Perlunya Perlindungan Hukum Bagi Para Dokter Yang Melakukan Euthanasia Terhadap Pasien

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA DOKTER YANG

MELAKUKAN EUTHANASIA TERHADAP PASIEN

SKRIPSI

Diajukan guna melengkapi Tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

HERDHENY SARI MANIK NIM : 040200197

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan yang tiada henti-hentinya akan kehadhirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam tak lupa penulis panjatkan kepada junjungan nabi muhammad saw yang telah memberikan jalan dan menuntun umatnya dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang yang disinari oleh nur iman dan Islam.

Skripsi ini berjudul: Perlunya Perlindungan Hukum Bagi Para Dokter

Yang Melakukan Euthanasia Terhadap Pasien, yang diajukan untuk

melengkapi tugas dan syarat menyelesaikan pendidikan sarjana pada Fakultas Hukum, Bagian Hukum Pidana, Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa di dalam pelaksanaan pendidikan ini banyak mengalami kesulitan-kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya suatu masukan serta saran yang bersifat membangun di masa yang akan datang.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:


(3)

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp. A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU.

4. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU.

5. Bapak Muhammad Husni, SH, M. Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU.

6. Bapak Abul Khair, SH, M. Hum sebagai Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I, terima kasih atas bimbingan dan dukungan bapak ini kepada penulis.

8. Dra.Marlina, SH, M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II, terima kasih atas bimbingan dan dukungan bapak ini kepada penulis.

9. Ibu Afnila, SH, M.Hum sebagai Dosen Penasehat Akademik selama penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum USU.

10. Seluruh staf Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU 11. Seluruh Bapak dan Ibu Staf Pengajar Fakultas Hukum USU

12. Ayahanda Junaidi Sari Manik dan Nurmi Butar-Butar,S.Pd, yang tercinta, sembah sujud ananda haturkan atas curahan dan belaian kasih sayang yang tulus dan dengan susah payah dan segala upaya telah membesarkan dan mendidik ananda hingga ananda dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi, serta


(4)

seluruh keluarga besar yang memberikan dorongan semangat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini.

13. Adinda Nurwinda Sari Manik, terima kasih atas dukungannya.

14. Buat seseorang yang kusayangi Almh.Yessie Karlina Nst. Yang selalu mendukung disaat perkuliahan dan memberikan motivasi yang besar, Semoga amal ibadahnya diterima disisi-Nya.

15. Buat teman-temanku Dedy Nst cool, Nofan Jablay anak Pak Affan, Ilmi Negro, Sandi, dan juga teman-teman lain yang tidak bisa di sebutkn satu persatu, kalian akan selalu dihatiku.

16. Buat semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Demikianlah yang penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, 14 Maret 2010


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……… i

DAFTAR ISI ……….. ii

ABSTRAKSI ……….. iii

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Permasalahan ……….. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………... 7

D. Keaslian Penulisan ……….. 8

E. Tinjaun Pustaka……… 9

F. Metode Penelitian ……… 14

1. Pendekatan Penelitian ……… 14

2. Alat Pengumpul Data ………. 14

3. Analisa Data ………... 14

G. Sistematika Penulisan……… 16

BAB II TANGGUNG JAWAB DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA ……….. 18

A. Tanggung Jawab Dokter Menurut Profesi Medis ………… 18

B. Tanggung Jawab Dokter Yang Menurut KUHPidana ……. 24

BAB III PERLINDUNGAN TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA ………. 30

A. Perbuatan euthanasia yang dapat dilindungi ………... 30


(6)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ……… 53

A. Kesimpulan ………... 53

B. Saran ………. 56


(7)

ABSTRAKSI

Dokter melakukan euthanasia setelah adanya permintaan yang sungguh-sungguh dari pasien atau keluarganya. Memang bisa terjadi seseorang meminta kepada dokter agar dicabut nyawanya, misalnya karena faktor frustasi atau kegagalan hidup yang dialaminya, ataupun karena kesulitan ekonomi yang dihadapinya. Namun, apabila dokter mengabulkan permintaan tersebut la telah melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia dan juga lafal Sumpah Dokter dan perbuatan tersebut dapat di golongkan kepadanya pembunuhan.

Bahwa perlindungan hukum diperlukan dokter melakukan

euthanasia oleh karena:Negara Indonesia adalah negara yang

berdasarkan atas Hukum (rechtstaat) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat).Sifat dan hakekat dari pada euthanasia tidaklah secara mutlak universal merupakan delik yang harus dihukum.

Bahwa pengaturan Pasal 344 KUHPidana mengenai euthanasia mempunyai kelemahan antara lain: Adanya unsur: atas permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, yang mempersulit pembuktian dan penuntutan.Pasal 344 KUHPidana adalah mengenai

euthanasiu aktif, sedangkan mengenai euthanasia pasif tidak ada di atur

Undang-undang.Delik euthanasia adalah delik biasa, dan bukan delik aduan, sehingga dituntut keuletan dan ketajaman aparat penyelidik dan penyidik untuk mengungkapkan apakah sesuatu perbuatan euthanasia telah dilakukan.


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perputaran zaman dari masa kemasa membawa kehidupan masyarakat selalu berubah, berkembang menurut keadaan, tempat dan waktu. Oleh karena itu timbullah bermacam corak dan aneka ragam perbuatan kehidupan masyarakat, sehingga dapat saja timbul suatu perbuatan Undang-undang Hukum Pidana dilarang, karena dianggap tercela oleh pembentuk undang-undang.1

Dari hasil kemajuan zaman ini masyarakat tidak perlu lagi memikirkan kematian dirinya sendiri. Manusia sudah menempuh kematian tanpa melakukan penyiksaan terhadap dirinya. Apabila seseorang tidak dapat lagi menahan penderitaannya karena sakit maka dengan kemajuan peralatan kedokteran ia dapat meminta kepada dokter untuk menghilangkan jiwanya.

Dengan demikian semakin majunya zaman maka tentu saja pola fikir manusia juga semakin maju, dengan majunya teknologi yang dimi1iki tentu saja merupakan suatu kemajuan bagi masyarakat untuk mengenal berbagai kemajuan zaman.

1

Abdoel Djamali, Pengantar Hukurn Indonesia, PT, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 21


(9)

Permintaan untuk menghilangkan jiwa tersebut Ilmu Hukum Pidana dikenal dengan perbuatan euthanasia. Di mana euthanasia ini secara jelas di atur Pasal 344 KUHPidana: “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas perrnintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

Ketentuan Pasal 344 KUHPidana ini merupakan suatu perbuatan yang menghilangkan jiwa orang lain yang harus dikenakan hukuman, untuk seorang dokter harus lebih berhati-hati untuk melakukan euthanasia tersebut. Adanya permintaan dari pasien untuk menghilangkan jiwanya maka dokter perlu dilindungi demi menjaga nama baik seorang dokter, di mana menjalankan tugas-tugasnya sehari-hari seorang dokter terikat dengan sumpah jabatan dan kode etik yang digariskan kepadanya.

Peneliti berkeyakinan bahwa euthanasia bukan tidak pernah terjadi di Indonesia terutama apabila si pasien tidak mungkin lagi disembuhkan atau pengobatannya diberikan tidak berpotensi lagi. Kasus euthanasia ini dianggap tidak pernah terungkap. Euthanasia sekarang di sebut dengan

Mercy Killing (mati otak) KUHPidana di atur Pasal 344.

Adanya unsur permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, mengakibatkan sulitnya pembuktian penuntutan bahwa


(10)

seorang dokter itu telah melakukan euthanasia, terlebih bila si pasien telah berada dalam keadaan incompetent (tidak mampu berkomunikasi) menyatakan kehendaknya, menolak atau menyetujui jiwanya dihilangkan, serta keadaan In a Persistent Vegetative State (mati tidak hidup pun tidak), bagaimana mungkin untuk membuktikan adanya permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati.2

1. Adanya penyakit yang diderita pasien yang menurut dokter tidak dapat lagi di sembuhkan dan di mana si penderita atau keluarganya harus mengeluarkan biaya pengobatan yang besar dengan sia-sia saja.

Apabila kita memandang dari segi pandangan agama kematian itu bukanlah merupakan kehendak manusia akan tetapi dapat dinyatakan bahwa kematian itu sudah merupakan suatu kewajiban bagi orang yang hidup dan semua manusia yang hidup pasti akan menuju kematian.

Adapun alasan-alasan dan faktor-faktor yang menyebabkan dokter melakukan euthanasia adalah sebagai berikut:

2. Adanya rasa frustasi atau kegagalan hidup dari si pasien, sehingga si pasien tidak lagi ingin untuk hidup.3

2

Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 19

3


(11)

Di antara para sarjana terdapat perbedaan pendapat tentang jenis ataupun bentuk euthanasia, seperti halnya:

1. Vrijwillige euthanasia yang maksudnya euthanasia yang dilaksanakan dengan adanya permintaan yang nyata dan sungguh-sungguh dari si pasien.

2. Onvrijwillige euthanasia yang maksudnya tidak adanya pennintaan yang nyata dan sungguh-sungguh dari si pasien.

3. Passieve euthanasia yang maksudnya hal ini tidak atau tidak lagi digunakan alat alat ataupun perbuatan yang dapat memperpanjang hidup si pasien.

4. Active euthanasia yang maksudnya itu menggunakan alat-alat ataupun perbuatan yang memperpendek hidup si pasien.4

Dr. H. Akbar mengemukakan, Euthanasia aktif dan euthanasia

pasif, penderita gawat dan darurat dirawat di rumah sakit atau dibagian

rumah sakit gawat darurat dengan peralatan yang majemuk untuk menolong jantung, pernapasan dan cairan tubuh, sehingga alat-alat tubuh itu dapat berfungsi dengan baik.5

4 Soerjono Soekanto, “Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 47

5

Ibid. hal., 45

Euthanasia aktif dilakukan dengan menghentikan segala alat-alat

pembantu ini, sehingga jantung dan pernafasan tidak dapat bekerja dan akan berhenti berfungsi, atau memberikan obat penenang dengan dosis yang melebihi, yang juga akan menghentikan fungsi jantung. Euthanasia pasif di lakukan bila penderita gawat darurat tidak diberi obat sama sekali.


(12)

Dari uraian-uraian tersebut di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa euthanasia aktif maupun euthanasia pasif adalah merupakan pembunuhan secara langsung.

Dr. R. Soeprono membagi euthanasia empat bentuk yaitu:

1. Euthanasia sukarela (Voluntary euthanasia) pasien meminta, membei izin/persetujuan untuk menghentikan atau meniadakan perawatan yang memperpanjang hidup.

