakan bahwa Rasulullah saw telah Kawin Hamil 

Pasal 53 KHI

   Al Ahqaaf ayat 15  masa mengandung dan menyusui adalah 30 bulan

   Lukman ayat 14 dan Al Baqarah ayat 233  masa menyusui adalah 2 tahun atau 24 bulan

   Berpengaruh terhadap pengertian “anak sah” yaitu  Kawin Hamil 

  Wanita hamil yang dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya tidak menjadikan anak yang dilahirkannya adalah anak sah dan mempunyai hubungan hukum terhadap ayah biologisnya

  

  Akibat hukum 

  

  Anak hasil zina dan ayah biologisnya tidak dapat saling mewarisi

  

  Ayah biologisnya tidak dapat menjadi wali nikah apabila anak tersebut adalah wanita

HUBUNGAN ANTARA NORMA

  

PERKAWINAN ISLAM DENGAN SISTEM KEKELUARGAAN ISLAM Bentuk masyarakat menurut Hukum Islam Bilateral

  Terlihat dari: 

  Ketentuan hukum perkawinan menurut hk. Islam terdapat dlm al-Qur’an dan as-Sunnah sudah dirumuskan ke dalam beberapa Pasal UU No.1 Thn 1974.

  

Pemberian mahar menurut Hk.Islam bersifat individual,

(Q.S.4 ayat 4 jo.ayat 24 jo. S.2: 236 jo 237, yang terlepas dari fungsi kekeluargaan, kekerabatan maupun kemasyarakatan.

   Ketentuan larangan perkawinan berdasarkan hubungan

  Bentuk masyarakat menurut Hukum Islam Bilateral

   ketentuan larangan perkawnan dan ketentuan hukum kewarisan (Q.S. 4: 7, 11, 12, 33 dan 176):

  

  Q.S.4 ayat 11: menentukan besarnya harta warisan yang diperoleh.

  

  S.4: 12, suami atau istri yang berkedudukan sbg. Ahli Waris dari istrinya atau suaminya.

  

  Q,S.4 : 12 dan 176 saudra-saudara pewaris (laki-laki perempuan, kandung, saudara seayah, saudara seibu) dapat sebagai ahli waris. Tugas Kelas Paralel 

  Mirza seorang duda mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Zaini ingin menikahi Sarah seorang janda. Pada saat Mirza meminang Sarah, Sarah masih dalam masa iddah.Sarah mempunyai anak yang bernama Rahma. Zaini dan Rahma selalu bersama dan akhirnya saling jatuh cinta . a) Apakah Mirza pada saat meminang dapat menikahi Sarah? Berikan dasar hukumnya. b) Apakah Zaini dan Rahma dapat menikah? Jika

  

Wassalam