2. Euthanasia terpaksa (Invulunturv eulfzunusiu) membiarkan pasien mati tanpa

3. sepengetahuan si pasien sebelumnya dengan cara menghentikan atau meniadakan perawatan yang memperpanjang hidup.

4. Mercy Killing sukarela (Volunturi Mercy Killing) dengan sepengetahuan dan

5. persetujuan pasien diambil tindakan yang menyebabkan kematian. 6. Mercy Killing terpaksa (Involunlari A1ercv Killing) tindakan sengaja

di ambil tanpa sepengetahuan si pasien untuk mempercepat kematian.6

Dengan demikian euthanasia mempunyai pengertian yang luas karena bukan hanya atas permintaan pasien saja, melainkan juga tanpa persetujuan pasien atau keluarga. Di Belanda, perumusan euthanasia dari

Koniklijke Nederlanclche Matschuppij Geneeskunst (KNNG) lebih

memandang euthanasia tersebut dari kepentingan si pasien: tersebut bersifat aktif (caution). Dari tindakan yang aktif ini seorang pasien akan mati dengan tenang, misalnya dengan memberikan injeksi dengan obat yang menimbulkan kematian, obat penghilang rasa kesadaran dosis yang tinggi dan lain-lain.

6

Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia Hak Azasi Manusia dan Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 54


(13)

Antara jenis euthanasia yang pertama dengan yang ketiga ini, sama-sama didasarkan atas permintaan pasien atau keluarganya kepada dokter. Hanya saja pada jenis pertama dokter bersifat pasif, sedang pada jenis yang ketiga dokter lebih bersifat aktif bertindak untuk mempercepat terjadinya kematian.

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa dokter yang melakukan

euthanasia tersebut perlu dilindungi mengingat profesinya sebagai dokter,

dan perlindungan tersebut adalah perlindungan yang bersangkut paut dengan hukum. Berdasarkan paparan tersebut di atas penelitian akan di

beri judul: "PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA DOKTER YANG

MELAKUKAN EUTHANASIA TERHADAP PASIEN".

B. Permasalahan

Dalam sebuah penelitian diperlukan adanya perumusan masalah yang akan dibahas. Adapun perumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pertanggungjawaban terhadap dokter yang melakukan

Euthanisa ?

2. Bagaimanakah perlindungan terhadap dokter yang melakukan


(14)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Dalam rangka penyusunan skripsi ini penulis mempunyai tujuan yang hendak dicapai, sehingga penulisan ini akan lebih terarah serta dapat mengenai sasarannya. Tujuan utama daripada penulisan skripsi ini adalah sebagai sarana untuk melengkapi tugas akhir dan syarat untuk memperoleh gelar sarjana “Sarjana Hukum” dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Selain itu, adapun tujuan lain daripada penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban dokter yang melakukan melakukan euthanasia dan sampai di mana tanggung jawab dokter yang melakukan euthanisa.

2. Untuk mengetahui apakah dokter yang melakukan euthanasia tersebut dapat (perlu dilindungi) dan perlindungan yang bagaimana dapat digunakan.

Selain tujuan daripada penulisan skripsi ini, perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan yang cukup berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara umum, dan ilmu hukum pada khususnya, dan lebih khususnya lagi adalah di bidang hukum pidana. Selain itu, skripsi ini diharapkan juga dapat


(15)

memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat ketentuan di bidang hukum pidana.

2. Secara praktis

Melalui penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman yang lebih mendalam bagi aparat penegak hukum dan masyarakat sehingga akan lebih mengetahui apa saja yang menyebabkan dokter melakukan euthanasia. Serta dapat mengetahui sampai di mana tanggung jawab dokter yang melakukan euthanasia tersebut menurut KUHPidana, serta apakah dokter yang melakukan euthanasia tersebut dapat atau perlu dilindungi.

D. Keaslian Penulisan

Tulisan yang berjudul Perlunya Perlindungan Hukum Bagi Para Dokter Yang Melakukan Euthanasia Terhadap Pasien merupakan hasil dari penelitian penulis. Penulis telah melakukan penelusuran di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan tidak ada skripsi mahasiswa yang menulis tentang judul tulisan ini. Karena para mahasiswa belum ada yang menulis, maka tulisan ini asli dari buah pikiran penulis. Jika dikemudian hari telah nyata ada skripsi yang sama dengan skripsi ini, sebelum skripsi ini dibuat, maka saya akan bertanggung jawab sepenuhnya.


(16)

E. Tinjauan Pustaka

Euthanasia secara singkat dapat diartikan mati dengan tenang

tanpa suatu penderitaan. 7

a. Orthothunasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah.

Menyinggung masalah kematian, menurut cara terjadinya maka ilmu pengetahuan membedakannya tiga jenis kematian, yaitu:

b. Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar. c. Euthanasia, yaitu suatu yang terjadi dengan pertolongan atau

tidak dengan pertolongan.8

Kematian yang ketiga yaitu Euthanasia, mulai menarik perhatian dan mendapat sorotan dunia lebih-lebih setelah dilangsungkannya konfrensi hukum sedunia, yang diselenggarakan oleh World Pace

Thorough Law Center di Manila (Pilipina) tanggal 22 dan 23 Agustus

1977.9

1. Pengertian Euthanasia Secara Agama

Dilihat dari segi agama, baik Islam, Kristen, Katholik dan sebagainya, maka euthanasia merupakan perbuatan yang di larang, sebab masalah kehidupan dan kematian seseorang itu berasal dari penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi perbuatan-perbuatan yang

7

Parlaungan Ritonga, Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, Bartong Jaya, Medan, 2006. hal. 27

8

Ibid.

9


(17)

menjurus kepada tindakan penghentian hidup merupakan tindakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, oleh karenanya tidak dibenarkan.

Agama Islam yang mayoritas dianut oleh Bangsa Indonesia jelas melarang euthanasia. Hadist Nabi Muhammad S.A.W. yang diriwayatkan oleh Annas r.a. menyebutkan sebagai berikut:

Bahwa Rasullullah Pernah berkata: “Janganlah tiap-tiap orang dari kamu meminta-minta mati, karena kesukaran yang menimpanya. Jika memang sangat perlu dia berbuat demikian, maka ucapkanlah doa sebagai berikut: Ya Allah panjangkanlah umurku, kalau memang hidup adalah lebih baik bagiku, dan matikanlah aku menakala memang lebih baik bagiku.“10

“Hai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan curang, kecuali dengan cara perdagangan yang berlaku dengan suka rela diantaramu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang Padamu”.

Apabila jika dilihat dari bunyi hadist di atas, dinyatakan secara jelas bahwa euthanasia itu di larang ajaran Islam. Di samping itu masih banyak ayat-ayat suci Al Qur'an dan Hadist-hadist Nabi Muhammad lain yang melarang bunuh diri (suicide) yang mirip dengan euthanasia, misalnya karena kebosanan akan hidup dan umumnya karena takut akan tanggung jawab hidup.

Tindakan demikian ini sangat diharamkan oleh Agama Islam, misalnya dalam Surat An Nisa ayat 29:

11

“Katakanlah! Marilah kubacakan apa-apa yang telah diharamkan Tuhan padamu, yakni: janganlah kamu mempersekutukan dia Surat Al An'am ayat 15l:

10

Ibid., hal. 63

11


(18)

dengan sesuatupun, berbaktilah kepada kedua orang tuamu. Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka juga. Janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji dan terang maupun yang tersembunyi. Dan janganlah kamu buruk jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya kecuali karena sebab-sebab yang dibenarkan oleh syari'at. Begitulah yang diperintahkan Tuhan kepadamu supaya kamu memikirkannya”.12

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut melarat. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu juga. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa yang besar”.

Surat Al Isra' ayat 3l:

13

“25.Sebab itu aku berkata kepadamu: janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan Surat A1 `Araf ayat 34: “Bagi tiap-tiap umat itu ada batas waktu tertentu (ajal/mati), sebab itu bila datang waktunya itu, mereka tidak dapat mengulurkan barang seketika maupun mempercepatnya.

Jadi jelaslah terutama dari surat Al'Araf ayat 34 tersebut di atas diajarkan bahwa masalah mati dan hidup manusia itu ada di tangan Tuhan, sehingga manusia tidak dapat menentukannya.

Ditinjau dari segi ajaran Agama Kristen (katholik dan Protestan) yang juga banyak di anut oleh bangsa Indonesia hal semacam ini yang diuraikan di atas pun merupakan suatu tindakan di larang. Di samping itu diajarkan pula bahwa soal hidup dan matinya seseorang berada di tangan Tuhan, misalnya Kitab Injil Perjanjian Baru karangan Martius Bab 6:

12

Ibid., hal. 64

13


(19)

apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian”.

26. Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya di dunia.14

2. Pengertian Euthanasia Secara Pidana

Apabila dilihat dari ajaran ini dapat di ambil kesimpulan, bahwa masalah nyawa seseorang itu lebih penting dari hal-hal lainnya, dan hidup serta matinya seseorang itu ada di tangan Tuhan, manusia tidak akan dapat mempercepat ataupun memperlambatnya barang sedikit pun.

Dilihat dari segi perundang-undang dewasa ini belum ada peraturan yang baru dan lengkap tentang euthanasia ini menyangkut keselamatan manusia, maka harus di cari pengaturannya atau pasal yang sekurang-kurangnya mendekati masalah euthanasia adalah apa yang di atur Buku 11, Bab IX Pasal 344 KUHPidana.

Sejarah pembentukan KUHPidana, pembentukan undang-undang pada zaman Belanda menganggap bahwa jiwa manusia sebagai milik yang paling berharga dibanding milik manusia lainnya, sebab itu setiap perbuatan itu mengancam keamanan dan keselamatan jiwa manusia, dianggap sebagai kejahatan besar oleh negara.

Dilihat dari aspek Hukum Pidana, euthanasia aktif maupun

euthanasia pasif apapun di larang, euthanasia akfif maupun euthanasia

14


(20)

pusif atas permintaan, dilarang menurut Pasal 344 KUHPidana, yang

berbunyi:

Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara selama lamanya dua belas tahun.

Bunyi pasal ini dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain walaupun atas permintaan orang itu sendiri.

Dengan demikian euthanasia mempunyai pengertian yang luas karena bukan hanya atas permintaan pasien saja, melainkan juga tanpa persetujuan pasien atau keluarga. Di Belanda, perumusan euthanasia dari

Koniklijke Nederlanclche Matschuppij Geneeskunst (KNNG) lebih

memandang euthanasia tersebut dari kepentingan si pasien: tersebut bersifat aktif (caution). Dari tindakan yang aktif ini seorang pasien akan mati dengan tenang, misalnya dengan memberikan injeksi dengan obat yang menimbulkan kematian, obat penghilang rasa kesadaran dosis yang tinggi dan lain-lain.

Antara jenis euthanasia yang pertama dengan yang ketiga ini, sama-sama didasarkan atas permintaan pasien atau keluarganya kepada dokter. Hanya saja pada jenis pertama dokter bersifat pasif, sedang pada


(21)

jenis yang ketiga dokter lebih bersifat aktif bertindak untuk mempercepat terjadinya kematian.

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penulisan dalam skripsi ini, tentunya akan melakukan penelitian untuk mengumpulkan data yang diperlukan. Hal ini akan menggunakan metode penelitian yang bersifat normatif. Hal ini ditempuh dengan cara melakukan penelitian kepustakaan (library research), atau biasa dikenal dengan sebutan studi kepustakaan, walaupun demikian penelitian dimaksud tidak lepas pula dari sumber lain selain sumber kepustakaan, yakni penelitian terhadap bahan media massa ataupun dari internet. Penelitian kepustakaan yang normatif adalah penelitian dengan mengolah dan menggunakan bahan hukum primer dan juga bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan aspek hukum pidana yang berkaitan dengan masalah Euthanasia.

2. Alat Pengumpul Data

Materi dalam skripsi ini diambil dari bahan hukum seperti yang dimaksudkan di bawah ini :


(22)

a. Bahan hukum primer, yaitu :

Berbagai dokumen peraturan nasional yang tertulis, sifatnya mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang, Dalam tulisan ini antara lain adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu:

Bahan-bahan yang berkaitan erat dengan bahan hukum primer, dan dapat digunakan untuk menganalisa dan memahami bahan hukum primer yang ada. Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang Ethanasia, seperti hasil seminar atau makalah para pakar hukum kesehatan, surat kabar, majalah, dan juga sumber-sumber dari dunia maya internet yang tentunya memiliki kaitan erat dengan persoalan yang dibahas.

c. Bahan Hukum Tertier atau penunjang, yang mencakup kamus bahasa, untuk pembenahan tata bahasa Indonesia dan juga sebagai alat bantu pengalih bahasa beberapa literatur asing.15

3. Analisa Data

Bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder, termasuk pula bahan tersier yang telah disusun secara sistematis sebelumnya, kemudian

15


(23)

akan dianalisis secara perspektif atau menggunakan analisis perspektif dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut:16

a. Metode kualitatif, dimana proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang berkebenaran empiris. Dalam hal ini, adapun data-data yang telah diperoleh akan dibaca, ditafsirkan, dibandingkan, dan diteliti sedemikian rupa sebelum dituangkan dalam menarik satu kesimpulan akhir.

b. Metode kuantitatif, yang bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini) yang merupakan kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya tidak perlu diragukan lagi, dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini, dalam garis besarnya akan dibagi ke dalam 5 (lima) bab yang saling berhubungan satu dengan lainnya, mulai dari bab Pendahuluan, bab Tanggung jawab Dokter yang Melakukan Euthanasia Menurut KUH Pidana, bab Perlindungan Dokter Yang Melakukan Euthanasia

16

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Suatu Pengantarr, (Jakarta : Penerbit PT. Raja Grafmdo Persada, 2003), hal 10-11.


(24)

bab Penutup. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. BAB I yaitu Pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah yang menjadi dasar penulisan skripsi. Kemudian berdasarkan kepada latar belakang penulisan tersebut, dibuatlah perumusan masalah dan tujuan penulisan. Selain itu, dalam bab ini juga diterangkan mengenai keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

2. BAB II yaitu Tanggung jawab Dokter yang Melakukan Euthanasia Menurut KUH Pidana, yang membahas mulai dari tanggung jawab dokter dalam profesi sampai dengan tanggung jawab dokter yang melakukan

Euthanasia menurut KUHPidana.

3. BAB III yaitu, Perlindungan Dokter Yang Melakukan Euthanasia, yang membahas mulai dari Perbuatan Euthanasia yang dapat dilindungi dan bagaimana perlindungan hukumnya.

4. BAB IV yaitu PENUTUP, yang berisikan mulai dari Kesimpulan dan Saran


(25)

BAB II

TANGGUNG JAWAB DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA

A. Tanggung Jawab Dokter Menurut Profesi Medis.

Pada dasawarsa ini para dokter dan petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut pandang medis-etis-yuridis. Masalah yang dimaksud, antara lain: transplantasi organ manusia, inseminasi artificial, sterilisasi, bayi tabung, Abortus provocatus, dan euthanasia. Dari keenam masalah tersebut di atas maka euthanasia merupakan dilema yang menempatkan tenaga kesehatan pada situasi yang sangat sulit, karena sampai sekarang masih terus menjadi bahan perdebatan baik para ahli dari komponen agama, medis, dan etis belum memperoleh kesepakatan, akibat situasi ini semakin menempatkan dokter pada posisi yang sulit.

Kelompok yang tidak setuju berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu pembunuhan yang terselubung, sehingga bertentangan dengan kehendak Tuhan. Kelompok ini berpendapat bahwa hidup adalah semata-mata diberikan oleh Tuhan sendiri, sehingga tak seorang manusia atau institusi manapun yang berhak mencabutnya. Dengan demikian manusia sebagai ciptaan Tuhan yang tidak memiliki hak untuk mati. Kelompok yang pro berpendapat bahwa tindakan euthanasia dilakukan dengan


(26)

persetujuan dan tujuan utama untuk menghentikan penderitaan pasien. Salah satu prinsip yang menjadi pedoman kelompok ini adalah pandapat bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Jadi tujuan utamanya adalah meringankan penderitaan pasien dengan resiko hidupnya diperbaiki.

Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan etika. Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.17

17

Wirjono Prodjo Dikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung., 2008, hal. 36

Masalah euthanasia, terlepas dari faktor-faktor yang melatar belakangi dokter untuk melakukannya, bukanlah semata-mata merupakan permasalahan medical ethis saja, tetapi persoalannya adalah juga bio

ethics dan karenanya bersifat interdisipliner. Lebih jauh dari itu, masalah euthanasia tidaklah akan terlepas dari jangkauan hukum yang

mengaturnya, oleh karena euthanasia tersebut menyangkut keselamatan jiwa manusia, gangguan terhadap kelangsungan hidup seseorang.


(27)

Manusia memerlukan jasa seorang dokter untuk menyembuhkan penyakitnya. Seorang dokter dengan segala kemampuan yang ada padanya dan berdasar sumpahnya akan memberikan pertolongan kepada pasiennya. Tujuan utamanya bukan semata-mata mencari uang, tetapi lebih memandang tugasnya sebagai keharusan sosial dan menyelamatkan pasiennya dari penyakit dan tidak menguntungkan diri sendiri.

Menurut Oemar Seno Adji, Pekerjaan dokter adalah:

Sebagai suatu panggilan untuk melayani sesama yang sakit dan yang memerlukan bantuan. Untuk itu tuntutan pada profesi kedokteran harus meningkatkan pengetahuan dan keahlian terus menerus yang merupakan ethos kedokteran modern.18

1. Dokter Umum.

Menjalankan profesinya, dokter dibedakan atas:

Yang dimaksud dengan dokter umum adalah seorang yang telah memenuhi seluruh tuntutan pendidikannya di Fakultas Kedokteran, sehingga la dapat berpraktek sebagai dokter umum. 2. Dokter Spesialis.

Yang dimaksud dokter spesialis adalah seorang dokter yang telah memenuhi seluruh tuntutan pendidikannya di Fakultas Kedokteran dan kemudian melanjutkan pendidikannya untuk mengambil bidang spesialisasi yang dimintanya.

18

Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum Pertanggung Jawaban Pidana Dokter, Profesi Dokter, Erlangga, Jakarta, 1991, hal. 5


(28)

Oleh karena makin luas dan rumitnya ilmu kedokteran, maka seorang dokter tidak mungkin mengetahui semuanya. Karena itu seorang dokter perlu memperlancar hubungan anggota sebagai seorang profesi medis, konsultasi dengan kolega atau dokter spesialis, baik menyangkut penyembuhan penyakit maupun segala sesuatu yang berkaitan dengan profesi medis.

Mengenai tugas dokter, secara umum tercermin dari Kode Etik Kedokteran Indonesia (KEKI), yang tercantum empat kewajiban, yaitu:

1. Kewajiban Umum

2. Kewajiban Dokter terhadap pasien

3. Kewajiban Dokter terhadap teman sejawat 4. Kewajiban Dokter terhadap diri sendiri

Keempat kewajiban ini merupakan pedoman bagi dokter untuk melaksanakan tugas mulia dan luhur profesi medis tersebut. Di dalam kewajiban itu, yang menjadi tugas pokok sehari-hari adalah kewajiban dokter terhadap pasien karena hubungan dengan pengobatan dan penyembuhan penyakit pasien.

Tanggung jawab seorang dokter adalah harus menunaikan kewajibannya dengan sungguh-sungguh dan dengan keinsyafan akan beratnya tanggung jawab yang dipikulnya. Seorang dokter menjalankan profesi medisnya, selain dibebani dengan tanggung jawab etis, moral


(29)

serta tanggung jawab kepada Tuhan (tanggung jawab religius), juga dibebani tanggung jawab hukum.

Kemampuan profesional dokter biasanya diukur dari kemahiran serta wewenang untuk melaksanakan profesinya. Suatu kesalahan mungkin terjadi apabila yang bersangkutan kurang pengalaman, kurang pengetahuan dan pengertian. Dengan demikian seorang dokter melakukan kesalahan apabila la tidak memeriksa, menilai, berbuat atau meninggalkan hal-hal yang harus diperiksa, dinilai, diperbuat atau ditinggalkan oleh para dokter pada umumnya disituasi yang sama.

Jadi, suatu kesalahan profesional belum tentu mengakibatkan terjadinya tanggung jawab hukum. Tetapi tanggung jawab hukum dasarnya adalah tanggung jawab profesional. Tanggungjawab hukum seorang dokter profesinya dapat berupa;

1. Tanggung jawab Pidana 2. Tanggung jawab Perdata 3. Tanggung jawab Administratif

Tanggung jawab pidana terjadi misalnya apabila terdapat kesalahan dokter yang menimbulkan kematian atau luka-luka terhadap pasien. Faktornya adalah faktor kelalaian, dan bukan kesengajaan seperti yang terdapat misalnya pada penganiayaan. Kita tahu bahwa ilmu Hukum


(30)

Pidana, kesalahan (schuld) dapat disebabkan oleh kesengajaan (obzet) atau oleh kelalaian.

Untuk menentukan kematian seseorang diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Kriteria diagnostik pertama yang dibuat oleh para ahli di bidang kedokteran adalah berdasarkan konsep “permanent of heart beating and respiration is death”. Setelah ditemukannya respirator yang dapat mempertahankan fungsi paru-paru dan jantung maka disusunlah kriteria baru berdasarkan pada kansep “brain death is death”. Terakhir, konsep diagnostik tersebut diperbaiki lagi menjadi “brain stem death is death”.19

Seorang filosof Yunani yang meletakkan landasan legisme bagi sumpah dokter dan etika kedokteran, Hippocrates menuntut para muridnya untuk bersumpah tidak melakukan euthanasia dan pengguguran kandungan, kemudian PP Thun 1969 tentang Lafal Sumpah Dokter

Di Indonesia, lkatan Dokter Indonesia (IDI) dengan surat keputusan Nomor 336/PB/A.4/88 merumuskan bahwa seseorang dinyatakan mati apabila fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti (irreversible), atau apabila terbukti telah terjadi kematian batang otak.

19

“Euthanasia, Legal atau Non Legal”, http://www.Artikel.com diakses tanggal 05 Nopember 2009


(31)

Indonesia yang bunyinya sama dengan Deklarasi Jenewa 1948 dan Deklarasi Sydney 1968.20

Pasien yang kemudian menghubungi dokter untuk minta bantuan medis dan dokter kemudian mengobatinya, maka terjadilah kontrak/persetujuan. Dengan demikian tuntutan ganti rugi kepada dokter adalah karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Tanggung Agar timbul tanggung jawab pidana, maka pertama-tama harus dibuktikan adanya kesalahan profesional, misalnya kesalahan diagnosis atau kesalahan cara-cara pengobatan/penyembuhan. Untuk menentukan adanya kesalahan profesional tersebut diperlukan pendapat para ahli yang dapat memberikan data profesional kepada hakim. Jadi menurut ilmu kedokteran, terlebih dahulu harus ada ketetapan mengenai kesalahan tersebut, untuk kemudian ditetapkan hakim apakah kesalahan tersebut mengakibatkan terjadinya tanggung jawab pidana.

Tanggung jawab perdata terjadi apabila misalnya seorang pasien menggugat dokter untuk membayar ganti rugi atas dasar perbuatan yang merugikan pasien tersebut. Pada umumnya seorang dokter yang berpraktek mengadakan suatu penawaran umum (open baar aan bod) mengenai pekerjaan yang dapat di lakukan untuk menyembuhkan orang-orang sakit.

20


(32)

jawab di bidang hukum administrasi terjadi misalnya apabila seseorang dokter melakukan praktek tanpa izin.21

B. Tanggung Jawab Dokter Yang Menurut KUHPidana

Dilihat dari segi perundang-undangan dewasa ini, belum ada pengaturan yang baru dan lengkap tentang euthanasia ini. Tetapi bagaimana pun juga, karena masalah euthanasia menyangkut soal keselamatan jiwa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah Kitab Undang--undang Hukum Pidana Indonesia, khususnya mengenai kejahatan yang menyangkut jiwa manusia. Yang paling mendekati adalah Pasal 344 KUHPidana.22

Dalam pandangan hukum, euthanasia bisa dilakukan jika pengadilan megijinkan. Namun bila euthanasia dilakukan tanpa dasar hukum, maka dokter dan rumah sakit bisa dianggap melanggar pasal 345 KUHP, yaitu menghilangkan nyawa orang lain dengan menggunakan sarana. Dari sudut pandang hukum euthanasia aktif jelas melanggar, UU

21

Untuk lebih jelasnya lihat Peraturan Pemerintah No. 36/1964

22


(33)

RI No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yaitu Pasal 4, Pasal 9 ayat 1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 340, Pasal 344, dan Pasal 359.

Pada uraian sebelumnya telah kita tinjau pengertian euthanasia dari berbagai pendapat, apabila dikaitkan dengan ketiga jenis euthanasia di atas, maka rumusan yang terdapat Pasal 344 KUHPidana adalah sesuai dengan jenis euthanasia yang ketiga, yaitu euthanasia yang bersifat aktif.

Pasal 344 KUHPidana tersebut berbunyi sebagai berikut: Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua betas tahun.

Mengenai perampasan nyawa/jiwa orang lain di atur juga Pasal 340 KUHPidana sebagai berikut: Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

Ketiga pasal tersebut di atas mengandung makna larangan untuk membunuh. Namun Pasal 338 KUHPidana yang mengandung

pembunuhan biasa (doodslag,) merupakan aturan umum tentang


(34)

pembunuhan berencana. Demikian juga Pasal 338 KUHPidana tersebut di muat unsur "atas permintaan orang itu sendiri menyatakan dengan kesungguhan hati".

Apabila seorang dokter melakukan euthanasia yang tentu saja di Indonesia mengandalkan Pasal 344 KUHPidana maka dokter tersebut haruslah memenuhi seluruh unsur-unsur yang terdapat Pasal 344 KUHPidana tersebut. Jaksa harus membuktikan adanya unsur "permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati".

Bahwa perumusan ini menimbulkan suatu kesulitan sudahlah pasti, oleh karena dapat dibayangkan bahwa orang yang menyatakan dengan kesungguhan hati tu sudah pulang kealam baka. Oleh sebab itu, pernyataan "dengan kesungguhan hati" itu tidak boleh diucapkan secara lisan, sebaiknya bentuk tertulis dan ditanda tangani oleh saksi-saksi, sehingga pada proses pembuktiannya di Pengadilan nanti, surat pernyataan ini dapat di pakal sebagai alat bukti seperti yang di atur Pasal 184 KUHAP yang mengakui upaya bukti berupa: saksi-saksi ahli, surat-surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Adanya unsur "atas permintaan orang itu sendiri", juga menimbulkan masalah, manakala yang bersangkutan tidak mampu lagi berkomunikasi dalam bentuk dan kesungguhan hati. Karena kita tahu mati


(35)

tidak, hidup pun tidak (in a persistent vegetative state) atau in competent (tidak mampu berkomunikasi menyatakan kehendaknya).

Seperti contoh yang sangat populer adalah yang terjadi di Amerika Serikat, yaitu kasus: Karen aan quinlan, pada tahun 1976 di New Jcrsey si gadis manis Karen berusia 21 tahun, yang dipungut oleh keluarga quinlan, berada dalam keadaan in a persistent vegetative state, Karen hanya dapat bertahan dengan bantuan sebuah respirator.23

Dunia hukum tidak dapat dan tidak boleh mempunyai pretensi untuk menentukan fomulasi pengertian mati. Bahkan kedokteran sendiri masih berada di persimpangan jalan tentang pengertian mati, terutama sejak tahun 1967, ketika diadakan operasi transplantasi jantung yang pertama kali. Jadi masih belum ada kata sepakat untuk menentukan pengertian mati atas dasar konsep brain death ataupun heart death. Pada kasus ini pemeriksaan menunjukkan bahwa Karen tidak dalam keadaan Keadaannya bagaikan kerangka mayat saja, tidak dapat bicara lagi. Janganlah makan, bernafas pun sudah payah, pendeknya segala untuk hidup dan yang menghidupinya, tergantung dari mesin-mesin modem yang serba ruet. Karen terbujur melengkung, tanpa bisa bergerak sendiri, bagaikan sebuah mayat hidup tanpa perasaan. Apakah Karen dengan demikian dapat dikatakan sudah mati?

23


(36)

brain death. Para ahli kedokteran mengatakan bahwa apabila respirator

tersebut dilepaskan, akan berakibat lebih lanjut terhadap otaknya dan Karen akan segera mati. Tetapi hal ini para dokter menolak untuk menghentikan penggunaan respirator tersebut.

Quinlan (ayah angkatnya) kemudian menuntut agar Karen dinyatakan sebagai in cokpetent dan Quinlah yang ditunjuk sebagai guardian tersebut, tetapi New Jersey Supreme Court menyatakan putusan banding, bahwa seseorang mempunyai hak yang disebut right to privacy dan khusus di dalam kasus Karen ini, bila mana Karen dapat melakukannya, dia pasti menolak penggunaan respirator karena penderitaan yang dialaminya sangat berat.

Karen membutuhkan 24 Jam terus menerus perawatan intensif, anti piotiks, bantuan respirator, catheter dan feeding tube. Jadi jelas ini kepentingan Karena melebihi kepentingan para dokter yang merawatnya dan negara. Pada akhirnya supreme court memerintahkan agar the life

support apparatus dicabut tanpa adanya pertanggung jawaban sipil

maupun kriminal.

Kasus tersebut di atas memang terjadi di Amerika Serikat, di mana


(37)

memerintahkan agar respirator yang digunakan Karen selama ini di cabut tanpa menuntut pertanggung jawaban.

Apabila kasus tersebut di atas terjadi di Indonesia, maka sudah jelas dokter yang mencabut respirator tersebut, yang mengakibatkan kematian bagi pasien, walaupun dengan persetujuan sendiri, dapat dimintakan pertanggung jawabannya menurut Pasal 344 KUHPidana. Dan apa yang dikemukakan/diuraikan di atas, dapatlah diambil kesimpulannya, bahwa euthanasia di Indonesia ini tetap dilarang.

Larangan ini terdapat Pasal 344 KUHPidana, yang sampai sekarang masih berlaku. Akan tetapi perumusan Pasal 344 KUHPidana tersebut dapat menimbulkan kesulitan Jaksa untuk menerapkannya atau mengadakan penuntutan.

Oleh karena itulah, maka sebaiknya bunyi Pasal 344 KUHPidana tersebut dapatlah kiranya dirumuskan kembali, berdasarkan atas kenyataan-kenyataan yang sekarang, yang telah disesuaikan dengan perkembangan di bidang medis. Rumusan baru ini diharapkan dapat memudahkan untuk mengadakan penuntutan kasus ini.


(38)

BAB III

PERLINDUNGAN TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA

A. Perbuatan euthanasia yang dapat dilindungi

Sebagaimana dikemukakan pada uraian terdahulu bahwa perlindungan hukum adalah perlindungan yang berasal dari dan berdasarkan hukum. Cukup beralasan bahwa di negara Indonesia ini setiap warga negara dijamin kehidupannya dan dilindungi oleh hukum, mengingat Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rech staat), sebagaimana dikemukakan penjelasan tentang Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia. Demikian juga Pasal 27 UUD 1945 dinyatakan bahwa: segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan".

Setiap warga negara dilindungi oleh hukum dan wajib menjunjung/tunduk pada hukum. Hal ini juga membawa konsekwensi bahwa pelanggaran terhadap hukum itu akan dikenai sanksi.

Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis & mudah dimengerti adalah:

1. Euthanasia aktif, tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup


(39)

pasien. Merupakan tindakan yang dilarang, kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat peraturan perundangan.

2. Euthanasia pasif, dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau menunda operasi.

3. Auto euthanasia, seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan. Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi euthanasia, diajukan berbagai pendapat sebagai berikut:

a. Voluntary euthanasia: Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh keadaan fisik & jiwa yang tidak menunjang.

b. Involuntary euthanasia: Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan karena, misalnya seseorang yang menderita


(40)

sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.

c. Assisted suicide: Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan & alasan tertentu untuk menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.24

Tindakan langsung menginduksi kematian. Alasan adalah meringankan penderitaan tanpa izin individu yang bersangkutan & pihak yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya pembunuhan, tapi dalam pengertian agak berbeda karena dilakukan atas dasar belas kasihan.

Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral, & kesopanan menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata & sungguh-sungguh adalah perbuatan yang tidak baik. Di Amerika Serikat, euthanasia lebih populer dengan istilah “physician assisted suicide”. Negara yang telah memberlakukan euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda & di negara bagian Oregon-Amerika Serikat. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:

24

“Hukum Pelaksanaan Euthanasia di Indonesia, http://www.google.com, diakses tanggal 05 Nopember 209


(41)

a. Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit & tidak dapat diobati, misalnya kanker.

b. Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil & tinggal menunggu kematian.

c. Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin. d. Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien,

hanyalah dokter keluarga yang merawat pasien & ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan euthanasia.25

Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru euthanasia dapat dilaksanakan. Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya ‘Ketuhanan Yang Mahaesa’, tidak mungkin menerima tindakan “euthanasia aktif”.

Mengenai “euthanasia pasif”, merupakan suatu “daerah kelabu” karena memiliki nilai bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau berjalan secara alamiah.

25


(42)

Kini kita memasuki inti permasalahan yaitu bahwa euthanasia adalah jelas merupakan delik terutama apabila kita lihat dari sudut perundang-undangan kita yang berlaku sekarang ini, di mana Pasal 344 KUHPidana dapat kita anggap sebagai pasal yang mengatur tentang delik

euthanasia, tetapi juga harus dicarikan upaya-upaya perlindungan hukum

terhadap orang yang melakukannya.

Jadi di negara hukum seperti di Indonesia, hukum itu berusaha melindungi dan mengayomi masyarakat, bahkan sekalipun seseorang itu telah melakukan pelanggaran atau kejahatan. "Azas praduga tak bersalah" sebagaimana yang di atur penjelasan umum kitab undang-undang hukum acara pidana dan yang tersirat dari Pasal 66-nya yang isinya "tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian."

Selain apa yang telah diuraikan di atas, maka sehubungan dengan inti permasalahan yang telah di kemukakan tadi, pertanyaan selanjutnya adalah: mengapa orang yang melakukan euthanasia itu perlu dilindungi. Jawaban atas pertanyaan ini adalah berkaitan erat dengan sifat dan hakekat dari pada euthanasia itu sendiri, di mana sebenarnya euthanasia tersebut tidaklah secara mutlak universal sebagai suatu delik.

Artinya bahwa tidak semua negara bersikap keras terhadap


(43)

harus di hukum misalnya KUHPidana Indonesia, tetapi ada juga yang menerimanya yang bukan sebagai delik, Misalnya: Uruguay yang merupakan satu-satunya negara yang sampai sekarang memberi kebebasan melakukan tindakan euthanasia itu sendiri.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana di Uruguay telah cukup melangkah jauh di dalam masalah euthanasia, undang-undang tersebut menyatakan: hakim dapat menganggap seseorang itu tidak bersalah bila la melakukan perbuatan membunuh yang bermotivasi perasaan kasihan, sebagaimana kelanjutan dari permintaan si korban kepadanya yang berulang-ulang.

Dibeberapa negara maju, seperti Amerika Serikat misalnya,

euthanasia tersebut dapat terjadi atas permintaan pasien yang menderita

penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi, di mana permintaan tersebut didasarkan atas hak untuk mati yang menurut anggapan umum yang berkembang di sana adalah merupakan bagian dari hak azasi juga, seiring dengan hak untuk hidup dokter yang mengabaikan permintaan tersebut mempunyai kekebalan terhadap kriminal liability (tanggung jawab pidana) maupun terhadap civil liability (tanggung jawab perdata).

Jika ditinjau dari KUHPidana yang berlaku sekarang ini, maka setiap delik adalah terbatas dengan aturan-aturannya dan saksi-saksinya,


(44)

dan kelonggaran-kelonggaran hanya mungkin didapatkan dengan alasan pengecualian dari hukuman (strafutsluiting gronden).

Alasan-alasan pengecualian dari hukuman ini ada yang diatur perundang-undangan (Pasal 44-51 KUHPidana) dan ada yang diatur di luar perundang-undangan di luar KUHPidana.

Alasan pengecualian dari hukuman yang terdapat di luar perundang-undangan misalnya adalah abortus provocatus. Menurut perundang-undangan, abortus provocatus tersebut adalah illegal sifatnya atau dilarang tanpa mengenal kekecualian.26

Namun oleh yurisprudensi dan ilmu pengetahuan dan ilmu hukum diakui dan dibenarkan adanya abortus provocatus theurapeuticus, yaitu

abor us yang dilakukan semata-mata atas pertimbangan medis untuk

menyelamatkan nyawa si ibu. Theurapeuticus ini merupakan alasan pengecualian dari hukuman.

Paralel dengan soal ubortus provocatus maka jalannya yurispdensi kehidupan hukum, melalui yurisprudensi terhadap persoalan euthanasia, yang keadaan dan persyaratan tertentu masih di buka kemungkinan untuk melakukan euthanasia, yang tampaknya mutlak sifatnya itu.

26


(45)

Bambang Poernomo dan Aruan Sakidjo mengatakan:

Di mana Indonesia sendiri belum tampak perkara euthanasia yang diajukan maka perkembangan yurisprudensi dari perundang-undangan mengenai euthanasia di negara-negara lain yang seminar itu dapat dikemukakan untuk mengadakan suatu komparas.27

Beliau mengemukakan contoh kasus yang terjadi di Leewarden, yang di kenal dengan putusan 1973, yaitu: Putusan Pengadilan

Leewarden sering dinamakan dokter Nj. G. E. Postma Van Boven (tanggal

21 Februari 1973. Nj. 1973, No. 183 ataupun proses euthanasia

Leewarden), di mana dokter tersebut, yang memberikan kepada ibunya

yang sakit dan sangat menderita atas perminta ibunya sendiri suatu dosis morfine yang mematikan.28

1. la mengenal seorang pasien, yang karena sakit ataupun suatu kecelakaan yang tidak dapat disembuhkan lagi atau yang di pandang secara medis tidak dapat disembuhkan lagi.

In Causa dokter wanita tersebut dihukum dengan bersyarat satu

minggu walaupun berdasarkan keterangan sanksi ahli (dokter) dikemukakan 5 syarat dapat meniadakan Hukuman tersebut bagi dokter yang melakukan euthanasia. Lima persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:

2. Penderitaan fisik ataupun rohani secara subyektif adalah serius ataupun tak bertahan.

3. Pasien yang bersangkutan, secara tertulis sebelumnya ingin mengatakan untuk mengakhiri hidupnya atau setidak-tidaknya

27

Aruan Sakidjo dan Bambang Peornomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum

Pidana Kodifikasi, Jakarta, 1988, hal. 75

28


(46)

dilepaskan dari penderitaan.

4. Saat ataupun periode sekarang maut ataupun pasien meninggal menurut pertimbangan medis sudah dimasuki.

5. Perbuatan seorang medicus ialah seorang dokter yang menangani mengobati atau seorang dokter spesialis ataupun dengan mengadakan konsultasi dengan dokter tersebut”.29

Kelima persyaratan tersebut, yang diajukan perkara di Leewarden oleh seorang saksi ahli medicus dijadikan dasar untuk dapat membenarkan atau memperbolehkan euthanasia yang pada umumnya dilarang oleh perundang-undangan. Sama halnya dengan abortus

provocatus theurapeuticus, maka kelima persyaratan tersebut apabila

dipenuhi digariskan oleh yurisprudensi dan ilmu kedokteran, merupakan dasar untuk meniadakan pidana (alasan mengecualikan dari hukuman) terhadap medicus (dokter) yang melakukan euthanasia.

Euthanasia baru disinggung oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia

(KEKI) dalam penjelasan resmi, yang seolah-olah merupakan larangan mutlak yang tak mengenal pengecualian.

Bambang Poernomo dan Aruan Sakidjo, selanjutnya mengatakan: “Ketentuan secara yurisprudensi bahwa masih terbuka kemungkinan bagi suatu kekecualian dengan lima persyaratan di atas, di Indonesia baru merupakan persoalan akademis belaka, sehingga sampai sekarang belum ada terdapat perkara euthanasia. Apabila timbul persoalan ini dimuka

29


(47)

pengadilan, maka kelima persyaratan yang dipergunakan sebagai dasar untuk meniadakan pidana yang tidak tertulis sifatnya, patut mendapat perhatian dari pengadilan sebagai suatu perkembangan baru mengenai hukum melalui yurisprudensi”.30

Hal semacam ini bukan tidak mungkin terjadi, bahkan kemungkinan itu terjadi sangatlah besar terutama apabila pasien atau keluarganya telah yakin akan pendapat dokter dan juga telah melihat sendiri bahwa

Pada uraian sebelumnya telah kita tinjau mengenai jenis jenis

euthanasia dan berbagai pendapat mengenai euthanasia tersebut, dan

dari jenis jenis euthanasia ini dapat kita lihat jauh bahwa kemungkinan terjadinya euthanasia tersebut lebih terbuka dari pada apa yang luput dari perhatian kita selama ini.

Seorang pasien misalnya, yang telah berada dalam keadaan penyakitnya, dan menurut pertimbangan dokter tidak mungkin disembuhkan lagi, atas permintaan pasien sendiri mau oleh keluarganya, ataupun atas anjuran dokter agar pasien tersebut dirawat di rumah sakit telah dihentikan, maka akhirnya si pasien mininggal dunia, tindakan dokter tersebut telah merupakan euthanasia (pasif) oleh karena pengobatan dirasakan tidak berpotensi lagi, sehingga dokter menghentikannya dan pasien atau keluarganya menyetujuinya.

30


(48)

kemungkinan untuk sembuh sangat tipis, sehingga usaha-usaha yang akan di tempuh akan menjurus kearah sia-sia belaka.

Pasien berkeyakinan bahwa hal semacam itu telah pernah terjadi, hanya saja penerapan hukum terhadap peristiwa semacam itu sulit di lakukan. Sulitnya melakukan penuntutan terhadap perbuatan dokter tersebut di atas di tinjau dari KUHPidana, yaitu harus adanya unsur pemerintah yang dinyatakan dengan kesungguhan hati oleh si pasien itu sendiri. Bagaimana kalau penghentian pengobatan/perawatan tersebut terjadi atas anjuran atau usul dari dokter dan kemudian disetujui oleh pasien atau keluarganya. Tentu saja hal ini bukan lagi termasuk ketentuan yang di atur Pasal 344 KUHPidana.

Kemudian delik euthanasia sebagai delik biasa (bukan delik aduan) adalah sulit dibuktikan serta sulit dilakukan penuntutan, terutama apabila pihak pasien/dokter menghentikan perawatan/pengobatan yang dapat mengakibatkan kematian segera bagi si pasien. Pihak korban maupun keluarganya dan dokter tersebut tidak mungkin mengungkit atau mempermasalahkan tindakan yang telah di tempuh oleh dokter tersebut, oleh karena tindakan tersebut telah mereka kehendaki antara kedua belah pihak. Lalu sejauh manakah tindakan euthanasia itu perlu mendapat perlindungan hukum?


(49)

Untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah gampang oleh karena

euthanasia tersebut menyangkut perampasan nyawa orang lain, dan oleh

karenanya usaha-usaha perlindungan hukum terhadap perbuatan

euthanasia tersebut akan berbenturan dengan prinsip-prinsip dasar,

hukum dasar dan hak-hak azasi, terutama dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, serta dengan perUndang-undang-Undang-undangan positif yang berlaku sekarang ini di Indonesia.

Perampasan nyawa orang lain adalah dengan perampasan hak untuk hidup dari orang lain, sedangkan hak untuk hidup tersebut adalah hak yang paling azasi dari pada hak untuk hidup tersebut adalah hak yang paling azasi dari pada suatu makhluk hidup (terutama manusia sebagai makhluk yang tinggi tingkatannya). Dan nyawa manusia adalah sama nilai dan tingkat keluhurannya antara yang satu dengan yang lain, serta dihargai dan selalu dipertahankan akan kelangsungannya.

Namun akan halnya dengan euthanasia, perampasan nyawa tersebut hal ini punya latar belakang yang berbeda dengan perampasan nyawa yang kita kenal secara umum. euthanasia, pemikiran untuk mengakhiri hidup (merampas nyawa) orang lain dapat timbul dengan sebagai berikut:

a. Penderitaan yang tak tertahankan lagi


(50)

c. Cacat yang tak dapat diperbaiki lagi yang membawa si penderita kepada invalid berat.

d. Cacat yang dibawa lahir yang tak rnungkin dinormalkan, dan lain-lain.31

Dari berbagai pendapat tersebut dapatlah kita ketahui bahwa prinsip-prinsip euthanasia tersebut telah dapat diterima dari berbagai kasus yang terjadi di luar negeri, walaupun demikian masih berlangsung pro dan kontra antara para sarjana mengenai diterimanya prinsip-prinsip

euthanasia tersebut yaitu sebagai berikut :

1. Yang tidak menyetujui tindakan euthanasia

Golongan ini berpendapat behwa euthanasia adalah suatu pembunuhan yang terselubung, karenanya tindakan ini secara langsung bertentangan dengan kehendak Tuhan.

2. Yang menyetujui euthanasia.

Golongan ini menyatakan euthanasia baik yang positif maupun yang negatif boleh dilakukan dengan pertimbangan tersebut disetujui oleh pasien, keluarga dan dokternya.32

Masyarakat juga berbeda-beda anggapannya mengenai euthanasia tersebut. Sebagian besar mereka menganggap bahwa euthanasia menghilangkan kesamaan hak manusia. Semua manusia sama-sama

31

Ibid., hal. 10

32


(51)

berhak menikmati hidupnya. Euthanasia dapat diartikan manusia telah menghilangkan hak manusia lain, yaitu hak untuk hidup.

Bagi kelompok yang menyetujui adanya euthanasia itu disertai dengan argumentasi bahwa perbuatan demikian terpaksa di lakukan atas dasar prikemanusiaan. Mereka tidak tega melihat penderitaan yang dialami oleh pasiennya, dan telah berulang kali minta kepada mereka (dokternya) agar penderitaannya itu diakhiri saja. Dr. R. Soerarjo, Direktur Rumah Sakit Dr. Kariadi, di Semarang memberikan contoh sebagai berikut:

1. Seorang wanita yang telah hamil tua, kemudian mengalami suatu kecelakaan yang sangat parah, sehingga lehernya putus. Dengan demikian wanita tersebut mati masalahnya sekarang bagaimana dengan bayi yang masih berada di kandungan perut sang ibu itu, yang menurut pemeriksaan dokter diperkirakan masih hidup. Bagaimana sikap dokter menghadapi sikap yang demikian? sedangkan dokter dituntut untuk bertindak. Apakah harus membuka perut si wanita tadi, dan mengambil bayinya, ataukah membiarkannya begitu saja, jadi merupakan suatu yang sangat dilematis. Di antara para dokter, yang menyatakan:

a. Harus dibuka demi keselamatan dan kelangsungan hidup si bayi itu.

b. Biarkan saja, biar Tuhan sendiri yang melahirkannya.

2. Seorang yang menderita penyakit kanker yang ganas, pada stadium permulaan memang tidak terasa sakit, namun pada stadium terakhir sakitnya bukan main dan hampir mendekati dosis kematian. Hal demikian, ada sebagian dokter yang beranggapan sebaiknya diberikan obat penghilang kesadaran dosis tinggi, sehingga orang tersebut akhirnya mati, juga untuk menghindari agar jangan supaya terjadi penular penyakit ini. Dipihak lain menghendaki agar jangan diberi obat itu, dan jika terpaksa diberinya, maka setidak-tidaknya hanya untuk mengurangi rasa sakitnya saja, dan dokter tetap melindungi kehidupan pasien ini.33

33


(52)

Apabila kita tinjau dari segi Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang ini, maka perbuatan euthanasia tersebut jelas di larang dan diancam dengan hukuman penjara paling lama 12 tahun (Pasal 344 KUHPidana). Namun apa yang diatur Pasal 344 KUHPidana tersebut hanyalah mengenai euthanasia tersebut. Lalu bagaimana halnya dengan euthanasia pusif? Apakah secara diam-diam euthanasia pusif diterima, dalam arti tidak dilarang oleh Undang-undang. Oleh karena itulah, apabila timbul kasus yang menganggap euthanasia pasif'selama masih berlakunya Pasal 344 KUHPidana yang mengatur tentang

euthanasia, maka apabila kasus tersebut sampai ke Pengadilan, si pelaku euthanasia tersebut harus dilindungi, , manakala terdapat alasan dari

pihak korban/pasien untuk mengajukan si pelaku euthanasia tersebut (hal ini dokter) ke sidang Pengadilan.

Namun, mengenai euthanasia pasif tersebut harus ditinjau juga mengenai latar belakangnya, alasan-alasannya serta indikasi-indikasi yang ada pada diri si pasien serta standart profesi medis, yang membawa pemikiran dokter maupun pasien atau keluarganya hingga sampai kepada keputusan diambilnya tindakan euthanasia pasif tersebut.

Tindakan sepihak dari dokter saja tidak cukup dan malah wajar bila dilarang, terjadinya euthanasia pasif tersebut, oleh karena menghentikan


(53)

pengobatan oleh dokter tanpa persetujuan pasien berarti dokter telah melanggar kewajibannya sebagai dokter dan juga telah melanggar sumpahnya, dan dari segi perdata dokter tersebut telah melakukan wanprestasi terhadap pasien/keluarganya.

Sedangkan mengenai euthanasia aktif, sampai sekarang masih dianggap sebagai suatu pembunuhan, sebagai suatu delik yang harus dihukum. Namun perkembangan hukum sekarang ini ditambah dengan perkembangan dibidang ilmu pengetahuan kedokteran yang sangat pesat maka penerimaan terhadap prinsip-prinsip euthanasia tersebut disebut juga mengalami perubahan dan perkembangan yang cukup hangat dibicarakan, terutama oleh karena perkembangan yang terjadi dibeberapa negara maju yang sedikit banyak pasti membawa pengaruh terhadap perkembangan-perkembangan hukum di negara-negara lainnya.

Negara Belanda sebagaimana telah disebutkan pada uraian sebelumnya bahwa euthanasia tersebut khusus dilakukan untuk kepentingan pasien itu sendiri atas atau tidak atas permintaannya. Sekitar 35 persen dari masyarakat di negeri Belanda berpendapat bahwa

Yussieve Euthanasia dapat diterima.

Pada pasien yang sakitnya tidak dapat disembuhkan pase mendekati mati, euthanasia pasif di terima jika permintaan pasien


(54)

malahan diharuskan, yaitu jika pasien mengalami penderitaan yang tidak tertahankan lagi di mana pengobatan untuk penyembuhan sudah tidak memadai lagi. Sedangkan euthanasia aktif adalah suatu bentuk perbuatan yang melanggar hukum. Di dalam KEKI dan KUHPidana kita euthanasia

pasif tidak dikenal. Malahan euthanasia belum pernah terjadi di Indonesia,

karena jelas para dokter di Indonesia yang terhimpun IDI sesuai dengan KEKI manganut faham bahwa hidup dan mati tidak merupakan hak manusia melainkan hak dari Tuhan yang maha Esa.

B. Perlindungan Hukum

Walaupun euthanasia ini merupakan perbuatan yang terlarang diancam pidana seperti diatur Pasal 344 KUHPidana, namun pencantuman larangan ini didasarkan kurang efisien, karena sampai sejauh ini belum ada kasus ke Pengadilan.

Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: oleh sebab itu, untuk perkembangan selanjutnya, penulis ingin mengetengahkan dua kemungkinan terhadap masalah euthanasia dengan mengadakan peninjauan kembali terhadap perumusan Pasal 344 KHUPidana ataukah menyertakan bahwa perbutan


(55)

mencantumkan syarat-syarat tertentu sehingga terjadilah apa yang disebut sebagai Decreminalisasi. Apabila yang ditempuh adalah tetap mempertahankan autensif segala bentuknya sebagai perbuatan yang terlarang, maka perumusan Pasal 344 KUHPidana perlu ditinjau kembali hal ini dimaksudkan untuk memberi kelonggaran kepada penuntut agar lebih memudahkan mengadakan pembuktian terhadap kasus yang terjadi.34

Akan tetapi dengan kemajuan dan perkembangan yang selalu meningkat ini tidak mustahil euthanasia di lakukan secara diam-diam karena jelas bahwa para dokter di Indonesia yang terhimpun IDl sesuai dengan kode etik kedokteran Indonesia (KEKI) menganut faham bahwa hidup dan mati tidak merupakan hak dari pada manusia, melainkan hak dari Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu para dokter Indonesia tidak menganut prinsip euthanasia sebab di samping masalah mati itu

Selama ini mungkin saja euthanasia ini, terjadi di Indonesia apakah dengan terjadinya euthanasia itu kemudian penuntut umum dapat rnembuktikannya? sulit rasanya untuk dipecahkan sepanjang apa yang pernah oleh penulis kepada dokter, memenang euthanasia di Indonesia ini belum pernah terjadi.

34


(56)

merupakan hak dari pada Tuhan Yang Maha Esa juga melanggar sumpah Hipocrates yang pernah diucapkan para dokter.

Kemungkinan kedua adalah menyatakan bahwa euthanasia adalah merupakan perbuatan yang tidak terlarang dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini misalnya:

1. Bagi pasien yang sudah tidak dapat diharapkan lagi akan kehidupannya menurut ukuran medis yang dinyatakan oleh dokter yang merawatnya.

2. Usaha penyembuhan yang di lakukan selama ini sudah tidak berpotensi lagi.

3. Pasien kedaan ini In a Persistent VegelativeStale.

Bagi pasien yang keadaan seperti ini sebaiknya euthanasia dapat di lakukan. Di samping syarat-syarat yang limitatif tersebut, dapat ditambahkan lagi misalnya dengan disertai permohonan tertulis dari pasien atau keluarganya, dengan membubuhkan tanda tangannya, dan pada surat permohonan tersebut ditanda tangani pula oleh saksi-saksi.

Euthanasia dapat dijalankan, dengan menyatakan pelakunya mempunyai

kekebalan terhadap civil liability maupun criminal liability. Jadi euthanasia syarat-syarat tertentu tadi, dan tetap dilarang bila dilakukan terhadap orang yang masih sehat, dan tidak mernenuhi syarat-syarat beratnya. Ini dimaksudkan dengan dibolehkannya euthanasia, agar tidak dimaksudkan


(57)

dengan dibolehkannya euthanasia agar tidak disalah gunakan pengetahuannya. Apabila dokter merasa takut akan melanggar sumpah Hipocrated yang telah pernah diucapkannya, maka masih ada jalan yang dapat ditempuh yaitu dengan memberikan tugas kepada mantri atau perawat yang lain yang tidak pernah mengucapkan surnpah dokter.35

1. Mengadakan peninjauan kembali terhadap perumusan Pasal 344 KUHPidana.

Apabila kita simpulkan apa yang dikemukakan tersebut di atas, maka mengenai euthanasia tersebut dapat diusulkan beberapa kemungkinan, yaitu:

2. Menyatakan bahwa perbuatan euthanasia itu sebagal suatu perbuatan yang tidak dilarang, dengan mancanturnkan syarat-syarat tertentu sehingga terjadilah decriminalisasi.

Terhadap dua kemungkinan tersebut di atas, masih dapat diusulkan kemungkinan lain sebagai kemungkinan ketiga yaitu apa yang disebut sebagai depenalisasi. Peninjauan kembali terhadap perumusan Pasal 344 KUHPidana tersebut, agar supaya Pasal 344 tersebut dapat diterapkan dalam pratek, maka sebaiknya dalam rangka ius contituandum hukum pidana, rumusan Pasal 344 KUHPidana yang ada sekarang ini perlu untuk

35


(58)

dirumuskan kembali sehingga Pasal 344 KUHPidana ini terasa lebih hidup dan dapat memudahkan bagi penuntut umum dalam pembuktiannya.

Apabila rumusan yang sekarang ini dilarang secara mutlak dilakukannya euthanasia yang aktif maka perumusan yang akan datang larangan secara mutlak ini masih dapat diterobos, sebagai suatu misal: pasal tersebut dapat dirumuskan dalam Pasal 344 KUHP, menyebutkan: 1. Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri

atau keluarganya, di ancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

2. Apabila perbuatan sebagaimana tersebut ayat pertama dilakukan terhadap seorang penderita yang tidak menentu nasibnya, dan sudah tidak dapat diharapkan lagi penyernbuhannya yang dinyatakan oleh lebih dari seorang dokter, perbuatan ini tidak dipidana.

3. Ketentuan dalam ayat kedua harus di sertai pula permohonan secara tertulis dari penderita dan atau keluarganya, dengan di tanda tangani oleh saksi-saksi.

Dengan perurnusan yang baru itu akan terjadi dua kemungkinan yaitu dilarangnya euthanasia Pasal 344 KUHPidana tersebut dapat dengan mudah untuk diterapkan seperti perumusan yang sekarang bersifat pasif


(59)

Kemungkinan kedua sebagaimana telah disebutkan di atas adalah

decriminalisasi perbuatan euthanasia berasal dari criminalisasi, dengan

awalan de yang menyatakan tidak dan bukan.

Dengan criminalisasi dimaksudkan proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses diakhiri terbentuknya Undang-undang di mana perbuatan itu diancarn dengan suatu sanksi yang berupa pidana. Terbentuklah suatu peraturan hukum pidana yang siap untuk diterapkan.

Sedangkan decriminalisasi berarti sudah proses di mana dihilangkan sama sekali sifat dapat dipidananya suatu perbuatan. Dengan kata lain Decriminalisasi dimaksudkan untuk menghapus suatu ketentuan pidana perundang-undangan yang merupakan larangan Hukum Pidana itu.

Decriminalisasi euthanasia berarti menghilangkan sama sekali sifat

dapat dipidananya perbuatan euthanasia, atau dihapusnya perbuatan

euthanasia dari Undang-undang. Apa yang ingin peneliti kemukakan di

sini bukanlah decriminalisasi euthanasia secara mutlak, arti bahwa seluruh permasalahan euthanasia d1hapuskan dari undang-undang, tetapi yang peneliti maksudkan adalah decriminulisusi euthanasia dengan


(60)

syarat-syarat tertentu. Jadi, euthanasia tidak dilarang dengan syarat-syarat-syarat-syarat tertentu, misalnya:

1. Pasien tidak dapat diharapkan lagi akan kehidupannya, yang dinyatakan oleh dokter yang merawatnya dan pendapat para dokter lainnya.

2. Usaha penyembuhan sudah tidak dapat berpotensi lagi.

3. Pasien keadaan In a Persistent Vegetative Stale (mati tidak, hidup pun tidak), dan lain-lain.

Selebihnya apabila syarat-syarat tersebut tidak ada, maka perbuatan euthanasia tersebut dinyatakan dilarang dan diancam dengan hukuman. Kemungkinan ke tiga terhadap delik euthanasia yang ada perundang-undangan sekarang ini adalah Depenalisasi euthanasia tersebut.

Depenalisusi adalah suatu proses, di mana perbuatan yang semula

diancam hukum pidana, ancaman pidana dihilangkan akan tetapi masih dimungkinkan adanya penuntutan dengan cara lain dengan melalui hukum perdata ataupun hukum administrasi.36

Sedangkan Depenalisasi mengalihkan, mengadakan konversi pelanggaran Hukum Pidana pada ketentuan-ketentuan pada badan-badan

36


(61)

administratif lainnya dengan sanksi pidana menjadi sanksi yang sifatnya adalah non pidana dan terletak di luar sistem peradilan pidana.

Apabila decriminalisasi dihapuskan perbuatan euthanasia tersebut dari perundang-undangan, atau dihilangkan sama sekali sifat dipidananya perbuatan euthanasia tersebut dalam Depenalisasi, perbuatan euthanasia tersebut tetap di atur perundang-undangan, namun ancaman pidananya dihilangkan, dan kemungkinan menuntutnya dapat di lakukan dengan cara lain, misalnya dengan melalui Hukum Perdata dan Hukum Administrasi.

Sebagai contoh dari Depenalisasi euthanasia tersebut misalnya: apabila seorang melakukan euthanasia menurut Pasal 344 KUHPidana, maka dokter tersebut bukan dari segi pidananya: jadi ancaman pidananya berupa penjara (paling lama dua belas tahun), tidak akan dijalankan maka dokter tersebut dituntut dari segi hukum lain, misalnya dengan memberi ganti rugi kepada pihak korban maupun keluarga yang ditinggalkan korban (perdata), ataupun dari segi hukum administrasi, misalnya dengan melakukan/menjalankan skorsing atau pemecatan (ontslay) terhadap dokter yang melakukan euthanasia tersebut.


(62)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah: 1. Dokter melakukan euthanasia setelah adanya permintaan yang

sungguh-sungguh dari pasien atau keluarganya. Memang bisa terjadi seseorang meminta kepada dokter agar dicabut nyawanya, misalnya karena faktor frustasi atau kegagalan hidup yang dialaminya, ataupun karena kesulitan ekonomi yang dihadapinya. Namun, apabila dokter mengabulkan permintaan tersebut la telah melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia dan juga lafal Sumpah Dokter dan perbuatan tersebut dapat di golongkan kepadanya pembunuhan.

2. Bahwa perlindungan hukum diperlukan dokter melakukan

euthanasia oleh karena:

a. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas Hukum

(rechtstaat) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat).

b. Sifat dan hakekat dari pada euthanasia tidaklah secara mutlak universal merupakan delik yang harus dihukum.


(63)

3. Bahwa pengaturan Pasal 344 KUHPidana mengenai euthanasia mempunyai kelemahan antara lain:

a. Adanya unsur: atas permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, yang mempersulit pembuktian dan penuntutan.

b. Pasal 344 KUHPidana adalah mengenai euthanasiu aktif, sedangkan mengenai euthanasia pasif tidak ada di atur Undang-undang.

c. Delik euthanasia adalah delik biasa, dan bukan delik aduan, sehingga dituntut keuletan dan ketajaman aparat penyelidik dan penyidik untuk mengungkapkan apakah sesuatu perbuatan

euthanasia telah dilakukan.

B. Saran

1. Dalam menjalankan profesinya, para dokter kini tidak terlepas dari jangkauan hukum yang semakin mempunyai daya laku efektif. Dahulu boleh masih terisolir pada apa yang mereka lakukan tugas dan profesinya, dan masyarakat awam tidak boleh tahu apa sebenarnya yang dilakukan oleh dokter dan sejauh manakah pengetahuan dokter untuk penyembuhan sesuatu penyakit. Apabila dokter melakukan kesalahan ataupun kelalaian yang


(64)

mengakibatkan pasien luka berat atau meninggal, maka dokter tersebut dapat dituntut dan diajukan ke Pengadilan.

2. Kepada aparat pembentuk undang-undang agar pembentukan Kitab Undangundang Hukum Pidana yang baru nantinya dipikirkan mengenal nasib dari euthanasia pasif tersebut. Oleh karena kita tidak dapat menyampingkan atau membantah kehadirannya atau keberadaannya ilmu hukum.

3. Berdasarkan kelemahan yang terkandung dalam Pasal 344 KUHPidana, maka perlu diadakan peninjauan kembali terhadap perumusan Pasal 344 KUHPidana tersebut agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang sudah maju seperti sekarang ini, dan agar semakin tercipta keamanan dan kepastian hukum.

4. Walaupun di Indonesia belum pernah terungkap mengenai kasus

euthanasia, namun alasan-alasan pengecualian dari hukuman

seperti di atas perlu diperhatikan oleh para Hakim dan aparat pembentuk undang-undang di Indonesia sebagai bahan perbandingan (komparasi) dalam upaya semakin menyempurnakan hukum nasional.


(65)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Al Qur'an dan Terjemahannyu, 1993, Departemen Agarna RI

Abdoel Djamali, 1993, Pengantar Hukurn Indonesia, PT, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Aruan Sakidjo dan Bambang Poernorno, Hukum Pidana Dasar Atuan

Umum Hukum Pidana Kodifikasi.

Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, 1984, Euthanasia Hak azasi

Munusia dan Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Kartini Kartono, 1981, Patologi Sosial, Rajawali Pers, Jakarta.

Oemar Seno Adji, 1991, Etika Profesional dan Hukum Pertanggag

Jawabun Pidana Dokter, Profesi Dokter, Erlangga, Jakarta.

Moeljatno, 1987, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, 1994, Panduan Aspek Hukum

Praktek Swasta Dokter, Yayasan Penerbit IDI, Jakarta.

Parlaungan Ritonga, 2006, Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, Bartong Jaya, Medan.

Sudirman, 1986, Menuju Ke Kesehatan Jiwa, Studing, Yogyakarta.

Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Ruang Lingkup Krirninologi, Remadja Karya, Bandung.

Soerjono Soekanto, 1983, "Tiori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Ghalia Indonesia, Jakarta,

Tampil Anshari Siregar, 2005, Metodologi Penelitian Hukum Penulisan

Skripsi, Pustaka Bangsa Press, Medan.

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2003, Kriminolugi, Rajawali Pers, Jakarta.

Wirjono Prodjo Dikoro, 2008, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung


(66)

Perundang-Undangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana,1999, Bumi Aksara, Jakarta.

---, 2001, KUHPidana, Bumi Aksara, Jakarta.

--- ,1990, Segi-segi Hukurn Hak dan Kewajiban Pasien, Mandar Maju, Bandung.

Undang - undang No. 23 Tahun, 1992 Tentang Kesehatan.

R. Subekti, 1976, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta.

Internet

“Euthanasia, Legal atau Non Legal”, http://www.Artikel.com diakses tanggal 05 Nopember 2009

“Hukum Pelaksanaan Euthanasia di Indonesia, http://www.google.com, diakses tanggal 05 Nopember 209


(1)

administratif lainnya dengan sanksi pidana menjadi sanksi yang sifatnya adalah non pidana dan terletak di luar sistem peradilan pidana.

Apabila decriminalisasi dihapuskan perbuatan euthanasia tersebut dari perundang-undangan, atau dihilangkan sama sekali sifat dipidananya perbuatan euthanasia tersebut dalam Depenalisasi, perbuatan euthanasia tersebut tetap di atur perundang-undangan, namun ancaman pidananya dihilangkan, dan kemungkinan menuntutnya dapat di lakukan dengan cara lain, misalnya dengan melalui Hukum Perdata dan Hukum Administrasi.

Sebagai contoh dari Depenalisasi euthanasia tersebut misalnya: apabila seorang melakukan euthanasia menurut Pasal 344 KUHPidana, maka dokter tersebut bukan dari segi pidananya: jadi ancaman pidananya berupa penjara (paling lama dua belas tahun), tidak akan dijalankan maka dokter tersebut dituntut dari segi hukum lain, misalnya dengan memberi ganti rugi kepada pihak korban maupun keluarga yang ditinggalkan korban (perdata), ataupun dari segi hukum administrasi, misalnya dengan melakukan/menjalankan skorsing atau pemecatan (ontslay) terhadap dokter yang melakukan euthanasia tersebut.


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah: 1. Dokter melakukan euthanasia setelah adanya permintaan yang

sungguh-sungguh dari pasien atau keluarganya. Memang bisa terjadi seseorang meminta kepada dokter agar dicabut nyawanya, misalnya karena faktor frustasi atau kegagalan hidup yang dialaminya, ataupun karena kesulitan ekonomi yang dihadapinya. Namun, apabila dokter mengabulkan permintaan tersebut la telah melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia dan juga lafal Sumpah Dokter dan perbuatan tersebut dapat di golongkan kepadanya pembunuhan.

2. Bahwa perlindungan hukum diperlukan dokter melakukan euthanasia oleh karena:

a. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas Hukum (rechtstaat) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat).

b. Sifat dan hakekat dari pada euthanasia tidaklah secara mutlak universal merupakan delik yang harus dihukum.


(3)

3. Bahwa pengaturan Pasal 344 KUHPidana mengenai euthanasia mempunyai kelemahan antara lain:

a. Adanya unsur: atas permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati, yang mempersulit pembuktian dan penuntutan.

b. Pasal 344 KUHPidana adalah mengenai euthanasiu aktif, sedangkan mengenai euthanasia pasif tidak ada di atur Undang-undang.

c. Delik euthanasia adalah delik biasa, dan bukan delik aduan, sehingga dituntut keuletan dan ketajaman aparat penyelidik dan penyidik untuk mengungkapkan apakah sesuatu perbuatan euthanasia telah dilakukan.

B. Saran

1. Dalam menjalankan profesinya, para dokter kini tidak terlepas dari jangkauan hukum yang semakin mempunyai daya laku efektif. Dahulu boleh masih terisolir pada apa yang mereka lakukan tugas dan profesinya, dan masyarakat awam tidak boleh tahu apa sebenarnya yang dilakukan oleh dokter dan sejauh manakah pengetahuan dokter untuk penyembuhan sesuatu penyakit. Apabila dokter melakukan kesalahan ataupun kelalaian yang


(4)

mengakibatkan pasien luka berat atau meninggal, maka dokter tersebut dapat dituntut dan diajukan ke Pengadilan.

2. Kepada aparat pembentuk undang-undang agar pembentukan Kitab Undangundang Hukum Pidana yang baru nantinya dipikirkan mengenal nasib dari euthanasia pasif tersebut. Oleh karena kita tidak dapat menyampingkan atau membantah kehadirannya atau keberadaannya ilmu hukum.

3. Berdasarkan kelemahan yang terkandung dalam Pasal 344 KUHPidana, maka perlu diadakan peninjauan kembali terhadap perumusan Pasal 344 KUHPidana tersebut agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang sudah maju seperti sekarang ini, dan agar semakin tercipta keamanan dan kepastian hukum.

4. Walaupun di Indonesia belum pernah terungkap mengenai kasus euthanasia, namun alasan-alasan pengecualian dari hukuman seperti di atas perlu diperhatikan oleh para Hakim dan aparat pembentuk undang-undang di Indonesia sebagai bahan perbandingan (komparasi) dalam upaya semakin menyempurnakan hukum nasional.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Al Qur'an dan Terjemahannyu, 1993, Departemen Agarna RI

Abdoel Djamali, 1993, Pengantar Hukurn Indonesia, PT, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Aruan Sakidjo dan Bambang Poernorno, Hukum Pidana Dasar Atuan Umum Hukum Pidana Kodifikasi.

Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, 1984, Euthanasia Hak azasi Munusia dan Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Kartini Kartono, 1981, Patologi Sosial, Rajawali Pers, Jakarta.

Oemar Seno Adji, 1991, Etika Profesional dan Hukum Pertanggag Jawabun Pidana Dokter, Profesi Dokter, Erlangga, Jakarta.

Moeljatno, 1987, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, 1994, Panduan Aspek Hukum Praktek Swasta Dokter, Yayasan Penerbit IDI, Jakarta.

Parlaungan Ritonga, 2006, Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, Bartong Jaya, Medan.

Sudirman, 1986, Menuju Ke Kesehatan Jiwa, Studing, Yogyakarta.

Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Ruang Lingkup Krirninologi, Remadja Karya, Bandung.

Soerjono Soekanto, 1983, "Tiori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Ghalia Indonesia, Jakarta,

Tampil Anshari Siregar, 2005, Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Pustaka Bangsa Press, Medan.

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2003, Kriminolugi, Rajawali Pers, Jakarta.

Wirjono Prodjo Dikoro, 2008, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung


(6)

Perundang-Undangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana,1999, Bumi Aksara, Jakarta. ---, 2001, KUHPidana, Bumi Aksara, Jakarta.

--- ,1990, Segi-segi Hukurn Hak dan Kewajiban Pasien, Mandar Maju, Bandung.

Undang - undang No. 23 Tahun, 1992 Tentang Kesehatan.

R. Subekti, 1976, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta.

Internet

“Euthanasia, Legal atau Non Legal”, http://www.Artikel.com diakses tanggal 05 Nopember 2009

“Hukum Pelaksanaan Euthanasia di Indonesia, http://www.google.com, diakses tanggal 05 Nopember 209